Anda di halaman 1dari 7

Jangan Hukum Korban Mafia Kepailitan

[MEDAN] Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (KY) diminta menjadikan Hasil Audit
Investigasi Polri (HAIP) sebagai petunjuk dalam membongkar dugaan praktik rekayasa kasus
yang melibatkan mafia kepailitan terhadap Direktur PT Dwimas Andalan Bali (DAB), March
Vini Handoko Putra. Barang bukti hasil audit investigasi Polri itu pun patut dijadikan
referensi sebagai pintu masuk dalam mempidanakan oknum - oknum yang terlibat dalam
kasus tersebut.

"Kasus ini sangat patut menjadi perhatian Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan
Menkopolhukam supaya membentuk tim dalam membongkar keterlibatan sejumlah oknum
- oknum jika terbukti melakukan rekayasan kasus. Ini merupakan pintu masuk untuk
melakukan revolusi mental di era Pemerintahan Jokowi," ujar Koordinator Republic
Corruption Watch (RCW), Ratno kepada SP di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Rabu
(19/11).

Ratno menyarankan, Direktur PT Dwimas Andalan Bali (DAB), March Vini Handoko Putra
melalui kuasa hukumnya meminta pengadilan untuk menjadikan tim hasil audit investigas
Mabes Polri sebagai saksi di pengadilan. Saksi dari tim audit Polri ini jika benar ada
melakukan audit investigasi, tentunya sangat membantu institusi Polri dari kepercayaan
publik. Pengadilan pun tidak boleh mengabaikan saksi maupun petunjuk dari audit
investigasi itu.

"MA bersama KY dan pengadilan harus berani membuat keputusan yang bersifat
kontoversial. Jika March Vini Handoko Putra tidak bersalah maka harus dibebaskan demi
hukum. Bahkan, pengadilan mempunyai dasar perintah yang diatur dalam Undang - undang
untuk memerintahkan aparat membongkar dugaan rekayasa kasus mafia kepailitan
tersebut. Siapa yang terlibat jika terbukti melakukan rekayasa harus diproses secara
hukum," katanya.

Jauh hari sebelum ditahan, Handoko menceritakan, penetapan tersangka terhadap dirinya
berdasarkan pengaduan Suriyanti Fitriyani dan Susanti Agustina. Keduanya melaporkan
Handoko karena merasa menjadi korban penipuan jual-beli dua unit kondotel di BKR Bali ke
Polda Bali, sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP/ 104/ III/ 2012/ Bali/ Dit Reskrimum
tanggal 30 Maret 2012 dan Nomor : LP/ 105/ 1V/ 2012/ Bali/ Dit Reskrimum tanggal 2 April
2012.

Kedua pelapor itu mengaku membeli dua unit kondotel di BKR secara lunas, namun sampai
mengadukan itu, keduanya belum menerima surat hak milik (SHM) sebagai bukti
kepemilikan kondotel tersebut. Pembayaran pembelian secara lunas itu dilakukan pelapor
dengan cara mentransfer dana pembayaran ke rekening Handoko sebagai Direktur PT DAB.
Perusahaan ini merupakan yang membangun kondotel di Bali.

"Saya tidak bisa mengeluarkan SHM milik kedua pelapor karena dipailitkan. Dalam Undang -
undang (UU) Kepailitan, saya selaku direktur tidak diperkenankan untuk menandatangani
segala bentuk surat maupun lainnya. Jika itu dilakukan justru saya yang melanggar aturan
hukum tersebut. Saya menduga, ada permainan dari mafia kepailitan yang melibatkan
oknum perbankan, korator dan oknum penyidik dan penuntut, sehingga saya sengsara. Saya
minta kasus mafia kepailitan ini diusut tuntas," tegasnya.

Ditambahkan, laporan terhadap dirinya tidak hanya dalam dua kasus pengaduan itu saja.
Sebaliknya, laporan pengaduan itu ditindaklanjuti penyidik Polda Bali dalam bentuk 12
kasus, yang berkasnya dibuat secara terpisah. "Pemisahan berkas itu akan membuat saya
teraniaya, dimana jika bebas dari masa hukuman, tentunya akan ditangkap, ditahan,
kemudian disidangkan kembali. Saya mencurigai, penyidik, penuntut bahkan pihak oknum
hakim pengadilan, masuk dalam ranah rekayasa ini," ungkapnya.

Bertentangan

Kepala Divisi Propam Polri, Irjen Pol Syafruddin melalui surat yang beredar di masyarakat,
yang ditujukan kepada Kapolda Bali Irjen Pol Benny Mukalo menegaskan, satu laporan yang
ditangani penyidik Ditkrimum Polda Bali, dan pernah melakukan penangkapan dan
penahanan selama 54 hari terhadap Nasrun. Polda Bali kemudian melakukan penangguhan
dengan alasan sudah melakukan gelar perkara karena tidak memenuhi unsur pemalsuan
akte dan penggelapan.

Rekomendasi penangguhan oleh penyidik telah bertentangan dengan rekomendasi tim


supervisi dan asistensi dari Birowassidik Bareskrim Polri. Penyidik yang menangani perkara
itu diduga sengaja merekayasa penyidikan dengan cara menyembunyikan, mengaburkan
fakta hukum, tidak melaksanakan kewajiban pembuktian dalam pemeriksaan terhadap para
saksi, alat bukti surat, pemeriksaan ahli, dapat disimpulkan menyesatkan dan melawan
hukum. Penyidik dapat dikategorikan melanggar kode etik Polri.

Kemudian, dalam surat Irjen Pol Syafruddin itu juga mengungkapkan, penanganan perkara
yang menetapkan Vini Handoko sebagai tersangka sesuai pengaduan Suryanti Fitriyani dan
Susanti Agustina, yang penyidikan sudah selesai dan dinyatakan Kejati Bali sudah lengkap (P-
21) namun dikembalikan dengan terlampainya waktu penyerahan, menyimpulkan
penanganan penyidikan sudah mengabaikan kewajiban pembuktian.

Dimana, March Vini Handoko Putra menerima pembayaran atas pembelian unit kondotel
dari para pelapor yang masuk ke rekening pribadi, yang dijadikan dasar perbuatan melawan
hukum oleh penyidik, disimpulkan sudah tidak benar. Sebab, penyidik terbukti
menyembunyikan fakta dalam perjanjian PPJB, sehingga menimbulkan kesan adanya bujuk
rayu, sehingga menjerat Vini Handoko ke ranah pidana, adalah rekayasa. Kasus itu
merupakan perdata yang tidak bisa dibawa ke ranah pidana.

Selain itu, penyidik tidak menguji atau mempertimbangkan pembuktian fakta hukum,
tentang hak pelapor yang sudah menerima benefit dari PT DAB. Benefit yang sudah
diberikan perusahaan berupa garansi ROI tentang pembagian keuntungan atas investasi
selama dua tahun, hak tinggal secara gratis di BKR selama 30 hari, hak mendapatkan
discount 50 persen dari pembelian makanan di BKR. Fakta lainnya, kewajiban Vini Handoko
dalam meningkatkan PPJB menjadi AJB terhadap pelapor tidak bisa terpenuhi karena di luar
kekuasaan.
Syafruddin juga mengungkapkan, upaya pengerahan preman ke Hotel BKR Bali pada tanggal
14 Februari 2014, yang diduga bagian dari buntut kasus pengaduan sebelumnya, merupakan
bertentangan dalam hukum. Pihak polisi yang sudah melakukan penangkapan sangat
disesalkan karena tidak melanjutkan perkara terhadap preman dan kurator sampai ke
pengadilan. Lebih memalukan, anggota Dalmas, Intel dan Sat Reskrim melakukan
pengawalan eksekusi oleh kuasa hukum Soedeson Tandra bersama dengan preman, yang
tidak sesuai perundang - undangan. Soalnya, kurator tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan eksekusi

Coba berikan opini yuridis berdasarkan artikel diatas dan juga Bagaimana pendapat saudara
mengenai pemberlakuan hukum Kepailitan di Indonesia? berikan alasan jawaban saudara
disertai contoh kasusnya dan terangkan bagaimana penyelesaian kasus tersebut!! (minimal
250 kata (lihat jumlah kata dalam ms word anda)
Jawaban :

Pailit merupakan salah satu cara yang digunakan oleh kreditur maupun oleh debitur dalam
menyelesaikan “masalah” mereka. Bagi debitur, hakekat kepailitan adalah untuk
menghindari kesewenang-wenangan dari pihak kreditur. Sedangkan hakikat kepailitan bagi
kreditur adalah untuk mendapatkan kepastian pembayaran. Bagi debitur, akibat kepailitan
adalah penyitaan harta kekayaan untuk dijual. Debitur tidak berhak lagi mengelola harta
kekayaan tersebut, karena pengelolaanya akan dilakukan oleh kurator.
Syarat yuridis untuk kepailitan adalah: Pertama, adanya utang. Minimal satu uutang sudah
jatuh tempo dan dapat ditagih. Kedua, adanya debitur. Ketiga, adanya kreditur (lebih dari
satu). Adapun permohonan peryataan pailit disampaikan ke  pengadilan niaga. Para pihak
yang dapat melakukan permintaan kepailitan adalah: debitur, kreditur, kejaksaan demi
kepentingan umum, Bank Indonesia, dan Badan Pengawas Pasar Modal.

Menurut saya, meskipun AJB dan SHMRS belum dikeluarkan, tetap kedua kondotel tersebut
adalah milik para pembeli karena pembeli sudah membayar lunas atas kondotel tersebut,
sesuai dengan pertimbangan hukum yang telah Majelis hakim buat menyebutkan :
“Menimbang, bahwa menurut ahli meskipun AJB dan SHMRS belum dibuat tidak berarti
bahwa pelawan bukan pemiliknya karena hal itu merupakan proses administrasi belaka
sebab secara yuridis ketika objek sengketa telah menjadi milik para pelawan sebagai
pembeli yang telahh membayar lunas sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku”.

“Menimbang bahwa oleh karena antara ketiga objek tersebut telah beralih kepemilikan
secara sah dan para pelawan telah melaksanakan kewajiban hukumnya kepada PT.DAB
sebagai penjual maka secara konstitusional hak-hak para pelawan patut dilindungi sesuai
maksud Pasal 28H ayat 4 UUD RI 1945 yang menyebutkan : setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun”.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, transaksi jual beli tersebut adalah sebuah perjanjian
yang sah. Dikarenakan adanya sebuah kesepakatan antara kedua belah pihak, kedua belah
pihak memenuhi kecakapan perbuatan hukum, ada obyek yang jelas dalam perjanjian dan
adanya kausa yang halal. Sehingga transaksi tersebut adalah transaksi perjanjian jual beli
yang sah. Hanya saja, persolaan kepailitan timbul dan membuat pembeli merasa tertipu
karena penjual tidak bisa mengeluarkan AJB dan SHMRS dikarenakan PT DAB dipailitkan.
Namun, kondotel tersebut tetap sah menjadi hak pembeli karena sudah adanya transaksi
pembayaran kondotel secara sah walau AJB dan SHMRS belum bisa dikeluarkan.
Pemberlakuan hukum kepailitan di Indonesia :

Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 lalu merupakan cikal bakal
lahirnya UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU). UU ini adalah pengganti aturan yang sama tentang kepailitan, yakni UU No. 4
Tahun 1998.

Hingga saat ini, sudah 19 tahun UU Kepailitan hadir di Indonesia. UU Kepailitan pun dirasa
harus direvisi mengingat banyaknya perkembangan hukum kepailitan yang memang belum
diatur dalam UU Kepailitan. Belum lagi, kasus-kasus di Pengadilan cukup banyak dan
memerlukan landasan teoritik yang kuat dalam kajian Hukum Perdata dan Hukum Bisnis

Berbagai diskusi mengenai revisi UU Kepailitan sudah sering digelar, baik dari pemerintah
terutama Kementerian Hukum dan HAM maupun dari pihak profesi seperti Kurator dan
Pengurus. Beberapa hal yang menjadi sorotan adalah persoalan ‘keadilan’ dalam penerapan
UU Kepailitan, misalnya saja menyoal kreditur yang harus didahulukan, ataupun bagaimana
posisi kreditur yang mengajukan permohonan pailit/PKPU dengan kreditur yang tidak
mengajukan.

Prof. Nindyo dan Sularto menjelaskan bahwa keadilan dalam hukum selalu berkaitan antara
hubungan orang dengan orang, dan bukan hanya individu saja. Dikutip dalam buku “Hukum
Kepailitan dan Keadilan Pancasila,” disebutkan bahwa “dalam kepailitan asas keadilan
mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi keadilan
bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan
masing-masing terhadap debitur, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.”

Contoh kasus :

Tulisan ini akan menyoroti kasus perjanjian kontrak seorang Konsultan Asuransi Warga
Negara Malaysia dengan Perusahaan Asuransi PT. Prudential Life Assurance, menyusul
permohonan pailit oleh konsultan tersebut, sehingga oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,
PT. Prudential Life Assurance dinyatakan pailit tanggal 23 April 2004. Keputusan ini tentunya
mengagetkan semua pihak dimana kinerja dan keuangan PT. Prudential Life Assurance
masih sehat. Sehingga permohonan kasasi ke Mahkamah Agung pun diajukan oleh pihak
Prudential. Tanggal 19 Mei 2004 Dewan Asuransi Indonesia meminta Mahkamah Agung
mengabulkan kasasi Prudential. Dan akhirnya 7 Juni 2004 Mahkamah Agung mengabulkan
kasasi Prudential dan menganulir keputusan pailit Pengadilan Niaga. Selain kasus ini
terdapat beberapa kasus serupa yang akhirnya muncul amandemen terhadap UU Kepailitan
No. 4/1998.

B. Duduk Perkara
Pada tanggal 1 Juli 2000 Lee Boon Siong, warga negara malaysia, bersama PT Prudential
meneken perjanjian kerjasama keagenan. Berdasarkan perjanjian itu, Lee wajib
mengembangkan keagenan dan memasarkan produk asuransi PT Prudential. Sebaliknya,
perusahaan asuransi yang mulai beroperasi di Indonesia pada 1995 itu wajib membayar
bonus atas prestasi yang dicapai Lee.

Pada tanggal 20 Januari 2004 PT Prudential membatalkan perjanjian itu secara sepihak.
Karenanya pada tanggal 7 April 2004 Lee memohonkan pailit perusahaan asuransi yang
induknya didirikan di London, Inggris, pada tahun 1848 itu.

Pengacara Lee, Lucas, menyatakan ada empat kewajiban PT Prudential yang tidak dipenuhi.
Mulai dari tidak membayar biaya perjalanan sebesat Rp 130 juta, belum membayar bonus
rekrutmen sebesar Rp 4,2 miliar, bonus konsistensi Rp 1,4 miliar, hingga jasa konsultasi
keagenan senilai Rp 360 miliar. Semua utang itu menjadi jatuh tempo karena dibatalkannya
perjanjian.
Dari keempat kewajiban tersebut hanya satu yang disetujui oleh pengadilan Niaga yaitu
bonus konsistensi. Dan ini berakibat fatal, karena syarat-syarat dalam kepailitan terpenuhi
(saat itu masih merujuk pada Undang-Undang No.4 Tahun 1998 sebelum akhirnya di
Amandemen), yaitu adanya satu utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya
minimal dua kreditor. Tak pelak tanggal 23 April 2004 majelis menyatakan PT Prudential
pailit.

Putusan ini membuat kaget sekaligus menyulut kekecewaan Presiden Direktur PT Prudential
saat itu, Charlie E Oropeza. Sebab perusahaan memiliki kondisi keuangan yang sangat kuat
saat itu sehingga putusan itu sama sekali tidak berdasar. Pada saat itu Prudential memiliki
230 karyawan dan 8000 tenaga pemasaran. Per tanggal 31 Desember 2003, tingkat risk
based capital-nya mencapai 225%, jauh melampaui ketentuan Departemen Keuangan
sebesar 100%. Sementara itu, total pendapatan premi tumbuh 114% jika dibanding pada
2002, dari Rp 477 miliar menjadi lebih dari Rp 1 triliun.
Efek ke Perusahaan Asuransi

Persyaratan kepailitan dibuat lebih sederhana supaya lebih mudah menjatuhkan pailit bagi
perusahaan-perusahaan yang enggan melunasi hutang ataupun wanprestasi. Akibatnya,
cukup banyak perusahaan mendapat vonis pailit, tak terkecuali perusahaan asuransi
yang nota bene bergerak di bidang kepentingan publik.

Menyangkut perusahaan asuransi semenjak diberlakukannya UU No.4/1998 tercatat


beberapa perkara kepailitan diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, antara lain China Trust
Commercial Bank melawan PT Asuransi Jasa Indonesia, Frederick Rachmat HS melawan PT
Asuransi Wataka, PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk melawan PT Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia, dan terakhir Lee Boon Siong melawan PT Prudential Life Assurance.

Penyelesaian kasus :
UU No.4/1998 banyak mendapat kritik karena memperlakukan perusahaan asuransi selaku
debitor tidak sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang kepentingan publik lainnya
dalam hal pengajuan permohonan pailit. Kritik tersebut diakomodir dalam amandemen UU
Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam UU No.37/2004 terdapat ketentuan
bahwa ketika debitor adalah perushaan asuransi atau reasuransi, maka pengajuan
permohonan pailit dilakukan oleh Menteri Keuangan.

Bagaimana dengan Prudential? Setelah permohonan kasasi ke Mahkamah Agung akhirnya


Prudential Indonesia telah dinyatakan menang di pengadilan dan ditegaskan oleh
Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan MA nomor 8K/N/2004, serta bebas dari tuntutan
pailit.

https://www.hukum-hukum.com/2016/06/jual-beli-tanah-sebelum-penjual-jatuh.html

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59bdda7fc02ad/menerapkan-asas-keadilan-
dalam-konsep-hukum-kepailitan-di-indonesia

https://www.academia.edu/25568444/Kasus_Kepailitan_PT_Prudential

Anda mungkin juga menyukai