DISUSUN OLEH :
(B021191016)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………….3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………4
BAB II METODE…………………………………………………………………………………4
A. Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum
Positif ……………………………………………………………………………………..5
B. Kendala Dalam Pelaksanaan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi…………7
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………………………..9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak saja
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi
telah menjadi kejahatan luar biasa. Metode konvensional yang selama ini digunakan
terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka
penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.
Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah adanya unsur kerugian
keuangan negara, unsur tersebut memberi konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor
tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para Koruptor melalui penjatuhan pidana
penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan negara akibat korupsi
sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum UU Tipikor. Kegagalan
pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi ‗makna‘ penghukuman terhadap para
koruptor.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
dalam hukum positif?
2. Bagaimanakah kendala dalam pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi selama ini?
BAB II
METODE
A. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme
Perampasan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara” ini
adalah metode penelitian hukum normatif.
B. Pendekatan Penelitian
(a). Pendekatan undang-undang (statute approach);
(b). Pendekatan kasus (case approach);
C. Data Penelitian
Adapun untuk penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme Perampasan Aset Terpidana
Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara” menggunakan sumber utama
berupa data sekunder atau bahan pustaka.
D. Analisis Data
Secara teknis, beberapa bahan-bahan hukum dari berbagai peraturan perundang-
undangan dan konsep hukum penelitian ini akan dianalisis. Analisis dilakukan dengan
menelaah dasar ontologis dan ratio legis dari ketentuan perundang-undangan untuk dapat
memahami kandungan filosofis yang menjiwai undang-undang yang terkait dan
penafsiran hakim dalam pemidanaan pencucian uang pada setiap putusan pengadilan
yang telah dikaji.
Penarikan kesimpulan dari hasil analisis pembahasan yang sudah terkumpul dilakukan
dengan metode analisis kualitatif-normatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran,
korelasi, dan perbandingan terhadap bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi
hukum yang relevan dengan kajian ini. Kemudian penarikan kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis normatif-kualitatif
dan disajikan secara deskriptif.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum
Positif
Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan pelaku,
serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara semata belum efektif dalam menekan
terjadinya kejahatan jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas hasil dan
instrumen tindak pidana. Keadaan tersebut semakin menemukan kebenarannya jika
dihubungkan dengan kejahatan yang bermodus ekonomi seperti korupsi. Dalam tindak
pidana korupsi keuntungan materil merupakan salah satu karakteristik tindak pidananya.
Hal itu secara gamblang terlihat dari rumusan-rumusan pasal dalam UndangUndang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti memperkaya, menguntungkan, menerima
pemberian, menggelapkan uang atau surat berharga serta beberapa terminologi lain yang
menunjukkan karakteristik modus ekonominya. Oleh karenanya, penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi juga harus berfokus pada sisi keuntungan ekonomi
sehingga dapat memulihkan kerugian yang dialami negara akibat korupsi.
Namun pertanyaan yang timbul adalah bagaimana proses pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap asset recovery tersebut. Terdapat beberapa bentuk langkah
penegakan hukum pidana yang bisa diarahkan untuk tujuan dan dalam rangka
mengembalikan aset atau harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi. Di
antara langkah tersebut yaitu melalui perampasan, pembuktian terbalik, gugatan perdata,
dan penerapan pidana pembayaran uang pengganti. Langkah-langkah tersebut dapat
diuraikan secara rinci sebagai berikut:
1. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Ketentuan mengenai Perampasan Aset sudah lama dikenal dalam peraturan
perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Peraturan Penguasa Perang Pusat
Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, yang merupakan ketentuan yang pertama
kali menggunakan istilah korupsi, terdapat pengaturan yang memberikan kekuasaan
kepada pemilik harta benda untuk menyita harta benda seseorang atau suatu badan
apabila setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu
dan buktibukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk
dalam harta yang dapat disita dan dirampas.
KUHAP merinci benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan diantaranya yaitu:
Pertama, benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; Kedua, benda yang
telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya; Ketiga, benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyelidikan tindak pidana; Keempat, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan
melakukan tindak pidana; dan Kelima, benda lain yang mempunyai hubungan langsung
dengan tindak pidana yang dilakukan. Adapun benda-benda yang berada dalam sitaan
karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi kelima prasyarat yang ada
tersebut
2. Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi
Dihubungkan dengan upaya optimalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, UU Tipikor memiliki instrumen pembuktian terbalik. Pada dasarnya UU Tipikor
telah mengatur ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap perolehan
harta kekayaan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 (4)). Ketentuan pembebanan
bukti terbalik dalam UU Tipikor ini dilakukan dalam proses perkara pidana dan dikaitkan
dengan proses pidana itu sendiri. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari
segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus
ditolak oleh hakim (Pasal 37 B).
Pada dasarnya pembuktian terbalik merupakan bentuk penyimpangan dari
pembuktian dalam KUHAP. Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut masih
memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan
pembuktian atas dakwaan yang diajukannya (vide Pasal 37 A ayat (3) UU Tipikor). Jadi
undang-undang tidak semata-mata memberikan Terdakwa kesempatan untuk
membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan pembuktian terbalik dalam pembuktian
tindak pidana korupsi ini sendiri telah mengalami penyempurnaan dari rumusan semula,
sehingga menunjukkan sifat berimbang antara pembuktian yang dilakukan dengan akibat
hukum dari pembuktian bagi si Terdakwa itu sendiri.
3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata
Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum keperdataan
lazim dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui penyitaan
(confiscation) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi ini secara
tegas dikatakan Oliver Stolpe bahwa: “Countries such as Italy, Ireland and the United
States provide, under varying contitions, for the possibility of civil or preventive
confiscation of assets suspected to be derived from certain criminal activity. Unlike
confiscation in criminal proceedings, such forfeiture laws do not require proof of illicit
origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the consider proof on a balance of
pribabilities or demand a high probability of illicit origin combined the inability of the
owner to prove the contrary”.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, UU Tipikor menentukan bahwa dalam
hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan (Pasal 32 ayat (1)). Konstruksi
ketentuan pasal ini banyak menimbulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah
tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku,
tersangka atau terdakwa.
4. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi
Selain mengatur pidana denda sebagai bagian dari upaya penghukuman dan
menjerakan pelaku tindak pidana korupsi, UU Tipikor mengatur pula pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti yang memiliki tujuan untuk memulihkan kerugian
keuangan Negara yang diakibatkan oleh adanya tindak pidana korupsi. Pasal 17 UU
Tipikor menyatakan bahwa “selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, 3, 5 s/d Pasal 14. Terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18”.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 satu)
bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam
undangundang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan (Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor). Kedua ketentuan ini menjadi celah yang
sangat mudah disiasati oleh koruptor untuk tidak mengembalikan atau membayar uang
pengganti. Pidana uang pengganti tidak memiliki pidana alternatif seperti pidana denda
yang dapat disubsider dengan pidana kurungan, dan karenanya menurut Nur Syarifah
adalah bukan menjadi kesempatan bagi terpidana untuk memilih pidana mana yang akan
dijalankannya. Parahnya, rumusan tersebut oleh Kejaksaan justru dimaknai sebagai
sebuah pilihan.
Hal ini sebagaimana diakui oleh Direktur Upaya Hukum dan Eksekusi Kejaksaan
Agung Puji Basuki yang menegaskan bahwa penggunaan kata subsider pada pidana
penjara pengganti dimaknai Jaksa Penuntut Umum sebagai sebuah pilihan. Pendapat
sejalan juga diadopsi dalam peraturan internal Kejaksaan yaitu dalam Keputusan Jaksa
Agung Nomor KEP-518/J.A/11/2001. Dalam Kepja tersebut disebutkan bahwa salah satu
tahapan eksekusi uang pengganti adalah menanyakan sanggup tidaknya terpidana
membayar uang pengganti. Kalimat “menanyakan sanggup tidaknya terpidana membayar
uang pengganti” tersebut jelas menegaskan bahwa terpidana dapat memilih antara
menyatakan sanggup atau tidak sanggup membayar uang pengganti. Pemilihan ini jelas
telah menyimpang dari arti subsider yang sebenarnya, yaitu dari sebuah pengganti apabila
hal pokok tidak terjadi, menjadi sebuah pilihan.
Kondisi ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh para terpidana -yang didukung
dengan kondisi dan keterbatasan penanganan perkara korupsi- untuk dapat dengan
mudahnya mengaku tidak lagi mempunyai harta untuk membayar uang pengganti, dan
memilih pidana penjara pengganti sebagai yang lebih menguntungkan baginya, terlebih
didukung dengan adanya kemungkinan terpidana bebas lebih cepat karena pemberian
remisi pada waktu-waktu tertentu. Jika penjatuhan uang pengganti dianggap sebagai
sebuah pilihan, maka upaya memulihkan keuangan Negara sebagai tujuan penegakan
tindak pidana korupsi tidak akan tercapai.Selain itu ketiadaan acuan dalam merumuskan
pidana penjara pengganti dalam hal uang pengganti tidak dibayar dalam jangka waktu
tertentu telah menimbulkan banyak disparitas dalam penjatuhan lamanya pidana penjara
pengganti.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
A, Dyah Dwi. ―ICW: Korupsi 2015 Rugikan Negara Rp31,077 Triliun.‖ Antara News. Last
modified 2016. Accessed February 16, 2016.
http://www.antaranews.com/berita/546929/icwkorupsi-2015-rugikan-negara-rp31077-triliun.
Dave Akbarshah Fikarno Laksono, ―Hari Antikorupsi dan Etos Pengembalian Aset Korupsi,‖
Okezone.com, diubah terakhir tahun 2016,
https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/o pini-hari-antikorupsi-dan-etos-
pengembalian-aset-korupsi.
Evans Emanuel Sinulingga, ―Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui
Mekanisme Gugatan Perdata,‖ Jurnal Lex Administratum Vol. 5, no. 4 (2017).
Ganarsih, Yenti. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang Dan Permasalahannya Di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Sinulingga, Evans Emanuel. ―Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui
Mekanisme Gugatan Perdata.‖ Jurnal Lex Administratum Vol. 5, no. 4 (2017).