Anda di halaman 1dari 68

ANALISIS PENYALAHGUNAAN DANA DESA YANG DILAKUKAN

OLEH APARAT DESA


(Studi Putusan : Nomor 26/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk)

PROPOSAL

A. Latar Belakang Masalah

Untuk terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, makmur, bermoral dan

bermartabat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dicapai melalui perjuangan dan

upaya-upaya yang dilakukan secara terus menerus dan meningkat dari waktu ke

waktu dan dilandasi dengan jiwa nasional dan semangat patriotisme . Adapun

syarat utama berhasilnya perjuangan mencapai cita-cita Nasional itu dengan

terbentuknya dan bekerjanya tata penyelenggaraan Negara yang tertib, bersih

efektif dan efesien , mengabdi pada kepentingan , Bangsa dan Negara yang secara

sadar atau tidak disadari, dilakukan oleh lembaga-lembaga penyelenggara Negara

itu sendiri serta fungsionarisnya dari pusat hingga ke daerah yang terkecil

sekalipun. Untuk mewujudkan aparatur Negara yang efisien dan efektif yang

paling penting adalah perilaku aparatur Negara yang bebas dan bersih dari

tindakan korupsi. Korupsi bagaikan sebuah virus yang sangat berbahaya bagi

suatu bangsa dan Negara, yang mana kita ketahui bahwa korupsi berakibat

kepada kesusahan dan kesengsaraan bagi rakyat , bangsa danNegara.Sampai saat

ini, korupsi sudah sangat merajalela dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1
Korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pemerintahan pusat, tetapi korupsi juga

banyak terjadi di level pemerintahan Desa . Bagaikan gurita, korupsi semakin kuat

mencengkram dan melilit bagian sendi –sendi Negara ini . Dalam hal

pemberantasan korupsi, segala upaya telah dilakukan untuk menahan dan

memberantas pergerakan korupsi, namun segala upaya yang dilakukan tadi

seakan- akan belum menunjukkan tanda-tanda perubahan dan kemenangan.

Bahkan menurut hasil jajak pendapat kompas terdapat jawaban pembenaran

empiris betapa perilaku korupsi semakin masif dan tak terkendali.1

Korupsi inilah yang biasa ditemukan dalam lingkungan Pemerintahan Desa di

banyak Negara. Korupsi yang sistematis jelas menimbulkan kerugian ekonomi

karena sangat mengacaukan insentif dan menimbulkan kerugian politik karena

akan melemahkan lembaga-lembaga Pemerintahan dan kerugian sosial karena

kekayaan dan kekuasaan akan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Apabila

korupsi semakin berkambang biak dan berakar di setiap lini dengan sedemikian

rupa yang berakibat kepada hak ,milik yang tidak lagi dihormati , aturan hukum

akan dianggap remeh dan insentif untuk infestasi semakin kacau, maka akan

berdampak pada pembangunan ekonomi dan politik yang semakin mengalami

kemunduran. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 , tentang Desa ,

tepatnya dalam ketentuan pasal 72 yang menyatakan bahwa pendapatan desa yang

bersumber dari alokasi APBN atau dana desa yang bersumber dari belanja pusat

dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan

berkeadilan. Adapun besar dari alokasi aggaran yang diperuntukkannya langsung

ke desa ditentukan dengan besaran persentase 10 (sepuluh) persen dari dan diluar

2
dana transfer ke daerah (On Top) . Selain itu, Undang-undang Nomor 6 Tahun

2014 ini juga makin menguatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari

dana perimbangan Kabupaten / Kota.

Jika sebelumnya hampir tidak ada Kabupaten / Kota yang memberikan ADD

minimal 10 persen dari dana perimbangan tanpa adanya sanksi , maka pasal 72

Undang-Undang Desa (UU No 6/2014) memberikan hak pada Pemerintah untuk

memberikan sanksi dengan melakukan penundaan dan juga pengurangan dana

perimbangan sebesar alokasi dana yang tidak diberikan ke desa .

Dengan dijalankannya sanksi ini, maka dipastikan semua daerah akan

mengalokasikan ADD minimal 10 persen dari APBD. Dari dua sumber

pendapatan desa diatas (ADD APBN & ADD APBD) , maka diperhitungkan

setiap desa akan menerima dana minimal 1 Milyar di wilayah jawa.

Sedangkan desa diluar jawa yang notabene menerima dana perimbangan lebih
besar dari pusat, tentu akan menerima alokasi lebih besar lagi . Sumber pendanaan
desa yang telah
disebutkantadibelumtermasuk3sumberpendapatandesalainnya,meliputi 10 % dana
bagi hasil retribusi daerah , bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten
serta Pendapatan Asli daerah. Sumber pendanaan desa yang begitu besar
merupakan konsekuensi atas berlakunya Undang-Undang Desa No 6 Tahun
2014.1

Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan desa dan


berwenang atas pengelolaan keuangan desa harus selalu siap memberikan input
berupa laporan pertanggungjawaban atas pendanaan dan keuangan desa . adapun
dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang desa (Peraturan Pelaksana Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014, Tentang Desa) , telah dipertegas bahwa kepala
desa wajib menyampaikan laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja

1
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

3
(APB) Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati / Walikota.2

Namun Undang-undang desa tidak menyinggung sedikit pun tentang pemeriksaan

penyelenggara pemerintahan desa (termasuk pemeriksaan laporan keuangan APB

Desa) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) . Berdasarkan Undang-undang

Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara , Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab Keuangan

Negara , serta Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dana desa

merupakan bagian keuangan Negara, maka penggunaannya harus di audit

olehBPK. Sebab seluruh penggunaan anggaran dana yang berasal dari APBN dan

APBD wajib di audit BPK.

Selama ini , penggunaan anggaran dana desa belum pernah di audit oleh BPK,

karena tidak secara langsung penggunaannya dari APBN.Adanya pemeriksaan

oleh BPK dan kemungkinan terjerat oleh kasus hukum , akan membuat para

kepala desa tidak mengajukan anggaran dana desa karena takut akan menjadi

tersangka kasus tindak pidana korupsi karena kesalahan dalam membuat laporan.

Kemungkinan lainnya, para kepala desa akan meminta Pemerintah supaya audit

BPK ditiadakan. Namun, dengan meniadakan audit BPK akan memperbesar

peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran desa bahkan rentan terjadi korupsi di

pemerintahan desa khususnya para kepala desa. Hal ini tentunya akan membuat

serba salah dalam penegakan hukum pada penggunaan anggaran desa. Terkait

urusan dana desa yang masih terus menjadi topik hangat berbagai kalangan,

2
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

4
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah persoalan dalm

pengelolaan danadesa.

Persoalan-persoalan itu harus dipahami sebaik-baiknya karena menyimpan potensi


penyimpangan . Temuan itu diperoleh setelah KPK melakukan kajian terhadap
Undang-Undang Desa dan disetujui anggaran sejumlah Rp 20,7 Triliun dalam
APBN – Perubahan tahun 2015 . KPK menemukan 14 temuan dalam empat hal,
yaitu regulasi kelembagaan,tata laksana, pengawasan dan sumber daya manusia.3

Peneliti ICW menerangkan dalam periode tahun 2020 , tercatat 44 kasus korupsi

terjadi di desa ; 56 orang dinyatakan tersangka dan diperkirakan merugika Negara

mencapai 16,6 miliar rupiah.Menurut ICW, dari jumlah tersangka itu paling

banyak ditemukan yakni Kepala desa paling banyak sebagai pelaku tindak pidana

korupsi .

Tabel .1
Data ICW : Dominasi Kasus Korupsi yg terjadi di Desa (Periode : 2020)

No Tersangka Jumlah Tersangka / Org


1 Kepala Desa 47
2 Aparatur Desa 16
3 Masyarakat 11
4 Anggota Organisasi/kelompok 7
5 Ketua/Anggota Partai 2

Setelah melakukan analisa terhadap kasus-kasus tersebut, ICW menemukan tiga

bentuk terbanyak korupsi di desa. Penggelapan dana, penyalahgunaan anggaran

dan penyalahgunaan wewenang.

3
Laporan KPK Tahun 2017 mengenai kajian UU Desa Tahun 2014 atas Pengelolaan Dana
Desa Tahun 2015

5
Paling banyak ditemukan adalah penggelapan dana karena para aparat desa tergiur

melihat dana sebesar itu dan kurang tahu atau bahkan tidak tahu untuk berbuat apa

terhadap anggaran yang mereka ajukan dan yang mereka terima.4

Terkait dengan data diatas , telah ditemukan suatu kasus tindak pidana korupsi

terhadap penggunaan dana desa pada salah satu desa di Kabupaten Pesisir Barat ,

yakni Desa Bambang, Kecamatan Lemong Tuan yang telah diputus berdasarkan

Putusan Nomor 26/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk, mengenai kasus tindak pidana

korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Des) 2020 tertanggal 05

Nopember 2020 s.d 24 November 2020 oleh penuntut umum sebesar Rp.

296.619.600,- (dua ratus Sembilan puluh enam juta enam ratus Sembilan belas

ribu enam ratus rupiah) yang dilakukan oleh terdakwa Sdr Ali Toha Selaku

Peratin Desa Bambang Kecamatan Lemong Kabupaten Pesisir Barat, oleh karena

itu penulis merasa sangat tertarik untuk mengangkat kasus ini dengan

mendeskripsikan beberapa inti pembahasan mengenai pengaturan tindak pidana

korupsi pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya

melakukan analisis penerapan hukum pidana materil dan formil pada putusan

kasus Tindak pidana korupsi penggunaan dana desa (Putusan :26/Pid.Sus-

TPK/2020/PN.Tjk) dan mensinkronkan penerapan Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi dengan Peraturan Perundang-Undangan Terkait penelitian tesis

dan selanjutnya membahas mengenaiHambatan-hambatan yang ada dalam

penegakan hokum pada kasus tindak pidanan korupsi. dalam penggunaan

4
Laporan ICW atas dugaan korupsi dana desa rentang tahun 2010-2015.

6
anggaran dana desa dengan menguraikan beberapa hambatanan dari sisi

Perundang- Undangan, Aparatur Penegak hukum dan dari sisi Budaya Hukum

yang kesemuanya terangkum, dalam analisis Penyalahgunaan Dana Desa pada

Penelitian Tesis yang berjudul “Analisis Penyalahgunaan DanaDesa Yang

Dilakukan Oleh Aparat Desa “ dengan studi kasus pada Putusan Nomor

26/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan Uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi

fokus pengkajian dalam tesis ini adalah :

1. Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Menurut Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?

2. Apakah faktor penyebab penyalahgunaan dana desa?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Agar Penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan mendalam maka

penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat perlu dibatasi

variabelnya, Oleh sebab itu, penulis membatasi hanya berkaitan dengan

Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Menurut Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan

apakah yang menjadi faktor penyebab penyalahgunaan dana desa.

7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. TujuanPenelitian

Pada prinsipnya yang menjadi tujuan dari penelitian dalam suatu tulisan ilmiah

adalah bertitik tolak pada permasalahan yang ada dan telah dirumuskan , hal ini

tiada lain adalah untuk menjawab segala permasalahn tersebut, karena itu yang

menjadi tujuan dari penulisan adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi pada

Undang-undang No 31 Tahun 1999. Juncto Undang-Undang Nomor 20

Tahun2001.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab penyalahgunaan dana desa

2. KegunaanPenelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian dapat dilihat secara Teoritis dan secara

Praktis yaitu :

a. Secara teoritis, diharapkan agar penelitian ini sebagai penambah pengetahuan

dalam khasanah perkembangan ilmu hukum khususnya dalam kaitannya

dengan perkembangan hukum pidana di era milenial saatini.

b. Secara praktis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan pemikiran dalam pemecahan segala masalah- masalah pidana yang

terjadi dan yang dihadapi para pihak yang berkepentingan, baik itu dari

kalangan akademisi maupun kalangan praktisi serta sebagai bahan kajian

lebih lanjut untuk memecahkan masalah-masalah terkait bagi rekan-rekan

penyidik Polri dan Mahasiswa Fakultas Hukum dan kalangan lain yang

8
berminat.

D. Kerangka Pemikiran

Ketentuan pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN atau Dana Desa, bersumber

dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara

merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung

ke desa ditentukan 10 persen dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top).

Selain itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini juga makin menguatkan

alokasi dana Desa (ADD) yang berasal dari dana perimbangan Kabupaten/Kota.

Jika sebelumnya hampir tidak ada kabupaten/kota yang memberikan ADD

minimal 10 persen dari dana perimbangan tanpa adanya sanksi, maka pasal 72 UU

Desa memberikan hak pada pemerintah untuk memberikan sanksi dengan

melakukan penundaan dan bahkan pemotongan dana perimbangan sebesar alokasi

dana yang tidak diberikan ke Desa.

Pada kenyatannya dalam praktik pengelolaan keuangan desa berdasarkan

peraturan yang masih berlaku sekarang ini, masih ditemukan adanya ketimpangan

antara aturan dengan praktiknya. Diperhitungkan setiap desa akan menerima dana

minimal 1 Milyar di wilayah Jawa. Sedangkan desa di luar jawa yang notabene

menerima dana perimbangan lebih besar dari pusat, tentu akan menerima alokasi

lebih besar lagi. Sumber pendanaan desa yang begitu besar merupakan

konsekuensi atas berlakunya UU Desa tahun 2014. Kepala desa sebagai

pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa harus siap memberikan laporan

dan

9
pertanggungjawaban.

Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 15

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dana desa merupakan

bagian keuangan negara, maka penggunanya harus diaudit oleh BPK. Sebab

seluruh penggunaan anggaran dana yang berasal dari APBN dan APBD wajib

diaudit oleh BPK, karena tidak secara langsung penggunaannya dari APBN.

Adanya pemeriksaan oleh BPK dan kemungkinan terjerat oleh kasus hukum, akan

membuat para kepala desa tidak mengajukan anggaran dana desa karena takut

menjadi tersangka korupsi karena kesalahan membuat laporan.

Terkait utusan dana desa yang masih terus menjadi topik hangat berbagai

kalangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah persoalan

dalam pengelolaan dana desa. Persoalan itu harus dipahami sebaik-baiknya karena

menyimpan potensi penyimpangan. Temuan itu diperoleh setelah KPK melakukan

kajian UU Desa dan disetujuinya anggaran sejumlah Rp. 20.7 triliun dalam

APBN-Perubahan tahun 2015. KPK menemukan 14 temuan dalam empat hal

yaitu regulasi, kelembagaan, tata laksana, pengawasan dan sumber daya manusia.

Selain itu juga harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019

tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bentuk terbanyak korupsi di desa adalah penggelapan dana, penyalahgunaan

anggaran, dan penyalahgunaan wewenang. Paling sering adalah penggelapan dana

1
karena para aparat desa melihat dana sebesar itu tergiur, penyalahgunaan

wewenang dalam pengelolaan keuangan desa sebagaimana tergamber dalam kasus

di atas, tentu merupakan permasalahan yang serius karena menyangkut nasib dan

kesejahteraan masyarakat di sesa setempat. Secara umum, penyalahgunaan dalam

pengelolaan keuangan desa jelas akan menghambat merujuk pada Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dimana ada

ancaman pidana. Selain itu, perbuatan tersebut dapat juga dikategorikan sebagai

tindak pidana korupsi.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan

melalui rumusan delik (tindak pidana) dalam undang-undang tidak dibenarkan,

hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu

pemidanaan perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu

harus mempunyai kesalahan atau bersalah. Kesalahan terdiri atas kesengajaan dan

kelalaian, sebagai syarat untuk menentukan dapat dipidananya seseorang pembuat

delik. Kesalahan tersebut terkandung di dalamnya sifat melawan hukum yang

dalam hukum pidana disebut wederrechtelijkheid.

Kesengajaan dalam pandangan ilmu hukum pidana adalah merupakan bagian dari

kesalahan. Kesengajaan pembuat atau pelaku tindak pidana mempunyai hubungan

kejiwaan (niat) yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding

dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana terhadap suatu tindak

pidana jauh lebih berat, apabila perbuatan melawan hukum yang dilakukan dari

1
kesengajaan dibanding dengan kealpaan. Teradapat beberapa perbuatan tertentu,

jika dilakukan dengan kealpaan, bukan merupakan tindakan pidana, namun jika

dilakukan dengan sengaja, maka perbuatan itu merupakan suatu kejahatan , yang

antara lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya, bukan karena kejahatan,

diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun

atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang

diperbuatan harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk

perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek,

gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran. Dalam pengertian ini

disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai: “menghendaki dan mengetahui”

(willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan

sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau

akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan

mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan

sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari

tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.

Berdasarkan dari pemaparan diatas, maka penulis akan melakukan analisis

terhadap permasalahan yang ada di dalam tesis yaitu tentang Penyalahgunaan

Dana Desa oleh Aparat Desa dengan menggunakan teori kesengajaan karena

sengaja dan lalai merupakan bagian dari asas kesalahan dalam hukum pidana yang

menunjukkan hubungan batin antara niat dan perbuatan pelaku. Karena unsur

1
kesalahan baik sengaja maupun tidak disengaja (lalai) seseorang dapat dipidana

bukan hanya karena perbuatannya bersifat melawan hukum.

E. MetodePenelitian.

Metode merupakan suatu proses yang logis dalam upaya untuk mencapai tiitk

akhir dalam penelitian, penemuan, pengetahuan serta pemahaman terkait dengan

tujuan utama.

1. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, juga

diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 5 Pendeketan penelitian ini

menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.SumberData

a. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan dengan melihat masalah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai

dengan penelitian yuridis normatif.Penelitian yuridis normatif ini dilakukan studi

kepustakaan (Library Research) terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yaitu suatu

pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari azas-azas hukum dalam

5
Zainuddin Ali. 2011.Metode Penelitian Hukum.Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 14

1
teori/pendapat sarjana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Pendekatan Empiris

Pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat dan mengamati secara langsung

terhadap obyek penelitian, dengan demikian pendeketan empiris dimaksudkan

sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata dan

sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu,

pendekatan penelitian yang empiris harus dilakukan di lapangan. Penelitian di

lapangan harus mengadakan kunjungan terhadap masyarakat serta berkomunikasi

dengan anggota masyarakat.6

2. Sumber dan Jenis Data

a. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ini, diperlukan data yang bersumber dari data

sekunder berupa yang sifatnya mengikat, literatur-literatur, kamus hukum,

surat kabar, media cetak dan media elektronik dan dari hasil penelitian di

lapangan secara langsung.

b. Jenis Data

Jenis data bersumber dari data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri

dari :

1) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan


Hilman Hadikusuma. 1995. Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum.Mandar
6

Maju, Bandung. hlm. 61.

1
(Library Research) seperti buku-buku, literatur dan karya ilmiah yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian, data sekunder terdiri dari 3

(tiga) bahan hukum, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat.

Dalam penulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Hasil

Amandemen.

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

(4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi dan Nepostime.

(5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

(6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

(7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara.

(8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

1
Negara

(9) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia.

(10) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

KejaksaanRepublik Indonesia.

(11) Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 tentang

Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

(12) Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2010 Tentang

Perubahan Atas PP RI Nomor 27 Tahun 1983 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

(13) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No.31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak PidanaKorupsi

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai data hukum primer seperti buku-buku, jurnal,

literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian.

1
c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap data hukum primer dan data

hukum sekunder, antara lain Kamus Bahasa Indonesia, Kamus

Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Majalah, Surat Kabar, Media Cetak

dan Media Elektronik.

1) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan

secara langsung pada obyek penelitian (Field Research) yang dilakukan

dengan cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai

Pengelolaan Dana Desa.

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

Guna melengkapi pengujian hasil penelitian inidigunakan prosedur pengumpulan

data yang terdiri dari :

1) Data Kepustakaan (Library Research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan

(Library Research). Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah

pemikiran dan tujuan penelitian dilakukan dengan cara membaca, mengutip

dan menelaah literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta

bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan

1
denganpermasalahan yang akan dibahas.

2) Data Lapangan (Field Research)

Pengumpulan data Lapangan (Field Research) dilakukan dengan 2 (dua) cara

yaitu :

a) Pengamatan (Observation)

Pengamatan (Observation) yaitu pengumpulan data secara langsung

terhadap objek penelitian untuk memperoleh data yang valid dengan

melakukan pengamatan langsung sesuai dengan permasalahan di

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1 A.

b) Wawancara (Interview)

Wawancara (Interview) yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan

wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu daftar

pertanyaan yang bersifat terbuka berkaitan dengan permasalahan.

Wawancara dilakukan terhadap narasumber yaitu Hakim Tipikor

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1 A.

b. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul selanjutnya adalah melakukan pengolahan data yaitu

kegiatan merapihkan dan menganalisis data tersebut, kegiatan ini meliputi

kegiatan data seleksi dengan cara memeriksa data yang diperoleh mengenai

kelengkapannya, klasifikasi data, mengelompokan data secara sistematis.

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1
1) Klasifikasi data, yaitu dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan

permasalahan yang akan dibahas.

2) Inventarisasi data, yaitu untuk mengetahui kelengkapan data, baik atau

tidaknya data dan kepastian data dengan pokok bahasan yang akan dibahas.

3) Sistematisasi data yaitu data yang telah diklasifikasikan kemudian

ditempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul secara keseluruhan baik yang diperoleh dari hasil studi

pustaka dan studi lapangan, kemudian dianalisis secara yuridis kualitatifyaitu

dengan mendeskripsikan permasalahan berdasarkan penelitian dan pembahasan

dalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang disusun secara sistematis.

Setelah dilakukan analisis data maka kesimpulan secara deduktif suatu cara

berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat umum kemudian ditarik suatu

kesimpulan secara khusus sebagai jawaban permasalahan berdasarkan hasil

penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini disesuaikan dengan format yang telah ditentukan

oleh Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Bandar Lampung,

dengan urutan sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan, Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, permasalahan

dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka

1
konsepsional dan sistematika penulisan.

Bab II. Konsepsi Analisis Penyalahgunaan Dana Desa Yang Dilakukan Oleh

Aparat Desa, Bab ini berisi tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang

pembuktian pembahasan permasalahan umumnya yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dibahas terdiri dari Jenis Tindak Pidana dan Alokasi

Dana Desa.

Bab III. Sejarah, Visi-Misi, Arti Lambang serta Tugas dan Fungsi

Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas 1A, Bab ini berisi tentang Gambaran

Umum lokasi penelitian yang akan diteliti oleh penulis.

Bab IV. Analisis Penyalahgunaan Dana Desa yang Dilakukan Oleh Aparat

Desa, Bab ini berisi tentang hasil jawaban permasalahan yang terdiri

dari.Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Menurut Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001, Bagaimana

Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Atas Penggunaan Dana Desa pada

Putusan Nomor 26/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Tjk? dan Apa Hambatan Penegakan

Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Hal Penggunaan DanaDesa?

Bab V. Penutup, Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang

merupakan jawaban terhadap permasalahan berdasarkan penelitian serta berisikan

saran-saran penulis mengenai upaya yang harus ditingkatkan dari pengembangan

teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan.

2
BAB II
PENYALAHGUNAAN DANA DESA YANG DILAKUKAN OLEH
APARAT DESA

A. Kewenangan Pemerintah Desa Dalam Mengelola Keuangan Desa

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun2014

Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh

dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau delegasi. Atribusi adalah wewenang

yang melekat pada suatu jabatan.7Philipus menembahkan bahwa “berbicara

tentang delegasi dalam hal ada pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang

ada.Apabila kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan yang

berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum.8Kewenangan sebagai hak

untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan

(regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi)

atau suatu urusan tertentu.9

Menurut Pasal 18 UU Desa, kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang

penyelenggaraan pemerintahan desa, elaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa

7
Philipus M. Hadjon. 2001. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm 130.
8
Ibid.,132
9
Agus Salim Andi. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum.Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm. 93.

2
masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat desa. Selanjutnya Pasal 19 UU Desa

mengatur kewenangan desa yang meliputi kewenangan berdasarkan hak asal-

usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh

pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota;

dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah

provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.10

Berdasarkan kewenangan tersebut, desa mempunyai hak untuk melaksanakan

pembangunan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, termasuk sektor

kehutanan di desa. Hak desa atas sumber daya alam, juga diatur dan dipertegas

pada Pasal 371 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

yaitu bahwa desa mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan mengenai desa. Asas-asas pengaturan desa sebagaimana

dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 huruf a dan b UU Desa memiliki dua asas

yang sangat penting yaitu: rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal-usul dan

subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan secara

lokal untuk kepentingan masyarakat desa.

Dikatakan penting karena kedua asas tersebut selain menjadi dasar bagi asas-asas

yang lain, kedua asas tersebut juga ditegaskan kembali sebagai kewenangan desa,

sebagaimana ketentuan Pasal 19 UU Desa. Oleh karena itu maka kedua asas

tersebut dapat dikatakan sebagai dua asas dalam subtansi UU Desa, dan penting

untuk dipahami secara khusus. Asas rekognisi ini berkaitan erat dengan definisi
10
Agus Surono. 2017. Jurnal Media Pembinaan Hukum - Volume 6 Nomor 3, Peranan
Hukum Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Skala Desa Oleh Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes) dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa, hlm.461.

2
tentang desa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Desa, yaitu bahwa

desa” Mengatur dan mengurus berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul,

dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Rekognisi merupakan asas yang relevan

dalam konteks desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang eksis dan memiliki

hak asal-usul dimana masing-masing desa memiliki keragaman sesuai dengan

konteksnya.

Pemberian kewenangan terhadap desa yang telah diatur jelas dalam UU Desa

bukan serta merta memberikan kewenangan yang dapat dimaknai sebagai

pelimpahan hak kekuasaan, namun merupakan sebuah tanggungjawab yang juga

harus diimplementasikan dalam peningkatan kesejahteraan.Kewenangan

merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh sebuah Desa untuk

dapat mengatur rumah tangganya sendiri.Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam

membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang

dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan subjek yang

menjalankan dan yang menerima kekuasaan.Kewenangan harus memperhatikan

apakah kewenangan itu bisa diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak.

Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi:

kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan Desa, kewenangan

dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan

kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat Desa

yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan

2
yang berdasarkan adat istiadat desa.11

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah harus memiliki legitimasi

wewenang yang diberikan oleh undang-undang.Menurut H.D. Stout sebagaimana

dikutip Ridwan HR, bahwa wewenang adalah pengertian yang berasal dari

hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan

aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang

pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.

Penyelenggaraan pemerintahan desa tidak terpisahkan dari penyelenggaraan

otonomi daerah.Pemerintahan desa merupakan unit terdepan (ujung tombak)

dalam pelayanan kepada masyarakat serta tombak strategis untuk keberhasilan

semua program.Karena itu, upaya untuk memperkuat desa (Pemerintah Desa dan

Lembaga Kemasyarakatan) merupakan langkah mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah.

Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa, (selanjutnya disebut

PKPKD) adalah kepala Desa atau sebutan nama lain yang karena jabatannya

mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan

Desa. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa, Pasal 3 Permendagri

No.20 Tahun 2018 sebagai berikut:

a) Kepala Desa adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa

(PKPKD) dan mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan milik

Desa yangdipisahkan.

I Putu Krisnanda Maha Satria. 2016. Kewenangan Desa Berkaitan Dengan Undang –
11

Undang No. 6 Tahun 2014, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, hlm 19

2
b) Kepala Desa selaku PKPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mempunyaikewenangan:

1) Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa;

2) Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang milikDesa;

3) Melaksanakan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APB

Desa;

4) MenetapkanPPKD;

5) Menyetujui DPA, DPPA, danDPAL;

6) Menyetujui RAK Desa;dan

7) MenyetujuiSPP.

c) Dalam melaksanakan kekuasaan pengelolaan keuangan Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya

kepada perangkat Desa selakuPPKD.

b) Pelimpahan sebagian kekuasaan PKPKD kepada PPKD ditetapkan dengan

keputusan Kepala Desa.

Pelaksana pengelolaan keuangan desa (PPKD) adalah perangkat desa yang

melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala Desa

yang menguasakan sebagian kekuasaan PKPKD.PPKD terdiri atas Sekretaris

Desa, Kaur dan Kasi, dan Kaur Keuangan. Pada dasarnya setiap kegiatan yang

pendanaannya dibiayai oleh pemerintah selalu memiliki dasar hukum, begitu pula

terhadap dana desa. Undang-undang No 06 Tahun 2014 mengatur tentang desa

yang mana diperjelas kembali melalui Peraturan Pemerintah No 60 2014 tentang

dana desa yang bersumber dari APBN .Namun pada tahun 2015 peratura

2
npemerintah tersebut diubah menurut Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2015

Tentang Perubahan Atas PP No 60 tahun 2014. Disamping itu dana desa memiliki

peraturan yang lain yaitu:

1. PMK Nomor 257/PMK.07/2015 Tentang Tata Cara Penundaan Dan/Atau

Pemotongan Dana Perimbangan Terhadap Daerah Yang Tidak Memenuhi

Add.

2. PMK Nomor 49/PMK.07.2016 Tentang Tata Cara Pengalokasian,

Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan Dan EvaluasiDesa.

3. Permendes No. 21/2015 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun

2016.

4. Pemendagri No. 113/2014 Tentang Pengelolaan KeuanganDesa.

5. Permendes No. 08/2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2015

Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun2016.

UU Desa pada Pasal 18 menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi

kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan

pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan

masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat

Desa. Menurut UU Desa pada Pasal 19 menyatakan bahwa kewenangan Desa

meliputi :

1. Kewenangan berdasarkan hak asalusul.

2. Kewenangan lokal berskaladesa

3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

2
atau Pemerintah DaerahKabupaten/Kota.

4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan

peraturanperundang-undangan.

1. Pengertian Pengelolaan Dana Desa

Pengelolaan diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang

dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam

mencapai tujuan tertentu.Pengelolaan ADD terintegrasi dengan APBDesa yang

merupakan bagian pengelolaan keuangan desa.Berdasarkan Peraturan Menteri

Dalam Negeri No 113 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan

desa.Didalamnya disebutkan tahapan-tahapan pengelolaan yaitu perencanaan,

pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban.

Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban

keuangan Desa.12Pengelolaan keuangan desa merupakan keseluruhan kegiatan

yang meliputi perencanaan, pengangaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggung

jawaban, dan pengawasan keuangandesa.13 Pasal 75 ayat (1) UU Desa, Pasal 93

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 dikatakan bahwa

Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengeloaan Keuangan Desa. Berarti

12
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan
Desa, Pasal 1 angka 6.
13
Muhammad Arif. 2007. Tata Cara Pengelolaan Keuangan Desa Dan Pengelolaan
Kekayaan Desa Pekanbaru. ReD Post Press, Pekanbaru, hlm. 32.

2
disetiap pergantian Kepala Desa setelah masa jabatannya habis dan terpilihnya

Kepala Desa yang lain atau baru, maka Kepala Desa memiliki hak untuk

mengganti struktur pemerintahannya untuk menunjang pekerjaannya dalam

pemerintahan Desa sebagai Kepala Desa. Ini sesuai dengan apa yang diatur di

dalam UU Desa Pasal 26 ayat (3). Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 113

Tahun 2014 tentang Pengeloaan Keuangan Desa dijelaskan bahwa Kepala Desa

adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili

Pemerintahan Desa dalam kepemilikan kekayaan milik Desa yangdipisahkan.

Menurut UU Desa Pasal 71 ayat (1), keuangan desa adalah semua hak dan

kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang

dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa yang

menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa.

Pendapatan desa tersebut bersumber dari berbagai dana seperti pendapatan asli

desa, lokasi anggaran dan pendapatan dan belanja pemerintah pusat, hasil pajak

daerah dan retribusi, bantuan keuangan daerah kabupaten dan provinsi, dan dana

lainnya.

Pemerintah desa wajib mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel,

partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin.Transparan artinya dikelola

secara terbuka, akuntabel artinya dipertanggungjawabkan secara legal, dan

partisinya melibatkan masyarakat dalam penyusunannya. Keuangan desa harus

dibukukan dalam sistem pembukuan yang benar sesuai dengan kaidah sistem

2
akuntansi keuangan pemerintahan.14

2. Mekanisme Pengelolaan DanaDesa

Mekanisme Pengelolaan Keuangan Desa sesuai Permendagri Nomor 113 Tahun

2014, yaitu uang desa harus masuk Rekening Kas Desa (RKD) dulu sebelum

dibelanjakan, yang meliputi PAD. Dana Transfer (DD, ADD, BHP, BK Provinsi,

BK Kabupaten/Kota, Bantuan Program Sektoral). Bantuan dari pihak

ketiga.Selanjutnya Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dalam tanggung jawab

Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang membidangi

mengajukan pencairan anggaran kegiatan dengan melampirkan seluruh dokumen

admintrasi yang telah ditentukan kepada Sekretaris Desa sebagai Koordinator

PTPKD untuk diverifikasi.Dokumen administrasi pengajuan pencairan anggaran

kegiatan setelah lolos verifikasi, oleh Sekretaris Desa diajukan kepada Kepala

Desa untuk mendapatkan persetujuan pencairan dengan ditandai pembubuan

tanda tangan dan stempel.15

Perintah Sekretaris Desa sebagai Koordinator PTPKD, Bendahara Desa

mencairkan anggaran sebagaimana yang tertuang dalam dokumen administrasi

anggaran kegiatan yang akan dilaksanakan. Dengan sepengetahuan Sekretaris

Desa sebagai Koordinator PTPKD, Bendahara Desa menyerahkan anggaran

sebagaimana yang tertuang dalam dokumen administrasi anggaran kegiatan yang

akan dilaksanakan kepada TPK dan atau PTPKD yang membidangi. TPK dalam

14
Hanif Nurcholis. 2012. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Erlangga,
Jakarta, hlm. 82.
15
Ibid

2
tanggung jawab PTPKD yang membidangi melaksanakan kegiatan sesuai dengan

RAB (Rencana Anggaran Belanja) yang ada dengan prinsip tertib administrasi,

transparan, akuntabel, efisiensi dan efektif.

1. TPK dalam tanggung jawab PTPKD yang membidangi melaporkan kegiatan

yang telah dilaksanakan dengan menyampaikan seluruh dokumen

administrasi yang ditentukan kepada Sektretaris Desa untuk diferifikasi. Dan

menyampaikan kelebihan anggaran kepada Bendahara Desa dengan

sepengetahuan Sekretaris Desa sebagai Koordinator PTPKD. Mekanisme

perencanaan menurut Permendagri No. 113 Tahun 2014 sebagai berikut:

a. Perencanaan. Perencanaan merupakan sebuah proses yang dimulai dari


penetapan tujuan organisasi, penentuan strategi untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut secara menyeluruh, perumusan sistem perencanaan
yang menyeluruh untuk mengintegrasikan dan mengoordinasikan
seluruh pekerjaan organisasi, hingga pencapaian tujuan organisasi. 16

b. Pelaksanaan. Pelaksanaan merupakan usaha-usaha yang dijalankan

untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah

dirumuskan dan ditetapkan dengan melengkapi segala.

c. Penatausahaan. Penatausahaan dalam sistem pengelolaan keuangan

desa dilakukan oleh Bendahara Desa. Berdasarkan Permendagri

Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa,

penatausahaan pengelolaan keuangan desa Bendahara Desa memiliki

kewajiban untuk melakukan pencatatan penerimaan dan pengeluaran

setiap akhir bulan secara tertib dan mempertanggungjawabkan uang

melalui laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Desa. Bendahara

desa sebagai

16
Indra Bastian. 2015. Akuntansi untuk Kecamatan dan Desa. Erlangga, Jakarta, hlm 91.

3
salah satu perangkat desa bertanggungjawab kepada kepala desa dalam

hal laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada kepala

desa setiap bulannya dan paling lambat tanggal 10 bulanberikutnya.

d. Pelaporan danPertanggungjawaban

1) Pelaporan, Menurut Permendagri No 113 Tahun 2014 dalam

melaksanakan tugas, kewenangan, hak dan kewajiban, kepala desa

wajib:

(a) Menyampaikan laporan realisasi APBDesa kepada

Bupati/Walikota berupa: Laporan semester pertama berupa

laporan realisasi APBDesa, disampaikan paling lambat pada

akhir bulan Juli tahun berjalan.Laporan semester akhir tahun,

disampaikan paling lambat pada akhir bulan januari

tahunberikutnya.

(b) Menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

(LPPD) setiap akhir tahun anggaran kepadaBupati/Walikota.

(c) Menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

pada akhir masa jabatan kepadaBupati/Walikota.

(d) Menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintah

desa secara tertulis kepada BPD setiap akhir tahunanggaran.

2) Pertanggungjawaban

Perrmendagri No 113 Tahun 2014 pertanggungjawaban terdiri dari:

(a) Kepala desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban

realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota

3
melalui camat setiap akhir tahun anggaran. Laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan realisasi pelaksanaan

APBDesa terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan.

Laporan ini ditetapkan peraturan desa dan dilampiri: Format

Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa

Tahun anggaran berkenaan. Format Laporan Kekayaan Milik

Desa per 31 Desember Tahun Anggaran berkenaan. Format

Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang

masuk keDesa.

(b) Laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa

sebagaimana dimaksud diatas, disampaiakan paling lambat 1

(satu) bulan setelah akhir tahun anggaranberkenaan.

3. Aturan Pengelolaan DanaDesa

Eksistensi desa pelaksanaan pengelolaan dana desa merupakan bagian dari

otonomi desa dalam hal diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara

mandiri baik pengelolaan dana desa termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi.

Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan sarana

infrastruktur pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat

selain itu partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan keuangan desa sangat

diperlukan.

Berkaitan dengan kewenangan pengelolaan dana Desa di atur dalam UU

DesaPasal 71 ayat (1) yakni semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai

3
dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pasal 71 ayat (2) Hak dan

kewajiban menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan

Keuangan Desa.17

Kebijakan yang berupa undang-undang maupun aturan lain tentu memiliki dasar

untuk dijadikan sebagai acuan dalam pembuatannya termasuk Pengakuan

Pemerintah Republik Indonesia terhadap desa. Pemerintah desa tidak disebutkan

secara jelas dalam UUD 1945. Namun ditafsirkan dalam Pasal 18B Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut :

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur denganundang-undang.

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

3. perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalamundang-undang.18

Sebagaimana suatu pemerintahan, desa mempunyai tugas dan fungsi untuk

menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Keuangan desa, dalam UU Desa Pasal 1 angka (10) semua hak dan kewajiban

Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang

17
Sahrul Haidin. 2017. Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan - Volume 5 Nomor 1,
Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Desa Setelah Berlakunya Undang- Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa (Studi Di Kabupaten Dompu). hlm. 144.
18
Ibid., 149.

3
yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pasal 71 ayat

(2) menyebutkan bahwa Hak dan kewajiban menimbulkan pendapatan, belanja,

pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.

Keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa.Pasal 71 ayat (1), dinyatakan

bahwa “keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai

dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai

keuangan desa dan hal lain yang terkait dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam

berbagai peraturan, di antaranya:

1. PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014

tentangDesa;

2. PP No. 60 Tahun 2014 sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 22 Tahun

2015 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Dana Desa

yang Bersumber dariAPBN;

3. PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PPNo. 43 Tahun2014;

4. Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa;

5. Permenkeu No.241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan DanaDesa

6. Permenkeu No. 250/PMK.07/-2014 tentang Pengalokasian Transfer ke

Daerah dan DanaDesa;

7. Permenkeu No.93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian,

Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa sebagaimana

3
telah diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/ PMK 0.7/2016

tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan

Evaluasi Dana Desa,dan

8. Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana

Desa dalam pengelolaan keuangan desa 2017 sebagaimana telah dirubah

dengan Permendes PDTT Nomor. 22 Tahun 2016 tentang Prioritas

Penggunaan Dana Desa 2017 dimana dalam Permendesa tersebut disebutkan

secara rinci tentang program/kegiatan yang dapat didanai oleh Alokasi Dana

Desa yang bersumber dari APBN dengan 2 pengelompokan besar yaitu

dibidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan MasyarakatDesa.19

Pengelolaan keuangan desa dimulai dari perencanaan.Pertama kali diadakan

musyawarah desa yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) untuk membahas hal-hal yang sifatnya strategis (Pasal 54 UU

Desa).Kemudian, hasil musyawarah desa berupa perencanaan pembangunan desa

ditindak lanjuti dengan musyawarah pembangunan perencanaan desa

(musrenbangdes) yang diselenggarakan kepala desa dan

perangkatnya.Musrenbangdes inilah yang membahas mengenai Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa (selanjutnya disebut RPJMDes) tiap enam

tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) serta APBDes tiap

setahun sekali.

19
Siti Khoiriah. 2017. Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 Nomor 1, Analisis
Sistem Pengelolaan Dana Desa Berdasarkan Regulasi Keuangan Desa, hlm. 26.

3
Keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa.Pasal 71 ayat (1), dinyatakan

bahwa “keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai

dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.”

Pengaturan pengelolaan dana desa antara lain PP No. 43 tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP No. 60 tahun

2014 sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 22 Tahun 2015 dan PP No. 8

tahun 2016 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. PP No. 47 Tahun

2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014; 4.Permendagri No.113

Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.Permenkeu

No.241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke

Daerah dan Dana Desa; Permenkeu No. 250/PMK.07/-2014 tentang

Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Permenkeu

No.93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan,

Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa sebagaimana telah diganti dengan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/ PMK 0.7/2016 tentang Tata Cara

Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa,

dan; Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana

Desa dalam pengelolaan keuangan desa 2017 sebagaimana telah dirubah dengan

Permendes Pembangunan Jangka Menengah Desa (selanjutnya disebut

RPJMDes) tiap enam tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah Desa

(RKPDes) serta APBDes tiap setahun sekali.

3
Keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa.Pasal 71 ayat (1), dinyatakan

bahwa “keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai

dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.”

Pengaturan pengelolaan dana desa antara lain PP No. 43 tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP No. 60 tahun

2014 sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 22 Tahun 2015 dan PP No. 8

tahun 2016 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. PP No. 47 Tahun

2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014; 4.Permendagri No.113

Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.Permenkeu

No.241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke

Daerah dan Dana Desa; Permenkeu No. 250/PMK.07/-2014 tentang

Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Permenkeu

No.93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan,

Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa sebagaimana telah diganti dengan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/ PMK 0.7/2016 tentang Tata Cara

Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa,

dan; Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana

Desa dalam pengelolaan keuangan desa 2017 sebagaimana telah dirubah

denganPermendes.

3
B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam bahasa latin disebut delictum atau delicta, dalam

bahasa inggris dan jerman disebut delict, dalam bahasa prancis disebut delit, yang

diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat dikenai hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. Sementara dalam bahasa

belanda tindak pidana dikenal dengan istilah Strafbaarfeit yang terdiri dari 3

unsur kata.Yaitu, straf, baar, dan feit.Straf diartikan sebagai pidana atau hukum,

baar diartikan sebagai dapat atau boleh, sedangkan feit diartikan sebagai tindak,

peristiwa, dan perbuatan atau sebagian dari suatu kenyataan. Berikut ini beberapa

pengertian strafbaarfeit/Delik yang dikemukakan para ahli :

1) Menurut Pompe menyatakan ; “Secara teoritis strafbaarfeit dapat dirumuskan


sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap ketertiban hukum) yang
dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.”20

2) Moeljatno, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut).”21

3) R.Soesilo, “Tindak pidana sebagai istilah delik atau peristiwa pidana atau

perbuatan yang dapat di hukum yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau

diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka

orang yang melakukan atau mengabaikan akan diancam dengan pidana.”


20
P.A.F. Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung.
hlm. 173
21
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 54.

3
4) Simons “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

atau pun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”22

Dari berbagai istilah tentang Strafbarfeit/Delik yang telah diuraikan diatas, penulis

lebih sepakat untuk memakai istilah tindak pidana dengan pertimbangan bahwa

istilah tindak pidana lebih familiar dibanding istilah lain serta istilah tindak pidana

bukanlah istilah yang awam bagi masayarakat Indonesia karena istilah tersebut

telah digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur dalam tindak pidana merupakan unsur yang harus ada untuk

menentukan bahwa suatu rumusan merupakan tindak pidana.Terdapat dua sudut

pandang mengenai unsur-unsur tindak pidana, yakni sudut pandang teoritis dan

sudut pandang undangundang.Sudut pandang teoritis merupakan sudut pandang

para ahli hukum tentang unsur-unsur tindak pidana.Sedangkan, sudut pandang

undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumusakan

menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan

yang ada.Berikut penjelasan unsurunsur tindak pidana berdasarkan kedua sudut

pandang tersebut.

22
P.A.F. Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung ,
hlm. 185

3
1) Unsur tindak pidana menurut sudut pandang teoritis.

Sudut pandang teoritis sendiri terbagi atas aliran monisme dan aliran dualisme

yang menerangkan mengenai unsure-unsur tindak pidana.

a) Pandangan monisme, Pandangan ini dipelopori oleh Simons, Van Hammel,

Mezger, Van Bemellen, Wirjono Projodikoro. Yang merumuskan unsur-unsur

delik sebagai berikut :

i. Mencocoki rumusan delik.

ii. Bersifat melawan hukum.

iii. Ada kesalahan yang terdiri dari dolus dan culpa dan tidak ada alasan

pemaaf.

iv. Dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian apabila salah satu unsur diatas tidak terpenuhi maka

seseorang tidak dapat dipidana.

b) Pandangan dualisme Pandangan ini dipelopori oleh Pompe, Muljatno,

Roeslan Saleh. Unsur-unsur delik menurut pandangan ini terbagi atas unsure

subjektif dan unsur objektif.

i. Unsur-unsur subjektif (pembuat), yaitu dapat dipertanggungjawabkan

da nada kesalahan.

ii. Unsur-unsur objektif (perbuatan), yaitu mencocoki rumusan delik dan

bersifat melawan hukum.

4
2) Unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang.

Dalam KUHP termuat rumusan-rumusan tentang tindak pidana yang kemudian


dikelompokkan menjadi kejahatan (buku II KUHP), dan pelanggaran (Buku III
KUHP). Dalam rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP dapat diketahui
adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:23
a) Unsur tingkah laku.
b) Unsur melawan hukum.
c) Unsur kesalahan.
d) Unsur akibat konstitutif.
e) Unsur keadaan yang menyertai.
f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di tuntut pidana.
g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.
h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
i) Unsur objek hukum tindak pidana.
j) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana, dan
k) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur tersebut, unsur kesalahan dan unsur melawan hukum merupakan

unsur subjektif suatu tindak pidana.Sedangkan selebihnya merupakan unsure

objektif suatu tindak pidana.Unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur

yang melekat pada diri pelaku tindak pidana.Sedangkan, unsure objektif

merupakan unsur yang melekat pada perbuatan pelaku tindak pidana.

3) Jenis-Jenis Tindak Pidana (Delik).

Setelah menguraikan tindak pidana dari segi pengertian dan unsur-unsur tindak

pidana. Berikut ini akan diuraikan jenis-jenis tindak pidana. Jenis tindak pidana

dapat diobedakan dalam beberapa kategori berikut :

a) Delik kejahatan dan delik pelanggaran, Delik kejahatan (rechtsdelicten)

terdapat pada buku II KUHP yaitu suatu perbuatan dianggap sebagai tindak

pidana karena khalayak umum menilai bahwa perbuatan tersebut harus


23
Adami Chazawi. 2008. Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Depok, hlm.
82.

4
dihukum karena merupakan perbuatan tercela yang merugikan kepentingan

umum dan bertentang dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat utamanya

tata susila. Sedangkan delik pelanggaran diatur dalam buku III KUHP yaitu

suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana ketika perbuatan tersebut

diatur dalam undang-undang.

b) Delik formil dan delik materiil, Delik formil adalah delik yang dianggap

telah selesai tanpa menekankan pada akibat yang ditimbulkan. Contoh :

Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Sedangkan, delik materiil adalah delik

yang dianggap telah selesai ketika timbulnya akibat dari tindak pidana

tersebut. Apabila akibat tidak terjadi maka perbuatan tersebut hanya berupa

percobaan tindak pidana saja. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang

pembunuhan.

c) Delik commisionis dan delik ommisionis, Delik commisionis adalah delik

yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang. Contoh :

Pasal 263, 285, 362 KUHP. Sedangkan, delik ommissionis adalah delik

yang berupa pelanggaran terhadap perintah undang-undang. Contoh : Pasal

522 KUHP tentang tidak hadir sebagai saksi, Pasal 531 KUHP tentang tidak

menolong orang yang perlu di tolong.

d) Delik dolus dan delik culpa, Delik dolus adalah delik yang didalamnya

terdapa unsur-unsur kesengajaan. Contoh Pasal 263 dan 338 KUHP.

Sedangkan delik culpa adalah delik yang di dalamnya terdapat unsur-unsur

kelalaian. Contoh : Pasal 201 dan 203 KUHP.

4
e) Delik biasa dan delik aduan, Delik biasa adalah delik yang dapat dituntut

oleh Negara melalui aparat penegak hukumnya tanpa harus ada pengaduan

dari pihak korban. Sedangkan delik aduan adalah delik yang baru dapat

dituntut ketika ada pengaduan dari pihak korban atau pihak yang merasa

dirugikan. Contoh : pencurian oleh keluarga, perzinahan.

C. Tindak Pidana Korupsi.

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa latin corruptio yang

diartikan sebagai kerusakan atau kebobrokan. Selanjutnya diketahui bahwa

corruptio berasal dari kata dasar corrumpore yang diartikan sebagai kejahatan,

kebusukan, tidak bermoral, kebejadan dan ketidak jujuran. Selain itu, ada pula

yang berpendapat bahwa dari segi istilah, korupsi berasal dari kata corrupteia

yang dalam bahasa latin berarti bribery atau seduction. Bribery diartikan sebagai

pemberian kepada seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan

pemberi.Sedangkan, seduction diartikan sebagai sesuatu yang menarik agar

seseorang menyeleweng.

Secara umum berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU No.20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, tindak pidana korupsi diartikan: “Setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.”

4
2. Sejarah Perundang-Undangan Korupsi.

Berdasarkan sejarah, perundangan-undangan korupsi telah mengalami berbagai

perubahan.yang disebabkan karena bertambah banyaknya bentuk-bentuk korupsi,

pihak-pihak (subjek) korupsi serta sanksi korupsi yang dinilai terlalu ringan.

Berikut ini sejarah perundang-undangan korupsi :

a) Masa Peraturan Penguasa Militer

Pada masa ini terdapat berbagai peraturan penguasa militer yang berhubungan

dengan perbuatan korupsi yaitu :

 Peraturan penguasa militer Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh

penguasa militer angkatan darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan

angkatan darat.

 Peraturan penguasa militer Nomor PRT/PM/08/1957 Tentang Penilikan

Harta Benda.

 Peraturan penguasa militer Nomor PRT/PM/011/1957 Tentang Penyitaan

dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya di Peroleh dengan

Perbuatan yang Melawan Hukum.

 Peraturan penguasa perang pusat angkatan darat Nomor

PRT/PEPERPU/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutatn, dan

Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda

4
b) Masa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun

1960.

PERPU No.24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan

Tindak Pidana Korupsi, secara garis besar rumusan korupsi sebagaimana yang

dimaksud dalam PERPU ini adalah sebagai berikut :

 Tindakan seseorang yang dengan atau karena suatu kejahatan atau

pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan

yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau

perekonomian Negara, daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang

menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah atau badan hukum

lainnya yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggran dari

Negara atau masyarakat.

 Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan

atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang

dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

c) Masa Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Menyadari akan kelemahan-kelemahan PERPU yang ada, maka dikeluarkanlah

UU No.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU yang

baru ini menampakkan adanya banyak penyempurnaan, yaitu terutama dalam

perumusan tindak pidana korupsi.

4
d) Masa Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Perumusan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini

terdiri atas berbagai pengertian, yaitu :

 Korupsi sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 Ayat (1) :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.00 (satu milyar).”

 Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 :


“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).”

 Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 13 yang


diambil dari pasal-pasal KUHP secara garis besar dapat dikelompokkan
dalam 4 kelompok :
- Perbuatan yang bersifat penyuapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP.
- Perbuatan yang bersifat penggelapan, yaitu Pasal 415, Pasal 416, dan
Pasal 417 KUHP.
- Perbuatan yang bersifat kerakusan, yaitu Pasal 423 dan Pasal 425
KUHP.
- Perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan dan rekanan serta
leveransir, yaitu Pasal 387, Pasal 388, dan Pasal 435 KUHP.

e) Masa Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4
Pada fase ini, mulai dikenal adanya lembaga baru yang menangani tindak pidana

korupsi di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selain itu pada

UU No.20 tahun 2001 Pasal-Pasal yang mengenai kejahatan jabatan tidak lagi

merujuk pada KUHP akan tetapi langsung disebutkan rumusanya. Jika dilihat dari

ketentuan pasalnya sebenarnya tidak banyak mengalami perubahan. Hanya saja

terdapat beberapa hal-hal baru yaitu :

 Gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12B. dalam penjelasannya dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,

yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), peminjaman tanpa

bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya.

 Beban pembuktian terbalik yang diatur pada Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38B

sifatnya lebih tegas jika di banding UU No.31 Tahun 1999.

 Perluasan pengertian mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa

petunjuk, Pasal 26A berbunyi sebagai berikut :

alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 188 Ayat (2) UU No.8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

- Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan

itu dan

- Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

4
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, maupun yang

terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,

rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Secara umum, gambaran mengenai unsur-unsur suatu perbuatan dapat dikatakan

sebagai tindak pidana korupsi terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang

No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. berikut ini unsur-unsurnya :

Pasal 2 Ayat (1) : “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana
penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu :

a) Setiap orang.

b) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.

c) Dengan cara melawan hukum.

d) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Pada Pasal 2 Ayat (2) ditambah unsur “dilakukan dalam keadaan tertentu”.Yang

dimaksud dengan keadaan tertentu ialah keadaan yang dapat dijadikan alasan

pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.

4
Pasal 3 : 23 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, di pidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu :

a) Setiap orang.

b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi.

c) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan.

d) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

4. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, maka subjek hukum tindak pidana korupsi adalah :

a) Pegawai Negeri.

Pengertian pegawai negeri (ambtenaar) pada UU No.20 tahun 2001 mengalami

perluasan makna. Berdasarkan Pasal 1 Angka (2), Pegawai negeri sebagaimana

dimaksud dalam UndangUndang Tentang Kepegawaian. Berdasarkan Pasal 1

Ayat (1) UU No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No.8 tahun 1974

Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dimaksud pegawai negeri adalah :

4
“Setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang

ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu

jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

b) Korporasi

Korporasi merupakan kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Ketika suatu korporasi

menjadi subjek tindak pidana maka terdapat 3 sistem pertanggungjawaban

korporasi, yaitu :

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung

jawab. Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat

tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga

apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi maka tindak

pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi.

2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab. Korporasi

sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab. Ini ditandai

dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan Undang-Undang bahwa

suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi tanggung

jawab untuk itu menjadi tanggung jawab pengurus korporasi asal saja

dinyatkan secara tegas dalam peraturan tersebut.

3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Sistem

pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab

5
merupakan tanggungjawab langsung dari korporasi. Dalam system ini

memungkinkan untuk menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.

c) Setiap Orang

Yang dimaksud “setiap orang” berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Ketentuan diatas

menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah siapa

saja baik sebagai pejabat pemerintah maupun pihak swasta yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

5. Tipe-Tipe Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya terdapat beberapa tipe tindak pidana korupsi yang sering terjadi di

Indonesia (Lilik Mulyadi, 2011:79). Berikut tipetipe tersebut :24

1) Tindak pidana korupsi tipe pertama, korupsi yang merugikan keuangan

Negara. Korupsi tipe ini telah diatur pada Pasal 2 Ayat (1) UU No.31 Tahun

1999, yang berbunyi :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan
pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

24
Lilik Mulyadi. 2011. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Alumni, Bandung, hlm. 79.

5
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah).”

2) Tindak pidana korupsi tipe kedua, korupsi yang berhubungan dengan

penyalahgunaan kewenangan, korupsi ini telah diatur pada Pasal 3 UU No.31

Tahun 1999, yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, di pidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00
(lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milyar
rupiah).”

3) Tindak pidana korupsi tipe ketiga, terdapat dalam ketentuan Pasal 5, Pasal 6,

Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 UU No.20

Tahun 2001. Maka dari itu dalam korupsi tipe ini terdapat berbagai jenis

tindak pidana korupsi diantaranya:

a) Korupsi yang bersifat penyuapan, Penyuapan merupakan tindakan

dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Penyuapan diatur

dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 UU No.20 tahun

2001 yang merupakan eks pasal KUHP yaitu pasal 209, Pasal 210, Pasal

418, Pasal 419 dan Pasal 420.

5
b) Korupsi yang bersifat kecurangan. Yang dimaksud korupsi yang bersifat

kecurangan adalah korupsi yang dilakukan oleh pemborong, pengawas

proyek, rekanan TNI/Polri yang melakukan kecurangan dalam pengadaan

dan pemberian barang yang membahayakan kepentingan umum dan

mengakibatkan kerugian bagi keuangan Negara. Hal ini diatur dalam

Pasal 7 UU No.20 Tahun 2001 yang merupakan eks pasal KUHP yaitu

Pasal 387, Pasal 388, dan Pasal 435.

c) Korupsi yang bersifat penggelapan. Penggelapan dalam tindak pidana

korupsi merupakan tindakan seorang pegawai negeri atau penyelenggara

Negara yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan

penggelapan atas uang atau surat berharga yang disimpan karena

jabatannya, atau membiarkan uang dan surat berharga tersebut diambil

atau dirusak orang lain, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

dengan jalan merugikan keuangan Negara. Korupsi jenis ini diatur dalam

Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No,20 Tahun 2001 yang merupakan eks

pasal KUHP yaitu Pasal 415, Pasal 416 dan Pasal 417.

d) Korupsi yang bersifat pemerasan. Dalam tindak pidana korupsi,

pemerasan merupakan tindakan pegawai negeri atau penyelenggara

Negara yang dengan kekuasaannya memaksa orang lain memberi atau

melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Hal ini diatur padal

Pasal 12 huruf (e) UU No.20 Tahun 2001.

e) Tindak pidana korupsi tentang gratifikasi Yang dimaksud korupsi jenis

ini adalah pemberian hadiahyang diterima oleh pegawai negeri atau

5
penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam jangka waktu 30 hari sejak

diterimanya gratifikasi tersebut. Gratifikasi dapat berupa uang, barang,

diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, iburan, biaya pengobatan

serta fasilitas-fasilitas lainnya. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B UU

No.20 Tahun 2001.

6. Memperkaya Diri sendiri, atau orang lain atau korporasi

Kriteria ini sudah diperluas karena ada istilah karena jabatan, kedudukan, dan

seterusnya, termasuk juga suap-menyuap, baik antara bukan pegawai negeri

maupun pegawai negeri.Begitu juga dengan pemberian hadiah dan janji pada

undang undang yang baru, kriterianya sudah diperluas. Apa yang dimaksud

“perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, yang menjadi persoalan

adalah apakah yang dimaksudkan itu adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan

“pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan mengenai “memperkaya diri

sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang

merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud itu adalah

perbuatan aktif”.

Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila

melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya, jika

terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang

lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut,

maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu

5
juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata

“atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini bersifat alternatif.

Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri

sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini. Unsur “memperkaya diri

atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 2 ayat (1) undangundang nomor

31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001) dan unsur

“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3

undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001),

merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak

pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena

cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain. Unsur

“memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” lebih sulit

membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan

pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan.Namun secara

teoritis, unsur “memperkaya diri” sudah dapat dibuktikan dengan dapat

dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam

kehidupan sehari-harinya.Sedangkan unsur “menguntungkan diri atau orang lain

atau suatu korporasi”, artinya adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari

perbuatan menyalahgunakan wewenang.Mengenai unsur “merugikan keuangan

negara” aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu

BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara.

Secara umum, tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan wewenang dan

kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu, maka variabel

5
utama dalam korupsi adalah kekuasaan, dengan kata lain mereka yang memiliki

kekuasaan, khususnya terhadap sumber daya publik akan berpeluang besar untuk

melakukan perbuatan korupsi, sedangkan dalam konteks otonomi daerah, tindak

pidana korupsi terjadi mengikuti kekuasaan yang terdesentralisasi ke tingkat lokal.

D. Kepala Desa

Kepala desa merupakan pimpinan tertinggi dari pemerintahan desa.Yang bertugas

menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa,

pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Berdasarkan Pasal 26 Ayat (2) UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, kewenangan
kepala desa antara lain :
1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa.
2) Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa.
3) Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan asset desa.
4) Menetapkan peraturan desa.
5) Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa.
6) Membina kehidupan masyarakat desa.
7) Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa.
8) Membina dan meningkatkan perekonomian desa serta mengintegrasikannya
agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat desa.
9) Mengembangkan sumber pendapatan desa.
10) Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan Negara guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
11) Mengembangkan kehidupan social budaya masyarakat desa.
12) Memanfaatkan teknologi tepat guna.
13) Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.

E. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Sebelum membahas mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan,

kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan putusan pengadilan.

5
Berdasarkan perumusan Bab I Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUUHAP) yang dimaksud putusan pengadilan adalah pernyataan

hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam menjatuhkan putusan,

pertimbangan hakim atau ratio decidendi memiliki peranan yang sangat penting

demi terciptanya keadilan hukum.Maka dari itu terdapat berbagai pertimbangan

yang harus dilakukan hakim sebelum menjatuhkan putusan terhadap suatu

perkara.Yakni :

1. Pertimbangan Yuridis.

Pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan yang terdiri dari pertimbangan

hukum dan pertimbangan fakta.Yang dimaksud dengan pertimbangan hukum

adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta hukum yang

terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal

yang harus dimuat dalam putusan, misalnya dakwaan jaksa penuntut umum,

keterangan terdakwa, keterangan saksi, keterangan ahli, dan barang-barang bukti.

Sedangkan, pertimbangan fakta adalah pertimbangan hakim yang berorientasi

pada lokasi kejadian (locus delicti), waktu kejadian (tempus delicti), dan modus

operandi tentang cara tindak pidana tersebut dilakukan.

5
2. Pertimbangan Non-Yuridis

Pertimbangan Non-Yuridis merupakan merupakan pertimbangan yang dilakukan

oleh hakim berdasarkan latar belakang terdakwa, akibat yang ditimbulkan dari

perbuatan terdakwa, serta kondisi atau kemampuan bertanggung jawab terdakwa.

Selain dua jenis pertimbangan yang digunakan hakim sebagaimana yang telah

dijelaskan diatas, dalam prakteknya.Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang

dapat meringankan dan memberatkan terdakwa selama persidangan berlangsung.

Hal-hal yang memberatkan misalnya : terdakwa tidak jujur, terdakwa tidak

mendukung program pemerintah, terdakwa sudah pernah pi pidana sebelumnya

dan lain sebagainya. Sedangkan, hal-hal yang bersifat meringankan misalnya :

terdakwa bersikap ko-operatif dalam persidangan, terdakwa belum pernah di

pidana, terdakwa mengakui perbuatannya, dan lain sebagainya.

5
BAB III
SEJARAH, VISI-MISI, ARTI LAMBANG SERTA TUGAS DAN FUNGSI
PENGADILAN NEGERI TANJUNGKARANG KELAS 1A

A. Sejarah Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA

Gedung Pengadilan Negeri Tanjungkarang semula berada di Jalan Teuku Umar

No.19 Tanjungkarang, merupakan gedung PT. Kereta Api Indonesia. Kemudian

Sejak berdirinya gedung Pengadilan Negeri Tanjungkarang, mulai tanggal 6 Mei

1967 kegiatan perkantoran pindah ke Jalan Rudolf Walter Monginsidi/Beringin

No. 27 Teluk Betung sampai dengan sekarang.

Pengadilan Negeri Tanjungkarang mengalami beberapa kali pengembangan tahun

1996-1997 menambah 2 (dua) buah ruang sidang. Ditahun 2005 terjadi

pembongkaran besar-besaran. Gedung Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang

semula menghadap kearah Utara kemudian di alihkan menghadap ke arah timur

dengan bangunan 2 (dua) lantai, 1 (satu) baseman, untuk lantai dasar terdiri dari 7

ruang sidang biasa, 1 (satu) ruang sidang anak dan 1 (satu) Ruang sidang Utama,

Ruang Panitera Muda Pidana, Ruang Panitera Perdata, Ruang Jaksa, Ruang

Posbakum Ruang Juru Sita, Ruang Wartawan, Ruang Tunggu Anak dan Ruang

Arsip. Sedangkan lantai 2 terdiri dari ruangan Ketua Pengadilan Negeri, Ruang

Panitera, Ruang Wakil Ketua Pengadilan Negeri, Ruang Mediasi/Diversi, Ruang

Sub Bagian Kepegawaian dan Organisasi Tata Laksana,Ruang Sub Bagian

Perencanaan Teknologi Informasi dan Pelaporan, Ruang Hakim 3, Ruang Panitera

5
Pengganti 3, Ruang Panitera Pengganti 1, Ruang Sub Bagian Umum dan

Keuangan,Ruang Persediaan ATK, Ruang Panitera Pengganti 2, Ruang Hakim Ad

Hoc Tipikor, Ruang Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Indiustrial, Ruang

Panitera Muda Tipikor, Ruang Sekretaris, Ruang Wakil Panitera, Ruang Hakim 2

, Ruang Hakim 1. Untuk bagian Baseman Ruang Tahanan Wanita, Ruang tahanan

Pria, Ruang Tahanan Anak.

Gedung Utama dihancurkan kemudian di bangun kembali dengan melalui 5 tahap

(tahun 2005 sampai dengan 2009). sedangkan untuk gedung yang berada dibawah

(gedung lama) masih digunakan untuk ruang panitera Muda Hubungan Industrial,

dan Ruang Panitera Muda Hukum, Mushola dan Rumah Penjaga Kantor

B. Visi Misi Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA

VISI :

" Terwujudnya Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA Yang Agung "

MISI :

1. Menjaga Kemandirian Pengadilan Negeri Tajungkarang Kelas IA

2. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Pencari Keadilan

3. Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang

Kelas IA

4. Meningkatkan Kredibilitas dan Transparansi di Pengadilan Negeri

Tanjungkarang Kelas IA

6
C. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA

D. Daftar Nama Pejabat Struktural Pengadilan Negeri Tanjungkarang

Kelas 1A

1. Ketua : Dadi Rachmadi, S.H., M.H.

2. Wakil Ketua : Syamsul Arief, S.H., M.H.

3. Hakim : 1. Jhony Butar Butar, SH., MH

2. Zuhairi, S.H., M.H.

3. Fitri Ramadhan S.H.

4. Hendri Irawan, SH.

5. Efiyanto D, SH., MH

6. Raden Ayu Rizkiyati, S.H.

7. Hendro Wicaksono, S.H., M.H.

8. Ni Luh Sukmarini, S.H., M.H.

6
9. Hastuti, S.H., M.H.

10. Safruddin, S.H., M.H

11. Aria Verronica, S.H., M.H.

12. Yulia Susanda, S.H., M.H.

4. Hakim Tipikor : 1. Gustina Aryani, S.H.,M.H.

2. Edi Purbanus, SH.

3. Ahmad Baharuddin Naim, S.H., M.H.

5. Hakim PHI : 1. Eddy P. Nasution, SE,.SH.,MH

2. Tri Endro Budianto, SH.,MH.

3. Maya Rieske J. Rumambi, SH.,MH.

4. Iskandar Zulkarnaen, SH.,MH.

6. Pejabat Struktural : 1. Drs. Asmar Josen, S.H., M.H

2. Arry Rizka, S.T.,M.M

3. Jon Kennedi, S.H.,M.H

4. Chairullah, SH. MH

5. Dra. Yulita Mursitawati, S.H

6. Dra. Hj. Retno Watiningsih, SH

7. PuspitasarI, SH

8. Husnul Mauly, SH.MH

9. Engli Thirta Satria, S.H., M.H.

10. Nurul Fattah, SH

6
7. Pejabat Fungsional : 1. Herlina, S.H.

2. Syukri Ramadhan S. H.

3. Yulinda Inderasari Ari, S.E.

4. Avicenna Reza Alkautsar, S.Kom.

E. Arti Lambang Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas 1A

1. Bentuk : Perisai ( Jawa : Tameng ) / bulat telur

2. Isi :

a) Garis Tepi, 5 (lima) garis yang melingkar pada sisi luar lambang

menggambarkan 5 (lima sila dari pancasila)

b) Tulisan "PENGADILAN NEGERI TANJUNGKARANG" yang

melingkar diatas sebatas garis lengkung perisai bagian atas menunjukkan

Badan, Lembaga pengguna lambang tersebut.

c) Lukisan Cakra, Dalam cerita wayang (pewayangan), cakra adalah senjata

Kresna berupa panah beroda yang digunakan sebagai senjata "

Pamungkas " (terakhir). Cakra digunakan untuk memberantas ketidak

adilan. Pada lambang Pengadilan Negeri Tanjungkarang, cakra tidak

terlukis sebagai cakra yang sering/banyak dijumpai misalnya cakra pada

lambang Kostrad, lambang Hakim, lambang Ikahi dan lain-lainnya yakni

berupa bentuknya cakra, dalam keadaan "diam" (statis), tetapi cakra yang

terdapat pada Lambang Pengadilan Negeri Tanjungkarang terlukis

sebagai cakra yang (sudah) dilepas dari busurnya. Kala cakra dilepas dari

busurnya roda panah (cakra) berputar dan tiap ujung (ada delapan) yang

6
terdapat pada roda panah (cakra) mengeluarkan api. Pada lambang

Pengadilan Negeri Tanjungkarang cakra dilukis sedang berputar dan

mengeluarkan lidah api (Belanda : vlam ). Cakra yang rodanya berputar

dan mengeluarkan lidah api menandakan cakra sudah dilepas dari

busurnya untuk menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan

menegakkan kebenaran. Jadi pada lambang Pengadilan Negeri , cakra

digambarkan sebagai cakra yang "aktif", bukan cakra yang "statis"

d) Perisai Pancasila, Perisai Pancasila terletak ditengah-tengah cakra yang

sedang menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan

menegakkan kebenaran. Hal itu merupakan cerminan dari pasal 1 UU

Nomor 14 tahun 1970 jo. pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 yang

rumusannya berbunyi : " Kekuasaan Kehakiman adalah Kekasaan Negara

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia."

e) Untaian Bunga Melati, Terdapat 2 (dua) untaian bunga melati masing-

masing terdiri dari atas 8 (delapan) bunga melati, melingkar sebatas garis

lengkung perisai bagian bawah, 8 (delapan ) sifat keteladanan dalam

kepemimpinan (hastabrata).

f) Seloka " DHARMMAYUKTI", Pada tulisan "dharmmayukti" terdapat 2

(dua) huruf M yang berjajar. Hal itu disesuaikan dengan bentuk tulisan "

dharmmayukti "yang ditulis dengan huruf Jawa. Dengan menggunakan

double M, huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharma" akan dilafal

6
sebagai "A" seperti pada ucapan kata "acara", "dua" "lupa" dan

sebagainya. Apabila menggunakan 1 (satu) huruf "M", huruf "A" yang

terdapat pada akhir kata "dharmma" memungkinkan dilafal sebagai huruf

"O" seperti lafal "O" pada kata "motor", "bohong" dan lain-lainnya. Kata

"DHARMMA" mengandung arti bagus, utama, kebaikan. Sedangkan

kata "YUKTI" mengandung arti sesungguhnya, nyata. Jadi kata

"DHARMMAYUKTI" mengandung arti kebaikan/keutamaan yang

nyata/yang sesungguhnya yakni yang berujud sebagai kejujuran,

kebenaran dan keadilan.

F. Tugas dan Fungsi Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri memiliki lima fungsi utama, yakni:

1. Fungsi Mengadili atau judicial power, fungsi ini berarti Pengadilan Negeri

menerima, memeriksa, megadili serta menyelesaikan perkara yang menjadi

kewenangan pengadilan tingkat pertama.

2. Fungsi pembinaan, berarti Pengadilan Negeri memberi pengarahan,

bimbingan serta petunjuk kepada pejabat struktural serta fungsional yang

berada dibawah jajarannya. Bimbingan ini bisa menyangkut permasalahan

yudisial, administrasi peradilan, pembangunan, keuangan perlengkapan serta

perencanaan teknologi informasi.

3. Fungsi pengawasan, berarti Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas

pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera

Pengganti serta Jurusita dibawah jajarannya. Tujuannya supaya peradilan

6
dapat diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya terhadap pelaksanaan

administrasi umum, kesekretariatan dan pembangunan.

4. Fungsi nasihat, fungsi ini berarti Pengadilan Negeri memberi pertimbangan

serta nasihat mengenai hukum kepada instansi pemerintah di daerah

hukumnya, jika diminta.

5. Fungsi administratif, berarti Pengadilan Negeri melaksanakan administrasi

peradilan, baik teknis maupun persidangan, administrasi umum (perencanaan

teknologi informasi atau pelaporan, kepegawaian serta keuangan).

6
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Adami Chazawi. 2008. Pelanggaran Hukum Pidana Bag.1, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Adami Chazawi. 2008. Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada,


Depok.

Agus Salim Andi. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum.Ghalia
Indonesia, Bogor.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995.Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Hanif Nurcholis. 2012. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa.


Erlangga, Jakarta.

Hilman Hadikusuma. 1995. Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu


Hukum.Mandar Maju, Bandung.

Indra Bastian. 2015. Akuntansi untuk Kecamatan dan Desa. Erlangga, Jakarta.

Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika,


Jakarta, hlm

Lilik Mulyadi. 2011. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Alumni, Bandung.

Marpaung. 2005. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar


Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Muhammad Arif. 2007. Tata Cara Pengelolaan Keuangan Desa Dan


Pengelolaan Kekayaan Desa Pekanbaru. ReD Post Press, Pekanbaru.

P.A.F. Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru,


Bandung.

Philipus M. Hadjon. 2001. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta.

R. Abdoel Djamali. 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi, Rajawali


Pers, Jakarta.

6
W Prodjodikoro. 2005. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesi, P.T.Eresco,
Jakarta.

Wirjono Projodikoro. 2003.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , Refika


Aditana, Jakarta.

Zainuddin Ali. 2011.Metode Penelitian Hukum.Sinar Grafika, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksana


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan


Keuangan Desa.

C. SUMBER LAINNYA.

Agus Surono. 2017. Jurnal Media Pembinaan Hukum - Volume 6 Nomor 3,


Peranan Hukum Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Skala Desa Oleh
Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat Desa.

I Putu Krisnanda Maha Satria. 2016. Kewenangan Desa Berkaitan Dengan


Undang – Undang No. 6 Tahun 2014, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Warmadewa Denpasar.

Laporan ICW atas dugaan korupsi dana desa rentang tahun 2010-2015.

Laporan KPK Tahun 2017 mengenai kajian UU Desa Tahun 2014 atas
Pengelolaan Dana Desa Tahun 2015

Sahrul Haidin. 2017. Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan - Volume 5 Nomor 1,
Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Desa Setelah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi Di Kabupaten Dompu).

Siti Khoiriah. 2017. Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Jilid 46 Nomor 1, Analisis
Sistem Pengelolaan Dana Desa Berdasarkan Regulasi Keuangan Desa.

Anda mungkin juga menyukai