Anda di halaman 1dari 6

TUGAS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI KELAS V B

Nama : Shinta Indah Pratiwi

Nim : 03190157

Dosen : M. Rizki Yudha P, SH., MH

1. Apakah pemerasan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri adalah sebuah bentuk tindak
pidana korupsi? Jawab dan berikan analisa berdasarkan dasar hukumnya!
Jawaban :
Yaa benar karena Pegawai Negri melakukan pemerasan berikut penerapan hukum bagi
pegawai negeri yang melakukan pemerasan menurut UU No 31 Thn 1999 Jo UU No. 20
Thn 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang dengan menggunakan metode penelitian
hukum normatif disimpulkan bahwa:
1) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan merupakan perbuatan korupsi tipe ke
dua yang pada hakikatnya diterapkan kepada pejabat/pegawai negeri, karena hanya
pegawai negeri-lah yang dapat menyalahgunakan jabatan, kedudukan dan
kewenangan, serta kesempatan atau sarana yang ada padanya. Jika melihat
perluasan pegawai negeri sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) UU No. 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dan telah ditambah dengan UU No. 20 Tahun
2001. Akan tetapi jika melihat pengertian pegawai negeri menurut kepemilikan
surat keputusan pengangkatan pegawai negeri, maka tentunya kategori orang yang
menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat, tidak memiliki surat keputusan pengangkatan sebagai pegawai negeri,
juga termasuk dalam subjek ketentuan Pasal ini.
2) Hukum formil tindak pidana korupsi atau hukum acara pidana yang mengatur
tentang penegakkan hukum tentang tindak pidana korupsi, secara umum dibedakan
dengan penanganan tindak pidana khusus lainnya. Hal ini mengingat bahwa
korupsi merupakan extraordinary crime yang harus didahulukan dibanding tindak
pidana lainnya. Meskipun demikian terhadap kejahatan pemerasan oleh pegawai
negeri sipil yang berpotensi merugikan negara dan perekonomian negara, akan
tetap diatur dalam undang-undang tersendiri, mengalami perlakuan yang tidak
sama dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pemerasan dalam UU Tipikor berbentuk tindakan:


1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang; atau
3) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

2. Apa itu conflict of interest? Apakah ada ketentuan tindak pidana korupsi yang
berhubungan dengan conflict of interest? jika iya jelaskan apa dasar hukumnya? Jika tidak,
diatur dimanakah ketentuan conflict of interest?
Jawaban :
Conflict of Interest terjadi antara dua pelaku yang disebut principal dan agen. Principal
adalah orang yang memberikan suatu pertanggung jawaban atau mandat kepada agen.
Hubungan principal dan agen bisa terjadi antara manajer dengan bawahan, dewan
komisaris dengan jajaran direksi, dan lainnya. Intinya, Confict of Interest akan muncul
ketika agen memiliki kepentingan atau tujuan yang berbeda atau bertentangan dengan
principal. Secara umum, Conflict of Interest dapat menyebabkan karyawan bertindak di
luar kepentingan dan tujuan suatu perusahaan. Munculnya Conflict of Interest adalah
berita buruk bagi reputasi, integritas, dan kepercayaan publik terhadap suatu perusahaan.
Terjadinya tindak pidana korupsi adalah konflik kepentingan (conflict of interest), Konflik
kepentingan seperti hubungan afiliasi antara seorang Penyelenggara Negara yang terlibat
dalam Pengadaan Barang dan Jasa dengan calon rekanan atau situasi ketika seorang
Penyelenggaran Negara hendak mengambil keputusan terkait dengan sebuah lembaga di
mana pejabat tersebut memiliki rangkap jabatan di lembaga tersebut adalah contoh-contoh
situasi yang sering dihadapi. Situasi tersebut berpotensi berpengaruh pada kualitas
keputusan yang diambil oleh Penyelenggara Negara yang bersangkutan dan dapat
mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Penanganan terhadap benturan kepentingan
kemudian menjadi penting sebagai salah satu upaya pencegahan praktik korupsi.

Jika konflik kepentingan itu berhubungan dengan penggunaan APBN, maka dapat dijerat
hukuman pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) dan perubahannya. Salah satu ketentuan yang
dapat menjerat staf khusus yang berkonflik kepentingan yang menyebabkan kerugian
keuangan negara adalah Pasal 3 UU Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUU-XIV/2016 yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).

Berdasarkan ketentuan tersebut, jika staf khusus menyalahgunakan kewenangannya


sebagai Staf Khusus Presiden, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara, maka
staf khusus tersebut dapat dipidana berdasarkan UU Tipikor.

3. Studi Kasus:
Bapak X adalah seorang pejabat yang diberikan tugas dari instansi Kementerian Y untuk
melakukan rekrutmen secara terbuka kepada publik terkait posisi pegawai yang kosong.
Adapun posisi pegawai yang dibutuhkan adalah untuk 1 orang. Melalui rangkaian proses
seleksi, masuklah kepada tahap wawancara, peserta yang berhak mengikuti tahapan ini
adalah sebanyak 4 orang. Pada tahap wawancara, Bapak X terlibat sebagai salah satu
panelis dan penilai.

Setelah wawancara selesai dilakukan, diumumkan 1 orang yang lolos seleksi, yaitu Sdr. Y.
Ternyata Sdr. Y adalah keponakan dari bapak X. Diketahui bahwa nilai wawancara yang
diberikan oleh Bapak X kepada Sdr. Y sangat besar yaitu 100. Sedangkan kepada 4
peserta lain berturut – turut adalah A mendapatkan nilai 65, B mendapatkan nilai 70, dan
C mendapatkan nilai 75. Bapak X menyangkal bahwa pemberian nilai tersebut
dikarenakan adanya hubungan keluarga, dan menegaskan bahwa Sdr. Y memang memiliki
kualifikasi sehingga berhak mendapatkan nilai 100. Salah satu peserta mengklaim bahwa
dalam beberapa kesempatan Bapak X kerap berkomunikasi dengan Sdr. Y sebelum
wawancara dilakukan, dan menurutnya pertanyaan – pertanyaan yang diberikan juga
berbeda dengan peserta lainnya (tidak menyentuh substansi dan lebih mudah dijawab).
Pertanyaan:
Apakah perbuatan bapak X merupakan bentuk dari tindak pidana korupsi?
Jika iya apa dasar hukumnya, apa saja bukti – bukti yang merujuknya, jelaskan analisa
kasus anda!
Jika tidak, jelaskan alasannya, apa dasar hukumnya, apa saja bukti – bukti yang
merujuknya, jelaskan analisa kasus anda!
Jawaban :
Iyaa Benar tindakan Bapak X adalah merupakan salah satu tindak pidana korupsi, Karena
adanya hubungan saudara bapak X dan Y merupaakan adanya kepentingan pribadi
didalam kasus ini , sehingga hasil atau nilai yang diberikan tidak murni atau tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, selain itu juga, didalam memberikan pertanyaan pada
setiap kandidat berbeda-beda dan tidak sesuai dengan standar wawancara didalam
substitusi tersebut, dan sehingga terjadinya perbedaan dalam hasil penilaian masing-
masing peserta.
Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan
negara terdapat dalam pasal 3 UU no 31 tahun 1999 JO UU no 20 tahun 2021:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
Perekonomian Negara.
Atas tindakannya tersebut maka Bapak X bisa dikenakan sanksi Pidana sebagai berikut :
1) Penjara seumur hidup atau paling sedikit 1 tahun dan paling lama 20 tahun penjara
2) Denda paling sedikit 50.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000.

4. Apakah seorang whistleblower yang ternyata salah memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta terbukti apa yang dilaporkan dirinya berhak untuk dipidana dengan
memberikan berita bohong dan pencemaran nama baik? Berikan analisa dan dasar
hukumnya!
Jawaban :
Seorang whistleblower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang yang
memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat
penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk disebut sebagai
whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.Dengan
demikian, seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau
kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang
diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah.
Laporan yang disampaikan oleh whistle blower merupakan suatu peristiwa faktual atau
benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah.

Dapat dilihat bahwa tindakan melaporkan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi
bukanlah merupakan hal yang dilarang dan tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata. Jika terlapor (orang yang dilaporkan) tersebut melaporkan balik pelapor
dengan dasar pencemaran nama baik, maka laporan tersebut wajib ditunda hingga kasus
yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.

Mengenai pencemaran nama baik diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat
dalam Pasal 310 s.d 321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Pelindungan
hukum diberikan kepada pelapor yang laporannya mengandung kebenaran. Dalam
memberikan pelindungan hukum tersebut, penegak hukum dapat bekerja sama dengan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban (“UU 13/2006”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”) mengatur mengenai perlindungan hukum
terhadap pelapor tindak pidana. Dimana saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut
secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau
yang telah diberikannya. Berikut bunyi pasalnya:
Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik
pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah
diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad
baik.

Anda mungkin juga menyukai