( PENDAPAT HUKUM )
DOSEN PENGAMPU : Dwi Nur Fauziah Ahmad, SH., MH
Dibuat Oleh:
Administrative Forfeiture
Tindakan in rem (terhadap properti) yang mengizinkan properti disita ke
Amerika Serikat tanpa mengajukan kasus di pengadilan federal. Proses penyitaan
administratif terjadi sebelum agen yang menyita aset ketika tidak ada yang
mengajukan klaim yang menentang penyitaan tersebut. Ada banyak prosedur
yang berlaku, termasuk batasan waktu yang ketat dan persyaratan pemberitahuan
yang dirancang untuk melindungi kepentingan dan hak pemilik properti. Setiap
penyitaan properti yang tunduk pada penyitaan administratif harus didasarkan
pada kemungkinan penyebab. Manfaat utama penyitaan administratif adalah
untuk menghindari membebani pengadilan dengan tindakan yudisial ketika tidak
ada yang menentang penyitaan properti yang disita.
Civil Forfeiture
Proses pengadilan in rem (melawan properti) diajukan terhadap properti
yang berasal dari atau digunakan untuk melakukan pelanggaran, bukan terhadap
orang yang melakukan pelanggaran. Tidak seperti penyitaan pidana, tidak ada
hukuman pidana yang diperlukan, meskipun pemerintah masih harus
membuktikan di pengadilan bahwa properti tersebut terkait dengan aktivitas
kriminal. Persidangan memungkinkan pengadilan untuk mengumpulkan siapa pun
yang berkepentingan dengan properti dalam kasus yang sama dan menyelesaikan
semua masalah dengan properti tersebut sekaligus. Dalam kasus penyitaan
perdata, pemerintah adalah penggugat, properti adalah tergugat, dan siapa pun
yang mengklaim kepentingan atas properti tersebut adalah penggugat.
Perampasan sipil memungkinkan pemerintah untuk mengajukan kasus terhadap
properti yang tidak dapat dijangkau melalui perampasan kriminal, seperti properti
penjahat yang berlokasi di luar Amerika Serikat, termasuk teroris, dan buronan.
Perampasan sipil juga memungkinkan pemulihan aset yang dipegang oleh
terdakwa yang telah meninggal atau di mana tidak ada terdakwa yang dapat
diidentifikasi.
ISU HUKUM
1. Apa aset recovery sudah berhasil?
2. Berapa hasil yang negara dapat dari aset recovery?
PEMBAHASAN
Kejahatan korupsi secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara, yang pada saat yang sama merugikan rakyat. Dan kenyataannya
sejak tahun 2014 hingga 2021 KPK rampas aset dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang
justru sangat miris bahwa ICW pernah menuliskan dalam beberapa artikel hanya 2,2 % saja yang
dapat dikembalikan dari sekian banyaknya kerugian negara yang muncul akibat tindak pidana
korupsi. Korban (victim) dari kejahatan korupsi adalah Negara dan rakyat, karena dengan adanya
kejahatan korupsi maka keuangan dan perekonomian negara menjadi berkurang dan terganggu.
Para koruptor menjadikan Negara sebagai korban (victim state). Aset negara yang dikorupsi
tersebut tidak saja merugikan negara secara sempit, tetapi juga merugikan negara beserta
rakyatnya. Beberapa koruptor dijatuhi pidana denda, tetapi kemudian lebih memilih diganti
dengan pidana kurungan. Hal itu berarti kerugian negara tidak dipulihkan. Belakangan ini
muncul ide pemiskinan buat koruptor, yaitu dengan dipidana kewajiban untuk mengembalikan
sejumlah kerugian negara. Akan tetapi pendekatan formal prosedural melalui hukum acara
pidana yang berlaku sekarang ternyata belum mampu untuk mengembalikan kerugian negara.
Padahal kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi merupakan aset negara yang
harus diselamatkan. Oleh karenanya, diperlukan cara lain untuk menyelamatkan aset negara
tersebut. Yaitu dengan pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi. Penegakan hukum dan
pemulihan aset kejahatan merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dalam
pemberantasan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi.
Sebagai kejahatan yang didasari kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation), maka
pengelolaan dan pengamanan hasil kejahatan merupakan kebutuhan mendasar bagi pelaku
kejahatan kerah putih. Seseorang akan berani melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari
korupsi akan lebih tinggi dari resiko hukuman yang dihadapi, bahkan tidak sedikit pelaku
korupsi yang siap masuk penjara apabila ia memperkirakan bahwa selama menjalani masa
hukuman, keluarganya masih akan dapat tetap hidup makmur dari hasil korupsi yang dilakukan.
Oleh karena itulah maka pemberantasan korupsi tidak cukup dengan menghukum para
pelakunya, namun harus diimbangi dengan upaya untuk memotong aliran hasil kejahatan.
Dengan merampas harta benda yang dihasilkan dari kejahatan korupsi, maka diharapkan pelaku
akan hilang motivasinya untuk melakukan atau meneruskan perbuatannya, karena tujuan untuk
menikmati hasil-hasil kejahatannya akan terhalangi atau menjadi sia-sia. Jika ada instrument
perampasan aset, maka sangat dimungkinkan, pertama, sedikit mungkin pelaku akan berpikir
untuk melakukan tindak pidana karena tidak akan menguntungkan atau keuntungannya akan
dirampas untuk Negara.
Kedua, pidana hilang kemerdekaan (penjara) tidak akan mampu mencegah dilakukannya
tindak pidana karena pelaku masih bisa menikmati hasil/keuntungan tindak pidananya. Ketiga,
perampasan aset dapat menambah dukungan masyarakat dan menjadi pesan penting bahwa
pemerintah bersungguh-sungguh memerangi tindak pidana.
Jadi tindak pidana korupsi dan pencucian uang harus dilakukan Asset Forfeiture atau
perampasan/penyitaan aset oleh negara tanpa kompensasi tujuannya sebagai konsekuensi dari
pelanggaran atau kejahatan terdakwa yang dilakukan dan juga agar negara dan masyarakat tidak
dirugikan serta keuangan dan perekonomian negara menjadi berkurang dan terganggu yang
menyebabkan kesulitan bagi masyarakat dan negara.
Dan perlu adanya terobosan-terobosan untuk mendeteksi aset-aset illicit enrichment dan
unexplained wealth melalui : lifestyle approach, banking profiling (KYC), atau bahkan
digunakannya tracing by social media/flaxing on media. Lalu segerakan sahkan RUU
Perampasan Aset serta penyusunan RUU Pemberantasan Transaksi Uang Kartal. Dengan
demikian maka RUU Perampasan Aset mampu mengembalikan hak negara dan masyarakat.