Anda di halaman 1dari 7

Ujian Tengah Semester

Hukum Tindak Pidana Korupsi

Nama : Shinta Indah Pratiwi

Nim : 03190157

Kelas : Hukum 5B

Dosen : M Rizki Yudha P, S.H., M.H.

Soal D

1. Silahkan baca putusan nomor: Nomor 9 /PID.SUS-TPK/2019/PN.JKT.PST.


a. Buat analisa terhadap putusan tersebut, sedalam mungkin lebih baik!
b. Menurut anda, apakah putusan yang dijatuhkan pada perkara tersebut sudah memenuhi
rasa keadilan menurut anda? Jika iya jelaskan! Jika tidak jelaskan!

2. Menurut anda apa peran yang bisa kita ambil sebagai mahasiswa fakultas hukum dalam
terlibat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

Jawaban :

1. Jawaban A

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
memeriksa dan mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi dengan acara pemeriksaan biasa,
menjatuhkan putusan dalam perkara Terdakwa :

Nama lengkap : IDRUS MARHAM


Tempat lahir : Pinrang, Sulawesi Selatan
Umur/tanggal lahir : 56 Tahun / 14 Agustus 1962
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Agama : Islam ;
Pekerjaan : Mantan Menteri Sosial RI/Sekjem DPP Partai Golkar/Mantan
Koorbid Kelembagaan DPP Partai Golkar;
Tempat tinggal : - Kavling DPRD DKI Blok F No.3 RT.011/RW.007 Kelurahan
Cibubur Jakarta Timur, dan
- Jl. Swadaya No.10 Larangan Tangerang Banten;

Terdakwa ditahan didalam Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Klas I Jakarta Timur
Cabang KPK oleh:

- Penyidik sejak tanggal 31 Agustus 2018 sampai dengan 19 September 2018;


- Diperpanjang oleh Penuntut Umum sejak tanggal 20 September 2018 sampai dengan
tanggal 29 Oktober 2018;
- Perpanjangan Penahanan I oleh Ketua PN Jakarta Pusat Klas IA Khusus sejak tanggal
30 Oktober 2018 sampai dengan 28 Nopember 2018;
- Perpanjangan Penahanan II oleh Ketua PN Jakarta Pusat Klas IA Khusus sejak
tanggal 29 Nopember 2018 sampai dengan 27 Desember 2018;
- Penahanan oleh Penuntut Umum di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I jakarta
Timur Cabang KPK sejak tanggal 28 Desember 2018 sampai dengan 16 Januari 2019;
- Majelis Hakim sejak tanggal 9 Januari 2019 sampai dengan 7 Pebruari
- Diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 8 Pebruari
2019 sampai dengan 8 April 2019.
- Pembataran penahanan berdasarkan Penetapan Pembataran tertanggal 28 Maret 2019
dari tanggal 2 April 2019 sampai dengan tanggal 4 April 2019;
- Diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta sejak tanggal 9 April 2019
sampai dengan tanggal 8 Mei 2019.

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan satu persatu


unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di depan
persidangan yaitu :
Ad.1. Unsur “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ”;

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri menurut ketentuan Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;


b. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari Keuangan Negara atau Daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari satu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau,
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan Pengertian Penyelenggara Negara
sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Ad. 2. Unsur Menerima Hadiah atau Janji :

Menimbang, bahwa perbuatan menerima sesuatu termasuk janji, harus nyata-nyata


telah diterima oleh orang yang menerima, maka dalam tindak pidana formil dengan perbuatan
menerima pun diperlukan syarat materiil, terutama pada perbuatan menerima sesuatu berupa
benda/ hadiah yang baru dianggap perbuatan menerima hadiah selesai, kalau nyata-nyata
benda itu telah diterima oleh yang menerima yakni diperlukan syarat telah beralihnya
kekuasaan atas benda itu ke tangan orang yang menerima.

Menimbang, bahwa objek sesuatu janji yang diberikan oleh si Penyuap pada Pegawai
Negeri sesuai ketentuan Pasal 92 ayat (2) KUHPidana, selesainya perbuatan menerima suatu
janji, haruslah secara nyata janji tersebut diterima oleh Pegawai Negeri, bisa dengan ucapan
misalnya dengan kata “baik”, “setuju”, “iya”, dan sebagainya sebagai pertanda diterimanya
janji tersebut, atau dengan isyarat misalnya dengan “anggukan kepala”.
Ad. 3. Unsur padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
Jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.

Menimbang, bahwa dalam unsur ini terdapat dua elemen unsur yang sifatnya
alternatif yaitu “diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya”
sebagai unsur pertama, dan “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”, sebagai elemen unsur yang
kedua. Dengan terpenuhinya salah satu saja dari kedua elemen unsur tersebut, maka
unsur ini telah terbukti.

Menimbang, bahwa pekerjaan menerima suap dalam bentuk pemberian atau janji yang
dimaksud dalam rumusan pasal 418 KUHP itu harus dilandasi:

a. oleh “pengetahuan” ataupun oleh “kepatutan dapat menduga” dari pegawai negeri
yang bersangkutan, bahwa pemberian atau janji itu ada hubungannya dengan sesuatu
kekuasaan atau sesuatu kewenangan yang ia miliki karena jabatan, atau
b. oleh “anggapan” orang yang memberikan pemberian atau janji itu, ada hubungannya
dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh penerima pemberian atau
janji, karena jabatan (vide Drs. PAF Lamintang, SH. Op cit. Halaman 316) Putusan .

Dapat dilihat bahwa diawali dengan WA dari WMS kepada JBK untuk pinjam uang 10
M, lalu ditolak oleh JBK, selanjutnya EMS minta bantuan Terdakwa untuk menyampaikan
pesan, selanjutnya Terdakwa mengirim WA ke JBK, lalu JBK menjawab yang intinya
menola/tidak bisa, selanjutnya EMS mengirim WA ke JBK minta seadanya, lalu EMS
menelpon langsung ke JBK (BAP tanggal 29 Agustus 2018 halaman 9 nomor 13) yang
disetujui dengan perintah ke sekeretaris, EMS WA lagi memberitahu stafnya Dinda akan
mengambil, namum dalam BAP yang mengambil Tahta Maharaya.

- Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut fakta hukum yang merupakan alat
bukti persaksian yang menunjukkan tidak benar uraian dakwaan mengenai Terdakwa
menerima hadiah atau janji, yaitu menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang
seluruhnya berjumlah Rp2.250.000.000,00 (dua milyar dua ratus lima puluh juta
rupiah) dari Johanes Budisutrisno Kotjo baik dengan cara dilakukan oleh Terdakwa
dan/atau melalui keterlibatan Terdakwa, melakukan atau turut melakukan.
- Bahwa lebih jauh mengenai dalil bahwa hadiah berupa uang tersebut diberikan agar
Terdakwa dan Eni Maulani Saragih membantu Johanes Budisutrisno Kotjo untuk
mendapatkan proyek Idepedent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga
Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT RIAU-1) vide Surat Dakwaan halaman 2
(dua), dalil mana merupakan keadaan abstrak yang tidak patut disimpulkan secara
subyektif dengan mengesampingkan fakta hukum berupa keterangan saksi Pelaku/
saksi fakta khususnya pada keterangan yang menjelaskan sebab akibat, mengapa dan
bagaimana hingga terjadi suatu peristiwa yang tidak ada keterlibatan Terdakwa.
- Bahwa Terdakwa tidak pernah mengetahui adanya rencana pembagian fee baik oleh
Eni Maulani Saragih. Terdakwa mengelak atau tidak merespon secara serius
pembicaraan melalui telpon dengan Eni Maulani Saragih, sehingga Terdakwa selalu
mengiyakan dengan kata “oke oke oke” dengan maksud supaya pembicaraan selesai.
Selain itu juga Terdakwa selalu menghindar untuk bertemu dengan Eni Maulani
Saragih dengan mengatakan akan pergi ke daerah-daerah.

Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar


gencarnya memberantas korupsi;
- Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra ordinary Crime);
- Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;

Keadaan yang meringankan:

- Terdakwa berlaku sopan di persidangan;


- Terdakwa Tidak menikmati hasil korupsi;
- Terdakwa belum pernah dihukum;

Menimbang, bahwa selain memperhatikan keadaan yang memberatkan dan


meringankan di atas, dalam penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang melakukan tindak
pidana korupsi, perlu diperhatikan tujuan pemidanaan yang relevan dengan tujuan penjatuhan
pidana dalam tindak pidana korupsi tersebut;

Menimbang, bahwa tujuan pemidanaan dalam perkara korupsi ini diharapkan bersifat
komprehensif, integratif dan teleologis, yang memperhatikan Terdakwa (memasyarakatkan
Terdakwa/Terpidana), maupun yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah
dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat), serta mengembalikan Terdakwa
ke dalam kehidupan sosial;

Menimbang, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak


Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa pidana denda dapat dijatuhkan secara kumulatif atau
secara alternatif dengan pidana penjara, dan kepada Terdakwa, juga selain pidana penjara
akan dijatuhkan pidana denda yang jumlahnya akan ditentukan dalam Amar putusan ini;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana, berdasarkan Pasal 222 ayat
(1) KUHAP, maka Terdakwa dibebankan untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan
ditentukan dalam amar putusan ;

Mengingat, Pasal 11 Undang-undang Nomor. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 8
ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal-
Pasal lain dalam ketentuan/ peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan.

Jawaban B

Menurut pendapat saya putusan yang di jatuhkan dalam perkara tersebut sudah memenuhi
rasa keadilan dan menyatakan terdakwa Idrus Marham telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Korupsi yang dilakukan secara bersama-
sama sebagaimana dalam Dakwaan Kedua. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap
Terdakwa Idrus Marham dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
sebesar Rp.150.000.000.00(seratus lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana
denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan,
Menetapkan masa Penangkapan dan Penahanan yang telah dijalankan oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, Menetapkan Terdakwa tetap berada
dalam tahanan menetapkan barang bukti .
2. Jawaban :
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. bahwa Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu
diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru
sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi. Atas dasar pertimbangan sebagaimana tersebut, perlu dibentuk Undang-undang
yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Dasar hukum undang-undang ini adalah :


Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam Undang-Undang ini diatur tentang :


Tindak Pidana Korupsi; Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana
Korupsi; Penyidikan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan; Dan Peran
Serta Masyarakat. Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah
dan unsur masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai