MENGENAL FRAUD
dan GEJALANYA
KATA PENGANTAR
Sesuai amanat undang-undang, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki wewenang dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,
termasuk kewajiban bagi BPK untuk melaporkan adanya dugaan unsur pidana dan/atau kerugian
negara dalam laporan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang. Selain itu, Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) menyatakan bahwa pemeriksa harus merancang pemeriksaan
untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse). Untuk melaksanakan amanat tersebut, pemeriksa
dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai konsep penyimpangan sehingga
pelaksanaan pemeriksaan dapat berjalan secara efektif dan dapat mendeteksi indikasi penyimpangan
yang mengarah pada fraud.
Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman mengenai fraud dalam pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, melalui panduan ini
diharapkan agar pemeriksa memperoleh pemahaman mengenai konsep fraud dan penyimpangan
lainnya yang tidak termasuk sebagai fraud serta bentuk-bentuk gejala fraud (red flags) dalam
pengelolaan keuangan negara dan metode yang dapat digunakan oleh pemeriksa untuk dapat
mendeteksi red flags tersebut.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam proses
penyusunan panduan ini. Kami menyadari bahwa panduan ini masih memiliki banyak kekurangan
sehingga saran dan masukan untuk penyempurnaannya sangat dinantikan. Kami berharap buku ini
dapat membantu dan bermanfaat bagi berbagai pihak.
Terima kasih.
Jakarta,
Februari 2011
Daeng M. Nazier
Direktorat Litbang
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................................
ii
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................................
PENYIMPANGAN ...........................................................................................................
FRAUD ............................................................................................................................
14
15
20
23
30
30
34
44
53
56
56
56
57
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
GLOSARIUM
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
DAFTAR PUSTAKA
TIM PENYUSUN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Direktorat Litbang
ii
DAFTAR TABEL
1.1
2.1
13
3.1
17
3.2
27
4.1
54
Direktorat Litbang
iii
DAFTAR GAMBAR
2.1
3.1
15
3.2
16
3.3
18
3.4
18
3.5
20
3.6
21
3.7
24
3.8
25
3.9
29
Direktorat Litbang
iv
DAFTAR LAMPIRAN
III.1
Definisi Fraud
III.2
Modus Korupsi
IV.1
IV.2
Direktorat Litbang
Bab I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan bersih serta bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) merupakan salah
satu tuntutan dan amanat gerakan
reformasi Indonesia yang dikuatkan
dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penekanan korupsi pada berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut
membuat korupsi menjadi enemy of the
state, yaitu korupsi hanya bisa dilawan
dengan meletakkan setiap tindakan korupsi
sebagai musuh bersama seluruh elemen
negara. Pemerintah, pelaku usaha, dan
seluruh elemen masyarakat sipil harus
bersatu untuk mendorong terwujudnya
sebuah nilai anti korupsi yang berlaku di
tengah kehidupan bangsa. Upaya lain yang
dilakukan pemerintah dalam memberantas
korupsi adalah dengan mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi yang mengharuskan pemerintah
baik pusat maupun daerah meningkatkan
pelayanan publik yang akuntabel dan
transparan.
Selama ini masyarakat, dan juga
pemeriksa,
masih
belum memiliki
pemahaman yang memadai mengenai
korupsi. Seringkali mereka menganggap
bahwa setiap terjadi kerugian negara maka
telah terjadi korupsi. Masyarakat juga
sering mengasosiasikan korupsi dengan
fraud. Padahal secara harfiah, fraud
Direktorat Litbang
Bab I
Pemeriksa
harus
merancang
pemeriksaan
untuk
mendeteksi
terjadinya penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan
(abuse). Untuk dapat melaksanakan
standar tersebut, para pemeriksa BPK
diharapkan memiliki pemahaman terhadap
pengertian penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan, serta ketidakpatutan baik
dalam
pelaksanaan
pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
SPKN juga menyatakan bahwa jika
pemeriksa menemukan adanya indikasi
fraud, pemeriksa harus menerapkan
prosedur tambahan untuk memastikan
bahwa fraud telah terjadi dan
menentukan
dampaknya
terhadap
simpulan pemeriksaan. Selain itu,
Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP)
menyatakan bahwa perpanjangan waktu
dan/atau penambahan pemeriksa dapat
diberikan, antara lain dalam hal terdapat
temuan/identifikasi
tindak
pidana
korupsi yang perlu ditelusuri lebih lanjut
(paragraf 19 Bab IV PMP). Prosedur
tambahan tersebut dapat dilakukan dalam
penugasan yang sama atau dapat
dilakukan dengan pemeriksaan investigatif.
B. Tujuan dan
Panduan
Manfaat
Buku
Bab I
Direktorat Litbang
Bab II
BAB II
PENYIMPANGAN
Selama ini masyarakat menganggap bahwa
penyimpangan sama dengan fraud. Secara
harfiah, penyimpangan memiliki pengertian
yang lebih luas daripada fraud. Hubungan
antara penyimpangan dan fraud dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 2.1 Hubungan antara Penyimpangan
dan Fraud
PENYIMPANGAN
FRAUD
A. Menurut SPKN
Menurut Robert M. Z. Lawang, penyimpangan
perilaku adalah semua tindakan yang
menyimpang dari norma yang berlaku dalam
sistem sosial dan menimbulkan usaha dari
mereka yang berwenang dalam sistem itu
untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Sedangkan menurut James W. Van Der
Zanden, perilaku menyimpang adalah perilaku
yang bagi sebagian orang dianggap sebagai
sesuatu yang tercela dan di luar batas
toleransi.
Direktorat Litbang
Bab II
Bab II
c) kekeliruan
dalam penerapan
prinsip akuntansi yang berkaitan
dengan jumlah, klasifikasi, cara
penyajian, atau pengungkapan (SA
Seksi 312).
2. Kecurangan
Kecurangan (fraud) adalah salah saji
atau penghilangan secara sengaja
jumlah atau pengungkapan dalam
laporan keuangan untuk mengelabuhi
pemakai laporan keuangan.
Ada dua tipe salah saji yang relevan
dengan pertimbangan auditor tentang
kecurangan dalam audit atas laporan
keuangan, yaitu salah saji yang timbul
sebagai akibat dari kecurangan dalam
pelaporan keuangan dan kecurangan
yang timbul dari perlakuan tidak
semestinya terhadap aktiva.
Direktorat Litbang
Bab II
Bab II
adanya perbuatan,
bersifat melawan hukum,
adanya kesalahan,
menimbulkan kerugian, dan
terdapat hubungan kausal antara
perbuatan dan kerugian.
1. Adanya perbuatan
Yang dimaksud adanya perbuatan,
pada unsur perbuatan melawan
hukum, meliputi berbuat sesuatu
Direktorat Litbang
Bab II
negatif,
yaitu
suatu
perbuatan,
meskipun
menurut
peraturan
perundang-undangan
merupakan
perbuatan
yang bersifat melawan
hukum, tetapi jika menurut
penilaian
masyarakat
perbuatan tersebut tidak
bersifat melawan hukum,
maka perbuatan tersebut
dikategorikan
sebagai
bukan perbuatan melawan
hukum.
Bab II
Direktorat Litbang
10
Bab II
Kerugian
negara/daerah
adalah kekurangan uang,
surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.
untuk
a. sifat kejadian,
b. sifat kerugian,
c. tingkat kemungkinan timbulnya
kerugian yang dapat diduga, dan
d. beban yang seimbang dengan
memperhatikan
kedudukan
finansial yang dirugikan.
Ketentuan dalam bunyi pasal 1 (22) UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
Negara
yang
mengadopsi unsur perbuatan melawan
hukum, menyebutkan:
Tidak
menepati
janji
melangsungkan perkawinan.
11
Bab II
Direktorat Litbang
12
Bab II
11.
12.
13.
14.
15.
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Larangan ini kemudian dikuatkan dengan adanya sanksi yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang melanggar
larangan yang tertera dalam rumusan pasal 50, dimana sanksi tersebut tertera dalam rumusan pasal 78 yang
berisi ketentuan pidana yang dapat dikenakan kepada barang siapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50.
Direktorat Litbang
13
Bab III
BAB III
FRAUD
Direktorat Litbang
14
Bab III
1. Motif individu
Motif individu merupakan faktor
pendorong terjadinya fraud yang
berasal dari diri pelaku fraud dan
pihak-pihak di sekitar pelaku. Teori
pendukung
yang
menjelaskan
mengenai motif individu antara lain
terdiri dari:
a. Fraud Triangle
A. Faktor
Fraud
Pendorong
Terjadinya
Direktorat Litbang
15
Bab III
FRAUD
TRIANGLE
PRESSURE
RATIONALIZATION
1) Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan motivasi
yang berasal dari seseorang
untuk
melakukan
fraud,
termasuk di dalamnya motivasi
ekonomi. Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan tekanan
antara lain:
Masalah keuangan, seperti
tamak/rakus, gaya hidup
melebihi
kemampuan
finansial yang dimiliki,
banyak hutang, biaya
kesehatan yang besar,
serta adanya kebutuhan tak
terduga.
Kebiasaan buruk, seperti
penjudi, peminum, pecandu
narkoba.
Lingkungan
pekerjaan,
misalnya sudah bekerja
dengan baik tetapi kurang
mendapat perhatian atau
kondisi kerja yang buruk.
Direktorat Litbang
2) Adanya
Kesempatan
(Perceived Opportunity)
Kesempatan adalah kondisi
yang
bisa
mendukung
seseorang untuk menutupi
fraud yang dilakukannya.
Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan peluang atau
kesempatan
seseorang
berbuat fraud antara lain:
Sistem
pengendalian
internal yang lemah.
Ketidakmampuan menilai
kualitas kerja karena tidak
memiliki alat atau kriteria
pengukuran.
Kurang atau tidak adanya
akses terhadap informasi
sehingga
tidak
dapat
memahami keadaan yang
sebenarnya.
16
Bab III
pada
waktunya
dikembalikan.
atau
akan
Kesempatan: Posisi
Pengawas Proyek
Pak
Udin
sebagai
17
Bab III
Tinggi (High)
Situational Pressures
Rendah (Low)
Tinggi (High)
Opportunities
Rendah (Low)
Rendah (Low)
Tinggi (High)
Terjadi
Kecurangan
(Fraud)
Tidak Terjadi
Kecurangan
(No Fraud)
Sumber: M Romney, WS Albrecht, and DJ Cherrington, Auditors and the detection of Fraud ,(1980).
disini berarti bahwa orang tersebut
Gambar
di
atas
menjelaskan
dapat membaca dan menemukan
keterkaitan dari tiga faktor yang
adanya kesempatan untuk melakukan
menyebabkan seseorang melakukan
fraud serta mewujudkan kesempatan
fraud. Apabila seseorang memiliki
tersebut menjadi suatu kenyataan.
kepribadian tinggi (jujur), tidak memiliki
kesempatan, dan tidak menghadapi
Gambar 3.4 Fraud Diamond
tekanan, maka orang tersebut tidak
akan melakukan fraud. Sebaliknya,
Incentive
Opportunity
seseorang yang dengan kepribadian
rendah (tidak jujur), ketika memiliki
kesempatan tinggi dan berada dalam
kondisi penuh tekanan, maka orang
tersebut berpeluang melakukan fraud.
Rationalization
Capability
b. GONE Theory
Bab III
4) Exposure
(pengungkapan):
berkaitan dengan tindakan
atau konsekuensi yang akan
dihadapi oleh pelaku fraud
apabila pelaku diketahui telah
melakukan fraud.
19
Bab III
2. Motif Perusahaan
Motif perusahaan untuk melakukan
fraud dijelaskan dalam agency theory.
Paton dalam Soepardi (2005)
menyatakan
bahwa
manajemen
perusahaan
(agen)
mempunyai
kecenderungan untuk mengutamakan
kepentingan pribadinya dibanding
Direktorat Litbang
20
Bab III
dan
kelompok
30-35
tahun.
Pengelompokan tersebut diringkas
dalam gambar berikut:
21
Bab III
menemukan
Bab III
b. Pelanggan
Fraud juga dapat dilakukan oleh
pembeli/pelanggan dengan tidak/
kurang
membayar
harga
barang/jasa yang diterima, dimana
korbannya adalah penjual.
3. Kolusi pihak internal dan eksternal
Selain murni dilakukan oleh pihak
internal atau eksternal perusahaan,
fraud juga dapat dilakukan oleh pihak
internal yang bekerja sama dengan
pihak eksternal untuk kepentingan atau
keuntungan kedua belah pihak.
Misalnya, pihak internal organisasi atau
entitas pemerintah bekerja sama
dengan
perusahaan
pemborong
sehingga perusahaan pemborong
tersebut selalu memenangkan tender
yang diadakan oleh entitas pemerintah
tersebut dan pejabat pengadaan yang
bersangkutan menerima suap dari
perusahaan pemborong.
b. Fraud
yang
organisasi
C. Klasifikasi Fraud
1. Berdasarkan
Keuntungan
Kerugian Organisasi
Direktorat Litbang
menguntungkan
dan
merugikan
23
Bab III
Fraud
Keuntungan
Pribadi
Keuntungan
Organisasi
Disembunyikan
melalui rekayasa
catatan akuntansi
Direktorat Litbang
24
Bab III
Direktorat Litbang
25
Bab III
merupakan
sesuatu yang
Badan Pemeriksa Keuangan
Bab III
2.
Suap-menyuap
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 6 huruf a;
Pasal 6 huruf b;
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 12 huruf a;
Pasal 12 huruf b;
Pasal 12 huruf c;
Pasal 12 huruf d;
Pasal 13
3.
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 10 huruf a
Pasal 10 huruf b
Pasal 10 huruf c
4.
Pemerasan
Pasal 12
Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf f
Pasal 12 huruf g
5.
Perbuatan curang
Pasal 7
Pasal 12
Pasal 12 huruf h
6.
Pasal 12
Pasal 12 huruf h
7.
Gratifikasi
Pasal 12
Direktorat Litbang
27
Bab III
(Asset
Direktorat Litbang
3. Berdasarkan
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban
Keuangan
Negara
Tuanakotta (2009) dalam bukunya
Menghitung Kerugian Keuangan
Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
menggambarkan kerugian keuangan
negara ke dalam suatu konsep yang
dinamakan Pohon Kerugian Keuangan
Negara (R.E.A.L Tree) sebagaimana
ditunjukkan dalam gambar berikut:
28
Bab III
c. aset (assets);
d. kewajiban (liabilities).
Contoh-contoh bentuk fraud dan red flags
akan diuraikan lebih lanjut pada bab IV.
b. belanja (expenditures);
Direktorat Litbang
29
Bab IV
BAB IV
GEJALA FRAUD (RED FLAGS)
Fraud adalah suatu kejahatan (crime) yang
berbeda dari kejahatan lainnya, yaitu sifatnya
yang tersembunyi (hidden). Kejahatan
tradisional biasanya meninggalkan jejak yang
dapat terlihat. Misalnya, jika suatu bank
dirampok biasanya ada saksi, fisik uang yang
hilang, dan dalam beberapa kasus juga
tertangkap oleh rekaman CCTV. Sementara
dalam fraud, tidak ada bukti, yang secara
langsung dapat diperoleh, yang menunjukkan
bahwa fraud telah terjadi atau bahwa
seseorang telah melakukan fraud. Hanya gejala
atau indikator fraud yang dapat ditemukan
terlebih dahulu. Namun demikian, seringkali
gejala fraud yang ditemukan tersebut
disebabkan oleh faktor-faktor non fraud, seperti
kelemahan pengendalian internal yang tidak
disengaja atau kelalaian yang mengakibatkan
hilangnya suatu dokumen. Dengan demikian,
proses investigasi perlu dilakukan sebelum
pemeriksa menyatakan bahwa fraud benarbenar telah terjadi (baik nyata maupun pasti
jumlahnya).
Untuk dapat mendeteksi fraud, pemeriksa
harus belajar untuk mengenali gejala-gejala
fraud (red flags) dan melacak red flags tersebut
sampai bukti yang cukup dapat dikumpulkan
untuk mengungkapkan apakah red flags
tersebut disebabkan oleh fraud atau oleh faktor
selain fraud. Red flags adalah suatu keadaan
yang sifatnya tidak biasa atau berbeda dari
aktivitas normal. Red flags merupakan sinyal
bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dan
mungkin perlu diteliti lebih lanjut. Namun
demikian perlu diingat bahwa red flags tidak
menunjukkan bahwa seseorang atau pihak
tertentu bersalah atau tidak bersalah. Red flags
hanya memberikan tanda-tanda peringatan
kemungkinan terjadinya fraud.
Direktorat Litbang
30
Bab IV
proses
kegiatan
Pemahaman terhadap
proses
kegiatan
organisasi
secara
signifikan
akan
membantu
pemeriksa dalam:
memperkirakan
tingkat
keterjadian
dan
potensi
dampak fraud yang mungkin
terjadi dalam suatu instansi,
dan
b. Identifikasi
Pengendalian Intern.
Kelemahan
Setelah
memahami
proses
kegiatan
pemeriksa
harus
memahami pula pengendalian
Direktorat Litbang
Bab IV
b. Pengujian khusus
Pengujian
khusus
biasanya
dilakukan terhadap kegiatankegiatan yang berisiko tinggi
terhadap fraud, antara lain:
Direktorat Litbang
Bab IV
pembelian/pengadaan tersebut
tidak
mungkin
membaca,
mengubah,
atau
menyembunyikan catatan.
b. Pengawasan rutin
Tingkatan pengendalian yang
dilakukan harus menjadi perhatian
terutama apabila bawahan lebih
pandai dari atasan atau apabila
atasan memiliki bawahan yang
memiliki latar belakang pendidikan
yang berbeda.
c. Karakter pribadi
Karakter pribadi pegawai harus
dipertimbangkan.
Gejala-gejala
tersebut termasuk:
kekayaan yang tidak dapat
dijelaskan,
pola hidup mewah,
pegawai tidak puas (tidak naik
pangkat),
egois (mementingkan diri
sendiri),
sering
mengabaikan
instruksi/prosedur; dan
ingin dianggap paling penting.
Pada saat menerapkan kedua metode
pendeteksian red flags yang mengarah
pada fraud di atas, pemeriksa juga perlu
mewaspadai dan mempertimbangkan
kemungkinan keterlibatan pihak-pihak
dengan karakteristik yang unik karena
pihak dengan karakteristik unik tersebut
dapat
mempertinggi
kemungkinan
terjadinya fraud. Contoh karakteristik yang
perlu diwaspadai sebagai berikut:
1) The big spender. Beberapa penerima
suap membelanjakan uang mereka
secara mencolok atau dengan kata lain
berfoya-foya.
Direktorat Litbang
33
Bab IV
1. Korupsi (Corruption)
a. Benturan Kepentingan (Conflict
of Interest)
Red flags dalam conflict of interest
antara lain sebagai berikut:
1) Adanya volume transaksi
penjualan yang cukup besar
dengan salah satu vendor
tertentu.
alamat
alamat
7) Membandingkan
vendor
dengan
perusahaan.
alamat
alamat
2) Terungkapnya
hubungan
tertentu
antara
pegawai
dengan pihak ketiga.
3) Adanya kelemahan dalam
pemisahan tugas antara fungsi
persetujuan
kontrak
dan
penandatanganan
faktur
penjualan.
Red flags tersebut dapat dideteksi
melalui metode sebagai berikut:
1) Mengklasifikasikan transaksi
per vendor dan mengevaluasi
volume transaksi yang tidak
Direktorat Litbang
6) Membandingkan
vendor
dengan
pegawai.
Bab IV
c. Penyuapan (Bribery)
Red flags dalam praktik penyuapan
antara lain sebagai berikut:
a. Penyalahgunaan Kas
Aset
(Asset
Direktorat Litbang
35
Bab IV
Kas
(Cash
dalam
(Fraudulent
Kecurangan
dilakukan
terhadap
pengeluaran
perusahaan, yaitu:
a) Kecurangan
penagihan
Scheme).
dalam
(Billing
b) Kecurangan
dalam
pembayaran
gaji/upah
(Payroll Fraud).
c) Kecurangan
dalam
permintaan penggantian
biaya
(Expense
Reimbursement Scheme).
Red flags dalam pengeluaran
kas dapat meliputi:
36
Bab IV
a) Ketidaktepatan pembagian
wewenang
pada
karyawan,
misalnya,
penghitungan register dan
rekonsiliasi
seharusnya
tidak dilakukan oleh kasir.
c) Karyawan
pencatatan
memiliki otoritas untuk
merubah transaksinya.
d) Pencatatan pengembalian
refund
register
tidak
direviu.
j)
Adanya
kesenjangan
dalam urutan transaksi
pada pita register.
k) Adanya
ketidakurutan
nomor refund, void, atau
Direktorat Litbang
Bab IV
a) Larceny Scheme
Secara sederhana dapat
diartikan
sebagai
pengambilan persediaan
perusahaan, tanpa ada
upaya untuk menutupi
pencurian tersebut dalam
buku dan catatan.
b) Asset Requisition
Transfer Scheme
Yang
kedua,
jika
perusahaan
memang
bermaksud membeli aset
namun setelah dilakukan
pembelian, aset tersebut
dicuri oleh pegawainya.
Fraud ini dinamakan
pencurian
persediaan
(inventory larceny).
and
Bentuk
dasar
fraud
kategori ini terjadi saat
seorang pegawai meminta
material persediaan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Dalam berbagai kasus
mereka
meninggikan
(mark-up) jumlah yang
diminta dan menciptakan
satu proyek yang benarbenar fiktif untuk mencuri
material yang mereka
inginkan. Adapula pegawai
yang memalsukan formulir
permintaan barang untuk
mengambil barang dari
gudang.
3. Rekayasa
Laporan
(Fraudulent Statement)
Keuangan
38
Bab IV
a. Pendapatan
Revenues)
Fiktif
(Fictitious
Beberapa transaksi keuangan dengan PT Centrapermata Karya (perusahaan induk) bermasalah dan tidak dicatatkan
dalam laporan keuangan Great River.
Ada piutang usaha senilai Rp 116,1 miliar yang tidak didukung bukti transaksi dalam pembukuan Great River 20032005.
Utang jatuh tempo Bali Company sebesar US$ 1,1 juta yang telah dibayarkan kepada Great River tidak dicatatkan
dalam pembukuan perusahaan.
Kerja sama dengan Inter Fashion Marketing untuk memasarkan produk Great River ke luar negeri malah merugikan
dan membukukan saldo negatif.
Sebagian penjualan pada 2003 dan 2004 sebesar Rp 305 miliar tidak memiliki bukti transaksi.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/12/12/EB/mbm.20051212.EB117452.id.html
Direktorat Litbang
39
Bab IV
b. Perbedaan
Differences)
Waktu
(Timing
tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master prices yang telah
diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT KAEF. Master prices per 3 Pebruari 2002
merupakan master prices yang telah disesuaikan nilainya (penggelembungan) dan dijadikan dasar sebagai
penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT KAEF per 31 Desember 2001.
Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit Bahan Baku. Pencatatan ganda tersebut
dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh Akuntan.
Sumber: http://www.bapepam.go.id/old/old/news/Des2002/PR_27_12_2002.PDF
Direktorat Litbang
40
Bab IV
Contoh
red
flags
yang
berhubungan dengan penilaian
aset yang tidak tepat meliputi:
pengeluaran
kas
pembelian per hari.
Direktorat Litbang
untuk
pengeluaran
Bab IV
ketidakmampuan
untuk
menghasilkan arus kas dari
aktivitas operasi pada saat
pelaporan laba rugi dan
pertumbuhannya.
Direktorat Litbang
Bab IV
Direktorat Litbang
43
Bab IV
Fraud
terkait
(Pendapatan)
Penerimaan
4) Kesalahan pengenaan
pajak maupun bea.
Direktorat Litbang
tarif
44
Bab IV
ke
2) Inventarisasi
PNBP.
sumber-sumber
c. Potongan
Ditinggikan
Direktorat Litbang
1) Eksaminasi
sumber.
dokumen
Penerimaan
45
Bab IV
2.
Direktorat Litbang
2) Transaksi
fiktif
Transactions)
melalui:
(Fictious
misalnya
pengeluaran
belanja/jasa
atau perjalanan dinas fiktif,
membuat
tagihan
dari
perusahaan yang sudah
tidak ada (invoices from
nonexistent companies), dan
catatan atau tagihan palsu
(false records or invoices).
3) Dokumentasi palsu (False
Documentation)
misalnya
melalui:
kualifikasi kontraktor yang
palsu (falsified contractor
qualifications),
sertifikasi
palsu
(false
certifications or assurances).
Red flags yang dapat diidentifikasi
meliputi:
1) Tidak bisa menyelesaikan
laporan tepat waktu.
2) Tidak
bisa
menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh
auditor.
3) Tidak
dapat
memenuhi
persyaratan
pelaporan,
misalnya laporan tidak tepat
waktu, laporan tidak lengkap,
dan sebagainya.
4) Tidak memiliki informasi atau
bukti yang cukup sebagai
pendukung laporan.
5) Adanya dokumen yang hilang.
6) Dokumen
kepada
yang diberikan
auditor
bukan
46
Bab IV
9) Register/buku
kontrak
pengadaan barang/jasa tidak
tertib
dan
tidak
menggambarkan ketersediaan
anggarannya;
10) Dokumen
pembayaran
terhadap pengeluaran yang
seharusnya
menggunakan
beban
tetap
tetapi
dilaksanakan dengan beban
sementara, terutama untuk
pasal-pasal
pengeluaran
anggaran
daerah
untuk
anggaran
tak
tersangka,
bantuan pihak ketiga, bantuan
sosial dan bantuan sejenisnya.
Direktorat Litbang
Bab IV
3.
Direktorat Litbang
48
Bab IV
atas
pembayaran
belanja
penunjang
Keerom,
Provinsi
Papua,
kerugian
disepakati
sehingga
terjadi
kelebihan
Direktorat Litbang
7) Kualitas
pekerjaan
yang
diserahkan tidak sama dengan
ketentuan dalam spesifikasi
teknis/kontrak.
8) Kualitas barang/jasa yang
diterima
tidak
sesuai
kebutuhan.
Red flags untuk setiap tahap dalam
pengadaan barang dan jasa dapat
dilihat pada lampiran IV.2
Untuk dapat mendeteksi red flags
dalam pengadaan barang dan jasa,
pemeriksa dapat melakukan teknikteknik audit sebagai berikut.
1) Lakukan pengujian sepintas
tentang
ketentuan
yang
mengatur adanya keharusan
pelaksanaan
pengadaan
berdasarkan permintaan calon
pemakai.
2) Telusuri proses perencanaan
pengadaan dan penganggaran
apakah disusun berdasarkan
rencana
kebutuhan
berdasarkan
kegiatan
operasional selama periode
tertentu.
3) Lakukan pengujian sepintas
terhadap proses tender.
4) Teliti owner estimate dan
engineering
estimate
pembangunan prasarana fisik.
5) Bandingkan volume OE/EE
dengan kontraknya.
49
Bab IV
Kegiatan Pengadaan Alat AFIS Tahun 2004 pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum
(Ditjen AHU) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia
Modus Fraud:
1.
Dirjen AHU menyampaikan memo kepada Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, dengan tembusan
kepada Sekjen mengenai usulan penunjukan langsung PT Sentral Filindo sebagai penyedia alat AFIS, dengan
alasan adanya keterbatasan waktu untuk melaksanakan pekerjaan. Sementara usulan revisi untuk ABT
sedang diajukan kepada Ditjen Anggaran. Sebelumnya, selain PT Sentral Filindo (pemasok Dermalog),
pemasok dari Sagem dan Motorola pernah melakukan peragaan produk kepada Panitia Persiapan Pengadaan.
2.
Dirjen AHU memerintahkan Direktur Dactiloscopy dan Pemimpin Proyek, yang juga menjabat sebagai
Kepala Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga, untuk mempersiapkan pengadaan alat AFIS.
3.
Direktur Dactiloscopy menindaklanjutinya dengan menyusun rencana pengadaan. Adapun metode pengadaan
yang digunakan adalah metode Penunjukan Langsung, dengan pertimbangan waktu pengerjaan untuk tahun
anggaran 2004 tinggal 75 hari.
4.
Sekretaris Panitia Pengadaan, berdasarkan arahan Pemimpin Proyek, menyusun Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) dengan mengacu kepada proposal harga dari PT Sentral Filindo.
5.
Seluruh dokumen pengadaan dibuat secara formalitas dan kontrak pun dibuat backdating. Hal ini ditunjukan
dengan tidak adanya proses prakualifikasi dan evaluasi sebagaimana mestinya, meskipun diketahui PT
Sentral Filindo tidak memiliki Angka Pengenal Impor sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan. Sehingga
untuk mengurus dokumen impor, Dirjen AHU membuat dokumen yang dimanipulasi seolah-oleh bertindak
sebagai importir.
6.
Pemimpin Proyek kemudian mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dengan menggunakan dokumen
pengadaan yang dimanipulasi (formalitas)
Red flags
1)
Perencanaan pengadaan barang dan jasa yang seolah-olah menunjukan bahwa pengadaan bersifat mendesak.
2)
Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang hanya mengacu kepada penawaran harga dari satu pemasok.
3)
Penyusunan dokumen pengadaan dan pencairan dana dengan memajukan tanggal (backdating).
4)
b. Pelepasan Aset
c. Pemanfaatan Aset
daerah
dan
bersepakat
Badan Pemeriksa Keuangan
Bab IV
d. Penempatan Aset
Modus operandi yang biasa
dilakukan dalam kategori ini berupa
penanaman atau investasi yang
dilakukan oleh BUMN/BUMD atau
lembaga lainnya yang secara
sengaja
menempatkan
dana
tersebut pada investasi yang tidak
seimbang
risk-return-nya
(penempatan aset dengan risiko
yang relatif tinggi dibandingkan
dengan imbalannya). Ciri khas
praktik ini adalah tidak sejalannya
investasi dengan bisnis inti (core
business).
e. Kredit Macet
Direktorat Litbang
Bab IV
fungsi yang
pengecekan
Menimbulkan
52
Bab IV
c. Kewajiban Tersembunyi
Modus operandi yang dilakukan
dalam kategori ini biasanya berupa
kasus aliran dana suatu lembaga
negara yang diduga membantu
mantan
pejabatnya
yang
mengalami masalah hukum (legal
expenses).
Legal
expenses
merupakan tempat persembunyian
segala macam biaya yang tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Ketika pemeriksa menemukan
penyimpangan
ini,
pimpinan
lembaga
biasa
melakukan
pembersihan dengan dua cara:
1) Lembaga negara menciptakan
aset untuk menghilangkan
pengeluaran fiktif,
2) aset fiktif ini dihilangkan
melalui
transaksi
yang
menimbulkan
kewajiban
kepada pihak yang masih
berafiliasi seperti Yayasan
Kesejahteraan
Karyawan,
Yayasan dana pensiun, atau
Yayasan Pendidikan.
Contoh: Kasus aliran dana YPPI
Bentuk-bentuk
lain
fraud
dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara dapat dilihat pada
lampiran IV.3.
53
Bab IV
mekanisme
Direktorat Litbang
54
Bab IV
Keterangan
Cantumkan referensi ke dalam struktur pengendalian fraud dalam fraud control plan
Tandai risiko-risiko utama untuk mendorong pemahaman terhadap permasalahanpermasalahan terkait fraud, misalnya: risiko yang ditimbulkan akibat meningkatnya
penggunaan internet dalam memberikan layanan kepada pelanggan.
Hal ini juga mendorong kesadaran akan risiko yang dihadapi karyawan.
Karyawan perlu menyadari bahwa pihak internal maupun eksternal dapat melakukan
fraud.
Merancang
strategi
dan/atau
pengendalian untuk memperbaiki
semua kelemahan dalam penilaian
risiko
Perlu pemisahan antara rencana aksi untuk menyiapkan strategi dan pengendalian
terinci dan untuk membatasi penyebaran informasi yang penting.
Rencana kerja dapat meliputi jangka waktu yang realistis dan memungkinkan
monitoring implementasi strategi dan control yang telah disusun sebelumnya.
Tanggung jawab tersebut dapat dimasukkan dalam rencana aksi. Tanpa adanya
strategi implementasi dan reviu, rencana pengendalian fraud tidak akan bermanfaat
dan mungkin tidak akan relevan. Informasi tersebut dapat membantu memastikan
kepatuhan. Tanggung jawab tersebut juga harus ditekankan dalam kesepakatan
kinerja individu.
Entitas harus mengambil semua kesempatan untuk menyoroti tanggung jawab yang
menyatakan bahwa semua karyawan harus memiliki pengendalian tentang fraud.
Tanpa informasi kinerja sesuai strategi yang sedang diterapkan, tanggung jawab
yang harus dipenuhi tidak akan jelas
Direktorat Litbang
55
Bab V
BAB V
TINDAK LANJUT
Pemeriksa perlu menyadari adanya red flags,
memahami kelebihan dan kelemahannya, dan
dapat
menentukan
bagaimana
untuk
menindaklanjutinya. Pemeriksa juga perlu
memahami bahwa red flags tidak selalu
mengindikasikan adanya fraud. Ketika red flags
teridentifikasi, fraud belum tentu terjadi. Oleh
karena itu, pemeriksa harus hati-hati dan
mampu
untuk
menerapkan
penilaian
profesionalnya dalam membuat kesimpulan
bahwa fraud terjadi.
Setelah pemeriksa berhasil mengenali red flags
dalam pelaksanaan pemeriksaan, maka
pemeriksa dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut.
harus
56
Bab V
Direktorat Litbang
57
Glosarium
GLOSARIUM
A
ACFE
Aksioma
Anomali analisis
Asset misappropriations
Auditor eksternal
Audit trail
Error
Fraud
Fraud awareness
Fraudster
Pelaku fraud
Fraudulent statements
Direktorat Litbang
Glosarium
I
Indeks Persepsi Korupsi
Judicial review
Kerugian negara/daerah
Opini
P2
Penyimpangan
Red flag
Substantive test
Test of control
Direktorat Litbang
vi
Glosarium
Wanprestasi
Cidera janji
Whistleblower
Window dressing
Yurisprudensi
Direktorat Litbang
Putusan hakim yang berulang yang dari semula belum ada dasar
hukumnya (belum ada undang-undang yang mengaturnya)
vii
ACFE
ACL
AHU
AICPA
ANAO
APBD
APBN
APBN-P
APH
ASA
ASOSAI
BA
Berita Acara
BAPEPAM
BBM
BD
Bobot Daerah
Binbangkum
BPD
BPK
BPKP
BUMD
BUMN
CAATs
CCO
CFE
DAK
DAU
DBH
Ditama
Direktorat Utama
Direktorat Litbang
viii
DJPK
DKB
DKI
DPRD
DR
Dana Reboisasi
DRT
FCP
GAO
GAS
HPH
HPS
ICW
IKK
Inpres
Instruksi Presiden
IPK
IPK
ISSAI
JBT
KKN
KPK
KTP
LHP
P2
Program Pemeriksaan
PBB
PEMDA
Pemerintah Daerah
PMH
PNBP
PNS
PP
Peraturan Pemerintah
PSA
PSDH
Direktorat Litbang
ix
PT
Perseroan Terbatas
SAI
SAKB
SAS
SDM
Setwilda
SIM
SKN
SPAP
SPI
SPIP
SPj
Surat Pertanggungjawaban
SPK
SPKN
SPKN
SPM
TA
Tahun Anggaran
TII
TPK
UU
Undang-Undang
UUDP
Direktorat Litbang
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Amrizal,
Pencegahan
dan
Pendeteksian
Kecurangan
oleh
Internal
http://www.bpkp.go.id/unit/investigasi/cegah_deteksi.pdf, diunduh 10 Desember 2009
Auditor,
Australian National Audit Office, Fraud Control in Australian Government Agencies, Australia, 2004,
http://www.anao.gov.au, diunduh 27 Desember 2010
Arif Hidayat, dkk, Panduan Pengawasan Keuangan Daerah: Wawasan dan Instrumen Monitoring
Keuangan Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2005
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara: Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No.01 Tahun 2007
Biro Hukum Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Kompilasi Hasil Telaahan dan Reviu Tim
Konsulen Hukum Pusat Atas Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester I 2007
BMI Training & Consulting, modul Fraud Auditing: Prevention, Detection, & Investigation, Jakarta
Davia, Howard R.; Coggins, Patrick; Wideman, John, and Kastantin, Accountant's Guide to Fraud
Detection and Control, 2nd Edition. John Wiley & Sons, New Jersey, 2000
Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Fraud Control Plan: Tidak
Sekedar Teori Tetapi Sebuah Solusi Menekan Korupsi, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Jakarta, 2007
Dewi Damayanti, dkk, Memerangi Korupsi Untuk Membasmi: Studi Kasus Penanganan Korupsi
Pemerintah Daerah, Justice For The Poor Project - Bank Dunia, Mei 2007,
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_
dprd.pdf, diunduh 2 September 2009
Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir
Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum,hal 24, Jakarta, 1997
Donald
Fraud,
Eddy Mulyadi Soepardi, Pidato Pengukuhan Guru Besar: Pendekatan Komprehensif Dalam Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Universitas Pakuan, Bogor 2005
Edwin M.Lemert, Primary And Secondary Deviation, http://www.d.umn.edu~jhamlin1/lemert.html,
diunduh 5 September 2009
Febri Diansyah ,dkk, Independent Report: Corruption Assessment and Compliance United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian Law, Indonesian Corrution Watch,
Jakarta 2008, http://www.antikorupsi.org/docs/independentreport2ndcospuncac-id.pdf, diunduh
2 September 2009
Handrias
Haryotomo,
Ada
yang
Lain
Selain
Korupsi,
http://www.jdih.bpk.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=304&Itemid=76,
diunduh 5 Desember 2009
Direktorat Litbang
xi
Daftar Pustaka
Hotma Napitupulu, Beberapa Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah, http://www.lodaya.web.id/?p=15042, diunduh 5 Oktober 2009
Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Professional Akuntan Publik, SA Seksi 312: Risiko Audit dan
Materialitas Dalam Pelaksanaan Audit, Penerbit Salemba, Jakarta 2007
Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Professional Akuntan Publik, SA Seksi 316: Pertimbangan Atas
Kecurangan Dalam Audit Laporan Keuangan, Penerbit Salemba, Jakarta 2007
Indonesia Corruption Watch, Corruption Outlook 2008, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2009,
http://www.antikorupsi.org/docs/corruptionoutlook2008.pdf, diunduh 3 September 2009
James W. Van Der Zanden, Perilaku Menyimpang Pembobolan ATM, Kamis 17 Juni 2010,
http://raf1816phyboy.blogspot.com, diunduh 20 Juni 2010
Laporan Akhir Tahun 2002 Riset Korupsi Kemitraan: Suatu Studi Diagnostik Mengenai Korupsi Di
Indonesia, Kemitraan Bagi Pembarua Tata Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta, 2002
http://www.antikorupsi.org/docs/risetkorupsikemitraan.pdf, diunduh 1 September 2009
Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Watch, Hukum dan Peradilan di Indonesia Masih
Berpihak Kepada
Koruptor,
Indonesia
Corruption
Waych,
Jakarta
2005,
http://www.antikorupsi.org/docs/lathukum2004.pdf, diunduh 1 September 2009
Lembaga Pengembangan Fraud Auditing, Modul Workshop: Bentuk-Bentuk Kecurangan Dalam
Pengadaan Barang/Jasa, LPFA, Jakarta 2007
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia hal 35, Gajah Mada University, Cet
ke-10, Maret 2008
Rici Ricarfi Kurnia, Pola-Pola Kecurangan di Sektor Publik yang Bisa Diungkap Melalui Hasil
Pemeriksaan BPK-RI Pewakilan V di Denpasar Tahun 2005-2006, Tesis, Program Magister
Sains Konsentrasi Akuntansi Terapan, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, November 2007
Robert M. Z. Lawang, Perilaku Menyimpang Pembobolan ATM, Kamis 17 Juni 2010,
http://raf1816phyboy.blogspot.com, diunduh 20 Juni 2010
Siaran Pers: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia,
Transparency
International
Indonesia,
Jakarta
2009,
http://www.ti.or.id/press/91/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3817/, diunduh 1 September
2009
Sie
The Auditing and Assurance Standard Board, Australian Government, Auditing Standard ASA 240: The
Auditors Responsibility to Consider Fraud in Audit of a Financial Report, , Commonwealth of
Australia, 2006, http://www.auasb.gov.au/admin/file/content102/c3/ASA_240_28-04-06.pdf,
diunduh 5 Oktober 2009
The Comptroller General of the United States, Government Auditing Standards (Yellow Book), July
2007 Revision, United States Government Accountability Office, United States, 2007
Direktorat Litbang
xii
Daftar Pustaka
Direktorat Litbang
xiii
Tim Penyusun
TIM PENYUSUN
Daeng M Nazier
Hendar Ristriawan
Gatot Supiartono
Hery Subowo
Astilda Sinabutar
Agung Dodit Muliawan
Lukman Hakim
Iman Santoso
Silpana Suryani
Sumarsana
Randy Rizki
Herlina Dasuki
Oktarika Ayoe Sandha
Iis Istianah
Chandra Puspita
Yulia Titianingrum
Hendra Sirait
Direktorat Litbang
xiv
Lampiran III.1
DEFINISI FRAUD
1. Menurut Black Law Dictionary, fraud adalah :
A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce
another to act to his or her detriment; is usual a tort, but in some cases (esp. when the
conduct is willful) it may be a crime,
b. A misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce another person
to act,
c. A tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless
misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.
a.
a. Kesalahan penyajian atau penyembunyian fakta material yang disengaja untuk membujuk
orang lain melakukan perbuatan atau tindakan yang akan merugikannya, biasanya merupakan
kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya jika dilakukan secara disengaja)
memungkinkan merupakan suatu kejahatan;
b. Kesalahan penyajian yang terjadi karena kecerobohan dalam pertimbangan yang dapat
mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat;
c. Kerugian yang timbul akibat kesalahan penyajian yang disengaja, penyembunyian fakta
material, atau penyajian yang ceroboh yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain untuk
berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan kerugian baginya.
2. Bologna & Lindquist (1995) mendefinisikan fraud sebagai Criminally deception intended to
financially benefit the deceiver (penipuan secara kriminal guna mendapatkan keuntungan dari sisi
finansial).
3. Menurut Statement on Auditing Standard (SAS) 99, fraud adalah tindakan yang dilakukan dengan
sengaja yang mengakibatkan salah saji material dalam laporan keuangan.
4. Menurut Australian Standard of Auditing (ASA) 240, fraud adalah tindakan sengaja yang dilakukan
oleh satu orang atau lebih, baik dalam posisi manajemen, pihak yang diberikan kekuasaan,
pegawai, ataupun pihak ketiga dengan melakukan suatu penipuan untuk memperoleh keuntungan
yang tidak sah. Dalam hal ini, walaupun fraud adalah suatu konsep yang sifatnya sangat luas,
tetapi pemeriksa berfokus pada fraud yang menyebabkan salah saji material dalam laporan
keuangan.
5. Suradi (2006) mendefinisikan fraud sebagai segala cara yang dapat dilakukan orang untuk
berbohong, menjiplak, mencuri, memeras, memanipulasi, kolusi, dan menipu orang lain dengan
tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang/kelompok lain dengan cara melawan hukum.
6. Menurut Bologna yang dikutip oleh Amin Widjaya (2001) fraud dalam arti hukum adalah
penggambaran kenyataan materi yang salah yang disengaja untuk tujuan membohongi orang lain
sehingga orang lain mengalami kerugian ekonomi. Hukum dapat memberi sanksi sipil dan kriminal
untuk perilaku tersebut. Sanksi kriminal dapat melibatkan penilaian denda atau dipenjara. Sanksi
sipil dapat termasuk penggantian kerusakan untuk kerugian yang dialaminya. Fraud dalam hukum
kriminal dapat disebut dengan berbagai nama, misalnya penipuan, kebohongan, pencurian dengan
akal, kupon palsu, masukan yang salah, menipu dan lain sebagainya.
Direktorat Litbang
Lampiran III.1
7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti yang dikutip oleh Theodorus M. Tuanakotta
menyebutkan pasal-pasal yang mencakup pengertian fraud diantaranya:
a. Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP:mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum).
b. Pasal 368: Penggelapan (definisi KUHP:dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan
piutang).
c. Pasal 372: Penggelapan: (definisi KUHP:dengan sengaja dan melawan hukum memiliki
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan).
d. Pasal 378: Perbuatan curang: (definisi KUHP:dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan
piutang).
e. Pasal 396: Merugikan pemberi utang dalam keadaan pailit.
f.
Pasal 406: Menghancurkan atau merusakkan barang: (definisi KUHP:dengan sengaja atau
melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain).
g. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Direktorat Litbang
Lampiran III.2
MODUS KORUPSI
Modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Berikut ini beberapa modus korupsi
yang dijabarkan berdasarkan kegiatannya yang kerap terjadi di Indonesia (sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh The Habibie Center pada 2005), meliputi:
1. Pengadaan barang dan jasa.
a. Penggelembungan nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah).
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya, termasuk pemungutan biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan dana bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
yang biasa dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif, mencakup pembuatan surat permohonan fiktif yang seolah-olah menunjukkan
adanya bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
6. Penyelewengan dana proyek.
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain.
7. Proyek fisik fiktif dengan mekanisme dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik
proyek tersebut nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil.
9. Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, asrama).
a. Mark up nilai proyek.
b. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor.
10. Daftar gaji atau honor fiktif.
11. Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
a. Pemotongan dana pemeliharaan.
b. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
12. Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres) dimana pemotongan langsung atau tidak langsung
dilakukan oleh pegawai atau pejabat berwenang.
Direktorat Litbang
Lampiran III.2
13. Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif dimana tidak ada proyek atau
intensitas yang terjadi. Misal, kegiatan dua hari dilaporkan empat hari.
14. Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunan, dimana pegawai atau pejabat pemerintah yang
berwenang tidak memberikan harga ganti rugi secara wajar atau sesuai dengan yang disediakan.
15. Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasi.
16. Pembayaran fiktif uang lauk pauk pegawai negeri sipil, prajurit, tahanan dan lain-lain.
a. Alokasi fiktif uang lauk pauk PNS, prajurit, tahanan dalam catatan resmi seperti APBD.
b. Menggunakan kuitansi fiktif.
17. Pungutan liar dalam proses perizinan (IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, izin tinggal, izin TKI,
izin frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, Rumah Sakit, klinik, Delivery Order, pembelian
sembilan bahan pokok agen dan distributor.
a. Biaya tak resmi bagi anggota masyarakat yang mengurus perizinan.
b. Biaya pengurusan izin.
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus izin.
18. Pungli kependudukan dan imigrasi.
a. Biaya tidak resmi bagi anggota masyarakat yang mengurus perizinan.
b. Mark up biaya pengurusan izin.
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus izin.
19. Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi Rakyat.
20. Korupsi waktu kerja.
a. Meninggalkan pekerjaan.
b. Melayani calo yang memberi uang tambahan.
c. Menunda pelayanan umum.
Di bawah ini hanyalah sekedar contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan di tengah masyarakat
(bahkan mungkin secara sadar atau tanpa sadar kita juga telah menjadi salah satu pelaku atau bagian
yang membuat korupsi itu bisa terjadi) yang diungkapkan oleh Masyarakat Transparansi Indonesia
(2006):
1. Pemerasan Pajak
Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang
mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa terjadi karena
kesengajaan wajib pajak dan bisa juga karena ketidaksengajaan. Kekurangan tersebut dianggap
tidak ada dan imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk
ke kantong pemeriksa pajak.
2. Manipulasi Tanah
Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan tanah, termasuk memanipulasi
tanah negara menjadi milik perorangan/badan, merendahkan harga pembebasan tanah dan
Direktorat Litbang
Lampiran III.2
meninggikan biaya pertanggungjawaban, atau membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena
proyek dengan harga murah.
3. Jalur Cepat Pembuatan KTP
Dalam Pembuatan KTP dikenal jalur biasa dan jalur cepat. Jalur biasa adalah jalur prosedural
biasa yang mungkin memakan waktu yang lebih lama, tetapi biayanya lebih murah. Sedangkan
'jalur cepat' adalah proses pembuatan KTP dalam waktu lebih cepat dengan harga lebih mahal.
4. SIM Jalur Cepat
Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian/tes tertulis dan praktik yang
dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir, akan mempersulit pembuatan SIM. Untuk
mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biaya
tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang terlibat
dalam praktik ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani
kepengurusan SIM.
5. Mark up Budget/Anggaran
Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek melalui
penganggaran pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya, dalam anggaran dimasukkan
pembelian komputer, tetapi pada praktiknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau pun
komputer dibeli, harganya lebih murah.
6. Proses Tender
Dalam proses tender pengerjaan tender seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan
seringkali terjadi penyelewengan. Pihak yang sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang
tidak dapat memenangkan tender karena tender tersebut telah dimenangkan oleh pihak yang
mampu 'main belakang' dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam
hal ini, telah terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang sebenarnya tidak
qualified.
7. Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara
Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak)
pasal-pasal yang ada untuk meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada
penegak hukum dapat dikategorikan sebagai korupsi. Praktik ini melibatkan terdakwa/tersangka,
penegak hukum (hakim/jaksa) dan pengacara.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.1
Permintaan dan pengujian dokumen berupa proposal bantuan fiktif yang dilakukan
dengan cara konfirmasi kepada pihak-pihak yang namanya tertera sebagai pihak yang
mengajukan proposal dan menerima bantuan.
Perolehan bukti elektronik atas pembuatan proposal fiktif yang dilakukan oleh staf
Bupati Agara berupa softcopy proposal bantuan yang dilakukan melalui program
recovery terhadap komputer staf Bupati Agara.
Permintaan keterangan secara berjenjang mulai dari staf sampai Bupati Agara (dibuat
BAPK).
Direktorat Litbang
Lampiran IV.1
Setiap orang, yaitu Bupati Agara, selaku pihak yang membuat otorisasi untuk
pengeluaran kas bon sekaligus pihak penerima kas bon;
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, yaitu mentransfer uang kas daerah ke
rekening pribadi sebesar Rp1.400.000.000,00 dan penarikan uang kas daerah melalui
bendahara umum daerah sebesar Rp8.832.400.000,00;
Melakukan perbuatan memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu memberikan
bantuan keuangan kepada perorangan sebesar Rp2.418.305.000,00 dan instansi
vertikal sebesar Rp1.048.470.000,00 yang tidak sesuai dengan ketentuan;
Penggunaan kas bon periode 2004-2006 untuk pihak-pihak tertentu yang tidak berhak
sebesar Rp18.864.700.000,00 dan dipertanggungjawabkan secara fiktif.
Penggunaan kas bon untuk membiayai kegiatan yang tidak dianggarkan berupa
pemberian bantuan perorangan periode 2004Agustus 2006 sebesar
Rp2.031.211.000,00.
Penggunaan kas bon untuk membiayai kegiatan yang tidak diperkenankan oleh
ketentuan yg berlaku berupa pemberian bantuan kepada instansi vertikal thn 2005
sebesar Rp4.874.921.500,00.
Penggunaan kas bon untuk membiayai kegiatan yang tidak diperkenankan oleh
ketentuan yg berlaku yg tidak dianggarkan dalam APBD berupa pemberian bantuan
kepada instansi vertikal thn 2006 sebesar Rp522.500.000,00.
5. Informasi Umum
Faktor-faktor ataupun kondisi yang mendorong Bupati melakukan penyimpangan atas pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan daerah kabupaten Agara, yaitu:
Direktorat Litbang
Lampiran IV.1
a. Tekanan
Sesuai dengan keterangan dari Bupati yang juga dikuatkan dengan kesaksiannya di
pengadilan, Bupati mendapat tekanan dari lingkungan sekitar untuk dapat menciptakan dan
mempertahankan keamanan di lingkungan Kabupaten Agara. Atas dasar tersebut, Bupati
mengkoordinasikan praktik mekanisme kas bon dengan pertanggungjawaban fiktif untuk
memperoleh dana yang nantinya akan digunakan untuk membantu proses pengamanan
daerah Kabupaten Agara agar kehidupan masyarakat di daerah tersebut dapat berlangsung
secara normal dan terbebas dari ketakutan akan adanya gangguan dari gerakan separatis.
b. Kesempatan
Di samping upayanya untuk mempertahankan ketentraman dan keamanan di lingkungan
Kabupaten Agara, Bupati juga terbukti mempergunakan kesempatan melalui
penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang ada padanya untuk mempengaruhi dan
mengkoordinir praktik mekanisme pencairan dana anggaran Kabupaten Agara dengan
menggunakan mekanisme kas bon. Dengan kewenangan yang ada padanya, Bupati
memerintahkan kepada Bendaharawan Umum Daerah untuk mentransfer uang kas dari
rekening daerah ke dalam rekening pribadinya serta memerintahkan Pemegang Kas Bupati
untuk menarik uang kas daerah dan menyetorkannya ke rekening pribadi Bupati.
c. Rasionalisasi
Bupati tetap berpegang teguh bahwa kerugian negara yang terjadi akibat kesewenangannya
dalam mengelola keuangan daerah bertujuan mulia, yaitu memberikan rasa aman kepada
masyarakat Kabupaten Agara. Atas dasar terciptanya keamanan di Kabupaten Agara itulah
Bupati melandaskan pembenarannya, bahwa semua upaya yang telah ia lakukan hanyalah
semata-mata untuk ketentraman dan keamanan di lingkungan Kabupaten Agara, dengan
mengesampingkan adanya kenikmatan yang ia peroleh melalui penggunaan uang kas
daerah untuk kepentingan pribadinya.
6. Red Flags
a. Realisasi anggaran belanja tanpa didukung oleh bukti-bukti yang lengkap.
b. Realisasi anggaran belanja didukung oleh bukti-bukti yang lengkap, namun terindikasi fiktif
(gaya bahasa proposal pertanggungjawaban sama dan terindikasi dibuat oleh pihak yang
sama).
c. Penggunaan mekanisme kas bon dalam pencairan anggaran.
d. Adanya kas bon yang menumpuk di akhir tahun anggaran (belum dipertanggungjawabkan).
7. Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
a. Cek gaya bahasa antar proposal sama atau tidak.
b. Cek jenis dan ukuran font antar proposal.
c. Cek kesamaan kesalahan penulisan antar proposal.
Jika hal-hal di atas ditemukan, maka kemungkinan besar proposal adalah fiktif dan dibuat oleh
orang yang sama.
Sumber: Unit Pemeriksaan Investigatif BPK-RI
Direktorat Litbang
Lampiran IV.2
Memecah paket pekerjaan yang menurut sifat pekerjaannya seharusnya merupakan satu
kesatuan konstruksi.
g. Menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang
menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masingmasing.
h. Menggabungkan beberapa paket pekerjaan yang sifat pekerjaan yang sifat pekerjaan dan
nilainya seharusnya dapat dilakukan usaha kecil menjadi satu paket pekerjaan yang hanya
dapat dilaksanakan oleh usaha non kecil (menengah dan besar).
i.
j.
Penentuan jadwal yang tidak realistis, waktu pelaksanaan ditentukan relatif singkat, sehinga
yang telah mempersiapkan diri lebih dini berpeluang lebih besar.
k. Pemilihan metode penunjukan langsung untuk kontrak yang seharusnya pelelangan umum.
l.
Pemilihan metode evaluasi dengan sistem nilai (merit point) untuk evaluasi yang seharusnya
sistem gugur (untuk memenangkan produk/merk atau penyedia barang/jasa tertentu.
m. Pengalokasian anggaran kegiatan yang direncanakan dilakukan dengan cara swakelola dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan cara kontraktual kepada penyedia barang/jasa, atau
sebaliknya.
n. Jadwal waktu untuk melakukan pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan dilakukan
dalam kurun waktu yang berbeda.
o. Biaya untuk mendukung pelaksanaan pengadaan tidak tersedia.
2. Pembentukan Panitia Lelang
a. Panitia tidak memiliki sertifikat keahlian pengadaan dan/atau bukti keikutsertaan dalam
pelatihan pengadaan barang/jasa.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.2
b. Panitia yang tertutup dan tidak transparan: panitia bekerja secara tertutup dan tidak
memberikan pelayanan yang sama kepada peserta; cenderung menghambat akses informasi
kepada pihak-pihak yang dianggap dapat menghalangi.
c. Panitia yang tidak memiliki integritas: pertimbangan dan keputusan yang ditetapkan
berdasarkan suap atau janji
d. Panitia yang memihak.
e. Panitia tidak independen: panitia selalu menunggu perintah dan petunjuk atasan, yang
sebenarnya tidak memiliki otoritas
f.
Bendahara, dan/atau
Pejabat yang bertugas melakukan verifikasi surat permintaan pembayaran (SPP), dan/atau
3. Penyusunan HPS
a. HPS tidak ditandatangai oleh seluruh anggota panitia pengadaan.
b. HPS tidak disahkan Pejabat Pembuat Komitmen.
c. Harga barang/jasa dalam HPS mengarah pada merk/produk tertentu.
d. Gambaran nilai estimasi yang ditutup-tutupi atau sulit diperoleh.
e. Penggelembungan (mark up): koefisien dan faktor yang mempengaruhi suatu harga tidak
menguntungkan; nilai penawaran mendekati nilai HPS karena sudah diatur.
f.
Harga dasar yang tidak standar: harga dasar material, peralatan, dan TK merupakan salah satu
penentu dalam HPS. Penggunaan data yang tidak valid mengakibatkan HPS menjadi
berbeda/berubah.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.2
c. Rekayasa kriteria evaluasi: adanya tambahan kriteria yang tidak relevan/dibutuhkan untuk
membatasi peserta.
d. Dokumen lelang non standar: misalnya, instruksi peserta dibuat dengan menambah
persyaratan yang sukar, yang sebenarnya tidak perlu.
e. Adanya penambahan kriteria evaluasi yang tidak perlu.
f.
Dokumen lelang tidak lengkap: kekurangan/kelebihan isi, bermakna bias sehingga membuat
bingung, dan pengertian dokumen akan memberi kesempatan kepada pihak-pihak tertentu.
2. Pengumuman Lelang
a. Tidak mengumumkan pelelangan/seleksi/pengadaan.
b. Lelang diumumkan, tetapi tidak di surat kabar nasional yang telah ditetapkan MenPAN/Kepala
Bappenas dan/atau surat kabar provinsi yang telah ditetapkan Gubernur (jika sudah ada).
c. Dalam teks pengumuman tercantum bahwa persyaratan pendaftaran dan pengambilan
dokumen harus membawa dokumen asli, yang berimplikasi dapat menghambat/membatasi
peserta.
d. Mengumumkan pelelangan/seleksi/pengadaan di surat kabar pada hari libur.
e. Pengumuman lelang semu atau fiktif.
f.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.2
Perubahan penting atas dokumen pemilihan penyedia tidak dituangkan dalam addendum
dokumen pemilihan penyedia.
7. Evaluasi Penawaran
a. Kriteria evaluasi cacat: telah dijelaskan hal-hal khusus yang sukar dipenuhi oleh peserta lain;
penawar yang tidak kompeten dapat keluar sebagai pemenang sedangkan perusahaan bonafit
gugur.
b. Penggantian dokumen penawaran: menyisipkan revisi dalam dokumen awal; dengan evaluasi
tertutup panitia dapat berbuat apa saja; nilai penawaran dapat diubah agar jadi pemenang.
c. Evaluasi tertutup dan tersembunyi: sebenarnya dimaksudkan untuk memperoleh kinerja yang
baik, namun dapat dimanfaatkan untuk melakukan KKN.
d. Peserta lelang terpola untuk berkolusi: misalnya ada pola 15-10-5 dalam proses pelelangan.
Sulit dibuktikan, tapi terlihat dari prosesnya yaitu: banyak surat kuasa, kecerobohan, kesamaan
isi, pengetikan sama, serta nomor jaminan berurutan.
e. Surat penawaran palsu.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.2
Lampiran IV.2
f.
14. Pemanfaatan
a. Kualitas barang/jasa yang diterima tidak sesuai kebutuhan.
b. Kuantitas barang/jasa yang diterima berlebihan.
c. Barang/jasa tidak dapat dimanfaatkan.
d. Penyerahan barang/jasa di lokasi yang tidak tepat.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.3
1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak tontonan, retribusi terminal, retribusi pasar, retribusi wisata atau retribusi parkir tidak
seluruhnya disetorkan ke Kas Daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencetak
karcis palsu, menjual kembali karcis yang telah terjual atau dipungut tetapi karcis tidak
diberikan.
b. Penyetoran Pajak Hiburan, Pajak Restoran dan Hotel (PRH) bukan berdasarkan realisasi
penerimaan tetapi berdasarkan negoisasi dengan petugas terkait.
c. Pajak reklame disetorkan lebih kecil dari seharusnya dengan cara
merendahkan/menurunkan tarif lokasi, luas tampilan reklame pada kontrak perjanjian, lama
waktu reklame diperpanjang tanpa adendum kontrak tetapi dibayarkan langsung dengan
tarif negosiasi kepada petugas pengawas lapangan.
d. Retribusi IMB disetorkan tidak berdasarkan penerimaan sebenarnya tetapi berdasarkan
negoisasi tarif kelas bangunan dan volume yang lebih rendah serta penyimpangan yang
diketahui dari hasil pengawasan lapangan tidak dikenakan denda dan tidak disetorkan ke
Kas Daerah tetapi dipungut untuk kepentingan petugas.
e. Rekayasa jumlah hari pemakaian alat berat untuk memperoleh dana taktis dan/atau untuk
kepentingan pribadi yang mengakibatkan berkurangnya potensi penerimaan daerah.
f.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.3
Indikasi Kerugian Negara Sebesar Rp2.925.731.293,00 dari Pemanfaatan dan Penerbitan Faktur Pajak Fiktif
oleh PT Laras Utama Jaya Sejati (LUJS)
Wajib Pajak PT LUJS adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan besar (KLU:51900). Data
profile wajib pajak menunjukkan bahwa wajib pajak terdaftar pada KPP Jakarta Tanjung Priok mulai tahun 2000
namun baru aktif melaporkan SPT baik SPT PPN, PPh Badan maupun PPh pasal 21 pada tahun 2001. Dari
rekapitulasi data SPT tahunan diketahui bahwa wajib pajak hanya melaporkan SPT tahunan PPh Badan untuk
tahun 2001 dengan status kurang bayar (KB) Rp1.490.060,00 dan SPT tahunan PPh 21 KB Rp114.000,00 untuk
tahun 2001, sedangkan untuk SPT Masa PPN, wajib pajak melaporkan dari thun 2001 sampai dengan masa April
2003. Untuk selanjutnya wajib pajak sudah tidak aktif melaporkan kewajiban SPT nya. Hal ini menunjukkan
bahwa WP hanya aktif selama 3 tahun (2001, 2002, dan pertengahan 2003).
Wajib pajak telah memanfaatkan/mengkreditkan faktur pajak masukan sebanyak 333 lembar dengan nilai
sebesar Rp2.922.930.373,00 dari PKP yang telah diindikasikan sebagai penerbit faktur pajak fiktif oleh DJP
dalam SE-27/PJ.52/2003 tanggal 27 Oktober 2003 tentang Daftar dan Sanksi atas Wajib Pajak yang diduga
menerbitkan faktur pajak tidak sah.
Selain itu, wajib pajak juga diindikasikan sebagai penerbit faktur pajak fiktif. Dalam hal ini, wajib pajak
melaporkan SPT Masa PPN terakhir kali pada masa April 2003, namun data profil Sistem Informasi Perpajakan
(SIP) pada KPP Jakarta Tanjung Priok memuat informasi bahwa wajib pajak menerbitkan 1 (satu) lembar faktur
pajak pada bulan November 2004 dengan nilai Rp2.800.920,00 yang dikreditkan oleh PT palmindo Alam Raya,
NPWP 02.346.302.9.042.000.
Dari kondisi tersebut, indikasi kerugian negara diperkirakan sebesar Rp2.925.731.293,00 yang berasal dari
pemanfaatan faktur pajak masukan fiktif oleh PT LUJS sebesar Rp2.922.930.373,00 dan dari penerbitan
faktur pajak fiktif Rp2.800.920,00
Sumber: LHP BPK-RI
Lampiran IV.3
merendahkan nilai aset milik negara dan menaikkan nilai aset milik investor;
memasukkan biaya pematangan tanah sebagai unsur penambah nilai aset investor
pada tanah yang sebenarnya telah matang;
jenis, kelas dan peruntukan tanah aset pengganti dari investor tidak sesuai dengan
yang dipersyaratkan;
5) Terdapat penerimaan yang berpotensi sebagai PNBP, namun tidak dilaporkan oleh
instansi terkait sebagai PNBP. Penerimaan tersebut dengan sepengetahuan pejabat
berwenang dikelola oleh badan usaha koperasi/yayasan/perusahaan perorangan yang
ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan.
6) Penjualan aset milik negara dilakukan tanpa lelang, melainkan penunjukkan langsung
kepada pegawai dengan harga lebih murah melalui manipulasi kondisi barang yang
akan dijual.
3. Pengeluaran Belanja
a. Belanja Operasi
Penyimpangan yang terjadi dalam pengeluaran anggaran rutin pada umumnya meliputi
pembayaran ganda kepada pejabat yang memiliki dua atau lebih sumber penghasilan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), biaya perjalanan dinas fiktif dan/atau perjalanan dinas
yang tidak diperlukan, pengeluaran yang tidak berdasarkan jenis mata anggaran, dan
pembebanan pengeluaran pribadi ke pengeluaran kantor yang menjadi beban anggaran
negara.
1) Pembayaran ganda pejabat yang ditugaskan/dikaryakan ke lembaga lain dilakukan
dengan cara memberi gaji dan tunjangan sesuai kedudukannya pada lembaga
tempatnya diperbantukan tanpa mencabut gaji dan tunjangan di tempat dia bekerja
sebelumnya.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.3
2) Perjalanan dinas fiktif dan/atau dinas yang tidak diperlukan, dilakukan dengan cara
menerbitkan surat perintah perjalanan dinas pejabat/pegawai ke suatu tempat/instansi
tertentu yang pertanggung-jawabannya dibuat dengan memalsukan stempel dan tanda
tangan pejabat yang berwenang.
3) Pengeluaran belanja barang/jasa fiktif yang dilakukan dengan cara melakukan
pembelian barang/jasa untuk suatu kegiatan unit tertentu yang sebenarnya tidak ada.
4) Pengeluaran rutin dilakukan tidak berdasarkan jenis mata anggarannya.
5) Pengeluaran biaya pemeliharaan dan perbaikan rumah dinas, kendaraan dinas, dan
peralatan kantor fiktif atau digunakan untuk perbaikan kendaraan atau peralatan
pribadi.
6) Pengalihan biaya perbaikan gedung kantor untuk keperluan perbaikan rumah jabatan
yang akan dijual kepada pejabat.
b. Belanja Modal
Penyimpangan pada belanja modal umumnya terjadi pada pengadaan barang dan jasa
instansi pemerintah. Penyimpangan yang terjadi mencakup seluruh tahapan pengadaan
barang dan jasa, yaitu dalam tahap perencanaan; tahap persiapan yang meliputi kegiatan
pembentukan panitia lelang, penentuan HPS, dokumen pengadaan/tender dan penentuan
syarat peserta lelang dan pendaftaran; tahap pelaksanaan lelang seperti pengumuman
lelang, penjelasan/aanwijzing, pembukaan dokumen lelang hingga penetapan pemenang
lelang; dan tahap pelaksanaan pekerjaan termasuk dalam penentuan eskalasi harga
kontrak jika ada.
Pengadaan Lelang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Dalam proses pengadaan lelang yang dilakukan oleh Pemprov DKI dalam APBD 2005 ditemukan bahwa lelang
hanya dilakukan di media massa yang kurang populer atau tidak beredar luas. Sistem lelang pengadaan barang
dan jasa di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dianggap masih tertutup. Padahal anggaran pengadaan barang dan
jasa sekitar 30% dari total APBD Rp14 triliun atau setara Rp5 triliun. Kondisi tersebut menjadikan sistem
lelang barang dan jasa rentan penyimpangan. Bukti maraknya penyimpangan anggaran daerah tersebut dapat
dilihat dari banyaknya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian dipertegas oleh KPK yang
mengungkap salah satu modus korupsi terjadi karena mark up pengadaan barang-barang pemerintah. Modus
lainnya yang sering dijumpai, panitia lelang memperpendek waktu proses lelang atau bahkan mengulur-ulur
waktu. Panitia menerapkan tender dengan diatur secara bergiliran seperti arisan dengan peserta yang sama.
Buntutnya, lelang tidak dilakukan dan pada akhirnya dilakukan penunjukkan langsung.
Sumber: Republika-11 April 2005
Berikut ini merupakan indikasi fraud dalam pengadaan barang dan jasa serta upaya-upaya
untuk mendeteksi fraud tersebut.
1. Tahap Perencanaan
a) Rencana pengadaan yang diarahkan: penyusunan spesifikasi teknis dan
kriterianya diarahkan untuk memperbesar peluang produk pengusaha tertentu.
Direktorat Litbang
Lampiran IV.3
Direktorat Litbang
Lampiran IV.3
c) Pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal (mundur) akan tetapi dalam
perhitungan eskalasi menggunakan indeks harga pada waktu pelaksanaan.
5. Dana Perimbangan
Kasus-kasus kerawanan pada Dana Alokasi Umum (DAU)
a) Adanya pencaloan dalam pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU) dimana
oknum tertentu melobi pejabat yang berwenang menentukan alokasi dana agar
mendapatkan alokasi yang lebih besar.
b) Dana Alokasi Umum (DAU) tidak ditempatkan pada rekening kas daerah dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi berupa bunga/jasa giro pada
suatu bank dengan memperoleh comittment fee dari bank yang bersangkutan.
c) Dana Alokasi Umum digunakan untuk pengadaan kendaraan kepentingan
eksekutif dan legislatif.
d) Manipulasi data tingkat kebutuhan dan potensi ekonomi daerah yang akan
digunakan sebagai parameter untuk mendapatkan porsi DAU yang lebih besar
dari yang seharusnya.
Terdapat Kesalahan Penghitungan Alokasi DAK Sehingga 21 Daerah Kurang Alokasi Sebesar
Rp4,22miliar dan 15 Daerah Kelebihan Alokasi Sebesar Rp1,26miliar
Pemerintah Pusat dalam dua tahun anggaran terakhir menyalurkan DAK masing-masing sebesar Rp11,57 triliun
dalam Tahun Anggaran 2006 dan Rp17,09 triliun dalam Tahun Anggaran 2007.
Hasil pengujian terhadap penghitungan penetapan alokasi DAK tahun 2006 dan tahun 2007 menunjukkan adanya
kesalahan sebagai berikut :
a. Terdapat 4 (empat) daerah yang memenuhi kriteria yang ditentukan namun tidak mendapat alokasi DAK
tahun 2006 karena formula penghitungannya terhapus.
b. Terdapat perbedaan hasil penghitungan untuk DAK tahun 2007 bidang lingkungan hidup yang disebabkan
kesalahan input Bobot Daerah (BD) oleh DJPK. Selain itu, terdapat kesalahan pada bidang prasarana
pemerintah yang disebabkan oleh kesalahan input Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) oleh DJPK.
Perbedaan hasil penghitungan tersebut terjadi pada 32 Pemerintah Daerah.
Hal tersebut mengakibatkan empat daerah tertentu tidak mendapatkan alokasi DAK, 17 daerah kurang
mendapatkan alokasi DAK sebesar Rp4.222,68juta (Rp1.870,00+Rp1.120,00+Rp676,54+ Rp556,14) dan 15
daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1.265,30juta (Rp662,81+ Rp602,49).
Lampiran IV.3
mengandung unsur pidana, sehingga harus ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung.
Berikut ini merupakan fraud dalam Penggunaan Dana APBN-P yang terjadi di beberapa Departemen di
Indonesia.
1. Pengalokasian sebagian atau seluruh dana ABT untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya.
2. Pengajuan usulan revisi anggaran tanpa melalui proses verifikasi internal terlebih dahulu oleh Biro
Keuangan, dalam hal ini Bagian Penyusunan Anggaran.
3. Pengajuan dokumen usulan revisi yang terindikasi dimanipulasi, misalnya backdating (memajukan
tanggal) dokumen permohonan.
4. Penyerapan dana ABT melalui proses pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan metode
Penunjukan Langsung (biasanya keterbatasan waktu pelaksanaan menjadi alasan utama).
5. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dengan mengacu kepada proposal penawaran dari
satu perusahaan penyedia barang/jasa, sehingga terindikasi adanya upaya mark-up.
6. Proses pengadaan dibuat formalitas, sedangkan pekerjaan sebenarnya sudah selesai dikerjakan
terlebih dahulu. Dalam hal ini proses evaluasi dan negosiasi terdokumentasikan, tetapi sebenarnya
tidak dilakukan.
7. Panitia pengadaan hanya bersifat formalitas, karena pelaksana proses pengadaan sesungguhnya
adalah pejabat lain yang semestinya tidak melakukan proses tersebut.
8. Rekanan penyedia barang/jasa yang ditunjuk atau yang memperoleh kontrak pekerjaan umumnya
memiliki hubungan istimewa dengan pemberi pekerjaan. Dalam hal ini, berupa referensi atau
rekomendasi atau diperkenalkan oleh pejabat lain yang lebih tinggi jabatannya dan atau memiliki
hubungan keluarga dengan pemberi kerja, sehingga terindikasi adanya upaya pembagian
keuntungan hasil pengadaan dari rekanan kepada para pejabat pemerintah/negara berupa aliran
dana (kick-back).
B. Fraud dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)
1. Siklus Penjualan dan Penerimaan Uang
a. Penjualan dilakukan di bawah harga pasar dan metode penyerahan barang/jasa tidak
sesuai dengan kontrak penjualan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh imbalan tertentu dari
pembeli.
b. Kontrak penjualan komoditi secara forward tidak direalisasi pembeli dengan cara memberi
imbalan kepada oknum perusahaan penjual, karena harga komoditas tersebut turun pada
saat kontrak jatuh tempo.
2. Siklus Pengadaan dan Penerimaan Barang/Jasa
Direktorat Litbang
Lampiran IV.3
a. Perencanaan pengadaan barang dan jasa oleh fungsi perencanaan tidak berdasarkan
kebutuhan, tetapi berdasarkan pengadaan tahun sebelumnya ditambah jumlah persentase
tertentu. Hal ini dilakukan agar barang yang dibutuhkan pada tahun sebelumnya tetap
diadakan karena perencana telah memperoleh imbalan dari rekanan.
b. Penyusunan spesifikasi kebutuhan barang dan jasa dirubah oleh Bagian Pengadaan untuk
produk dan rekanan tertentu, yang mengakibatkan terjadinya mark up( kemahalan harga).
3. Siklus Penggajian dan Kepegawaian
a. Perekrutan karyawan perusahaan dilakukan bukan berdasarkan jumlah dan kualifikasi yang
dibutuhkan, di mana oknum panitia perekrutan tersebut mendapat imbalan dari
peserta/calon karyawan.
b. Penempatan karyawan pada Struktur Organisasi perusahaan bukan berdasarkan bidang
keahlian yang dimiliki karyawan yang bersangkutan di mana oknum bagian penempatan
menerima imbalan dari pegawai yang meminta ditempatkan pada bagian tertentu.
4. Siklus Persediaan dan Penyimpanan
a. Kekurangan persediaan barang akibat pencurian/penggelapan yang dilakukan oleh oknum
petugas gudang ditutupi dengan membuat transaksi penjualan kredit fiktif.
b. Pembelian persediaan fiktif dengan cara mencatat penerimaan persediaan bekas pakai
namun kondisinya masih baik sebagai penerimaan pengadaan persediaan baru.
5. Siklus Perolehan Modal dan Pembayaran Kembali
a. Penjualan kredit secara besar-besaran tanpa memperhitungkan potensi atau risiko macet
dengan tujuan meningkatkan laba perusahaan untuk memperoleh jasa produksi atau
tantiem besar yang dilakukan oleh oknum petugas bagian pemasaran atau penjualan.
b. Penerbitan Commercial Paper (CP) untuk memperoleh dana tanpa persetujuan Dewan
Komisaris dan dipergunakan untuk membeli CP dari perusahaan yang performance-nya
kurang baik dengan tujuan memperoleh discounted lebih besar yang dilakukan oleh oknum
bagian keuangan.
Direktorat Litbang