Anda di halaman 1dari 5

Nama : Windi Oktaviyani

Nim : 02011181924019
Kampus Indralaya
Tugas Kapita Selekta Hukum Pidana
Ringkasan Tentang Justice Collaborator

Justice Collaborator

Justice Collaborator merupakan orang-orang yang justru diperalat oleh pelaku utama dalam
melakukan tindak pidana. Peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun
bukan pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya.

Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran
kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh
penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang
bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki
oleh justice collaborator antara lain:
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana,
sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada
negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai
tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan
tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan
atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung,
Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang
proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak
hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu
yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang,
telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus
kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang
membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak pidana
tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu mendapatkan
perlindungan hukum dan perlakuan khusus
Selanjutnya, dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam
perkara tersebut.
2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga
dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan:

 Pidana percobaan bersyarat dan atau.


 Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam
masyarakat.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di
lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi
penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki
otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus.
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak
memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak
mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif
kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk
mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator.
Selain SEMA, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana peraturan
tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun dalam
pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah penanganan
khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama. Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi
pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat pada Pasal 6 ayat 3.
Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama,
sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak mendapatkan
penanganan khusus.
Atas kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator, maka Undang-undang No. 13 Tahun
2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 Undang-
undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan
normanya adalah sebagai berikut:
1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara
hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang akan,
sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan
tidak dengan iktikad baik.
2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau
Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan,
tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia
berikan kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)

1. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan
dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
2. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku
dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya.
(2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan
terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang
diungkapkannya dan/atau.

(3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan


terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

 Keringanan penjatuhan pidana; atau


 Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang
berstatus narapidana.
Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut
umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan Untuk memperoleh penghargaan
berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun
2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahan pertama
adalah untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada
tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi demikian, muncul
pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai justice
collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya? Dalam praktik, ada tiga jawaban
atas pertanyaan tersebut di atas. Pertama; permohonan sebagai justice collaborator diajukan
kepada KPK. Kedua, untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang
menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan
sebagai justice collaborator atau tidak bisa, keputusannya ditentukan oleh instansi yang
bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan ketentuan justice collaborator menjadi sangat
subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan dalam menentukan apakah seseorang layak
mendapatkan status justice collaborator atau tidak layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan
keringanan hukuman sifatnya tidak mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh
LPSK terhadap pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman
seorang justice collaborator. Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk mendapatkan
remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada justice collaborator tidak serta merta menjadi
pertimbangan dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi
KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum
pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak
ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu
dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK berbeda
sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata
penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi,
yaitu: “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.
Pentingnya perlindungan hukum terhadap justice collaborator, perlakuan khusus dan
hukuman percobaan/peringanan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk dapat membuat
sebuah perisitiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang menderang. Namun untuk
mewujudkan misi penyelesaian akan tindak pidana, peraturan yang ada tidak mendukung untuk
memujudkanya. Demikian juga dengan keberadaan LPSK yang diberikan mandat oleh undang-
undang yang tidak maksimal menjalankan fungsinya. Situasi di atas tentunya harus segera diatasi.
Dalam jangka panjang, KUHAP harus mamasukkan pengaturan yang tegas dan jelas mengenai
hal justice collaborator, dan LPSK juga harus diberikan mandat untuk dapat memberikan
perlindungan hukum bagi justice collaborator, dan dimandatkan juga sebagai bagian dari criminal
justice system. Dengan kelengkapan instrumen hukum maka keberadaan justice collaborator bisa
mengungkap berbagai kasus pidana menjadi lebih jelas.

Anda mungkin juga menyukai