Anda di halaman 1dari 6

LEGAL SUMMARY

PENGUATAN PERLINDUNGAN HARTA KEKAYAAN PIHAK KETIGA BERITIKAD


BAIK DALAM PERKARA TIPIKOR DAN TPPU

TULISAN INI MENCAKUP :

1. PENGERTIAN DAN ATURAN HARTA PIHAK KETIGA DALAM PERKARA


TIPIKOR MAUPUN TPPU
2. PERLINDUNGAN BAGI PIHAK KETIGA YANG BERITIKAD BAIK

DASAR HUKUM :

- Undang-Undang UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
- UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
- Undang-Undang No.7 Tahun 2006 Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption Tahun 2003
- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

PENGERTIAN DAN ATURAN HARTA PIHAK KETIGA DALAM PERKARA


TIPIKOR MAUPUN TPPU

1. Bahwa selama ini konsep pihak ketiga lebih dikenal dalam ranah hukum
perdata. Dalam hukum tata usaha negara (TUN) dan pidana (khusus)
menggunakan beragam istilah, seperti pihak ketiga yang berkepentingan,
pihak lain, pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan, pihak yang
dirugikan, pihak yang berlu diberitahu, pihak yang paling berhak, dan pihak
lain yang terkait.

2. Bahwa perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik (bona fide third
parties) terkait harta kekayaan yang dimilikinya serta hubungannya dengan
perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di
Indonesia. Serta proses peradilan seringkali terlalu mengedepankan hak-hak
tersangka atau terdakwa, dengan kata lain, peradilan pidana saat ini dapat
dikatakan belum mengakomodir kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik
yang seharusnya dilindungi.

3. Bahwa perlindungan hukum terhadap pihak ketiga belum terjamin dalam


proses hukum (due process of law). Misalnya, tidak ada kewajiban penyidik
untuk membuktikan alasan penyitaan harta kekayaan pihak ketiga. Begitu
pula majelis hakim dalam ketika memutuskan harta kekayaan tersebut
dirampas negara atau dikembalikan (ke pemiliknya). Seharusnya ada
kewajiban, misalnya penyidik membuktikan melalui akuntansi forensic atau
Analisa PPATK yang kemudian menjadi dasar melakukan penyitaan harta
kekayaan pihak ketiga.

4. Bahwa Penyidik diberikan kewenangan melakukan upaya paksa, seperti


penyitaan, pemblokiran, dan/atau pembekuan properti atau aset pihak ketiga.
Tindakan ini terkait proses pembuktian di persidangan. Pengadilan akan
memutus apakah harta kekayaan pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara
pidana dirampas oleh negara atau dikembalikan kepada yang bersangkutan
jika tidak terkait dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang
disangkakan, didakwakan, dan/atau diajukan penuntutan di pengadilan.

5. Bahwa selanjutnya Dalam sejumlah putusan perkara pidana korupsi, Patra


melihat majelis hakim yang memeriksa dan memutus status harta
kekayaan/harta benda dan uang yang sejak proses penyidikan disita oleh
penyidik, dibekukan atau diblokir, dan baru dikembalikan kepada pemiliknya
jika perkara sudah diputuskan (inkracht). Persoalannya, pihak ketiga yang
harta kekayaannya disita tidak dapat menggunakan atau memanfaatkannya
dalam waktu yang cukup lama.

6. Bahwa Pasal 194 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) KUHAP menjamin barang
bukti atau benda yang disita dikembalikan kepada pihak yang paling berhak
dalam putusan pengadilan. Namun, tidak ada upaya hukum bagi pihak ketiga
yang beritikad baik untuk mempertahankan hak atas benda yang dirampas
untuk negara dalam putusan pengadilan, kecuali upaya hukum keberatan
dalam waktu paling lambat 2 bulan berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2)
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berbunyi :

“Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak
ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang
bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan
pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum”

7. Bahwa kejadian tersebut terjadi karena absennya kewajiban penuntut umum


menguraikan alasan dan dasar hukum barang-barang bukti berupa harta
kekayaan disita, diblokir, dan/atau dibekukan. Di satu sisi, pengadilan melalui
amarnya dapat memutuskan merampas barang bukti terkait dengan tindak
pidana. Di sisi lain, pengadilan juga dapat memutus untuk tidak merampas
barang bukti milik pihak ketiga yang terkait dengan tindak pidana meskipun
UU memerintahkan untuk merampasnya.

8. Bahwa tindak pidana korupsi dan pencucian uang umumnya terkait harta
kekayaan seseorang, tidak hanya pelakunya, tapi juga harta kekayaan pihak
ketiga. Terdapat irisan hukum pidana korupsi dengan hukum pidana
pencucian uang dalam konteks pihak ketiga ini. Dalam perspektif tindak
pidana pencucian uang, pihak ketiga yang tidak beritikad baik dapat dituntut
dengan Pasal 5 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi :

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,


pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

9. Bahwa jika pihak ketiga terbukti tidak beritikad baik, yang bersangkutan dapat
diproses hukum menjadi tersangka. Sebaliknya, jika terbukti ada itikad baik,
yang bersangkutan harus dilindungi. Sesuai UU No.8 Tahun 2010, menurut
Patra memberlakukan ketentuan sanksi pidana yang sama antara pelaku
pembantu (medeplictige) dengan pelaku utama (dader) tindak pidana
pencucian uang. Begitu juga pihak ketiga yang menerima hasil tindak pidana
pencucian uang, dapat diminta pertanggungjawaban pidana.

PERLINDUNGAN BAGI PIHAK KETIGA YANG BERITIKAD BAIK

1. Istilah pihak ketiga yang beritikad baik tertuang antara lain dalam Pasal 19
dan Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU Pemberantasan Tipikor. Konvensi PBB
tahun 2003 yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006 memuat kewajiban
negara melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Konvensi ini
menyebutkan negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum
yang melindungi pihak ketiga yang beritikad baik dalam hal terjadi
pembekuan, penyitaan, dan pengambilan aset. Demikian pula dalam hal
terjadi pengembalian ataupun perampasan aset dalam perkara tindak pidana
korupsi.

2. Bahwa perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik atas harta
kekayaan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang sangat terbatas. Seringkali terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak
atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara pidana korupsi dan
pencucian uang oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim pengadilan
tindak pidana korupsi di Indonesia.

3. Bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim berperan penting untuk


mencapai tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan dan memberikan
perlindungan hukum bagi pihak ketiga, termasuk perlindungan atas harta
kekayaan yang dimilikinya dengan itikad baik. Sebab, hukum pidana belum
memadai untuk menentukan apakah pihak ketiga beritikad baik atau buruk.
Oleh karenanya penyidik, penuntut umum, dan hakim perlu menggunakan
pendekatan interdisipliner dalam menjalankan kewenangannya.
KESIMPULAN

1. Bahwa perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik atas harta
kekayaan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian
uang sangat terbatas. Seringkali terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak
atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara pidana korupsi dan
pencucian uang oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim pengadilan
tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Serta penyidik, penuntut umum, dan hakim berperan penting untuk mencapai
tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan dan memberikan perlindungan
hukum bagi pihak ketiga, termasuk perlindungan atas harta kekayaan yang
dimilikinya dengan itikad baik. Sebab, hukum pidana belum memadai untuk
menentukan apakah pihak ketiga beritikad baik atau buruk.

REKOMENDASI

1. Dalam disertasi Arief Patramijaya berjudul “Perlindungan Hukum Pihak Ketiga


yang Beritikad Baik (Bona Fide Third Parties) Atas Harta Kekayaan dalam
Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uangguna
mewujudkan keadilan dan perlindungan HAM, perlu diatur ganti kerugian
dan/atau pemberian kompensasi kepada pihak ketiga yang harta
kekayaannya disita dan oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap dikembalikan kepada yang bersangkutan. Hal ini disebabkan
selama dalam proses hukum, yang bersangkutan tidak dapat
menggunakan/memanfaatkan harta kekayaannya akibat upaya paksa ini.
Idealnya, pengaturan ini dimuat dalam KUHAP.

Anda mungkin juga menyukai