Anda di halaman 1dari 5

(Kelompok III)

Peran Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi

Sri Irawati Zainuddin*, Putri Dwi Yana H*, Yulfira Briliyanti*, Arfan jayakusuma*
*​
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

Hardianto Djanggih, SH, MH


**Dosen Pengasuh Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi dan Ekonomi

Abstrak
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui apakah peran dari pelaku tindak
pidana yang bekerjasama (​justice collaborator​) dan bagaimana seseorang dapat berperan sebagai
justice collaborator dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Proses
pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan status sebagai justice collaborator diatur dalam ​Angka 9
SEMA No.4 Tahun 2011 ​dimana seorang justice collaborator sebelumnya bukanlah pelaku utama
dalam suatu tindak pidana dan jaksa penuntut umum telah mengakui bahwa yang bersangkutan telah
berkata jujur dalam keterangannya. 2. Peran justice collaborator sendiri adalah membantu aparat
hukum dalam mengungkapkan kasus tindak pidana korupsi yang juga melibatkan dirinya dengan
memberikan keterangan-keterangan yang asli dan jujur menyangkut perbuatan yang telah
dilakukannya dan juga pelaku-pelaku lain yang ikut membantu menjalankan misi tindak pidana
korupsi ini. Dimana seorang yang menjadi justice collaborator ini dapat deberikan perlakuan khusus
berupa diberikan konpensasi berupa pidana percobaan atau pidana penjara paling ringan dibandingkan
terdakwa yang lain oleh hakim.
Kata Kunci
Peran Justice Collaborator, Tindak Pidana Korupsi

Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi :
● Pasal 2 Ayat (1) : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).
● Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Korupsi memang bukan fenomena baru di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Lama
gejala munculnya penyakit korupsi juga telah nampak, yang kemudian melahirkan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat berupa peraturan Nomor Prt/Perpu/C13/1958
yang dijadikan dasar untuk melakukan pemberantasan korupsi. Pada peraturan ini terdapat sistem
yang membuatnya cukup istimewa, yakni sistem pendaftaran harta benda pejabat publik oleh Badan
Penilik Harta Benda dan juga terdapat peraturan tentang pengajuan gugatan perdata berdasarkan
perbuatan melanggar hukum bagi orang yang menpunyai harta benda yang tidak seimbang dengan
pendapatannya. Peraturan ini memuat upaya pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana
maupun gugatan perdata, disertai sistem preventif berupa pendaftaran harta benda pejabat. Kemudian
dikoreksi oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang menghilangkan jalur preventif dan
gugatan perdata sehingga praktis upaya pemberantasan korupsi masa pemerintahan Orde Lama tidak
efektif karena tidak mampu menyeret pelaku korupsi ke meja hijau.
Hariman Satria1 mengatakan bahwa di Indonesia kasus korupsi sendiri digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (​extra ordinary crime)​ . Paling tidak ada empat sifat dan karakteristik kejahatan
korupsi sebagai ​extra ordinary crime​, pertama korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang
dilakukan secara sistematis, kedua korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit
sehingga tidak mudah untuk membuktikannya, ketiga korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan,
keempat korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan orang banyak karena keuangan negara yang
dicuri sangat bermanfaat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Masalah korupsi di tanah air sendiri semakin menjadi-jadi. Semenjak dibentuknya Komisi
Pemberantasan Anti Korupsi, pemberantasan korupsi bersifat transparan. Seperti yang menjadi
tugasnya, KPK sendiri terus melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntuntan terhadap tindak
pidana korupsi2. Tercatat dari tahun ke tahun menunjukkan adanya indikasi peningkatan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan kasus korupsi oleh KPK di berbagai sektor pemerintahan3.
Kejahatan luar biasa seperti korupsi ini tidak bisa diatasi dengan cara yang biasa-biasa saja.
sebelumnya di atas telah disebutkan sifat dan karakteristik ​extra ordinary crime​, sehingga diperlukan
metode yang luar biasa untuk mengatasinya. Di lain sisi negara menyadari bahwa pengungkapan tabir
kejahatan transional terorganisasi dibutuhkan peran serta saksi4. Pada kasus terorganisasi seperti
korupsi, saksi memegang peranan yang sangat penting dalam mengungkap kasus tersebut. Dalam
pasal 184 ayat (1) menyebutkan salah satu yang merupakan alat bukti adalah keterangan saksi. Sangat
sulit mendapati saksi yang mau berkata jujur, maka dalam kasus korupsi biasanya penyidik
bekerjasama dengan pelaku untuk mengungkap pelaku yang lain, dalam artian pelaku memiliki dua
peran yaitu sebagai pelaku dan saksi. Inilah yang dikenal dengan ​justice collaborator​.
Tulisan ini dianggap penting demi memahami lebih lanjut mengenai peran justice collaborator
dalam menuntaskan kasus korupsi di Indonesia.

Permasalahan
Untuk memfokuskan pengkajian karya ilmiah ini, permasalahan yang akan dikaji, ​Pertama;
Bagaimana Proses Pelaku Tindak Pidana Korupsi Mendapatkan Status ​Justice Collaborator?, Kedua;.​
Bagaimana Peran ​Justice Collaborator ​Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi?

Metode Penelitian

1
Hariman Satria, ​Menakar Perlindungan Justice Collaborator,​ Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2,
2016, hal 3
2
sumber: ​www.kpk.go.id//id/tentang-kpk/fungsi-dan-tugas​ , diakses 5 April 2018
3
Ahmad Yunus, ​Penetapan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Justice Collaborator, h ​ al 4757.
yang dikutip dari Penjelasan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi:
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.
4
Hariman Satria, Op.Cit, Hal. 6
Karya ilmiah ini dalam mengkajinya menggunakan penelitian hukum normatif yang sifatnya studi
pustaka dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan masalah. Adapun penelusuran
pustaka dianalisis secara kualitatif………………………………………………….

Pembahasan
1. Proses Pelaku Tindak Pidana Korupsi Mendapatkan Status ​Justice Collaborator
justice collaborator a​ tau pelapor tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka dalam kasus
yang sama. Saksi seperti ini juga biasa disebut “saksi mahkota”, “saksi kolaborator”, dan
“kolaborator hukum”.
pada dasar nya ​terdapat tiga bentuk aturan yang mengatur tentang ​Justice Collaborator yakni, SEMA
No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (​Whistleblower​) dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama (​Justice Collaborator)​ di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Peraturan
Bersama antara KPK, LPSK, Kepolisian, Kejaksaan, Menkumham, dan UU No.31 Tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (​Justice Collaborator​)
telah tertuai pada ​Angka 9 SEMA No.4 Tahun 2011 ​adalah sebagai berikut:
A. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana
dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama
dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan
B. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau
penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap
pelaku- pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan
aset-aset/hasil suatu tindak pidana;
C. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana
dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat
mempertimbangkan hal hal penjatuhan pidana sebagai berikut
a. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
b. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa
lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam pemberian
perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
D. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada
majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang
diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Dari aturan di atas salah satu di dalamnya mengatakan adanya keringanan hukuman bagi pelaku
yang siap bekerjasama dalam pengungkapan pelaku lainnya. Penetapan pelaku yang bekerjasama
(​justice collaborator)​ , harus dilakukan secara bijak agar jangan sampai pelaku yang merupakan aktor
intelektual dari tindak pidana korupsi tersebut mendapatkan perlakuan berupa keringanan hukuman
karena bersedia menjadi ​justice collaborator,​ sedangkan terdakwa yang hanya sebagai perantara atau
hanya mendapatkan bagian yang kecil dari tindak pidana tersebut justru dihukum lebih berat dari
pelaku utamanya sendiri.5

5
Ahmad Yunus, ​Op.Cit, ​Hal 4764
2. Peran ​Justice Collaborator ​Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi

Justice collaborator memiliki peran yang sangat dominan dan strategis dalam membantu
aparat penegak hukum untuk membongkar dan mengungkap tindak pidana. hal itu dikarenakan,
seorang justice collaborator adalah orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana
terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi. Namun posisi seorang
justice collaborator berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011,
bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya suatu tindak pidana tertentu. justice collaborator sering
digunakan untuk mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri
dan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana.6
Memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan merupakan peran seorang justice
collaborator. inisiatif untuk memberikan keterangan tentang tindak pidana berdasarkan dari dalam diri
pelaku dengan sadarnya ingin mengakui perbuatan yang dilakukannya kemudian membantu penegak
hukum dalam memberikan keterangan berhubungan dengan tindak pidana yang telah dilakukannya
serta keterlibatan pelaku lainnya.
Atas bersedia seorang justice collaborator dapat diberi kompensasi berupa pidana percobaan
bersyarat atau pidana penjara paling ringan dibandingkan terdakwa lainnya dalam perkara yang sama.
hal ini telah ditegaskan dalam SEMA No 4 tahun 2011, bahwa pemberian pelakuan khusus tetap harus
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Namun, hingga saat ini negara belum memberikan penghargaan dan perlindungan maksimal
kepada ​Justice Collaborator​ di Indonesia. Program perlindungan bagi ​whistle blower dan Justice
Collaborator yang tertuang dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban Jo. UU No. 31 Tahun 2014 belum memadai sebagai landasan pijakan hukum bagi aparat
hukum untuk memberikan perlindungan hukum.
Bahkan, banyak ​Justice Collaborator juga menerima hukuman yang sama dengan para
tersangka/terdakwa lainnya. Artinya, perannya untuk mengungkap kejahatan secara lebih luas, lebih
dalam, lebih cepat sama sekali tidak diperhitungkan oleh para penegak hukum terutama peraturan
yang mengaturnya. Dalam kasus Damayanti, Abdul Khoir yang juga ditetapkan KPK sebagai ​Justice
Collaborator justru memperoleh hukum hampir dua kali lipat lebih berat dari tuntutan penuntut
umum. Ternyata menjadi ​Justice collaborator​ bukan jaminan untuk mendapatkan hukuman yang lebih
ringan.

Kesimpulan
1. Proses pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan status sebagai justice collaborator diatur
dalam ​Angka 9 SEMA No.4 Tahun 2011 ​dimana seorang justice collaborator sebelumnya
bukanlah pelaku utama dalam suatu tindak pidana dan jaksa penuntut umum telah mengakui
bahwa yang bersangkutan telah berkata jujur dalam keterangannya.
2. Peran justice collaborator sendiri adalah membantu aparat hukum dalam mengungkapkan
kasus tindak pidana korupsi yang juga melibatkan dirinya dengan memberikan
keterangan-keterangan yang asli dan jujur menyangkut perbuatan yang telah dilakukannya
dan juga pelaku-pelaku lain yang ikut membantu menjalankan misi tindak pidana korupsi ini.
Dimana seorang yang menjadi justice collaborator ini dapat deberikan perlakuan khusus

6
Briant Derek, ​Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Justice Collaborator Menurut Hukum Pidana
​ ex et Societatis, Vol. V Nomor 5, 2017, hal 113
Indonesia, L
berupa diberikan konpensasi berupa pidana percobaan atau pidana penjara paling ringan
dibandingkan terdakwa yang lain oleh hakim.
Daftar Pustaka
Ahmad Yunus, ​Penetapan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Justice Collaborator
Briant Derek, Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Justice
Collaborator Menurut Hukum Pidana Indonesia, Lex et Societatis, Vol. V Nomor 5,
2017
Hariman Satria, ​Menakar Perlindungan Justice Collaborator,​ Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2,
2016
www.kpk.go.id//id/tentang-kpk/fungsi-dan-tugas​ , diakses 5 April 2018

Anda mungkin juga menyukai