Anda di halaman 1dari 95

SERI PANDUAN PEMERIKSAAN

MENGENAL FRAUD
dan GEJALANYA

DIREKTORAT UTAMA PERENCANAAN EVALUASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
2011

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

KATA PENGANTAR
Sesuai amanat undang-undang, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki wewenang dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,
termasuk kewajiban bagi BPK untuk melaporkan adanya dugaan unsur pidana dan/atau kerugian
negara dalam laporan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang. Selain itu, Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) menyatakan bahwa pemeriksa harus merancang pemeriksaan
untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse). Untuk melaksanakan amanat tersebut, pemeriksa
dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai konsep penyimpangan sehingga
pelaksanaan pemeriksaan dapat berjalan secara efektif dan dapat mendeteksi indikasi penyimpangan
yang mengarah pada fraud.
Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman mengenai fraud dalam pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, melalui panduan ini
diharapkan agar pemeriksa memperoleh pemahaman mengenai konsep fraud dan penyimpangan
lainnya yang tidak termasuk sebagai fraud serta bentuk-bentuk gejala fraud (red flags) dalam
pengelolaan keuangan negara dan metode yang dapat digunakan oleh pemeriksa untuk dapat
mendeteksi red flags tersebut.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam proses
penyusunan panduan ini. Kami menyadari bahwa panduan ini masih memiliki banyak kekurangan
sehingga saran dan masukan untuk penyempurnaannya sangat dinantikan. Kami berharap buku ini
dapat membantu dan bermanfaat bagi berbagai pihak.
Terima kasih.

Jakarta,

Februari 2011

Kepala Direktorat Utama


Perencanaan Evaluasi Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan
Pemeriksaan Keuangan Negara

Daeng M. Nazier

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................................

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................

ii

DAFTAR TABEL ................................................................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................................

iv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN .............................................................................................................

A. Latar Belakang ........................................................................................................

B. Tujuan dan Manfaat Buku Panduan .......................................................................

C. Isi Buku Panduan ....................................................................................................

PENYIMPANGAN ...........................................................................................................

A. Menurut SPKN ........................................................................................................

B. Menurut Government Auditing Standard GAO (Yellow Book 2007) ....................

C. Menurut Standard Profesional Akuntan Publik (SPAP) ..........................................

D. Menurut Ilmu Hukum ...............................................................................................

FRAUD ............................................................................................................................

14

A. Faktor Pendorong Terjadinya Fraud .......................................................................

15

B. Pelaku Fraud (Fraudster) dan Karakteristiknya ......................................................

20

C. Klasifikasi Fraud ......................................................................................................

23

GEJALA FRAUD (RED FLAGS) ....................................................................................

30

A. Pendeteksian Red Flags .........................................................................................

30

B. Red Flags Pada Entitas Komersial .........................................................................

34

C. Red Flags Pada Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara .........

44

D. Upaya Pengendalian Fraud Pada Entitas ..

53

TINDAK LANJUT ...........................................................................................................

56

A. Pengujian Lebih Lanjut ...........................................................................................

56

B. Pendokumentasian Red Flags ................................................................................

56

C. Pengkomunikasian Red Flags ................................................................................

57

BAB II

BAB III

BAB IV

BAB V

GLOSARIUM
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
DAFTAR PUSTAKA
TIM PENYUSUN
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

ii

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DAFTAR TABEL
1.1

: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia ..................................................................................

2.1

: Contoh Fraud yang termasuk dalam Ranah Hukum Pidana ............................................

13

3.1

: Ilustrasi Fraud Triangle .....................................................................................................

17

3.2

: Bentuk Tindak Pidana Korupsi .........................................................................................

27

4.1

: Elemen Dalam Rencana Pengendalian Fraud (Fraud Control Plan) ...

54

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

iii

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DAFTAR GAMBAR
2.1

Hubungan Antara Penyimpangan dan Fraud .................................................................

3.1

Fenomena Gunung Es ....................................................................................................

15

3.2

Fraud Triangle .................................................................................................................

16

3.3

Kekuatan yang Mempengeruhi Fraud (Fraud Motivating Forces) ..................................

18

3.4

Fraud Diamond ...............................................................................................................

18

3.5

Agency Theory ................................................................................................................

20

3.6

Jumlah Pelaku Fraud Berdasarkan Kelompok Umur ......................................................

21

3.7

Skema Fraud yang Menguntungkan/Merugikan Organisasi ...........................................

24

3.8

Fraud Tree ACFE ............................................................................................................

25

3.9

Pohon Kerugian Negara .................................................................................................

29

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

iv

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DAFTAR LAMPIRAN
III.1

Definisi Fraud

III.2

Modus Korupsi

IV.1

Red flags Dalam Pengadaan Barang dan Jasa

IV.2

Fraud Dalam Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab I

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

BAB I
PENDAHULUAN

mempunyai makna yang lebih luas dari


korupsi.

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan bersih serta bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) merupakan salah
satu tuntutan dan amanat gerakan
reformasi Indonesia yang dikuatkan
dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penekanan korupsi pada berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut
membuat korupsi menjadi enemy of the
state, yaitu korupsi hanya bisa dilawan
dengan meletakkan setiap tindakan korupsi
sebagai musuh bersama seluruh elemen
negara. Pemerintah, pelaku usaha, dan
seluruh elemen masyarakat sipil harus
bersatu untuk mendorong terwujudnya
sebuah nilai anti korupsi yang berlaku di
tengah kehidupan bangsa. Upaya lain yang
dilakukan pemerintah dalam memberantas
korupsi adalah dengan mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi yang mengharuskan pemerintah
baik pusat maupun daerah meningkatkan
pelayanan publik yang akuntabel dan
transparan.
Selama ini masyarakat, dan juga
pemeriksa,
masih
belum memiliki
pemahaman yang memadai mengenai
korupsi. Seringkali mereka menganggap
bahwa setiap terjadi kerugian negara maka
telah terjadi korupsi. Masyarakat juga
sering mengasosiasikan korupsi dengan
fraud. Padahal secara harfiah, fraud

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


sebagai lembaga negara yang memiliki
kewenangan memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara memiliki
komitmen untuk mendukung tata kelola
pemerintahan
yang
baik
dengan
mengembangkan
inisiatif-inisiatif
penekanan terhadap segala bentuk fraud.
Undang-undang
yang
mengatur
kewenangan BPK dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggung
jawab
keuangan negara mewajibkan BPK untuk
melaporkan adanya dugaan unsur pidana
dan/atau kerugian negara dalam laporan
hasil pemeriksaan kepada instansi yang
berwenang.
Selain itu, Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara
(SPKN)
dalam
Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan (PSP
02), Standar Pelaksanaan Pemeriksaan
Kinerja (PSP 04), dan Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan
Tertentu (PSP 06) menyatakan bahwa
Tabel 1.1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Sebagai salah satu referensi dalam rangka memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai tingkat korupsi di
Indonesia, Transparency International (TI) Indonesia
melaksanakan pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
melalui persepsi para pelaku bisnis tentang lazim atau
tidaknya pejabat pemerintah daerah melakukan tindak
korupsi, dan bagaimana usaha pemda dalam memberantas
korupsi.
Pada tahun 2010, TI Indonesia mengadakan survei untuk
mengukur IPK di 50 kota di Indonesia dengan melibatkan
9237 responden. IPK tersebut menunjukkan tingkat korupsi
dalam pemerintah daerah yang disurvei dan juga mencakup
usaha pemerintah kota dalam mencegah korupsi dan usaha
penegakan hukum dalam mengusut kasus-kasus korupsi.
Skor IPK tertinggi diduduki oleh Denpasar (6,71) dan skor
IPK terendah diduduki oleh Cirebon dan Pekanbaru (3,61).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Denpasar dinilai cukup
berhasil
dalam
upayanya
untuk
menegakkan
dan
mengembangkan pelayanan publik yang transparan dan
akuntabel. Di lain pihak, korupsi dianggap masih lazim
terjadi di jajaran pemerintah daerah di Cirebon dan
Pekanbaru.
(Sumber: www.ipkindonesia.org)

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab I

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Pemeriksa
harus
merancang
pemeriksaan
untuk
mendeteksi
terjadinya penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan
(abuse). Untuk dapat melaksanakan
standar tersebut, para pemeriksa BPK
diharapkan memiliki pemahaman terhadap
pengertian penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan, serta ketidakpatutan baik
dalam
pelaksanaan
pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
SPKN juga menyatakan bahwa jika
pemeriksa menemukan adanya indikasi
fraud, pemeriksa harus menerapkan
prosedur tambahan untuk memastikan
bahwa fraud telah terjadi dan
menentukan
dampaknya
terhadap
simpulan pemeriksaan. Selain itu,
Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP)
menyatakan bahwa perpanjangan waktu
dan/atau penambahan pemeriksa dapat
diberikan, antara lain dalam hal terdapat
temuan/identifikasi
tindak
pidana
korupsi yang perlu ditelusuri lebih lanjut
(paragraf 19 Bab IV PMP). Prosedur
tambahan tersebut dapat dilakukan dalam
penugasan yang sama atau dapat
dilakukan dengan pemeriksaan investigatif.

B. Tujuan dan
Panduan

Manfaat

3. memberikan pemahaman mengenai


bentuk-bentuk gejala fraud (red flags)
dalam pengelolaan keuangan negara
serta metode yang dapat digunakan
oleh
pemeriksa
untuk
dapat
mendeteksi red flags tersebut.
Dengan pemahaman ini, diharapkan
pemeriksa dapat menentukan respon yang
sesuai atas red flags yang ditemukan pada
saat pelaksanaan pemeriksaan.

C. Isi Buku Panduan


Secara umum buku panduan ini
memberikan gambaran mengenai fraud
dan penyimpangan selain fraud serta red
flags yang terkait dengan masing-masing
bentuk fraud.
Buku panduan ini terdiri dari lima bab
dengan rincian sebagai berikut:

Bab I menekankan kewajiban


pemeriksa BPK untuk memahami fraud
serta manfaat yang diperoleh
pemeriksa jika pemeriksa memiliki
pengetahuan mengenai fraud ketika
melakukan pemeriksaan, baik pada
saat melaksanakan pemeriksaan
keuangan,
pemeriksaan
kinerja,
maupun pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.

Bab II memberikan gambaran lengkap


tentang konsep penyimpangan, yaitu
penyimpangan
menurut
SPKN,
penyimpangan
menurut
standar
pemeriksaan GAO (Yellow Book),
penyimpangan menurut SPAP, dan
penyimpangan menurut ilmu hukum.

Buku

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal


Fraud dan Gejalanya bertujuan untuk:
1. memberikan pemahaman mengenai
kewajiban pemeriksa untuk merancang
pemeriksaan yang dapat mendeteksi
kemungkinan terjadinya fraud dalam
pengelolaan keuangan negara,
Direktorat Litbang

2. memberikan pemahaman mengenai


konsep fraud dan penyimpangan
lainnya yang tidak termasuk sebagai
fraud, dan

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab I

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Hal ini bertujuan untuk memberikan


pemahaman kepada pembaca tentang
apa yang dimaksud penyimpangan
yang dikategorikan sebagai fraud dan
penyimpangan lainnya yang di luar
fraud.

Bab III memberikan gambaran umum


mengenai fraud yang meliputi kondisi
yang mendukung timbulnya fraud, ciriciri pelaku fraud dan karakteristiknya,
serta klasifikasi fraud.

Bab IV memberikan gambaran tentang


red flags yang mengindikasikan
temuan terkait fraud, metode yang
dapat digunakan oleh pemeriksa dalam
mendeteksi red flags tersebut, serta
upaya pengendalian fraud oleh entitas.

Bab V merupakan bab penutup yang di


dalamnya memberikan penjelasan
tentang langkah-langkah yang dapat
dilakukan pemeriksa ketika pemeriksa
menemukan red flags.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

BAB II
PENYIMPANGAN
Selama ini masyarakat menganggap bahwa
penyimpangan sama dengan fraud. Secara
harfiah, penyimpangan memiliki pengertian
yang lebih luas daripada fraud. Hubungan
antara penyimpangan dan fraud dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 2.1 Hubungan antara Penyimpangan
dan Fraud
PENYIMPANGAN

FRAUD

umumnya dilakukan berulang kali, seperti


merampok dan menjambret. Berdasarkan
pembagian penyimpangan menurut Lemert
tersebut, fraud masuk ke dalam kategori
penyimpangan sekunder karena tidak ada kata
toleransi untuk setiap fraud yang terjadi.
Penyimpangan dalam akuntansi dan auditing
dikenal dengan istilah salah saji. Salah saji
tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu
kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud).
Bentuk dari kedua jenis salah saji ini bisa
sama. Hal yang membedakan dari keduanya
adalah unsur kesengajaan. Perbedaan ini akan
diulas lebih lanjut pada bagian penyimpangan
menurut SPAP.
Berikut beberapa pengertian penyimpangan
dan fraud menurut beberapa sumber.

A. Menurut SPKN
Menurut Robert M. Z. Lawang, penyimpangan
perilaku adalah semua tindakan yang
menyimpang dari norma yang berlaku dalam
sistem sosial dan menimbulkan usaha dari
mereka yang berwenang dalam sistem itu
untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Sedangkan menurut James W. Van Der
Zanden, perilaku menyimpang adalah perilaku
yang bagi sebagian orang dianggap sebagai
sesuatu yang tercela dan di luar batas
toleransi.

SPKN menyatakan bahwa pemeriksa harus


merancang
pemeriksaan
untuk
memberikan keyakinan yang memadai
guna mendeteksi salah saji material yang
disebabkan oleh penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecurangan,
serta
ketidakpatutan.
Berdasarkan pernyataan tersebut, terdapat
tiga bentuk penyimpangan yang harus
dipahami pemeriksa dengan pengertian
masing-masing sebagai berikut:

Lemert membedakan penyimpangan menjadi


dua macam, yaitu penyimpangan primer dan
penyimpangan sekunder. Penyimpangan
primer adalah suatu bentuk perilaku
menyimpang yang bersifat sementara dan tidak
dilakukan terus-menerus sehingga masih dapat
ditolerir masyarakat seperti melanggar rambu
lalu lintas dan membuang sampah
sembarangan. Sedangkan penyimpangan
sekunder adalah perilaku menyimpang yang
tidak mendapat toleransi dari masyarakat dan

1. Penyimpangan terhadap ketentuan


peraturan perundang-undangan adalah
segala bentuk tindakan/perbuatan yang
tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Direktorat Litbang

2. Kecurangan (fraud) adalah satu jenis


tindakan melawan hukum yang
dilakukan dengan sengaja untuk
menghilangkan atau memperoleh
sesuatu dengan cara menipu.

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

3. Ketidakpatutan adalah perbuatan yang


jauh berada di luar pikiran yang masuk
akal atau di luar praktik-praktik sehat
yang lazim. Sebagai contoh, dalam
suatu pemeriksaan kinerja atas
efisiensi
manajemen
dalam
menggunakan
dana
untuk
pemeliharaan gedung, pemeriksa
menemukan terjadinya ketidakpatutan
apabila renovasi yang dilaksanakan
atas ruang kerja seorang pejabat tinggi
melampaui
kepatutan
yang
seharusnya. Dalam hal ini pemeriksa
mungkin tidak melihat biaya renovasi
secara kuantitatif sebagai faktor yang
mempengaruhi hasil pemeriksaannya,
tetapi pemeriksa mungkin lebih melihat
faktor kualitatif yang mempengaruhi
tujuan pemeriksaan.

B. Menurut Government Auditing


Standard-GAO (Yellow Book 2007)
Government Auditing Standards 2007 dari
GAO (Yellow Book) mengenal 4 (empat)
bentuk penyimpangan sebagai berikut:
1. Fraud adalah tindakan ilegal untuk
memperoleh sesuatu yang berharga
melalui salah saji yang disengaja.
2. Illegal acts adalah pelanggaran
terhadap hukum atau peraturan
pemerintah yang memiliki efek
langsung dan material terhadap
penetapan angka dalam laporan
keuangan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan
kontrak atau perjanjian pemberian
hibah (violations of provisions of
contracts or grant agreements).
4. Abuse yakni perilaku tidak layak atau
tidak pantas jika dibandingkan dengan
perilaku orang yang bijak yang
Direktorat Litbang

mempertimbangkan rasionalitas dan


pentingnya praktik bisnis sesuai
dengan fakta dan keadaan yang ada.
Abuse juga meliputi penyalahgunaan
wewenang
atau
posisi
untuk
kepentingan pribadi atau anggota
keluarga atau rekan bisnis. Abuse tidak
selalu melibatkan fraud, pelanggaran
terhadap hukum, peraturan, atau
ketentuan kontrak maupun perjanjian.

C. Menurut Standar Profesional


Akuntan Publik (SPAP)
SA Seksi 317 tentang unsur Tindakan
Pelanggaran Hukum oleh Klien, paragraf
05 menyatakan bahwa tanggung jawab
auditor untuk mendeteksi dan melaporkan
salah saji sebagai akibat adanya unsur
pelanggaran hukum yang berdampak
langsung dan material terhadap penentuan
jumlah-jumlah yang disajikan dalam
laporan keuangan adalah sama dengan
tanggung jawab auditor untuk mendeteksi
adanya salah saji yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan sebagaimana
dijelaskan dalam SA Seksi 110 [PSA No.
02].
Selanjutnya, SA Seksi 316 tentang
Pertimbangan atas Kecurangan dalam
Audit Laporan Keuangan, paragraf 01
menyatakan bahwa auditor bertanggung
jawab
dalam
merencanakan
dan
melaksanakan audit untuk memperoleh
keyakinan memadai tentang apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji
material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan dan kecurangan.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa konsep penyimpangan
yang dikenal dalam konteks pemeriksaan
laporan keuangan disebut dengan salah

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

saji. Salah saji dalam laporan keuangan


ada yang disebabkan karena kekeliruan
atau
kecurangan.
Faktor
yang
membedakannya hanyalah tindakan yang
mendasarinya, apakah disengaja atau
tidak.
1. Kekeliruan
Kekeliruan adalah salah saji atau
penghilangan yang tidak disengaja
baik jumlah maupun pengungkapannya
dalam laporan keuangan. Kekeliruan
mencakup:

a) Salah saji yang timbul dari


kecurangan dalam pelaporan
keuangan adalah salah saji atau
penghilangan secara sengaja
jumlah atau pengungkapan dalam
laporan
keuangan
untuk
mengelabuhi pemakai laporan
keuangan. Kecurangan dalam
laporan
keuangan
dapat
menyangkut tindakan sebagai
berikut:
manipulasi, pemalsuan, atau
perubahan catatan akuntansi
atau dokumen pendukungnya
yang menjadi sumber data bagi
penyajian laporan keuangan,

a) kesalahan dalam pengumpulan


atau pengolahan data yang
menjadi sumber penyusunan
laporan keuangan,
b) estimasi akuntansi yang tidak
masuk akal yang timbul dari
kecerobohan atau salah tafsir
fakta, dan

representasi yang salah dalam


atau penghilangan dari laporan
keuangan
atas
peristiwa,
transaksi,
atau
informasi
signifikan, dan

c) kekeliruan
dalam penerapan
prinsip akuntansi yang berkaitan
dengan jumlah, klasifikasi, cara
penyajian, atau pengungkapan (SA
Seksi 312).

salah penerapan secara sengaja


atas prinsip akuntansi yang
berkaitan
dengan
jumlah,
klasifikasi, cara penyajian, atau
pengungkapan.

2. Kecurangan
Kecurangan (fraud) adalah salah saji
atau penghilangan secara sengaja
jumlah atau pengungkapan dalam
laporan keuangan untuk mengelabuhi
pemakai laporan keuangan.
Ada dua tipe salah saji yang relevan
dengan pertimbangan auditor tentang
kecurangan dalam audit atas laporan
keuangan, yaitu salah saji yang timbul
sebagai akibat dari kecurangan dalam
pelaporan keuangan dan kecurangan
yang timbul dari perlakuan tidak
semestinya terhadap aktiva.

Direktorat Litbang

b) Salah saji yang timbul dari


perlakuan
tidak
semestinya
terhadap aktiva (seringkali disebut
dengan penyalahgunaan atau
penggelapan) berkaitan dengan
pencurian aktiva entitas yang
berakibat laporan keuangan tidak
disajikan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia.
Perlakuan
tidak
semestinya terhadap aktiva entitas
dapat dilakukan dengan berbagai
cara, termasuk penggelapan tanda
terima barang/uang, pencurian
aktiva, atau tindakan yang
menyebabkan entitas membayar

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

harga barang atau jasa yang tidak


diterima oleh entitas. Perlakuan
tidak semestinya terhadap aktiva
dapat disertai dengan catatan atau
dokumen palsu atau yang
menyesatkan
dan
dapat
menyangkut satu atau lebih
individu di antara manajemen,
karyawan, atau pihak ketiga.

D. Menurut Ilmu Hukum


Penyimpangan dalam konteks hukum
dikenal dengan istilah Perbuatan Melawan
Hukum. Perbuatan Melawan Hukum
(PMH)
adalah
perbuatan
yang
bertentangan dengan hukum pada
umumnya.
Genus dari Perbuatan Melawan Hukum
(onrechtmatige daad) bersumber dari
ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata
yaitu:
Setiap perbuatan yang melawan
hukum yang membawa kerugian
kepada seorang lain mewajibkan
orang yang karena salahnya
menerbitkan
kerugian
ini
mengganti kerugian tersebut.
Dalam perkembangannya, perbuatan
melawan hukum tidak hanya meliputi
perbuatan yang melanggar ketentuan
undang-undang atau peraturan tertulis
saja, tetapi juga aturan-aturan hukum yang
tidak tertulis yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat. Dengan demikian hakekat
dari perbuatan melawan hukum secara
umum merupakan perbuatan yang
melanggar ketentuan, baik ketentuan
tertulis maupun yang tidak tertulis berupa
kepatutan dalam masyarakat.
Konsep perbuatan melawan hukum ini
kemudian dijadikan salah satu unsur pada
Direktorat Litbang

ketentuan dalam Hukum Pidana dan


Hukum Administrasi Negara. Hukum
Pidana dan Hukum Administrasi Negara
merupakan hukum publik karena mengatur
hubungan hukum antara pribadi dengan
negara atau masyarakat yang bertitik berat
pada kepentingan masyarakat/negara.
Sedangkan Hukum Perdata merupakan
hukum privat, yang titik beratnya pada
kepentingan pribadi.
Pada prinsipnya, semua hukum mengatur
tingkah laku dalam masyarakat untuk
keselamatan
masyarakat,
maka
kepentingan masyarakatlah yang selalu
menjadi faktor dalam segala pengaturan
hukum. Hanya saja dalam suatu hubungan
hukum tertentu, terdapat titik berat pada
kepentingan pribadi dan pada saat tertentu
titik berat pada kepentingan masyarakat.
Di dalam Hukum Perdata, hukum dapat
timbul dari kesepakatan para pihak,
misalnya Perjanjian atau Kontrak.
Perjanjian atau kontrak merupakan hukum
bagi pihak-pihak yang membuatnya,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai UndangUndang
bagi
para
pihak
yang
membuatnya. Maka dapat disimpulkan
bahwa perbuatan yang melanggar
perjanjian yang telah dibuat berarti
melanggar Undang-Undang.
Perjanjian atau kontrak timbul dari
Perikatan para pihak. Menurut Subekti,
Perikatan (verbintennis) ialah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain (disebut kreditur) dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu (disebut debitur).

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Perjanjian dalam hukum perjanjian


merupakan terjemahan dari istilah Belanda
overeenkomst atau istilah Inggris
agreement. Menurut Subekti, Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada pihak lain atau dimana dua
orang
itu
saling
berjanji
untuk
melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan
istilah Kontrak sepadan dengan istilah
contract dalam bahasa Inggris. Blacks
Law Dictionary memberikan definisi
contract sebagai an agreement between
two or more persons which creates an
obligation to do or not to do a peculiar
thing. Meskipun ada beberapa ahli hukum
yang membedakan kontrak dengan
perjanjian, namun pada dasarnya kontrak
ialah perjanjian itu sendiri. Saat ini,
terutama
di
lingkungan
ekonomi
(komersial), kontrak pada umumnya dibuat
secara tertulis.
Pelanggaran terhadap perjanjian atau
kontrak merupakan suatu perbuatan
melawan hukum, jika memenuhi unsurunsur perbuatan melawan hukum
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1365
KUH Perdata di atas.
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum
menurut pasal tersebut adalah sebagai
berikut:

adanya perbuatan,
bersifat melawan hukum,
adanya kesalahan,
menimbulkan kerugian, dan
terdapat hubungan kausal antara
perbuatan dan kerugian.

(dalam arti aktif) maupun tidak berbuat


sesuatu (dalam arti pasif). Tidak
berbuat
dimaksudkan
sebagai
kewajiban yang seharusnya dilakukan
yang timbul dari hukum yang berlaku.
2. Bersifat melawan hukum
Sifat melawan hukum dalam Hukum
Perdata memiliki sejarah yang penting.
Pada Tahun 1905, pengertian melawan
hukum masih diartikan sebagai
melawan
undang-undang,
sebagaimana tergambar dalam perkara
Singer Naaimachine dan Zutphense
Juffrouw. Dalam kedua perkara
tersebut, melawan hukum diartikan
perbuatan melawan undang-undang.
Namun pada tahun 1919, istilah ini
berkembang sehingga istilah melawan
hukum diartikan sebagai berbuat atau
tidak berbuat yang bertentangan
dengan atau melanggar:
a. hak subyektif orang lain,
b. kewajiban hukum pelaku,
c. kaidah kesusilaan, dan
d. kepatutan dalam masyarakat.
Nampak bahwa istilah perbuatan
melawan hukum meluas sehingga
mencakup perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan kaidah yang
mengatur tata susila, kepatutan,
ketelitian dan kehati-hatian yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan hidup bermasyarakat.
Hukum Pidana membedakan sifat
melawan hukum menjadi:
a. Sifat melawan hukum formil.

1. Adanya perbuatan
Yang dimaksud adanya perbuatan,
pada unsur perbuatan melawan
hukum, meliputi berbuat sesuatu
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Yang dimaksud dengan melawan


hukum formil adalah melawan
hukum
atau
bertentangan
dengan hukum tertulis saja atau
telah terpenuhinya semua unsur
8

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

yang disebutkan dalam rumusan


tindak pidana, tanpa harus ada
akibat dari perbuatan itu terlebih
dahulu.

negatif,
yaitu
suatu
perbuatan,
meskipun
menurut
peraturan
perundang-undangan
merupakan
perbuatan
yang bersifat melawan
hukum, tetapi jika menurut
penilaian
masyarakat
perbuatan tersebut tidak
bersifat melawan hukum,
maka perbuatan tersebut
dikategorikan
sebagai
bukan perbuatan melawan
hukum.

b. Sifat melawan hukum materiil.


Yang dimaksud dengan melawan
hukum materiil adalah melawan
hukum yang tidak sekedar
bertentangan dengan hukum
tertulis tetapi juga bertentangan
dengan hukum tidak tertulis.
Dengan kata lain, melawan
hukum secara materiil, di
samping memenuhi syarat-syarat
formal yaitu memenuhi semua
unsur yang disebutkan dalam
rumusan tindak pidana, maka
perbuatan tersebut harus benarbenar dirasakan masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak
patut dilakukan.
Selanjutnya, sifat melawan
hukum materiil mengandung dua
makna, yaitu :
1) sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi yang
positif,
yaitu
suatu
perbuatan, meskipun oleh
peraturan
perundangundangan tidak ditentukan
sebagai melawan hukum,
tetapi
jika
menurut
penilaian
masyarakat
perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum, maka
perbuatan
tersebut
dikategorikan
sebagai
perbuatan
melawan
hukum.
2) sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi yang
Direktorat Litbang

3. Adanya kesalahan dari si pelaku


Agar dapat dinyatakan telah terjadi
perbuatan melawan hukum harus ada
kesalahan
oleh
Pelaku,
agar
seseorang
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban
atas
perbuatannya. Unsur kesalahan terdiri
atas:
a. kesengajaan (opzet).
b. kelalaian (negligence, culpa),dan
c. tidak ada alasan pembenar atau
alasan pemaaf seperti keadaan
overmacht, membela diri, tidak
waras, dan lain-lain.
Dahulu suatu perbuatan dikatakan
sengaja dilakukan apabila ada niat
atau maksud tertentu dengan
dilakukannya perbuatan itu. Niat atau
maksud itu tidak harus ditujukan
kepada korban, tetapi bisa juga kepada
orang lain, atau tidak punya maksud
tertentu kepada orang lain namun tahu
pasti bahwa akan timbul akibat tertentu
atas perbuatan yang dilakukannya.
Namun kini istilah ini mencakup pula
kesalahan dalam arti kealpaan dengan
berkembangnya ajaran strict liability

Badan Pemeriksa Keuangan

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

(pertanggungjawaban mutlak), yang


menimpakan tanggung jawab bukan
hanya pada pelaku, tetapi juga pihak
yang bertanggung jawab atas pelaku.
Misalnya tanggung jawab atas
pencemaran lingkungan hidup atau
tanggung jawab seorang guru atas
perbuatan para muridnya.
Namun demikian, baik di dalam Hukum
Pidana maupun Hukum Perdata,
adakalanya dalam perbuatan melawan
hukum
terdapat
alasan
yang
menghapuskan sifat melawan hukum
dari suatu perbuatan sehingga
perbuatan itu menjadi perbuatan yang
tidak melawan hukum atau perbuatan
yang dimaafkan. Dalam hal ini terdapat
4 (empat) kriteria, yakni:
a. Overmacht atau noodtoestand.
Misalnya ketentuan dalam Pasal
1345 KUHPer yang mengatur
bahwa debitur tidak wajib
membayar ganti rugi apabila
karena overmacht, ia terhalang
untuk memenuhi prestasinya.
Sedangkan noodtoestand terjadi
dalam hal seseorang merusak
rumah
tetangganya
untuk
meloloskan diri dari rumahnya
yang sedang terbakar.
b. Pembelaan terpaksa.
Seseorang melakukan perbuatan
melawan hukum untuk membela
diri atau orang lain atau
kehormatannya atau barang
terhadap serangan yang tiba-tiba
yang melawan hukum.
c. Perbuatan itu dilaksanakan
karena melaksanakan perintah
undang-undang.

Direktorat Litbang

Contohnya adalah polisi yang


yang menahan dan merampas
kemerdekaan seseorang, hakim
yang menghukum terdakwa,
panitera
yang
melakukan
penyitaan.
d. Perbuatan
orang
yang
melakukan perintah atasan yang
berwenang
Perintah atasan dalam hal ini
berlaku
sebagai
dasar
pembenar, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa penguasa
atau pemerintah yang memberi
perintah
itu
melakukan
perbuatan melawan hukum.
4. Menimbulkan kerugian
Di dalam perbuatan melawan hukum,
terdapat unsur kerugian pada pihak
korban yang merupakan syarat agar
gugatan perbuatan melawan hukum
dapat digunakan. Berbeda dengan
kerugian karena wanprestasi (dalam
perjanjian), maka kerugian dalam
perbuatan melawan hukum mencakup
pula konsep kerugian immateriil yang
akan dinilai dengan uang.
5. Adanya hubungan kausal antara
perbuatan dengan kerugian
Dalam perbuatan melawan hukum
harus terdapat hubungan kausalitas
antara perbuatan yang dilakukan
dengan kerugian yang terjadi.
Menurut teori conditio sine qua non,
tiap-tiap masalah yang merupakan
syarat untuk timbulnya suatu akibat
adalah menjadi sebab dari akibat akhir.
Teori ini sangat luas, sehingga
adakalanya sebab semula sudah tidak
relevan lagi dengan akibat yang
ditimbulkan.

Badan Pemeriksa Keuangan

10

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Kemudian timbul teori adequat


veroorzaking yang memandang bahwa
perbuatan yang harus dianggap
sebagai sebab dari akibat yang timbul
adalah perbuatan yang seimbang
dengan akibat. Perkembangan terakhir
adalah teori toerekening naar
redelijkheid, yakni bahwa dalam
menentukan hubungan sebab akibat
perlu memperhatikan prinsip dapat
dipertanggungjawabkan secara layak
dengan memperhatikan:

perbuatan melawan hukum yang


dilakukan.
Jika dibandingkan dengan ketentuan
dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka
akan terlihat unsur-unsur yang serupa.
Berikut contoh-contoh Perbuatan Melawan
Hukum yang sudah mendapat Putusan
Pengadilan:

Pada tahun 1984, seorang wanita


menggugat seorang pria dengan
alasan bahwa tergugat tidak memenuhi
janji untuk mengawini penggugat yang
diucapkannya ketika mengajak untuk
hidup bersama. Oleh karena tergugat
menolak untuk memenuhi janjinya,
penggugat
mengajukan
gugatan
menuntut kerugian yang telah
dikeluarkan selama hidup bersama
beserta pemulihan nama baik. Namun
tergugat menolak dalil penggugat.

Kerugian
negara/daerah
adalah kekurangan uang,
surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.

Mahkamah Agung terhadap kasus ini


menyatakan bahwa dengan tidak
dipenuhinya janji untuk mengawini,
Tergugat telah melanggar norma
kesusilaan dan kepatutan masyarakat
dan perbuatan Tergugat tersebut
adalah perbuatan melawan hukum,
sehingga
menimbulkan
kerugian
terhadap diri Penggugat, maka
Tergugat wajib memberi ganti
kerugian.

Unsur-unsur dari ketentuan pasal


tersebut meliputi:
a. kekurangan uang, surat berharga
dan barang,
b. perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai,

d. hubungan kausalitas antara


kerugian yang terjadi dengan
Direktorat Litbang

untuk

Pasal 58 KUHPer menyatakan bahwa


janji kawin tidak menimbulkan akibat
hukum apapun atau tidak berlaku asas
pacta sunt servanda.

a. sifat kejadian,
b. sifat kerugian,
c. tingkat kemungkinan timbulnya
kerugian yang dapat diduga, dan
d. beban yang seimbang dengan
memperhatikan
kedudukan
finansial yang dirugikan.
Ketentuan dalam bunyi pasal 1 (22) UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
Negara
yang
mengadopsi unsur perbuatan melawan
hukum, menyebutkan:

c. kerugian negara yang nyata dan


pasti jumlahnya, dan

Tidak
menepati
janji
melangsungkan perkawinan.

Sengketa tanah dan bangunan.


Seseorang menggugat Pemerintah
dalam hal ini Menteri Dalam Negeri cq.

Badan Pemeriksa Keuangan

11

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gubernur DKI Jakarta cq. Walikota


Jakarta Timur untuk membayar ganti
kerugian atas penaksiran bangunan
serta tanaman seluas 4 hektar yang
pembebasan tanahnya dilakukan
dengan izin Gubernur DKI dengan
penggantian yang ditetapkan penaksir
setempat daerah Jakarta Timur.
Penggugat keberatan atas penetapan
harga
tersebut
dan
meminta
Pengadilan Jakarta Timur untuk
menetapkan harga.
Mahkamah Agung dalam putusannya
berpendapat bahwa hakim berwenang
menetapkan harga tanah berdasarkan
keadilan dan kepatutan (aequo et
bono). Menurut Mahkamah Agung,
dalam harga tanah tersebut masih
belum terhitung uang ganti rugi
sehubungan dengan biaya bangunan
dan lain-lain yang seharusnya dinilai.

Kasus Pengemudi Taksi Blue Bird


atas dasar perbuatan melawan hukum
dengan
alasan
isinya
sangat
tendensius dan menjelek-jelekkan
penggugat di mata pembaca dengan
mengangkat issue keturunan Cina
sehingga penggugat merasa tidak
senang, malu, dan tertekan. Terhadap
kasus ini, Mahkamah Agung telah
memutuskan bahwa Tergugat telah
melakukan perbuatan hukum yang
merugikan penggugat dengan dalil:
kalimat yang ditulis telah melampaui
batas-batas yang diperlukan untuk
mencapai maksud dan tujuan demi
kepentingan umum dan menyinggung
kehormatan pribadi penggugat, serta
terbukti mencemarkan nama baik
penggugat.
Dalam tabel berikut disajikan contoh fraud
yang termasuk dalam ranah hukum pidana.

Pencemaran nama baik.


Pemilik Blue Bird menggugat sebuah
majalah yang telah memuat artikel
Tabel 2. Contoh Fraud yang Termasuk Dalam Ranah Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 50 menyatakan larangan dimana barang siapa
dengan sengaja melanggarnya dapat dikategorikan melakukan fraud di bidang kehutanan sebagai berikut:
1.
merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;
2. melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan;
3. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
4. merambah kawasan hutan;
5. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
6. membakar hutan;
7. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang;
8. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
9. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan
hutan, tanpa izin Menteri;
10. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan;

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

12

Bab II

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

11.
12.
13.
14.
15.

menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Larangan ini kemudian dikuatkan dengan adanya sanksi yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang melanggar
larangan yang tertera dalam rumusan pasal 50, dimana sanksi tersebut tertera dalam rumusan pasal 78 yang
berisi ketentuan pidana yang dapat dikenakan kepada barang siapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50.

Berdasarkan berbagai pengertian di atas, yang


dimaksud dengan fraud dalam panduan ini
adalah pengertian kecurangan sebagaimana
yang tercantum dalam SPKN, atau pengertian
fraud sebagaimana tercantum dalam Yellow
Book, atau pengertian salah saji material
karena kecurangan sebagaimana tercantum
dalam SPAP, atau perbuatan melawan hukum
formil sebagaimana tercantum dalam hukum
pidana dan perdata.
Panduan ini tidak mencakup ketidakpatutan
sebagaimana yang tercantum dalam SPKN
atau abuse sebagaimana tercantum dalam
Yellow Book dalam klasifikasian fraud
mengingat tidak adanya pelanggaran terhadap
ketentuan
tertulis,
seperti
peraturan
perundangan, kontrak, perjanjian, dan
sebagainya yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukum yang mengikat. Gambaran lengkap
mengenai fraud akan dibahas pada bab
selanjutnya.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

13

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

BAB III
FRAUD

atau korban fraud, dan sistem pengendalian


yang tidak memadai.

Di lingkungan profesi pemeriksa, istilah fraud


sudah lama dikenal sebagai perbuatan curang
yang merugikan organisasi atau perusahaan.
Setiap
pencurian
dan
penggelapan
aset/kekayaan organisasi yang disengaja oleh
pegawai adalah perbuatan curang. Dalam
perkembangannya, fraud meliputi juga
perbuatan curang yang dilakukan manajemen
yang merugikan investor publik/penyandang
dana demi keuntungan manajemen itu sendiri,
organisasi atau perusahaan.
Fraud tidak sama dengan kesalahan atau
kekeliruan. Misalnya, seorang petugas bagian
keuangan melakukan kesalahan dalam
mencatat
suatu
transaksi
pengeluaran/pembayaran yang berdampak
pada kesalahan penyajian laporan buku kas
umumnya. Apakah ini fraud? Belum tentu. Jika
kesalahan tersebut terjadi tanpa didasari niat
dan tidak ada keuntungan yang diperoleh
akibat terjadinya kesalahan, maka kesalahan
tersebut bukanlah satu perbuatan yang
dikategorikan fraud. Tetapi jika pada situasi ini
kesalahan
dalam
mencatat
transaksi
pembayaran dilakukan dengan sengaja dan
ada tujuan khusus yang hendak dicapai,
misalnya untuk mempertinggi nilai pengeluaran
dengan harapan selisihnya bisa diambil untuk
pribadi, maka perbuatan tersebut adalah fraud.
Dengan demikian, secara umum fraud dapat
terjadi karena adanya tiga aspek, yaitu pihak
yang berniat untuk melakukan fraud, target

Direktorat Litbang

Secara umum fraud dapat diartikan sebagai


perbuatan curang yang dilakukan dengan
berbagai cara dan bersifat menipu serta sering
tidak disadari oleh korban yang dirugikan.
Korban yang dirugikan seringkali baru
mengetahui beberapa waktu kemudian.
Umumnya, bentuk-bentuk fraud berupa
pencurian
(theft),
penyembunyian
(concealment), dan pengalihan (conversion)
barang curian ke dalam bentuk lain. Beberapa
definisi mengenai fraud dari berbagai literatur
dapat dilihat pada Lampiran III.1.
Menurut Davia, et.al (2000), fraud dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok:

Kelompok I, yaitu fraud yang sudah ada


tuntutan hukum, tanpa memperhatikan
bagaimana keputusan pengadilan,

Kelompok II, yaitu fraud yang sudah


ditemukan, namun belum ada tuntutan
hukum, dan

Kelompok III, yaitu fraud yang belum


ditemukan.

Berdasarkan pengelompokan tersebut, fraud


yang dapat diketahui publik adalah fraud dalam
kelompok I. Fraud kelompok II dapat diketahui
publik jika sudah ada pengungkapan dari pihak
yang menemukan fraud, misalnya dengan
dipublikasikannya laporan hasil pemeriksaan
BPK. Sedangkan fraud yang masuk dalam
kelompok III hanya diketahui Tuhan dan
pelakunya. Lebih lanjut Davia, et.al (2000)
memperkirakan 40% dari seluruh kasus fraud
tidak pernah terungkap. Hal ini dikenal dengan
istilah fenomena gunung es.

Badan Pemeriksa Keuangan

14

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gambar 3.1 Fenomena Gunung Es

Fenomena gunung es di atas sesuai dengan


salah satu aksioma fraud yang menyatakan
bahwa fraud itu tersembunyi (fraud is hidden).
Banyak cara yang digunakan para pelaku fraud
untuk menyembunyikan fraud yang telah
dilakukan dan terkadang amat kreatif sehingga
cukup sulit bagi pemeriksa untuk dapat
mendeteksi fraud yang terjadi.

1. Motif individu
Motif individu merupakan faktor
pendorong terjadinya fraud yang
berasal dari diri pelaku fraud dan
pihak-pihak di sekitar pelaku. Teori
pendukung
yang
menjelaskan
mengenai motif individu antara lain
terdiri dari:
a. Fraud Triangle

A. Faktor
Fraud

Pendorong

Terjadinya

Secara umum, fraud dapat dipicu melalui


beberapa faktor pendorong. Faktor
pendorong terjadinya fraud dibagi menjadi
dua, yaitu motif individu (personal motive)
dan motif perusahaan (corporate motive).

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Berdasarkan studi yang dilakukan


oleh Donald R Cressey, fraud
terjadi karena adanya tiga faktor
yang timbul secara simultan, yang
dikenal dengan sebutan Fraud
Triangle.

15

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gambar 3.2 Fraud Triangle


PERCEIVED
OPPORTUNITY

FRAUD
TRIANGLE

PRESSURE

RATIONALIZATION

Lingkungan keluarga, dan


lain-lain.

1) Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan motivasi
yang berasal dari seseorang
untuk
melakukan
fraud,
termasuk di dalamnya motivasi
ekonomi. Faktor-faktor yang
dapat meningkatkan tekanan
antara lain:
Masalah keuangan, seperti
tamak/rakus, gaya hidup
melebihi
kemampuan
finansial yang dimiliki,
banyak hutang, biaya
kesehatan yang besar,
serta adanya kebutuhan tak
terduga.
Kebiasaan buruk, seperti
penjudi, peminum, pecandu
narkoba.
Lingkungan
pekerjaan,
misalnya sudah bekerja
dengan baik tetapi kurang
mendapat perhatian atau
kondisi kerja yang buruk.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

2) Adanya
Kesempatan
(Perceived Opportunity)
Kesempatan adalah kondisi
yang
bisa
mendukung
seseorang untuk menutupi
fraud yang dilakukannya.
Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan peluang atau
kesempatan
seseorang
berbuat fraud antara lain:
Sistem
pengendalian
internal yang lemah.
Ketidakmampuan menilai
kualitas kerja karena tidak
memiliki alat atau kriteria
pengukuran.
Kurang atau tidak adanya
akses terhadap informasi
sehingga
tidak
dapat
memahami keadaan yang
sebenarnya.

16

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gagal mendisiplinkan atau


memberikan sanksi pada
pelaku fraud.

pada
waktunya
dikembalikan.

Menganggap bahwa apa


yang dilakukannya tidak
merugikan organisasi.

Lalai, apatis, acuh tak


acuh.
Kurang atau tidak adanya
audit trail (jejak audit)
sehingga
tidak
dapat
dilakukan
penelusuran
data.
3) Pembenaran (Rationalization)
Rasionalisasi
adalah
pembenaran atas apa saja
yang
telah
dilakukan
seseorang yang bertujuan
untuk memberikan kepuasan
pribadi,
walaupun
tanpa
disertai dengan alasan yang
kuat dan pembenaran pribadi
tersebut
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Pelaku fraud seringkali merasa
bahwa
perilaku
mereka
tersebut sah-sah saja dan
sesuai dengan kode etik
mereka pribadi.
Faktor-faktor yang mendorong
seseorang
mencari
pembenaran atas tindakannya
melakukan fraud antara lain :
Mencontoh atasan
teman sekerja.

menganggap bahwa apa


yang dilakukannya karena
alasan yang baik, misalnya
untuk
membiayai
perawatan keluarga di
rumah sakit, dan lain-lain.
Contoh ilustrasi fraud triangle dapat
dilihat sebagai berikut.
Tabel 3.1 Ilustrasi Fraud Triangle
Pak Udin adalah seorang pengawas proyek di
Kementerian A. Sebagai kepala proyek, Pak Udin
memiliki wewenang untuk membuat laporan
pengawasan pekerjaan. Saat ini Pak Udin sedang
mengawasi proyek yang besar. Saat ini juga Pak
Udin sedang mengalami kesulitan keuangan. Apa
yang bisa dilakukan oleh Pak Udin untuk
mengatasi masalah keuangannya?
Dengan wewenang yang dimilikinya Pak Udin
melakukan fraud dengan cara melakukan
manipulasi data yaitu menyetujui progress
pekerjaan walaupun tidak sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan disertai
permintaan dana kepada pihak kontraktor. Akibat
yang
dialami
organisasi
proyek
adalah
ketidaksesuaian mutu pekerjaan. Namun, menurut
Pak Udin dia tidak salah karena persentase
pekerjaan yang dia laporkan sesuai dengan
kondisi fisik pekerjaan.
Dari kasus tersebut jika kita kaitkan dengan
teori fraud triangle, hal-hal yang membuat Pak
Udin melakukan fraud adalah:

atau

Merasa sudah berbuat


banyak kepada organisasi/
perusahaan.
Menganggap bahwa fraud
yang
dilakukan
tidak
seberapa.
Menganggap
hanya
sekadar meminjam, dan
Direktorat Litbang

akan

Pressure : Kondisi keuangan keluarga

Kesempatan: Posisi
Pengawas Proyek

Rasionalisasi : Pak Udin merasa dia tidak


melanggar ketentuan apapun

Pak

Udin

sebagai

Romney dan Cherrington dalam Suradi


(2006), menggambarkan interaksi
antara ketiga hal yang dapat
mendorong
seseorang
dalam
melakukan fraud sebagai berikut.

Badan Pemeriksa Keuangan

17

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gambar 3. 3 Kekuatan yang Mempengaruhi Fraud


(Fraud Motivating Forces)

Tinggi (High)

Situational Pressures

Rendah (Low)

Tinggi (High)

Opportunities

Rendah (Low)

Rendah (Low)

Personal Characteristics (ethics)

Tinggi (High)

Terjadi
Kecurangan
(Fraud)

Tidak Terjadi
Kecurangan
(No Fraud)

Sumber: M Romney, WS Albrecht, and DJ Cherrington, Auditors and the detection of Fraud ,(1980).
disini berarti bahwa orang tersebut
Gambar
di
atas
menjelaskan
dapat membaca dan menemukan
keterkaitan dari tiga faktor yang
adanya kesempatan untuk melakukan
menyebabkan seseorang melakukan
fraud serta mewujudkan kesempatan
fraud. Apabila seseorang memiliki
tersebut menjadi suatu kenyataan.
kepribadian tinggi (jujur), tidak memiliki
kesempatan, dan tidak menghadapi
Gambar 3.4 Fraud Diamond
tekanan, maka orang tersebut tidak
akan melakukan fraud. Sebaliknya,
Incentive
Opportunity
seseorang yang dengan kepribadian
rendah (tidak jujur), ketika memiliki
kesempatan tinggi dan berada dalam
kondisi penuh tekanan, maka orang
tersebut berpeluang melakukan fraud.

Saat ini telah berkembang konsep baru


yang dikenal dengan nama fraud
diamond dimana timbulnya fraud
disebabkan oleh ketiga faktor yang
sudah dibahas di awal ditambah
dengan satu faktor baru yaitu
kemampuan (capability). Kemampuan
disini diartikan sebagai keahlian
seseorang yang disertai dengan
kapasitas yang mendukung dirinya
untuk dapat melakukan praktik fraud.
Seseorang yang memiliki kemampuan
Direktorat Litbang

Rationalization

Capability

b. GONE Theory

Badan Pemeriksa Keuangan

Menurut teori GONE yang


dikemukakan oleh Jack Bologna,
faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya fraud meliputi:
1) Greed (keserakahan); yakni
adanya perilaku serakah yang
18

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

secara potensial ada di dalam


diri setiap orang.
2) Opportunity
(kesempatan);
berkaitan dengan kondisi di
organisasi atau instansi atau
masyarakat yang memberikan
kesempatan bagi seseorang
untuk melakukan fraud.
3) Need (kebutuhan); berkaitan
dengan faktor-faktor yang
dibutuhkan oleh individu untuk
menunjang hidupnya yang
wajar.

Opportunity dan exposure merupakan


faktor yang berhubungan dengan
organisasi sebagai korban fraud
(victims). Victims adalah organisasi,
instansi, atau masyarakat yang
kepentingannya dirugikan. Dalam hal
ini, yang diharapkan dapat melindugi
kepentingan victims adalah pihak-pihak
Kejaksaan, Kepolisian,
BPK,
Inspektorat
Jenderal,
Satuan
Pengawasan Intern (Internal Auditor),
Peradilan, dll.

4) Exposure
(pengungkapan):
berkaitan dengan tindakan
atau konsekuensi yang akan
dihadapi oleh pelaku fraud
apabila pelaku diketahui telah
melakukan fraud.

Greed dan need merupakan faktor


yang berhubungan dengan individu
pelaku fraud (actor). Actor adalah
individu atau kelompok individu baik
dari dalam maupun dari luar organisasi
yang melakukan fraud, yang merugikan
kepentingan pihak korban. Pihak-pihak
yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi
perilaku
actor
diantaranya adalah
Kementerian
Agama, Kementerian Pendidikan, para
ulama, dll.
Direktorat Litbang

Berdasarkan teori di atas, suatu fraud


akan terjadi apabila terdapat keadaan
G-O-N-E yang kondusif untuk
melakukan fraud. Misalnya, situasi di
mana
seseorang
tidak
bisa
mengendalikan diri sehingga sifat
serakahnya muncul dalam intensitas
yang tinggi dan didukung dengan
kebutuhan hidup yang mengikuti gaya
hidup boros. Bersamaan dengan itu,
keadaan organisasi tempat dia berada
ternyata tidak memiliki perangkat
kendali yang memadai, seperti memiliki
dana dalam jumlah yang cukup besar
tetapi
tidak
ada
catatan
pembukuannya.
Kemudian,
pelaksanaan sanksi hukum yang
berkaitan dengan perbuatan korupsi
juga tidak tegas. Dalam keadaan G-ON-E seperti itu, sangat besar
kemungkinan
bahwa
seseorang
tersebut akan melakukan fraud.

Badan Pemeriksa Keuangan

19

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

2. Motif Perusahaan
Motif perusahaan untuk melakukan
fraud dijelaskan dalam agency theory.
Paton dalam Soepardi (2005)
menyatakan
bahwa
manajemen
perusahaan
(agen)
mempunyai
kecenderungan untuk mengutamakan
kepentingan pribadinya dibanding

kepentingan pemilik (prinsipal). Hal ini


antara lain dilakukan dengan membuat
kebijakan-kebijakan
mengenai
remunerasi dan fasilitas yang
berlebihan dan menguntungkan bagi
manajemen serta tidak berorientasi
pada kepentingan untuk meningkatkan
nilai perusahaan.

Gambar 3.5 Agency Theory

Selain faktor manajemen, faktor


pendorong lain dari sisi perusahaan
adalah:
a.
b.
c.
d.

ambang batas kuota.


menjaga kredibilitas kredit,
manipulasi harga saham, dan
pemenuhan terhadap peraturan
perundangan.

B. Pelaku Fraud (Fraudster) dan


Karakteristiknya
Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak
ada ciri-ciri lahiriah yang menandai seorang
pelaku fraud. Ilustrasi berikut memberikan
sebuah gambaran sederhana bahwa kita
seringkali terkecoh dengan penampilan
seseorang dalam kaitannya dengan
perbuatan fraud.

Direktorat Litbang

Sebagai contoh, ada dua orang laki-laki


masuk ke sebuah bank. Satu orang
memakai jas dan berdasi sambil
menenteng tas notebook, rambutnya
terpotong rapi dan dari tubuhnya tercium
aroma parfum terkenal. Satu orang lainnya
berambut gondrong, memakai t-shirt
bercelana jeans, dan seluruh tangannya
dipenuhi dengan tato sambil mengapit jaket
hitam di lengannya.
Berdasarkan ilustrasi di atas, jika kita
menjadi petugas bank, manakah dari
kedua laki-laki tersebut yang kita yakini
akan melakukan perbuatan jahat terhadap
bank? Sebagian besar kita pada umumnya
akan berpendapat bahwa laki-laki yang
menggunakan jas tidak bermaksud untuk
melakukan kejahatan terhadap bank.

Badan Pemeriksa Keuangan

20

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Assosiation of Certified Fraud Examiner


(ACFE) dalam Report ACFE to the Nation
on Occupational Fraud and Abuse tahun
2004, 2006, dan 2008 menyatakan bahwa
Occupational fraudsters are generally firsttime offenders (pelaku fraud pada
perusahaan/organisasi pada umumnya
adalah pelaku yang baru pertama kali
melakukan fraud). Laporan ACFE ini
didasarkan dari 959 kasus yang terjadi baik
pada perusahan perorangan, publik,
organisasi, dan pemerintah. Selain
karakteristik para pelaku yang umumnya
merupakan
pelaku
pertama
kali,
karakteristik pelaku fraud lainnya adalah
sebagai berikut:
1. Pelaku fraud bisa perorangan
ataupun bersama-sama/kelompok
Di Amerika, jumlah kejadian fraud yang
dilakukan oleh perorangan adalah dua
kali lebih banyak daripada fraud yang
dilakukan
secara
berkelompok.
Namun, besarnya nilai kerugian yang
diakibatkan oleh pelaku fraud
berkelompok adalah empat kali lebih
besar dibandingkan dengan nilai
kerugian yang diakibatkan oleh pelaku
perorangan.
2. Umur pelaku
Dilihat dari jumlah kejadiannya,
sebesar 35,5% dari total pelaku fraud
berumur 41-50 tahun. Kemudian
pelaku fraud kelompok berumur 51-60
tahun, sebesar 18,9%, kelompok 36-40
tahun sebesar 16,2%, kelompok 30
35 sebesar 12,8 %, sementara
kelompok di atas 60 tahun sebesar
3,9%. Namun jika dilihat dari besarnya
kerugian maka kelompok 51-60 tahun
di posisi teratas, diikuti dengan
kelompok di atas 60 tahun, kelompok
41-50 tahun, kelompok 36-40 tahun,
Direktorat Litbang

dan
kelompok
30-35
tahun.
Pengelompokan tersebut diringkas
dalam gambar berikut:

Gambar 3.6 Distribusi Pelaku Fraud


Berdasarkan Kelompok Umur

3. Posisi jabatan pelaku


Sebagian besar fraud (74,4%)
dilakukan oleh pelaku yang memegang
posisi manajer sampai eksekutif. Hal ini
juga terbukti di Indonesia dengan
banyaknya pejabat negara atau daerah
dan kaum terpelajar yang terlibat
dalam kasus korupsi.
4. Tempat kerja pelaku fraud
Bagian/area dimana pelaku fraud yang
menimbulkan kerugian besar bekerja
pada umumnya adalah bagian legal,
eksekutif/direktur,
dan
bagian
pembelian. Berbagai survei di
Indonesia juga menunjukan bahwa
instansi pemerintah/lembaga dalam
bidang yudikatif dan penegakan hukum
seperti MA, peradilan, Kejaksaan, dan
Kepolisian adalah lembaga yang
terkorup.

Badan Pemeriksa Keuangan

21

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

5. Red flags (indikator awal) pelaku


melakukan fraud
Terjadinya fraud akan tercermin
melalui gejala tertentu, baik yang
berupa kondisi/keadaan lingkungan
maupun perilaku seseorang, yang
kemudian dikenal sebagai red flags.
BMI Training & Consulting memberikan
beberapa contoh profil pelaku fraud, yaitu:
a. laki-laki atau perempuan (kebanyakan
laki-laki),
b. intelligent
(dapat
kelemahan sistem),

menemukan

c. hard worker (jarang mengambil cuti),


d. tidak perlu memiliki akses langsung ke
kas,
e. tampak jujur dan dapat dipercaya,
f.

memiliki permasalahan pribadi yang


tersembunyi (misalnya stres, krisis
keuangan, kegagalan pernikahan, dll),
dan

g. risk taker dan rule breaker.


Lebih lanjut, BMI Training & Consulting
menguraikan bahwa fraudster memiliki
karakteristik yang tidak jauh berbeda
dengan orang yang jujur/dapat dipercaya
karena
posisi
kepercayaan
dan
pembatasan atau kontrol yang relatif lebih
longgar akan diberikan pada orang-orang
yang dapat dipercaya.
Dilihat
dari
hubungannya
dengan
organisasi,
pelaku
fraud
dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Pihak internal
a. Manajemen untuk kepentingan
organisasi
Manajemen biasanya melakukan
fraud
untuk
kepentingan
perusahaan, misalnya, salah saji
Direktorat Litbang

yang timbul karena kecurangan


pelaporan keuangan.
Salah saji yang timbul dalam
kategori ini biasanya dilakukan
karena dorongan dan ekspektasi
terhadap
prestasi
kerja
manajemen. Salah saji ini lebih
dikenal dengan istilah irregularities
(ketidakberesan). Bentuk fraud
seperti ini seringkali dinamakan
kecurangan
manajemen
(management fraud), misalnya
manipulasi,
pemalsuan,
pengubahan terhadap catatan
akuntansi
dan
dokumen
pendukungnya,
kesalahan
penyajian yang disengaja, atau
penghilangan yang disengaja
(intentional
omission)
suatu
transaksi, kejadian, atau informasi
penting dari laporan keuangan.
b. Pegawai
untuk
kepentingan
individu
Pegawai biasanya melakukan
fraud
dalam
bentuk
penyalahgunaan
aktiva
(misstatements
arising
from
misappropriation
of
assets).
Kecurangan ini biasanya disebut
kecurangan karyawan (employee
fraud) dan meliputi penggelapan
aktiva.
Penggelapan
aktiva
biasanya dilakukan oleh karyawan
yang sedang mengalami masalah
keuangan dan dilakukan karena
melihat
adanya
peluang
kelemahan pengendalian internal
organisasi serta pembenaran
terhadap tindakan tersebut.
2. Pihak eksternal
a. Pemasok

Badan Pemeriksa Keuangan

Fraud dilakukan oleh perorangan


atau organisasi yang menjual
22

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

barang atau jasa dengan harga


yang terlalu tinggi dibandingkan
dengan
kualitasnya
atau
barang/jasanya tidak direalisasikan
walaupun
pembeli
telah
membayar. Jika pembelinya suatu
organisasi atau entitas pemerintah,
penjual yang merasa diuntungkan
sering melakukan pemberian ilegal
(kickback)
kepada
petugas
(pejabat
pengadaan)
untuk
memelihara hubungan baiknya.

Fraud pada suatu organisasi dapat


menimbulkan
dampak
yang
menguntungkan maupun merugikan
bagi organisasi tersebut. Oleh karena
itu, fraud dibagi menjadi :
a. Fraud yang
organisasi

Pihak top manajemen mempunyai


peluang untuk melakukan fraud
untuk kepentingan organisasi,
misalnya
dengan
menyusun
laporan
keuangan
ganda.
Meskipun
menguntungkan
organisasi yang bersangkutan,
fraud ini tetap merugikan pihak
lain, misalnya negara, pemegang
saham, kreditur, dan pihak-pihak
lain yang terkait dengan laporan
keuangan yang diterbitkan oleh
organisasi tersebut.

b. Pelanggan
Fraud juga dapat dilakukan oleh
pembeli/pelanggan dengan tidak/
kurang
membayar
harga
barang/jasa yang diterima, dimana
korbannya adalah penjual.
3. Kolusi pihak internal dan eksternal
Selain murni dilakukan oleh pihak
internal atau eksternal perusahaan,
fraud juga dapat dilakukan oleh pihak
internal yang bekerja sama dengan
pihak eksternal untuk kepentingan atau
keuntungan kedua belah pihak.
Misalnya, pihak internal organisasi atau
entitas pemerintah bekerja sama
dengan
perusahaan
pemborong
sehingga perusahaan pemborong
tersebut selalu memenangkan tender
yang diadakan oleh entitas pemerintah
tersebut dan pejabat pengadaan yang
bersangkutan menerima suap dari
perusahaan pemborong.

b. Fraud
yang
organisasi

C. Klasifikasi Fraud
1. Berdasarkan
Keuntungan
Kerugian Organisasi

Direktorat Litbang

menguntungkan

dan

Badan Pemeriksa Keuangan

merugikan

Semua pegawai, baik eksekutif,


manajer, maupun pegawai biasa
memiliki peluang untuk melakukan
fraud demi keuntungan pribadi.
Biasanya, fraud ini mempengaruhi
aset, pendapatan, atau ekuitas
yang dimiliki perusahaan. Misal,
pegawai memindahkan sebagian
aset perusahaan ke rumah pribadi
saat
perpindahan
kantor/
pembukaan kantor baru.
Skema
fraud
baik
yang
menguntungkan
atau
yang
merugikan organisasi dapat dilihat
pada
gambar
berikut:

23

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gambar 3.7 Skema Fraud yang Menguntungkan/Merugikan Organisasi

Fraud

Keuntungan
Pribadi

Keuntungan
Organisasi

Disembunyikan
melalui rekayasa
catatan akuntansi

Dokumen pertanggungjawaban fiktif,


palsu, atau hasil kolusi

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

24

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

2. Berdasarkan skema fraud


ACFE
menggunakan
istilah
occupational fraud and abuse dan
mengkategorikan
fraud berdasar

Uniform Occupational Classification


System, yang lebih dikenal dengan
fraud tree sebagai berikut:

Gambar 3.8 Fraud Tree ACFE

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

25

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Berdasarkan gambar di atas, ACFE


mengklasifikasikan fraud sebagai
berikut:
a. Korupsi (Corruption)

bernilai kepada seseorang


tanpa disertai dengan niat
untuk
mempengaruhi
keputusan bisnis tertentunya.

Fraud jenis ini adalah fraud yang


paling sulit dideteksi karena
menyangkut kerja sama dengan
pihak lain, seperti suap dan kolusi.
Termasuk di dalamnya adalah:
1) Pertentangan
kepentingan
(conflict of interest).
Pertentangan
kepentingan
(conflict of intrest) terjadi saat
pegawai memiliki kepentingan
ekonomis, baik perorangan
ataupun bersama dengan
pihak
ketiga
yang
bertentangan
dengan
kepentingan organisasi atau
entitas usaha, dimana pegawai
dan/ atau pihak ketiga tersebut
memperoleh
keuntungan
keuangan.
2) Penyuapan (bribery).
Suap dapat didefinisikan
sebagai
penawaran,
pemberian, atau penerimaan
segala sesuatu dengan niat
untuk mempengaruhi aktivitas
pegawai. Aktivitas pegawai
disini diartikan sebagai tugas
dan fungsi yang melekat pada
pegawai yang bersangkutan.
Praktik ini dapat terjadi dalam
bentuk pemberian komisi (kickbacks) dan rekayasa lelang
(bid-rigging).
3) Gratifikasi (illegal gratuities).
Gratifikasi
pemberian
Direktorat Litbang

merupakan
sesuatu yang
Badan Pemeriksa Keuangan

Pemberian tersebut biasanya


dilakukan setelah keputusan
bisnis yang menguntungkan
orang atau pemasok tertentu
telah dilakukan. Pihak ketiga
yang diuntungkan dengan
adanya keputusan tersebut
memberikan hadiah tertentu
kepada pegawai sebagai balas
budi.
4) Pemerasan secara ekonomi
(economic extortion).
Pada dasarnya, fraud dalam
kategori
ini
merupakan
kebalikan dari fraud dalam
bentuk penyuapan. Jika dalam
penyuapan
vendor
menawarkan sesuatu kepada
pegawai entitas, sedangkan
pada pemerasan si pegawai
tersebut meminta pembayaran
tertentu untuk melancarkan
segala urusan si vendor.
26

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Di Indonesia, bentuk-bentuk korupsi


dirumuskan di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana

Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang


tersebut, korupsi dibagi menjadi 30
bentuk
tindak
pidana
yang
dikelompokkan sebagai berikut:

Tabel 3.2 Bentuk Tindak Pidana Korupsi


Kelompok Tindakan/Akibat
1.

Kerugian keuangan negara

Diatur dalam ketentuan/Pasal dan Ayat


Pasal 2
Pasal 3

2.

Suap-menyuap

Pasal 5

Pasal 5 ayat (1) huruf a;


Pasal 5 ayat (1) huruf b;
Pasal 5 ayat (2)

Pasal 6

Pasal 6 huruf a;
Pasal 6 huruf b;

Pasal 11
Pasal 12

Pasal 12 huruf a;
Pasal 12 huruf b;
Pasal 12 huruf c;
Pasal 12 huruf d;

Pasal 13
3.

Penggelapan dalam jabatan

Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10

Pasal 10 huruf a
Pasal 10 huruf b
Pasal 10 huruf c

4.

Pemerasan

Pasal 12

Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf f
Pasal 12 huruf g

5.

Perbuatan curang

Pasal 7

Pasal 7 ayat (1) huruf a


Pasal 7 ayat (1) huruf b
Pasal 7 ayat (1) huruf c
Pasal 7 ayat (1) huruf c
Pasal 7 ayat (2)

Pasal 12

Pasal 12 huruf h

6.

Benturan kepentingan dalam


pengadaan

Pasal 12

Pasal 12 huruf h

7.

Gratifikasi

Pasal 12

Pasal 12 B jo Pasal 12C

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

27

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Contoh modus-modus korupsi menurut


Undang-Undang TPK tersebut dapat
dilihat pada lampiran III.2.
b. Penyalahgunaan Aset
Misappropriation).

(Asset

Asset misappropriation meliputi


penyalahgunaan/pencurian aset
atau harta perusahaan atau pihak
lain. Ini merupakan bentuk fraud
yang paling mudah dideteksi
karena sifatnya yang tangible atau
dapat diukur/dihitung (defined
value).
Contoh
modus
penyalahgunaan aset diantaranya
adalah menggelapkan pendapatan,
pencurian aset berwujud milik
organisasi (misalnya pencurian
persediaan),
pencurian
atas
barang-barang sisa (scrap) untuk
dijual, melakukan pembayaran fiktif
untuk barang atau jasa yang tidak
pernah diterima oleh organisasi,
menggunakan aset milik organisasi
untuk kepentingan pribadi, dan
lain-lain.
c.

Pemalsuan laporan keuangan


dapat dilakukan dengan beberapa
cara,
diantaranya
dengan
melakukan
manipulasi
data,
pemalsuan data, pengubahan
catatan akuntansi termasuk juga
dokumen pendukungnya, salah saji
yang disengaja, atau secara
sengaja tidak mencantumkan
suatu transaksi atau informasi
keuangan yang penting, dengan
sengaja melakukan kesalahan
dalam pengaplikasian prinsip
akuntansi yang terkait dengan
jumlah, klasifikasi, penyajian dan
pengungkapan.
Pemalsuan laporan keuangan
sering dilakukan dengan tujuan
untuk memanipulasi laba, adanya
insentif sebagai penghargaan atas
kinerja manajemen, pengurangan
pajak dan lain sebagainya.

Rekayasa Laporan Keuangan


(Fraudulent Statement).
Fraudulent statement meliputi
tindakan yang dilakukan oleh
pejabat atau eksekutif suatu
perusahaan
atau
instansi
pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan
yang
sebenarnya
dengan melakukan rekayasa
keuangan (financial engineering)
dalam
penyajian
laporan
keuangannya untuk memperoleh
keuntungan. Hal ini dapat
dianalogikan dengan istilah window
dressing.

Direktorat Litbang

3. Berdasarkan
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban
Keuangan
Negara
Tuanakotta (2009) dalam bukunya
Menghitung Kerugian Keuangan
Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
menggambarkan kerugian keuangan
negara ke dalam suatu konsep yang
dinamakan Pohon Kerugian Keuangan
Negara (R.E.A.L Tree) sebagaimana
ditunjukkan dalam gambar berikut:

Badan Pemeriksa Keuangan

28

Bab III

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Gambar 3.9 Pohon Kerugian Negara

Berdasarkan gambar tersebut, fraud


dapat dikelompokkan berdasarkan 4
jenis akun besar yang terdapat pada
laporan keuangan pemerintah, yaitu:
a. pendapatan (revenue);

c. aset (assets);
d. kewajiban (liabilities).
Contoh-contoh bentuk fraud dan red flags
akan diuraikan lebih lanjut pada bab IV.

b. belanja (expenditures);

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

29

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

BAB IV
GEJALA FRAUD (RED FLAGS)
Fraud adalah suatu kejahatan (crime) yang
berbeda dari kejahatan lainnya, yaitu sifatnya
yang tersembunyi (hidden). Kejahatan
tradisional biasanya meninggalkan jejak yang
dapat terlihat. Misalnya, jika suatu bank
dirampok biasanya ada saksi, fisik uang yang
hilang, dan dalam beberapa kasus juga
tertangkap oleh rekaman CCTV. Sementara
dalam fraud, tidak ada bukti, yang secara
langsung dapat diperoleh, yang menunjukkan
bahwa fraud telah terjadi atau bahwa
seseorang telah melakukan fraud. Hanya gejala
atau indikator fraud yang dapat ditemukan
terlebih dahulu. Namun demikian, seringkali
gejala fraud yang ditemukan tersebut
disebabkan oleh faktor-faktor non fraud, seperti
kelemahan pengendalian internal yang tidak
disengaja atau kelalaian yang mengakibatkan
hilangnya suatu dokumen. Dengan demikian,
proses investigasi perlu dilakukan sebelum
pemeriksa menyatakan bahwa fraud benarbenar telah terjadi (baik nyata maupun pasti
jumlahnya).
Untuk dapat mendeteksi fraud, pemeriksa
harus belajar untuk mengenali gejala-gejala
fraud (red flags) dan melacak red flags tersebut
sampai bukti yang cukup dapat dikumpulkan
untuk mengungkapkan apakah red flags
tersebut disebabkan oleh fraud atau oleh faktor
selain fraud. Red flags adalah suatu keadaan
yang sifatnya tidak biasa atau berbeda dari
aktivitas normal. Red flags merupakan sinyal
bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dan
mungkin perlu diteliti lebih lanjut. Namun
demikian perlu diingat bahwa red flags tidak
menunjukkan bahwa seseorang atau pihak
tertentu bersalah atau tidak bersalah. Red flags
hanya memberikan tanda-tanda peringatan
kemungkinan terjadinya fraud.
Direktorat Litbang

Misal, pemeriksa menemukan adanya suatu


ketekoran kas. Ketekoran kas tersebut bisa
merupakan kesalahan (error) dan bisa juga
merupakan indikasi fraud. Untuk itu, pemeriksa
dapat mempertimbangkan hal-hal berikut
sebelum menetapkan ada tidaknya fraud yang
terjadi:
1. Apakah ketekoran kas terjadi secara
sistemik?
2. Apakah sistem pengendalian intern lemah?
3. Apakah ketekoran kas terjadi secara
berulang-ulang?
4. Apakah ada pelaku yang dicurigai, yaitu
ada seseorang yang menunjukkan gerakgerik telah melakukan suatu fraud?
Contoh tersebut merupakan salah satu cara
untuk mendeteksi adanya fraud, yaitu dengan
mengenali gejala fraud. Sebuah survei yang
dilakukan ACFE pada tahun 2006 menunjukkan
bahwa 34,2% fraud terdeteksi apabila
pemeriksa telah mengetahui atau memperoleh
pemahaman mengenai red flags terlebih dahulu
berdasarkan
pengalaman
pelaksanaan
pemeriksaan sebelumnya, 25,4% terdeteksi
secara kebetulan, dan 20,2%nya melalui peran
auditor internal.

A. Pendeteksian Red Flags


Langkah penting yang harus dilakukan oleh
pemeriksa untuk mengetahui ada tidaknya
indikasi fraud adalah dengan cara
mendeteksi red flags. Secara umum,
pendeteksian red flags dapat dilakukan
dengan beberapa metode sebagai berikut.
1. Pemeriksaan Titik Kritis (Critical
Point Auditing)
Critical point auditing adalah suatu
teknik pendeteksian fraud melalui audit
atas proses kegiatan yang mengarah
pada gejala atau kemungkinan

Badan Pemeriksa Keuangan

30

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

terjadinya fraud, yang mengarahkan


auditor untuk melakukan penyelidikan
lebih mendalam. Cara ini dapat
dipergunakan pada setiap organisasi.
Keberhasilan dalam mendeteksi fraud
tergantung pada tiga faktor, yaitu :

intern auditee yang berkaitan


dengan tingkat keandalannya
sekaligus
mengidentifikasikan
kelemahannya. Hal ini penting
untuk melihat latar belakang
terjadinya fraud dan pertimbangan
risiko kemungkinan terjadinya
fraud.

tingkat integrasi dan jumlah


transaksi/catatan yang tersedia
untuk audit,

jumlah item yang diaudit, dan

jumlah fraud yang terjadi.

Evaluasi terhadap pengendalian


intern, secara umum, berkaitan
dengan risiko pelaksanaan audit.
Semakin lemah pengendalian
intern instansi, maka dugaan
adanya fraud akan semakin kuat.

Critical point auditing dilakukan dengan


langkah sebagai berikut.
a. Memahami
organisasi.

proses

kegiatan

Pemahaman terhadap
proses
kegiatan
organisasi
secara
signifikan
akan
membantu
pemeriksa dalam:

memperkirakan kekuatan dan


kelemahan
sistem
pengendalian
intern
dan
implementasinya,
guna
mengidentifikasi area dimana
fraud mungkin terjadi,

memperkirakan
tingkat
keterjadian
dan
potensi
dampak fraud yang mungkin
terjadi dalam suatu instansi,
dan

Pendekatan yang sering digunakan


dalam critical point auditing antara lain:
a. Analisa tren (trend analysis)

mengevaluasi bukti-bukti awal


yang
diperlukan
untuk
dikembangkan dalam tahapan
audit.

b. Identifikasi
Pengendalian Intern.

Kelemahan

Setelah
memahami
proses
kegiatan
pemeriksa
harus
memahami pula pengendalian
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Pengujian ini terutama ditujukan


untuk
menilai
kewajaran
pembukuan dalam rekening buku
besar dan menyangkut pola
perbandingannya dengan data
sejenis untuk periode sebelumnya
(historical data). Perbandingan
dengan data sejenis dari entitas
lainnya maupun perbandingan
dengan data periode sebelumnya
bermanfaat untuk:
mendapatkan
gejala
manipulasi yang dilakukan
oleh pihak intern entitas yang
diperiksa.
mendeteksi
kemungkinan
adanya red flags atas fraud
baru yang terjadi.
Pengamatan dan analisis lebih
lanjut berdasarkan rasio dan
kinerja adalah hal yang sangat
penting untuk mendeteksi red flags
dan fraud terkait. Seorang pelaku
fraud tidak dapat menjamin tingkat
31

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

keteraturan perbuatannya. Pelaku


tersebut mungkin cukup agresif,
namun
jika
pengawasan
ditingkatkan atau jika prosedur
ataupun pengendalian intern yang
lebih efektif diterapkan, maka
mereka tidak memiliki kesempatan
untuk mengulangi perbuatannya
atau menciptakan fraud jenis baru.
Ketidakteraturan kesempatan akan
menyebabkan ketidakkonsistenan
dalam melakukan fraud sehingga
dampak fraud akan nampak/terlihat
pada pembukuan/akuntansinya.

2. Analisis Kepekaan Pekerjaan (Job


Sensitivity Analysis)
Teknik analisis kepekaan pekerjaan
pada prinsipnya didasarkan pada
analisis jika seorang pegawai bekerja
pada posisi tertentu, peluang/tindakan
negatif (fraud) apa saja yang dapat
dilakukannya. Dengan kata lain, teknik
ini merupakan analisis dengan
memandang pelaku potensial .
Metode yang dapat dilakukan pada
analisa kepekaan pekerjaan antara
lain:
a. Metode pendekatan

b. Pengujian khusus
Pengujian
khusus
biasanya
dilakukan terhadap kegiatankegiatan yang berisiko tinggi
terhadap fraud, antara lain:

Fraud pembelian, pada


umumnya dilakukan dengan
cara meninggikan nilai yang
terdapat dalam faktur atau
pembelian fiktif.
Verifikasi
buku
besar,
terutama rekening hutang
yang
muncul
setelah
penunjukan pejabat baru,
khususnya yang menangani
pembelian.

Tidak jarang pejabat baru


memilih atau membawa
supplier
yang
telah
dikenalnya dan mengganti
supplier yang selama ini
banyak berhubungan dengan
instansinya.

Fraud dalam penjualan,


dapat berupa penjualan fiktif,
lapping, dll.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Langkah awal yang dilakukan


adalah dengan mengidentifikasi
semua posisi pekerjaan dalam
suatu instansi/organisasi yang
rawan terhadap fraud. Untuk itu,
pemeriksa harus mempelajari :
struktur organisasi,
uraian tugas masing-masing
pejabat,
manual
akuntansi
dan
formulir-formulir terkait, dan
pendelegasian wewenang.
Langkah berikutnya adalah
memperoleh
spesifikasi
pekerjaan setiap pejabat/pegawai
dan mencatat perbedaan antara
akses yang diperbolehkan atas
suatu rekening dan akses
rancangan. Misalnya, petugas
bagian
pembelian/pengadaan
tidak diperbolehkan memiliki
akses atas catatan pembelian.
Tetapi, apabila dia berbagi ruang
dengan
pegawai
bagian
pencatatan pembelian, adalah
suatu hal yang tidak realistis bila
menganggap bahwa petugas
32

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

pembelian/pengadaan tersebut
tidak
mungkin
membaca,
mengubah,
atau
menyembunyikan catatan.
b. Pengawasan rutin
Tingkatan pengendalian yang
dilakukan harus menjadi perhatian
terutama apabila bawahan lebih
pandai dari atasan atau apabila
atasan memiliki bawahan yang
memiliki latar belakang pendidikan
yang berbeda.
c. Karakter pribadi
Karakter pribadi pegawai harus
dipertimbangkan.
Gejala-gejala
tersebut termasuk:
kekayaan yang tidak dapat
dijelaskan,
pola hidup mewah,
pegawai tidak puas (tidak naik
pangkat),
egois (mementingkan diri
sendiri),
sering
mengabaikan
instruksi/prosedur; dan
ingin dianggap paling penting.
Pada saat menerapkan kedua metode
pendeteksian red flags yang mengarah
pada fraud di atas, pemeriksa juga perlu
mewaspadai dan mempertimbangkan
kemungkinan keterlibatan pihak-pihak
dengan karakteristik yang unik karena
pihak dengan karakteristik unik tersebut
dapat
mempertinggi
kemungkinan
terjadinya fraud. Contoh karakteristik yang
perlu diwaspadai sebagai berikut:
1) The big spender. Beberapa penerima
suap membelanjakan uang mereka
secara mencolok atau dengan kata lain
berfoya-foya.
Direktorat Litbang

2) The gift taker: Pejabat atau eksekutif


yang
secara
rutin
menerima
pemberian.
3) The odd couple. Pemberi dan penerima
suap biasanya terlihat memiliki
hubungan baik.
4) The rule breaker: Seseorang yang
menerima suap biasanya akan
bertindak sesuai dengan keinginannya
sendiri, melanggar atau mengabaikan
standard operating procedures (SOP)
demi keuntungan pemberi suap.
5) The complainer. Penerima suap sering
memaklumi kesalahan pemberi suap
seperti
kualitas
yang
rendah,
keterlambatan pekerjaan, atau harga
yang tinggi.
6) Genuine need. Orang yang memiliki
sifat serakah, selalu menginginkan
lebih dari apa yang dibutuhkan.
7) The gift bearer. Pengusaha yang
secara rutin menawarkan hadiah yang
berlebihan, memberikan hiburan atau
mencoba mengambil hati/mencari
muka.
8) The sleaze factor: Seseorang yang
dikenal atau dicurigai dalam suatu
industri sering terlibat dalam pemberian
suap atau tidakan ilegal lainnya.
9) The too-successful bidder: Pemasok
yang secara konsisten memenangkan
pekerjaan tanpa melalui kompetisi.
10) Poor quality, higher price. Biasanya jika
ada kolusi, kualitas produk atau jasa
yang diberikan menurun sementara
harga naik.
11) The one person operation. Orang yang
mengerjakan
segala
sesuatunya
sendiri.

Badan Pemeriksa Keuangan

33

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Selain memiliki pemahaman terhadap


bagaimana cara mendeteksi red flags,
pemeriksa juga harus memiliki pemahaman
yang memadai mengenai jenis-jenis fraud
yang ada serta bagaimana jenis fraud
tersebut dapat terjadi. Hal-hal tersebut
dapat sekaligus dilaksanakan melalui
pembelajaran, analisis, dan penggunaan
metode identifikasi red flags atas masingmasing jenis fraud.

biasa atau melebihi batasan


yang ditetapkan per masingmasing vendor yang tidak
dapat dijelaskan alasannya.
2) Investigasi
secara
acak
terhadap seluruh vendor,
termasuk pemilik, pemegang
saham
mayoritas,
dan
hubungannya
dengan
pegawai.
3) Reviu kontrak dan persetujuan
terhadap faktur penjualan
secara periodik.

B. Red Flags Pada Entitas Komersial


Pendeteksian red flags pada entitas
komersial dapat dilakukan dengan
pendekatan fraud pada entitas komersial
berdasarkan Fraud Tree sebagaimana
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

4) Verifikasi otentikasi vendor


atau reviu atas kepemilikan
usaha vendor.
5) Identifikasi adanya pemberian
tip atau komplain.

1. Korupsi (Corruption)
a. Benturan Kepentingan (Conflict
of Interest)
Red flags dalam conflict of interest
antara lain sebagai berikut:
1) Adanya volume transaksi
penjualan yang cukup besar
dengan salah satu vendor
tertentu.

alamat
alamat

7) Membandingkan
vendor
dengan
perusahaan.

alamat
alamat

b. Gratifikasi (Illegal Gratuity)

2) Terungkapnya
hubungan
tertentu
antara
pegawai
dengan pihak ketiga.
3) Adanya kelemahan dalam
pemisahan tugas antara fungsi
persetujuan
kontrak
dan
penandatanganan
faktur
penjualan.
Red flags tersebut dapat dideteksi
melalui metode sebagai berikut:
1) Mengklasifikasikan transaksi
per vendor dan mengevaluasi
volume transaksi yang tidak
Direktorat Litbang

6) Membandingkan
vendor
dengan
pegawai.

Badan Pemeriksa Keuangan

Red flags dalam praktik gratifikasi


antara lain sebagai berikut:
1) Adanya pemberian tip atau
komplain dari pihak ketiga
yang merasa dirugikan.
2) Adanya perubahan gaya hidup
pegawai.
3) Terungkapnya
hubungan
tertentu
antara
pegawai
dengan pihak ketiga.
4) Tidak adanya pemisahan
fungsi
antara
penetapan
vendor dan persetujuan faktur
penjualan.
34

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

c. Penyuapan (Bribery)
Red flags dalam praktik penyuapan
antara lain sebagai berikut:

a. Penyalahgunaan Kas

1) Adanya perubahan gaya hidup


pegawai.
2) Terungkapnya
hubungan
tertentu
antara
pegawai
dengan pihak ketiga.
3) Tidak adanya pemisahan
fungsi
antara
penetapan
vendor dan persetujuan faktur
penjualan.
Metode yang dapat digunakan
untuk mendeteksi red flags di atas
adalah melalui identifikasi adanya
pemisahan fungsi antara fungsi
yang bertanggung jawab terhadap
persetujuan kontrak dan/atau
vendor
dan
fungsi
yang
bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan lelang (termasuk
rotasi pegawai yang bertanggung
jawab terhadap masing-masing
fungsi tersebut).
d. Pemerasan (Economic Extortion)
Red flags dan metode yang
digunakan untuk mendeteksi ada
tidaknya
pemerasan
dapat
menggunakan metode yang sama
dalam identifikasi penyuapan.
2. Penyalahgunaan
Misappropriation)

Aset

(Asset

Ada dua kategori utama dalam


penyalahgunaan aset menurut manual
yang dibuat oleh ACFE (2000), yaitu
penyalahgunaan
kas
dan
penyalahgunaan persediaan dan aset
lainnya.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Penyalahgunaan kas dibedakan


menjadi skimming, cash larceny,
dan fraudulent disbursement.
1) Penggelapan (Skimming)
Skimming dikenal dengan
kecurangan off the book,
yang berarti uang perusahaan
dicuri sebelum dicatat dalam
pembukuan, sehingga tidak
ada jejak audit (audit trail) yang
ditinggalkan.
Red flags yang biasa
ditemukan dalam praktik
skimming antara lain sebagai
berikut:
a) Penerimaan kurang dari
jumlah seharusnya.
b) Laba aktual lebih kecil dari
proyeksi yang diharapkan.
c) Marjin kotor lebih kecil
dalam
jumlah
yang
signifikan
dibanding
proyeksi.
Red flags di atas dapat
dideteksi dengan metode
sebagai berikut:
a) Pengamatan
terhadap
pegawai
pada
saat
terjadinya
penjualan
(contoh: cctv di atas meja
kasir dan meja makan).
b) Pengujian terhadap nomor
urut yang hilang dalam
dokumen
penerimaan
yang prenumbered.

35

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

c) Pengujian atas pencatatan


berlebihan terkait transaksi
non
penjualan,
pembatalan,
atau
pengembalian.
d) Pengukuran
perbedaan
pendapatan per pegawai
dan per shift.
e) Pembuatan pro forma laba
rugi,
menggunakan
standar besaran harga
pokok penjualan dan profit
margin untuk memastikan
level penerimaan tertentu
yang
seharusnya
diperoleh,
kemudian
dibandingkan
dengan
penerimaan aktual untuk
menentukan ada tidaknya
penerimaan yang tidak
dicatat atau hilang.
f) Pelaksanaan cash opname
secara mendadak, tepat
setelah pergantian shift.
2) Pengambilan
Larceny)

Kas

(Cash

Red flags yang biasa


ditemukan dalam praktik cash
larceny antara lain sebagai
berikut:
a) Penurunan nilai deposit
yang tidak biasa atau tidak
dapat dijelaskan.
b) Perbedaan saldo kas yang
tercatat pada buku catatan
dengan bank statement
yang tidak biasa atau tidak
dapat dijelaskan.
c) Adanya perubahan dalam
gaya hidup pegawai.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Red flags atas cash larceny


dapat
dideteksi
dengan
metode sebagai berikut:
a) Identifikasi
adanya
kekurangan kas dalam
mesin kasir atau deposit
ke bank.
b) Identifikasi
adanya
dokumen
pencatatan
penjualan yang hilang.
c) Konfirmasi kepada bank
perihal
deposit
yang
masuk.
d) Pelaksanaan cash opname
secara mendadak.
e) Hitung rasio rata-rata kas
dan cek per deposit harian.
f) Observasi terhadap proses
penerimaan kas di setiap
poin
pencatatan
penerimaan.
3) Kecurangan
Pengeluaran
Disbursement)

dalam
(Fraudulent

Kecurangan
dilakukan
terhadap
pengeluaran
perusahaan, yaitu:
a) Kecurangan
penagihan
Scheme).

dalam
(Billing

b) Kecurangan
dalam
pembayaran
gaji/upah
(Payroll Fraud).
c) Kecurangan
dalam
permintaan penggantian
biaya
(Expense
Reimbursement Scheme).
Red flags dalam pengeluaran
kas dapat meliputi:
36

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

a) Ketidaktepatan pembagian
wewenang
pada
karyawan,
misalnya,
penghitungan register dan
rekonsiliasi
seharusnya
tidak dilakukan oleh kasir.

tidak adanya penjualan


pada file register.
l)

m) Kebanyakan refund atau


void dalam jumlah tertentu
kurang dari batas reviu.

b) Kasir, atau pihak selain


penyelia, memiliki akses
atas kunci kontrol yang
diperlukan untuk refund
dan void.

Red flags dalam pengeluaran


kas dapat dideteksi dengan
cara sebagai berikut:
a) Mengevaluasi refund atau
diskon yang diberikan oleh
masing-masing kasir atau
bagian penjualan.

c) Karyawan
pencatatan
memiliki otoritas untuk
merubah transaksinya.
d) Pencatatan pengembalian
refund
register
tidak
direviu.

b) Reviu dan analisa atas


pengurangan
penjualan
kotor
dan
atau
peningkatan
retur
penjualan dan potongan
penjualan.

e) Beberapa kasir beroperasi


pada satu kassa tanpa
pemisahan kode akses.
f) Cek
pribadi
kasir
ditemukan pada register.

b. Penyalahgunaan Persediaan dan


Aset lainnya

g) Transaksi yang salah tidak


terdokumentasikan dengan
memadai
atau
tidak
disetujui oleh penyelia.
h) Formulir bukti penerimaan
kas yang salah (sistem
manual) atau dokumen
pendukung
untuk
transasksi-transaksi yang
salah (sistem register kas)
tidak dicatat dalam file.
i)

Adanya file register yang


hilang atau diubah.

j)

Adanya
kesenjangan
dalam urutan transaksi
pada pita register.

k) Adanya
ketidakurutan
nomor refund, void, atau
Direktorat Litbang

Total persediaan tampak


seperti rekayasa.

Badan Pemeriksa Keuangan

Istilah persediaan dan aset lainnya


mengacu pada segala bentuk aset
yang dimiliki oleh perusahaan,
selain yang berbentuk kas. Pada
dasarnya ada dua bentuk
kecurangan dalam pemakaian
aset, yaitu pemakaian atau
peminjaman tanpa izin dan
pencurian. Aset yang biasa
dipinjam adalah kendaraan
perusahaan, peralatan kantor,
komputer, dan perabotan kantor
lainnya.
Bentuk-bentuk
penyalahgunaan persediaan dan
aset lainnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Penyalahgunaan (misuse).
2) Pencurian (larceny).
37

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Ada empat kategori pencurian


persediaan dan aset lainnya,
yaitu:

fraud ini dinamakan false


billing. Kerugian yang
diderita
perusahaan
adalah
sebesar
pembayaran aset yang
tidak pernah ada tersebut.

a) Larceny Scheme
Secara sederhana dapat
diartikan
sebagai
pengambilan persediaan
perusahaan, tanpa ada
upaya untuk menutupi
pencurian tersebut dalam
buku dan catatan.
b) Asset Requisition
Transfer Scheme

Yang
kedua,
jika
perusahaan
memang
bermaksud membeli aset
namun setelah dilakukan
pembelian, aset tersebut
dicuri oleh pegawainya.
Fraud ini dinamakan
pencurian
persediaan
(inventory larceny).

and

Bentuk
dasar
fraud
kategori ini terjadi saat
seorang pegawai meminta
material persediaan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Dalam berbagai kasus
mereka
meninggikan
(mark-up) jumlah yang
diminta dan menciptakan
satu proyek yang benarbenar fiktif untuk mencuri
material yang mereka
inginkan. Adapula pegawai
yang memalsukan formulir
permintaan barang untuk
mengambil barang dari
gudang.

d) False Shipment Scheme


Untuk menutupi pencurian
persediaan dan aset
lainnya, seringkali pelaku
fraud membuat dokumen
pengiriman dan dokumen
penjualan palsu agar
tampak
seperti
ada
penjualan untuk menutupi
kecurangannya. Dengan
membuat dokumen palsu
tersebut (packing slip), si
pelaku dapat mengirimkan
persediaan ke
suatu
alamat tertentu. Penjualan
tersebut
dialamatkan
kepada seseorang yang
alamat sebenarnya fiktif
atau
kepada
alamat
rekannya.

c) Purchasing & Receiving


Scheme
Pada dasarnya skema
fraud dalam kategori ini
terdiri dari dua bentuk.
Yang
pertama,
jika
seorang
pegawai
mempunyai kewenangan
untuk membeli barang
yang sebenarnya tidak
diperlukan
perusahaan,
Direktorat Litbang

3. Rekayasa
Laporan
(Fraudulent Statement)

Keuangan

Lima klasifikasi fraud dalam laporan


keuangan menurut AICPA (2000)
adalah sebagai berikut:

Badan Pemeriksa Keuangan

38

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

a. Pendapatan
Revenues)

Fiktif

aktivitas operasi pada saat


pelaporan laba rugi dan
pertumbuhannya.

(Fictitious

Pendapatan fiktif dilakukan melalui


pencatatan transaksi penjualan
yang sebenarnya tidak pernah
terjadi. Untuk menyembunyikan
kecurangan ini, di awal periode
akuntansi dilakukan reversing
entries (jurnal balik) terhadap nilai
penjualan fiktif tersebut. Cara lain
yang biasa digunakan adalah
dengan menambahkan nilai rupiah
atau kuantitas penjualan dalam
invoice, atau dengan membuat
invoice palsu, baik dalam jumlah
rupiah atau kuantitasnya, sehingga
seolah-olah ada penjualan. Contoh
red flags yang berhubungan
dengan pendapatan fiktif meliputi:
1) Pertumbuhan yang pesat atau
tingkat profitabilitas yang tidak
biasa
jika
dibandingkan
dengan entitas lain dalam
industri yang sama.
2) Arus kas dari aktivitas operasi
yang bernilai negatif yang
berulang tiap tahunnya atau
ketidakmampuan
untuk
menghasilkan arus kas dari

3) Transaksi yang signifikan


dengan pihak istimewa yang
tidak bergerak di bidang yang
biasa atau dengan pihak
istimewa yang tidak diaudit
atau diaudit oleh KAP lainnya.
4) Transaksi yang signifikan, tidak
biasa, atau sangat kompleks,
yang terjadi menjelang akhir
tahun yang dipertanyakan dari
sisi substance over form.
5) Pertumbuhan yang tidak biasa
pada rata-rata jumlah hari
penjualan secara piutang
dalam satu tahun.
6) Volume
penjualan
yang
signifikan kepada entitas yang
substansi
operasi
dan
kepemilikannya tidak diketahui.
7) Penjualan mendesak yang
tidak biasa yang dilakukan oleh
perusahaan anak atau unit
perusahaan, atau penjualan
yang dicatat oleh perusahaan
induk.

Kasus PT Great River International Tbk.


Sebuah kabar penting tersiar dalam rapat pemegang obligasi PT Great River International Tbk. yang digelar
pertengahan bulan lalu. Hasil audit investigatif kantor akuntan publik Aryanto Amir Jusuf & Mawar menyimpulkan,
sejumlah kejanggalan ditemukan dalam pembukuan keuangan perusahaan produsen tekstil itu.
Kantor akuntan publik Aryanto Amir Jusuf & Mawar telah merampungkan proses audit investigatif atas PT Great River
International Tbk. pada 28 Oktober lalu. Audit atas transaksi umum, piutang usaha, penjualan, pembelian, serta mutasi
kas dan bank selama periode 1 Januari 2003 hingga 31 Maret lalu itu menemukan sejumlah penyimpangan antara lain:.

Beberapa transaksi keuangan dengan PT Centrapermata Karya (perusahaan induk) bermasalah dan tidak dicatatkan
dalam laporan keuangan Great River.

Ada piutang usaha senilai Rp 116,1 miliar yang tidak didukung bukti transaksi dalam pembukuan Great River 20032005.

Utang jatuh tempo Bali Company sebesar US$ 1,1 juta yang telah dibayarkan kepada Great River tidak dicatatkan
dalam pembukuan perusahaan.

Kerja sama dengan Inter Fashion Marketing untuk memasarkan produk Great River ke luar negeri malah merugikan
dan membukukan saldo negatif.

Sebagian penjualan pada 2003 dan 2004 sebesar Rp 305 miliar tidak memiliki bukti transaksi.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/12/12/EB/mbm.20051212.EB117452.id.html

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

39

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

b. Perbedaan
Differences)

Waktu

aktivitas operasi pada saat


pelaporan laba rugi dan
pertumbuhannya.

(Timing

Fraud yang dilakukan dengan


mencatat penjualan atau biaya
pada periode waktu yang salah
sehingga prinsip matching cost
against revenue-nya tidak ditaati.
Akibatnya, net income dilaporkan
terlalu tinggi di suatu periode
akuntansi, sedangkan dalam
periode lainnya menjadi terlalu
rendah.
Red flags yang berhubungan
dengan
perbedaan
periode
pengakuan transaksi antara lain
sebagai berikut:
1) Pertumbuhan yang pesat atau
tingkat profitabilitas yang tidak
biasa
jika
dibandingkan
dengan entitas lain dalam
industri yang sama.
2) Arus kas dari aktivitas operasi
yang bernilai negatif yang
berulang tiap tahunnya atau
ketidakmampuan
untuk
menghasilkan arus kas dari

3) Transaksi yang signifikan, tidak


biasa, atau sangat kompleks,
yang terjadi menjelang akhir
tahun yang dipertanyakan dari
sisi substance over form.
4) Peningkatan yang tidak biasa
pada margin kotor atau ratarata besaran margin yang
berbeda dibanding dengan
entitas lain dalam industri yang
sama.
5) Pertumbuhan yang tidak biasa
pada rata-rata jumlah hari
penjualan secara piutang
dalam satu tahun.
6) Pertumbuhan yang tidak biasa
pada rata-rata jumlah hari
pembelian secara kredit dalam
satu tahun.

c. Penilaian Aset yang Tidak Tepat (Improper Assets Valuation)

Kasus Kimia Farma


Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam, diketahui terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT
KAEF,yang mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001
sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk.
Kesalahan tersebut dilakukan oleh Direksi periode 1998Juni 2002 dengan cara:
Membuat 2 (dua) daftar harga persedian (master prices) yang berbeda

masing-masing diterbitkan pada

tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master prices yang telah
diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT KAEF. Master prices per 3 Pebruari 2002
merupakan master prices yang telah disesuaikan nilainya (penggelembungan) dan dijadikan dasar sebagai
penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT KAEF per 31 Desember 2001.
Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit Bahan Baku. Pencatatan ganda tersebut
dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh Akuntan.
Sumber: http://www.bapepam.go.id/old/old/news/Des2002/PR_27_12_2002.PDF

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

40

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Contoh
red
flags
yang
berhubungan dengan penilaian
aset yang tidak tepat meliputi:

pengeluaran
kas
pembelian per hari.

8) Persentase penyisihan atas


piutang
tak
tertagih,
persediaan yang berlebih atau
usang
atau
mengalami
penyusutan atau memiliki ratarata yang jauh berbeda
dibanding dengan entitas
lainnya dalam industri yang
sama.

1) Arus kas dari aktivitas operasi


yang bernilai negatif yang
berulang tiap tahunnya atau
ketidakmampuan
untuk
menghasilkan arus kas dari
aktivitas operasi pada saat
pelaporan laba rugi dan
pertumbuhannya.
2) Penurunan signifikan atas
tingkat permintaan pelanggan
serta peningkatan kegagalan
bisnis di tingkat industri
maupun keseluruhan ekonomi.
3) Aset, kewajiban, pendapatan,
atau beban didasarkan pada
estimasi yang signifikan yang
mencakup penilaian yang
subjektif atau ketidakpastian
yang sulit untuk dibenarkan.

9) Perubahan yang tidak biasa


dalam hubungan antara aset
tetap dan penyusutan.
10) Penambahan jumlah aset pada
saat kompetitor mengurangi
penanaman modalnya dalam
aset.
d. Menyembunyikan Biaya dan
Kewajiban (Concealed Liabilities
and Expenses)

4) Keterlibatan manajemen yang


berlebihan di bidang non
keuangan mencakup pemilihan
prinsip
akuntansi
atau
penentuan estimasi yang
siginifikan.
5) Peningkatan yang tidak biasa
pada margin kotor atau ratarata besaran margin yang
berbeda dibanding dengan
entitas lain dalam industri yang
sama.
6) Pertumbuhan yang tidak biasa
pada besaran rata-rata jumlah
penerimaan kas dari penjualan
dalam satuan hari.
7) Pertumbuhan yang tidak biasa
pada besaran rata-rata jumlah

Direktorat Litbang

untuk

Badan Pemeriksa Keuangan

Fraud yang dilakukan dengan cara


tidak mengungkap adanya suatu
kewajiban dan biaya dalam laporan
keuangan sulit untuk dideteksi
karena tidak adanya jejak audit
(audit trail). Ada tiga cara yang
umum
digunakan
dalam
menjalankan kategori fraud ini,
yaitu:
1) menghilangkan kewajiban,
2) mengkapitalisasi biaya, dan
3) membiayakan
modal.

pengeluaran

Red flags yang berhubungan


dengan penyembunyian kewajiban
dan biaya antara lain meliputi:
1) Arus kas dari aktivitas operasi
yang bernilai negatif yang
berulang tiap tahunnya atau
41

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

ketidakmampuan
untuk
menghasilkan arus kas dari
aktivitas operasi pada saat
pelaporan laba rugi dan
pertumbuhannya.

e. Pengungkapan yang Tidak


Memadai (Improper Disclosures)

2) Aset, kewajiban, pendapatan,


atau beban didasarkan pada
estimasi yang signifikan yang
mencakup penilaian yang
subjektif atau ketidakpastian
yang sulit untuk dibenarkan.
3) Partisipasi manajemen yang
berlebihan di bidang non
keuangan mencakup pemilihan
prinsip
akuntansi
atau
penentuan estimasi yang
siginifikan.
4) Peningkatan yang tidak biasa
pada margin kotor atau ratarata besaran margin yang
berbeda dibanding dengan
entitas lain dalam industri yang
sama.
5) Persentase penyisihan atas
retur penjualan, klaim atas
garansi, dll yang mengalami
penyusutan atau memiliki ratarata yang berbeda jauh
dibanding dengan entitas
lainnya dalam industri yang
sama.
6) Penurunan yang tidak biasa
dalam jumlah hari pembelian
pada hutang dagang.
7) Penurunan hutang dagang, di
sisi lain kompetitor meminta
kelonggaran atas pembayaran
hutangnya.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Manajemen mempunyai kewajiban


untuk mengungkapkan semua
informasi signifikan mengenai
jalannya perusahaan. Jika tidak
dapat diungkap dalam laporan
keuangan, pengungkapan tersebut
harus dilakukan dalam footnote
atau dalam analisis dan laporan
manajemen agar pengungkapan
informasi
tersebut
tidak
menyesatkan. Pengungkapan yang
tidak tepat oleh manajemen
biasanya
mencakup
hal-hal
sebagai berikut:
1) Menghilangkan pengungkapan
kewajiban. Umumnya berupa
perjanjian pinjaman atau
kewajiban kontinjensi. Contoh
kewajiban kontinjensi adalah
adanya tuntutan hukum atas
suatu kasus yang dihadapi
oleh perusahaan.
2) Kejadian-kejadian
penting.
Contoh kejadian penting yang
harus diungkap adalah adanya
produk baru atau teknologi
baru yang mungkin berdampak
signifikan terhadap penjualan.
3) Fraud lainnya yang dapat
terjadi adalah kecurangan
dengan tidak mengungkap
transaksi-transaksi
dengan
pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa. Selain itu,
dapat pula berupa kecurangan
dalam
mengungkap
perubahan-perubahan
akuntansi yang mencakup
perubahan
estimasi,
perubahan prinsip akuntansi
42

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

dan perubahan dalam entitas


akuntansi.
4) Cara penilaian aset tidak tepat
dimana fraud terjadi karena
penilaian aset yang dilakukan
menyimpang dari Standar
Akuntansi Keuangan.
Contoh
red
flags
yang
berhubungan
dengan
pengungkapan yang tidak tepat
antara lain meliputi:
1) Manajemen yang didominasi
oleh
seseorang
atau
sekelompok kecil orang tanpa
disertai adanya pengendalian
pengganti
(compensating
control).
2) Ketidakefektifan dewan direksi
atau komite audit yang lalai
dalam mengawasi proses
pelaporan keuangan dan
pengendalian internal.
3) Ketidakefektifan komunikasi,
implementasi, dukungan, atau
penegakan nilai dan standar
etika di dalam entitas oleh
manajemen atau komunikasi
nilai dan standar etika yang
tidak tepat.
4) Pertumbuhan yang pesat atau
tingkat profitabilitas yang tidak
biasa
jika
dibandingkan
dengan entitas lain dalam
industri yang sama.

6) Transaksi yang signifikan


dengan pihak istimewa yang
tidak bergerak di bidang yang
biasa atau dengan pihak
istimewa yang tidak diaudit
atau diaudit oleh KAP lainnya.
7) Struktur organisasi yang terlalu
kompleks yang meliputi badan
hukum
atau
alur
pendelegasian
wewenang
yang tidak biasa.
8) Memiliki
sejarah
terkait
ketidakpatuhan
terhadap
peraturan
perundangundangan, atau tuntutan
hukum di masa lampau,
dimana manajemen senior
atau anggota direksi dituduh
melakukan
fraud
atau
melanggar
peraturan
perundang-undangan.
9) Percobaan yang berulang oleh
manajemen
dalam
menjustifikasi
praktik
materialitas akuntansi yang
tidak tepat.
10) Pembatasan secara formal
maupun tidak formal terhadap
auditor
terhadap
orang
maupun informasi dalam
entitas, maupun membatasi
auditor untuk secara efektif
berkomunikasi dengan dewan
direksi atau komite audit.

5) Transaksi yang signifikan, tidak


biasa, atau sangat kompleks,
yang terjadi menjelang akhir
tahun yang dipertanyakan dari
sisi substance over form.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

43

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

C. Red Flags Pada Pengelolaan dan


Pertanggungjawaban Keuangan
Negara
1.

Fraud
terkait
(Pendapatan)

Contoh fraud dalam kategori ini


dapat meliputi:
1) Rendahnya
anggaran
penerimaan pajak, PBB, Bea
Cukai, retribusi dan pajak
lainnya dibanding potensi yang
tersedia.

Penerimaan

Dalam kegiatan pengelolaan dan


pertanggungjawaban
penerimaan
negara, indikasi fraud yang biasa
terjadi adalah sebagai berikut:

2) Manipulasi restitusi pajak.


3) Laporan SPT pajak bulanan
maupun tahunan yang tidak
sesuai dengan potensi pajak
yang sesungguhnya.

a. Wajib Bayar Tidak Setor


Undang-undang
perpajakan
menerapkan
sistem
self
assessment dimana wajib pajak
menghitung dan menyetorkan
sendiri kewajiban pajaknya ke kas
negara.
Kelalaian
ataupun
kesengajaan wajib pajak untuk
tidak menyetor jumlah pajak dalam
jumlah yang seharusnya dapat
menimbulkan
kerugian
pada
negara, baik dari sisi kekurangan
penerimaan
pajak
maupun
hilangnya potensi bunga atas
penerimaan tersebut dalam hal
keterlambatan waktu penyetoran.

4) Kesalahan pengenaan
pajak maupun bea.

5) Pembebasan pajak atas bahan


baku impor tujuan ekspor tidak
sesuai data sesungguhnya.
6) Penerbitan faktur pajak fiktif.
b. Wajib Pungut Tidak Setor

Terdapat indikasi perbuatan melawan


hukum yang dilakukan oleh Kepala Kantor
Pajak, Kasitup, Kasubsitup dan operator
komputer secara berjenjang pada KPP
Jakarta
Matraman
Satu mengenai
kesalahan
penulisan
pada
laporan
pemeriksa Karikpa Jakarta Satu pada
penerbitan SKPN PPh badan Tahun Pajak
1998 Nomor 00006/506/98/001/00 atas
nama PT AJBAJ, yaitu peredaran usaha
dan laba kotor tertuls Rp95.353.803,00
seharusnya ditulis sesuai dengan Nota
Penghitungan yang dibuat oleh pemeriksa
sebesar Rp95.353.380.803,00

Direktorat Litbang

tarif

Badan Pemeriksa Keuangan

Kategori fraud ini dapat dilakukan


dengan cara penerimaan negara
tidak disetor secara penuh oleh
pejabat dalam instansi pemerintah
yang bertindak sebagai pemungut
pajak.
Praktik lain yang terjadi di
lapangan adalah penerimaan yang
seharusnya masuk ke rekening kas
negara, namun masuk ke rekening
atas
nama
pejabat
atau
perorangan. Meskipun pejabat
tersebut pimpinan instansi yang
bersangkutan, namun cara ini
berpotensi merugikan negara.

44

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Kasus Korupsi dalam Pengurusan


Dokumen Keimigrasian di Kedutaan
Besar RI di Malaysia
Mantan Dubes RI untuk Malaysia,
Rusdiharjo, bersama dengan Mantan
Kepala Bidang Imigrasi KBRI, Arihken
Tarigan, dinyatakan bersalah karena
menerapkan tarif ganda dalam pemberian
pelayanan dokumen keimigrasian di KBRI
Malaysia. Tarif kecil disetor ke kas
negara sedangkan tarif besar dipungut
dari
pemohon
pelayanan
dokumen
keimigrasian di KBRI. Selisih tarif
tersebut dikumpulkan dan setiap bulan
dibagi-bagikan kepada pimpinan dan staf.

ke

2) Inventarisasi
PNBP.

sumber-sumber

c. Potongan
Ditinggikan

Rusdiharjo divonis 2 tahun penjara dan


harus membayar uang pengganti Rp815,62
juta sedangkan Arihken tarigan divonis 4
tahun penjara dan harus membayar uang
pengganti sebesar Rp6,995 miliar.
Sumber : Menghitung Kerugian Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi (Tuanakotta, 2009)

Contoh lain yang termasuk dalam


kategori ini adalah:
1) Perusahaan yang ditunjuk oleh
pemerintah
pusat/daerah
memperkecil data volume
produksi pertambangan atau
hasil alam;
2) Memperbesar biaya cost
recovery sehingga setoran
hasil menjadi berkurang;
3) Kontrak pembagian hasil atas
tambang yang merugikan
negara.
Red flags yang dapat diidentifikasi
adalah:
1) Penetapan tarif PNBP yang
terlalu rendah.
2) Tidak ada catatan tentang
PNBP.
Metode yang dapat digunakan
untuk mendeteksi red flags di atas
adalah:

Direktorat Litbang

1) Eksaminasi
sumber.

Badan Pemeriksa Keuangan

dokumen

Penerimaan

Fraud yang dapat terjadi dalam


kategori ini berupa penyimpangan
dalam melaksanakan diskresi
berupa pengurangan pendapatan
negara. Dalam bisnis asuransi,
pejabat tertentu dapat memberikan
pengurangan premi. Pengurangan
premi secara langsung dapat
menurunkan penerimaan BUMN
Asuransi. Apabila BUMN ini
berurusan dengan lembaga negara
yang lain dan diskon tersebut
dinikmati oleh pribadi pejabat,
maka transaksi ini mempunyai
potensi memberikan keuntungan
atas kekurangan penerimaan
negara.
Korupsi PT Pos Indonesia
Pada
20
Maret
2003,
Direktur
Operasional PT Pos menerbitkan surat
edaran
tentang
pemberian
diskon,
insentif, dan komisi khusus kepada
pelanggan kelas atas. Komisi sebesar 5%
diberikan untuk nilai transaksi Rp 20-100
juta, 4% untuk transaksi Rp 100-400
juta, dan komisi 3% untuk di atas Rp 400
juta. Pada kenyataannya, besaran komisi
yang diberikan atas pengiriman jasa
komunikasi mencapai 5-6%. Pertengahan
2003, Kantor Pos wilayah IV menjalin
perjanjian kerja sama dengan 21
pelanggan. Direktur Utama PT Pos
Indonesia, Hana Suryana, menyetujui
pengeluaran uang komisi. Tetapi, uang
komisi tersebut tidak pernah diterima
oleh pelanggan. Diduga uang komisi
tersebut dibagi-bagikan untuk Hana dan
para pejabat Kantor Pos Pusat.
Sumber:
Menghitung
Kerugian
Keuangan
Negara
dalam
tindak
Pidana
Korupsi
(Tuanakotta, 2009)

45

Bab IV

2.

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Fraud terkait Pengeluaran (Belanja)


Dalam kegiatan pengelolaan dan
pertanggungjawaban
pengeluaran
negara, indikasi fraud yang biasa
terjadi mencakup:
a. Kegiatan Fiktif
Catatan-catatan
akuntansi/
pembukuan termasuk dokumen
pendukungnya dalam pelaksanaan
APBN/D sering dimanipulasi atau
direkayasa untuk menyembunyikan
fraud.
Apabila
dokumen
pendukung pelaksanaan anggaran
sudah direkayasa, maka angkaangka yang dicatat dalam Buku
Besar Penerimaan (Model B IV)
atau Buku Besar Pengeluaran
Buku
Kas
maupun
Buku
UUDP/Uang-uang
Untuk
Dipertanggungjawabkan
atau
pembukuan Bendaharawan tidak
menyajikan realisasi pelaksanaan
anggaran yang sebenarnya.
Manipulasi
laporan
ataupun
dokumen
pertanggungjawaban
dilakukan untuk menyembunyikan
skema fraud yang lebih besar,
yaitu penyalahgunaan aset, fraud
dalam pengadaan barang dan jasa
atau korupsi. Contoh manipulasi
adalah sebagai berikut:
1) Manipulasi data pegawai
(False statement concerning
employees) misalnya melalui:
melakukan
penggajian
terhadap pegawai fiktif
(Billing
for
fictious
employees),
pembayaran ganda pejabat
atau
pegawai
yang
diperbantukan.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

2) Transaksi
fiktif
Transactions)
melalui:

(Fictious
misalnya

pengeluaran
belanja/jasa
atau perjalanan dinas fiktif,
membuat
tagihan
dari
perusahaan yang sudah
tidak ada (invoices from
nonexistent companies), dan
catatan atau tagihan palsu
(false records or invoices).
3) Dokumentasi palsu (False
Documentation)
misalnya
melalui:
kualifikasi kontraktor yang
palsu (falsified contractor
qualifications),
sertifikasi
palsu
(false
certifications or assurances).
Red flags yang dapat diidentifikasi
meliputi:
1) Tidak bisa menyelesaikan
laporan tepat waktu.
2) Tidak
bisa
menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh
auditor.
3) Tidak
dapat
memenuhi
persyaratan
pelaporan,
misalnya laporan tidak tepat
waktu, laporan tidak lengkap,
dan sebagainya.
4) Tidak memiliki informasi atau
bukti yang cukup sebagai
pendukung laporan.
5) Adanya dokumen yang hilang.
6) Dokumen
kepada

yang diberikan
auditor
bukan

46

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

dokumen asli (duplikat atau


copy).

baik jumlah maupun informasi


yang terkandung di dalamnya.

7) Pengerjaan buku besar dan


register pelaksanaan anggaran
tidak tepat waktu (up to date).

14) Tidak dilakukan rekonsiliasi


secara periodik antara saldo
kas dengan saldo bank
pemegang kas.

8) Saldo uang muka kerja / uanguang


yang
harus
dipertanggungjawabkan makin
membengkak dan tidak ada
penyelesaian
pertanggungjawabannya dan
bahkan
melampaui tahun anggaran.

15) Dokumen pembayaran upah


pungut atas pendapatan yang
tidak sesuai dengan makna
dan tujuan pemberian upah
pungut.
16) Kontrak tahun jamak (multi
years)
pekerjaan
pembangunan
fasilitas
pemerintah yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

9) Register/buku
kontrak
pengadaan barang/jasa tidak
tertib
dan
tidak
menggambarkan ketersediaan
anggarannya;
10) Dokumen
pembayaran
terhadap pengeluaran yang
seharusnya
menggunakan
beban
tetap
tetapi
dilaksanakan dengan beban
sementara, terutama untuk
pasal-pasal
pengeluaran
anggaran
daerah
untuk
anggaran
tak
tersangka,
bantuan pihak ketiga, bantuan
sosial dan bantuan sejenisnya.

Red flags tersebut di atas dapat


ditemukan dengan cara melakukan
pemeriksaan terhadap dokumen
sumber melalui tracing atau
vouching.
b. Pengeluaran
Berdasarkan
Ketentuan Perundangan yang
Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi

11) Adanya catatan-catatan kecil


untuk
pengeluaranpengeluaran
oleh
Bendaharawan atas perintah
atasan langsung yang tidak
segera
dipertanggungjawabkan.
12) Pembebanan anggaran dicatat
tidak sesuai dengan pasal
pengeluaran anggarannya.
13) Pembukuan/catatan akuntansi
menunjukkan ketidakakuratan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Modus operandi yang biasa terjadi


dalam kategori ini dapat meliputi:
1) Pejabat daerah menerbitkan
peraturan daerah sebagai
dasar pemberian upah pungut
atau honor atas suatu kegiatan
dengan menggunakan dasar
peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi
yang tidak berlaku lagi.
2) Pejabat daerah mencairkan
atau menggunakan anggaran
untuk
belanja
tertentu
menggunakan dasar peraturan
perundang-undangan
yang
47

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

sudah dinyatakan tidak berlaku


lagi.
c. Pengeluaran Lebih Cepat
Modus operandi yang biasa terjadi
dalam kategori ini adalah adanya
pengeluaran yang bersifat resmi
tetapi dilakukan dalam waktu lebih

cepat dari yang seharusnya.


Contoh, pembayaran kepada
pemasok atau kontraktor dalam
pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan sebelum % kemajuan
kerja yang telah disepakati
tercapai.

Korupsi Belanja Bantuan Sosial Kabupaten Aceh Tenggara


Dalam kurun waktu 2004 dan 2006 Bupati Agara telah melakukan penarikan kas bon sebesar Rp87.048.435.126,00 yang
dimaksudkan untuk memberikan bantuan keuangan kepada pelajar asal Agara yang belajar di luar daerah, bantuan
kepada instansi vertikal, bantuan untuk Muspida dan masyarakat lainnya.
Hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Aceh mengindikasikan adanya penyimpangan berupa:
Tahun 2004 terdapat pertanggungjawaban atas realisasi pengeluaran Belanja Bantuan Keuangan sebesar
Rp1.627.950.000,00 yang hanya didukung kuitansi tanpa bukti-bukti pendukung lainnya
Tahun 2006 terdapat penerbitan SPM Sebesar Rp15.071.314.250,00 yang mendahului pengesahan APBD TA 2006,
diantaranya untuk Belanja Bantuan Keuangan sebesar Rp3.779.441.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif serta penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Unit Pemeriksaan
Investigatif BPK-RI terhadap pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut, diketahui terdapat indikasi tindak pidana
korupsi sekurang-kurangnya sebesar Rp26.293.332.500,00.
Atas perbuatannya tersebut, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 4 tahun kepada Bupati Agara yang terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dana APBD tahun 2004-2006. Selain kurungan badan, Bupati Agara juga harus
membayar denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan dan mengganti kerugian negeara Rp 2,195 miliar.

(Pembahasan kasus secara lengkap dalam lampiran IV.1)

3.

Fraud terkait Aset (Aktiva)


Dalam kegiatan pengelolaan aset
negara, indikasi fraud yang biasa
terjadi mencakup:
a. Pengadaan Barang dan Jasa
Fraud yang biasa terjadi dalam
pengadaan barang dan jasa dapat
dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Penggelembungan (mark-up)
harga, atau harga patokan
terlalu mahal dibandingkan
harga pasar.
2) Pelaksanaan sistem tender,
penunjukan rekanan dan atau
konsultan,
persyaratan
kualifikasi, dan lain-lain tidak
sesuai standar prosedur, atau

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

sesuai prosedur tetapi hanya


memenuhi
persyaratan
formalitas.
3) Pemenang
tender
mensubkontrakkan
pekerjaannya kepada pihak
ketiga,
sehingga
posisi
rekanan tidak lebih sebagai
broker semata.
4) Rekanan atau konsultan tidak
mampu
melaksanakan
pekerjaannya sesuai jadwal
yang ditetapkan.
5) Pekerjaan atau barang yang
dihasilkan
tidak
sesuai
spesifikasi.

48

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, kerugian


daerah

atas

pembayaran

belanja

penunjang

operasional kepala daerah/wakil kepala daerah


yang tidak sesuai ketentuan sehingga terdapat
kelebihan pembayaran senilai Rp4,60 miliar.
Kabupaten

Keerom,

Provinsi

Papua,

kerugian

daerah atas kekurangan volume pekerjaan senilai


Rp5,26 miliar dibandingkan dengan kontrak yang
telah

disepakati

sehingga

terjadi

kelebihan

pembayaran senilai Rp5,26 miliar.

Beberapa red flags pada fraud


dalam pengadaan barang dan jasa
antara lain:
1) Rencana pengadaan yang
diarahkan (spesifikasi teknis
yang mengarah pada merek
tertentu atau pengusaha
tertentu).
2) Memecah
pengadaan
barang/jasa menjadi beberapa
paket untuk menghindari
pelelangan.
3) Rencana pembelian yang tidak
sesuai kebutuhan.
4) Panitia tidak memiliki sertifikat
keahlian pengadaan dan/atau
bukti keikutsertaan dalam
pelatihan
pengadaan
barang/jasa.
5) Spesifikasi yang diarahkan spesifikasi yang direkayasa
untuk mengarah pada suatu
produk tertentu.
6) Kuantitas pekerjaan / barang /
jasa yang diserahkan tidak
sesuai dengan kontrak.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

7) Kualitas
pekerjaan
yang
diserahkan tidak sama dengan
ketentuan dalam spesifikasi
teknis/kontrak.
8) Kualitas barang/jasa yang
diterima
tidak
sesuai
kebutuhan.
Red flags untuk setiap tahap dalam
pengadaan barang dan jasa dapat
dilihat pada lampiran IV.2
Untuk dapat mendeteksi red flags
dalam pengadaan barang dan jasa,
pemeriksa dapat melakukan teknikteknik audit sebagai berikut.
1) Lakukan pengujian sepintas
tentang
ketentuan
yang
mengatur adanya keharusan
pelaksanaan
pengadaan
berdasarkan permintaan calon
pemakai.
2) Telusuri proses perencanaan
pengadaan dan penganggaran
apakah disusun berdasarkan
rencana
kebutuhan
berdasarkan
kegiatan
operasional selama periode
tertentu.
3) Lakukan pengujian sepintas
terhadap proses tender.
4) Teliti owner estimate dan
engineering
estimate
pembangunan prasarana fisik.
5) Bandingkan volume OE/EE
dengan kontraknya.

49

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Kegiatan Pengadaan Alat AFIS Tahun 2004 pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum
(Ditjen AHU) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia
Modus Fraud:
1.

Dirjen AHU menyampaikan memo kepada Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, dengan tembusan
kepada Sekjen mengenai usulan penunjukan langsung PT Sentral Filindo sebagai penyedia alat AFIS, dengan
alasan adanya keterbatasan waktu untuk melaksanakan pekerjaan. Sementara usulan revisi untuk ABT
sedang diajukan kepada Ditjen Anggaran. Sebelumnya, selain PT Sentral Filindo (pemasok Dermalog),
pemasok dari Sagem dan Motorola pernah melakukan peragaan produk kepada Panitia Persiapan Pengadaan.

2.

Dirjen AHU memerintahkan Direktur Dactiloscopy dan Pemimpin Proyek, yang juga menjabat sebagai
Kepala Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga, untuk mempersiapkan pengadaan alat AFIS.

3.

Direktur Dactiloscopy menindaklanjutinya dengan menyusun rencana pengadaan. Adapun metode pengadaan
yang digunakan adalah metode Penunjukan Langsung, dengan pertimbangan waktu pengerjaan untuk tahun
anggaran 2004 tinggal 75 hari.

4.

Sekretaris Panitia Pengadaan, berdasarkan arahan Pemimpin Proyek, menyusun Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) dengan mengacu kepada proposal harga dari PT Sentral Filindo.

5.

Seluruh dokumen pengadaan dibuat secara formalitas dan kontrak pun dibuat backdating. Hal ini ditunjukan
dengan tidak adanya proses prakualifikasi dan evaluasi sebagaimana mestinya, meskipun diketahui PT
Sentral Filindo tidak memiliki Angka Pengenal Impor sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan. Sehingga
untuk mengurus dokumen impor, Dirjen AHU membuat dokumen yang dimanipulasi seolah-oleh bertindak
sebagai importir.

6.

Pemimpin Proyek kemudian mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dengan menggunakan dokumen
pengadaan yang dimanipulasi (formalitas)

Red flags
1)

Perencanaan pengadaan barang dan jasa yang seolah-olah menunjukan bahwa pengadaan bersifat mendesak.

2)

Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang hanya mengacu kepada penawaran harga dari satu pemasok.

3)

Penyusunan dokumen pengadaan dan pencairan dana dengan memajukan tanggal (backdating).

4)

Proses pengadaan yang bersifat formalitas (dimanipulasi).


Sumber: Dokumen Unit Pemeriksaan Investigatif BPK-RI

b. Pelepasan Aset

melakukan tukar guling atas


aset pemda dengan cara
melakukan
mark
down
terhadap nilai aset pemda dan
mark up terhadap nilai aset
pengganti dari perusahaan
rekanan.

Modus operandi yang dapat terjadi


dalam kategori ini meliputi:
1) Penjualan aset pemerintah
yang tidak didasarkan kepada
harga wajar atau harga pasar
serta pelaksanaan tukar guling
(ruislaag) yang merugikan
negara.
2) Pejabat
pengusaha
Direktorat Litbang

c. Pemanfaatan Aset

daerah
dan
bersepakat
Badan Pemeriksa Keuangan

Praktik yang biasa terjadi dalam


kategori ini adalah pihak ketiga
memanfaatkan kekayaan negara
berupa aset milik pemerintah yang
50

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

biasanya belum dimanfaatkan


secara penuh, salah beli, atau
salah urus, tetapi tidak melalui
transaksi jual beli. Transaksi yang
biasa dilakukan berupa sewa,
kerjasama
operasional,
atau
kemitraan strategis.

d. Penempatan Aset
Modus operandi yang biasa
dilakukan dalam kategori ini berupa
penanaman atau investasi yang
dilakukan oleh BUMN/BUMD atau
lembaga lainnya yang secara
sengaja
menempatkan
dana
tersebut pada investasi yang tidak
seimbang
risk-return-nya
(penempatan aset dengan risiko
yang relatif tinggi dibandingkan
dengan imbalannya). Ciri khas
praktik ini adalah tidak sejalannya
investasi dengan bisnis inti (core
business).

Potensi kerugian yang dapat terjadi


meliputi:
1) Negara tidak memperoleh
imbalan yang layak menurut
harga pasar.
2) Negara ikut menanggung
kerugian dalam kerjasama
operasional yang melibatkan
aset negara yang dikaryakan
kepada mitra usaha.

Investasi PT Pos di Batu Bara


Kejaksaan Agung akan menetapkan tersangka
baru dari PT Pos Indonesia terkait kasus
investasi di bidang batu bara. Negara diduga
mengalami kerugian sebesar Rp 40 miliar.
Menurut Jampidsus, praktik tersebut telah
menyalahi aturan karena bidang bisnis PT Pos
Indonesia yang adalah jasa pos, diubah
menjadi bidang batu bara. Praktik tersebut
diduga dilakukan di sejumlah daerah seperti
Ombilin, Lampung, dan Sumatera Selatan.

3) Negara kehilangan aset yang


dijadikan jaminan kepada
pihak ketiga, dalam rangka
kerjasama operasional atau
kerjasama lainnya.
Potensi kerugian akan menjadi
lebih besar ketika aset yang
dibangun oleh dana APBN/APBD
tidak dicatat sebagai aset baik di
neraca pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat.

Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Juli 2008

e. Kredit Macet

Tanah dan bangunan seluas 1.752 m


milik Departemen Agama dikuasai oleh
pihak ketiga dan diantaranya, tanah
seluas 1.352 m2, telah beralih hak
kepemilikannya
Neraca Departemen Agama Tahun 2007
melaporkan
Aset
Tetap
sebesar
Rp7.064.094.984.719,00.
Hasil
pemeriksaan secara uji petik ditemukan
adanya Aset Tetap berupa tanah dan
bangunan yang dikuasai dan digunakan
oleh pihak ketiga, yaitu pada Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) 2 Surakarta dan
Kantor Departemen Agama (Kandepag)
Kota Sukabumi.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Modus operandi yang biasa


dilakukan dalam kategori ini yaitu
memberikan
kredit
dengan
melanggar
rambu-rambu
perkreditan baik yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia maupun oleh
Bank BUMN itu sendiri, dimana
sejak awal dapat diperkirakan
bahwa kredit ini akan menjadi
macet. Bankir dan pejabat yang
terkait
akan
menggunakan
argumen bahwa kredit macet (non
performing loan - NPL) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari
51

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

risiko usaha perbankan dianggap


wajar.

mengadakan perikatan dengan


pihak ketiga yang menimbulkan
kewajiban. Jika dilihat dari luar,
transaksi ini tampak seperti
transaksi yang sah. Namun,
apabila dilihat dari dalam, ada
unsur
memperkaya
pejabat
tersebut dan/atau orang lain
dan/atau korporasi.

Pemberian kredit ini biasanya sarat


dengan benturan kepentingan
dimana terdapat kolusi antara
pejabat bank. Ketika masalah ini
masuk dalam ranah hukum
(penyelidikan dan penyidikan oleh
APH), penerima kredit biasanya
mencoba melunasi pokok pinjaman
(dengan atau tanpa negosiasi
haircut). Namun, penyelesaian
pokok pinjaman ini (pelunasan)
tidak dapat menyelesaikan tindak
pidana korupsi yang sudah terjadi.

Fraud yang terjadi adalah


penjarahan kekayaan negara
melalui transaksi fiktif yang
menyerupai transaksi normal
lainnya dengan kerugian negara
yang terjadi meliputi jumlah pokok
kewajiban dan bunga selama
periode sejak timbulnya kewajiban
nyata sampai saat pengembalian
dana tersebut oleh pelaku.

Red flags yang dapat diidentifikasi


dalam fraud terkait aset meliputi:
1) Tidak adanya pemisahan fungsi
otorisasi, fungsi pencatatan, dan
fungsi penyimpanan.
2) Tidak adanya perlindungan fisik
atas aset pemerintah.
3) Tidak adanya
menjalankan
independen.

b. Kewajiban yang Berasal dari


Kewajiban Bersyarat

fungsi yang
pengecekan

4) Tidak adanya fungsi otorisasi


dalam pelaksanaan anggaran yang
memadai.
5) Tidak adanya catatan-catatan dan
dokumen yang memadai.
4.

Fraud terkait Kewajiban (Pasiva)


Dalam kegiatan pengelolaan kewajiban
negara, indikasi fraud yang biasa
terjadi mencakup:
a. Perikatan yang
Kewajiban Nyata

Menimbulkan

Modus operandi yang dilakukan


dalam kategori ini berupa pejabat
negara atau BUMN/BUMD menjadi
penjamin unit usaha tertentu yang
mengadakan perjanjian dengan
pihak ketiga yang awalnya
merupakan kewajiban bersyarat
dimana laporan keuangan lembaga
tidak menunjukkan kewajiban
tersebut karena masih merupakan
kewajiban bersyarat. Ketika unit
usaha tersebut tidak mampu
memenuhi
kewajibannya,
menyebabkan kewajiban bersyarat
tersebut
berubah
menjadi
kewajiban nyata, maka lembaga
negara penjamin menanggung
kewajiban ini.

Modus operandi yang dilakukan


dalam kategori ini berupa pejabat
negara
atau
BUMN/BUMD
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

52

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

c. Kewajiban Tersembunyi
Modus operandi yang dilakukan
dalam kategori ini biasanya berupa
kasus aliran dana suatu lembaga
negara yang diduga membantu
mantan
pejabatnya
yang
mengalami masalah hukum (legal
expenses).
Legal
expenses
merupakan tempat persembunyian
segala macam biaya yang tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Ketika pemeriksa menemukan
penyimpangan
ini,
pimpinan
lembaga
biasa
melakukan
pembersihan dengan dua cara:
1) Lembaga negara menciptakan
aset untuk menghilangkan
pengeluaran fiktif,
2) aset fiktif ini dihilangkan
melalui
transaksi
yang
menimbulkan
kewajiban
kepada pihak yang masih
berafiliasi seperti Yayasan
Kesejahteraan
Karyawan,
Yayasan dana pensiun, atau
Yayasan Pendidikan.
Contoh: Kasus aliran dana YPPI
Bentuk-bentuk
lain
fraud
dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara dapat dilihat pada
lampiran IV.3.

D. Upaya Pengendalian Fraud oleh


Entitas
Selain melalui pemeriksaan, upaya
pencegahan dan pendeteksian fraud dapat
dilakukan melalui penguatan pengendalian
intern entitas.
Pengendalian intern yang memadai
diharapkan
dapat
mencegah
dan
Direktorat Litbang

mendeteksi fraud pada entitas tersebut.


Terkait dengan hal tersebut, BPKP telah
mengembangkan konsep Fraud Control
Plan (FCP). FCP merupakan upaya
pengendalian yang dirancang secara
spesifik untuk mencegah, menangkal, dan
memudahkan pengungkapan fraud pada
suatu entitas. FCP mencakup sepuluh
atribut:
1. kebijakan integrasian,
2. struktur pertanggungjawaban,
3. penilaian risiko fraud,
4. kepedulian karyawan,
5. kepedulian pelanggan/masyarakat,
6. perlindungan pelapor,
7. sistem pelaporan fraud,
8. pelaporan eksternal,
9. standar investigasi, dan
10. standar perilaku dan disiplin.
Konsep serupa juga dikembangkan oleh
Australian National Audit Office (ANAO).
ANAO
menekankan
pentingnya
pencegahan fraud di tingkatan individu dan
organisasi. Di tingkat individu, ANAO
menekankan
pentingnya
upaya
peningkatan kepedulian terhadap fraud
pada diri karyawan/pegawai, pelanggan,
dan pihak ketiga/rekanan yang dapat
dilakukan melalui pelatihan-pelatihan
sehingga standar kompetensi fraud untuk
masing-masing individu dapat terpenuhi.
Di tingkat organisasi, ANAO menekankan
bahwa untuk mencegah fraud secara
efektif, entitas seharusnya:
1. Mengembangkan serta menyosialisasikan kebijakan-kebijakan dan upaya
pendekatan
entitas
dalam
pengendalian fraud. Kebijakan tersebut

Badan Pemeriksa Keuangan

53

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

setidaknya mencakup apa yang


dimaksud dengan fraud, perhatian
entitas terhadap fraud, perlindungan
terhadap pendapatan dan informasi,
komitmen entitas untuk melakukan
investigasi dan memproses fraud,
daftar kewajiban pegawai terkait
pencegahan dan pelaporan fraud
termasuk
cara
pelaporannya,
perbantuan terhadap investigasi fraud,
keyakinan bahwa pembuktian dan
investigasi atas fraud akan ditangani
secara rahasia, serta keterangan
dimana informasi lebih lanjut bisa
diperoleh,
2. Melaksanakan penilaian risiko setiap
dua tahun atau pada saat terjadi
perubahan besar pada tubuh entitas.
Entitas seharusnya mengintegrasikan
penilaian risiko fraud ke dalam
penilaian risiko bisnis entitas secara
keseluruhan, terutama apabila terdapat
perubahan besar atau signifikan dalam
entitas, seperti penerapan teknik
akuntansi baru atau penggunaan
program keuangan baru. Selain itu,
hasil penilaian risiko fraud harus
dilaporkan pula kepada unit audit
internal entitas sehingga dapat menjadi
pertimbangan
dalam
upaya
pengendaliannya,
3. Mengembangkan
suatu
rencana
pengendalian fraud (fraud control plan)
yang didasarkan pada hasil penilaian
risiko termutakhir untuk meminimalisasi
dan mengontrol risiko yang telah
teridentifikasi sebelumnya,

ditetapkannya strategi pengendalian


fraud kedalam suatu panduan
pengendalian fraud,
5. Mengembangkan
keyakinan mutu,

mekanisme

6. Melaksanakan penyebaran informasi,


monitoring, dan pelaporan,
7. Mencegah fraud melalui penyusunan
budaya kerja dan kode etik,
penyediaan informasi bagi pegawai
dan para pelanggan tentang fraud yang
telah dideteksi, tindakan yang telah
diambil, serta konsekuensi yang akan
terjadi apabila pegawai atau pelanggan
melakukan fraud,
8. Meningkatkan kesadaran para pegawai
tentang serta melakukan pelatihanpelatihan terkait fraud, dan
9. Melakukan deteksi, investigasi, dan
merespon fraud. Pendeteksian fraud
oleh entitas dapat dilakukan melalui
reviu atau internal audit atau pada saat
pegawai
menemukan
adanya
perubahan perilaku pada pegawai
lainnya. Investigasi fraud dilakukan
oleh pihak yang berkompeten untuk
dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Tabel 4 berikut merupakan contoh fraud
control plan yang telah diimplementasikan
oleh ANAO.

4. Mengimplementasikan proses dan


prosedur untuk mencapai tujuan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

54

Bab IV

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Tabel 4 Elemen dalam Rencana Pengendalian Fraud (Fraud Control Plan)


Elemen

Keterangan

Garis besar struktur entitas

Cantumkan referensi ke dalam struktur pengendalian fraud dalam fraud control plan

Pernyataan sikap dan pendekatan


entitas terhadap fraud

Pernyataan seperti yang tercantum dalam Kebijakan Fraud dapat dimanfaatkan


kembali. Akan lebih baik apabila kepala entitas yang bersangkutan berkenan untuk
menendatangani pernyataan karena hal tersebut menunjukkan keseriusan dalam
penanganan isu-isu terkait fraud.

Adanya akses terhadap penilaian


risiko yang termutakhir/terbaru

Tandai risiko-risiko utama untuk mendorong pemahaman terhadap permasalahanpermasalahan terkait fraud, misalnya: risiko yang ditimbulkan akibat meningkatnya
penggunaan internet dalam memberikan layanan kepada pelanggan.

Ringkasan identifikasi risiko

Hal ini juga mendorong kesadaran akan risiko yang dihadapi karyawan.

Dokumentasi semua hal yang


berisiko tinggi yang teridentifikasi
pada entitas

Menyediakan setidaknya informasi umum tentang bagaimana perlakuan terhadap


hal-hal yang berisiko tinggi (menyediakan informasi secara terinci sama dengan
menyediakan informasi sensitive bagi para pelaku fraud). Jaringan harus dibuat
pada perencanaan entitas.

Dokumentasi risiko internal dan


eksternal entitas

Karyawan perlu menyadari bahwa pihak internal maupun eksternal dapat melakukan
fraud.

Merancang
strategi
dan/atau
pengendalian untuk memperbaiki
semua kelemahan dalam penilaian
risiko

Perlu pemisahan antara rencana aksi untuk menyiapkan strategi dan pengendalian
terinci dan untuk membatasi penyebaran informasi yang penting.

Masukkan rencana kerja dalam


semua strategi yang telah ditetapkan

Rencana kerja dapat meliputi jangka waktu yang realistis dan memungkinkan
monitoring implementasi strategi dan control yang telah disusun sebelumnya.

Tanggung jawab pengembangan,


implementasi, dan reviu harus
dialokasikan dalam jabatan tertentu

Tanggung jawab tersebut dapat dimasukkan dalam rencana aksi. Tanpa adanya
strategi implementasi dan reviu, rencana pengendalian fraud tidak akan bermanfaat
dan mungkin tidak akan relevan. Informasi tersebut dapat membantu memastikan
kepatuhan. Tanggung jawab tersebut juga harus ditekankan dalam kesepakatan
kinerja individu.

Sertakan tanggung jawab yang


menyatakan bahwa karyawan telah
memiliki fraud control dalam
pekerjaan mereka

Entitas harus mengambil semua kesempatan untuk menyoroti tanggung jawab yang
menyatakan bahwa semua karyawan harus memiliki pengendalian tentang fraud.

Menetapkan indikator kinerja dan


target

Tanpa informasi kinerja sesuai strategi yang sedang diterapkan, tanggung jawab
yang harus dipenuhi tidak akan jelas

Sertakan ringkasan yang mencakup


peningkatan
kesadaran
dan
pelatihan strategi

Harus mencakup peningkatan kesadaran untuk pelanggan, kontraktor, dan


konsultan.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

55

Bab V

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

BAB V
TINDAK LANJUT
Pemeriksa perlu menyadari adanya red flags,
memahami kelebihan dan kelemahannya, dan
dapat
menentukan
bagaimana
untuk
menindaklanjutinya. Pemeriksa juga perlu
memahami bahwa red flags tidak selalu
mengindikasikan adanya fraud. Ketika red flags
teridentifikasi, fraud belum tentu terjadi. Oleh
karena itu, pemeriksa harus hati-hati dan
mampu
untuk
menerapkan
penilaian
profesionalnya dalam membuat kesimpulan
bahwa fraud terjadi.
Setelah pemeriksa berhasil mengenali red flags
dalam pelaksanaan pemeriksaan, maka
pemeriksa dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut.

A. Pengujian Lebih Lanjut


Respon pemeriksa terhadap red flags yang
teridentifikasi harus mencakup penerapan
skeptisme
profesional
dalam
pengevaluasian bukti permulaan yang
diperoleh selama pemeriksaan. Hal ini
dapat menyediakan dasar bagi pengujian
lebih lanjut yang dibutuhkan untuk
mengidentifikasi dan memperoleh bukti
lanjutan untuk mendukung kesimpulan
pemeriksa terkait fraud. Pada tahap ini,
pemeriksa
harus
mampu
untuk
menentukan apakah indikasi fraud yang
telah ditemukan memiliki kemungkinan
untuk berulang kembali (likely reoccur),
dengan mempertimbangkan bukti yang
telah diperoleh.
Dalam perencanaan penentuan kedalaman
dan keluasan tingkat pengujian lebih lanjut,
pemeriksa harus mempertimbangkan dan
menilai efektivitas fraud control plan yang
Direktorat Litbang

telah dirancang dan diimplementasikan


oleh entitas. Oleh karena itu, pemeriksa
dapat menilai keberadaan dan efektivitas
pengendalian intern yang telah dilakukan
entitas - apakah entitas telah memiliki dan
menyelenggarakan pengendalian intern
yang memadai atas fraud atau belum sebelum menentukan langkah pengujian
lebih lanjut.
Pengujian lebih lanjut dapat dilakukan
dengan penambahan prosedur dalam
penugasan yang sama atau dengan
penugasan
lain,
yaitu
penugasan
pemeriksaan investigatif.

B. Pendokumentasian Red Flags


Dokumentasi adalah aspek kritis yang
seringkali kurang diperhatikan oleh
pemeriksa. Pada dasarnya, pemeriksa
harus mendokumentasikan prosedur yang
pemeriksaan yang dilakukan dan hasil
yang diperoleh untuk mendukung
kesimpulan
pemeriksaan,
termasuk
sebagai referensi pemeriksaan lebih lanjut.
Lebih
spesifik,
pemeriksa
mendokumentasikan:

harus

Diskusi internal tim pemeriksa ketika


membahas
kerentanan
entitas
terhadap risiko terjadinya fraud,
meliputi kapan dan bagaimana
pelaksanaan diskusi, siapa saja
anggota tim yang ikut berpartisipasi,
dan materi apa yang didiskusikan.
Kondisi dan hubungan analitis lainnya
yang menyebabkan pemeriksa yakin
bahwa
perluasan
prosedur
pemeriksaan yang telah dijalankan oleh
pemeriksa dipandang cukup untuk
menilai risiko terjadinya fraud.

Badan Pemeriksa Keuangan

56

Bab V

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

Pengkomunikasian red flags secara


berjenjang dalam tim pemeriksaan.

C. Pengkomunikasian Red Flags


Setelah pemeriksa memperoleh bukti dan
indikasi adanya red flags, pemeriksa
berkewajiban untuk mengkomunikasikan
red flags secara berjenjang sampai kepada
Penanggung Jawab. Pemeriksa harus
menyadari bahwa adanya red flags tidak
selalu mengindikasikan fraud. Perlu
dilakukan perluasan prosedur pemeriksaan
utk menguji apakah red flags tersebut
dapat diyakini sebagai suatu fraud. Untuk
itu, dapat dibangun suatu bentuk
komunikasi
dengan
tenaga
ahli/spesialis/narasumber yang memiliki
kompetensi di bidang/area yang diperiksa.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

57

Glosarium

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

GLOSARIUM
A
ACFE

Association of Certified Fraud Examiners, asosiasi penyedia jasa


pendidikan dan pelatihan anti-fraud, yang mempunyai misi untuk
mengurangi kejahatan kerah putih dan fraud, serta membantu
anggotanya untuk mencegah dan mendeteksi fraud

Aksioma

Suatu pernyataan yang diterima sebagai kebenaran dan bersifat


umum, tanpa memerlukan pembuktian

Anomali analisis

Keterkaitan atau saling hubungan, catatan-catatan, atau


tindakan-tindakan yang sangat tidak lazim atau tidak realistis
tingkat keandalannya

Asset misappropriations

Penyalahgunaan aset (secara tidak sah atau melawan hukum)


yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk
mengelola atau mengawasi aset tersebut

Auditor eksternal

Profesional audit yang melaksanakan penugasan audit terhadap


laporan keuangan suatu perusahaan, pemerintah, individual, atau
organisasi legal lainnya, yang mana profesional audit ini
independen terhadap entitas yang diaudit

Audit trail

Pencatatan audit dalam bentuk kronologis secara berurutan,


dimana masing-masing pencatatan tersebut mengandung bukti
yang berkaitan langsung dan merupakan hasil dari pelaksanaan
suatu proses bisnis atau fungsi dari suatu sistem
E

Error

Salah saji atau penghilangan yang tidak disengaja baik jumlah


maupun pengungkapannya dalam laporan keuangan
F

Fraud

Perbuatan curang yang dilakukan dengan berbagai cara secara


licik dan bersifat menipu serta sering tidak disadari oleh korban
yang dirugikan

Fraud awareness

Kemampuan untuk mendeteksi, merasakan, memahami dan


mengidentifikasi adanya fraud dalam pelaksanaan pemeriksaan

Fraudster

Pelaku fraud

Fraudulent statements

Kecurangan pelaporan keuangan yang mencakup kesengajaan


salah saji termasuk penghilangan/penghapusan nilai atau
pengungkapan tertentu dalam laporan keuangan untuk menipu
pengguna laporan keuangan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Glosarium

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

I
Indeks Persepsi Korupsi

Indeks yang menunjukkan peringkat suatu negara dan skor,


jumlah survei yang digunakan untuk menentukan skor, dan
keyakinan kisaran penilaian yang terkait dengan integritas suatu
negara dalam pemberantasan korupsi
J

Judicial review

hak uji materil yang merupakan kewenangan lembaga peradilan


untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum
yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif di
hadapan konstitusi yang berlaku
K

Kerugian negara/daerah

Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang disebabkan oleh


suatu tindakan yang melanggar hukum/kelalaian seseorang
O

Opini

Pendapat yang dikeluarkan pemeriksa terhadap laporan


keuangan entitas yang diperiksa
P

P2

Langkah pemeriksaan di lapangan yang harus dilaksanakan oleh


tim pemeriksa

Penyimpangan

Perbuatan melawan hukum

Pernyataan Standard Auditing

Panduan bagi auditor eksternal sesuai dengan prinsip akuntansi


yang berterima umum dalam melaksanakan penugasan audit
terhadap entitas non publik serta penerbitan laporan
pemeriksaan
R

Red flag

Suatu anomali yang mengarah pada gejala atau indikasi yang


diketahui terkait atau berhubungan dengan fraud dan korupsi
S

Standar Pemeriksaan Keuangan


Negara

Standar pemeriksaan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan


pemeriksaan keuangan negara

Substantive test

Prosedur audit yang didesain untuk menguji kesalahan moneter


yang secara langsung berpengaruh terhadap kebenaran dari
saldo yang tertera dalam laporan keuangan
T

Test of control

Direktorat Litbang

Prosedur audit yang didesain untuk menguji efektivitas


penerapan pengendalian dalam mengatasi ataupun mengurangi

Badan Pemeriksa Keuangan

vi

Glosarium

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

risiko pengendalian yang telah ditetapkan


TPK

Tindak pidana yang mengandung unsur melawan hukum untuk


memperkaya diri sendiri atau orang lain
W

Wanprestasi

Cidera janji

Whistleblower

Pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi yang


melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan
ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam
kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang
memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada
publik atau instansi yang berwenang

Window dressing

Upaya menyajikan gambaran keuangan yang lebih baik daripada


yang dapat dibenarkan menurut fakta dan akuntansi yang lazim
Y

Yurisprudensi

Direktorat Litbang

Putusan hakim yang berulang yang dari semula belum ada dasar
hukumnya (belum ada undang-undang yang mengaturnya)

Badan Pemeriksa Keuangan

vii

Daftar Singkatan dan Akronim

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM


ABT

Anggaran Belanja Tambahan

ACFE

Association of Certified Fraud Examiners

ACL

Audit Command Languange

AHU

Administrasi Hukum dan Umum

AICPA

American Institute of Certified Public Accountant

ANAO

Australian National Audit Office

APBD

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APBN-P

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan

APH

Aparat Penegak Hukum

ASA

Australian Standard of Auditing

ASOSAI

Asian Organization of Supreme Audit Institutions

BA

Berita Acara

BAPEPAM

Badan Pengawas Pasar Modal

BBM

Bahan Bakar Minyak

BD

Bobot Daerah

Binbangkum

Pembinaan dan Pengembangan Hukum

BPD

Bank Pemerintah Daerah

BPK

Badan Pemeriksa Keuangan

BPKP

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

BUMD

Badan Usaha Milik Daerah

BUMN

Badan Usaha Milik Negara

CAATs

Computer-Assisted Audit techniques

CCO

Contract Change Order

CFE

Certified Fraud Examiners

DAK

Dana Alokasi Khusus

DAU

Dana Alokasi Umum

DBH

Dana Bagi Hasil

Ditama

Direktorat Utama

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

viii

Daftar Singkatan dan Akronim

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DJPK

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

DKB

Daftar Kayu Bulat

DKI

Daerah Khusus Ibukota

DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DR

Dana Reboisasi

DRT

Daftar Rekanan Tetap

FCP

Fraud Control Plan

GAO

Government Accountability Office

GAS

Government Auditing Standard

HPH

Hak Pengusaha Hutan

HPS

Harga Perkiraan Sendiri

ICW

Indonesia Corruption Watch

IKK

Indeks Kemahalan Konstruksi

Inpres

Instruksi Presiden

IPK

Indeks Persepsi Korupsi

IPK

Izin Penebangan Kayu

ISSAI

International Standard of Supreme Audit Institutions

JBT

Jatah BBM Tertentu

KKN

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi

KTP

Kartu Tanda Penduduk

LHP

Laporan Hasil Pemeriksaan

P2

Program Pemeriksaan

PBB

Pajak Bumi dan Bangunan

PEMDA

Pemerintah Daerah

PMH

Perbuatan Melawan Hukum

PNBP

Penerimaan Negara Bukan Pajak

PNS

Pegawai Negeri Sipil

PP

Peraturan Pemerintah

PSA

Pernyataan Standar Auditing

PSDH

Provisi Sumber Daya Hutan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

ix

Daftar Singkatan dan Akronim

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

PT

Perseroan Terbatas

SAI

Supreme Audit Institutions

SAKB

Surat Angkut Kayu Bulat

SAS

Statement of Auditing Standard

SDM

Sumber Daya Manusia

Setwilda

Sekretariat Wilayah Daerah

SIM

Surat Izin Mengemudi

SKN

Sisa Kemampuan Nyata

SPAP

Standar Profesional Akuntan Publik

SPI

Sistem Pengendalian Internal

SPIP

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

SPj

Surat Pertanggungjawaban

SPK

Surat Perintah Kerja

SPKN

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

SPKN

Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional

SPM

Surat Perintah Membayar

TA

Tahun Anggaran

TII

Transparency International Indonesia

TPK

Tindak Pidana Korupsi

UU

Undang-Undang

UUDP

Uang-Uang untuk Dipertanggungjawabkan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Daftar Pustaka

Seri Panduan Pemeriksaan Mengenal Fraud dan Gejalanya

DAFTAR PUSTAKA
Amrizal,

Pencegahan
dan
Pendeteksian
Kecurangan
oleh
Internal
http://www.bpkp.go.id/unit/investigasi/cegah_deteksi.pdf, diunduh 10 Desember 2009

Auditor,

Australian National Audit Office, Fraud Control in Australian Government Agencies, Australia, 2004,
http://www.anao.gov.au, diunduh 27 Desember 2010
Arif Hidayat, dkk, Panduan Pengawasan Keuangan Daerah: Wawasan dan Instrumen Monitoring
Keuangan Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2005
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara: Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No.01 Tahun 2007
Biro Hukum Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Kompilasi Hasil Telaahan dan Reviu Tim
Konsulen Hukum Pusat Atas Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester I 2007
BMI Training & Consulting, modul Fraud Auditing: Prevention, Detection, & Investigation, Jakarta
Davia, Howard R.; Coggins, Patrick; Wideman, John, and Kastantin, Accountant's Guide to Fraud
Detection and Control, 2nd Edition. John Wiley & Sons, New Jersey, 2000
Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Fraud Control Plan: Tidak
Sekedar Teori Tetapi Sebuah Solusi Menekan Korupsi, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Jakarta, 2007
Dewi Damayanti, dkk, Memerangi Korupsi Untuk Membasmi: Studi Kasus Penanganan Korupsi
Pemerintah Daerah, Justice For The Poor Project - Bank Dunia, Mei 2007,
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_
dprd.pdf, diunduh 2 September 2009
Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir
Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum,hal 24, Jakarta, 1997
Donald

R. Cressey, Fraud Consultant.Inc, Why Do Employees Commit


http://www.fraudconsultantsinc.com/thefraudtriangle.html, diunduh 5 September 2009

Fraud,

Eddy Mulyadi Soepardi, Pidato Pengukuhan Guru Besar: Pendekatan Komprehensif Dalam Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Universitas Pakuan, Bogor 2005
Edwin M.Lemert, Primary And Secondary Deviation, http://www.d.umn.edu~jhamlin1/lemert.html,
diunduh 5 September 2009
Febri Diansyah ,dkk, Independent Report: Corruption Assessment and Compliance United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian Law, Indonesian Corrution Watch,
Jakarta 2008, http://www.antikorupsi.org/docs/independentreport2ndcospuncac-id.pdf, diunduh
2 September 2009
Handrias
Haryotomo,
Ada
yang
Lain
Selain
Korupsi,
http://www.jdih.bpk.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=304&Itemid=76,
diunduh 5 Desember 2009
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

xi

Daftar Pustaka

Seri Panduan Pemeriksaan Mengenal Fraud dan Gejalanya

Hotma Napitupulu, Beberapa Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah, http://www.lodaya.web.id/?p=15042, diunduh 5 Oktober 2009
Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Professional Akuntan Publik, SA Seksi 312: Risiko Audit dan
Materialitas Dalam Pelaksanaan Audit, Penerbit Salemba, Jakarta 2007
Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Professional Akuntan Publik, SA Seksi 316: Pertimbangan Atas
Kecurangan Dalam Audit Laporan Keuangan, Penerbit Salemba, Jakarta 2007
Indonesia Corruption Watch, Corruption Outlook 2008, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2009,
http://www.antikorupsi.org/docs/corruptionoutlook2008.pdf, diunduh 3 September 2009
James W. Van Der Zanden, Perilaku Menyimpang Pembobolan ATM, Kamis 17 Juni 2010,
http://raf1816phyboy.blogspot.com, diunduh 20 Juni 2010
Laporan Akhir Tahun 2002 Riset Korupsi Kemitraan: Suatu Studi Diagnostik Mengenai Korupsi Di
Indonesia, Kemitraan Bagi Pembarua Tata Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta, 2002
http://www.antikorupsi.org/docs/risetkorupsikemitraan.pdf, diunduh 1 September 2009
Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Watch, Hukum dan Peradilan di Indonesia Masih
Berpihak Kepada
Koruptor,
Indonesia
Corruption
Waych,
Jakarta
2005,
http://www.antikorupsi.org/docs/lathukum2004.pdf, diunduh 1 September 2009
Lembaga Pengembangan Fraud Auditing, Modul Workshop: Bentuk-Bentuk Kecurangan Dalam
Pengadaan Barang/Jasa, LPFA, Jakarta 2007
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia hal 35, Gajah Mada University, Cet
ke-10, Maret 2008
Rici Ricarfi Kurnia, Pola-Pola Kecurangan di Sektor Publik yang Bisa Diungkap Melalui Hasil
Pemeriksaan BPK-RI Pewakilan V di Denpasar Tahun 2005-2006, Tesis, Program Magister
Sains Konsentrasi Akuntansi Terapan, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, November 2007
Robert M. Z. Lawang, Perilaku Menyimpang Pembobolan ATM, Kamis 17 Juni 2010,
http://raf1816phyboy.blogspot.com, diunduh 20 Juni 2010
Siaran Pers: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia,
Transparency
International
Indonesia,
Jakarta
2009,
http://www.ti.or.id/press/91/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3817/, diunduh 1 September
2009
Sie

Hukum-Ditama Binbangkum BPK-RI, Fraud (Kecurangan): Apa dan Mengapa,


http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Fraud(kecurangan).pdf, diunduh 5 September 2009

The Auditing and Assurance Standard Board, Australian Government, Auditing Standard ASA 240: The
Auditors Responsibility to Consider Fraud in Audit of a Financial Report, , Commonwealth of
Australia, 2006, http://www.auasb.gov.au/admin/file/content102/c3/ASA_240_28-04-06.pdf,
diunduh 5 Oktober 2009
The Comptroller General of the United States, Government Auditing Standards (Yellow Book), July
2007 Revision, United States Government Accountability Office, United States, 2007
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

xii

Daftar Pustaka

Seri Panduan Pemeriksaan Mengenal Fraud dan Gejalanya

Theodorus M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit-Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
The International Organization of Supreme Audit Institutions, The International Standard of Supreme
Audit Institutions ISSAI 1240: Financial Audit Guideline The Auditors Responsibilities
Relating to Fraud in an Audit of Financial Statement, Exposure Draft of INTOSAI Practice Note,
pages 3-18, , INTOSAI, 2009
Tim Pengkajian SPKN-BPKP, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan
BUMN/BUMD dan Perbankan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta,
2002
Tim Pengkajian SPKN-BPKP, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan
APBN/APBD, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2002
Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik, Pengantar Audit
Kecurangan, Sekolah Tinggi Administrasi Negara, Jakarta, 2007
Tri Ramayana Koroy, Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal.
Jurnal
Akuntansi
dan
Keuangan, Vol
10,
No
1
(2008).
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/aku/article/viewArticle/17000, diunduh 10 Oktober
2009
Unit Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Laporan Kajian dan
Identifikasi Penyimpangan Atas Penggunaan Dana APBN-Perubahan, Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia, Jakarta 2009

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

xiii

Tim Penyusun

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

TIM PENYUSUN
Daeng M Nazier
Hendar Ristriawan
Gatot Supiartono
Hery Subowo
Astilda Sinabutar
Agung Dodit Muliawan
Lukman Hakim
Iman Santoso
Silpana Suryani
Sumarsana
Randy Rizki
Herlina Dasuki
Oktarika Ayoe Sandha
Iis Istianah
Chandra Puspita
Yulia Titianingrum
Hendra Sirait

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

xiv

Lampiran III.1

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

DEFINISI FRAUD
1. Menurut Black Law Dictionary, fraud adalah :
A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce
another to act to his or her detriment; is usual a tort, but in some cases (esp. when the
conduct is willful) it may be a crime,
b. A misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce another person
to act,
c. A tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless
misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.
a.

a. Kesalahan penyajian atau penyembunyian fakta material yang disengaja untuk membujuk
orang lain melakukan perbuatan atau tindakan yang akan merugikannya, biasanya merupakan
kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya jika dilakukan secara disengaja)
memungkinkan merupakan suatu kejahatan;
b. Kesalahan penyajian yang terjadi karena kecerobohan dalam pertimbangan yang dapat
mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat;
c. Kerugian yang timbul akibat kesalahan penyajian yang disengaja, penyembunyian fakta
material, atau penyajian yang ceroboh yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain untuk
berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan kerugian baginya.
2. Bologna & Lindquist (1995) mendefinisikan fraud sebagai Criminally deception intended to
financially benefit the deceiver (penipuan secara kriminal guna mendapatkan keuntungan dari sisi
finansial).
3. Menurut Statement on Auditing Standard (SAS) 99, fraud adalah tindakan yang dilakukan dengan
sengaja yang mengakibatkan salah saji material dalam laporan keuangan.
4. Menurut Australian Standard of Auditing (ASA) 240, fraud adalah tindakan sengaja yang dilakukan
oleh satu orang atau lebih, baik dalam posisi manajemen, pihak yang diberikan kekuasaan,
pegawai, ataupun pihak ketiga dengan melakukan suatu penipuan untuk memperoleh keuntungan
yang tidak sah. Dalam hal ini, walaupun fraud adalah suatu konsep yang sifatnya sangat luas,
tetapi pemeriksa berfokus pada fraud yang menyebabkan salah saji material dalam laporan
keuangan.
5. Suradi (2006) mendefinisikan fraud sebagai segala cara yang dapat dilakukan orang untuk
berbohong, menjiplak, mencuri, memeras, memanipulasi, kolusi, dan menipu orang lain dengan
tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang/kelompok lain dengan cara melawan hukum.
6. Menurut Bologna yang dikutip oleh Amin Widjaya (2001) fraud dalam arti hukum adalah
penggambaran kenyataan materi yang salah yang disengaja untuk tujuan membohongi orang lain
sehingga orang lain mengalami kerugian ekonomi. Hukum dapat memberi sanksi sipil dan kriminal
untuk perilaku tersebut. Sanksi kriminal dapat melibatkan penilaian denda atau dipenjara. Sanksi
sipil dapat termasuk penggantian kerusakan untuk kerugian yang dialaminya. Fraud dalam hukum
kriminal dapat disebut dengan berbagai nama, misalnya penipuan, kebohongan, pencurian dengan
akal, kupon palsu, masukan yang salah, menipu dan lain sebagainya.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran III.1

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud dan Gejalanya

7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti yang dikutip oleh Theodorus M. Tuanakotta
menyebutkan pasal-pasal yang mencakup pengertian fraud diantaranya:
a. Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP:mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum).
b. Pasal 368: Penggelapan (definisi KUHP:dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan
piutang).
c. Pasal 372: Penggelapan: (definisi KUHP:dengan sengaja dan melawan hukum memiliki
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan).
d. Pasal 378: Perbuatan curang: (definisi KUHP:dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan
piutang).
e. Pasal 396: Merugikan pemberi utang dalam keadaan pailit.
f.

Pasal 406: Menghancurkan atau merusakkan barang: (definisi KUHP:dengan sengaja atau
melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain).

g. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran III.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

MODUS KORUPSI
Modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Berikut ini beberapa modus korupsi
yang dijabarkan berdasarkan kegiatannya yang kerap terjadi di Indonesia (sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh The Habibie Center pada 2005), meliputi:
1. Pengadaan barang dan jasa.
a. Penggelembungan nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah).
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya, termasuk pemungutan biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan dana bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
yang biasa dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif, mencakup pembuatan surat permohonan fiktif yang seolah-olah menunjukkan
adanya bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
6. Penyelewengan dana proyek.
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain.
7. Proyek fisik fiktif dengan mekanisme dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik
proyek tersebut nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil.
9. Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, asrama).
a. Mark up nilai proyek.
b. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor.
10. Daftar gaji atau honor fiktif.
11. Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
a. Pemotongan dana pemeliharaan.
b. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
12. Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres) dimana pemotongan langsung atau tidak langsung
dilakukan oleh pegawai atau pejabat berwenang.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran III.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

13. Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif dimana tidak ada proyek atau
intensitas yang terjadi. Misal, kegiatan dua hari dilaporkan empat hari.
14. Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunan, dimana pegawai atau pejabat pemerintah yang
berwenang tidak memberikan harga ganti rugi secara wajar atau sesuai dengan yang disediakan.
15. Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasi.
16. Pembayaran fiktif uang lauk pauk pegawai negeri sipil, prajurit, tahanan dan lain-lain.
a. Alokasi fiktif uang lauk pauk PNS, prajurit, tahanan dalam catatan resmi seperti APBD.
b. Menggunakan kuitansi fiktif.
17. Pungutan liar dalam proses perizinan (IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, izin tinggal, izin TKI,
izin frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, Rumah Sakit, klinik, Delivery Order, pembelian
sembilan bahan pokok agen dan distributor.
a. Biaya tak resmi bagi anggota masyarakat yang mengurus perizinan.
b. Biaya pengurusan izin.
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus izin.
18. Pungli kependudukan dan imigrasi.
a. Biaya tidak resmi bagi anggota masyarakat yang mengurus perizinan.
b. Mark up biaya pengurusan izin.
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus izin.
19. Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi Rakyat.
20. Korupsi waktu kerja.
a. Meninggalkan pekerjaan.
b. Melayani calo yang memberi uang tambahan.
c. Menunda pelayanan umum.
Di bawah ini hanyalah sekedar contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan di tengah masyarakat
(bahkan mungkin secara sadar atau tanpa sadar kita juga telah menjadi salah satu pelaku atau bagian
yang membuat korupsi itu bisa terjadi) yang diungkapkan oleh Masyarakat Transparansi Indonesia
(2006):
1. Pemerasan Pajak
Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang
mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa terjadi karena
kesengajaan wajib pajak dan bisa juga karena ketidaksengajaan. Kekurangan tersebut dianggap
tidak ada dan imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk
ke kantong pemeriksa pajak.
2. Manipulasi Tanah
Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan tanah, termasuk memanipulasi
tanah negara menjadi milik perorangan/badan, merendahkan harga pembebasan tanah dan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran III.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

meninggikan biaya pertanggungjawaban, atau membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena
proyek dengan harga murah.
3. Jalur Cepat Pembuatan KTP
Dalam Pembuatan KTP dikenal jalur biasa dan jalur cepat. Jalur biasa adalah jalur prosedural
biasa yang mungkin memakan waktu yang lebih lama, tetapi biayanya lebih murah. Sedangkan
'jalur cepat' adalah proses pembuatan KTP dalam waktu lebih cepat dengan harga lebih mahal.
4. SIM Jalur Cepat
Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian/tes tertulis dan praktik yang
dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir, akan mempersulit pembuatan SIM. Untuk
mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biaya
tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang terlibat
dalam praktik ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani
kepengurusan SIM.
5. Mark up Budget/Anggaran
Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek melalui
penganggaran pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya, dalam anggaran dimasukkan
pembelian komputer, tetapi pada praktiknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau pun
komputer dibeli, harganya lebih murah.
6. Proses Tender
Dalam proses tender pengerjaan tender seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan
seringkali terjadi penyelewengan. Pihak yang sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang
tidak dapat memenangkan tender karena tender tersebut telah dimenangkan oleh pihak yang
mampu 'main belakang' dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam
hal ini, telah terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang sebenarnya tidak
qualified.
7. Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara
Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak)
pasal-pasal yang ada untuk meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada
penegak hukum dapat dikategorikan sebagai korupsi. Praktik ini melibatkan terdakwa/tersangka,
penegak hukum (hakim/jaksa) dan pengacara.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.1

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

PENYIMPANGAN PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN


KEUANGAN DAERAH KABUPATEN ACEH TENGGARA
1. Temuan BPK
Temuan BPK Perwakilan NAD berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap LKPD Kabupaten Agara
tahun anggaran 2004 dan 2006 menyatakan bahwa:
a. Pada tahun anggaran 2004 terdapat pertanggungjawaban atas realisasi pengeluaran Belanja
Bantuan Keuangan sebesar Rp1.627.950.000,00 yang hanya didukung kuitansi tanpa buktibukti pendukung lainnya.
b. Pada tahun anggaran 2006 terdapat penerbitan SPM Sebesar Rp15.071.314.250,00 yang
mendahului pengesahan APBD TA 2006, diantaranya untuk Belanja Bantuan Keuangan
sebesar Rp3.779.441.000,00.
2. Modus Operandi
a. Modus operandi yang digunakan oleh Bupati dapat dikategorikan sebagai kegiatan fiktif
(kerugian keuangan negara yang berkenaan dengan pengeluaran). Dalam kasus ini,
pengeluaran yang terjadi sebenarnya tidaklah fiktif (belanja riil atau kas terpakai), namun
yang fiktif adalah kegiatannya, sehingga anggaran yang telah dibebankan dan uang kas
yang telah dikeluarkan dipertanggungjawabkan terhadap kegiatan yang sama sekali tidak
pernah dilaksanakan.
b. Modus lain terkait penyimpangan yang dilakukan oleh Bupati adalah pengeluaran yang
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku
lagi (juga termasuk ke dalam kerugian keuangan negara berkenaan dengan pengeluaran),
yaitu pencairan anggaran berupa bantuan untuk instansi vertikal yang dilandasi peraturan
yang sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Nomor 903/172/SJ tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005.
3. Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif
a. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan

Permintaan dan pengujian dokumen berupa proposal bantuan fiktif yang dilakukan
dengan cara konfirmasi kepada pihak-pihak yang namanya tertera sebagai pihak yang
mengajukan proposal dan menerima bantuan.

Perolehan bukti elektronik atas pembuatan proposal fiktif yang dilakukan oleh staf
Bupati Agara berupa softcopy proposal bantuan yang dilakukan melalui program
recovery terhadap komputer staf Bupati Agara.

Permintaan keterangan secara berjenjang mulai dari staf sampai Bupati Agara (dibuat
BAPK).

b. Simpulan Pemeriksaan Investigatif


Setelah dilakukan pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi berwenang, maka
diperoleh simpulan bahwa kasus penyimpangan dalam pengelolaan dan

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.1

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

pertanggungjawaban keuangan daerah Kabupaten ABC telah memenuhi unsur-unsur tindak


pidana korupsi, yaitu:

Setiap orang, yaitu Bupati Agara, selaku pihak yang membuat otorisasi untuk
pengeluaran kas bon sekaligus pihak penerima kas bon;

Secara melawan hukum, yaitu terdapat penyimpangan dalam pengelolaan dan


pertanggungjawaban keuangan daerah sekurang-kurangnya Rp13.699.175.000,00,
berupa SPJ fiktif Rp10.232.400.000,00 dan pengeluaran tidak sesuai ketentuan
Rp3.466.775.000,00;

Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, yaitu mentransfer uang kas daerah ke
rekening pribadi sebesar Rp1.400.000.000,00 dan penarikan uang kas daerah melalui
bendahara umum daerah sebesar Rp8.832.400.000,00;

Melakukan perbuatan memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu memberikan
bantuan keuangan kepada perorangan sebesar Rp2.418.305.000,00 dan instansi
vertikal sebesar Rp1.048.470.000,00 yang tidak sesuai dengan ketentuan;

Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan


keuangan daerah sekurang-kurang nya Rp13.699.175.000,00.

4. Pelaksanaan Penghitungan Kerugian Negara


a. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan
Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan pada bukti-bukti yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan investigatif serta perolehan bukti tambahan yang dilakukan
oleh instansi yang berwenang dengan mempergunakan kewenangan yang mereka miliki.
b. Simpulan Penghitungan Kerugian Negara
Total nilai kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait adalah sebesar
Rp26.293.332.500,00 yang meliputi:

Penggunaan kas bon periode 2004-2006 untuk pihak-pihak tertentu yang tidak berhak
sebesar Rp18.864.700.000,00 dan dipertanggungjawabkan secara fiktif.

Penggunaan kas bon untuk membiayai kegiatan yang tidak dianggarkan berupa
pemberian bantuan perorangan periode 2004Agustus 2006 sebesar
Rp2.031.211.000,00.

Penggunaan kas bon untuk membiayai kegiatan yang tidak diperkenankan oleh
ketentuan yg berlaku berupa pemberian bantuan kepada instansi vertikal thn 2005
sebesar Rp4.874.921.500,00.

Penggunaan kas bon untuk membiayai kegiatan yang tidak diperkenankan oleh
ketentuan yg berlaku yg tidak dianggarkan dalam APBD berupa pemberian bantuan
kepada instansi vertikal thn 2006 sebesar Rp522.500.000,00.

5. Informasi Umum
Faktor-faktor ataupun kondisi yang mendorong Bupati melakukan penyimpangan atas pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan daerah kabupaten Agara, yaitu:

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.1

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

a. Tekanan
Sesuai dengan keterangan dari Bupati yang juga dikuatkan dengan kesaksiannya di
pengadilan, Bupati mendapat tekanan dari lingkungan sekitar untuk dapat menciptakan dan
mempertahankan keamanan di lingkungan Kabupaten Agara. Atas dasar tersebut, Bupati
mengkoordinasikan praktik mekanisme kas bon dengan pertanggungjawaban fiktif untuk
memperoleh dana yang nantinya akan digunakan untuk membantu proses pengamanan
daerah Kabupaten Agara agar kehidupan masyarakat di daerah tersebut dapat berlangsung
secara normal dan terbebas dari ketakutan akan adanya gangguan dari gerakan separatis.
b. Kesempatan
Di samping upayanya untuk mempertahankan ketentraman dan keamanan di lingkungan
Kabupaten Agara, Bupati juga terbukti mempergunakan kesempatan melalui
penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang ada padanya untuk mempengaruhi dan
mengkoordinir praktik mekanisme pencairan dana anggaran Kabupaten Agara dengan
menggunakan mekanisme kas bon. Dengan kewenangan yang ada padanya, Bupati
memerintahkan kepada Bendaharawan Umum Daerah untuk mentransfer uang kas dari
rekening daerah ke dalam rekening pribadinya serta memerintahkan Pemegang Kas Bupati
untuk menarik uang kas daerah dan menyetorkannya ke rekening pribadi Bupati.
c. Rasionalisasi
Bupati tetap berpegang teguh bahwa kerugian negara yang terjadi akibat kesewenangannya
dalam mengelola keuangan daerah bertujuan mulia, yaitu memberikan rasa aman kepada
masyarakat Kabupaten Agara. Atas dasar terciptanya keamanan di Kabupaten Agara itulah
Bupati melandaskan pembenarannya, bahwa semua upaya yang telah ia lakukan hanyalah
semata-mata untuk ketentraman dan keamanan di lingkungan Kabupaten Agara, dengan
mengesampingkan adanya kenikmatan yang ia peroleh melalui penggunaan uang kas
daerah untuk kepentingan pribadinya.
6. Red Flags
a. Realisasi anggaran belanja tanpa didukung oleh bukti-bukti yang lengkap.
b. Realisasi anggaran belanja didukung oleh bukti-bukti yang lengkap, namun terindikasi fiktif
(gaya bahasa proposal pertanggungjawaban sama dan terindikasi dibuat oleh pihak yang
sama).
c. Penggunaan mekanisme kas bon dalam pencairan anggaran.
d. Adanya kas bon yang menumpuk di akhir tahun anggaran (belum dipertanggungjawabkan).
7. Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
a. Cek gaya bahasa antar proposal sama atau tidak.
b. Cek jenis dan ukuran font antar proposal.
c. Cek kesamaan kesalahan penulisan antar proposal.
Jika hal-hal di atas ditemukan, maka kemungkinan besar proposal adalah fiktif dan dibuat oleh
orang yang sama.
Sumber: Unit Pemeriksaan Investigatif BPK-RI
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

Red Flags Dalam Pengadaan Barang dan Jasa


Beberapa hal yang perlu dicermati sebagai gejala fraud dalam proses pengadaan barang/jasa di
lingkungan pemerintah daerah, antara lain:
Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa
1. Persiapan
a. Penggelembungan anggaran (gejala penggelembungan terlihat dari unit price yang tidak
realistis).
b. Rencana pengadaan yang diarahkan (spesifikasi teknis yang mengarah pada merek tertentu
atau pengusaha tertentu).
c. Tidak mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan pada awal pelaksanaan anggaran.
d. Pemaketan pekerjaan yang direkayasa (pekerjaan hanya mampu dilaksanakan oleh kelompok
tertentu saja).
e. Memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket untuk menghindari pelelangan.
f.

Memecah paket pekerjaan yang menurut sifat pekerjaannya seharusnya merupakan satu
kesatuan konstruksi.

g. Menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang
menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masingmasing.
h. Menggabungkan beberapa paket pekerjaan yang sifat pekerjaan yang sifat pekerjaan dan
nilainya seharusnya dapat dilakukan usaha kecil menjadi satu paket pekerjaan yang hanya
dapat dilaksanakan oleh usaha non kecil (menengah dan besar).
i.

Rencana pembelian yang tidak sesuai kebutuhan.

j.

Penentuan jadwal yang tidak realistis, waktu pelaksanaan ditentukan relatif singkat, sehinga
yang telah mempersiapkan diri lebih dini berpeluang lebih besar.

k. Pemilihan metode penunjukan langsung untuk kontrak yang seharusnya pelelangan umum.
l.

Pemilihan metode evaluasi dengan sistem nilai (merit point) untuk evaluasi yang seharusnya
sistem gugur (untuk memenangkan produk/merk atau penyedia barang/jasa tertentu.

m. Pengalokasian anggaran kegiatan yang direncanakan dilakukan dengan cara swakelola dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan cara kontraktual kepada penyedia barang/jasa, atau
sebaliknya.
n. Jadwal waktu untuk melakukan pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan dilakukan
dalam kurun waktu yang berbeda.
o. Biaya untuk mendukung pelaksanaan pengadaan tidak tersedia.
2. Pembentukan Panitia Lelang
a. Panitia tidak memiliki sertifikat keahlian pengadaan dan/atau bukti keikutsertaan dalam
pelatihan pengadaan barang/jasa.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

b. Panitia yang tertutup dan tidak transparan: panitia bekerja secara tertutup dan tidak
memberikan pelayanan yang sama kepada peserta; cenderung menghambat akses informasi
kepada pihak-pihak yang dianggap dapat menghalangi.
c. Panitia yang tidak memiliki integritas: pertimbangan dan keputusan yang ditetapkan
berdasarkan suap atau janji
d. Panitia yang memihak.
e. Panitia tidak independen: panitia selalu menunggu perintah dan petunjuk atasan, yang
sebenarnya tidak memiliki otoritas
f.

Panitia pengadaan/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan dirangkap oleh:

Pejabat Pembuat Komitmen, dan/atau

Bendahara, dan/atau

Pejabat yang bertugas melakukan verifikasi surat permintaan pembayaran (SPP), dan/atau

Pejabat yang bertugas menerbitkan surat perintah membayar (SPM), dan/atau

Aparat pengawasan fungsional, kecuali untuk pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan


instansi pengawasan fungsional tersebut, dan/atau

Panitia pemeriksa/pemeriksa/penerima barang/jasa.

3. Penyusunan HPS
a. HPS tidak ditandatangai oleh seluruh anggota panitia pengadaan.
b. HPS tidak disahkan Pejabat Pembuat Komitmen.
c. Harga barang/jasa dalam HPS mengarah pada merk/produk tertentu.
d. Gambaran nilai estimasi yang ditutup-tutupi atau sulit diperoleh.
e. Penggelembungan (mark up): koefisien dan faktor yang mempengaruhi suatu harga tidak
menguntungkan; nilai penawaran mendekati nilai HPS karena sudah diatur.
f.

Harga dasar yang tidak standar: harga dasar material, peralatan, dan TK merupakan salah satu
penentu dalam HPS. Penggunaan data yang tidak valid mengakibatkan HPS menjadi
berbeda/berubah.

g. Sumber/referensi harga penyusunan HPS yang fiktif


h. Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan: yang harus menyusun HPS adalah Panitia,
namun dalam rangka KKN HPS disusun oleh panitia sesuai keinginan calon pemenang
sehingga cara, data, dan metode mirip dengan penawaran peserta calon pemenang.
i.

Penambahan item-item biaya yang tidak diperkenankan.

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa


1. Penyusunan dan Pengesahan Dokumen Lelang
a. Dokumen lelang tidak disahkan Pejabat Pembuat Komitmen.
b. Spesifikasi yang diarahkan: spesifikasi yang direkayasa untuk mengarah pada suatu produk
tertentu.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

c. Rekayasa kriteria evaluasi: adanya tambahan kriteria yang tidak relevan/dibutuhkan untuk
membatasi peserta.
d. Dokumen lelang non standar: misalnya, instruksi peserta dibuat dengan menambah
persyaratan yang sukar, yang sebenarnya tidak perlu.
e. Adanya penambahan kriteria evaluasi yang tidak perlu.
f.

Dokumen lelang tidak lengkap: kekurangan/kelebihan isi, bermakna bias sehingga membuat
bingung, dan pengertian dokumen akan memberi kesempatan kepada pihak-pihak tertentu.

2. Pengumuman Lelang
a. Tidak mengumumkan pelelangan/seleksi/pengadaan.
b. Lelang diumumkan, tetapi tidak di surat kabar nasional yang telah ditetapkan MenPAN/Kepala
Bappenas dan/atau surat kabar provinsi yang telah ditetapkan Gubernur (jika sudah ada).
c. Dalam teks pengumuman tercantum bahwa persyaratan pendaftaran dan pengambilan
dokumen harus membawa dokumen asli, yang berimplikasi dapat menghambat/membatasi
peserta.
d. Mengumumkan pelelangan/seleksi/pengadaan di surat kabar pada hari libur.
e. Pengumuman lelang semu atau fiktif.
f.

Materi pengumuman lelang membingungkan.

g. Pengumuman tidak lengkap: informasi tentang pelelangan dibuat tidak lengkap.


h. Jangka waktu pengumuman terlalu singkat: hanya mitra kolusi yang dapat peluang besar.
3. Prakualifikasi Peserta
a. Dokumen administratif tidak memenuhi syarat: ada kemungkinan panitia meluluskan peserta
lelang yang menyampaikan dokumen yang tidak benar, tidak dibuktikan lagi.
b. Dokumen administratif aspal: dokumen sertifikat asli, namun tidak didukung status nyata.
c. Legalisasi dokumen tidak dilakukan: tidak diperkuat oleh data otentik dan pengesahan dari
pihak berwenang.
d. Evaluasi tidak sesuai kriteria: perbedaan hasil prakualifikasi dengan kenyataannya; peserta
yang baik tidak lulus atau sebaliknya.
4. Pengambilan Dokumen Lelang
a. Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten): adanya dokumen konsep dan
dokumen final, peserta yang bukan kelompoknya diberikan dokumen konsep sehingga tidak
memenuhi kriteria evaluasi.
b. Waktu pendistribusian dokumen terbatas: hanya sedikit peserta yang memperoleh dokumen
dan terlihat adanya pengaturan dalam tender. Dalih: keterbatasan waktu pelaksanaan, musim
hujan yang segera datang, dan sebagainya.
c. Lokasi pengambilan dokumen sulit dicari: penyampaian dokumen ditentukan oleh panitia di
tempat yang sukar ditemukan dan papan pengumuman tidak dipasang. Termasuk pemindahan
mendadak lokasi pengambilan dokumen.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

d. Menyatakan bahwa pendaftaran dan pengambilan dokumen tidak boleh diwakilkan.


e. Menyatakan bahwa pendaftaran dan pengambilan dokumen harus dilengkapi atau membawa
dokumen asli.
5. Penjelasan / Aanwijzing
a. Pre-bid yang terbatas: pembatasan informasi oleh panitia agar hanya kelompok dekat saja
yang memiliki informasi lengkap.
b. Informasi dan deskripsi yang terbatas: penjelasan diberikan dalam bentuk pertanyaan dan
jawaban. Adakalanya formulasi perubahan dan distribusi perubahan tidak merata antar
peserta. Peserta yang tidak terinformasikan dengan sempurna cenderung akan dinyatakan
gugur secara administratif.
c. Penjelasan yang kontroversial: dalam proyek APBN, banyak peserta yang gugur kerena
perbedaan persepsi. Dalam hal Bantuan Luar Negeri, perlu rekonfirmasi dari lembaga donor.
d. Tidak dibuat dokumentasi rapat penjelasan.
e. Berita Acara Penjelasan tidak disebarluaskan kepada seluruh peserta.
f.

Perubahan penting atas dokumen pemilihan penyedia tidak dituangkan dalam addendum
dokumen pemilihan penyedia.

6. Penyerahan dan Pembukaan Penawaran


a. Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran: ada skenario agar peserta tertentu
terlambat datang.
b. Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat merupakan hal yang sebenarnya dilarang,
namun dapat terjadi dalam proses yang mengandung KKN.
c. Penyerahan dokumen fiktif: dapat terjadi apabila salah satu peserta memasukkan dokumen
penawaran atas nama peserta lain, sehingga ditemukan dua dokumen dari satu perusahaan
yang sama dan membuat perusahaan tersebut gugur.
d. Ketidaklengkapan dokmen penawaran.
e. Pembukaan dokumen penawaran dilakukan pada hari libur.
f.

Pembukaan dokumen penawaran ditunda tanpa alasan yang jelas.

7. Evaluasi Penawaran
a. Kriteria evaluasi cacat: telah dijelaskan hal-hal khusus yang sukar dipenuhi oleh peserta lain;
penawar yang tidak kompeten dapat keluar sebagai pemenang sedangkan perusahaan bonafit
gugur.
b. Penggantian dokumen penawaran: menyisipkan revisi dalam dokumen awal; dengan evaluasi
tertutup panitia dapat berbuat apa saja; nilai penawaran dapat diubah agar jadi pemenang.
c. Evaluasi tertutup dan tersembunyi: sebenarnya dimaksudkan untuk memperoleh kinerja yang
baik, namun dapat dimanfaatkan untuk melakukan KKN.
d. Peserta lelang terpola untuk berkolusi: misalnya ada pola 15-10-5 dalam proses pelelangan.
Sulit dibuktikan, tapi terlihat dari prosesnya yaitu: banyak surat kuasa, kecerobohan, kesamaan
isi, pengetikan sama, serta nomor jaminan berurutan.
e. Surat penawaran palsu.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.2

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

8. Pengumuman Calon Pemenang


a. Pengumuman terbatas: untuk mengurangi sanggahan.
b. Pengumuman tanggal ditunda: agar calon pemenang yang sudah tahu kemenangannya
menghubungi panitia minta pengumuman segara dilaksanakan, sehingga dapat menjamin
tidak terjadi perubahan.
c. Pengumuman tidak sesuai dengan kaidah pengumuman: menghambat dalam pasca evaluasi
dan mereduksi sanggahan.
9. Sanggahan Peserta Lelang
a. Tidak seluruh sanggahan ditanggapi: respon yang disampaikan panitia kepada pejabat yang
berwenang kurang mencerminkan jawaban atas sanggahan yang disampaikan oleh peserta.
b. Substansi tanggapan tidak ditanggapi: bahwa sanggahan immaterial; berlindung pada klausul
mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia tentang kerahasiaan dokumen evaluasi.
c. Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur.
10. Penunjukan Pemenang
a. Surat penunjukan tidak lengkap: penunjukan dikeluarkan sebelum proses sanggahan selesai;
data pendukung BA sanggah belum ada; seolah-olah tidak ada sanggahan.
b. Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya: Perlu adanya pelicin.
c. Surat penunjukan tidak sah: surat yang belum lengkap sudah beredar sampai ke calon
pemenang.
d. Surat penunjukan yang dikeluarkan dengan tergesa-gesa: seolah-olah tidak ada masalah
dengan lelang, padahal proses sanggahan masih berlangsung.
11. Penandatanganan Kontrak
a. Penandatanganan kontrak secara tertutup: menghindari publikasi, karena tender fiktif.
b. Penandatanganan kontrak tidak sah: tidak adanya dukungan yang disyaratkan, dan/atau data
pendukung yang tidak meyakinkan.
c. Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda: jaminan pelaksanaan belum ada, sedangkan
kemampuan keuangan rekanan terbatas. KKN dapat terjadi pada saat pimpinan proyek akan
mengancam untuk memutuskan kerjasama/ mencabut SPK/ membatalkan kontrak.
12. Penyerahan barang/jasa
a. Kuantitas pekerjaan/barang/jasa yang diserahkan tidak sesuai dengan kontrak.
b. Kualitas pekerjaan yang diserahkan tidak sama dengan ketentuan dalam spesifikasi
teknis/kontrak.
c. Kualitas pekerjaan yang diserahkan lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi
teknis/kontrak.
d. Keterlambatan penyerahan barang/jasa.
e. Perintah perubahan volume (contract change order) dalam rangka korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.2

f.

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

Kriteria penerimaan barang yang bias.

g. Jaminan pasca jual yang palsu.


h. Data lapangan yang dipalsukan.
13. Pembayaran dan pelaporan
a. Pembayaran tidak sesuai dengan kemajuan fisik.
b. Tidak dibuat berita acara pada saat pembayaran.
c. Pelaporan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
d. Kekurangan pungutan dan penyetoran kewajiban kepada negara/daerah.
e. Pembayaran tidak diikuti prestasi (fiktif).
f.

Pelaporan tidak lengkap dan tidak sesuai ketentuan.

14. Pemanfaatan
a. Kualitas barang/jasa yang diterima tidak sesuai kebutuhan.
b. Kuantitas barang/jasa yang diterima berlebihan.
c. Barang/jasa tidak dapat dimanfaatkan.
d. Penyerahan barang/jasa di lokasi yang tidak tepat.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

FRAUD DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN


KEUANGAN NEGARA
A. Fraud dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
Fraud dalam pengelolaan APBN/D pada umumnya mencakup kebocoran baik pada sisi penerimaan
maupun sisi pengeluaran. Kebocoran yang terjadi pada sisi penerimaan terutama karena tidak
seluruh penerimaan anggaran masuk ke Rekening Kas Negara/Daerah, sedangkan pada sisi
pengeluaran terjadi karena adanya pengeluaran anggaran yang lebih besar dari jumlah
seharusnya.
Pada semester I tahun 2010 BPK telah menyelesaikan pemeriksaan atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan Badan Lainnya dengan
total 528 objek pemeriksaan. Total temuan dari 528 objek yang diperiksa BPK adalah sebanyak
10.113 kasus senilai Rp26,12 triliun. Di antara temuan tersebut, terdapat temuan ketidakpatuhan
yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan sebanyak 3.289
kasus dengan nilai Rp9,55 triliun di antaranya senilai Rp93,01 miliar telah ditindaklanjuti dengan
penyetoran ke kas negara/daerah selama proses pemeriksaan.
Berikut ini merupakan fraud yang terjadi dalam pengeloaan APBN/APBD serta upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mendeteksi fraud tersebut berdasarkan buku Upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD yang diterbitkan oleh BPKP.

1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak tontonan, retribusi terminal, retribusi pasar, retribusi wisata atau retribusi parkir tidak
seluruhnya disetorkan ke Kas Daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencetak
karcis palsu, menjual kembali karcis yang telah terjual atau dipungut tetapi karcis tidak
diberikan.
b. Penyetoran Pajak Hiburan, Pajak Restoran dan Hotel (PRH) bukan berdasarkan realisasi
penerimaan tetapi berdasarkan negoisasi dengan petugas terkait.
c. Pajak reklame disetorkan lebih kecil dari seharusnya dengan cara
merendahkan/menurunkan tarif lokasi, luas tampilan reklame pada kontrak perjanjian, lama
waktu reklame diperpanjang tanpa adendum kontrak tetapi dibayarkan langsung dengan
tarif negosiasi kepada petugas pengawas lapangan.
d. Retribusi IMB disetorkan tidak berdasarkan penerimaan sebenarnya tetapi berdasarkan
negoisasi tarif kelas bangunan dan volume yang lebih rendah serta penyimpangan yang
diketahui dari hasil pengawasan lapangan tidak dikenakan denda dan tidak disetorkan ke
Kas Daerah tetapi dipungut untuk kepentingan petugas.
e. Rekayasa jumlah hari pemakaian alat berat untuk memperoleh dana taktis dan/atau untuk
kepentingan pribadi yang mengakibatkan berkurangnya potensi penerimaan daerah.
f.

Penerbitan faktur pajak fiktif oleh Pengusaha Kena Pajak.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

Indikasi Kerugian Negara Sebesar Rp2.925.731.293,00 dari Pemanfaatan dan Penerbitan Faktur Pajak Fiktif
oleh PT Laras Utama Jaya Sejati (LUJS)
Wajib Pajak PT LUJS adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan besar (KLU:51900). Data
profile wajib pajak menunjukkan bahwa wajib pajak terdaftar pada KPP Jakarta Tanjung Priok mulai tahun 2000
namun baru aktif melaporkan SPT baik SPT PPN, PPh Badan maupun PPh pasal 21 pada tahun 2001. Dari
rekapitulasi data SPT tahunan diketahui bahwa wajib pajak hanya melaporkan SPT tahunan PPh Badan untuk
tahun 2001 dengan status kurang bayar (KB) Rp1.490.060,00 dan SPT tahunan PPh 21 KB Rp114.000,00 untuk
tahun 2001, sedangkan untuk SPT Masa PPN, wajib pajak melaporkan dari thun 2001 sampai dengan masa April
2003. Untuk selanjutnya wajib pajak sudah tidak aktif melaporkan kewajiban SPT nya. Hal ini menunjukkan
bahwa WP hanya aktif selama 3 tahun (2001, 2002, dan pertengahan 2003).
Wajib pajak telah memanfaatkan/mengkreditkan faktur pajak masukan sebanyak 333 lembar dengan nilai
sebesar Rp2.922.930.373,00 dari PKP yang telah diindikasikan sebagai penerbit faktur pajak fiktif oleh DJP
dalam SE-27/PJ.52/2003 tanggal 27 Oktober 2003 tentang Daftar dan Sanksi atas Wajib Pajak yang diduga
menerbitkan faktur pajak tidak sah.
Selain itu, wajib pajak juga diindikasikan sebagai penerbit faktur pajak fiktif. Dalam hal ini, wajib pajak
melaporkan SPT Masa PPN terakhir kali pada masa April 2003, namun data profil Sistem Informasi Perpajakan
(SIP) pada KPP Jakarta Tanjung Priok memuat informasi bahwa wajib pajak menerbitkan 1 (satu) lembar faktur
pajak pada bulan November 2004 dengan nilai Rp2.800.920,00 yang dikreditkan oleh PT palmindo Alam Raya,
NPWP 02.346.302.9.042.000.
Dari kondisi tersebut, indikasi kerugian negara diperkirakan sebesar Rp2.925.731.293,00 yang berasal dari
pemanfaatan faktur pajak masukan fiktif oleh PT LUJS sebesar Rp2.922.930.373,00 dan dari penerbitan
faktur pajak fiktif Rp2.800.920,00
Sumber: LHP BPK-RI

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak


a. Pendapatan Pertambangan Umum
1) Penentuan tarif royalti dalam kontrak perjanjian penambangan dan ekspor pasir laut
lebih rendah dari ketentuan tarif royalti yang berlaku.
2) Penetapan tarif royalti tidak memperhatikan adanya kandungan mineral pasir. Pada
kenyataannya, pasir laut yang ditambang dan dijual mengandung pasir kwarsa lebih
tinggi dari pasir laut.
b. Pendapatan Kehutanan
1) Pengusaha pemegang Hak Pengusaha Hutan (HPH) melakukan penebangan di luar
blok tebangan dan/atau menampung kayu-kayu hasil curian dengan cara melakukan
mark-up potensi hutan dan membuat laporan inventarisasi yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2) Tidak melaporkan seluruh produksi kayu bulat dan tidak melengkapi laporan produksi
dengan Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB)/Daftar Kayu Bulat (DKB).
3) Melakukan manipulasi pembayaran Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya
Hutan (PSDH) dengan tidak melaporkan produksi kayu bulat yang dipergunakan
sendiri, menghitung DR dan/atau PSDH dengan tarif yang lebih kecil, memanipulasi
laporan hasil produksi kayu bulat dengan merubah jenis, diameter, dan asal serta
menunda penyetoran DR dan PSDH.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

4) Pemanfaatan kayu hasil tebangan oleh kontraktor pelaksana Pembukaan Lahan


Transmigrasi tanpa meminta Izin Penebangan Kayu (IPK) dari Dinas setempat dan
tidak membayar Iuran Hasil Hutan (IHH) dan DR.
c. Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya
1) Penerimaan hasil sewa atau penjualan aktiva milik negara/daerah tidak disetor ke
rekening kas negara atau rekening kas daerah.
2) Penerimaan selisih kurs mata uang asing yang tidak disetor ke Kas Negara/Kas
Daerah.
3) Penerimaan komisi dan/atau discount atas pengadaan barang dan jasa dari pihak
ketiga tidak disetor ke Rekening Kas Negara/Kas Daerah.
4) Pelaksanaan Tukar-Bangun/Ruilslaag yang tidak benar yang dilakukan dengan cara:

merendahkan nilai aset milik negara dan menaikkan nilai aset milik investor;

memasukkan biaya pematangan tanah sebagai unsur penambah nilai aset investor
pada tanah yang sebenarnya telah matang;

jenis, kelas dan peruntukan tanah aset pengganti dari investor tidak sesuai dengan
yang dipersyaratkan;

status kepemilikan tanah pengganti belum diurus pengalihannya;

luas tanah pengganti tidak sesuai atau lebih kecil.

5) Terdapat penerimaan yang berpotensi sebagai PNBP, namun tidak dilaporkan oleh
instansi terkait sebagai PNBP. Penerimaan tersebut dengan sepengetahuan pejabat
berwenang dikelola oleh badan usaha koperasi/yayasan/perusahaan perorangan yang
ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan.
6) Penjualan aset milik negara dilakukan tanpa lelang, melainkan penunjukkan langsung
kepada pegawai dengan harga lebih murah melalui manipulasi kondisi barang yang
akan dijual.
3. Pengeluaran Belanja
a. Belanja Operasi
Penyimpangan yang terjadi dalam pengeluaran anggaran rutin pada umumnya meliputi
pembayaran ganda kepada pejabat yang memiliki dua atau lebih sumber penghasilan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), biaya perjalanan dinas fiktif dan/atau perjalanan dinas
yang tidak diperlukan, pengeluaran yang tidak berdasarkan jenis mata anggaran, dan
pembebanan pengeluaran pribadi ke pengeluaran kantor yang menjadi beban anggaran
negara.
1) Pembayaran ganda pejabat yang ditugaskan/dikaryakan ke lembaga lain dilakukan
dengan cara memberi gaji dan tunjangan sesuai kedudukannya pada lembaga
tempatnya diperbantukan tanpa mencabut gaji dan tunjangan di tempat dia bekerja
sebelumnya.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

2) Perjalanan dinas fiktif dan/atau dinas yang tidak diperlukan, dilakukan dengan cara
menerbitkan surat perintah perjalanan dinas pejabat/pegawai ke suatu tempat/instansi
tertentu yang pertanggung-jawabannya dibuat dengan memalsukan stempel dan tanda
tangan pejabat yang berwenang.
3) Pengeluaran belanja barang/jasa fiktif yang dilakukan dengan cara melakukan
pembelian barang/jasa untuk suatu kegiatan unit tertentu yang sebenarnya tidak ada.
4) Pengeluaran rutin dilakukan tidak berdasarkan jenis mata anggarannya.
5) Pengeluaran biaya pemeliharaan dan perbaikan rumah dinas, kendaraan dinas, dan
peralatan kantor fiktif atau digunakan untuk perbaikan kendaraan atau peralatan
pribadi.
6) Pengalihan biaya perbaikan gedung kantor untuk keperluan perbaikan rumah jabatan
yang akan dijual kepada pejabat.
b. Belanja Modal
Penyimpangan pada belanja modal umumnya terjadi pada pengadaan barang dan jasa
instansi pemerintah. Penyimpangan yang terjadi mencakup seluruh tahapan pengadaan
barang dan jasa, yaitu dalam tahap perencanaan; tahap persiapan yang meliputi kegiatan
pembentukan panitia lelang, penentuan HPS, dokumen pengadaan/tender dan penentuan
syarat peserta lelang dan pendaftaran; tahap pelaksanaan lelang seperti pengumuman
lelang, penjelasan/aanwijzing, pembukaan dokumen lelang hingga penetapan pemenang
lelang; dan tahap pelaksanaan pekerjaan termasuk dalam penentuan eskalasi harga
kontrak jika ada.
Pengadaan Lelang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Dalam proses pengadaan lelang yang dilakukan oleh Pemprov DKI dalam APBD 2005 ditemukan bahwa lelang
hanya dilakukan di media massa yang kurang populer atau tidak beredar luas. Sistem lelang pengadaan barang
dan jasa di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dianggap masih tertutup. Padahal anggaran pengadaan barang dan
jasa sekitar 30% dari total APBD Rp14 triliun atau setara Rp5 triliun. Kondisi tersebut menjadikan sistem
lelang barang dan jasa rentan penyimpangan. Bukti maraknya penyimpangan anggaran daerah tersebut dapat
dilihat dari banyaknya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian dipertegas oleh KPK yang
mengungkap salah satu modus korupsi terjadi karena mark up pengadaan barang-barang pemerintah. Modus
lainnya yang sering dijumpai, panitia lelang memperpendek waktu proses lelang atau bahkan mengulur-ulur
waktu. Panitia menerapkan tender dengan diatur secara bergiliran seperti arisan dengan peserta yang sama.
Buntutnya, lelang tidak dilakukan dan pada akhirnya dilakukan penunjukkan langsung.
Sumber: Republika-11 April 2005

Berikut ini merupakan indikasi fraud dalam pengadaan barang dan jasa serta upaya-upaya
untuk mendeteksi fraud tersebut.
1. Tahap Perencanaan
a) Rencana pengadaan yang diarahkan: penyusunan spesifikasi teknis dan
kriterianya diarahkan untuk memperbesar peluang produk pengusaha tertentu.
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

b) Penggelembungan anggaran, dapat terjadi pada berbagai aspek, seperti biaya,


kualitas, bahan, volume, dan sebagainya. Rencana yang dibuat tidak realistis,
melebihi kebutuhan yang sebenarnya, yaitu pembengkakan anggaran,
pemborosan, dan kebocoran.
c) Desain konstruksi yang tidak mencerminkan keadaan lapangan yang sebenarnya,
yang dapat mengakibatkan perubahan jadwal waktu penyelesaian serta volume
dan harga kontrak.
2. Tahap Persiapan Lelang/Tender
a) HPS tidak akurat atau cenderung ditinggikan karena sumber daya dan waktu
penyusunannya tidak jelas.
b) Dokumen lelang mengenai Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) serta
perhitungan volume yang akan dikerjakan tidak sesuai gambar.
c) Kualifikasi rekanan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, dilakukan dengan
cara pencantuman jumlah kekayaan bersih yang tidak benar, mencantumkan
tenaga ahli yang bukan pegawai tetap calon rekanan, peralatan yang diajukan
bukan milik sendiri serta pengalaman kerja dan reputasi calon rekanan yang
direkayasa agar memenuhi persyaratan dalam DRT.
d) Dalam lelang serentak untuk beberapa paket, satu rekanan memenangkan
beberapa paket pekerjaan sehingga melebihi Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang
mengakibatkan rekanan kesulitan menyelesaikan pekerjaan.
e) Tenaga ahli lokal atau barang-barang yang seluruh atau sebagian komponennya
berasal dari dalam negeri, ditawarkan dalam mata uang asing.
3. Tahap Pelaksanaan Tender
a) Pengumuman lelang dilakukan kurang transparan untuk membatasi jumlah
rekanan sehingga peserta lelang hanya diikuti oleh sekelompok tertentu.
b) Panitia lelang memberikan keistimewaan/berpihak pada pihak-pihak tertentu yang
didasarkan pada kesepakatan tidak tertulis untuk meluluskannya dalam proses
lelang.
c) Pengadaan barang dan jasa yang seharusnya melalui pelelangan tetapi
dilaksanakan dengan pemilihan langsung/penunjukan langsung dengan
menunda-nunda pelelangan, sehingga waktunya terdesak dan membuat alasan
bahwa pekerjaan tersebut bersifat spesifik.
4. Tahap Pelaksanaan Pekerjaan
a) Sebagian atau seluruh pekerjaan yang diborongkan dilaksanakan oleh pihak
intern pemberi kerja.
b) Permintaan eskalasi harga dari rekanan didukung dengan analisis harga satuan
intern yang dieskalasi dengan rekayasa.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

c) Pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal (mundur) akan tetapi dalam
perhitungan eskalasi menggunakan indeks harga pada waktu pelaksanaan.

5. Dana Perimbangan
Kasus-kasus kerawanan pada Dana Alokasi Umum (DAU)
a) Adanya pencaloan dalam pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU) dimana
oknum tertentu melobi pejabat yang berwenang menentukan alokasi dana agar
mendapatkan alokasi yang lebih besar.
b) Dana Alokasi Umum (DAU) tidak ditempatkan pada rekening kas daerah dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi berupa bunga/jasa giro pada
suatu bank dengan memperoleh comittment fee dari bank yang bersangkutan.
c) Dana Alokasi Umum digunakan untuk pengadaan kendaraan kepentingan
eksekutif dan legislatif.
d) Manipulasi data tingkat kebutuhan dan potensi ekonomi daerah yang akan
digunakan sebagai parameter untuk mendapatkan porsi DAU yang lebih besar
dari yang seharusnya.
Terdapat Kesalahan Penghitungan Alokasi DAK Sehingga 21 Daerah Kurang Alokasi Sebesar
Rp4,22miliar dan 15 Daerah Kelebihan Alokasi Sebesar Rp1,26miliar
Pemerintah Pusat dalam dua tahun anggaran terakhir menyalurkan DAK masing-masing sebesar Rp11,57 triliun
dalam Tahun Anggaran 2006 dan Rp17,09 triliun dalam Tahun Anggaran 2007.
Hasil pengujian terhadap penghitungan penetapan alokasi DAK tahun 2006 dan tahun 2007 menunjukkan adanya
kesalahan sebagai berikut :
a. Terdapat 4 (empat) daerah yang memenuhi kriteria yang ditentukan namun tidak mendapat alokasi DAK
tahun 2006 karena formula penghitungannya terhapus.
b. Terdapat perbedaan hasil penghitungan untuk DAK tahun 2007 bidang lingkungan hidup yang disebabkan
kesalahan input Bobot Daerah (BD) oleh DJPK. Selain itu, terdapat kesalahan pada bidang prasarana
pemerintah yang disebabkan oleh kesalahan input Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) oleh DJPK.
Perbedaan hasil penghitungan tersebut terjadi pada 32 Pemerintah Daerah.
Hal tersebut mengakibatkan empat daerah tertentu tidak mendapatkan alokasi DAK, 17 daerah kurang
mendapatkan alokasi DAK sebesar Rp4.222,68juta (Rp1.870,00+Rp1.120,00+Rp676,54+ Rp556,14) dan 15
daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1.265,30juta (Rp662,81+ Rp602,49).

Fraud Dalam Penggunaan Dana APBN-Perubahan


Melalui mekanisme perubahan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), entitas pengguna anggaran
(pemerintah pusat/daerah dan lembaga tinggi negara) diperkenankan untuk melakukan revisi Anggaran
Belanja Tambahan (ABT) sesuai keperluan program kerjanya. Melihat dari perkembangan
permasalahan yang seringkali ditemukan dalam pelaksanaan pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan maupun aparat pengawasan intern, banyak ditemukan penyimpangan
dalam penggunaan ABT yang terindikasi mengakibatkan kerugian negara dan beberapa diantaranya
Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

mengandung unsur pidana, sehingga harus ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung.
Berikut ini merupakan fraud dalam Penggunaan Dana APBN-P yang terjadi di beberapa Departemen di
Indonesia.
1. Pengalokasian sebagian atau seluruh dana ABT untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya.
2. Pengajuan usulan revisi anggaran tanpa melalui proses verifikasi internal terlebih dahulu oleh Biro
Keuangan, dalam hal ini Bagian Penyusunan Anggaran.
3. Pengajuan dokumen usulan revisi yang terindikasi dimanipulasi, misalnya backdating (memajukan
tanggal) dokumen permohonan.
4. Penyerapan dana ABT melalui proses pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan metode
Penunjukan Langsung (biasanya keterbatasan waktu pelaksanaan menjadi alasan utama).
5. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dengan mengacu kepada proposal penawaran dari
satu perusahaan penyedia barang/jasa, sehingga terindikasi adanya upaya mark-up.
6. Proses pengadaan dibuat formalitas, sedangkan pekerjaan sebenarnya sudah selesai dikerjakan
terlebih dahulu. Dalam hal ini proses evaluasi dan negosiasi terdokumentasikan, tetapi sebenarnya
tidak dilakukan.
7. Panitia pengadaan hanya bersifat formalitas, karena pelaksana proses pengadaan sesungguhnya
adalah pejabat lain yang semestinya tidak melakukan proses tersebut.
8. Rekanan penyedia barang/jasa yang ditunjuk atau yang memperoleh kontrak pekerjaan umumnya
memiliki hubungan istimewa dengan pemberi pekerjaan. Dalam hal ini, berupa referensi atau
rekomendasi atau diperkenalkan oleh pejabat lain yang lebih tinggi jabatannya dan atau memiliki
hubungan keluarga dengan pemberi kerja, sehingga terindikasi adanya upaya pembagian
keuntungan hasil pengadaan dari rekanan kepada para pejabat pemerintah/negara berupa aliran
dana (kick-back).

B. Fraud dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)
1. Siklus Penjualan dan Penerimaan Uang
a. Penjualan dilakukan di bawah harga pasar dan metode penyerahan barang/jasa tidak
sesuai dengan kontrak penjualan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh imbalan tertentu dari
pembeli.
b. Kontrak penjualan komoditi secara forward tidak direalisasi pembeli dengan cara memberi
imbalan kepada oknum perusahaan penjual, karena harga komoditas tersebut turun pada
saat kontrak jatuh tempo.
2. Siklus Pengadaan dan Penerimaan Barang/Jasa

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Lampiran IV.3

Seri Panduan Pemeriksaan: Mengenal Fraud & Gejalanya

a. Perencanaan pengadaan barang dan jasa oleh fungsi perencanaan tidak berdasarkan
kebutuhan, tetapi berdasarkan pengadaan tahun sebelumnya ditambah jumlah persentase
tertentu. Hal ini dilakukan agar barang yang dibutuhkan pada tahun sebelumnya tetap
diadakan karena perencana telah memperoleh imbalan dari rekanan.
b. Penyusunan spesifikasi kebutuhan barang dan jasa dirubah oleh Bagian Pengadaan untuk
produk dan rekanan tertentu, yang mengakibatkan terjadinya mark up( kemahalan harga).
3. Siklus Penggajian dan Kepegawaian
a. Perekrutan karyawan perusahaan dilakukan bukan berdasarkan jumlah dan kualifikasi yang
dibutuhkan, di mana oknum panitia perekrutan tersebut mendapat imbalan dari
peserta/calon karyawan.
b. Penempatan karyawan pada Struktur Organisasi perusahaan bukan berdasarkan bidang
keahlian yang dimiliki karyawan yang bersangkutan di mana oknum bagian penempatan
menerima imbalan dari pegawai yang meminta ditempatkan pada bagian tertentu.
4. Siklus Persediaan dan Penyimpanan
a. Kekurangan persediaan barang akibat pencurian/penggelapan yang dilakukan oleh oknum
petugas gudang ditutupi dengan membuat transaksi penjualan kredit fiktif.
b. Pembelian persediaan fiktif dengan cara mencatat penerimaan persediaan bekas pakai
namun kondisinya masih baik sebagai penerimaan pengadaan persediaan baru.
5. Siklus Perolehan Modal dan Pembayaran Kembali
a. Penjualan kredit secara besar-besaran tanpa memperhitungkan potensi atau risiko macet
dengan tujuan meningkatkan laba perusahaan untuk memperoleh jasa produksi atau
tantiem besar yang dilakukan oleh oknum petugas bagian pemasaran atau penjualan.
b. Penerbitan Commercial Paper (CP) untuk memperoleh dana tanpa persetujuan Dewan
Komisaris dan dipergunakan untuk membeli CP dari perusahaan yang performance-nya
kurang baik dengan tujuan memperoleh discounted lebih besar yang dilakukan oleh oknum
bagian keuangan.

Direktorat Litbang

Badan Pemeriksa Keuangan

Anda mungkin juga menyukai