Anda di halaman 1dari 5

Nama : Diah Ajeng Meliasari

NIM : 195010101111167
No. Presensi : 35
Kelas : Pidana Khusus D

1. Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang terdapat “Pihak Pelapor” yang memiliki kewajiban
dalam menyampaikan laporan kepada PPATK. Sebut dan jelaskan siapa saja pihak pelapor
tersebut!
Jawab:
Dalam UU TPPU Pasal 1 ayat (11), pihak pelapor adalah setiap orang yang menurut
undang-undang TPPU wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. Kemudian untuk
pihak-pihak pelapor itu sendiri diatur dalam Pasal 17 UU TPPU, dimana pelapor dalam
tindak pidana pencucian uang meliputi:
a. Penyedia jasa keuangan baik itu
1.) Bank;
2.) perusahaan pembiayaan;
3.) perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4.) dana pensiun lembaga keuangan;
5.) perusahaan efek;
6.) manajer investasi;
7.) custodian;
8.) wali amanat;
9.) perposan sebagai penyedia jasa giro;
10.) perdagangan valuta asing;
11.) penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;
12.) penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;
13.) koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
14.) pegadaian;
15.) perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau
16.) penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
Penyedia jasa keuangan menjadi pihak pelapor dilatarbelakangi oleh aktivitas terlapor
dalam hal menyembunyikan atau menyamarkan harta hasil pencucian uang.
b. Penyedia barang dan/atau jasa lain seperti
1.) perusahaan property/agen properti;
2.) pedagang kendaraan bermotor;
3.) pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
4.) pedagang barang seni dan antik; atau
5.) balai lelang.
Hasil pencucian uang ini biasanya diubah bentuk dengan dibelikan property,
kendaraan, perhiasan, barang seni ataupun lelang. Oleh karena itu. Penyedia barang
dan/atau jasa di atas menjadi pihak pelapor.
c. Pihak pelapor jasa keuangan selain yang tertera dalam Pasal 17 UU TPPU yang diatur
dalam PP Nomor 61 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan
TPPU terdiri dari
1.) Perusahaan modal ventura;
2.) Perusahaan pembiayaan infrastruktur;
3.) Lembaga keuangan mikro;
4.) Lembaga pembiayaan ekspor;
5.) Penyelenggara layanan pinjaman meminjam uang berbasis teknologi
informasi;
6.) Penyelenggara layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi
informasi; dan
7.) Penyelnggara layanan transaksi keuangan berbasis teknologi informasi.
Penambahan jenis penyedia jasa keuangan ini dilatarbelakangi oleh aktivitas binis
atau usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau Lembaga tersebut rentan dijadikan
sasaran tindak pidana pencucian uang.
Dimana pihak-pihak di atas wajib menyampaikan laporan kepada PPATK apabila terdapat
transaksi yang dilakukan oleh profesi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama
pengguna jasa yang diketahui patut diduga bersal dari hasil tindak pidana mengenai:
a. Pembelian dan penjualan property;
b. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya;
c. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan atau rekening
efek;
d. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan atau
e. Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.
Yang mana transaksi-tnransaksi di atas dianggap mencurigakan atau ada indikasi
terjadinya tindak pidana pencucian uang. Selain pihak-pihak di atas, terdapat profesi yang
wajib melapor sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor
dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang meliputi:
a. Advokat;
b. Notaris;
c. Pejabat pembuat akta tanah;
d. Akuntan;
e. Akuntan public; dan
f. Perencana keuangan.
Ahli profesi di atas menjadi pihak pelapor karena rentan dimanfaatkan oleh pelaku tindak
pidana pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usaha harta
kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan cara berlindung dibalik
ketentuan kerahasiaan hubungan profesi dengan penggunaan jasa yang diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Menurut saudara apa yang dimaksud dengan Prinsip Mengenali Penggunaan Jasa?
Jelaskan!
Jawab :
Sependek pengetahuan saya, prinsip mengenali pengguna jasa (PMPJ) merupakan prinsip
yang diterapkan bagi penyedia jasa ataupun barang untuk dapat mengetahui profil,
karakteristik, serta pola transaksi dari pengguna jasa. Prinsip pengguna jasa ini diatur
tersendiri dalam Bagian Kedua UU TPPU, dimana didalamnya menyebutkan bahwa pihak
pelapor yang mana terdiri dari penyedia jasa keuangan, penyedia barang dan ahli profesi
wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa pada saat:
a. Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa;
b. Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang
nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp. 100.000.000,- (serratus juta rupiah);
c. Terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang
dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak pelapor menggunakan kebenaran informasi yang dilaporkan.
Prinsip mengenali pengguna jasa ini sekurang-kurangnya memuat:
a. Identifikasi pengguna jasa;
b. Verifikasi pengguna jasa; dan
c. Pemantauan transaksi pengguna jasa.
3. Sanksi apakah yang bisa diterapkan kepada Pihak Pelapor yang tidak menjalankan
kewajibannya?
Jawab :
Bagi pihak pelapor yang tidak menjalankan kewajibannya akan dapat dikenai sanksi
administratif. Adapun sanksi administratif yang dapat dieknakan oleh PPATK (karena
belum dibentuknya Lembaga pengawas dan pengatur) yaitu:
a. Peringatan;
b. Teguran tertulis;
c. Pengumuman kepada public mengenai tindakan atau sanksi; dan/atau
d. Denda administratif.
4. Jelaskan perbedaan kedudukan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat
bukti UU Tipikor dan UU TPPU!
Jawab :
Adapun perbedaan kedudukan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat
bukti UU Tipikor dan UU TPPU adalah sebagai berikut:
a. Dalam UU Tipikor
Dalam Pasal 26 A disebutkan bahwasanya informasi elektronik dan dokumen
elektronik merupakan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk. Dimana alat bukti
petunjuk tidak mungkin diperoleh dan digunakan sebelum digunakannya alat-alat
bukti lain. Jadi, alat bukti petunjuk ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi bergantung
pada alat bukti lain. Dalam hal ini, alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada selama
tidak ada alat bukti yang lain yang menjadi sumber kelahirannya. Alat bukti petunjuk
ini bergantung pada adanya kesesuaian dengan alat bukti petunjuk lainnya, sehingga
alat bukti petunjuk tidak bernilai apabila tidak menunjukkan adanya kesesuaian
dengan alat-alat bukti yang lain.
Alat bukti petunjuk berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam UU
Tipikor ini merupakan perluasan alat bukti yang tidak hanya terbatas pada
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa saja. Jadi, alat bukti informasi
elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah. Namun, karena
informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan perluasan dari ketiga alat
bukti petunjuk lainnya, maka alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik
hanya dapat digunakan dalam keadaan yang mendesak apabila hakim belum mendapat
alat bukti minimum atau belum mendapat keyakinan atas suatu tindak pidana.
b. Dalam UU TPPU
Sedangkan mengenai alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam
UU TPPU diatur dalam Pasal 73, dimana dalam UU ini diakui dua jenis alat bukti
yakni:
1.) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, dan
2.) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic atau alat yang serupa optic dan dokumen.
Apabila melihat pernyataan mengenai alat bukti di atas, maka kedudukan alat bukti
elektronik sebagai alat bukti yang sah bersifat menambahkan alat bukti yang telah
diakui dalam KUHAP, sehingga alat bukti tersebut berjumlah menjadi tujuh yaitu,
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan/atau alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic atau alat yang serupa optic, dan dokumen. Jadi
dalam UU TPPU ini, alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik memiliki
kedudukan yang kuat karena setara dengan alat bukti lain dalam KUHAP. Dlam
system pembuktian menurut KUHAP tidak mengenal kekuatan pembuktian yang
didasarkan pada urut-urutan alat buktinya, artinya daya pengaruh atau kekuatan alat-
alat bukti yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih kuat, sekalipun alat bukti
elektronik merupakan alat bukti yang baru dan berada dalam uruta terakhir.

Anda mungkin juga menyukai