Anda di halaman 1dari 5

JUSTICE COLLABORATOR DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA

Oleh AHMAD SOFIAN (Februari 2018)

Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran
kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh
penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang
bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki
oleh justice collaborator antara lain:
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak
pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa
dicapai kepada negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai
tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari
keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang
akan dijatuhkan.
Terminologi
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an.
Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu
norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau
dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau
memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan
hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di
beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986),
dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against
Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka korupsi secara global.
Dengan adanya kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-
nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal
yang diatur di dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah
penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan
aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain
pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak
hukum dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003).
Norma Hukum Nasional
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014
(perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum
dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi
Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang
proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh
penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya SEMA di atas
didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti
teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah
menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus
kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana
yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi
tindak pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu
mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus
Selanjutnya, dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai
saksi dalam perkara tersebut;
2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan
yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang
signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan:

 Pidana percobaan bersyarat dan atau;


 Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan
dalam masyarakat.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di
lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun
bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak
memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan
perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator.
KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan
demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice
collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan
perlindungan kepada justice collaborator.
Selain SEMA, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana peraturan
tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun
dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah
penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama. Perwujudan dari penanganan
khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat
pada Pasal 6 ayat 3. Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari
pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam
praktiknya tidak mendapatkan penanganan khusus.
Atas kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator, maka Undang-undang No. 13
Tahun 2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10
Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
rumusan normanya adalah sebagai berikut:
1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut
secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau
laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau
laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku,
dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau
telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang
ia laporkan atau ia berikan kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)

1. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses


pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
2. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan
tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;

(2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan
terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang
diungkapkannya dan/atau:

(3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan


terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :

 Keringanan penjatuhan pidana; atau


 Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang
berstatus narapidana.
Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada
penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan Untuk memperoleh
penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun
2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahan
pertama adalah untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga
mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi
demikian, muncul pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan
sebagai justice collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya? Dalam
praktik, ada tiga jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Pertama; permohonan
sebagai justice collaborator diajukan kepada KPK. Kedua, untuk mendapatkan penanganan
khusus, sangat tergantung dari instansi yang menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian
apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan sebagai justice collaborator atau tidak bisa,
keputusannya ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan
ketentuan justice collaborator menjadi sangat subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan
dalam menentukan apakah seseorang layak mendapatkan status justice collaborator atau
tidak layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak
mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap pengadilan belum
tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman seorang justice collaborator.
Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk mendapatkan remisi tambahan,
pembebasan bersyarat kepada justice collaborator tidak serta merta menjadi pertimbangan
dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi
KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma
hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice
system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi
tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang
ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki
kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang
diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu: “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.
Studi Kasus
Agus Condro Prayitno adalah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI dari PDI
Perjuangan Periode 1999-2004. Bersama dengan tiga rekannya yaitu Max, Willem dan
Rusman menjadi terpidana karena menerima cek pelawat usai kemenangan Miranda
Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Agus Condro
Prayitno lebih ringan satu tahun dibandingkan dengan tiga rekannya. Agus Condro dituntut
selama satu tahun enam bulan dengan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan. Berbeda
dengan Max Moein, Rusman Lumban Toruan, dan Willem Max Tutuarima. Ketiga rekan Agus
Condro dituntut pidana selama dua tahun enam bulan, denda Rp 50 juta, subsider tiga
bulan. Khusus bagi Max Moien dan Rusman Lumban Toruan, jaksa menambah tuntutan
pidana perampasan uang dan barang-barang yang diperoleh hasil korupsi atau harta
kekayaan senilai Rp 500 juta yang dimiliki oleh terdakwa dan keluarganya. Jaksa juga
meminta uang tunai Rp 100 juta yang dikembalikan Agus Condro menjadi rampasan negara.
Perbedaan tuntutan jaksa pada kasus di atas didasarkan pada alasan bahwa Agus Condro
membantu KPK dalam membongkar skandal korupsi dalam pemilihan Miranda sebagai
Deputi Gubernur Bank Indonesia.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Suhartoyo, memutuskan
Agus Condro bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Agus
disidangkan bersama tiga terdakwa lain sesama mantan anggota Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan DPR periode 2004-2009, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan
Willem Tutuarima. Max dan Rusman divonis satu tahun delapan bulan penjara, sedangkan
Willem divonis satu tahun enam bulan. Agus Condro sendiri divonis satu tahun 3 bulan.
Hanya berberbeda tipis dengan pelaku korupsi lainnya.
Penutup
Pentingnya perlindungan hukum terhadap justice collaborator, perlakuan khusus dan
hukuman percobaan/peringanan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk dapat
membuat sebuah perisitiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang menderang.
Namun untuk mewujudkan misi penyelesaian akan tindak pidana, peraturan yang ada tidak
mendukung untuk memujudkanya. Demikian juga dengan keberadaan LPSK yang diberikan
mandat oleh undang-undang yang tidak maksimal menjalankan fungsinya. Situasi di atas
tentunya harus segera diatasi. Dalam jangka panjang, KUHAP harus mamasukkan
pengaturan yang tegas dan jelas mengenai hal justice collaborator, dan LPSK juga harus
diberikan mandat untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi justice collaborator,
dan dimandatkan juga sebagai bagian dari criminal justice system. Dengan kelengkapan
instrumen hukum maka keberadaan justice collaborator bisa mengungkap berbagai kasus
pidana menjadi lebih jelas. (***)

Anda mungkin juga menyukai