BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia tahun ini termasuk salah satu dari tiga besar negara terkorup di dunia dan rankingnya naik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah dan aparat terkait lainnya saat ini sedang giat-
giatnya melakukan berbagai upaya dalam rangka memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
KKN tidak hanya menyebabkan kerugian bagi negara tetapi juga meningkatkan pelanggaran terhadap
hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga masalah KKN di Indonesia perlu dikelompokkan
dalam tindakan kriminal yang harus diperangi dengan usaha keras dan langkah tegas secara konsep
maupun sistimatis.
BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara, memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi KKN bersama-sama dengan
semua pihak. Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan semakin kuat pasca amandemen UUD 1945
yang mengubah ketentuan tentang BPK dari semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan
yang semakin kuat ini didukung dengan diterbitkannya Undang–Undang (UU) No. 17 Tahun 2003, UU
No.1 Tahun 2004, UU No.15 Tahun 2004, dan UU No.15 Tahun 2006.
Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK yang semula hanya memeriksa tanggung
jawab keuangan negara, menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal
ini membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban BPK. Untuk
menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU No.15 Tahun 2006, BPK melaksanakan
pemeriksaan keuangan negara yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar
pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal
yang diperiksa. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif.
eksaminasi.
Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang bersumber dari internal maupun
eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU No.15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan
pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur
pidana.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07,
menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan
Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur bahwa “apabila dalam
pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No.15 Tahun 2004 adalah
pemeriksaan investigatif terkait dengan tindak pidana yang terjadi dalam pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak
Dengan adanya peraturan-peraturan BPK dan juknis pemeriksaan investigatif diharapkan auditor BPK
dapat melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah sehingga diperoleh hasil pemeriksaan investigatif yang obyektif, akurat, dan
dapat dipertanggungjawabkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang
sifatnya proaktif yaitu untuk melihat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), terutama yang
berkenaan dengan safeguarding of asset, yang rawan akan terjadinya penyimpangan. Pemeriksaan
investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah ditemukannya indikasi awal
adanya penyimpangan. Penyimpangan merupakan definisi yang dipakai sebagai payung dari
berbagai macam white-collar crime, seperti penyalahgunaan aset, suap, korupsi, pencucian uang,
”lanjutan” dari auditing, auditing yang lebih khusus dan mendalam, yang menuju pada pengungkapan
penyimpangan.
masalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti
untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.
Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan, pengetahuan bisnis,
pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi
forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pemeriksaan investigatif di perusahaan dan
pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis. Pemeriksaan
investigatif menerapkan teknik-teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau transaksi untuk
memastikan fakta mengenai “siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar
Tujuan pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan
yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur
pidana.
menemukan indikasi penyimpangan. Bila ditemukan indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan
memperluas ruang lingkup pemeriksaan dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran
indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif.
Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK, pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan
dari informasi eksternal, contohnya permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat.
1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan
investigatif.
2. Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan persiapan pemeriksaan.
3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan
pemeriksaa
Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya
fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Penelusuran dapat berdasarkan adanya
dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang selanjutnya dianalisa untuk membuktikan
kebenaran adanya penyimpangan. Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan
penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau
di luar pembukuan.
Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu:
Motivasi (motivation)
Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai dari alasan ekonomi, tekanan
Kesempatan (opportunity)
Adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait dengan lemahnya
Rasionalisasi (rationalisation)
Rasionalisasi terkait dengan pembenaran diri si pelaku terkait dengan budaya di entitas yang
diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa
Kemampuan (capability).
Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki kemampuan untuk
melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian teknologi yang memudahkan pelaku untuk
memalsukan dokumen.
masing–masing, dimana dan bilamana peristiwa terjadi. Sehingga tersedia kesempatan untuk
membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau penyimpangan tersebut.
3. Jenis Penyimpangan
Konvensi PBB anti korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Pasal
perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan penegakan hukumnya, antara lain
adalah:
menyuap pejabat negara (bribery of national public officials)
menyalahgunakan wewenang (abuse of functions)
melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime).
Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam UU
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi menurut UU
tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption menurut ACFE adalah empat
bentuk yaitu:
konflik kepentingan (conflicts of interests)
menyuap (bribery)
gratifikasi ilegal (illegal gratuities)
pemerasan (economic extortion).
Penyalahgunaan aset (asset misappropriation)
Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa sehari–
hari disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum, ”mengambil” aset secara ilegal (tidak sah atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau
tree disebut larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain di
mana si pelaku tidak memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut. Istilah
adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi
aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset bagi
kepentingan pribadinya.
Salah saji laporan keuangan (fraudulent statements)
1. Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan
keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku
penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi
jejak pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa
penyimpangan telah atau tidak terjadi dalam situasi
Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat banyak dan kadang–kadang amat kreatif sehingga
setiap orang bahkan seorang pemeriksa dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu
disembunyikan teknik pemeriksaan yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus
digunakan secara optimal, misalnya dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic
computer).
1. Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse
proof). Untuk membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa
juga mencoba membuktikan bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam
usaha membuktikan penyimpangan tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba
membuktikan bahwa penyimpangan telah tejadi. Karena melakukan pembuktian bersifat
dua sisi, teknik pemeriksaan dalam
mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak y
ang memberatkan dan pihak yang meringankan si pelaku penyimpangan.
2. c. Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya
membuktikan penyimpangan tidak terjadi Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi
bahwa penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak ter
Artinya dalam melakukan pembuktian
seorang pemeriksa agar mempertimbangkan kemungkinan adanya
penyangkalan dari pihak lain.
3. Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan. Dalam
pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta
kejadian, dalam proses penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk
mengumpulkan bukti untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses pengadilan, tanggung
jawab hakim adalah untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa.
Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat mengenai salah atau
tidak bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan sebuah
teori – bersalah atau tidak bersalah – dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi
bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang
Sesuai Pasal 8 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006 laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh
BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan
2001. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU N 20 Tahun 2001.
2002. UU N 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.
2003. UU N 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007.
2004. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeana
2005. UU N 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan
UU No. 25 Tahun 2003.
2006. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
1. UU No. 31 Tahun 1999 dan UU N 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah yang
disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan
kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau
kedudukannya.
2. UU N 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara, menyatakan bahwa pengertian kerugian
negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
3. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif
Sasaran pemeriksaan investigatif BPK adalah kasus yang berindikasi kerugian negara/daerah
dan/atau unsur pidana. Sasaran pemeriksaan investigatif yang diatur dalam juknis pemeriksaan
investigatif BPK yaitu perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang
mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai
TPKKN.
entitas pemeriksaan BPK, meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat,
dan menentukan pihak–pihak yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN
pada: unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga
ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa BPK
melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
1. mentaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis,
2. menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam pemeriksaan untuk
mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait,
3. selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan
pemeriksaa
Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan menurut Robert J. Linquist
(Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus
Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain menganggap situasi tersebut adalah normal.
Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi.
Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung,
Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya
kehidupan.
bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi
dicatat.
1. Investigatif (Investigative)
Kemampuan untuk melakukan investigasi dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam
Memiliki pengetahuan yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum,
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan memberikan mandat kepada BPK, apabila
dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan
Pemeriksa investigatif BPK bukan pejabat yang termasuk dalam kategori penyelidik sesuai KUHAP,
namun sesuai mandat BPK hasil pemeriksaan mereka dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat
penyidik. Oleh karena itu kualitas hasil pemeriksaan investigatif BPK harus setara dengan kualitas
Untuk memperoleh kualitas hasil pemeriksaan yang setara dengan hasil penyelidikan, maka
pemeriksaan investigatif BPK dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut: 1) Pra Pemeriksaan, 2)
Tabel II.1
Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu penyimpangan dari ketentuan
telah/sedang/ dan akan terjadi. Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti:
Temuan Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan, maupun ekstern BPK
seperti: permintaan instansi yang berwenang/ Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), LHP Aparat
Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan investigatif memiliki
keandalan dan validitas yang sama. Oleh karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu
dilakukan penelaahan terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk
menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif
Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan
persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) sesuai
dengan kebutuhan.
Sebagaimana dijelaskan diatas, sumber informasi awal dapat berasal dari intern BPK maupun ekstern
(Dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
yang dilaksanakan oleh AKN atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan
indikasi TPKKN yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa AKN mengusulkan agar
(Dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
yang dilaksanakan oleh Kepala Perwakilan (Kalan) atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
Negara menemukan TPKKN, yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa BPK
investigatif)
1. Inisiatif Badan
(Adalah informasi dari sumber intern BPK yang berasal dari Badan dalam hal ini adalah dari Ketua
BPK, Wakil Ketua BPK, dan Anggota Badan BPK tentang informasi TPKKN, yang terjadi di entitas yang
diperiksa BPK)
dan Kepolisian. Umumnya permintaan Instansi yang berwenang dapat dibedakan dalam dua kategori
yaitu permintaan pada tahapan penyelidikan dan penyidikan. Tujuan permintaan pada tahapan
penyelidikan umumnya untuk mengungkap adanya TPKKN untuk memperjelas posisi suatu
kasus/kejadian. Tujuan permintaan pada tahapan penyidikan umumnya untuk menetapkan adanya
kerugian negara guna melengkapi konstruksi hukum dan unsur melawan hukum yang telah
(Adalah informasi dari sumber ekstern BPK yaitu permintaan dari DPR, DPD, APIP, dan masyarakat
(Permintaan pihak ke III kepada BPK Perwakilan dapat berasal dari DPRD, APIP, dan masyarakat
BPK menyediakan jalur komunikasi untuk penyampaian pengaduan masyarakat, yakni sebagai
berikut:
Badan Pemeriksa Keuangan – RI up. Sekretaris Pimpinan BPK-RI, Jl. Jend. Gatot Subroto No 31
Jakarta Pusat 10210
Badan Pemeriksa Keuangan – RI Kantor Perwakilan Propinsi……. up. Kasubag Hukum dan Humas,
Jl………(alamat disesuaikan dengan lokasi kantor Perwakilan);
Alamat email …………..@bpk.go.id untuk penyampaian laporan melalui email.
3. Penanganan Informasi Awal
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan informasi awal yaitu substansi informasi dan
proses penanganan informasi awal. Terkait substansi informasi dilakukan penelaahan terhadap:
1. Kewenangan BPK
Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN terjadi pada entitas yang
1. Nilai Kebenaran
Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber informasi yang handal dan memiliki
validitas informasi yang tinggi. Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan
AKN adalah berasal dari sumber informasi yang “sangat diandalkan”, dan memiliki validitas informasi
yang “tinggi”. Sedangkan informasi yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari
sumber yang “tidak diketahui” dan memiliki validitas informasi yang “rendah”.
Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan memiliki validitas yang tinggi
maka nilainya adalah 8 (sangat diandalkan = 4; validitas tinggi = 4). Tingkat kehandalan sumber
informasi dan validitas informasi ini mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana dapat
Tabel II.1
1. Materi informasi
Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN. Jika materi informasi yang disajikan masih
diragukan, maka terlebih dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk
melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan
investigatif.
1. Kelengkapan Informasi
Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What (indikasi adanya TPKKN yang
dilakukan), Where (dimana TPKKN dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan).
awal, memahami informasi awal, menganalisis informasi awal, mengevaluasi informasi awal, dan
Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK mempertimbangkan dua hal yaitu kerahasiaan
BPK menyelenggarakan suatu administrasi penanganan sumber informasi awal yang akan mencatat
Jumlah informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang bukan di bawah kewenangan BPK
yang diteruskan ke instansi lain yang berwenang;
Jumlah informasi awal yang masih dalam penelaahan;
Jumlah informasi awal yang telah ditindaklanjuti dengan kegiatan koordinasi dengan lembaga
pengawasan dan Instansi yang berwenang;
Jumlah informasi awal yang sudah diteruskan ke aparat penyidik untuk tahap penyidikan; dan
Jumlah informasi awal yang tidak ditindaklanjuti. Tabel akuntabilitas penanganan sumber
informasi awal ini dapat dilihat pada Tabel II.3.
Tabel II.3
Informasi awal mengenai TPKKN biasanya memuat hal-hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan
secara rinci masalah yang terjadi, dan cenderung memuat informasi yang tendensius, berpihak,
memiliki motif yang tidak sehat dan subyektif, sehingga tingkat keandalan dan validitas informasi bisa
(1) sangat mungkin terjadi, (2) mungkin terjadi, (3) diragukan, dan (4) tidak mungkin terjadi. Oleh
Setiap informasi awal yang diterima BPK ditelaah dengan menggunakan pendekatan 5W (what, who,
where, when dan why) dan 1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan
pemeriksaan, yang mengarah kepada terpenuhinya unsur – unsure TPPKN terkait pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Informasi awal biasanya tidak mungkin dapat menjawab seluruh
unsur TPKKN, namun pada umumnya menyebutkan Who (siapa yang diindikasikan melakukan TPKKN)
Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi awal ke dalam pendekatan
Dengan pendekatan pendekatan 5W + 1H, hasil analisis mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Unsur 5W+1H
Jenis TPKKN (what)
Dengan menjawab pertanyaan “what” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang substansi
TPKKN yang dilaporkan. Informasi ini akan berguna pada saat pengembangan hipotesis awal untuk
Dengan menjawab pertanyaan “who” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang pihak-pihak
yang bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak – pihak terkait yang akan dimintakan
keterangannya.
Dimana TPKKN terjadi (where)
Dengan menjawab pertanyaan “where” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang dimana
TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi ini amat berguna pada
saat menetapkan ruang lingkup pemeriksaan investigatif dan juga membantu pada saat menentukan
Dengan menjawab pertanyaan “when” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang kapan
terjadinya TPKKN. Informasi ini akan berguna dalam penetapan ruang lingkup pemeriksaan
investigatif. Penentuan tempos delictie (waktu terjadinya TPKKN) akan membantu pemeriksa dalam
Dengan menjawab pertanyaan “why” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang mengapa
seseorang melakukan TPKKN. Hal ini terkait dengan motivasi seseorang melakukan kecurangan
sehingga dapat membantu pemeriksa dalam membuktikan adanya unsur niat seseorang
melakukannya.
Modus operandi TPKKN (how)
Dengan menjawab pertanyaan “how” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang bagaimana
TPKKN itu dilakukan. Informasi ini akan membantu pemeriksa dalam menyusun modus operandi
TPKKN tersebut.
1. Unsur TPKKN
Dengan menggunakan pendekatan unsur-unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat menjelaskan
tentang TPKKN yang dilaporkan. Misalnya: TPKKN tersebut dapat dijelaskan dalam empat unsur dalam
pasal 2 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yakni: setiap orang,
secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
Hasil analisis 5W + 1 H, kemudian dituangkan dalam bentuk matrik dengan format sebagaimana pada
Tabel II.4.
Tabel II.4
Tujuan mengevaluasi informasi awal adalah meyakinkan apakah informasi awal yang diperoleh telah
didukung dengan data pendukung misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang memadai.
Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan informasi dari berbagai
sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung dengan pihak-pihak terkait yang
melakukan TPKKN, seperti informasi dari pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang
dan jasa, media masa, internet, dan informasi intern BPK lainnya.
Jika selama kegiatan penelaahan diperoleh tambahan data dan informasi lain, penelaah harus
membandingkan informasi tersebut dengan informasi yang sudah dimilikinya mengenai hal-hal
sebagai berikut:
1. Unsur TPKKN
1. Unsur 5W+1H
Jenis TPKKN (what)
Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait.
Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap informasi kemungkinan adanya kerugian negara/
daerah, hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk ditindaklanjuti. Faktor-faktor lain
atau pihak-pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. Mungkin saja informasi ini tidak
terungkap dalam pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi lain terungkap dalam
pengaduan, penelaah dapat menyusun hipotesis awal tentang siapa yang diindikasikan melakukan
kecurangan. Tambahan data yang memuat informasi tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab
Penelaah melakukan evaluasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana
TPKKN terjadi. Informasi tentang dimana terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor penting yang
harus ada untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna
Penelaah melakukan evaluasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi tentang kapan terjadinya
TPKKN merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus terungkap untuk menentukan
layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang
Penelaah melakukan evaluasi tentang mengapa TPKKN dapat terjadi. Informasi mengenai penyebab
terjadinya TPKKN adalah penting untuk menentukan alasan logis atas terjadinya suatu TPKKN
sehingga memperkuat hipotesis yang akan ditetapkan. Informasi ini jarang terungkap dalam
pengaduan, namun hal ini tidak mengurangi perlunya dilaksanakan pemeriksaan investigatif, apabila
Penelaah melakukan evaluasi tentang bagaimana suatu TPKKN dilakukan. Informasi tentang
bagaimana suatu indikasi TPKKN terjadi merupakan salah satu unsure penting dalam penelaahan dan
unsur kunci untuk menilai apakah suatu TPKKN telah dilakukan. Sebagaimana unsur “why” di atas,
unsur ini juga jarang terungkap dalam pengaduan. Namun demikian walaupun informasi tersebut
tidak terungkap, bukan berarti pemeriksaan investigatif tidak layak untuk dilakukan apabila unsur
lainnya telah mencukupi, karena unsur ini nantinya dapat dikembangkan pada saat pelaksanaan
pemeriksaan investigatif.
Unsur “How” berkaitan langsung dengan modus operandi atau cara
seseorang atau pihak tertentu melakukan TPKKN. Unsur “How” merupakan tindakan verbal
seseorang atau sebaliknya seseorang tidak melakukan tindakan, sehingga secara keseluruhan
merupakan TPKKN.
Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H belum diperoleh secara lengkap, tetapi dengan
memperhatikan prioritas penanganan dan arti pentingnya informasi, maka TPKKN dapat diindikasikan
dengan minimal terpenuhinya tiga unsur yaitu: What (adanya TPKKN), When (tahun anggaran yang
Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk “simpulan penelaahan informasi awal”
Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk mendapatkan informasi tambahan
langsung dari pihak ketiga atau unsur terkait, TPPI mengajukan usul kepada Ketua
mempunyai dasar untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. Hasil telaahan dan pengembangan
informasi dilaporkan kepada Ketua BPK dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari setelah surat
Simpulan penelaahan informasi awal bersifat intern. Simpulan tersebut disusun dan ditandatangani
oleh TPPI dan disampaikan kepada Ketua BPK untuk keputusan lebih lanjut.
Berdasarkan simpulan penelaahan informasi awal, Ketua BPK dapat: menugaskan tim khusus, atau
investigatif. Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan diarsipkan oleh TPPI. Arsip tersebut dapat
digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN/Kalan untuk melakukan pemeriksaan keuangan,
Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi awal yang berindikasi
kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil
telaahan atas informasi awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Contoh
hipotesa diantaranya sebagai berikut: Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara
Negara; Panitia pengadaan barang melakukan tender proforma untuk memenangkan kontraktor A.
Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan antara dua atau
Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum dari media masa terkait
dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI
menyusun hipotesa secara singkat dan jelas. Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b)
siapa yang bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d) dimana TPKKN
dalam rangka membuktikan hipotesa. Dalam menyusun program pemeriksaan, TPPI harus
Situasi
1. Masalah, yaitu:
Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi TPKKN yang
dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana keadaannya pada saat ini.
Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi tambahan yang
menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan
terpenuhinya unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
2. Analisis Masalah
Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi yang menyertai,
diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna memperkuat gambaran substansi
TPKKN yang telah terjadi yang nantinya akan dibuktikan.
Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi yang menyertai
TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya
unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
3. Simpulan
Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat.
Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya dibuktikan melalui
pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
Tujuan
Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya TPKKN sebagaimana dirumuskan
dalam hipotesa awal. Tujuan ini dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas
menggambarkan hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan. Dalam suatu
kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam sub-sub komponen yang saling
Rencana Langkah
pemeriksaan investigatif yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b.
Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan penanggung jawab dan jangka waktu
pelaksanaannya.
Komunikasi
Elemen ini menyajikan matriks komunikasi yang menguraikan secara rinci mengenai arus informasi
(siapa melapor kepada siapa), waktu pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan.
Program Pemeriksaan Investigatif diarahkan untuk dapat mengumpulkan bukti– bukti yang diperlukan
dalam mengungkapkan dan membuktikan setiap hipotesa yang terjadi secara rinci dengan
memperhatikan: a) penentuan bukti yang akan dikumpulkan dari sumber yang relevan dan tepat, dan
Kebutuhan sumber daya pendukung pemeriksaan harus ditentukan seefisien mungkin tanpa
mengurangi pencapaian kualitas hasil pemeriksaan yang optimal dan efektif. Kebutuhan sumber daya
pendukung yang harus ditentukan antara lain menyangkut personil tim pemeriksa, ahli, anggaran
biaya pemeriksaan, dan perangkat pendukung lainnya misal alat perekam, kamera, handycam,
Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan baik jumlah maupun kualifikasinya ditentukan oleh
penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat BPK yang ditunjuk, dengan memperhatikan tingkat
Setelah program pemeriksaan disetujui oleh penanggung jawab maka diterbitkan surat tugas oleh
Ketua atau Angbintama atau Kalan. Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang
lingkup pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI, dan rencana jangka
Susunan tim pemeriksa investigatif meliputi: (1) Penanggung jawab pemeriksaan investigative; (2)
Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan); (3) Pengendali teknis
pemeriksaan investigative; (4) Ketua tim pemeriksa investigatif; dan (5) Anggota tim pemeriksa
investigatif.
Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus diorganisir hingga
diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang
diterbitkan, status penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang
diterbitkan.
Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada Tabel II.5. Khusus untuk kolom 6
(Nama Entitas) dan 7 (Rencana Periode Pemeriksaan) sebaiknya dirancang desain pengendalian yang
bertujuan untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan informasi oleh pihak internal kepada
Tabel II.5
Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi 6 tahap kegiatan, yaitu: (1) Pembicaraan pendahuluan;
(2) Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa; (3) Analisis dan evaluasi bukti
pemeriksaan; (4) Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK; (5) Pemaparan tim pemeriksa kepada
1. Pembicaraan Pendahuluan
Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan
Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, dan lingkup
pemeriksaan serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas
yang diperiksa. Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun manajemen puncak
dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan terlibat dalam kasus yang bersangkutan.
Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus direncanakan agar tidak
mengungkap informasi yang diperlukan secara rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku
menghilangkan, menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti–bukti asli. Jika dalam
pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya pemeriksaan investigatif, maka Tim
Pemeriksa menempuh langkah-langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-
Pelaksanaan pengumpulan bukti bertujuan untuk melengkapi bukti pemeriksaan yang diperlukan
dalam rangka mengungkap: 1. fakta dan proses kejadian, 2. sebab dan akibat TPKKN, dan 3.
Pada saat pemeriksa mengumpulkan bukti, pemeriksa harus terlebih dahulu memahami jenis – jenis
dan kriteria bukti pemeriksaan yang harus dikumpulkan, alat bukti menurut UU No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan keterkaitan antara keduanya.
Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga langkah dasar, yaitu:
Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui wawancara terhadap saksi yang
mendukung dan menganalisis dokumen yang tersedia.
Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan
saksi intern yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak yang diduga terlibat, guna
membangun kasus.
Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna mengungkap kasus, mengidentifikasikan
pelaku kejahatan dan membuktikan adanya unsur kesengajaan (intent) si pelaku.
Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah dirumuskan dalam hipotesis awal, pemeriksa
Meminta dokumen,
Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan indikasi TPKKN. Dokumen ini
didapatkan dari berbagai sumber baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa. Perolehan
Meminta keterangan,
Permintaan keterangan tertulis dan atau lisan dilakukan oleh pemeriksa dengan tujuan untuk
memperoleh, melengkapi dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan
pemeriksaan.
Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di lapangan antara lain adalah:
1. Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan pemeriksa lebih memahami
mengenai proses yang terjadi sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh
dan kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut.
2. Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan terkini tentang keberadaan
suatu aktiva atau obyek yang diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan
spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan.
3. Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/ gambaran yang telah
diperoleh sebelumnya.
4. Melengkapi informasi yang sudah ada.
5. Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait dengan perkiraan besarnya
kerugian karena kerusakan fisik yang diperiksa.
6. Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa.
1. Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh gambaran yang lengkap dan
jelas.
2. Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu disediakan
peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan misalnya: alat tulis/catatan, peralatan
foto, dan alat perekam handy cam
Bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence) adalah bukti yang disimpan,
diterima atau dikirim dalam bentuk digital dengan menggunakan perangkat elektronik.
Dalam menangani data elektronik yang tersimpan dalam komputer, terdapat tiga langkah utama: (1)
mengambil image atau imaging, (2) pemrosesan, yaitu mengolah citra atau image, dan (3) analisis,
Melakukan penyegelan
Maksud dan tujuan penyegelan adalah untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen
pengelolaan keuangan negara dari kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau
penggantian pada saat pemeriksaan. Penyegelan dilakukan terhadap tempat uang, barang, dan/atau
dokumen pengelolaan keuangan Negara yang berada dalam penguasaan dan atau tanggung jawab
pihak yang diperiksa atau pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan.
Penyegelan hanya dilakukan dalam hal pemeriksaan terpaksa ditunda karena alasan tertentu, yaitu
jika pihak yang menguasai dan/atau bertanggung jawab atas uang, barang, dan atau dokumen
pengelolaan keuangan Negara tidak berada di tempat pada saat pemeriksaan dilaksanakan atau
Pasal 10 huruf e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret,
merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Pemotretan dan perekaman
gambar ataupun suara dapat dilakukan oleh pemeriksa investigatif sebagai alat bantu pemeriksaan
Sesuai dengan kewenangan BPK dalam upaya mengumpulkan bukti, pemeriksa investigatif dapat
melakukan teknik pemeriksaan sebagai berikut: (1) Konfirmasi; (2) Pengujian; (3) Reviu analitikal;
(4) Pemeriksaan keabsahan; (5) Rekonsiliasi Penelusuran; (7) Penghitungan kembali; (8) Penelaahan
pintas.
Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada situasi, kondisi dan
kreativitas pemeriksa investigatif dalam menerapkan prosedur serta teknik–teknik pemeriksaan
secara tepat untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan.
Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan alat bukti apa saja
yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka mendukung ke arah penuntutan.
Untuk menyempurnakan hipotesa awal yang telah dirumuskan karena pada dasarnya perumusan
hipotesa merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan seiring dengan pelaksanaan
pemeriksaan.
Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesa serta sebagai landasan perlu
tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut.
Untuk menyusun rangkaian kejadian dan modus operandi.
Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan pemeriksaan, pemeriksa berupaya
untuk memperoleh bukti–bukti yang relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai
teknik pemeriksaan.
Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh pemeriksa. Tahapan ini merupakan
tahapan yang menentukan dalam proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa
tidak dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena ketidakmampuan pemeriksa
membaca dan menginterpretasikan sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah
diperoleh.
Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani. Bukti yang tidak terkait
dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan. Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak
relevan mungkin ternyata relevan untuk pembuktian suatu kejadian.
Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi dari bukti itu sendiri.
Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri.
Dalam melakukan penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti
dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai kebenaran suatu kontrak,
pemeriksa dapat meminta dokumen–dokumen pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja
(SPK).
Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah memasukkan bukti tersebut dalam
rangkaian bukti–bukti yang dapat menggambarkan kenyataan yang ditemui.
Hasil rangkaian bukti–bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk menilai apakah hipotesa
yang disusun telah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa
ditunjukkan untuk menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN.
Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu mengenai urutan proses
kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus
kejadian/modus operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologis fakta
kejadian.
Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat bagi pemeriksa untuk
memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang ditangani.
Bagan arus kejadian
1. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk memudahkan pemahaman
suatu proses kejadian. Melalui penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa,
Siapa, Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi. Perbuatan TPKKN yang
dilakukan dalam suatu rangkaian proses kejadian umumnya dikenal dengan istilah
kasus posisi.
2. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan TPKKN. Posisi awal
perbuatan umumnya ditandai dengan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan (perbuatan melawan hukum), sedang posisi akhir dari perbuatan adalah
adanya keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan. Keuntungan pribadi atau
golongan tersebut, di sisi lain menimbulkan kerugian keuangan negara dan atau
perekonomian negara.
3. Dalam melakukan evaluasi bukti, kasus posisi harus didukung dengan kualitas dan
kuantitas bukti yang dapat diterima dalam proses pengadilan. Apabila menggunakan
bukti–bukti yang tidak langsung, agar didasarkan dengan serangkaian bukti–bukti
pendukung lainnya.
Kronologi fakta
1. Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan memperhatikan aspek waktu
kejadian. Kronologi fakta harus didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya
berdasarkan bukti–bukti yang diterima.
2. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu diperhatikan pemeriksa
mengenai kemungkinan adanya rekayasa dokumen bukti, sehingga aspek “bilamana” yang
ditunjukkan dari suatu dokumen bukti tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.
Akhir dari setiap analisis dan evaluasi bukti adalah menyusun simpulan. Kesimpulan yang dibuat dapat
Setelah membuat simpulan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan pemaparan di lingkungan
pemeriksa. Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas
pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan
sesuai kebutuhan. Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan arahan terkait dengan
1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN. Dalam hal ini, tim
pemeriksa segera mempersiapkan pemaparan kepada instansi yang berwenang. Namun,
jika Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan belum sependapat atas simpulan tersebut maka
Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan dapat memerintahkan tim pemeriksa untuk melakukan
pemeriksaan tambahan guna memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan.
2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian negara, tetapi tidak memenuhi indikasi
unsur-unsur TPKKN. Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan melalui mekanisme
tuntutan ganti rugi.
3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN.
Pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang merupakan tindak lanjut hasil
pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan ini agar BPK memperoleh masukan dari
Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah
memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya.
BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus belum
memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih
memerlukan data tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh langkah
sebagai berikut:
1. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan untuk memperoleh
bukti yang diperlukan.
2. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang diperlukan jika terdapat
keterbatasan kewenangan BPK.
6. Pembicaraan Akhir
Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh
penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa.
Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa hingga tidak mengganggu,
menghambat atau menyulitkan proses pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau
pun proses perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti – bukti baru di kemudian
hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut. Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan
investigatif dapat dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang diperiksa
mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap
menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang
sedang berjalan. Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan simpulan
tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan mempertimbangkan kelancaran
proses pembicaraan akhir. Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting)
untuk ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa atau memperoleh
BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam pemeriksaan investigatif kepada
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang–undangan, paling lama satu bulan
sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil pemeriksaan
investigatif kepada instansi yang berwenang ditandatangani oleh Ketua BPK. BPK melaporkan hasil
Laporan pemeriksaan investigatif agar mempertimbangkan prinsi pelaporan, susunan laporan, serta
reviu dan tanda tangan. Laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan harus diadministrasikan
sehingga dapat diketahui nomor dan tanggal laporan, jumlah eksemplar laporan, distribusi laporan,
nomor dan tanggal surat pengantar serta tindak lanjutnya. Formulir Pengorganisasian Laporan
1. Akurat
Seluruh materi laporan termasuk tanggal, data, informasi serta pihak terkait, harus dikonfirmasikan
sebelum penulisan laporan. Informasi yang dilaporkan adalah fakta yang benar dan dapat diverifikasi.
Informasi dan fakta yang relevan dari instansi yang diperiksa, harus dicatat dalam KKP untuk
mendukung laporan. Konfirmasi/penegasan merupakan salah satu ukuran untuk memastikan bahwa
seluruh fakta yang relevan telah dikumpulkan secara akurat sebelum dituangkan dalam LHP.
1. Jelas
Laporan disusun dengan jelas, yaitu tidak banyak menyajikan rincian serta kalimat atau bagian yang
secara tidak jelas berhubungan dengan informasi yang ingin disampaikan. Istilah teknis hanya
1. Tidak memihak
Laporan yang disusun tidak bias atau prasangka dari penyusun laporan, tetapi harus berdasarkan
fakta yang didukung oleh bukti yang cukup yang dituangkan dalam KKP.
1. Relevan
Laporan pemeriksaan investigatif hanya mengungkap informasi yang relevan dengan masalah atau
kasus yang ditangani. Memasukan informasi yang tidak relevan dalam laporan pemeriksaan hanya
akan membingungkan pembaca laporan, membuat rumit laporan, dan mengakibatkan pemeriksa
1. Tepat waktu
Laporan pemeriksaan segera disusun setelah pekerjaan lapangan selesai. Laporan yang sudah
ditandatangani segera disampaikan agar informasi yang disajikan dalam laporan dapat sepenuhnya
Bagian I : Simpulan
Bagian II : Umum
Lampiran
Hal yang perlu dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif, antara lain:
Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, konsep laporan harus direviu secara berjenjang oleh
pengendali teknis pemeriksaan investigatif dan penanggung jawab pemeriksaan investigatif sebelum
ditandatangani dan disampaikan kepada pihak yang berwenang. Laporan direviu secara berjenjang.
Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. Setelah laporan hasil
investigative disampaikan kepada Badan dengan nota dinas yang dilampiri dengan matrik unsur
TPKKN.
menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan
permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah atas suatu kasus
Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah
dilakukan pada tahap penyidikan. Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan
ahli oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan. Penugasan penghitungan kerugian
negara/daerah adalah suatu bentuk pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis.
Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara
membandingkan antara kondisi dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian
negara/daerah seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan informasi.
Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif berdasarkan permintaan dari
1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk uang atau barang yang
seharusnya tidak dikeluarkan.
2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut kriteria yang berlaku,
lebih besar dari yang seharusnya.
3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima termasuk di
antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif.
4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang
seharusnya diterima, termasuk di antaranya penerimaan barang rusak atau yang
kualitasnya tidak sesuai.
5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.
6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya.
7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan
yang berlaku.
8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.
Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan sebagai
Ahli untuk memberikan keterangan mengenai kerugian negara dalam proses peradilan.
Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan ada atau tidak adanya
(program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran,
tahun buku, semester atau triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari
instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian negara/daerah kepada BPK.
2. Tahap-Tahap Pemeriksaan
Persiapan
Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan kepada a. Ketua BPK dan b.
1. Ketua BPK
Permintaan Instansi Yang Berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui Ketua BPK.
Tahapan permintaan penghitungan kerugian keuangan negara dapat dilihat pada bagan II.1.
Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung indikasi kerugian negara dari instansi
yang berwenang, maka Ketua BPK mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait
atau menugaskan TPPI untuk melakukan penelahaan atas permintaan tersebut.
TPPI meminta pemaparan dari instansi yang berwenang disertai dengan data dan infomasi untuk
mendapatkan kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur
pidananya. Pemaparan juga dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya penghitungan
kerugian negara/daerah dilakukan dan meneliti apakah kasus yang diperiksa masuk dalam
lingkup kewenangan BPK. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum dapat mengikuti pemaparan.
Dari hasil pemaparan, TPPI dapat menyimpulkan: a) Tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan
mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-
bukti yang cukup; b) Belum diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan
diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup; c) Diperoleh
kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena
didukung bukti-bukti yang cukup.
Jika hasil pemaparan disimpulkan tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI
menyampaikan hasil telahaan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah
tidak dapat dilakukan.
Jika hasil pemaparan disimpulkan belum diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI meminta
bukti tambahan kepada instansi yang berwenang. a) Jika bukti tambahan tidak mencukupi,
selanjutnya TPPI menyampaikan hasil telahaan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian
negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Jika bukti tambahan mencukupi, selanjutnya TPPI
menelaah kemungkinan ada atau tidaknya TPKKN.
Jika hasil telahaan menyimpulkan diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menelaah
kemungkinan ada atau tidaknya indikasi kerugian negara/daerah yang ditimbulkan karena
perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut.
Apabila dari kegiatan pada huruf 5)b) dan 6) TPPI menyimpulkan: a) Tidak terdapat indikasi
kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa
penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Terdapat indikasi kerugian
negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan
kerugian negara/daerah dapat dilakukan, disertai dengan Konsep Program Pemeriksaan dan
Surat Tugas
Jika Ketua BPK menyetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Investigatif dalam rangka menghitung
indikasi kerugian negara/daerah, maka: a) Menugaskan tim khusus; atau b) Mendisposisikan
kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan.
Bagan II.1
1. Kepala Perwakilan
Permintaan Instansi Yang Berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui BPK-RI
kantor perwakilan. Tahapan permintaan penghitungan kerugian keuangan negara kepada kepala
Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung kerugian negara/daerah dari instansi
yang berwenang, maka Kalan melaporkan permintaan tersebut kepada Tortama dan
menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI untuk ditelaah
TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melaksanakan pemaparan kasus disertai dengan
data dan informasi yang akan digunakan sebagai bahan penelaahan. Jika diperlukan, Ditama
Binbangkum/Kasubag Hukum pada Perwakilan dapat diundang untuk hadir dalam pemaparan.
Langkah selanjutnya sesuai dengan poin apabila permintaan dilakukan kepada Ketua BPK.
Bagan II.2
Pelaksanaan
1. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan koordinasi dengan instansi
yang berwenang. Pemeriksa harus mengetahui dan yakin terdapat TPKKN, terlepas bahwa
perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut ditemukan oleh
penyidik dan kerugian negara/daerah adalah merupakan dampak/akibatnya.
2. Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan pada bukti yang diperoleh
dari aparat penyidik dan bukti tambahan pendukung lain yang diperlukan pemeriksa BPK,
serta memperhatikan landasan hukum kegiatan atas kasus yang sedang disidik.
3. Jika tim pemeriksa memerlukan bukti tambahan, bukti tersebut diminta dari instansi yang
berwenang. Namun, tidak menutup kemungkinan, tim pemeriksa melakukan pemeriksaan
lapangan sendiri. Selanjutnya bukti tambahan yang diperoleh tim sendiri atau dari instansi
yang berwenang dievaluasi dan dianalisa.
4. Tahap Pemeriksaan
Memahami kasus yang dibangun
1. Memahami Jenis TPKKN: Dalam tahap ini pemeriksa memahami jenis TPKKN yang terjadi
yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah
kontrak/pembayaran fiktif, penggelembungan harga, kuantitas dan kualitas barang lebih
rendah dari spesifikasi dalam kontrak.
2. Mempelajari dasar hukum kegiatan yang diperiksa: Dalam tahap ini pemeriksa
mempelajari peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum lainnya yang dapat
digunakan sebagai kriteria untuk menilai pelaksanaan kegiatan.
3. Memahami Transaksi: Memahami jenis transaksi yang dipaparkan oleh instansi yang
berwenang. Sebagai contoh adalah masalah pengadaan barang dan jasa, tanah, ruitslag,
penyaluran kredit. Menentukan jenis kerugiannya (sebagai contoh adalah hilang/kurang
diterimanya suatu hak, timbul/bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar,
penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima). Mengidentifikasi, mengumpulkan,
memverifikasi dan menganalisis bukti – bukti yang berhubungan dengan penghitungan
kerugian negara atas kasus TPKKN yang diperiksa.
4. Mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya TPKKN.
5. Menentukan penyebab kerugian (unsur melawan hukum, penyalahgunaan jabatan,
kelalaian, memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi).
negara yang terjadi. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi perubahan metodologi penghitungan
kerugian negara/daerah sesuai dengan situasi dan kondisi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
1. Penggunaan Ahli
Jika memerlukan adanya pendapat ahli di bidang tertentu, maka Tim melalui Pengendali Teknis
meminta instansi yang berwenang untuk menyiapkan ahli yang dibutuhkan. Dalam hal Tim
menggunakan bantuan ahli dalam penghitungan kerugian negara/daerah maka Tim harus meyakini
bahwa metodologi yang digunakan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Setelah melakukan pemeriksaan maka Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada Penanggung
Jawab untuk mendapatkan masukan dan perbaikan. Setelah melaksanakan perbaikan maka tim
menyampaikan kembali hasil pemeriksaan tersebut kepada Penanggung Jawab. Selanjutnya, Tim
Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan serta memberikan informasi
dan penjelasan yang dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan. Bentuk dan susunan
Bab I : Simpulan
Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum yang
Bab II : Umum
Lampiran
pemeriksaan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas
pengantar.
Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang berwenang yang meminta kepada BPK untuk
melakukan penghitungan kerugian negara/daerah. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan
pejabat BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan. Proses
peradilan disini diartikan sebagai proses penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Keterangan pejabat/staf BPK tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli oleh penyidik
atau hakim.
BAB III
PENUTUP
Pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan yang
dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana.
Beberapa kasus besar yang ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif antara lain
pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang. Disisi lain, masih banyak kasus-kasus
yang terkait dengan indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana yang terjadi.
Dalam arti hukum, korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum, dengan maksud
memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi), yang secara langsung atau tidak
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian Negara dari
sudut pandang akibat perbuatan yakni kurangnya harta Negara. Undang-Undang No 31 Tahun 1999
merumuskan pengertian kerugian Negara dari segi modus atau perbuatan yang menjadi penyebab,
yakni perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana.
Dalam lingkup kenegaraan, konteks Indonesia, praktik korupsi masih merajalela di segala lini dan
belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Dengan demikian, tantangan bagi aparat pemeriksa
keuangan Negara sangat besar, karena selain praktik korupsi yang masih sangat marak dalam
jumlah/frekuensi, para pelaku juga semakin rapi dan terorganisir, sehingga sangat sulit diungkap.
Proses pengungkapan praktik-praktik ini dilakukan dalam sebuah proses pemeriksaan investigatif
Kebutuhan akan keahlian akuntansi forensik yang berkualitas semakin penting untuk dipenuhi instansi
pemeriksa keuangan Negara (BPK dalam hal ini). Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup
keahlian keuangan, pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta
pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti
pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian
teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau transaksi untuk memastikan fakta mengenai
“siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi
yang sedang diperiksa. Demikian hal ini telah disusun dalam sebuah petunjuk teknis BPK yaitu Juknis
Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian
Negara/Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.