Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Pemeriksaan Investigatif


2. Pra Pemeriksaan Investigatif
3. Persiapan Pemeriksaan Investigatif
4. Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif
5. Pelaporan Pemeriksaan Investigatif
6. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia tahun ini termasuk salah satu dari tiga besar negara terkorup di dunia dan rankingnya naik

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah dan aparat terkait lainnya saat ini sedang giat-

giatnya melakukan berbagai upaya dalam rangka memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

KKN tidak hanya menyebabkan kerugian bagi negara tetapi juga meningkatkan pelanggaran terhadap

hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga masalah KKN di Indonesia perlu dikelompokkan

dalam tindakan kriminal yang harus diperangi dengan usaha keras dan langkah tegas secara konsep

maupun sistimatis.

BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara, memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi KKN bersama-sama dengan

semua pihak. Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan semakin kuat pasca amandemen UUD 1945

yang mengubah ketentuan tentang BPK dari semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan

yang semakin kuat ini didukung dengan diterbitkannya Undang–Undang (UU) No. 17 Tahun 2003, UU

No.1 Tahun 2004, UU No.15 Tahun 2004, dan UU No.15 Tahun 2006.

Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK yang semula hanya memeriksa tanggung

jawab keuangan negara, menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal

ini membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban BPK. Untuk

menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU No.15 Tahun 2006, BPK melaksanakan
pemeriksaan keuangan negara yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan

pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar

pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal

yang diperiksa. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif.

Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dengan prosedur

eksaminasi.

Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang bersumber dari internal maupun

eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU No.15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan

pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur

pidana.

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07,

menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan

dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse).

Penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah penyimpangan yang

mengandung unsur pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa.

Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur bahwa “apabila dalam

pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang

berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Laporan tersebut dijadikan

sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No.15 Tahun 2004 adalah

pemeriksaan investigatif terkait dengan tindak pidana yang terjadi dalam pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak

pidana di bidang perbankan atau tindak pidana di pasar modal.

Dengan adanya peraturan-peraturan BPK dan juknis pemeriksaan investigatif diharapkan auditor BPK

dapat melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan

kerugian negara/daerah sehingga diperoleh hasil pemeriksaan investigatif yang obyektif, akurat, dan

dapat dipertanggungjawabkan.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Pemeriksaan Investigatif


2. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif

Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang

sifatnya proaktif yaitu untuk melihat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), terutama yang

berkenaan dengan safeguarding of asset, yang rawan akan terjadinya penyimpangan. Pemeriksaan

investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah ditemukannya indikasi awal

adanya penyimpangan. Penyimpangan merupakan definisi yang dipakai sebagai payung dari

berbagai macam white-collar crime, seperti penyalahgunaan aset, suap, korupsi, pencucian uang,

penghindaran pajak, serta fraudulent statements. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan

”lanjutan” dari auditing, auditing yang lebih khusus dan mendalam, yang menuju pada pengungkapan

penyimpangan.

Pemeriksaan investigatif merupakan bagian dari akuntansi forensik, yaitu aplikasi

keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir investigatif untuk memecahkan masalah-

masalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti

untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.

Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan, pengetahuan bisnis,

pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi

forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pemeriksaan investigatif di perusahaan dan

pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis. Pemeriksaan

investigatif menerapkan teknik-teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau transaksi untuk

memastikan fakta mengenai “siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar

lingkungan kejadian atau transaksi yang sedang diperiksa.

Tujuan pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan

yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur

pidana.

2. Konsep Pemeriksaan Investigatif


Pemeriksaan reguler merupakan pengujian prosedural yang pelaksanaannya dilakukan secara reguler

atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk

menemukan indikasi penyimpangan. Bila ditemukan indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan

memperluas ruang lingkup pemeriksaan dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran

indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif.

Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK, pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan

dari informasi eksternal, contohnya permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat.

Secara garis besar langkah – langkah pemeriksaan investigatif sebagai berikut:

1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan
investigatif.
2. Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan persiapan pemeriksaan.
3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan
pemeriksaa

Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya

menemukan fakta serta menghindari pengumpulan

fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Penelusuran dapat berdasarkan adanya

dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang selanjutnya dianalisa untuk membuktikan

kebenaran adanya penyimpangan. Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan

penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau

di luar pembukuan.

Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu:

 Motivasi (motivation)

Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai dari alasan ekonomi, tekanan

dari atasan, sampai balas dendam.

 Kesempatan (opportunity)

Adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait dengan lemahnya

Sistem Pengendalian Intern entitas yang diperiksa.

 Rasionalisasi (rationalisation)

Rasionalisasi terkait dengan pembenaran diri si pelaku terkait dengan budaya di entitas yang

diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa

atau keyakinan untuk mengembalikan aset yang diambil.

 Kemampuan (capability).
Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki kemampuan untuk

melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian teknologi yang memudahkan pelaku untuk

memalsukan dokumen.

Dalam pelaksanaan pemeriksaan, kesempatan diberikan kepada pihak terkait untuk

menyampaikan pendapatnya mengenai kejadian yang sebenarnya berdasarkan pendapat mereka

masing–masing, dimana dan bilamana peristiwa terjadi. Sehingga tersedia kesempatan untuk

membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau penyimpangan tersebut.

3. Jenis Penyimpangan

Konvensi PBB anti korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Pasal

15 sampai 25 menguraikan perbuatan –

perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan penegakan hukumnya, antara lain

adalah:
 menyuap pejabat negara (bribery of national public officials)
 menyalahgunakan wewenang (abuse of functions)
 melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime).

Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) membahas penyimpangan di

tempat kerja atau penyimpangan terkait dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational

fraud) dalam fraud tree yang terdiri dari:


 Korupsi (corruption)

Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam UU

No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi menurut UU

tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption menurut ACFE adalah empat

bentuk yaitu:
 konflik kepentingan (conflicts of interests)
 menyuap (bribery)
 gratifikasi ilegal (illegal gratuities)
 pemerasan (economic extortion).
 Penyalahgunaan aset (asset misappropriation)

Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa sehari–

hari disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum, ”mengambil” aset secara ilegal (tidak sah atau

melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau

mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud

tree disebut larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain di

mana si pelaku tidak memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut. Istilah

penggelapan dalam bahasa Inggrisnya

adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi
aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset bagi

kepentingan pribadinya.
 Salah saji laporan keuangan (fraudulent statements)

Istilah fraudulent statements adalah penyimpangan berkaitan dengan penyajian laporan

keuangan. Terdapat dua kelompok dalam penyimpangan ini.


1. Penyimpangan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset
atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau
pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya.
2. Penyimpangan dalam menyusun laporan non keuangan secara menyesatkan, yang disajikan
lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya dan seringkali merupakan pemalsuan atau
pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan
intern maupun ekster
3. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif

Aksioma (pernyataan) dalam pemeriksaan investigartif antara lain:

1. Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan
keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku
penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi
jejak pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa
penyimpangan telah atau tidak terjadi dalam situasi

Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat banyak dan kadang–kadang amat kreatif sehingga

setiap orang bahkan seorang pemeriksa dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu

disembunyikan teknik pemeriksaan yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus

digunakan secara optimal, misalnya dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic

computer).
1. Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse
proof). Untuk membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa
juga mencoba membuktikan bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam
usaha membuktikan penyimpangan tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba
membuktikan bahwa penyimpangan telah tejadi. Karena melakukan pembuktian bersifat
dua sisi, teknik pemeriksaan dalam
mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak y
ang memberatkan dan pihak yang meringankan si pelaku penyimpangan.
2. c. Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya
membuktikan penyimpangan tidak terjadi Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi
bahwa penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak ter
Artinya dalam melakukan pembuktian
seorang pemeriksa agar mempertimbangkan kemungkinan adanya
penyangkalan dari pihak lain.
3. Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan. Dalam
pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta
kejadian, dalam proses penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk
mengumpulkan bukti untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses pengadilan, tanggung
jawab hakim adalah untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa.

Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat mengenai salah atau

tidak bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan sebuah

teori – bersalah atau tidak bersalah – dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi
bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang

pemeriksa harus mempertimbangkan kemungkinan – kemungkinan yang terjadi di pengadilan.

Sesuai Pasal 8 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006 laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh

BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan

perundang- undangan. Oleh karena itu pelaksanaan pemeriksaan memerlukan penerapan

kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, serta

pemahaman terhadap ketentuan perundang–undangan dan prinsip-prinsip pemeriksaan investigatif

guna pemecahan masalah yang dihadapi.

Beberapa prinsip dalam melakukan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah:

1. Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui, dengan cara


membandingkan antar praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat i
Upaya ini dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
2. Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan
dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang– undangan yang berla
3. Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan bukti–bukti dengan prinsip kehati- hatian
sehingga bukti tersebut dapat diterima di pengadila
4. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diberi indeks
dan jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas
penyidikan kasus di kemudian ha
5. Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa
menghormatinya guna menghindari kemungkinan penuntutan dari yang bersangkuta
6. Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat meresponnya,
maka kemungkinan peluang penyimpangan dapat terungkap semakin besa
7. Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan fakta–fakta sehingga bukti yang
diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri, yaitu telah terjadi penyimpangan dan
pihak yang diindikasikan terlibat teridentifika
8. Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi oleh kelemahan
manus Sepanjang diperlukan konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan
keterangan yang diberikan oleh saksi.
9. Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup jumlahnya dan
pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga cukup jumlahnya.
10. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka segala
kemungkinan upaya untuk memperoleh informasi harus dipertimbangka
11. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif

Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, antara lain:

1. Pasal 13 UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK untuk melakukan


pemeriksaan investigatif.
2. Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 Pasal 9 ayat (1) huruf b, c, dan
d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur kewenangan meminta informasi atau dokumen.
3. Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur
permintaan keterangan dan pemanggilan.
4. Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian keterangan ahli tentang
kerugian negara dalam proses peradilan.
5. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur laporan hasil
pemeriksaan.
6. Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur
tentang sanksi pidana bagi pemeriksa yang melanggar UU No.15 Tahun 2004 dan UU
No. 15 Tahun 2006.

Peraturan yang terkait tindak pidana khusus antara lain:

2001. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU N 20 Tahun 2001.
2002. UU N 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.
2003. UU N 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007.
2004. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeana
2005. UU N 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan
UU No. 25 Tahun 2003.
2006. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain:

1. UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP


2. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
3. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
4. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
5. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Perspektif kerugian negara menurut:

1. UU No. 31 Tahun 1999 dan UU N 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah yang
disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan
kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau
kedudukannya.
2. UU N 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara, menyatakan bahwa pengertian kerugian
negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
3. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif

Sasaran pemeriksaan investigatif BPK adalah kasus yang berindikasi kerugian negara/daerah

dan/atau unsur pidana. Sasaran pemeriksaan investigatif yang diatur dalam juknis pemeriksaan

investigatif BPK yaitu perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang

mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai

TPKKN.

Ruang lingkup pemeriksaan investigatif adalah TPKKN pada seluruh

entitas pemeriksaan BPK, meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat,

dan menentukan pihak–pihak yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN

pada: unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank

Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga

atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.

7. Kewajiban Pemeriksa Investigatif


Kewajiban pemeriksa investigatif BPK adalah melaksanakan pemeriksaan guna mengungkap

ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa BPK

melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Kewajiban pemeriksa investigatif termasuk:

1. mentaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis,
2. menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam pemeriksaan untuk
mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait,
3. selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan
pemeriksaa

8. Kualitas Pemeriksa Investigatif

Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan menurut Robert J. Linquist

(Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus

dimiliki oleh seorang akuntan forensik adalah:


1. Kreatif (Creative)

Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain menganggap situasi tersebut adalah normal.

Dengan intepretasinya ia yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak normal.

1. Rasa ingin tahu (Curious)

Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi.

1. Tak menyerah (Persistance)

Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung,

ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.

1. Akal sehat (Common Sense)

Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya

kehidupan.

1. Pengetahuan Bisnis (Bussines Accument)

Kemampuan untuk memahami

bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi

dicatat.

1. Percaya diri (Self Confidence)


Kemampuan untuk mempercayai diri akan temuannya, sehingga dapat bertahan pada saat diuji

dengan pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembela.

1. Investigatif (Investigative)

Kemampuan untuk melakukan investigasi dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam

bidang akuntansi dan audit.

1. Kompetensi gabungan (Mixed Competency)

Memiliki pengetahuan yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum,

permintaan keterangan, dan teknologi informasi.

9. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif

UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan memberikan mandat kepada BPK, apabila

dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang

berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan

sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan

oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemeriksa investigatif BPK bukan pejabat yang termasuk dalam kategori penyelidik sesuai KUHAP,

namun sesuai mandat BPK hasil pemeriksaan mereka dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat

penyidik. Oleh karena itu kualitas hasil pemeriksaan investigatif BPK harus setara dengan kualitas

hasil penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penyelidik.

Untuk memperoleh kualitas hasil pemeriksaan yang setara dengan hasil penyelidikan, maka

pemeriksaan investigatif BPK dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut: 1) Pra Pemeriksaan, 2)

Persiapan Pemeriksaan, 3) Pelaksanaan Pemeriksaan, dan 4) Pelaporan Pemeriksaan. Tahapan

pemeriksaan dapat dijelaskan dalam Tabel 1

Tabel II.1

Tahap Pelaksanan Pemeriksaan Investigatif

1. Pra Pemeriksaan Investigatif


2. Informasi Awal

Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu penyimpangan dari ketentuan

peraturan perundang-undangan; kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse) yang

telah/sedang/ dan akan terjadi. Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti:
Temuan Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan, maupun ekstern BPK

seperti: permintaan instansi yang berwenang/ Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), LHP Aparat

Pengawasan Intern Pemerintah/SPI, dan laporan/pengaduan masyarakat.

Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan investigatif memiliki

keandalan dan validitas yang sama. Oleh karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu

dilakukan penelaahan terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk

menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif

dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan

persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) sesuai

dengan kebutuhan.

2. Sumber Informasi Awal

Sebagaimana dijelaskan diatas, sumber informasi awal dapat berasal dari intern BPK maupun ekstern

BPK. Sumber-sumber informasi awal yakni sebagai berikut:

1. TP/LHP Auditama Keuangan Negara

(Dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu

yang dilaksanakan oleh AKN atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan

indikasi TPKKN yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa AKN mengusulkan agar

pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif)

1. TP/LHP BPK Perwakilan

(Dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu

yang dilaksanakan oleh Kepala Perwakilan (Kalan) atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

Negara menemukan TPKKN, yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa BPK

Perwakilan mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan

investigatif)

1. Inisiatif Badan

(Adalah informasi dari sumber intern BPK yang berasal dari Badan dalam hal ini adalah dari Ketua

BPK, Wakil Ketua BPK, dan Anggota Badan BPK tentang informasi TPKKN, yang terjadi di entitas yang

diperiksa BPK)

1. Permintaan instansi yang berwenang kepada Ketua BPK-RI


(Adalah informasi dari sumber ekstern BPK seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi,

dan Kepolisian. Umumnya permintaan Instansi yang berwenang dapat dibedakan dalam dua kategori

yaitu permintaan pada tahapan penyelidikan dan penyidikan. Tujuan permintaan pada tahapan

penyelidikan umumnya untuk mengungkap adanya TPKKN untuk memperjelas posisi suatu

kasus/kejadian. Tujuan permintaan pada tahapan penyidikan umumnya untuk menetapkan adanya

kerugian negara guna melengkapi konstruksi hukum dan unsur melawan hukum yang telah

dikembangkan oleh Instansi yang berwenang.)

1. Permintaan instansi yang berwenang kepada Kepala Perwakilan BPK


2. Permintaan Pihak Ke III kepada Ketua BPK

(Adalah informasi dari sumber ekstern BPK yaitu permintaan dari DPR, DPD, APIP, dan masyarakat

berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada Ketua BPK.)

1. Permintaan Pihak Ke III kepada Kepala Perwakilan BPK.

(Permintaan pihak ke III kepada BPK Perwakilan dapat berasal dari DPRD, APIP, dan masyarakat

berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada BPK Perwakilan.)

BPK menyediakan jalur komunikasi untuk penyampaian pengaduan masyarakat, yakni sebagai

berikut:

 Badan Pemeriksa Keuangan – RI up. Sekretaris Pimpinan BPK-RI, Jl. Jend. Gatot Subroto No 31
Jakarta Pusat 10210
 Badan Pemeriksa Keuangan – RI Kantor Perwakilan Propinsi……. up. Kasubag Hukum dan Humas,
Jl………(alamat disesuaikan dengan lokasi kantor Perwakilan);
 Alamat email …………..@bpk.go.id untuk penyampaian laporan melalui email.
3. Penanganan Informasi Awal

Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan informasi awal yaitu substansi informasi dan

proses penanganan informasi awal. Terkait substansi informasi dilakukan penelaahan terhadap:

1. Kewenangan BPK

Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN terjadi pada entitas yang

merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

1. Nilai Kebenaran

Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber informasi yang handal dan memiliki

validitas informasi yang tinggi. Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan

AKN adalah berasal dari sumber informasi yang “sangat diandalkan”, dan memiliki validitas informasi

yang “tinggi”. Sedangkan informasi yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari

sumber yang “tidak diketahui” dan memiliki validitas informasi yang “rendah”.
Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan memiliki validitas yang tinggi

maka nilainya adalah 8 (sangat diandalkan = 4; validitas tinggi = 4). Tingkat kehandalan sumber

informasi dan validitas informasi ini mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana dapat

dilihat pada Tabel II.1.

Tabel II.1

Keandalan Sumber dan Validitas Informasi

1. Materi informasi

Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN. Jika materi informasi yang disajikan masih

diragukan, maka terlebih dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk

melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan

investigatif.

1. Kelengkapan Informasi

Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What (indikasi adanya TPKKN yang

dilakukan), Where (dimana TPKKN dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan).

Proses penanganan dalam penelaahan informasi awal mencakup: mengadministrasikan informasi

awal, memahami informasi awal, menganalisis informasi awal, mengevaluasi informasi awal, dan

keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif

Administrasi Informasi Awal

Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK mempertimbangkan dua hal yaitu kerahasiaan

sumber-sumber informasi awal dan akuntabilitas penanganan sumber-sumber informasi awal.

 Kerahasiaan sumber-sumber informasi awal


 BPK harus memperlakukan seluruh informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang
diterima sebagai informasi rahasia dengan cara tidak akan mengungkapkan indentitas pemberi
laporan kepada pihak lain kecuali apabila sebelumnya BPK telah mendapatkan kewenangan dari
pemberi laporan atau diharuskan oleh ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
 Seluruh laporan mengenai terjadinya penyimpangan yang
 Seluruh informasi berbentuk non-elektronis dikonversi menjadi elektronis untuk memudahkan
distribusi dan pengendalian.
 Akses terhadap dokumen yang memuat semua informasi awal dari semua sumber informasi awal
termasuk pengaduan masyarakat baik dokumen dalam bentuk fisik maupun non-fisik, harus
dikendalikan dan dibatasi.
 BPK tidak mempunyai kewenangan untuk membatasi pemberi laporan yang bermaksud
mempublikasikan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada
BPK.
 Akuntabilitas penanganan sumber-sumber informasi awal.

BPK menyelenggarakan suatu administrasi penanganan sumber informasi awal yang akan mencatat

setiap penerimaan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat, antara lain:

 Jumlah informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang bukan di bawah kewenangan BPK
yang diteruskan ke instansi lain yang berwenang;
 Jumlah informasi awal yang masih dalam penelaahan;
 Jumlah informasi awal yang telah ditindaklanjuti dengan kegiatan koordinasi dengan lembaga
pengawasan dan Instansi yang berwenang;
 Jumlah informasi awal yang sudah diteruskan ke aparat penyidik untuk tahap penyidikan; dan
 Jumlah informasi awal yang tidak ditindaklanjuti. Tabel akuntabilitas penanganan sumber
informasi awal ini dapat dilihat pada Tabel II.3.

Tabel II.3

Akutabilitas Penanganan Sumber Informasi Awal

Pahami Informasi Awal

Informasi awal mengenai TPKKN biasanya memuat hal-hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan

secara rinci masalah yang terjadi, dan cenderung memuat informasi yang tendensius, berpihak,

memiliki motif yang tidak sehat dan subyektif, sehingga tingkat keandalan dan validitas informasi bisa

(1) sangat mungkin terjadi, (2) mungkin terjadi, (3) diragukan, dan (4) tidak mungkin terjadi. Oleh

karena itu informasi ini harus ditangani secara obyektif

Setiap informasi awal yang diterima BPK ditelaah dengan menggunakan pendekatan 5W (what, who,

where, when dan why) dan 1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan

pemeriksaan, yang mengarah kepada terpenuhinya unsur – unsure TPPKN terkait pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara. Informasi awal biasanya tidak mungkin dapat menjawab seluruh

unsur TPKKN, namun pada umumnya menyebutkan Who (siapa yang diindikasikan melakukan TPKKN)

dan What (TPKKN apa yang dilakukan).

Analisis Informasi Awal

Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi awal ke dalam pendekatan

5W + 1H . Selain dengan menggunakan pendekatan 5W + 1H dalam menganalisis informasi awal


yang diterima, penelaah juga menggunakan laporan-laporan BPK yang terdahulu yang relevan untuk

menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan.

Dengan pendekatan pendekatan 5W + 1H, hasil analisis mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Unsur 5W+1H
 Jenis TPKKN (what)

Dengan menjawab pertanyaan “what” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang substansi

TPKKN yang dilaporkan. Informasi ini akan berguna pada saat pengembangan hipotesis awal untuk

menetapkan jenis TPKKN.

 Pihak – pihak yang bertanggung jawab (who)

Dengan menjawab pertanyaan “who” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang pihak-pihak

yang bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak – pihak terkait yang akan dimintakan

keterangannya.
 Dimana TPKKN terjadi (where)

Dengan menjawab pertanyaan “where” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang dimana

TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi ini amat berguna pada

saat menetapkan ruang lingkup pemeriksaan investigatif dan juga membantu pada saat menentukan

locus delictie (tempat terjadinya TPKKN).


 Waktu terjadinya TPKKN (when)

Dengan menjawab pertanyaan “when” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang kapan

terjadinya TPKKN. Informasi ini akan berguna dalam penetapan ruang lingkup pemeriksaan

investigatif. Penentuan tempos delictie (waktu terjadinya TPKKN) akan membantu pemeriksa dalam

memahami ketentuan yang akan digunakan.


 Penyebab terjadinya TPKKN (why)

Dengan menjawab pertanyaan “why” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang mengapa

seseorang melakukan TPKKN. Hal ini terkait dengan motivasi seseorang melakukan kecurangan

sehingga dapat membantu pemeriksa dalam membuktikan adanya unsur niat seseorang

melakukannya.
 Modus operandi TPKKN (how)

Dengan menjawab pertanyaan “how” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang bagaimana

TPKKN itu dilakukan. Informasi ini akan membantu pemeriksa dalam menyusun modus operandi

TPKKN tersebut.

1. Unsur TPKKN
Dengan menggunakan pendekatan unsur-unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat menjelaskan

tentang TPKKN yang dilaporkan. Misalnya: TPKKN tersebut dapat dijelaskan dalam empat unsur dalam

pasal 2 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yakni: setiap orang,

secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hasil analisis 5W + 1 H, kemudian dituangkan dalam bentuk matrik dengan format sebagaimana pada

Tabel II.4.

Tabel II.4

Hasil Analisis Informasi Awal

Evaluasi Informasi Awal

Tujuan mengevaluasi informasi awal adalah meyakinkan apakah informasi awal yang diperoleh telah

didukung dengan data pendukung misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang memadai.

Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan informasi dari berbagai

sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung dengan pihak-pihak terkait yang

melakukan TPKKN, seperti informasi dari pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang

dan jasa, media masa, internet, dan informasi intern BPK lainnya.

Jika selama kegiatan penelaahan diperoleh tambahan data dan informasi lain, penelaah harus

membandingkan informasi tersebut dengan informasi yang sudah dimilikinya mengenai hal-hal

sebagai berikut:

1. Unsur TPKKN

1. Unsur 5W+1H
 Jenis TPKKN (what)

Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait.

Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap informasi kemungkinan adanya kerugian negara/

daerah, hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk ditindaklanjuti. Faktor-faktor lain

yang terungkap akan mempengaruhi dalam menentukan simpulan.

 Pihak – pihak yang bertanggung jawab (who)


Penelaah mengidentifikasi pihak-pihak yang mungkin bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi

atau pihak-pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. Mungkin saja informasi ini tidak

terungkap dalam pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi lain terungkap dalam

pengaduan, penelaah dapat menyusun hipotesis awal tentang siapa yang diindikasikan melakukan

kecurangan. Tambahan data yang memuat informasi tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab

mungkin diperoleh selama melakukan pemeriksaan investigatif

 Dimana TPKKN terjadi (where)

Penelaah melakukan evaluasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana

TPKKN terjadi. Informasi tentang dimana terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor penting yang

harus ada untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna

untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus).

 Waktu terjadinya TPKKN (when)

Penelaah melakukan evaluasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi tentang kapan terjadinya

TPKKN merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus terungkap untuk menentukan

layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang

lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus).

 Penyebab terjadinya TPKKN (why)

Penelaah melakukan evaluasi tentang mengapa TPKKN dapat terjadi. Informasi mengenai penyebab

terjadinya TPKKN adalah penting untuk menentukan alasan logis atas terjadinya suatu TPKKN

sehingga memperkuat hipotesis yang akan ditetapkan. Informasi ini jarang terungkap dalam

pengaduan, namun hal ini tidak mengurangi perlunya dilaksanakan pemeriksaan investigatif, apabila

informasi atas unsur– unsur lainnya telah mencukupi.

 Modus operandi TPKKN (how)

Penelaah melakukan evaluasi tentang bagaimana suatu TPKKN dilakukan. Informasi tentang

bagaimana suatu indikasi TPKKN terjadi merupakan salah satu unsure penting dalam penelaahan dan

unsur kunci untuk menilai apakah suatu TPKKN telah dilakukan. Sebagaimana unsur “why” di atas,

unsur ini juga jarang terungkap dalam pengaduan. Namun demikian walaupun informasi tersebut

tidak terungkap, bukan berarti pemeriksaan investigatif tidak layak untuk dilakukan apabila unsur

lainnya telah mencukupi, karena unsur ini nantinya dapat dikembangkan pada saat pelaksanaan

pemeriksaan investigatif.
Unsur “How” berkaitan langsung dengan modus operandi atau cara

seseorang atau pihak tertentu melakukan TPKKN. Unsur “How” merupakan tindakan verbal

seseorang atau sebaliknya seseorang tidak melakukan tindakan, sehingga secara keseluruhan

merupakan TPKKN.

Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H belum diperoleh secara lengkap, tetapi dengan

memperhatikan prioritas penanganan dan arti pentingnya informasi, maka TPKKN dapat diindikasikan

dengan minimal terpenuhinya tiga unsur yaitu: What (adanya TPKKN), When (tahun anggaran yang

berkaitan dengan kejadian), dan Where (entitas dimana TPKKN terjadi).

Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk “simpulan penelaahan informasi awal”

dengan pilihan sebagai berikut:


 Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigative dalam arti bahwa terpenuhinya unsur
3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan
materialitas dari nilai kerugian negara.
 Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk melengkapi informasi mengenai unsur 3W (What, Where, dan
When) dan indikasi unsur TPKKN yang belum diperoleh.
 Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigative karena tidak memenuhi unsur 3W
atau dilengkapi data pendukung yang lengkap.

Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk mendapatkan informasi tambahan

langsung dari pihak ketiga atau unsur terkait, TPPI mengajukan usul kepada Ketua

BPK untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan dengan

mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: materialitas nilai kerugian Negara,

sensitivitas isu tersebut, kecenderungan TPKKN di tempat lain, kemungkinan

kemudahan mendapatkan tambahan informasi yang diperlukan.

Pengumpulan data dimaksudkan untuk memastikan/memperkuat/mendukung

indikasi bahwa hal-hal yang diungkapkan dalam informasi benar-benar

mempunyai dasar untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. Hasil telaahan dan pengembangan

informasi dilaporkan kepada Ketua BPK dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari setelah surat

tugas pengumpulan data selesai.

Simpulan penelaahan informasi awal bersifat intern. Simpulan tersebut disusun dan ditandatangani

oleh TPPI dan disampaikan kepada Ketua BPK untuk keputusan lebih lanjut.

Keputusan atas Informasi Awal

Berdasarkan simpulan penelaahan informasi awal, Ketua BPK dapat: menugaskan tim khusus, atau

mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan

investigatif. Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan diarsipkan oleh TPPI. Arsip tersebut dapat
digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN/Kalan untuk melakukan pemeriksaan keuangan,

kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu

1. Persiapan Pemeriksaan Investigatif


2. Pengembangan Hipotesa

Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi awal yang berindikasi

kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil

telaahan atas informasi awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Contoh

hipotesa diantaranya sebagai berikut: Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara

Negara; Panitia pengadaan barang melakukan tender proforma untuk memenangkan kontraktor A.

Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan antara dua atau

lebih variabel yang berguna untuk:

 memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup pemeriksaan investigatif;


 mempersiapkan pemeriksa terhadap semua fakta dan hubungan antar fakta yang telah
teridentifikasi;
 sebagai alat yang sederhana dalam membangun fakta– fakta yang tercerai–berai tanpa
koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh; dan
 sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuaian fakta dan antar fakta.

Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum dari media masa terkait

dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI

menyusun hipotesa secara singkat dan jelas. Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b)

siapa yang bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d) dimana TPKKN

terjadi; e) kurun waktu terjadinya; dan f) terpenuhinya unsur-unsur TPKKN.

2. Penyusunan Program Pemeriksaan Investigatif

Tujuan penyusunan program pemeriksaan adalah untuk menentukan langkah-langkah pemeriksaan

dalam rangka membuktikan hipotesa. Dalam menyusun program pemeriksaan, TPPI harus

memperhatikan lima elemen dasar yaitu:

 Situasi
1. Masalah, yaitu:
 Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi TPKKN yang
dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana keadaannya pada saat ini.
 Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi tambahan yang
menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan
terpenuhinya unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
2. Analisis Masalah
 Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi yang menyertai,
diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna memperkuat gambaran substansi
TPKKN yang telah terjadi yang nantinya akan dibuktikan.
 Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi yang menyertai
TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya
unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
3. Simpulan
 Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat.
 Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya dibuktikan melalui
pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
 Tujuan

Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya TPKKN sebagaimana dirumuskan

dalam hipotesa awal. Tujuan ini dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas

menggambarkan hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan. Dalam suatu

kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam sub-sub komponen yang saling

terkait untuk mencapai tujuan secara keseluruhan.

 Rencana Langkah

Rencana Langkah Pemeriksaan Investigatif mencakup: a. Menjabarkan rencana langkah-langkah

pemeriksaan investigatif yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b.

Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan penanggung jawab dan jangka waktu

pelaksanaannya.

 Administrasi Logistik, yang mencakup bagian:


 Usulan Tim Pemeriksa Investigatif (Menjabarkan komposisi tim pemeriksa, yang mencakup
uraian rinci mengenai nama, jabatan, peran atau kualifikasi yang dibutuhkan)
 Estimasi Jangka Waktu Pelaksanaan (Menjabarkan tanggal dimulainya pelaksanaan pemeriksaan
investigatif, estimasi total waktu pelaksanaan pemeriksaan dan juga waktu yang dibutuhkan
untuk masing – masing langkah pemeriksaan)
 Estimasi Total Anggaran Biaya Pemeriksaan Investigatif (Menjabarkan perkiraan total biaya yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan pemeriksaan.)

 Komunikasi

Elemen ini menyajikan matriks komunikasi yang menguraikan secara rinci mengenai arus informasi

(siapa melapor kepada siapa), waktu pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan.

Program Pemeriksaan Investigatif diarahkan untuk dapat mengumpulkan bukti– bukti yang diperlukan

dalam mengungkapkan dan membuktikan setiap hipotesa yang terjadi secara rinci dengan

memperhatikan: a) penentuan bukti yang akan dikumpulkan dari sumber yang relevan dan tepat, dan

b) penentuan hubungan bukti dengan pihak yang terkait.


Program Pemeriksaan Investigatif merupakan rencana yang terinci yang sekurang – kurangnya

disusun berdasarkan struktur atau kerangka yang mencakup:

 Dasar Hukum Pemeriksaan


 Standar Pemeriksaan
 Tujuan Pemeriksaan Investigatif
 Entitas Yang diperiksa
 Lingkup Yang Diperiksa
 Hasil Telaahan Informasi Awal
 Alasan Pemeriksaan
 Metodologi Pemeriksaan
 Langkah – Langkah Pemeriksaan Investigatif
 Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan investigatif
 Susunan Tim dan Biaya Pemeriksaan Investigatif
 Distribusi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif
 Persetujuan Program Pemeriksaan Investigatif
3. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya

Kebutuhan sumber daya pendukung pemeriksaan harus ditentukan seefisien mungkin tanpa

mengurangi pencapaian kualitas hasil pemeriksaan yang optimal dan efektif. Kebutuhan sumber daya

pendukung yang harus ditentukan antara lain menyangkut personil tim pemeriksa, ahli, anggaran

biaya pemeriksaan, dan perangkat pendukung lainnya misal alat perekam, kamera, handycam,

telekomunikasi, komputer dan lain-lain.

Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan baik jumlah maupun kualifikasinya ditentukan oleh

penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat BPK yang ditunjuk, dengan memperhatikan tingkat

kesulitan dan rumitnya masalah yang akan diperiksa.

4. Penerbitan Surat Tugas

Setelah program pemeriksaan disetujui oleh penanggung jawab maka diterbitkan surat tugas oleh

Ketua atau Angbintama atau Kalan. Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang

lingkup pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI, dan rencana jangka

waktu pelaksanaan pemeriksaan.

Susunan tim pemeriksa investigatif meliputi: (1) Penanggung jawab pemeriksaan investigative; (2)

Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan); (3) Pengendali teknis

pemeriksaan investigative; (4) Ketua tim pemeriksa investigatif; dan (5) Anggota tim pemeriksa

investigatif.

Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus diorganisir hingga

diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang
diterbitkan, status penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang

diterbitkan.

Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada Tabel II.5. Khusus untuk kolom 6

(Nama Entitas) dan 7 (Rencana Periode Pemeriksaan) sebaiknya dirancang desain pengendalian yang

bertujuan untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan informasi oleh pihak internal kepada

entitas/pegawai yang akan diperiksa.

Tabel II.5

Formulir Pengorganisasian Surat Tugas

1. Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif

Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi 6 tahap kegiatan, yaitu: (1) Pembicaraan pendahuluan;

(2) Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa; (3) Analisis dan evaluasi bukti

pemeriksaan; (4) Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK; (5) Pemaparan tim pemeriksa kepada

instansi yang berwenang; dan (6) Pembicaraan akhir.

1. Pembicaraan Pendahuluan

Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan

dan para pejabat dari entitas yang diperiksa dengan maksud:

1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam surat tugas.


2. Memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam rangka melengkapi
informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
3. Menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan pemeriksaan,
terutama untuk memperoleh dukungan dari entitas yang diperiksa.

Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, dan lingkup

pemeriksaan serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas

yang diperiksa. Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun manajemen puncak

dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan terlibat dalam kasus yang bersangkutan.

Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus direncanakan agar tidak

mengungkap informasi yang diperlukan secara rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku

menghilangkan, menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti–bukti asli. Jika dalam

pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya pemeriksaan investigatif, maka Tim
Pemeriksa menempuh langkah-langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-

VIII.3/9/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan.

2. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa

Pelaksanaan pengumpulan bukti bertujuan untuk melengkapi bukti pemeriksaan yang diperlukan

dalam rangka mengungkap: 1. fakta dan proses kejadian, 2. sebab dan akibat TPKKN, dan 3.

penanggung jawab atau pihak yang terkait atas TPKKN.

Pada saat pemeriksa mengumpulkan bukti, pemeriksa harus terlebih dahulu memahami jenis – jenis

dan kriteria bukti pemeriksaan yang harus dikumpulkan, alat bukti menurut UU No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan keterkaitan antara keduanya.

Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga langkah dasar, yaitu:

 Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui wawancara terhadap saksi yang
mendukung dan menganalisis dokumen yang tersedia.
 Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan
saksi intern yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak yang diduga terlibat, guna
membangun kasus.
 Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna mengungkap kasus, mengidentifikasikan
pelaku kejahatan dan membuktikan adanya unsur kesengajaan (intent) si pelaku.

Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah dirumuskan dalam hipotesis awal, pemeriksa

mengumpulkan bukti dengan cara:

 Meminta dokumen,

Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan indikasi TPKKN. Dokumen ini

didapatkan dari berbagai sumber baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa. Perolehan

dokumen terkait dengan kerahasiaan bank:

 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).


1. Pemeriksa dapat memperoleh informasi dari PPATK berkaitan dengan adanya dugaan
penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang.
2. Dalam hal diperlukan adanya konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut atas informasi yang
telah diberikan, dapat dilakukan melalui pejabat penghubung yang telah ditunjuk.
3. Informasi yang diberikan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan sesuai dengan tujuan
yang tercantum dalam surat permintaan informasi.
4. Informasi yang diberikan tidak dapat diteruskan atau diungkapkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan tertulis dari PPATK.
5. Pemeriksa bertanggung jawab atas kerahasiaan, penggunaan, dan keamanan informasi
yang diterima.
 Pemeriksa dapat meminta dokumen yang diperlukan kepada Bank, dengan ijin/kuasa dari
pemegang rekening.
 Jika cara 1) dan 2) di atas tidak berhasil, pemeriksa dapat meminta pihak instansi penyidik
untuk mendapatkan ijin Pimpinan Bank Indonesia, setelah melalui proses sesuai dengan
prosedur yang berlaku di instansi penyidik. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ijin
pemberian keterangan yang menyangkut rahasia bank untuk suatu perkara yang menyangkut
rekening nasabah bank hanya dapat diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia kepada pihak
Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim atas permintaan tertulis dari ketiga instansi tersebut. Berkaitan
dengan hal tersebut, pejabat BPK yang berwenang meminta secara tertulis kepada intansi
penyidik agar mengajukan permohonan ijin kepada Pimpinan Bank Indonesia. Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 UU No. 10 Tahun 1998.
 Langkah-langkah persiapan dalam mendapatkan ijin tersebut antara lain:
1. Menyampaikan surat permintaan.
2. Jika diminta, pemeriksa melakukan presentasi kasus kepada penyidik untuk meyakinkan
bahwa tanpa dokumen yang diperlukan, posisi kasus menjadi lemah.

 Meminta keterangan,

Permintaan keterangan tertulis dan atau lisan dilakukan oleh pemeriksa dengan tujuan untuk

memperoleh, melengkapi dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan

pemeriksaan.

 Melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan,

Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di lapangan antara lain adalah:

1. Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan pemeriksa lebih memahami
mengenai proses yang terjadi sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh
dan kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut.
2. Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan terkini tentang keberadaan
suatu aktiva atau obyek yang diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan
spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan.
3. Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/ gambaran yang telah
diperoleh sebelumnya.
4. Melengkapi informasi yang sudah ada.
5. Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait dengan perkiraan besarnya
kerugian karena kerusakan fisik yang diperiksa.
6. Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa.

Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan fisik:

1. Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh gambaran yang lengkap dan
jelas.
2. Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu disediakan
peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan misalnya: alat tulis/catatan, peralatan
foto, dan alat perekam handy cam

 Memperoleh bukti elektronik/digital,

Bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence) adalah bukti yang disimpan,

diterima atau dikirim dalam bentuk digital dengan menggunakan perangkat elektronik.
Dalam menangani data elektronik yang tersimpan dalam komputer, terdapat tiga langkah utama: (1)

mengambil image atau imaging, (2) pemrosesan, yaitu mengolah citra atau image, dan (3) analisis,

yaitu menganalisis image yang sudah diproses.

 Melakukan penyegelan

Maksud dan tujuan penyegelan adalah untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen

pengelolaan keuangan negara dari kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau

penggantian pada saat pemeriksaan. Penyegelan dilakukan terhadap tempat uang, barang, dan/atau

dokumen pengelolaan keuangan Negara yang berada dalam penguasaan dan atau tanggung jawab

pihak yang diperiksa atau pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan.

Penyegelan hanya dilakukan dalam hal pemeriksaan terpaksa ditunda karena alasan tertentu, yaitu

jika pihak yang menguasai dan/atau bertanggung jawab atas uang, barang, dan atau dokumen

pengelolaan keuangan Negara tidak berada di tempat pada saat pemeriksaan dilaksanakan atau

alasan lain sehingga pemeriksaan tidak dapat dilaksanakan.

 Memotret dan merekam.

Pasal 10 huruf e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret,

merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Pemotretan dan perekaman

gambar ataupun suara dapat dilakukan oleh pemeriksa investigatif sebagai alat bantu pemeriksaan

pada saat pemeriksa:

 Meminta keterangan (wawancara dan wawancara mendalam);


 Melakukan pemeriksaan fisik;
 Memperoleh bukti elektronik;
 Melakukan penyegelan.

Sesuai dengan kewenangan BPK dalam upaya mengumpulkan bukti, pemeriksa investigatif dapat

melakukan teknik pemeriksaan sebagai berikut: (1) Konfirmasi; (2) Pengujian; (3) Reviu analitikal;

(4) Pemeriksaan keabsahan; (5) Rekonsiliasi Penelusuran; (7) Penghitungan kembali; (8) Penelaahan

pintas.

Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam Pengumpulan Bukti adalah :

 Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada situasi, kondisi dan
kreativitas pemeriksa investigatif dalam menerapkan prosedur serta teknik–teknik pemeriksaan
secara tepat untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan.
 Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan alat bukti apa saja
yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka mendukung ke arah penuntutan.

3. Analisis dan Evaluasi Bukti

Tujuan analisis dan evalusi setiap bukti yang diperoleh adalah:

 Untuk menyempurnakan hipotesa awal yang telah dirumuskan karena pada dasarnya perumusan
hipotesa merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan seiring dengan pelaksanaan
pemeriksaan.
 Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesa serta sebagai landasan perlu
tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut.
 Untuk menyusun rangkaian kejadian dan modus operandi.

Teknik analisa bukti yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

 Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan pemeriksaan, pemeriksa berupaya
untuk memperoleh bukti–bukti yang relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai
teknik pemeriksaan.
 Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh pemeriksa. Tahapan ini merupakan
tahapan yang menentukan dalam proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa
tidak dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena ketidakmampuan pemeriksa
membaca dan menginterpretasikan sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah
diperoleh.
 Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani. Bukti yang tidak terkait
dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan. Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak
relevan mungkin ternyata relevan untuk pembuktian suatu kejadian.
 Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi dari bukti itu sendiri.
Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri.
Dalam melakukan penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti
dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai kebenaran suatu kontrak,
pemeriksa dapat meminta dokumen–dokumen pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja
(SPK).
 Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah memasukkan bukti tersebut dalam
rangkaian bukti–bukti yang dapat menggambarkan kenyataan yang ditemui.
 Hasil rangkaian bukti–bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk menilai apakah hipotesa
yang disusun telah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa
ditunjukkan untuk menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN.

Teknik mengevaluasi bukti

 Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu mengenai urutan proses
kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus
kejadian/modus operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologis fakta
kejadian.
 Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat bagi pemeriksa untuk
memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang ditangani.
 Bagan arus kejadian
1. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk memudahkan pemahaman
suatu proses kejadian. Melalui penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa,
Siapa, Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi. Perbuatan TPKKN yang
dilakukan dalam suatu rangkaian proses kejadian umumnya dikenal dengan istilah
kasus posisi.
2. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan TPKKN. Posisi awal
perbuatan umumnya ditandai dengan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan (perbuatan melawan hukum), sedang posisi akhir dari perbuatan adalah
adanya keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan. Keuntungan pribadi atau
golongan tersebut, di sisi lain menimbulkan kerugian keuangan negara dan atau
perekonomian negara.
3. Dalam melakukan evaluasi bukti, kasus posisi harus didukung dengan kualitas dan
kuantitas bukti yang dapat diterima dalam proses pengadilan. Apabila menggunakan
bukti–bukti yang tidak langsung, agar didasarkan dengan serangkaian bukti–bukti
pendukung lainnya.
 Kronologi fakta
1. Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan memperhatikan aspek waktu
kejadian. Kronologi fakta harus didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya
berdasarkan bukti–bukti yang diterima.
2. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu diperhatikan pemeriksa
mengenai kemungkinan adanya rekayasa dokumen bukti, sehingga aspek “bilamana” yang
ditunjukkan dari suatu dokumen bukti tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.

Akhir dari setiap analisis dan evaluasi bukti adalah menyusun simpulan. Kesimpulan yang dibuat dapat

mendukung atau tidak mendukung hipotesa yang sudah dirumuskan

4. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK

Setelah membuat simpulan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan pemaparan di lingkungan

intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan atas simpulan tim

pemeriksa. Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas

pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan

sesuai kebutuhan. Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan arahan terkait dengan

simpulan hasil pemeriksaan investigatif tersebut.

Dari hasil pemaparan, Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN. Dalam hal ini, tim
pemeriksa segera mempersiapkan pemaparan kepada instansi yang berwenang. Namun,
jika Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan belum sependapat atas simpulan tersebut maka
Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan dapat memerintahkan tim pemeriksa untuk melakukan
pemeriksaan tambahan guna memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan.
2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian negara, tetapi tidak memenuhi indikasi
unsur-unsur TPKKN. Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan melalui mekanisme
tuntutan ganti rugi.
3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN.

5. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang

Pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang merupakan tindak lanjut hasil

pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan ini agar BPK memperoleh masukan dari

instansi yang berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN.

Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

 BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah
memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya.
 BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus belum
memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih
memerlukan data tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh langkah
sebagai berikut:
1. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan untuk memperoleh
bukti yang diperlukan.
2. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang diperlukan jika terdapat
keterbatasan kewenangan BPK.

6. Pembicaraan Akhir

Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh

penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa.

Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa hingga tidak mengganggu,

menghambat atau menyulitkan proses pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau

pun proses perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti – bukti baru di kemudian

hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut. Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan

investigatif dapat dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang diperiksa

mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap

menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang

sedang berjalan. Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan simpulan

tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan mempertimbangkan kelancaran

proses pembicaraan akhir. Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting)

untuk ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa atau memperoleh

komentar melalui wawancara dengan pejabat instansi yang diperiksa.


1. Pelaporan Pemeriksaan Investigatif

BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam pemeriksaan investigatif kepada

instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang–undangan, paling lama satu bulan

sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil pemeriksaan

investigatif kepada instansi yang berwenang ditandatangani oleh Ketua BPK. BPK melaporkan hasil

pemeriksaan yang mengandung indikasi unsur-unsur TPKKN ke instansi yang berwenang

Laporan pemeriksaan investigatif agar mempertimbangkan prinsi pelaporan, susunan laporan, serta

reviu dan tanda tangan. Laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan harus diadministrasikan

sehingga dapat diketahui nomor dan tanggal laporan, jumlah eksemplar laporan, distribusi laporan,

nomor dan tanggal surat pengantar serta tindak lanjutnya. Formulir Pengorganisasian Laporan

Pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran VI.1.

1. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif


Pelaporan pemeriksaan investigatif harus mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut:

1. Akurat

Seluruh materi laporan termasuk tanggal, data, informasi serta pihak terkait, harus dikonfirmasikan

sebelum penulisan laporan. Informasi yang dilaporkan adalah fakta yang benar dan dapat diverifikasi.

Informasi dan fakta yang relevan dari instansi yang diperiksa, harus dicatat dalam KKP untuk

mendukung laporan. Konfirmasi/penegasan merupakan salah satu ukuran untuk memastikan bahwa

seluruh fakta yang relevan telah dikumpulkan secara akurat sebelum dituangkan dalam LHP.

1. Jelas

Laporan disusun dengan jelas, yaitu tidak banyak menyajikan rincian serta kalimat atau bagian yang

secara tidak jelas berhubungan dengan informasi yang ingin disampaikan. Istilah teknis hanya

digunakan dalam konteks kalimat dan agar dijelaskan seperlunya.

1. Tidak memihak

Laporan yang disusun tidak bias atau prasangka dari penyusun laporan, tetapi harus berdasarkan

fakta yang didukung oleh bukti yang cukup yang dituangkan dalam KKP.

1. Relevan

Laporan pemeriksaan investigatif hanya mengungkap informasi yang relevan dengan masalah atau

kasus yang ditangani. Memasukan informasi yang tidak relevan dalam laporan pemeriksaan hanya

akan membingungkan pembaca laporan, membuat rumit laporan, dan mengakibatkan pemeriksa

dikritik atas metodologi kerjanya.

1. Tepat waktu

Laporan pemeriksaan segera disusun setelah pekerjaan lapangan selesai. Laporan yang sudah

ditandatangani segera disampaikan agar informasi yang disajikan dalam laporan dapat sepenuhnya

digunakan dan memenuhi tujuannya.

2. Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif

Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif adalah sebagai berikut:

Bagian I : Simpulan

Bagian II : Umum

1. Dasar Penugasan Pemeriksaan


2. Ruang Lingkup Pemeriksaan
3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa

Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan

1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa


2. Materi Temuan:
3. Jenis TPKKN
4. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
5. Penyebab dan Akibat TPKKN
6. Pihak penanggung jawab dan pihak yang terkait
7. Bukti pemeriksaan yang diperoleh

Lampiran

Hal yang perlu dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif, antara lain:

1. Bagan arus proses kejadian.


2. Bukti rincian, misalnya rekapitulasi kwitansi, rekapitulasi SPM, dan rekapitulasi penerima
bantuan .
3. Daftar bukti pemeriksaan yang diperoleh.

3. Reviu dan Tanda Tangan Laporan

Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, konsep laporan harus direviu secara berjenjang oleh

pengendali teknis pemeriksaan investigatif dan penanggung jawab pemeriksaan investigatif sebelum

ditandatangani dan disampaikan kepada pihak yang berwenang. Laporan direviu secara berjenjang.

Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. Setelah laporan hasil

pemeriksaan investigatif ditandatangani oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, hasil pemeriksaan

investigative disampaikan kepada Badan dengan nota dinas yang dilampiri dengan matrik unsur

TPKKN.

Hal–hal yang perlu diperhatikan:

1. LHP investigatif harus menjawab tujuan pemeriksaan investigatif, yaitu membuktikan


ada/tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN.
2. Jika satu bulan sejak dilakukannya pemaparan, instansi yang berwenang tidak memberikan
pendapat, Tim Pemeriksa tetap membuat LHP dan menyampaikannya kepada Penanggung
jawab pemeriksaan dengan nota dinas pengantar dari Pemimpin Tim. Selanjutnya
Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan LHP kepada Badan.
3. Penyerahan LHP tidak berarti pemeriksa investigatif selesai menjalankan tugas terkait
dengan pemeriksaan, karena ada kemungkinan pemeriksa BPK diminta oleh instansi yang
berwenang untuk memberikan keterangan ahli.
1. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah

Penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk

menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan

keuangan negara/daerah. Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan

permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah atas suatu kasus

tindak pidana yang sedang diproses secara hukum.

Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah

dilakukan pada tahap penyidikan. Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan

ahli oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan. Penugasan penghitungan kerugian

negara/daerah adalah suatu bentuk pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis.

Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara

membandingkan antara kondisi dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian

negara/daerah seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan informasi.

Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif berdasarkan permintaan dari

instansi yang berwenang, antara lain dapat berupa:

1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk uang atau barang yang
seharusnya tidak dikeluarkan.
2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut kriteria yang berlaku,
lebih besar dari yang seharusnya.
3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima termasuk di
antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif.
4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang
seharusnya diterima, termasuk di antaranya penerimaan barang rusak atau yang
kualitasnya tidak sesuai.
5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.
6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya.
7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan
yang berlaku.
8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.

Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan sebagai

Ahli untuk memberikan keterangan mengenai kerugian negara dalam proses peradilan.

1. Tujuan dan Ruang Lingkup

Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan ada atau tidak adanya

indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah

yang terjadi berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang.


Ruang lingkup penghitungan kerugian negara/daerah menguraikan tentang sasaran

(program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran,

tahun buku, semester atau triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari

instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian negara/daerah kepada BPK.

2. Tahap-Tahap Pemeriksaan

Tahapan penghitungan kerugian negara/daerah meliputi: 1. Persiapan, 2. Pelaksanaan, 3. Pelaporan

 Persiapan

Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan kepada a. Ketua BPK dan b.

Kepala Perwakilan BPK-RI yang berada di daerah.

1. Ketua BPK

Permintaan Instansi Yang Berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui Ketua BPK.

Tahapan permintaan penghitungan kerugian keuangan negara dapat dilihat pada bagan II.1.

 Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung indikasi kerugian negara dari instansi
yang berwenang, maka Ketua BPK mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait
atau menugaskan TPPI untuk melakukan penelahaan atas permintaan tersebut.
 TPPI meminta pemaparan dari instansi yang berwenang disertai dengan data dan infomasi untuk
mendapatkan kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur
pidananya. Pemaparan juga dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya penghitungan
kerugian negara/daerah dilakukan dan meneliti apakah kasus yang diperiksa masuk dalam
lingkup kewenangan BPK. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum dapat mengikuti pemaparan.
 Dari hasil pemaparan, TPPI dapat menyimpulkan: a) Tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan
mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-
bukti yang cukup; b) Belum diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan
diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup; c) Diperoleh
kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena
didukung bukti-bukti yang cukup.
 Jika hasil pemaparan disimpulkan tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI
menyampaikan hasil telahaan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah
tidak dapat dilakukan.
 Jika hasil pemaparan disimpulkan belum diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI meminta
bukti tambahan kepada instansi yang berwenang. a) Jika bukti tambahan tidak mencukupi,
selanjutnya TPPI menyampaikan hasil telahaan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian
negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Jika bukti tambahan mencukupi, selanjutnya TPPI
menelaah kemungkinan ada atau tidaknya TPKKN.
 Jika hasil telahaan menyimpulkan diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menelaah
kemungkinan ada atau tidaknya indikasi kerugian negara/daerah yang ditimbulkan karena
perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut.
 Apabila dari kegiatan pada huruf 5)b) dan 6) TPPI menyimpulkan: a) Tidak terdapat indikasi
kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa
penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Terdapat indikasi kerugian
negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan
kerugian negara/daerah dapat dilakukan, disertai dengan Konsep Program Pemeriksaan dan
Surat Tugas
 Jika Ketua BPK menyetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Investigatif dalam rangka menghitung
indikasi kerugian negara/daerah, maka: a) Menugaskan tim khusus; atau b) Mendisposisikan
kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan.
Bagan II.1
1. Kepala Perwakilan

Permintaan Instansi Yang Berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui BPK-RI

kantor perwakilan. Tahapan permintaan penghitungan kerugian keuangan negara kepada kepala

perwakilan dapat dilihat pada bagan II.2.

 Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung kerugian negara/daerah dari instansi
yang berwenang, maka Kalan melaporkan permintaan tersebut kepada Tortama dan
menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI untuk ditelaah
 TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melaksanakan pemaparan kasus disertai dengan
data dan informasi yang akan digunakan sebagai bahan penelaahan. Jika diperlukan, Ditama
Binbangkum/Kasubag Hukum pada Perwakilan dapat diundang untuk hadir dalam pemaparan.
 Langkah selanjutnya sesuai dengan poin apabila permintaan dilakukan kepada Ketua BPK.

Bagan II.2

Penyusunan program pemeriksaan


1. Program penghitungan kerugian negara/daerah yang disusun harus mengarah pada
penetapan nilai kerugian negara dan untuk mendapatkan bukti-bukti yang sah secara
hukum sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai kerugian negara.
2. Program pemeriksaan dirancang untuk menilai kelengkapan, kompetensi, dan relevansi
bukti yang diterima dari instansi yang berwenang sesuai dengan tujuan penghitungan yang
dilaksanakan. Tim pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan lapangan apabila diperlukan.
3. Program penghitungan kerugian negara/daerah secara jelas menetapkan metodologi untuk
menghitung kerugian negara
4. Susunan program penghitungan kerugian negara/daerah sekurang-kurangnya disusun
dengan kerangka sebagai berikut:
 Dasar pemeriksaan: Menguraikan peraturan perundangan yang menjadi sumber mandat BPK
untuk melakukan pemeriksaan.
 Alasan pemeriksaan: Menguraikan permintaan pemeriksaan dari instansi yang berwenang dan
hasil penelaahan TPPI atau Kalan atas kasus yang diminta.
 Standar pemeriksaan: Menguraikan pedoman yang digunakan BPK sebagai acuan dalam
pelaksanaan pemeriksaan.
 Tujuan pemeriksaan: Tujuan pemeriksaan adalah untuk melakukan penghitungan indikasi
kerugian negara yang terjadi pada kasus yang diperiksa.
 Instansi yang diperiksa: Menguraikan instansi yang berwenang dalam pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan.
 Lingkup yang diperiksa: Menguraikan sasaran, lokasi, dan tahun anggaran yang diperiksa.
 Metodologi pemeriksaan: Menguraikan metode yang dipakai dalam pemeriksaan.
 Pengarahan pemeriksaan: Menguraikan mengenai arahan-arahan dari penanggung jawab
pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan.
 Prosedur/langkah pemeriksaan: Menguraikan langkah-langkah pemeriksaan yang dilaksanakan
oleh tim dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan.
 Jangka waktu pemeriksaan: Jangka waktu penugasan pemeriksaan disesuaikan dengan tingkat
kesulitan dan kondisi di lapangan.
 Susunan tim dan biaya pemeriksaan
 Instansi penerima hasil pemeriksaan

1. Pembuatan surat tugas


Surat tugas penghitungan kerugian negara/daerah ditandatangani oleh Ketua

BPK/Angbintama/pejabat yang ditunjuk.

 Pelaksanaan

Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah diuraikan sebagai berikut:

1. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan koordinasi dengan instansi
yang berwenang. Pemeriksa harus mengetahui dan yakin terdapat TPKKN, terlepas bahwa
perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut ditemukan oleh
penyidik dan kerugian negara/daerah adalah merupakan dampak/akibatnya.
2. Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan pada bukti yang diperoleh
dari aparat penyidik dan bukti tambahan pendukung lain yang diperlukan pemeriksa BPK,
serta memperhatikan landasan hukum kegiatan atas kasus yang sedang disidik.
3. Jika tim pemeriksa memerlukan bukti tambahan, bukti tersebut diminta dari instansi yang
berwenang. Namun, tidak menutup kemungkinan, tim pemeriksa melakukan pemeriksaan
lapangan sendiri. Selanjutnya bukti tambahan yang diperoleh tim sendiri atau dari instansi
yang berwenang dievaluasi dan dianalisa.
4. Tahap Pemeriksaan
 Memahami kasus yang dibangun

Ketika melakukan tahapan di atas, pemeriksa menempuh hal-hal berikut ini:

1. Memahami Jenis TPKKN: Dalam tahap ini pemeriksa memahami jenis TPKKN yang terjadi
yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah
kontrak/pembayaran fiktif, penggelembungan harga, kuantitas dan kualitas barang lebih
rendah dari spesifikasi dalam kontrak.
2. Mempelajari dasar hukum kegiatan yang diperiksa: Dalam tahap ini pemeriksa
mempelajari peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum lainnya yang dapat
digunakan sebagai kriteria untuk menilai pelaksanaan kegiatan.
3. Memahami Transaksi: Memahami jenis transaksi yang dipaparkan oleh instansi yang
berwenang. Sebagai contoh adalah masalah pengadaan barang dan jasa, tanah, ruitslag,
penyaluran kredit. Menentukan jenis kerugiannya (sebagai contoh adalah hilang/kurang
diterimanya suatu hak, timbul/bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar,
penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima). Mengidentifikasi, mengumpulkan,
memverifikasi dan menganalisis bukti – bukti yang berhubungan dengan penghitungan
kerugian negara atas kasus TPKKN yang diperiksa.
4. Mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya TPKKN.
5. Menentukan penyebab kerugian (unsur melawan hukum, penyalahgunaan jabatan,
kelalaian, memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi).

 Mengevaluasi dan menganalisis bukti–bukti:


1. Tim melakukan evaluasi dan analisis atas bukti – bukti yang diperoleh dari aparat penyidik
dengan memperhatikan kebutuhan data bagi pemeriksaan yang akan dilakukan.
2. Evaluasi dan analisis yang dilakukan dengan memperhatikan ketentuan–ketentuan yang
mendasari suatu transaksi atau kegiatan serta ketentuan mengenai entitas yang diperiksa.

 Melakukan penghitungan kerugian negara/daerah


Modus operandi kasus-kasus TPKKN menentukan metode yang digunakan dalam menghitung kerugian

negara yang terjadi. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi perubahan metodologi penghitungan

kerugian negara/daerah sesuai dengan situasi dan kondisi dalam pelaksanaan pemeriksaan.

1. Metode Penilaian Kerugian Negara/Daerah: Penghitungan atas kekurangan uang, surat


berharga, barang dapat menggunakan beberapa metode penilaian, sebagai contoh: nilai
perolehan, nilai jual, dan nilai ganti, nilai pasar yang wajar, nilai historis yang disesuaikan
dengan indeks tertentu, nilai jual objek pajak, nilai buku dan lain sebagainya. Penggunaan
metode penilaian tersebut dalam praktik penghitungan kerugian negara/daerah harus
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman yang dapat
dipertanggung jawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum.
2. Pengungkapan Metode Penilaian: Metode yang digunakan pemeriksa dalam melakukan
penghitungan kerugian negara/daerah hendaknya disampaikan kepada aparat penyidik dan
diuraikan dalam laporan hasil pemeriksaan penghitungan indikasi kerugian negara.

1. Penggunaan Ahli

Jika memerlukan adanya pendapat ahli di bidang tertentu, maka Tim melalui Pengendali Teknis

meminta instansi yang berwenang untuk menyiapkan ahli yang dibutuhkan. Dalam hal Tim

menggunakan bantuan ahli dalam penghitungan kerugian negara/daerah maka Tim harus meyakini

bahwa metodologi yang digunakan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.

1. Pemaparan Hasil Pemeriksaan

Setelah melakukan pemeriksaan maka Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada Penanggung

Jawab untuk mendapatkan masukan dan perbaikan. Setelah melaksanakan perbaikan maka tim

menyampaikan kembali hasil pemeriksaan tersebut kepada Penanggung Jawab. Selanjutnya, Tim

memaparkan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang

1. Laporan Hasil Pemeriksaan


 Setelah Tim melakukan pemaparan kepada instansi yang berwenang, Tim segera menyusun
konsep LHP dan menyampaikan konsep laporan tersebut kepada Pengendali Teknis.
 Pengendali Teknis akan mereviu konsep laporan dan jika menyetujui konsep tersebut, maka
konsep yang telah direviu akan disampaikan kepada Penanggung Jawab.
 Penanggung Jawab akan mereviu konsep laporan dan jika menyetujui konsep tersebut, maka
LHP akan disampaikan kepada Ketua BPK/Tortama.

1. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP): Tim mendokumentasikan langkah-langkah pemeriksaan


yang telah dilaksanakan dalam KKP.
2. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, tim harus mendapat pengawasan yang baik dari
Pengendali Teknis.
3. Lain-lain: Jika menemukan adanya tindak pidana lain maka Tim melalui Pengendali Teknis
menyampaikan hal tersebut kepada instansi yang berwenang.
 Pelaporan Pemeriksaan

Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan serta memberikan informasi

dan penjelasan yang dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan. Bentuk dan susunan

laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut:

Bab I : Simpulan

Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum yang

berindikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Bab II : Umum

1. Dasar Penugasan Pemeriksaan


2. Ruang Lingkup Pemeriksaan
3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
4. Batasan tanggung jawab pemeriksaan: Menguraikan pernyataan bahwa tanggung jawab
pemeriksaan terbatas pada pengungkapan kerugian negara dan menilai besarnya nilai
kerugian negara.

Bab III : Uraian Hasil Pemeriksaan

1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa


2. Materi Temuan
1. Unsur indikasi tindak pidana korupsi
2. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
3. Penyebab dan Akibat
4. Bukti pendukung pemeriksaan
5. Metode penghitungan kerugian negara/daerah
6. Hasil perhitungan kerugian negara/daerah

Lampiran

Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. Penanggung Jawab

pemeriksaan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas

pengantar.

Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang berwenang yang meminta kepada BPK untuk

melakukan penghitungan kerugian negara/daerah. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan

pejabat BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan. Proses

peradilan disini diartikan sebagai proses penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Keterangan pejabat/staf BPK tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli oleh penyidik

atau hakim.
BAB III

PENUTUP

Pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan yang

dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana.

Beberapa kasus besar yang ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif antara lain

pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang. Disisi lain, masih banyak kasus-kasus

yang terkait dengan indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana yang terjadi.

Dalam arti hukum, korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum, dengan maksud

memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi), yang secara langsung atau tidak

dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu

dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian Negara dari

sudut pandang akibat perbuatan yakni kurangnya harta Negara. Undang-Undang No 31 Tahun 1999

merumuskan pengertian kerugian Negara dari segi modus atau perbuatan yang menjadi penyebab,

yakni perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana.

Dalam lingkup kenegaraan, konteks Indonesia, praktik korupsi masih merajalela di segala lini dan

belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Dengan demikian, tantangan bagi aparat pemeriksa

keuangan Negara sangat besar, karena selain praktik korupsi yang masih sangat marak dalam

jumlah/frekuensi, para pelaku juga semakin rapi dan terorganisir, sehingga sangat sulit diungkap.

Proses pengungkapan praktik-praktik ini dilakukan dalam sebuah proses pemeriksaan investigatif

yang membutuhkan keahlian khusus yaitu mengenai akuntansi forensik.

Kebutuhan akan keahlian akuntansi forensik yang berkualitas semakin penting untuk dipenuhi instansi

pemeriksa keuangan Negara (BPK dalam hal ini). Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup

keahlian keuangan, pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta

pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti
pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian

aset, serta reviu bisnis.

Pemeriksaan investigatif, sebagai bagian dari akuntansi forensik menerapkan teknik-

teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau transaksi untuk memastikan fakta mengenai

“siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi

yang sedang diperiksa. Demikian hal ini telah disusun dalam sebuah petunjuk teknis BPK yaitu Juknis

Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian

Negara/Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan BPK-RI Nomor 17/K/I-XIII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif

atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.

Anda mungkin juga menyukai