Anda di halaman 1dari 12

1.

Identifikasi terhadap implementasi asa penyelenggaraan pemerintahan desa dalam


pasal 24 UU No. 6 Tahun 2014 dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa saat
ini.

Jawab:

Pasal 24

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:

g. akuntabilitas;

Huruf g

Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Asas Akuntabilitas

Baru-baru ini kepala desa puyung(Mantan Kades Puyung Edith Rahardian Wirasari) di
kabarkan terjerat kasus korupsi. Kasus ini sudah cukup lama beredar tapi baru sekarang
diproses oleh aparat penegak hukum.
Inspektorat Lombok Tengah menyebutkan telah menuntaskan audit investigasi desa-desa
yang diduga bermasalah. ”Salah satunya Desa Puyung, Kecamatan Jonggat,” beber
Inspektur Inspektorat Loteng Lalu Aswatara, usai olahraga pagi di kantor bupati, kemarin
(6/3). Total enam desa yang diaudit investigasi tersebar di Kecamatan Praya Barat dan
Praya Timur.

Edith dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi terhadap Dana Desa (DD)
tahun 2018-2019. “Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi,” kata Hakim PN Tipikor Mataram yang diketuai Isrin
Surya Kurniasih, dikutip dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
PN Mataram, Rabu (8/3).

Amar putusan hakim yang tercantum dalam nomor perkara 34/Pid.Sus-TPK/2022/PN


Mtr, turut menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa sebesar Rp 300 juta. “Apabila
pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6
bulan,” sebutnya.

Majelis hakim turut menjatuhi terdakwa pidana tambahan untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 697 juta. Jika terpidana tidak mengganti uang pengganti paling
lama dalam waktu sebulan sesudah putusan pengadilan yang telah memproleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
“Jika harta benda tidak mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara selama satu
tahun,” bebernya.

Terdakwa dijatuhi hukuman demikian, dengan menyatakan terdakwa terbukti melanggar


Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

“Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa


dikurangkan dari pidana yang dijatuhi. Menetapkan terdakwa tetap ditahan,” bunyi amar
putusan.

Sedangkan dalam tuntutan jaksa penuntut, terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan primer. Melainkan
dinyatakan bersalah sesuai dakwaaan subsider, yaitu Pasal 3 junto Pasal 18 UU Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001. Sehingga tuntutan penjara yang dijatuhi kepada terdakwa
selama 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Jaksa
juga dalam tuntutannya membebankan terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp
697 juta dengan subsider 1 tahun kurungan badan.
Diketahui, kasus ini ditangani Polres Loteng. Kerugian negaranya mencapai Rp 600
jutaan, sesuai dengan hasil audit dari Inspektorat Lombok Tengah. Kerugian negara ini
ditemukan dari berbagai program yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pihak
desa. Maka dalam kasus ini masih belum diterapkannya asas akuntabilitas secara
maksimal. Oleh karena itu, dalam mewujudkan Dana Desa yang membangun disegala
bidang tanpa di korupsi oleh perangkat-perangkat desa, diperlukan rekonstruksi sistem
pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa baik dari awal proses perencanaan
hingga pencairan Dana Desa.

Keuangan desa termasuk didalamnya terdapat dana desa, wajib dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan. Berdasarkan proses aspek pelaporan dan pertanggungjawaban
merupakan tahap akhir. Secara normatif, menurut Permendagri Nomor 113 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Keuangan Desa, merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan
desa. Pelaporan sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyampaikan hal-hal
yang berhubungan dengan hasil pekerjaan yang telah dilakukan selama satu periode
tertentu sebagai bentuk pelaksanaan pertanggungjawaban atas tugas dan wewenang yang
diberikan.24 Pada tahap pelaporan, pemerintah Desa menyusun laporan realisasi
pelaksanaan APBDesa setiap semester yang disampaikan kepada Bupati/walikota.
Tahapan kegiatan yang harus Kepala Desa laksanakan yaitu menyampaikan laporan
realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota berupa laporan semester
pertama, dan laporan semester akhir tahun. Laporan semester pertama berupa laporan
realisasi APBDes. Laporan realisasi pelaksanaan APBDes disampaikan paling lambat
pada akhir bulan Juli tahun berjalan. Laporan semester akhir tahun disampaikan paling
lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.25 Pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan desa dilakukan setiap akhir tahun anggaran yang disampaikan kepada
Bupati/Walikota dan di dalam Forum Musyawarah Desa. Adapun laporan tersebut berupa
laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa, Peraturan Desa, laporan
Kekayaan Milik Desa, serta Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
masuk ke desa. Kepala Desa wajib menyertakan format Laporan Pertanggungjawaban
Realisasi Pelaksanaan APBDesa Tahun Anggaran berkenaan didalam laporannya,
kemudian format Laporan Kekayaan Milik Desa per 31 Desember Tahun Anggaran
berkenaan serta format Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masuk
ke desa. 26 Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa merupakan
bagian tidak terpisahkan dari laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Laporan
realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa diinformasikan
kepada masyarakat secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh
masyarakat. Media informasi antara lain papan pengumuman, radio komunitas, dan
media informasi lainnya. Laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi
pelaksanaan APBDesa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat atau sebutan
lain. Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa, disampaikan paling
lambat 1 (satu) bulan setelah akhir tahun anggaran berkenaan. Adapun laporan menurut
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah sebagai berikut: (1) Laporan
kepada Bupati/Walikota (melalui camat), (2) Laporan Semesteran Realiasasi Pelaksanaan
APB Desa, (3) Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APB Desa kepada
Bupati/Walikota setiap akhir tahun anggaran dan (4) Laporan Realisasi Penggunaan Dana
Desa. Laporan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berupa laporan keterangan
pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDes terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan. Problematika korupsi dana desa merupakan penyebab adanya kebijakan
dana desa yang pengelolaan keuangan desanya disalahgunakan. Dikarenakan
peningkatkan dana desa yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
dan sekaligus juga menambah jumlah kasus korupsi dana desa. Pelaku yang melakukan
korupsi merupakan pemilik kewenangan seperti kepala desa dan aparatur desa lainya,
dengan memainkan anggaran dari proses perencanaan hingga laporan
pertanggungjawaban. Penyebabnya bersumber dari rendah nya kualitas sumber daya
manusia aparatur desa tersebut didukung dengan tidak adanya transparansi, akuntabilitas,
dan partisipatif dari masyarakat. Pelaporan dan pertanggunjawaban merupakan salah satu
tahap pengelolaan keuangan desa, yang salah satunya terdapat dana desa. Laporan dan
pertanggunjawaban tersebut secara normatif disampaikan kepada pejabat diatasnya, dan
disampaikan kepada masyarakat desa. Dalam hal ini diperlukan SDM dalam mengelola
organisasi sehingga laporan keuangan tersebut dapat terlaksana dengan baik, selain itu
diperlukan keterlibatan masyarakat dalam mengawasi laporan dan pertanggungjawaban
keuangan desa.

Upaya Pencegahan Korupsi Dalam Pengelolaan Dana Desa

a. Mengenali modus modus korupsinya

Hingga akhir 2017 lalu sudah 900 kepala desa bermasalah dengan hukum karena masalah
dana desa. Sebagian diantaranya terpaksa menghadapi jeruji besi akibat penyalahgunaan
dana desa. Jumlah ini disinyalir bakal terus meningkat mengingat sulitnya mengawasi 74
ribu lebih desa di seluruh Indonesia. Di sisi lain, masih banyak perangkat desa yang tidak
memahami sistem pelaporan dana desa sesuai dengan aturan. Dari jumlah itu diduga
penyalahgunaan dana desa akibat korupsi adalah yang paling banyak terjadi. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai, modus korupsi dana desa sebenarnya
memiliki pola yang sama seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif,
mark up anggaran, tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa dan
penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi adalah beberapa pola yang banyak
dilakukan. Lemahnya pengawasan adalah salahsatu penyebab suburnya korupsi dana
desa. Beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) melakukan penelitian
mengenai modus korupsi dana desa. Peneliti ICW Egi Primayoga memaparkan hasil
penelitiannya, ada 12 modus korupsi dana desa yang disimpukan ICW berdasar
penelitiannya.

Modus itu antara lain:

1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Ini bisa diantisipasi jika
pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa. Misalnya,
pengadaan bahan bangunan di toko bangunan yang ada di desa sehingga bisa melakukan
cek bersama mengenai kepastian biaya atau harga-harga barang yang dibutuhkan.

2. Mempertanggung jawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal


proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat jika pengawas
memahami alokasi pendanaan oleh desa. Modus seperti ini banyak dilakukan karea relatif
tersembunyi. Karena itulah APBDes arus terbuka agar seluruh warga bisa melakukan
pengawasan atasnya.

3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan.
Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi hingga untuk membayar
biaya S2. Budaya ewuh-pakewuh di desa menjadi salah satu penghamat pada kasus
seperti ini sehingga sulit di antisipasi.

4. Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.
Ini juga banyak terjadi dengan beragam alasan. Perangkat desa tak boleh ragu untuk
melaporkan kasus seperti ini karena desa-lah yang paling dirugikan.

5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan
untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan untuk pelesiran saja.

6. Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa. Jika modus ini
lolos maka para perangkat desa yang honornya digelembungkan seharusnya melaporkan
kasus seperti ini. Soalnya jika tidak, itu sama saja mereka dianggap mencicipi uang
haram itu.

7. Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bia dilihat secara fisik
tetapi harus pula paham apa saja alokasi yang telah disusun.

8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa
atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur dana menyangkut pendapatan dari
sektor pajak ini.

9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkan secara pribadi.
Lagi-lagi ewuh pakewuh menjadi salah satu penghambat kasus seperti ini sehingga
seringkali terjadi pembiaran.
10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat
desa. Publik harus tahu alokasi pendanaan dana desa agar kasus ini tidak perlu terjadi.

11. Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa. Bisa
ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai larangan
menggunakan jasa kontraktor dari luar.

12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.
Berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya bisa diantisipasi jika warga desa dan
berbagai perangkat yang memiliki wewenang melakukan pengawasan aktif monitor
setiap langkah yang dilakukan dengan pembelanjaan dana desa. Karena sebuah
penyalahgunaan wewenang bakal selalu kemungkinan terjadi karena ada kesempatan
yang terbuka.

b. Peningkatan Capacity Building (Perangkat Desa)

1. Strata Pendidikan

Dalam hal strata pendidikan sudah bisa dilihat perbedaan yang cukup signifikan yang
tertuang dalam Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang persyaratan untuk menjadi
kepala desa dan perangkat desa. Untuk menjadi kepala desa hanya cukup dengan
berijazah SMP dan untuk menjadi perangkat desa harus berijazah SMA. Hal ini tentunya
sudah berbanding terbalik karena di mana yang mempunyai strata pendidikan lebih tinggi
maka dialah yang memimpin, dikhawatirkan ini akan berdampak kepada manejemen
kepemimpinan karena tidak akan bisa dipungkiri para perangkat desa yang mempunyai
strata pendidikan di atas akan mempunyai sikap pandang enteng kepada kepala desa
karena pendidikan yang di bawah. Sekarang ini juga seorang kepala desa tidak cukup
hanya bermodalkan ketokohan saja karena seorang kepala desa juga harus mempunyai
kecerdasan di atas rata-rata dalam hal pengelolaan dana desa yang sifatnya bisa menjebak
seorang kepala desa untuk terjerat dalam kasus tindak pidana korupsi.

2. Diklat

Kepala desa dan perangkatnya mempunyai tugas berat dalam menjalankan roda
pemerintahan di tingkat desa. Saat ini, desa-desa dituntut mampu mengelola anggaran
pemerintah yang nilainya cukup besar mencapai Rp1 milyar lebih setiap tahunnya.
Sehingga Kades dan perangkatnya mesti lebih meningkatkan kapasitas Sumber Daya
Manusia (SDM) dengan berbagai kegiatan pelatihan ataupun bimbingan teknis (Bimtek).
Termasuk kegiatan peningkatan SDM aparatur desa yang diselenggarakan bagi perangkat
desa belum lama ini dinilai sangat membantu dalam peningkatan kapasitas dan
kemampuan perangkat desa. Hasil pelatihan dan bimbingan teknis yang dilakukan sangat
terasa manfaatnya bagi perangkat desa dalam melaksanakan tugas-tugas administratif di
desa dan peningkatan wawasan bagi perangkat desa. Peningkatan SDM melalui pelatihan,
bimbingan teknis serta pendampingan merupakan kebutuhan perangkat desa seiring
perubahan paradigma penyelenggaraan di pemerintahan desa, disamping itu banyak
perangkat desa yang baru diangkat dengan latar belakang pendidikan yang bervariatif.
Sehingga memang perlu adanya pelatihan atau pun bimtek ini, dan diharapkan
keberlanjutannya kepada semua perangkat sesuai tugas dan tanggung jawab pemerintah
desa yang terus meningkat.

c. Penguatan Kapasitas Pendamping Desa

Upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan cara :

1. Mendampingi Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap


pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa;

2. Mendampingi Desa dalam melaksanakan pengelolaan pelayanan sosial dasar,


pengembangan usaha ekonomi Desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tepat guna, pembangunan sarana prasarana Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;

3. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Pemerintahan Desa, lembaga kemasyarakatan


Desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa;

4. Melakukan pengorganisasian di dalam kelompok-kelompok masyarakat Desa;

5. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa dan


mendorong terciptanya kader-kader pembangunan Desa yang baru;

6. Mendampingi Desa dalam pembangunan kawasan perDesaan secara partisipatif; dan

7. Melakukan koordinasi pendampingan di tingkat kecamatan dan memfasilitasi laporan


pelaksanaan pendampingan oleh Camat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

d. Mengurangi Campur Tangan Dari Pemerintah Daerah.

Kepala desa selaku penanggung jawab yang ada di desa mengemban tugas yang cukup
berat dalam hal mensejahterahkan masyarakat desanya. Ini tentunya tidak lepas dari
peran pemerintah daerah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika
pemerintah daerah dalam hal ini bupati pada saat mengadakan kunjungan kerja ke desa
yang demi kepentingan politiknya tidak jarang menyuruh kepala desa untuk membuat
berbagai macam kegiatan yang tidak terprogram. Ini yang akan kemudian menjadi
permasalahan ke depan karena kebanyakan kepala desa tidak akan mampu untuk
menolak perintah seorang kepala daerah yang notabenya adalah penguasa di daerah
tersebut. Yang harusnya dilakukan oleh kepala desa adalah menolak permintaan tersebut
karena selain kegiatan kegiatan itu bernuansa politik yang akan menguntungkan pribadi
dari seorang kepala daerah dan juga tidak terprogram dari awal.

2. Identifikasi pergeseran karakteristik atau ciri desa berdasarkan realitas masyarakat desa
saat ini.

Secara umum karakteristik desa perlahan mulai tergeser. Wilayah yang paling rentan
terkena dampak perubahan adalah wilayah pesisir karena keadaan alam yang tidak
menentu serta jumlah tangkapan yang terus menurun menimbulkan penurunan
penghasilan yang dapat mengancam ketahanan sosial ekonomi msayarakat sehingga
memaksa mereka untuk mencari pekerjaan sampingan lain. Jika melihat daerah tempat
saya tinggal yaitu di wilayah pesisir Ampenan Selatan, pergeseran karakteristik ini tidak
begitu terlihat secara langsung dan cepat, tapi perlahan. Di wlayah ini dominan
profesinya sebagai nelayan/perikanan tangkap. Di sini juga terdapat kampung nelayan
yang relatif rentan karena kenaikan muka air laut telah menyebabkan meningkatnya erosi
pantai sehingga muka pantai semakin mendekati daratan dan mengancam permukiman
nelayan (bahkan kondisinya sekarang sudah di relokasi ke wilayah yang lebih aman).
Selain itu perubahan iklim berupa cuaca ekstrim dan perubahan cuaca membuat
masyarakat mencoba untuk ber-adaptasi dengan beralih mata pencaharian yaitu sebagai
tukang.

1. Nelayan Tradisional Ke Buruh Harian (Buruh Bangunan dan Tenaga


Kebersihan)Berdasarkan analisis peneliti dengan menggunakan konsep Davis dan Moore
menjelaskan bahwa tingkat posisi sosial setiap orang ditentukan oleh dua faktor salah
satunya ialah kelangkaan personal yang siap untuk mengisi posisi yang dimaksud. Posisi
yang dimaksud tentunya memerlukan keahlian khusus untuk mendapatkan hasil kinerja
yang baik pula, dan biasanya orang memiliki kemampuan tertentu untuk mendapatkan
status yang tinggi. Kelangkaan akan personal yang sesuai dapat diakibatkan karena
kurangnya pengembangan bakat atau tuntunan syarat – syarat suatu jabatan yang tinggi.
Meninjau pekerjaan sebagai buruh bangunan atau tenaga kebersihan (THL) yang
diposisikan sebagai kuli atau tenaga pembantu menandakan masih rendahnya skill atau
kemampuan yang mereka geluti dibidang tersebut.Posisi pembantu dalam pekerjaan
sebagai buruh bangunan dan tenaga kebersihan

(THL) ini merupakan posisi dimana seseorang dianggap sebagai pesuruh atau babu dan
juga merupakan posisi yang paling rendah serta mendapatkan bayaran gaji yang rendah
pula sesuai dengan posisi yang mereka perankan. Hal ini sesuai dengan konsep yang
dikemukan oleh Blumberg yang mana beliau menjelaskan bahwa salah satu imbalan dari
status yang tinggi adalah adanya pengakuan sebagai orang yang lebih berderajat tinggi
(status simbol). Sehingga dapat dakatakan bahwa mendapatkan status yang tinggi
merupakan bagian dari harapan para nelayan melakukan mobilitas mata pencaharian yang
terjadi di Desa Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga.

2. Nelayan Penjaring Ke Penampung (toke) dan Sekaligus Pedagang

Hasil analisis data dilapanganmenunjukan ada faktor lain yang memicu terjadinya
mobilitas mata pencaharian nelayan di Desa Kelombok Kecamatan Lingga ini diatarnaya
adalah adanya kebosanan masyarakat untuk bekerja sebagai buruh nelayan. Sehingga hal
ini mamacu adanya usaha dari para mantan nelayan berupa kapasitas adiktif yaitu
merespon lingkugan dan kecendrungan untuk berkembang serta kemudahan ekses modal
dari saudara mereka, membuat para mantan nelayan membuka penampungan ikan sendiri
seiring dengan pengalaman dan keterampilan yang dimiliki.

3. Mobilitas sosial yang ditunjukan disini adalah mobilitas sosial vertikal

(climbing) dimana terjadinya peningkatan status sosial baik itu dari segi ekonomi dan
status sosial nya yang kemudian juga diakui oleh masyarakat setempat. Pada mobilitas
tingkat pertama dan kedua ini merupakan golongan bawah yaitu nelayan tradisional yang
melakukan mobilitas mata pencaharian ke buruh nelayan penjaring dan buruh harian
(buruh bangunan dan tenaga kebersihan), selanjutnya pada golongan menengah terdapat
nelayan tradisional yang beralih menjadi nelayan modern yaitu sudah memiliki peralatan
tangkap yang sudah maju dan peraktis dengan kualitas yang lebih menjanjikan dari segi
pendapatan, dan terakhir diikuti oleh golongan atas yaitu nelayan yang sudah maju
dengan pekerjaan yang lebih menjamin dan menjanjikan dari segi pendapatan maupun
keberhasilannya yaitu para toke (penampung) ikan juga sekaligus pedagang ikan.

Faktor PendorongTerjadinya Mobilitas Mata Pencaharian Nelayan Di Desa

Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga

5.1 Faktor Internal


Faktor internal yang dimaksud disini adalah faktor – faktor yangdatang dari dalam
kehidupan sosial nelayan itu sendiri yang mendorong terjadinya mobilitas mata
pencaharian nelayan di Desa Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga, seperti
keadaan ekonomi, usia, dan pendidikan. Untuk lebih jelasnya akan diuaikan satu persatu
dari ketiga faktor ini, diantaranya yaitu sebagai berikut:

.1 Keadaan Ekonomi

Berdasarkan hasil analisis jawabandari masing-masing informan dan key informan


(infroman kunci) mengenai sub indikator ini dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang
mendorong terjadinya mobilitas mata pencaharian nelayan di Desa Kelombok Kecamatan
Lingga adalah kondisi perekonomian masyarakat yang terus melemah dalam artian tidak
lagi mencukupi kebutuhan-kebutuahan masyarakat baik itu untuk kebutuhan primer
maupun kebutuahan sekunder. Dalam teori mobilitas sosial juga telah mejelaskan bahwa
ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang itu
ingin melakukan mobilitas yaitu salah satu diantaranya adalah faktor ekonomi, karena
ekonomi merupakan salah satu sumber utama dalam keberlangsungan hidup manusia,
ekonomi juga merupakan bagian dari tolak ukur untuk menentukan status seseorang
ditengah-tengah masyarakat.

Umumnya dalam kehidupan sosial masyarakat ekonomi menjadi faktor penting untuk
menentukan derajat dan kelas seseorang. Faktor ekonomi juga mampu menggambarkan
bagimana kemampuan seseorang dalam menjalankan proses kehidupannya ke arah yang
lebih baik lagi sehingga tidak jarang orang mengambil tindakan untuk memperbaiki
perekonomian mereka salah satunya dengan cara melakukan mobilitas mata pencaharian
seperti yang terjadi di Desa Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga. Karena
dalam ilmu ekonomi juga telah menjelaska bahwa ada tiga aspek utama dalam pengertian
ekonomi, yaitu produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa. Ketiga aspek ini
merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan. Jadi jika ketiga aspek tidak terpenuhi oleh
para nelayan yang ada di Desa Kelombok tersebut secara otomatis para nelayan harus
mencari alternatif lain untuk mampu mencukupi ketiga aspek tersebut maka terjadilah
mobilitas mata pencaharian nelayan di Desa Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten
Lingga.Lingg

5.1.2 Faktor Usia

Usia merupakan komponen penting yang sangat mempengaruhi seseorang individu


tersebut sejauh mana mampu beraktivitas dalam kehidupan sehari-harinya baik itu
bersangkutan dengan aktivitas rumah tangganya maupun aktivitas sosialnya. usia
produktif di Desa Kelombok Kecamatan Lingga adalah mereka yang secara umum
berada dalam usia bekerja yakni antara usia 15 – 50 tahun, sehingga sebagian besar
masyarakat yang mencapai umur diatas masa produktif ini banyak tidak lagi melaut yang
digantikan oleh anak cucu mereka atau memperkerjakan kepada orang lain.

5.1.3 Faktor pendidikan

Pendidikan merupakan investasi besar bagi masyarakat dalam hal ini pada masyarakat
nelayan yang di Desa Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga. Karena
pendidikan menyangkut kepentingan. Ini disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan
pengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat serta outcome yaitu berupa tersedianya
SDM yang handal untuk menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu titik berat
pembangunan pendidikan terletak pada peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang,
serta perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar. Pendidikan memegang kunci
keberhasilan suatu Negara dimasa depan. Menurut Tilaar (2004), pendidikan saat ini
telah diredukasikan sebagai pembentukan intelektual semata sehingga menyebabkan
terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan Nasional. Perubahan
global dan liberalisasi pendidikan memaksa lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan
lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan yang hanya berorentasi pasar
sesungguhnya telah kehilangan akar pada kesejatian dan identitas diri. Gejala-gejala
pendidikan ini sekarang mudah dibaca.

5.1.4 Faktor Keterampilan

Menurut Horton dan Hunt dalam Narwoko faktor individu adalah kualitas orang
perorang, baik ditijau dari tingkat pendidikan, penampilannya dan keterampilannya
termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mecapai
kedudukan.

Hasil wawancara dari informan disimpulkan bahwa selain bekerja disektor perikanan
para mantan nelayan ini juga memiliki keterampilan yang beragam untuk untuk mencari
pekerjaan-pekerjaan yang cocok dan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Hal ini
menunjukan akan adanya kemudahan berpindah pekerjaan melalui ketermapilan yang
dimilki. Pada dasarnya bakat yang dimiliki setiap individu berbeda-beda sehingga
kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dimasyarakat akan berbeda
pula. Dengan demikian kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh kedudukan
bergantung pada usaha yang dilakukan. Mengacu pada konsep Blau dan Duncan
(Sanderson, 2011) beberapa individu dapat memperbaiki kedudukan mereka dengan
motovasi, kerja keras, bahkan dengan keberuntungan.

5.2 Faktor Ekternal

Faktor eksternal yang dimaksud disini adalah faktor – faktor yang datang dari luar seperti
alam, lingkungan dan peluang – peluang pekerjaan yang lebih menjanjikan diluar dari
pada sektor nelayanitu senidri sehingga membuat para nelayan cenderung untuk beralih
mata pencaharian karena masyarakat menilai telah mempengaruhi penghasilan dan sistem
kerja para nelayan.

5.2.2 Alat Tangkap Nelayan

Menurut penghasilan tangkapan nelayan sangat ditentukan dari jenis teknologi tangkapan
yang digunakan. Pada umumnya, pengetahuan teknik penangkapan ikan didapati dari
warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Jenis alat
tangkap berupa rawai, yang digunakan merupakan jenis alat tangkap sederhana atau
tradisional yang bisa dugunakan nelayan tradisional. Secara umum jenis tangkapan rawai
ini masih digunakan para nelayan untuk menangkap ikan yang mana penggunaanya
dilakukan pada musim ikan pari.Selain jenis alat tangkap rawai ini, mereka juga memilki
jenis alat tangkap lain seperti mento, bubu, jala dan tangguk yang dapat digunakan pada
saat tidak masuknya penangkapan ikan pari. Untuk alat jenis tadi selain rawai itu biasa
sering digunkan untuk menangkap ikan suno, kerapu dan jenis-jenis ikan karang lainnya.

Menurut pendapat Lenski dalam Sanderon bahwa besarnya surplus ekonomi sangat
dipengaruhi kemampuan teknologi masyarakat. Dalam hal ini melihat teknologi
tangkapan yang masih bersifat tradisional dan minim sekali yang menggunakn teknologi
yang modern seperti jaring, maka akan sangat berpengaruh terhadap penghasilan atau
pendapatan nelayan di Desa Kelombok Kecamatan Lingga dan juga berdampak pada
ekonomi mereka.

5.2.3 Biaya Oprasional Yang Tinggi

Biaya operasional yang dikeluarkan nelayan di Desa Kelombok Kecamatan Lingga ini
cukup besar sementara penghasilan yang diperoleh tidak dapat diprediksi. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dan menyebabkan kerugian pada nelayan.
Kerugian yang dimaksud adalah banyaknya pengeluaran biaya yang dikelurkan oleh para
nelayan untuk melaut seperti biaya untuk membeli es pendingin ikan, minyak solar untuk
perahu dan sampan yang bermesin yang saat ini masih ada sebagian kecil yang masih
menggunakannya dan sebagian besar sudah beralih dengan menggunakan perahu
bermesin, serta perbekalan makanan. Sementara pengeluaran tersebut tidak diikuti
dengan penghasilan yang diperoleh dari melaut.Berbagai problematikayang dihadapi
masyarakat nelayan Desa Kelombok ini menjadi daya dorong tersendiri untuk melakukan
suatu perubahan.

Parsons dalam Sanderson menjelaskan kapasitas adiktif adalah kemampuan masyarakat


untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi
manusia sebagai makhluk sosial. Bentuk dari kapasitas adiktif yang dilakukan nelayan
Desa Kelombok tersebut yaitu beralihnya mata pencaharian sebagai salah satu solusi
untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang terjadi dengan bekerja sebagai buruh
nelayan (penjaring), buruh bangunan, tenaga buruh harian (THL),

Anda mungkin juga menyukai