Anda di halaman 1dari 8

UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM PERKAWINAN

ANALISIS YURIDIS STATUS HUKUM ANAK DARI

PERKAWINAN SEDARAH

Disusun Oleh :

Nama : Shinta Indah Pratiwi

Nim : 03190157

Kelas : Hukum 5B

Dosen : Abdurrahim, MH

UNIVERSITAS JAKARTA

Jl. Pulomas Barat Villa Tanah Mas – Jakarta Timur 13210


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan manusia,


karena disamping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan
tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia tetapi juga
menyangkut hubungan keperdataan, perkawinan juga memuat unsur sakralitas yaitu
hubungan manusia dengan Tuhan-Nya. (Wasman dan Nuroniyah, 2011:29) Oleh
karena itu, dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang
mengaturnya. Pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami, istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. (Republik
Indonesia, 2000:14) . Pasal 2 dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (INPRES No.1
Tahun 1991) bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. (Departemen Agama RI, 2000: 14).

Suatu perkawinan adalah sah menurut hukum agama maupun hukum negara
dilakukan dengan memenuhi segala rukun dan syarat- syarat, serta tidak melanggar
larangan. apabila terjadi perkawinan melanggar larangan perkawinan/tidak memenuhi
salah satu rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi
tidak sah dan batal demi hukum. Perkawinan sedarah termasuk dalam kategori
perkawinan yang diharamkan dan berimplikasi pada pembatalan perkawinan.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 70 point d Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan bahwa salah satu perkawinan batal demi hukum ialah perkawinan yang
sedarah dan sesusuan”. Hal ini dipertegas pula dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang memiliki hubungan
darah, (baik dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, maupun garis
keturunan menyamping), hubungan sesusuan, dan hubungan semenda.

B. Permasalahan
Bagaimana status anak dari hasil perkawinan sedarah ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Status Hukum Anak dari Perkawinan Sedarah

Dalam Pasal 1 point a Undang- Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun


2014 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ketentuan tersebut
menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak
sampai dengan anak berusia 18 tahun. Dari pandangan sosial, menurut Haditono
bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan kasih
sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian
keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku
yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Adapun secara biologis menurut Witanto bahwa anak merupakan hasil pertemuan
sel telur perempuan yang disebut ovum dan spermatozoa dari laki-laki yang
kemudian menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin. Sehingga secara biologis
tidak mungkin seorang anak lahirtanpa adanya kontribusi laki-laki dan
perempuan.

Dari sisi yuridis, seorang anak terkadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah,
hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa suatu kelahiran tanpa
disertai dengan adanya perkawinan yang sah, maka si anak hanya akan memiliki
ibu sebagai orang tuanya, sehingga status dari anak tersebut disebut anak luar
kawin. (Witanto, 2012:7) Dalam Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 disebutkan bahwa asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang dan apabila akte
kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat, kemudian dengan dasar penetapan
tersebut, instansi terkait dapat mengeluarkan akte kelahiran anak yang
bersangkutan.

Dari aturan di atas, dipahami bahwa akta kelahiran seorang anak pada
dasarnya didasarkan pada status orang tuanya, maksudnya bahwa laki-laki dan
perempuan yang secara biologis merupakan orang tuanya telah terikat dalam suatu
perkawinan atau tidak. Hal ini sejalan dengan penjelasan dalam Pasal 42 dan 43
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 99 dan Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam bahwa ada dua kategori kedudukan anak dalam hukum,
yaitu anak sah dan anak luar kawin. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan anak luar kawin adalah anak
yang dilahirkan di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Jadi dengan dasar tersebut, jika seorang anak secara hukum terlahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah, maka status anak tersebut merupakan anak
sah dan dalam akte kelahirannya tercantum nama kedua orang tuanya, berbeda
dengan anak yang terbukti secara hukum merupakan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, maka yang tercantum dalam akta kelahirannya hanya nama ibunya
dan secara hukum hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga
ibunya. Dengan demikian, secara mutlak terputuslah hubungannya dengan laki-
laki yang secara biologis adalah ayahnya. dengan status perkawinan kedua orang
tuanya, sebab berdasar dari status perkawinan kedua orang tuanya, maka status
anak dapat menjadi sah dan tidak sah di mata hukum.

Status hukum seorang anak yang lahir dari perkawinan yang sedarah dan
sesusuan secara umum tidak sah, sebab kelahiran anak tersebut berdasar pada
perkawinan yang tidak sah dan terlarang. Akan tetapi berbeda halnya jika
perkawinan terlarang tersebut terlaksana tanpa mengetahui adanya hubungan
sedarah dan sesusuan di antara kedua pihak, maka anak yang lahir dari
perkawinan sedarah dan sesusuan yang diawali dengan ketidaktahuan hubungan
mahram antara keduanya, maka status hukumnya menjadi sah, sebab pada
dasarnya kelahiran anak tersebut berdasarkan perkawinan yang semula sah di
mata agama dan hukum perundang-undangan. Meskipun dikemudian hari
diketahui bahwa perkawinan kedua orang tuanya merupakan perkawinan yang
tidak sah dan terlarang sebab hubungan darah dan sesusuan. Akan tetapi, status
dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut tetap dinyatakan sah.
B. Analisis Status Hukum Anak dari Perkawinan Sedarah
Pernikahan sedarah atau incest pada dasarnya adalah pernikahan yang dilarang
dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi
Hukum Islam (jika yang menikah beragama Islam). Dalam Undang-Undang
kawin (nikah), Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata, pernikahan itu
dilarang antara dua (2) orang yang berkeluarga (berhubungan darah) dalam garis
keturunan keluarga dan dalam garis keturunan menyamping (menyeleweng)
yaitu antara saudara, antara saudara dan ortu dan antara seorang dengan saudara
neneknya. Incest (hubungan sedarah, dan lebih jauh berarti hubungan badan
atau hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan
pertalian darah, misal bapak dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-
lakinya, atau antar-sesama saudara kandung atau saudara tiri) adalah salah satu hal
terlarang di dalam hukum Islam.
Anak hasil perkawinan sedarah adalah anak yang dilahirkan antara hubungan
laki-laki dan perempuan yang masih miliki hubungan darah. Akibat dari
perkawinan sedarah yang tetap hidup sebagai keluarga seperti pada umumnya
dan melahirkan anak adalah memberikan akibat hukum bagi anak tersebut
sebab tidak ada ikatan yang sah dalam perkawinan kedua orangtuanya. Dari
hasil tidak sahnya perkawinan kedua orangtuanya tersebut berdampak pada
hubungan perdata, hak mewaris, pengakuan nasab, pemeliharaan anak, biaya
hidup serta tanggung jawab orangtua. Dalam hukum perkawinan Nasional
Indonesia, status anak dibedakan menjadi 2 yaitu anak sah dan anak luar kawin.
Hukum memiliki konstribusi dalam menempatkan status anak, misalnya
anak hasil perkawinan sedarah yang menyandang status anak tidak sah.
Dengan adanya golongan penempatan tersebut menyebabkan hak-hak yang
berbeda dengan anak yang menyandang status anak sah. Anak tersebut
(tidak sah) hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan
keluarga ibunya sedangkan tanggung jawab ayah sebagai orangtua
dilepaskan secara hukum. Dengan tidak adanya tanggung jawab ayah terhadap
anak hasil dari perkawinan sedarah dapat menimbulkan potensi negatif untuk
kedepannya. Konsekuensi yang harus ditanggung bagi anak tersebut adalah
tidak dapat dituntutnya kewajiban ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup serta
kebutuhan keperdataa.
Tetapi jika telah diketahui adanya larangan pernikahan sedang pasangan
suami istri tetap melakukan hubungan istri, maka hubungan tersebut termasuk
perbuatan zina, dan status anak yang dilahirkan adalah anak yang tidak sah yang
hanya mempunyai nasab dan waris dengan ibunya saja

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan mementuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatan perkawinan sedarah sangat
dilarang oleh agama dan hukum yang sebagaimana tertuang dalam Qs.An-Nisa ayat
23 tentang perempuan yang tidak boleh dinikahi. Dalam Undang-Undang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata, perkawinan itu dilarang
antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan. Hukum Islam
Menyebutkan hubungan yang terjadi antar perkawinan sedarah disamakan
dengan perzinahan dan bahkan hampir seluruh peraturan adat yang ada di
Indonesia hingga dunia telah melarang perkawinan antar sedarah. Sudah jelas di
katakana dalam Syarat perkawinan KHI Pasal 39 butir (1) dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita disebabkan adanya pertalian
nasab, kerena masi ada hubungan mahram. Menurut Pasal 22 Undang-Undang
Perkawinan, pembatalan perkawinan adalah suatu upaya untuk membatalkan
perkawinan yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Sebagaimana pasal 70 huruf d butir 1 KHI.
Anak hasil perkawinan sedarah adalah anak yang dilahirkan antara hubungan
laki-laki dan perempuan yang masih miliki hubungan darah. Akibat dari
perkawinan sedarah yang tetap hidup sebagai keluarga seperti pada umumnya dan
melahirkan anak adalah memberikan akibat hukum bagi anak tersebut sebab tidak
ada ikatan yang sah dalam perkawinan kedua orangtuany Namun, anak hasil
perkawinan sedarah dapat menjadi anak sah jika kedua orang tuanya tidak
mengetahui adanya larangan perkawinan atau tidak mengetahui jika mereka masih
mempunyai hubungan darah (kelalaian/kealpaan). Hal ini tidak sesuai dengan aturan
mengenai hak anak yang harus diterima anak tanpa memandang status dan kedudukan
seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Mengenai hak
waris dari anak hasil perkawinan incest atau perkawinan sedarah ini adalah jika
dilihat dari pasal 867 KUH Perdata, anak sumbang tidak berhak sama sekali atas harta
warisan dari orang tuanya dan sebanyak-banyaknya hanya memperoleh sekedar
nafkah yang cukup untuk hidup dan hal ini pun diperkuat oleh pasal 283 KUH
Perdata. Hal ini berlaku bagi anak sumbang yang lahir dari luar perkawinan, ini
berbeda jika perkawinan sedarah ini dilakukan dengan sah. Menurut Fiqh, Al-
Jaziri mengatakan pernikahan yang telah dilaksanakan oleh seseorang yang tidak
sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja, maka setelah tahu
pernikahan tersebut harus segera dibatalkan. Batalnya pernikahan orang tua
tidak menjadi sebab berubahnya status hak waris anak. Dari Komplikasi Hukum
Islam (KHI) pasal 100 menyatakan anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya.

B. Saran
Sebelum perkawainan seharusanya ada pengenalan atau pemberitahuan
silsilah keluarga secara jelas, ini digunakan agar tidak terjadinya perkawinan
sedarah. Hal tersebut dilakukan agar diharapkan masyarakat dapat mengerti dan
tidak melanggar peraturan tersebut.Lembaga-lembaga perkawinan juga dapat lebih
meningkatkan kinerjanya dengan baik dan lebih hati-hati agar tidak terjadi Kembali
suatau kelalaian yang mengakibatkan terjadinya suatu perkawinan yang telah
dilarang. Sebab pembatalan perkawinan diakibatkan adanya hubungan darah akan
membarikan dampak-dampak negatif pada pihak yang melakukan perkawinan sedarah
tersebut.
Mencegah terjadinya perkawinan sedarah (incest), maka kita harus
mengetahui akibat dan resiko jika perkawinan semacam ini dilakukan, sepertinya
cacatnya anak apabila lahir dari perkawinan semacam ini. Hal ini berdasar pada
acuan diangkatnya hukum dari seseorang yang karena ketidaktahuannya ia
melakukan kesalahan dan pemerintah memberikan Sanksi tegas yang mengatur bagi
orang tua yang tidak melakukan/melalaikan kewajibannya atas hak anak hasil dari
perkawinan sedarah.
DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia. Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam.
Jakarta:, t.tp, 2000
M.Fauzan, Andi Syamsu Alam. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2008
Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedia Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996
(Wirjono Projodikoro, (1984), Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Penerbit Sumur Bandung)
.

(http://eprints.uniska-bjm.ac.id/8123/1/ARTIKEL%20SKRIPSI%20%28LISA%29.pdf) (Djoko
Imbawani Atmadjaja, (2016) , Hukum Perdata. Malang: Setara Press. )

(https://www.jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/alrisalah/article/viewFile/405/325)

(Salim HS, ,, Jakarta: Sinar Grafika. , 2001) (Sayuti Thalib, 1985)

Anda mungkin juga menyukai