Anda di halaman 1dari 57

PENCABUTAN LAPORAN PERKARA PENGGELAPAN PASAL 372

KUHP DI POLRES KOTA TERNATE

Oleh

Nurul Salsabila Rosita


NPM : 01011811194

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
2022
Daftar isi

Daftar isi...................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................2

Latar Belakang Masalah.......................................................................................4

Rumusan Masalah..............................................................................................11

Tujuan Penelitian................................................................................................11

Manfaat Penelitian..............................................................................................11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................12

Proses Pencabutan Laporan Perkara di Kepolisian .........................................12

Pengertian Penggelapan……………………………………………………….,12
Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan……………………………………..14
Keadilan Restoratif ( Restoratif Justice )...........................................................17

Pencabutan Hak-hak Tertentu............................................................................22

Jenis-jenis Tindak Pidana Kejahatan..................................................................22

Tinjauan Tentang Penyidikan.............................................................................23

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia...............................................26

Unsur-unsur Tindak Pidana................................................................................27

Jenis-jenis Tindak Pidana...................................................................................31

BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................41

Tipe Penelitian....................................................................................................41

Lokasi Penelitian................................................................................................41

Jenis Dan Sumber Data......................................................................................41

Teknik Analisis Data..........................................................................................43

Daftar pustaka........................................................................................................44
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki kecendrungan untuk bersosialisasi antara yang satu


dengan lainnya untuk itu dapat memenuhi kebutuhan dengan hidupnya.
Dalam hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan
yang erat diantara satu dan yang lainnya mereka yang hidup bermasyarakat.
Atas dasar ini manusia disebut sebagai zoom politicon. Dalam kehidupan
bermasyarakat , manusia selalu saja melakukan berbagai interaksi yang selalu
saja menimbulkan suatu akibat.
Usaha untuk melindungi masyarakat dari adanya gangguan dan pelaku
pelanggar norma-norma sosial yang ada, maka salah satu saran kita untuk
menanggulanginya adalah dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah
hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa,
hukum ini tak kenal kompromi, walaupun si korban tindak pidana sudah
memafkaan atau tidak dituntut umum namun hukum pidana itu sendiri
bersifat tegas, hukum tersebut harus ditegakan dan pelaku harus di tindak.
Kebutuhan masyarakat hukum pidana sendiri itu semakin nyata, dan
juga untuk keperluan itu oleh para ahli hukum pidana telah dipikirkan agar
hukum berlaku seadil-adilnya sehingga timbulah bentuk-bentuk dari hukum
pidana yang dirumuskan dalam Undang-undang dan kitab Undang-undang
(kodifikasi). Hal ini berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia
berbentuk Undang-undang kodifikasi.
Masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul
dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu sendiri berlangsung. Maupun
aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam
masyarakat itu sendiri. Sikap dan juga tindak dalam melakukan setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Adapun Tindakan yang juga melanggar aturan
atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana.
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan
mendapatkan sanksi yang jelas dan juga sesuai dengan kitab Undang-undang
Hukum Pidana / KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis
tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada suatu
pengaduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini juga diatur dalam Bab VII
KUHP tentang mengajukan dan menarik Kembali pengaduan dalam hal
kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas dasar pengaduan. Pengaduan
juga merupakan hak dari korban yang untuk diadakan penuntutan atau tidak
dilakukan.
Penuntutan karena menyangkut kepentingan dari korban , untuk itu di
dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu dalam pencabutan perkara
yang diatur di dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar korban dapat
mempertimbangkan dengan melihat dampak dan juga yang akan ditimbulkan
bagi korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakannya
delik aduan adalah untuk melindungi pihak yang dirugikan dan juga
memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk
menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Sikap manusia dalam rangka mengatur agar tidak menganggu, ataupun
merampas dan juga melanggar hak-hak orang lain, maka dibuatlah aturan
pidana agar orang-orang yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi atau
hukuman untuk mewujudkan ketentraman, dan juga keamanan dan
kesehjahteraan dalam masyarakat. Salah satu tindak pidana penggelapan
(verduistering ) sebagaimana yang diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai
pasal 377 KUHP.
Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini sangat sering di
jumpai di kehidupan sehari-hari. Himpitan ekonomi juga dengan gaya hidup
yang semakin tinggi menjadi faktor terjadinya tindak pidana penggelapan,
yang dinamakan penggelapan adalah penggelapan diatur dalam Pasal 372
KUHP: “ Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri (zich toegemen ) barang sesuatu yang seluruhnya atau Sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Penggelapan bukan termasuk dalam delik aduan, maka walaupun
barang yang digelapkan telah dikembalikan, hal itu tidak dapat menjadi
alasan penghapusan hak penuntutan/peniadaan penuntutan atas dellik
tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d
Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut pidana dan
Menjalankan Pidana. Di dalam Bab XXIV Pasal 372 KUHP dalam bentuk
dasarnya adalah: ‘’Barang siapa yang secara sengaja dan juga melawan
hokum memiliki barang yang sama atau lebih dari yang dimiliki oleh orang
lain dan tergantung pada kemampuannya, oleh karena itu dihukum
penggelapan dengan kemenangan empat tahun atau juga denda maksimum
Sembilan ratus rupiah.
Salah satu fungsi hukum pidana adalah sebagai alat atau sarana
terhadap penyelesaian atau problematika. Kebijakan hukum pidana sebagai
suatu upaya untuk menanggulangi kejahatan dan mensejahterakan
masyarakat, maka berbagai bentuk kebijakan dilakukan untuk mengatur
masyarakat dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan
yang lebih luas.
Perkara tindak pidana penggelapan yang laporannya dicabut oleh
pelapor dan juga menghendaki penyelesaian secara damai cepat ditindak
lanjuti oleh penyidik, menurut penyidik hal itu merupakan penialaian karena
beban perkara yang di tangani juga berkurang begitu juga dengan perkara
yang tidak ada penyelesainnya secara damai yang harus ditindak lanjuti
sampai berkas perkaranya dilimpahkan kepada Jaksa penuntut Umum selama
tidak terdapat hambatan-hambatan dalam prosesnya cepat direspon karena
keterbatasan waktu yang telah diatur dalam undang-undang.
Perkara tindak pidana penggelapan yang laporannya dicabut oleh
pelapor dan menghendaki penyelesaian secara damai cepat ditindak lanjuti
oleh penyidik, menurut penyidik hal ini merupakan penilaian positif karena
beban perkara yang ditangani juga berkurang dan begitu pula dengan perkara
yang tidak ada penyelesaiannya secara damai yang harus ditindak lanjuti
sampai berkas perkaranya dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum selama
tidak terdapat hambatan-hambatan dalam proses dan cepat direspon karena
keterbatasan waktu yang telah diatur dalam Undang-undang.
Perkara tindak pidana penggelapan yang ditangani di Polres kota
ternate sampai berlanjut dan dilimpahkan Kepada Jaksa Penuntut Umum pada
umumnya karena pelaku tidak sanggup dan tidak bias menghadirkan kembali
kerugiannya yang dialami oleh pelapor/korban, sebab lain karena korban
menghendaki pembelajaran hukum kepada pelakunya.
Lebih lanjut adanya paradigma baru dalam proses penegakan hukum
pidana yang disebut dengan pendekatan ’’Restorative Justice’’ atau
‘’Keadilan Restoratif’. Pendekatan ini dinilai menawarkan solusi lebih efektif
karena bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan
masyrakat guna memperbaiki perbuatan/akibat perbuatan melawan hukum,
dengan menggunakan kesadaran dan juga keinsyafan sebagai landasan untuk
memperbaiki tata kehidupan masyarkat.
Berbicara mengenai soal penengakan hukum dengan adanya keharusan
untuk menjalankan hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri dan dapat
memprioritaskan ketiga tujuan hukum ini tanpa ada yang dikecualikan
sehingga dapat tercipta suatu keadan yang aman. Hal ini berlaku juga bagi
Kepolisian Republik Indonesia sebagai mana yang diamanahkan dalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
yakni dalam Pasal 13 tentang tugas dan wewenang Polri.
Kehadiran dan tugas Polisi tak lepas juga dari permasalahan dan tindak
pidana, Polisi dapat menjadi pengayom dan pelindung masyarakat juga dapat
memberikan rasa nyaman dalam masyarakat menjalankan aktifitas manusia
sebagai objek hukum.
Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa hukum pidana tidak
mengenal adanya kompromi, namun pada kenyataannya ada beberapa perkara
pidana itu diselesaikan langsung oleh polisi tanpa melalui jaksa maupun
pengadilan. Perkara-perkara tersebut pada umumnya berupa jenis tindak
pidana ringan dan dikarenakan juga si korban mau menerima permohonan
maaf dari si pelaku dimana penyelesainnya dengan cara berdamai. Dengan
adanya wewenang polisi yang sangat besar bias mengarah ke perbuatan
kesewenang-wenangan ataupun diskriminasi. Oleh karena itu perlu landasan
moral dan juga etika serta pengawasan.
Prapenelitian wawancara dengan Bripka. Ali Y Lasonago sebagai
penyidik pembantu Polres Ternate, data periode Juli sampai dengan
Desember 2021 mengatakan bahwa ada 3 kasus pengelapan yang ditangani
oleh pihak Kepolisian Resort Ternate melalui pencabutan laporan perkara
dalam hal ini, penerapan restorative justice terhadap pasal 372 KUHP,
sehingga menarik peneliti untuk melakukan penelitian.1
Terdapat juga berbagai kasus yang menggambarkan tindakan para
aparat penegak hukum tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana
mestinya. Tetapi penegak hukum dalam hal ini polisi masih ada yang
bertindak bijak dalam memutuskan perkara pidana, terutama tindak pidana
penggelapan. Maka dalam proposal usulan penelitian ini, penulis ingin
membahas proses penyelesaian pencabutan laporan perkara penggelapan
pasal 372 KUHP di Polres Kota Ternate yang memperlihatkan kewenangan
polisi dalam menyelesaikan perkara tindak pidana penggelapan yang
memperlihatkan kewenangan polisi dalam menyelesaikan perkara, tidak
hanya berdasarkan aturan hukum formal yang berlaku, tetapi juga
menggunakan pendekatan dengan keadilan restoratif, sebagaimana
pengaturan dan ketentuan-ketentuan hukumnya memberikan keadilan lebih
baik untuk pelaku maupun korban dan keluarga korban. Berdasarkan latar
belakang yang terurai sebelumnya, maka disusunlah usulan proposal ini
dengan judul Pencabutan laporan perkara penggelapan pasal 372 KUHP di
Polres Kota Ternate dengan penyelesaian pendekatan Restoratif Justice
( Studi Penelitian di Resort Polres Ternate).
1
Bripda. Ali Y Lasonago sebagai penyidik pembantu Polres Ternate, Jumat Tanggal 28 Juni 2022 jam 15.00
wit.
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana penerapan restorative justice terhadap pasal 372 KUHP
tentang penggelapan di kepolisian resort ternate ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan penerapan restorative
justice dalam penanganan tindak pidana penggelapan di Kepolisian
Resort Ternate?
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh penulis dari


penelitian ini adalah:

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan


menganalisis Penyelesaian pencabutan laporan perkara tindak pidana
penggelapan pasal 372 KUHP dengan Restorative Justice di polres
kota ternate.
D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat


mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum dan menjadi bahan
referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang tentu lebih mendalam
lagi, khususnya dalam proses Penyelesaian Perkara tindak pidana
penggelapan dengan Restoratvive Justice .

2. Manfaat Praktis :
Dengan adanya penelitian ini diharapkan
a. Memberi manfaat bagi instansi untuk kepentingan penegakan hukum,
sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan cara
bertindak dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan
hukum.
b. Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan
memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi
peristiwa penggelapan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Pencabutan Laporan Perkara di Kepolisian
Maka Pada dasarnya dalam suatu perkara pidana, proses dari

penyelesaian perkara tersebut digantungkan pada kedua jenis Delik

sehubungan dengan pemrosesan perkara itu, yaitu pada delik aduan dan juga

delik biasa, dalam delik biasa perkara tersebut dapat di proses tanpa adanya

persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah

mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang. Penyidik tetap

berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. “Sedangkan pada delik

aduan delik yang hanya diproses apabila ada pengaduan dari orang yang

menjadi korban tindak pidana tersebut.

Proses pencabutan laporan di Kepolisian penting dipahami oleh

pelapor, karena ada aturan khusus dan juga perihal dokumen tersebut. Sama

halnya dengan proses membuat laporan pengaduan, dan juga proses

pencabutannya memiliki cara yang tersendiri. Ini dibuat agar setiap orang

tetap mematuhi proses hukum yang telah berlaku, serta memastikan

semuanya berjalan sesuai dengan prosedurnya. Dan jika Ketika pelapor sudah

membuat laporan di kepolisian, harus paham dengan hal standar tersebut.

Banyak alasan juga mengapa pelapor akhirhya memutuskan untuk

mencabut laporannya, dan setiap pelapor juga memiliki hak untuk mencabut

laporannya tersebut., sesuai dengan ketentuan dalam KUHP Pasal 75. Polisi

juga tidak boleh mengabaikan keinginan pelapor untuk mencabut dokumen

pelaporannya.
Karena di dalam hukum, biasanya proses mediasi lebih didahulukan

dibandingkan dengan proses pengadilan. Pencabutan laporan di Kepolisian

artinya, pihak pelapor tidak ingin melanjutkan perkara atau masalah tersebut

ke tingkat yang lebih tinggi yakni pengadilan. Aturan tentang pencabutan

laporan perkara di kepolisian, laporan akan dilihat berdasarkan deliknya,

apakah delik biasa atau delik aduan. Karena kedua hal ini berbeda dalam segi

hukumnya. Oleh karena itu penting memahami aturan beserta prosedurnya.

Banyak orang yang belum memahami apakah ada biaya pencabutan

laporan kepolisian, karena tidak semua orang pernah berurusan dengan

hukum. Di undang-undang tidak ada pasal yang mengatur biaya pencabutan

laporan tersebut. Jadi ketika ingin membatalkan pengaduan tersebut, maka

tidak akan dipungut biaya apa pun. Seperti yang sudah disebutkan

sebelumnya bahwa Hukum di Indonesia lebih mengedepankan proses

mediasi, sehingga tidak jarang juga pihak kepolisian menganjurkan agar

pelapor mencabut aduannya.

Sesuai dengan prosedur pencabutan laporan di Kepolisian, ada beberapa

hal aturan yang penting dan juga harus diketahui dalam pencabutan laporan

tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Pelapor Berhak Mencabut Laporan dalam Waktu Tiga Bulan.

KUHP Pasal 75 menetapkan ketentuan bahwa pelapor diperkenakan

mencabut laporannya dalam jangka waktu 3 Bulan, setelah laporan dibuat.

Jadi sebelum lewat batas waktu 3 Bulan tersebut, Anda bias membatalkan

tuntutan perkara tersebut sesuai dengan contoh surat pencabutan laporan


polisi yang umum dibuat. Walaupun hal ini sudah ditetapkan dalam

KUHP, tetapi Mahkamah Agung memberikan sebuah pengecualian pada

beberapa kasus tertentu. Di dalam putusan No. 1600K/Pid/2009 disebutkan

bahwa pelapor masih bias mencabut laporannya meski sudah lewat batas

waktu 3 Bulan.

2. Pelapor Memiliki Hak Membatalkan Perkara Tanpa Paksaan

Selama pelapor yang berkeinginan sendiri membatalkan pengaduan

tersebut maka haknya harus dihormati, oleh sebab itu penegak hokum akan

membatalkan perkaranya. Namum penting dipahami bahwa pencabutan

laporan ini harus berasal dari kemauan pelapor sendiri.

Penting juga untuk mengetahui cara dan membuat surat pencabutan

laporan polisi, sehingga proses pencabutannya semakin mudah. Jika

pelapor dipaksa mencabut laporannya, maka hal ini sudah melanggar

ketentuan Undang-undang.

3. Prosedur Pencabutan Laporan di Kepolisian

Perihal prosedur atau pencabutan laporan tersebut, hanya bias di

lakukan jika masih berada dalam tahap proses di peradilan, seperti proses

pemeriksaan berkas atau pemeriksaan di depan persidangan. Jika proses

persidangan sudah selesai maka, laporan tersebut tidak bisa lagi dicabut.

Terkait pada prosedurnya, cukup dengan mengutarakan secara langsung

dan kepada penegak hukum agar laporannya tersebut dicabut. Ketika

korban ataupun pelapor tidak ingin melanjutkan tuntutannya. Maka haknya

juga harus sepenuhnya dihargai.


Hanya saja penting juga diingat bahwa hal ini hanya berlaku pada

laporan yang sifatnya delik aduan. Jika laporan tersebut merupakan delik

biasa, seperti proses pencurian, pembunuhan, atau hal-hal yang juga

berkaitan dengan tindakan criminal lainnya, pencabutan laporan tidak

berpengaruh terhadap proses hukumnya.

Walaupun pelapor mencabut dokumen dan laporannya. Dalam delik

biasa, penegak hukum dalam hal ini juga pihak Kepolisian akan tetap

memproses tersebut. Hal ini juga sudah diatur dalam KUHP Pasal 338,

Pasal 379 dan pasal lainnya di KUHP. Dan jika pelapor ingin mencabut

laporannya di Kepolisian, terlebih dahulu pahami jenis delik perkaranya,

jika perkara tersebut tergolong delik aduan, maka bisa mengikuti prosedur

pencabutan laporan di Kepolisian sesuai dengan yang di tetapkan oleh

penegak hukum.

Adapun proses pengaduan dan laporan sebagai berikut :

a. Pengaduan/Laporan
Pengaduan atau laporan merupakan proses diadukan atau

dilaporkannya suatu peristiwa oleh pihak terkait.

b. Tindakan

Terhadap pengaduan/laporan tersebut selanjutnya penyidik akan

melakukan penelahaan atau pengaduan/laporan yang dapat dating ke

kantor polisi terdekat berdasarkan tempat kejadian perkara yang akan

diadukan/dilaporkan. Dan juga pengadu/pelapor akan diterima oleh

petugas Sentra Pelayanan Kepolisian. (SPK). Oleh petugas SPK


pengadu/pelapor akan diambil keterangannya untuk dituangkan dalam

format berdasarkan apa yang diadukan/dilaporkan tersebut. Setelah

menerima pengaduan/laporan. Masyarakat tidak akan dipungut biaya

apapun.

1. Membuat laporan polisi


2. Mendatangi tempat dari kejadian perkara
3. Melaporkan ke atasan.
Penerimaan pengaduan meliputi hal-hal sebagai berikut: yang

melaporkan/mengadukan. Yang melaporkan berisi tentang identitas

pelapor yang meliputi nama,jenis kelamin,agama, bangsa, pekerjaan

dan alamat.

Peristiwa yang diadukan/dilaporkan tersebut. Peristiwa yang

diadukan/dilaporkan berisi tentang data dan peristiwa yang

dilaporkan/diadukan oleh pihak terkait. Adapun mengenai peristiwa

yang juga diadukan. Dilaporkan ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

Waktu kejadian, Tempat dari kejadian, Apa yang terjadi, Siapa pelaku

dan korbannya, Bagaimana terjadi, dan juga waktu yang

diadukan/dilaporkan terhadap aduan/laporan tersebut pengadu/pelapor

diberikan juga tanda bukti pengaduan/laporan dari peristiwa yang

diadukan.

Selanjutnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh

undang-undang yaitu, KUHP, pihak dari yang melakukan pengaduan

tersebut dapat melakukan pencabutan pengaduannya. Pencabutan

pengaduan sendiri dilakukan secara tertulis dan juga melalui surat


permohonan yang ditunjukan Kepada Kepala Kepolisian Resort Kota

Ternate. Berdasarkan pencabutan pengaduan tersebut maka perkaranya

akan ditutup dan tidak ditindaklanjuti lagi.

Proses ini hanya bisa berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang

sifat Deliknya adalah delik aduan, sehingga bila pengaduan itu dicabut

maka akan menghentikan proses pada hukum yang sedang berjalan.

Proses pencabutan pengaduan menghentikan proses hukum yang

sedang berjalan. Proses pencabutan pengaduan hanya dapat dilakukan

pada penyidikan, dan juga pemeriksaan berkas pada perkara (pra

penuntutan dan juga pemeriksaan dimuka persidangan. Akibat hukum

yang ditimbulkan apabila pengaduan atau laporan itu dicabut ialah

maka penuntutannya pun akan batal. Pencabutan pengaduan terhadap

delik aduan akan menjadi syarat mutlak untuk dilakukannya

penuntutan.

c. Pengertian Penggelapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengatakan : “

Bahwa penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan

menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak

sah” Istilah penggelapan sebagaimana yang lazim dan dipergunakan

orang untuk menyebut jenis kejahatan yang di dalam Buku II Bab XXIV

Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu adalah suatu terjemahan dari

perkataan ‘’Verduistering’’ dalam bahasa Belanda. Delik yang

berkualifikasi, atau bisa juga yang bernama penggelapan ini diatur dalam
Pasal 372-376 KUHPidana. Pengertian Penggelapan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses, dan cara

perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang

secara tidak sah.

Kemudian juga Adami Chazawi menambahkan penjelasan

mengenai penggelapan berdasarkan pasal 372 KUHP yang dikemukakan

sebagai berikut:

“Perkataan verduistering yang ke dalam Bahasa kita

diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat

Belanda diberikan secara arti luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti

kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang

atau gelap. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak

menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda.”

Pemilikan sesuatu oleh seseorang dengan sengaja dan melawan

hukum atas barang yang Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain

yang dipercayakan padanya (embezzlement).

Menurut R. Soesilo mengatakan bahwa penggelapan adalah Kejahatan

yang hampir sama dengan pencurian Pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian

barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus

diambilnya sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah

ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan” (KUHP) yang berbunyi

sebagai “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasannya terhadap

barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencaharian atau
karena mendapat upah usntuk itu”.2 M. Sudrajat memberikan pengertian tindak

pidana penggelapan, yaitu: “Penggelapan adalah digelapkannya suatu barang

yang harus dibawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain dari lain dari pada

dengan melakukan kejahatan. Jadi barang itu oleh yang punya dipercayakan

Kepada si pelaku tersebut. Pada pokonya pelaku tidak memenuhi kepercayaan

yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan kepadanya oleh yang

berhak atau suatu barang.”3

Beberapa pengertian penjelasan dari arti kata penggelapan :

Dapat kita lihat C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil mendefenisikan

penggelapan secara lengkap yaitu:

“Penggelapan yaitu barang siapa secara tidak sah memiliki barang yang

seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang ada padanya bukan

karena kejahatan,ia pun telah bersalah melakukan tindak pidana,misalnya Pasal

372 KUHP yang dilakukan sebagai verduistering atau penggelapan”

Berdasarkan bunyi pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis

delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :

Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan

barang milik orang lain yang dirumuskan dalan pasal undang-undang melalui kata

:” dengan sengaja”. Dan Unsur Obyektif Delik terdiri atas;

1. Unsur barang siapa


2. Unsur menguasai secara melawan hukum
3. Unsur suatu benda

3
4. Unsur Sebagian atas seluruhnya ilmiah milik orang;dan
5. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Jadi dapat diartikan bahwa penggelapan adalah suatu perbuatan
menyimpang yang menyalahgunakan kepercayaan orang lain yang diberikan
padanya dari awal barang itu berada ditangannya bukan karena dari hasil
kejahatan. Perkara penggelapan merupakan suatu delik atau tindak pidana biasa
dan juga bukan delik aduan. Menurut R. Tresna, istilah pengaduan (klacht)
tidak Sama artinya dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah :

1. Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan


pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya
pengaduan itu menjadu syarat.
2. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan
hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
3. Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutat pidana,
pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan
syarat untuk mengadakan penuntutan.4
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penggelapan
Berdasarkan dari rumusan Pasal 372 KUHPPidana tersebut, maka Unsur-
unsur Tindak Pidana Penggelapan adalah sebagai berikut:

Unsur-unsur Objektif, yang juga meliputi :

1. Unsur mengakui sebagai mili sendiri (menguasai)


Menurut Tongat, pada penjelasannya mengenai unsur-unsur ‘’Mengakui

sebagai milik sendiri (Menguasai)’’. Menyebutkan, Dalam tindak Pidana,

‘’Pencurian’’ unsur ‘’Menguasai’’ ini merupakan unsur ‘’Subjektif’’,

tetapi dalam tindak pidana, ‘’Penggelapan’’ unsur tersebut merupakan

juga unsur ‘’Objektif ‘’. Dalam hal tindak pidana pencurian,

‘’menguasai’’ merupakan tujuan dari tindak pidana pencurian. Dalam hal

4
ini unsur tersebut tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan yang

dilarang (yaitu mengambil barang itu) selesai. Dalam hal ini harus

dibuktikan, bahwa pelaku tersebut mempunyai maksud untuk menguasai

barang itu untuk dirinya sendiri, tanpa perlu terbukti barang itu benar-

benar menjadi miliknya. Sementara dalam tindak pidana penggelapan,

perbuatan ‘’Menguasai’’. Perbuatan tersebut itu merupakan perbuatan

yang dilarang, maka tidak ada penggelapan apabila perbuatan

‘’Menguasai’’ tersebut belum selesai.

2. Unsur Suatu Barang.


Perbuatan yang menguasai suatu barang yang berada dalam

kekuasaanya sebagaimana yang telah di terangkan di atas, tidak

mungkim dapat dilakukan pada barang-barang yang sifatnya dan

kebendaannya tidak berwujud, karena objek penggelapan hanya dapat

ditafsirkan sebagai barang yang juga sifat kebendaannya berwujud,

dan/atau bergerak.

Menurut Adami Chazawi, dalam penjelasannya mengenai Unsur

ini, menerangkan bahwa pengertian barang yang berada dalam

kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan yang langsung dan juga

sangat erat dengan barang itu, dia dapat juga melakukannya secara

langsung tanpa harus melakukan perbuatan terhadap bend aitu, dia juga

dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan

yang lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda yang

berwujud dan juga bergerak saja, dan juga tidak mungkin terjadi

terhadap benda-benda tidak berwujud dan juga tetap.


3. Unsur yang seluruh atau Sebagian milik orang lain.
Unsur ini memberikan pemahaman bahwa barang yang dikuasai

oleh pelaku penggelapan tersebut bukanlah miliknya sendiri melainkan

milik orang lain atau badan hukum, orang lain.

Yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek

penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau

orang tertentu melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri.

Unsur barang itu yang harus sudah ada dalam kekuasasaannya bukan

karena kejahatan. Unsur ‘’Barang itu harus sudah ada dalam

kekuasannya bukan karena kejahatan ‘’merupakan unsur pokok didalam

tindak pidana penggelapan. Apabila suatu barang berada kekuasaan

orang bukan karena kejahatan, akan tetapi karena sesuatu perbuatan

yang sah misalnya karena penyimpangan, perjanjian penitipan barang,

dan juga sebgainya.

Unsur secara melawan hukum, suatu benda yang milik orang lain

berada dalam kekuasaan seseorang dapat oleh sebab perbuatan melawan

hukum (Suatu Kejahatan) maupun oleh sebab perbuatan yang sesuai

dengan hukum, Adami Chazawi, menjelaskan bahwa sebagai syarat dari

penggelapan ini adalah barang yang berada dalam kekuasaan petindak

haruslah oleh sebab perbuatan yang sah misalnya karena penyimpanan,

perjanjian dan juga penitipan barang, dan juga sebagainya.

Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan

sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri secara


melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan

‘’Penggelapan’’. 5

Unsur Subjektif Yaitu, Dengan sengaja, unsur ini merupakan

unsur kesalahan dalam tindak pidana penggelapan , Adami Chazawi

mengklasifikasikan kesengajaan pelaku dalam penggelapan itu berarti:

1. Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki benda milik


orang lain yang berada dalam kekuasaannya itu sebagai perbuatan
yang melawan hukum, suatu perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukumnya atau bertentangan dengan hak orang lain.
2. Petindak dengan kesadaran yang sedemikian itu menghendaki
untuk melakukan perbuatan memiliki.
3. Petindak mengetahui, menyadari bahwa melakukan perbuatan
memiliki itu adalah terhadap sesuatu benda, yang disadarinya
bahwa bend aitu milik orang lain Sebagian atau seluruhnya.
4. Petindak mengetahui, menyadari bahwa benda milik orang lain

berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Kesengajaan

yang harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya itu

harus dibuktikan dalam persidangan. Oleh karenanya hubungan

antara orang yang menguasai dengan barang yang dikuasai harus

sedemikian langsungnya, sehingga untuk melakukan sesuatu

terhadap barang tersebut orang tidak memerlukan Tindakan lain.

C. Keadilan Restoratif ( Restoratif Justice )

5
Konsep keadilan restorative pertama kali diperkenalkan oleh Albert

Eglash dengan menyebutkan istilah ‘’restorative justice’’, yaitu suatu

alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan

keadilan rehabilitatif. Beberapa pakar hukum menyebutkan pengertian

restorative justice dengan defenisi yang berbeda, namun mengadung makna

yang sama yaitu suatu konsep pemikiran terkait dengan system pemidanaan

yang tidak hanya menitik beratkan pada kebutuhan dan penjatuhan hukuman

terhadap pelaku tersebut, tetapi juga memperhatikan dan melibatkan korban

dan komunitasnya (masyarakat) yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme

yang kerja system peradilan pidana yang berlaku pada saat ini. Beberapa

pengertian restorative justice yang dikemukakan para ahli hukum, antara

lain:

1. Menurut Howard Zahr:


Keadilan restoratif adalah proses untuk melibatkan dengan

menggunakan segala kemungkinan, seluruh pihak terkait dengan

pelanggaran tertentu dan juga untuk mengidentifikasikan serta

menjelaskan ancaman, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka

menyembuhkan serta menematkan hal tersebut sedapat mungkin sesuai

dengan tempatnya.

2. Menurut Tony Marshall


Peradilan restoratif adalah suatu proses yang semua pihak yang

bertarung dalam suatu delik tertentu berkumpul bersama untuk

memecahkan masalah secara kolektif bagaimana membuat persetujuan

mengenai akibat (buruk) suatu delik dan implikasinya di masa depan


3. Menurut pasal 1 butir (6) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Keadilan restoraif adalah penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan juga

pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang

adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan

bukan pembalasan.

Banyaknya defenisi restorative justice yang dikemukakan para

ahli hukum dikarenakan banyak dalam penerapannya. Menurut

Hanbook on restorative justice Progreme’’ yang dipublikasikan oleh

PBB pada bulan November 2006, kegiatan restorative justice harus

dilaksanakan dengan asumsi sebagai berikut:

a. That resprime should repair as much a possible the harm suffered


by the victim ( anggapan atas kejahatan harus diperbaiki sebaik
mungkin serta ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban).
b. That offenders should be brought to understand that their
behaviour is not accepted and that it had real consequences for the
victim and community (pelaku harus dibawa untuk memahami
bahwa perilakunya tidak bias diterima dan hal ini punya beberapa
konsekuensinya nyata untuk korban dan komunitas.
c. That offenders can and should accept responsibility for their action
(pelaku harus dapat menerima tanggung jawab yang timbul dari
tingkah lakunya).
d. That victim should have an opportunity to the express their and to
participate in the dertimining the best way for the best way the
offender to make reparation (korban harus memperoleh
kesempatan untuk menyatakan keinginannya dan ikut serta
menentukan langkah terbaik yang dapat dilakukan pelaku untuk
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya.
Menurut komariah E. Sapardjaja, walaupun restorative justice
menjanjikan konsep yang baik, namun menimbulkan beberapa
kekhawatiran dalam system pemidanaan yaitu:
a. Konsep restorative justice dapat mengendorkan kepastian
hukum dan konsistensi. Dengan demikian, stake holder yang
terlibat dalam penyelesaian kasus.
b. Konsep restorative justice dapat mengendorkan peraturan
hukum, khusunya peraturan perundang-undangan dalam
menyelesaikan suatu kasus. Hal ini tentunya mempengaruhi
asas ‘’nullum delictum’’ dalam pemidanaan.
c. Konsep restorative justice akan mengubah sifat pidana sebagai
‘geslotenrech’ menjadi seperti hukum perdata yang sifatnya
terbuka dimana hubungan sebab akibat hukum terutama
ditentukan oleh kehendak atau pihak yang terlibat. 6
D. Istilah tindak Pidana.

Istilah tindak Pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu Strafbaarrfeit. Strafbaarfeit terdiri dari tiga kata

yakni straf, baar, dan feit straf diterjemahkan dengan Pidana dan hukum,

perkataan baar diterjamahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu,

untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan

perbuatan. Sehingga secara harfiah perkataan “ strafbaarfeit” itu dapat

diterjamahkan sebagai “ Sebagian dari suatu peristiwa yang dapat dihukum

“.

6
Walaupun terdapat dalam Wetboek van Starfrecht (Wvs) Belanda

tentang apa maksud starfbaarfeit itu. Sulitnya memberikan pengertian

terhadap starfbaarfeit, membuat para ahli mencoba untuk memberikan

defenisi tersendiri dari sudut pandang mereka yang menimbulkan

banyaknya ketidakseragaman rumusan dan penggunaan istilah dari

starfbaarfeit.

Beberapa pengertian starfbaarfeit menurut para ahli:

a. Adami Chazawi mengemukakan bahwa


Di Indonesia sendiri dikenal adanya tujuh istilah yang digunakan
sebagai terjemahan dari istilah starfbaarfeit. Istilah yang pernah
digunakan baik yang digunakan dalam perundang-undangan maupun
dari literatur-literatur hukum diantaranya adalah tindak pidana,
peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh
dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah
perbuatan pidana .
b. Simon, mengemukakan bahwa:
Starfbaarfeit ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan
kesalahan seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang
dimaksud oleh Simon ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi
dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).
c. Vos berpendapat bahwa “ Starfbaarfeit adalah suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan Undang-undang.”
d. Van Hamel merumuskan Starfbaarfeit yaitu sebagai:
“kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang yang
bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan”.
e. Karni mengemukakan bahwa :
Delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak,
yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal
budinya dan kepada siapa perbuatan itu dipertanggung jawabkan.
f. Jonkrers mengemukakan bahwa defenisi tentang Starfbaarfeit menjadi
dua, yaitu :
1. Defenisi pendek memberikan pengertian starfbaarfeit sebagai
kejadian yang diancam ppidana oleh Undang-undang.
2. Defenisi Panjang memberikan pengertian starfbaarfeit sebagai
suatu kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan baik dengan
sengaja maupun lalai oleh orang dapat dipertanggungjawabkan.
g. Pompe mengemukakan
Starfbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu
pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah
dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
h. Moeljatno mengemukakan bahwa:
Dalam memberikan defenisi tentang Starfbaarfeit, menggunakan
istilah perbuatan pidana. Beliau memberikan pengertian perbuatan
pidana sebagai” perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan, dimana disertai dengan ancaman pidana tertentu bagi yang
melanggar larangan tersebut.7

Beberapa pendapat para ahli hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa


suatu perbuatan akal menjadi Tindak pidana apabila perbuatan itu mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:

1. Bersifat melawan hukum.


2. Kesalahan
3. Berupa perbuatan manusia

7
4. Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
5. Diancam pidana.8
E. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pidana tambahan berupa pencabutan dan hak-hak tertentu tidak

berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Maka pencabutan tersebut tidak

meliputi pencabutan hak-hak dalam kehidupan dan juga hak-hak sipil

seperti (perdata) dan juga ketatanegaraan. Dahulu dikenal pidana terhadap

kehormatan dan juga yang paling berat ialah pidana kematian perdata,

yang dalam UUD 1950 dahulu tegas dilarang.

Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana

di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana di bidang kemerdekaan,

pencabutan hak-hak tertentu, dalam dua hal :

1. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkakn juga dengan putusan


hakim.
2. Tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut
undang-undang dengan suatu putusan hakim.
F. Jenis-jenis Tindak Pidana Kejahatan

Tindak pidana penggelapan diatur di dalam Buku II Bab XXIV


Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berjudul Penggelapan”. Tindak
pidana penggelapan diatur dalam beberapa pasal yaitu pasal 372 KUHP
sampai dengan pasal 377 KUHP. Dengan melihat cara perbuatan yang
dilakukan, maka kejahatan penggelapan terbagi atas beberapa
bentuk,yaitu:

a. Bentuk pokok
8
Pasal 372 : Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan
hukum memiliki barang yang seluruhnya atau Sebagian kepunyaan
orang lain dan yang ada padanya bukan kejahatan duhukum karena
penggelapan dengan hukuman penjara paling lama penjara selama-
lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya 15 kali enam
puluh rupiah.

b. Bentuk Gequalifseerd

Pasal 374 : Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang

memegang barang itu karena jabatannya sendiri atau pekerjaannya atau

karena mendapat upah uang, dihukum sebagai penggelapan dengan

hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Jenis penggelapan ini

tidak ada namanya. Ada juga yang memberi nama penggelapan khusu.

Lebih tepat apabila diberi nama penggelapan dengan pemberatan .

c. Bentuk yang geprivilegeerd

Pasal 373: perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372 bilamana


yang digelapkan itu bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua
ratus lima puluh rupiah, dihukum sebagai penggelapan ringan dengan
penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda enam puluh rupiah.

E. Tinjauan Tentang Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian kegiatan/kegiatan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangka ( Pasal 1 butir 2

KUHAP ).
Penyedikan ini dimulai setelah terjadinya tindak pidana untuk

mendapatkan keterangan-keterangan tentang: tindak apa yang telah di

lakukan kapan tindak pidana itu dilakukan ; dengan apa tindak pidana itu

didulukan dan; mengapa tindak pidana itu dilakukan dan; siapa

pelakunya.

Suatu tindak pidana dapat diketahui melalui laporan pengaduan

atau tertangkap tangan. Setelah diketahui melalui laporan pangaduan atau

tertangkap tangan. Setelah diketahui suatu peristiwa yang terjadi di duga

atau merupakan tindak pidana segera dilakukan penyidikan melalui

kegiatan penyidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan

penyerahan berkas pada perkara. Pemulaan penyidikan diberitahukan

kepada penuntut umum dengan surat pemberitahuan dimulainya

penyidikan yang dihampiri polisi atau resume berita acara pemeriksaan

sanksi atau resume berita acara pemeriksaan tersangka atau berita acara

penangkapan atau berita acara pengeledahan atau penyitaan penyidikan.

Sedangkan pengertian penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 ayat

(2) kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:”

Penyidikan adalah serangkaian Tindakan penyidikan dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang

terjadi guna menemukan tersangkanya;” Dalam Pasal 4 Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, disebutkan bahwa dasar


dilakukannya penyidikan: a. laporan polisi/pengaduan; b. surat perintah

tugas; c. LHP, d. surat penyidikan; dan e. SPDP.

Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

menyebutkan bahwa kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap

meliputi:

a. Penyelidikan
b. Pengiriman SPDP;
c. Upaya jaksa;
d. Pemeriksaan;
e. Gelar perkara;
f. Penyelesaian berkas perkara;
g. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. Penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. Penghentian Penyidikan.
Pasal 24 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa penyelidikan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 Huruf (a) dilaksanakan melalui

kegiatan :

a. Pengolahan TKP;
b. Pengamatan (0bservasi);
c. Wawancara (interview)
d. Pembuntutan (surveillance);
e. Pelacakan (tracking);
f. Penyamaran (undercover)
g. Penelitian dan analisi dokumen.
Pasal 26 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

disebutkan bahwa: Upaya Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

Huruf (c) meliputi;


a. pemanggilan;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. penyitaan;
f. pemeriksaan surat.”
Selain itu menambahkan hal di atas, dalam Surat Keputusan Kepala

Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) No. Pol: SKEP/82/XII/2006/

BARESKRIM, tanggal 6 Desember 2006 tentang Pedoman Penyidikan

Tindak Pidana menyebutkan bahwa “Penyidikan tindak pidana merupakan

sub system atau bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Peradilan Pidana

Terpadu. Proses penegakan hukum pidana merupakan satu rangkaian, dimulai

dari Tindakan penyidikan dilanjutkan ke penuntutan dan keputusan hakim di

sidang peradilan pidana”.

F. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

Penyidikan menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Kepolisian No.

2 Tahun 2002 adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Sebagaimana juga dijelaskan dalam Pasal 109 butir (1) KUHAP) penyidik

adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusu oleh Undang-undang untuk

melakukan penyidikan. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi

adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan penyidik untuk

mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan

pada pengetahuan hukum pidana.


a. Pencabutan pengaduan di Polisi

Pencabutan pengaduan, dapat dilakukan pada tahapan proses

peradilan yaitu: Pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (pra

Penuntutan) dan boleh juga dimuka persidangan dengan cukup

mengatakan secara langsung atau mengajukan surat pernyataan

pembatalan tuntutan kepada penegak hukum bahwa Pelapor atau yang

menjadi Korban tidak mau, melanjutkan tuntutaannya. Dan ingat,waktu

untuk mencabut aduan tersebut adalah tiga bulan semenjak hari pertama

dimasukannya suatu aduan.

Di dalam Pasal 75 KUHP berbunyi “ Barangsiapa yang

memasukkan pengaduan, tetap berhak untuk mencabut Kembali

Pengaduannya itu dalam tempo tiga bulan sejak hari dimasukannya.”

Sementara, perlu sangat penting untuk diketahui bahwa mengenai

pengaduan ini hanyalah suatu tindak pidana yang dikategorikan sebagai

Delik Aduan contoh Pasal 284 KUHP(Perzinahan), pasal 310

KUHP(pencemaran nama baik),Pasal 311 KUHP(fitnah), pasal 367 KUHP

(pencurian dalam kalangan keluarga), dan pasal 27 ayat (3) Undang-

undang No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang No.11

tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana

dijelaskan dalam penjelasan umum UU. No. 11 tahun 2008 tentang

informasi dan transaksi elektronik. Sebagaimana di jelaskan dalam

penjelasan umum UU No. 19 tahun 2016 Dan perlu di ingat pula bahwa
Delik Aduan merupakan suatu delik yang dimana perkaranya hanya di

proses apabila ada suatu pengaduan.9

G. Unsur-unsur Tindak Pidana

Konsep tindak pidana dikemukakan oleh Moeljatno Roeslan Saleh,

Wirjono Projodikjoro, Simons,Komariah Emong Supardjaja, Sutan Remy

Sjahdeine, dan Indrianto Seno Adji, sekedar untuk mengetahui keragaman

konsep tersebut.

Penggelapan dalam bentuk pokok telah diatur dalam Pasal 372

KUHP. Kejahatan ini dinamakan “Penggelapan biasa “. Merupakan

kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dan juga dalam Pasal 362,

hanya saja bedanya kalau dalam pencurian barang yang diambil tersebut

untuk dimiliki itu nelum berlaku berada di tangan si epalku, sedangkan

dalam kejahatan penggelapan, barang tersebut yang diambil untuk dimiliki

itu sudah berada di tangannya si pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau

sudah berada di tangannya sin pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau

sudah di percayakan kepadanya.

Sebagaimana yang diketahui bahwa seseorang baru dapat dijatuhi

pidana apabila perbuatannya itu memenuhi unsur tindak pidana yang

dirumsukan dalam Pasal-pasal Undang-undang Pidana. Adalah menjadi

tuntutan normatif yang harus dipenuhi bila mana seorang dapat

dipersalahkan karena melakukan atau tindak Pidana, yaitu perbuatan itu

harus dibuktikan dan mencocoki semua unsur dari Tindak Pidana. Apabila

9
salah satu unsur tindak pidana terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka

itu konsekuensinya adalah tindak pidana yang dituduhkan kepada si pelaku

tidak terbukti dan tuntutan batal demi hukum. Prakteknya, pandangan

normatif tersebut dalam perkembangannya mengalami pergeseran, dimana

seseorang dapat disalahkan melakukan sesuatu tindak pidana yang

didasarkan kepada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarkat atau hukum

kebiasaan yang umumnya bersifat tidak tertulis.

Ditinjau, dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur yang

terdapat dalam pasal 372 dapat dibedakan dua macam, yaitu: unsur subjektif

dan unsur objektif , sebagai berikut:

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam diri si

pelaku tindak pidana, Unsur-unsur subjektif ini pada dasarnya merupakan

hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat ditemukan di dalam diri si pelaku

termasuk dalam kategori ini adalah keadaan jiwa atau batin dari si pelaku.

Menurut satochid Kertanegara menjabarkan unsur subjektif dengan

membedakan menjadi dua macam,sebagai berikut :

a. Kemampuan bertanggungjawab.
b. Kesalahan.10
Menurut Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana

menyatakan bahwa “Tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”.

Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang di akibatkan oleh

10
kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu;

tidak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan itu.

Menurut Lamintang bahwa unsur-unsur subjektif dari tindak pidana

akan meliputi, sebagai berikut;

a. Kesengajaan atau kebiasaan (dolus atau culpa).


b. Maksud ( voornemen) pada suatu percobaan (pogging) seperti yang di
maksud di dalam pasal 52 ayat (1) KUHP.
c. Macam-macam maksud (oogmerk) misalnya di dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan,pemerasan,pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad), misalnya
kejahatan pembunuhan memnurut Pasal 340 KUHP.
Di dalam doktrin dan juga ilmu pengetahuan hukuman pidana unsur

kesengajaan atau obzet/pada umunmnya dibedakan menjadi tiga jenis,

sebagai berikut:11

a. Kesengajaan dengan maksud (0bzet als oogment)

b. Kesengajaan dengan keinsyafan atas kemungkinan (obzet

bijmogelijkheldsbewwustzjin atau dolus eventualis).

Bertolak dari uraian tersebut di atas, maka disimpulkan unsur-unsur

subjektif meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab (Toerekeningswatbaarheit).

b. Kesalahan (Schuld) yang terdiri dari:

1). Kesengajaan (dolus) , yang terdiri dari :

a. Obzet als oogmerk.


b. Obzet bij zekerheidsbewutzijiin.
c. Obzet bij mogelijkheidsbewusttzinjn atau dolus eventualis.

11
a. Unsur objektif

Unsur objektif adalah unsur-unsusr yang berasal dari luar si pelaku,

sebagaimana halnya pada unsur subjektif, beberapa ahli pun di dalam

menjabarkan unsur-unsur yang terdapat di luar diri si pelaku berbeda-beda.

Lamintang merinci tiga bentuk unsur objektif dari tindak pidana

sebagai berikut:

a. Sifat melanggar hukum (wederrechtheliijkheid).

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan seseorang pegawai negeri

di dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP, atau keadaan sebagai

pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam

kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

c. Kauasalitas , yakni hubungan antara suatu Tindakan dengan sebagai

penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Sedangkan Satochid Katanegara mengemukakan bahwa unsur

objektif merupakan unsur yang dilarang dan daincam pidana oleh Undang-

undang yang berupa :

a. Suatu tindakan.
b. Suatu akibat.
c. Keadaan (Omstandigheid)
Akan tetapi, penulis lebih cenderung mengikuti unsur-unsur objektif

yang dirinci Laden Marpaung , sebagai berikut:

1. Perbuatan manusia, berupa:

a. Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.


b. Omission, yakni perbuatan yang pasif atau perbuatan negatif.

2. Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut

membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-

kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya

nyawa,badan,kemerdekaan,hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

3. Keadaan-keadan (araumstances), yang umumnya berupa:

a. Keadaan-keadaan pada saat perbuatan di lakukan.

b. Keadaan-keadaan setelah perbutan di lakukan.

Sifat ini dapat di hukum dari sifat yang melawan hukum. Sifat dapat

di hukum berkenan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaklu dari

hukuman.

Maksud memiliki merupakan setiap perbuatan menguasai barang

atau suatu kehendak untuk menguasai barang atau kekuasaannya yang telah

nyata dan merupakan Tindakan sebagai pemilik barang, yang tidak memberi

kesempatan kepada pemiliknya untuk menerima Kembali, bahkan menolak

untuk mengembalikannya atau menyembunyikannya atau mengingkari

barang yang diterima dan dikuasainya sudah dapat dinyatakan sebagai

perbuatan memiliki.

H. Jenis-jenis Tindak Pidana

Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana atau tindak

pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan adalah rechtdelicten , yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan, terlepas apakah perbutan itu akan diancam pidana dalam
suatu Undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik

dalam Undang-undang , perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan , sedangkan

pelanggaran adalah perbuatan yang oleh masyarkat baru di sadari sebagai

perbuatan pidana karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.

Perbuatan-perbuatan ini di anggap sebagai tindak pidana oleh masyrakat

karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.

Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana formil, dan tindak

pidana materil. Tindak pidana formil pidana perbuatan pidana yang

perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak

pidana telah di anggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang

dilrang oleh Undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya, sedangkan

perbuatan pidana materil adalah perbuatan pidana yang perumusannya

dititikberatkan pada akibat yang dilarang yaitu tindak pidana ini baru di

anggap telah terjadi atau di anggap telah selesai apabila akibat dilarang itu

terjadi.

Tindak pidana juga dibedakan atas tindak pidana tunggal tindak

pidana berganda, Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang cukup

dilakukan dengan satu kali perbuatan, misalnya penipuan, pencurian,

pembunuhan sedangkan tindak pidana berganda terjadi apabila dilakukan

beberapa kali perbuatan, misalnya penandahan.

Tindak pidana yang dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik

aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutnya hanya dilakukan jika ada
pengaduan dari pihak yang terkena atau di yang rugikan. Delik aduan

dibedakan dalam dua jenis, yaitu delik aduan absolute dan delik aduan

relative. Delik aduan absolute adalah delik yang mempersyaratkan secara

absolute adanya pengaduan untuk penuntutnya . sedangkan delik aduan

relative adalah delik yang dilakukan masih dalam lingkungan keluarga. Delik

biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk

penuntutnya.

Tindak pidana juga didasarkan atas tindak Pidana yang berlangsung

terus-menerus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus-menerus.

Perbuatan pidana yang berlangsung terus-menerus memiliki ciri bahwa

perbuatan-perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus, misalnya delik

merampas kemerdekaan orang sedangkan yang dimaksud perbuatan pidana

yang tidak berlangsung terus menerus adalah perbuatan pidana yang memiliki

ciri bahwa keadaan yang terlarang tersebut itu tidak berlangsung terus

menerus, misalnya pencurian dan pembunuhan.

Jenis tindak pidana juga dibedakan atas delik komisi dan juga delik

omisi. Delik komisi tersebut adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap

larangan , yaitu berbuat sesuatu yang di larang. Sedangkan delik omisi

tersebut adalah yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak

berbuat sesuatu yang diperintah. Tindak pidana juga dibedakan atas delik

dolus dan delik culpa. Delik dolus adalah delik yang memuat kesengajaan,

sedangkan delik culpa sendiri adalah delik yang memuat unsur kealpaan.
Jenis tindak pidana yang dibedakan di atas biasa dan delik kualifikasi.

Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya

unsur bersifat memberatkan. Sedangkan yang delik kualifikasi pemberat,

sehingga ancaman pidana nya menjadi diperberat.

Menurut system KUHP Dalam kepustakaan hukum pidana, umumnya

para ahli hukum pidana telah mengadakan pembedaan antara berbagai macam

jenis tindak pidana.

Beberapa diantara pembedaan yang terpeting adalah:

1. Kejahatan ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas

apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau

tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

bertentangan dengan keadilan misalnya pembunuhan, pencurian. Delik

semacam ini disebut kejahatan.

2. Pelanggaran ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak

pidana karena Undang-undang yang menyebutnya sebagai delik,

dikarenakan terdapat Undang-undang yang mengancam dengan pidana,

Misalnya memakirkan mobil di sebelah kanan jalan. Delik semacam ini

disebut pelanggaran.

a. Menurut cara merumuskannya ialah:

1. Delik formil adalah delik perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan

yang dilarang. Tindak pidana formil tidak memperhatikan dan tidak

memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat

penyelesainnya tindak pidana, melainkan pada perbuatannya. Contohnya


pada pencurian (Pasal 362 KUHP ) untuk selesai nya pencurian

digantungkan pada selesai nya perbuatan mengambil.

2. Delik materil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada

akibat yang tidak dikehendaki. Delik ini baru selesai apabila akibat yang

tidak dikehendaki telah terjadi,Misalnya pembakaran (Pasal 187 KUHP),

penipuan (387 KUHP)

3. Berdasarkan macam perbuatannya

4. Delik commisonis yaitu berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu

berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, dan penipuan.

5. Delik ommisionis yaitu delik berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu

tidak melakukan sesuatu yang di perintahkan. Misalnya tidak menghadap

saksi dimuka pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang

membutuhkan pertolongan (Pasal 531 KUHP),

6. Delik commionis oer ommisioenen commisa yaitu delik berupa

pelanggaran larangan, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak

berbuat. Misalnya seorang yang membunuh anaknya dengan tidak

memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP).

7. Berdasarkan bentuk kesalahan.

8. Delik dolus yaitu delik yang memuat unsur kesengajaan, misalnya Pasal

187 KUHP.

9. Delik culpa yaitu Delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur,

misalnya Pasal 195 KUHP.

10. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan.
11. Delik tunggal yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu

kali.

12. Delik berangkai yaitu delik yang merumuskan sedemikian rupa sehingga

untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidana nya si pembuat,

disyaratkan secara berulang. Misalnya, Pasal 481 KUHP, di mana pembuat

membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan atau

menyembunyikannya.

13. Delik yang berlangsung dan delik selesai

14. Delik berlangsung yaitu delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan

terlarang itu berlangsung terus-menerus, misalnya merampas

kemerdekannya orang lain (Pasal 333 KUHP ).

15. Delik selesai yaitu delik tiada lebih dari suatu perbuatan yang mencakup

melakukan atau melahirkan atau menimbulkan akibat tertentu seperti

menghasut, membunuh, dan membakar.

16. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan

17. Delik aduan yaitu delik yang penuntutnya hanya dilakukan apabila ada

pengaduan dari pihak yang terkena misalnya penghinaan (Pasal 310

KUHP).

18. Delik biasa yaitu tindak pidana yang untuk dilakukannya penentuan pidana

terhadap pembuatanya tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang

berhak.
b. Teori Terjadinya Tindak Pidana tersebut

Tindak Pidana atau kejahatan merupakan suatu perbuatan yang

buruk, berasal dari kata jahat yang memiliki arti sangat tidak baik, sangat

buruk, sangat jelek, sedangkan secara yuridis kejahatan diartikan sebagai

suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh Undang-

undang. Kejahatan merupakan suatu perbuatan suatu Tindakan secara

umum memiliki arti perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum yang

berlaku. Berdasarkan arti kejahatan berasal dari kata jahat yang mendapat

awalan “ke”dan mendapat akhiran”an” yang memiliki arti sangat jelek,

buruk, sangat tidak baik (tentang kelakuan, perbuatan).

Berarti secara Bahasa, kejahatan adalah perbuatan yang jahat,

perbuatan yang melanggar hukum, perilaku yang bertentangan dengan

nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Ada

beberapa pengertian kejahatan, secara yuridis sendiri kejahatan adalah

segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat di

pidana yang diatur dalam hukum pidana. Sedangkan, secara kriminologi

kejahatan berarti Tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui

oleh masyarakat.

Sue Titus Reid menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu

perbuatan yang disengaja maupun yang melanggar hukum pidana tertulis

maupun putusan hakim yang dilakukan oleh seorang yang bukan

pembelaan atau pembenaran dan diancam dengan sanksi oleh Negara


sebagai kejahatan maupun pelanggaran, menurutnya ciri-ciri kejatan

sebagai berikut:12

a) Kejahatan adalah suatu Tindakan yang dilakukan secara sengaja, dalam

pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya,

melainka harus ada Tindakan atau kealpaan dalam bertindak.

Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika

terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam keadaan

tertentu, di samping itu juga harus ada niat jahat.

b) Merupakan pelanggaran hukum pidana.

c) Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui

secara hukum.

d) Diberi sanksi oleh Negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.

Sutherland juga mengungkapkan tentang kejahatan, menurutnya

kejahatan memiliki arti suatu perilaku yang dilarang oleh Negara karena

merugikan. Negara beraksi dengan hukuman sebagai upaya untuk mencegah

memberantasnya. Sesuai dengan perkembangannya, menurut Hoefinagels

menjelaskan bahwa kejahatan sekedar perilaku saja belum cukup untuk

dianggap sebagai kejahtan.

Kejahatan adalah perilaku manusia yang diberi tanpa dapat

dimengerti dari pada sekedar melihat kejahatan Sebagai label atau etiket.

Contohnya, nama-nama perilaku yang dimaksud, yaitu pencuri, pemerkosa,

pemburuh dan sebagainya. Kejahatan dari sudut pandang lain, misalnya dari
12
sudut pandang sosiologis, kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang

menyimpang nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat.

Norma dalam masyarakat ini merupakan consensus dari anggota

masyarakat tersebut dengan adanya sanksi bagi yang menyimpang dari

consensus, sehingga penjatuhan hukuman berarti penegasan Kembali

kepada masyarakat luas bahwa mereka terikat oleh seperangkat norma dan

nilai-nilai umum, kejahatan identik dengan penyimpangan sosial.

Proses pengaduan, terkadang beberapa pengaduan akan diakhiri

dengan proses pencabutan perkara. Prosedur pencabutan laporan di

kepolisian penting dipahami pelapor, karena ada aturan khusus perihal

dokumen tersebut. Sama halnya dengan proses membuat laporan

pengaduan, proses pencabutannya juga memiliki cara tersendiri.

Kasus yang sering di hadapi oleh kepolisian salah satunya adalah

kasus perkara penggelapan yang tercantum dalam pasal 372 KUHP yang

berbunyi “barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki

barang sesuatu yang seluruhnya atau Sebagian adalah kepunyaan orang lain,

tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam

karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau

pidana denda paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak

Sembilan ratus rupiah “.


Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat dikatakan

perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang

dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangannya itu

ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang

dtimbulkan oleh kekuatan orang sedangkan ancaman pidannya ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

Pasal 372 KUHP.

“ barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu

barang yang sama sekali atau sebagainya termasuk kepunyaan orang lain

dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum

karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun

atau denda sebanyak banyaknya Rp. 900,- (KUHP 35,43,373,376,486).

Ini dinamakan “ penggelapan biasa” penggelapan adalah “kejahatan

yang hamper sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP. Bedanya

ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada

ditangan pencuri dan masih harus diambilnya”sedang pada penggelapan

waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan

jalan kejahatan.

Suatu penggelapan misalnya si A meminjam sepeda B, kemudian

tidak seizin B dijudulnya atau A ( bendaharawan) menyimpan uang Negara


lalu uang itu dipakai untuk keperluan sendiri. Kadang-kadang sukar sekali

untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A

menemui uang di Jalan lalu diambilnya, Jika pada waktu mengambil itu

sudah ada maksud (niat) untuk memilili uang tersebut, maka peristiwa ini

adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah

uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi dan betul diserahkannya, maka

A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai

dikantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan

dibelanjakan, maka A salah menggelapkan.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan pada penulisan proposal ini

yaitu yuridis empiris/socio legal. Yaitu dengan pendekatan yuridis empiris

adalah menelah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian di

lapangan untuk fakta-fakta yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan

di Polres Resort Ternate. Dengan demikian, akan diperoleh pemecahan atau

penyelesaian terhadap masalah tersebut. Jadi penelitian yuridis empiris ini

disebut juga studi hukum terhadap norma/aturan (law in books) dan dalam

aksi/Tindakan (Law In Action) dimana penelitian ini ingin mengkaji tentang

penyelesaian tindak pidana penggelapan menggunakan penyelesaian

Restorative Justice dalam kewenangan Kepolisian polisi. Sehubungan juga

dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian empiris, maka

terdapat beberapa pendekatan penelitian hukum dengan pendekatan undang-

undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan

filosofis. Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan

pendekatan undang-undang (statue approach) yakni dengan kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Peraturann Kepala Kepolisian RI NO: 12 Tahun

2009 tentang pengawasan dan pengendalian penanganan dalam perkara

pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pendekatan

kompratif (comparative approach) .13

13
B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di lakukan di Wilayah Hukum Kantor Kepolisian

Resort (POLRES) Ternate.

C. Jenis Dan Sumber Data

Dalam penulis ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu

data primer dan data sekunder:

a. Data Primer

Data primer adalah data asli yang diperoleh peneliti secara

langsung melalui studi lapang, baik melalui pengamatan, observasi,

wawancara, dengan pihak-pihak yang terkait, guna mendapatkan

informasi yang lebih jelas.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah Data yang diperoleh melalui studi Pustaka

dan literatur lain berupa karya ilmiah, buku, artikel-artikel, serta

peraturan perundangan-undangan yang berhubungan dengan objek

penelitian.

Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi :

a. Bahan Hukum Primer.

Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian misalnya:


Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 372.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan

ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah

hukum yang terkait dengan objek penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan Teknik yang digunakan

untuk mengumpulkan data dari salah satu mengumpulkan data dari salah

satu atau beberapa sumber yang telah ditentutakan oleh peneliti dalam

penelitian ini, Teknik yang digunakan sebagai berikut:

a. Study Lapangan

Study lapangan adalah Teknik pengumpulan data dengan cara

wawancara langsung kepada pihak yang terkait dalam hal ini Kepolisian

Resort Ternate , dengan menyampaikan pertanyaan yang telah disiapkan

terlebih dahulu, jenis wawancara sendiri yang di lakukan yaitu wawancara

secara terstruktur dengan menggunakan panduan pertanyaan yang

berfungsi sebagai pengendali agar proses wawancara dapat terarah.

b. Study Kepustakaan
Study kepustakaan adalah Teknik pengumpulan data yang

bersumber dari buku-buku, literatur, dokumen resmi dan penelitian

sebelumnya yang sejenis dengan objek penelitian yang diteliti.

E. Teknik Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini peneliti menggunakan metode

penelitian bersifat deskriptif analisis, analisis data yang dipergunakan

adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.

Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna

aturan hukum yang dijadikan rujukan menyelesaikan hukum yang menjadi

objek kajian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
R. Tresna azas-azas Hukum Pidana Disertasi Beberapa Perbuatan Pidana

yang penting, Bulan Bintang, Jakarta, 2006, h.45

Mahrus Ali, S.H.,M.H, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi Dasar Teoritis

Penentuan Tindak Pidana Korporasi hlm 51-51.

Mahrus Ali, SH.,MH. Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika,Jakarta,

2015, hlm. 101.

Dr. Alfitra,SH., MH. Hukum Pembuktian Dalam Berbicara

Pidana,Perdata,dan Korupsi Di Indonesia Edisi Revisi. Pra Penuntutan 20-21.

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana ( Memahami Tindak Pidana dan

pertanggungjawaban pidana sebagai syarat pemidanaan), (Yogyakarta,

Rangkang Education & puKAP- Indonesia 2012), hlm. 18-19.

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm

88.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 (Stebel Pidana, Teori-

teori pemidanaan, dan Batas berlakunya Hukum Pidana). Jakarta: Raja

Grafindo 2002),hlm 72.

P.A.F Lamintang Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2014), hlm 180-181.

P.A.F. Lamintang Dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-dasar

Hukum Pidana Di/Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta, 2014,hlm.182


Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana (Memahami Tindak Pidana dan

pertanggungjawaban pidana sebagai syarat pemidanaan), (Yogyakarta,

Rangkang Education& puKAP- Indonesia, 2012), hlm 49-50.

P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta, Sinar

Grafika, 2014, hlm 185.

Andi Nurjinah, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Uang

Nasabah Pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Bone ( Putusan No.

387/Pid.B/2012/PN.Wp).

Tongat Hukum Pidana Materil, (Malang UMM Press 2010) hlm59.

Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana,Laksbang Grafika,

Yogyakarta,2013,hlm.78

Isnu Gunaidi, Jonaedi Efendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana,

Kencana,Jakarta,2014,hlm. 140

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (cet,Kedelapan), (Jakarta:

Sinar Grafika,2014),hlm 119.

Rony Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia,Cv. Mandar

Mayu,Bandung, 2016 hlm. 163.

M.Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyedikan dan penuntutan( Edisi Kedua), (Jakarta, Sinar Grafika,2012),hlm

101-102.
Zulfan Kurnia Ainun Najib ‘’Akibat Hukum Penghentian Penyidikan Perkara

Pidana dan Permasalahnnya Dalam Praktik.’’ (Diponegoro Law Review, Vol.

1.No. 4 Tahun 2012) hlm 3.

R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi

Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)

hlm 406.

Satjipto Rahadjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas

Media Nusantara. Hlm 37.

R. Soesilo, 1990, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Bogor,

Politea,h.

Surat Keputusan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim No. Pol:

SKEP/82/XII/2006/ BARESKRIM, tanggal 6 Desember 2006 tentang

Pedoman Penyidikan Tindak Pidana.

Engelbrecht, De Wetboeken,hlm 1354, dalam Lamintang, Lamintang hlm

111-146.

Marwan Effendy, Keadilan Restoratif (restorative justice ) dalam konteks

Ultimum Remedium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,2012,

hlm 20-22, dalam Bambang Wahuyo, hlm. 108-110.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bumi Aksara,Jakarta,2007,hlm. 28.

Undang-undang
Undang-undang Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.

Penyidikan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002.

Sumber-sumber lain

Akses web http://digilib.unila.ac.id/5102/11/BAB%2011.pdf.

Wulandari, Sri, ‘’Fungsi Laporan dan Pengaduan Masyarakat Bagi Penyidik

Dalam Mengungkap Kejahatan’’, Serat Acitya-Jurnal Ilmiah UNTAG

Semarang, Nomor 1 (Agustus 2013) hal 74.

Dharma, Budi, 2012 , Adakah Biaya Untuk Penacbutan Pengaduan di

Kepolisian dalam

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/It4fc5cd6d05cd/adakah-biaya-untuk-

pencabutan-pengaduan-di-kepolisian.

Bripka Ali Y Lasonago BA Unit Harda Sat Reskrim Polres Ternate Selaku

Penyidik Pembantu, Wawancara Pribadi.

Asty Wira Kusumaningrum, Pertanggungjawaban Pidana Notaris/PPAT

Dalam Tindak Pidana Penggelapan Surat Berharga Milik Klien, (Skripsi di

publikasi di Google Scholar), Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogkyakarta 2017.

Zulfan Kurnia Ainun Najib, ‘’Akibat Hukum Penghentian Penyidikan

Perkara Pidana dan Permasalahan Dalam Praktik’’. (Diponegoro Law


Review, Vol.1, No.4, Tahun 2012) hlm. 3 Diakses Melalui

http://id.portalgaruda, org/?ref=browse&mod=viewarticle=75031.

Akses http://www.negarahukum.com/hukum/urgensi-penyidikan-dan-

kewenangan-penyidik-dalam-kuhap,html.

A.Yani Wahid,Islah,Resolusi Konflik Rekonsilasi, Kompas 16 Marer

2001.Tim Penyusun, Artikel,Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung

Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam),2003, hlm 2-3.

Waluyadi,’’Menurut Hukum Islam Relevansinya Dengan Penengakan Hukum

Pidana Di Tingkat Penyidikan’’, Yuristia, Vol. 3 No. 2 (2014)

https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/11090/992.

MYS,Menggali Karakter Hukum Progresif, http://www.hukumonline.com.

http://www.lektur.id//

http://pengacaramuslim.com//tindak-pidana-penggelapan/

http://etd.unsyiah.ac.id/baca/index.php?id=

Diana Kusumari, Apakah Penuntutan kasus penggelapan akan dihentikan jika

laporan diacbut, lihat

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e4a1ff607e98/apakah-penuntutan-

kasus-penggelapan-akan-dihentikan-n-jika-laporan-dicabut.

Anda mungkin juga menyukai