Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Kurikulum yang digunakan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali


perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki kurikulum yang telah digunakan
dan untuk meningkatkan kualitas peserta didik dalam hal sikap, pengetahuan,
maupun keterampilan (Shellawati dkk, 2018: 407). Pembelajaran pada kurikulum
terbaru menggunakan pembelajaran abad ke-21. Paradigma pembelajaran abad ke-
21 menekankan pada kemampuan peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai
sumber, merumuskan permasalahan, berpikir analitis dan kerja sama serta
berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah (Litbang Kemdikbud, 2013).

Kemampuan pemecahan masalah menjadi hal yang penting bagi siswa

karena dalam belajar, siswa cepat lupa jika hanya dijelaskan secara lisan, mereka

ingat jika diberi contoh, dan memahami jika diberikan kesempatan mencoba

memecahkan masalah (Sulistyowati dkk, 2012: 50). Keterampilan dalam

memecahkan masalah sangat berguna bagi siswa dalam memecahkan masalah

dalam kehidupan sehari-hari (Jannah dkk, 2015: 1). Pengorganisasian proses

pembelajaran sangat penting dalam meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah peserta didik. Proses pembelajaran yang baik tidak hanya memperhatikan

penyampaian konsep, tetapi juga memperhatikan proses kemampuan pemecahan

masalah oleh peserta didik. Pengorganisasian proses pembelajaran dapat

menggunakan model pembelajaran yang baik dan melibatkan peran aktif peserta

didik (Ibrahim dkk, 2017: 2). Pembelajaran dapat dilakukan dengan pemberian

masalah nyata, langsung, serta relevan dengan kebutuhan siswa tersebut, sehingga

siswa dapat memperoleh informasi yang relevan untuk setiap masalah tertentu

dalam suatu pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan bagi para siswa
2

melakukan eksplorasi sederhana sehingga mereka tidak hanya sekedar menerima

dan menghafal (Royani dkk, 2018:3).

Keterampilan proses sains adalah semua kemampuan yang diperlukan untuk

memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan konsep-konsep, prinsip-prinsip,

hukum-hukum, dan teori-teori sains baik berupa kemampuan mental, fisik,

maupun kemampuan sosial. Melalui keterampilan proses, konsep yang diperoleh

siswa akan lebih bermakna karena siswa menemukan sendiri konsep-konsep yang

dipelajari melalui tahap demi tahap (Darmaji dkk, 2020: 1015). Keterampilan

proses sains merupakan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk

memperoleh informasi sehingga dapat menemukan hal-hal baru yang bermanfaat

berupa fakta, konsep maupun pengembangan dalam pembelajaran. Melalui

keterampilan proses sains konsep yang diperoleh peserta didik, akan lebih

bermakna karena keterampilan dalam berpikir sangat dibutuhkan untuk dimiliki

oleh siswa dalam menghadapi persaingan antar manusia di era globalisasi

(Darmaji dkk, 2020: 1014).

Fisika merupakan bidang pelajaran yang menyangkut fenomena-fenomena alam,


dan siswa dituntut untuk memahami konsep-konsep yang ada pada fenomena-
fenomena alam tersebut. Dengan kata lain, siswa dilibatkan dalam proses
membangun suatu model yang dapat membantu mereka untuk memahami
hubungan dan perbedaan antara konsep-konsep fisika dalam fenomena di alam
(Ratnaningdyah, 2017: 1). Oleh karena itu diharapkan mata pelajaran fisika yang
disampaikan kepada siswa tidak hanya sekedar memberikan pemahaman konsep
kepada siswa namun juga dapat membuat siswa mampu menggunakan konsep-
konsep yaang dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di
lingkungan tempat siswa tersebut tinggal. Keterampilan dalam memecahkan
masalah sangat berguna bagi siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan oleh guru adalah memperbaiki
kualitas proses pembelajaran fisika, agar proses pembelajaran fisika dapat
terlaksana dengan mengacu pada tujuan pembelajaran fisika yang ditetapkan
3

yaitu pembelajaran fisika yang memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dan
memberikan ruang dan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
pengetahuan dan sikap-sikap ilmiahnya melalui pemberian pengalaman
pembelajaran yang bermakna (Jannah dkk, 2015: 1).

Keberhasilan suatu proses pembelajaran dapat terjadi apabila guru harus

memiliki pengetahuan yang tinggi kreatif dalam menciptakaan suasana belajar

yang aktif dan menyenangkan melalui pemilihan model pembelajaran yang sesuai

dan tepat. Hal ini karena model pembelajaran memiliki pengaruh yang sangat

penting terhadap pembelajaran dikelas. pembelajaran fisika dapat dilatihkan

dengan memilih model pembelajaran yang tepat, cermat, dan bervariasi di

antaranya adalah model pembelajaran Condition, Construction, Development,

Simulation, Reflection (CCDSR). Penerapan model pembelajaran CCDSR dapat

mendorong keterampilan proses sains (KPS) sehingga siswa dapat merumuskan

masalah, merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, merumuskan definisi

operasional variabel, merancang dan melaksanakan percobaan, merancang tabel,

membuat grafik, mengan alisis data, dan merumuskan kesimpulan, yang dikemas

melalui langkah–langkah model pembelajaran CCDSR.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Rosida dan Limatahu (2020)

menunjukkan bahwa rata-rata KPS siswa dengan perolehan tertinggi 2,94 dan

13,8 % berada pada kriteria sedang, 86,2 % 13,8% pada kategori sedang, dan

tidak ada KPS siswa yang berada pada kategori rendah. Hasil penelitian Fadlia

Sunarto (2021) menyimpulkan adanya penigkatan keterampilan dasar proses sains

siswa pada kategori sedang peningkatan tersebut diperoleh peningkatan N-gain

masing-masing kelas yaitu pada kelas XI-MIA I sebesar 0,39 dan kelas XI-MIA

II N-gain sebesar 0,38 kedua kelas tersebut termasuk pada kategori sedang.
4

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran CCDSR dapat meningkatkan keterampilan proses sains,

keterampilan literasi sains, berpikir kreatif, keterampilan pemecahan masalah,

pemahaman konsep, dan kualitas melaksanakan praktikum.

Hasil observasi dan wawancara peneliti dengan guru fisika kelas X di SMA

Kristen Dian Halmahera menyatakan bahwa terdapat siswa yang hanya

memahami konsep fisika namun kesulitan saat pengaplikasian rumus, ini

disebabkan karena dari awal siswa menganggap fisika adalah mata pelajaran yang

sulit dengan berbagai rumusnya. Guru fisika juga menjelaskan bahwa ada

beberapa siswa yang saat proses pembelajaran terlihat mampu namun saat

evaluasi nilainya tidak mencapai KKM. Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh

pengaruh lingkungan yang mengkibatkan siswa kurang belajar. Untuk

keterampilan proses sains, guru fisika kelas X ini menjelaskan bahwa belum

pernah mengukur secara pasti tingkat keterampilan proses sains setiap siswa atau

memasukan pendekatan keterampilan proses sains pada LKPD yang digunakan.

Berdasarkan permasalahan pada latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk

merancang penelitian dengan judul “Penerapan model pembelajaran CCDSR

(Condition, Contruction, Development, Simulation, Reflection) untuk

meningkatkan keterampian proses sains siswa kelas X SMA Kristen Dian

Halmahera pada konsep momentum dan implus.”

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dikemukakan bahwa masalah yang


dapat diteliti berkenaan dengan meningkatkan keterampilan proses sains siswa,
permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
5

Siswa yang kesulitan dalam pengaplikasian rumus

Hasil belajar siswa pada pembelajaran fisika yang masih dibawah KKM

Lingkungan belajar yang tidak mendukung sehingga siswa kurang belajar.

Pembatasan Masalah

Model pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction, Development, Simulation,


Reflection)

Materi pembelajaran momentum dan impuls dibatasi pada momentum dengan


praktikumnya adalah momentum benda bergerak

Keterampilan proses sains siswa dengan indikator: Merumuskan masalah,


merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, merumuskan definisi
operasional variabel, Merancang dan melaksanakan percobaan, merancang tabel,
membuat grafik, menganalisis data, merumuskan kesimpulan

Subjek yang diteliti adalah siswa kelas X IPA 1 dan IPA 2 semester genap di
SMA Kristen Dian Halmahera.

Rumusan Masalah

Apakah terdapat peningkatan keterampilan proses sains siswa kelas X SMA


Kristen Dian Halmahera pada materi momentum dan implus dengan menerapkan
model pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction, Development, Simulation,
Reflection)?

Apakah penerapan model pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction,


Development, Simulation, Reflection) pada kelas X IPA 1 dan IPA 2 konsisten
dalam meningkatkan keterampilann proses siswa?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian

ini adalah:

Untuk mengetahui peningkatan keterampilan proses sains siswa kelas X SMA


Kristen Dian Halmahera pada materi momentum dan impuls dengan menerapkan
model pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction, Development, Simulation,
Reflection)
6

Untuk mengetahui konsistensi model pembelajaran CCDSR (Condition,


Contruction, Development, Simulation, Reflection) dalam meningkatkan
keterampilan proses sains siswa kelas X IPA 1 dan IPA 2.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Manfaat teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran guna ilmu pengetahuan dan teknologi,


khususnya di bidang pendidikan

Mempertegas konsep model pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction,


Development, Simulation, Reflection) terhadap keterampilan proses sains siswa

Manfaat praktis

Bagi guru penelitian ini bermanfaat untuk lebih mengaktifkan keterampilan proses
sains dengan model pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction, Development,
Simulation, Reflection) untuk melatihkan pemecahan masalah siswa

Diharapkan siswa mampu memahami model pembelajaran CCDSR (Condition,


Contruction, Development, Simulation, Reflection) sehingga mampu
meningkatkan keterampilan proses sains siswa

Penelitian ini sangatlah membantu peneliti memahami berbagai permasalahan


dalam kegiatan belajar mengajar khususnnya dengan penerapan model
pembelajaran CCDSR (Condition, Contruction, Development, Simulation,
Reflection) sehingga mampu meningkatkan keterampilan proses sains siswa

Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan


referensi terhadap penelitiaan yang rel

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Deskripsi Konseptual
7

Condition, Contruction, Development, Simulation, Refelection (CCDSR)

Karakteristik model pembelajaran CCDSR

Karakteritik model pembelajan CCDSR menekankan pada pendekatan

saintifik. Hal tersebut dikarenakan model pembelajaran CCDSR dikembangkan

sebagai salah satu elternative solusi dalam pembelajaran fisika Metode yang harus

dikuasai oleh siswa dan guru berupa metode diskusi, presentase dan percobaan.

Proses dalam model pembelajaran yang dikembangkan tertuang dalam komponen-

komponen model pembalajaran CCDSR (Limatahu, 2018). Minimal ada empat

ciri khusus (karakteristik) dari model pembelajaran yang dapat digunakan untuk

mencapai tujuan pembelajaran yaitu; 1) rasional teoritis yang logis dari

peracangannya, 2) tujuan dari model pembelajaran yang dikembangkan, 3)

tingkah laku yang di perlukan agar pembelajran dapat terlaksana, 4) lingkungan

belajar yang di perlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran, arends dalam

Limatahu (2018).
8

Lingkungan Pembelajaran Setaip Fase Dalam Model Pembelajaran

CCDSR (Condition, Contruction, Development, Simulation, Refelection)

Tabel 2. 1 Lingkungan pembelajaran setiap fase dalam Model pembelajaran


CCDSR (Di modifikasi dari Limatahu, 2018:46)

Fase

Langkah- langkah pembelajaran

Fase 1: mengkondisikan siswa (Condition)

Siswa termotivasi memperoleh gambaran tentang tujuan pembelajaran dan pentingnya ketarmpilan
proses sains (KPS) kaitanya dengan materi yang di ajarkan.

Fase 2: mengkonstrusikan ketrampilan proses sains (Contruction)

Siswa mengkonstruksi kaitan materi pelajaran pemahaman mengenai KPS dan merancang
pembelajaran.

Fase 3: mengembangkan panduan praktikum ketrampilan proses sains (Developmetent)

Siswa mencari dan mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sesuai
dengan panduan praktikum serta bertukar pendapat dengan siswa lain/kelompok lain

Fase 4: simulasi (Simulation)

Siswa mensimulasikan perangkat pembelajaran KPS.

Fase 5: Refleksi (Reflection)

Siswa secara kelompok mengevaluasi proses dan hasil proses KPS serts ketrampilan merancang
pembelajran KPS tentang KPS siswa.

Komponen Model Pembelajaran Condition, Contruction, Development,


Simulation, Reflection (CCDSR)
9

Proses pembelajaran yang di kembangkan tertuang dalam komponen-komponen


model pembelajaran condition, contruction, development, simulation, reflection.
(CCDSR) menurut Joyce dan Weil (2003) model pembejaran yang harus di miliki
5 (lima) komponen utama dalam model, yaitu; sintak, sistem social, prinsip reaksi,
sistem pendukung, dan dampak instruksional dan dampak pengiring.

Sintak

Model pembalajaran CCDSR memiliki sintak dengan Lima fase, yaitu: 1


mengkondisikan siswa (Condition), mengosturksi KPS (Construction),
mengembangkan perangkat berorientasi KPS (Development), simulasi
(Simulation), dan refleksi (Reflection).

Tabel 2.2 Aktivitas guru dan siswa dalam model pembelajaran CCDSR

(Dimodifikasi dari Limatahu, 2018:46)

Aktivitas guru

Aktivitas siswa

Indicator capaian pembelajaran KPS

Fase 1 : Mengkondisikan siswa (Condition)

a.guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pentingnya ketrampilan proses sains (KPS)

b.guru menyampaikan proses KBM yang akan di lakukan

c.guru membimbing siswa membentuk kelompok (4-6 siswa ) dan membagikan LKS

a. siswa mendengarkan penjelasan tujuan pembelajaran dan gambaran kegiatan

b.siswa mendengarkan KBM yang akan di jelaskan

c. siswa membentuk kelompok (4-6) orang selanjutnya menerima LKS untuk melaksanakan
percobaan

a. memilih ide-ide pokok KPS

b.menentukan sub materi atau konsep-konsep KPS


10

c.orientasi terhadap pembelajaran KPS

dan pengetahuan tentang KPS

Fase 2 : Mengkontrusikan KPS (Construction)

a. guru menyajikan fenomena dan siswa mengamti (observasi) untuk mendapat satu permasalahan
yang akan di selesaikan bersama

b. guru membimbing siswa untuk menyelesaikan tugas perencanaan pembelajaran yang


melatihkan KPS

c. guru membibing siswa untuk melakukan kegiatan percobaan untuk melatihkan KPS sebagai
proses intenalisasi KPS yang telah di miliki siswa

a.siswa mengamati (observasi) untuk mendapat masalah yang akan di selesaikan bersaman

b.siswa dapat menyelesaikan tugas membuat perencanaan pembejalaran yang melatihkan KPS

c.siswa melakukan kegiatan percobaan untuk melatihkan KPS sebagai proses internalisasi KPS
yang telah di miliki siswa

a.merumuskan masalah b.merumuskan hipotesis

c.menentukan variable

d.merancang dan membuat kegiatan percobaan

e. memikirkan dan merencanakan investigasi (penyelidikan )

Fase 3 : mengembangkan panduan praktikum ketrampilan proses sains (Developmetent)


11

Guru membibing siswa untuk megumpulkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
panduan praktikum

Siswa mencari dan mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sesuai
dengan panduan praktikum serta bertukar pendapat dengan siswa lain/kelompok lain ) untuk
menigkatkan pemahaman KPS dan ketrampilan merencanakan pembelajaran KPS siswa

a.memilih ide-ide pokok KPS

b.menentukan sub materi atau konsep yang akan di bahas menilai kecukupan indicator
sebagai penanda tercapainya KD

Fase 4 :simulasi ( Simulation)

Guru membimbing siswa mensimulasikan pembelajaran KPS

siswa mensimulakan perangkat pembelajran KPS

a.uji coba ekperimen (manipilasi alat bahan secara efektif )

b.mengukur dan menghitung data hasi uji coba

c.interfensi

d. interperstasi data

e. mengomunikasikan dan memprediksi

f.mengamati adanya kemungkinan miskonsepsi

g.kesimpulan berdasarkan data hasil uji coba atau kesalahan prosedur

Fase 5 : refleksi ( Reflection)

a.mengevaluasi proses dan hasil proses KPS


12

b.mengevaluasi proses dan hasil proses KPS

a.mengevaluasi proses dan hasil proses KPS

b. mengevaluasi prosesdan hasil ketrampilan merencanaan pembelajaran KPS tentang KPS siswa

1. menentukan permaslahan kesulitan peserta didik dalam mempelajari KPS

2. menentukan solusi terhadap kesulitan dan keterbatasan dalam mengajar KPS

Sistem sosial

Suchaman ingin sistem sosial dalam model bersifat kooperatif dan ketat.
Walaupun model latihan ini disusun dengan baik dengan sistem sosial yang
sepenuhnya yang dikontrol oleh guru, lingkukan intelektual haruslah tetap terbuka
bagi semua gagasan yang relevan; guru dan siswa berpatisipasi secara sederajat
dimana akan ada banyak gagasan yang nanti bisa saling didiskusikan bersama.
Selain itu guru seharusnya mendorong siswa untuk mulai mengawali,
mempraksai, dan menjalankan penelitian sebisa mungkin. Saat siswa belajar
prinsip-prinsip penelitian, struktur pengajaran dapat diperluas hingga pada
pengunaan materi-materi sumber, dialog dengan siswa lain,eksperimentasi dan
diskusi dengan guru.

Dalam tahap-tahap awal peneletian, peran guru adalah memilih (atau


membangun) situasi permasalahan, menegahi penelitian menurut prosedur-
prosedur penelitian, merespons penjajakan penelitian siswa dengan informasi
yang penitng, membantu para peneliti pemula untuk fokus dalam peneltian
mereka, dan memfasilitasi diskusi antara siswa tentang situasi permasalahan
tersebut.

Berdasarkan sintaks yang telah di susun di atas, sistem social yang menyatakan
peran dan hubungan antara guru dan siswa yang di sarankan, yaitu; siswa pro aktif
dalam kegiatan pembelajaran dengan memberikan konstrbusi dalam KPS dalam
kerjan nya, guru berperan sebagai pembimbing, moderator, fasilitator, konsultan,
dan mediator dalam proses pembelajaran dalam upaya peningkatan KPS.

Prinsip reaksi

Prinsip reaksi ini berkaitan dengan bagaimana guru memperhatikan dan


memperlakukan siswa, termasuk guru memberikan respon terhadap pertanyaan,
jawaban, tanggapan, atau apa yang di lakukan siswa. Pada model pembelajaran
CCDSR, cara guru memperhatikan dan memperlakukan siswa sebaiknya: guru
memotivasi dan mengigatkan siswa untuk selalu menekankan KPS.
13

Sistem pendukung

Dukungan maksimal dalam model latihan penelitian ini adalah seperangkayt


materi-materi yang dapat mengontforontasi persoalan, seorang guru yang dapat
memahami proses-proses intelektual dan strategi-strategi peneltian, dan materi-
materi sumber yang mengandung beberapa masalah tertentu.

Sistem pendukung suatu model pembelajaran adalah semua sarana, bahan, dan
alat untuk menerapkan model pembelajaran CCDSR.sistem penerapan dalam
model pembelajaran CCDSR, yaitu:

Perangkat pembelajaran mengacu pada model pembelajaran CCDSR, yaitu

silabus, RPP, LKS, prototype buku guru dan siswa, instrument evaluasi KPS,

instrumen penilaian KPS.

Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring

Salah satu acuan dari model pemebelajaran dikatakan efektif, jika dalam
penerapanya mampu menghasilkan dan mencapai apa yang menjadi tujuan utama
sebagai dampak instruksional dari pembelajaran. Dampak instruksional dari
model pembelajaran CCDSR, yaitu: siswa mampu menigkatkan KPS dan
pembelajaranya. Dampak mengiring merupakan hasil belajar lain tercipata dari
proses pembelajaran yang di alami oleh siswa dengan arahan guru. Dampak
pengiring dari model pembelajran CCDSR, yaitu: motivasi dan respon siswa
terhadap pembelajaran positif, mengembangkan keterampilan sosial, dan siswa
mampu mengembangkan keterampilan metakognisi.

Kualitas model pembelajaran

Model pembelajaran CCDSR hipotetik yang di kembangkan perlu memenuhi


spesisifikasi validitas, kepraktisan, dan kefeketifan, Spesifikasi pengembangan
model pembelajaran CCDSR dan perangkat pembelajaran secara rinci Limatahu
(2018).

Keterampilan Proses Sains

Keterampilan Proses Sains (KPS) adalah kemampuan siswa untuk

menerapkan model ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan

ilmu pengetahuan. Keterampilan Proses Sains (KPS) sangat penting bagi setiap
14

siswa sebagai bekal untuk menggunakan model ilmiah dalam mengembangkan

sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru/mengembangkan

pengetahuan yang telah dimiliki.

Keterampilan Proses Sains (KPS) merupakan fondasi terbentuknya

landasan berpikir logis. Oleh karena itu, Keterampilan Proses Sains sangat penting

dimiliki siswa.. Secara spesifik salah satu tujuan pembelajaran fisika yaitu agar

peserta didik memiliki sejumlah keterampilan proses sains yang dilatihkan

melalui kegiatan percobaan. Adapun keterampilan tersebut meliputi keterampilan

dalam merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, merancang dan merakit

instrumen, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data serta

mengkomunikasikannya secara lisan dan tertulis.

Keterampilan proses merupakan semua keterampilan yang diperlukan

untuk memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan konsep-konsep prinsip-

prinsip, hukum-hukum dan teori-teori IPA, baik berupa keterampilan intelektual,

keterampilan fisik, maupun keterampilan sosial (Nuryani, R., dkk, 2005).

Rustaman menyebutkan bahwa keterampilan proses sains terdiri dari sembilan

keterampilan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Keterampilan Proses Sains


No

Jenis

Sub ketrampilan

Mengamati
15

Menggunakan indera

Mengumpulkan fakta yang relevan

Mencari persamaan dan perbedaan

Menafsirkan pengamatan

Mencatat pengamatan secara terpisah

Menghubungkan hasil-hasil pengamatan

Menemukan suatu pola dalam satu pengamatan

Menarik kesimpulan

Mengelompokkan

Mencari perbedaan

Mengontraskan ciri-ciri

Mencari kesamaan

Membandingkan

Mencari dasar penggolongan

Meramalkan

Mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan kecenderungan yang sudah
ada

Berkomunikasi

Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas

Menjelaskan hasil percobaan dan pengamatan

Menggambarkan data dengan grafik, tabel, atau diagram.

6
16

Berhipotesis

Menyatakan hubungan antara dua variable

Mengajukan perkiraan penyebab terjadinya sesuatu

Menerapkan konsep

Menerapkan konsep yang dapat dipelajari dalam situasi baru.

Menggunakan konsep-konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi

Merencanakan penelitian

Menentukan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian

Menentukan variabel-variabel

Menentukan variabel yang harus dibuat tetap dan yang mengalami perubahan

Menentukan apa yang akan diamati, diukur, dan ditulis

Menentukan cara dan langkah kerja

Menentukan bagaimana pengolahan hasil pengamatan untuk mengambil kesimpulan

Mengajukan pertanyaan

Bertanya apa, mengapa, dan bagaimana.

Bertanya untuk meminta penjelasan

Mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis

Rezba mengklasifikasi keterampilan proses sains dalam dua level

keterampilan yang terdiri dari keterampilan dasar proses sains dan keterampilan

sains terintegrasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 (Rezba,

R., Sprague, J., Fiel, C., 2005).


17

Tabel 2.4 Keterampilan Dasar Proses Sains


No

Ketrampilan

Sub ketrampilan

Mengamati

Menggunakan seluruh panca indera

Melakukan pengamatan secara kualitatif dan kuantitatif

Mengamati perubahan

Mengkomunikasikan

Menjelaskan hasil pengamatan

Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis

Menggambarkan data dengan grafik, tabel, atau diagram

Mengklasifikasi

Mencari persamaan dan perbedaan

Mencari dasar pengelompokan

Mengukur

Menggunakan alat yang sesuai untuk memperoleh data yang tepat

Mengukur dalam satuan yang sesuai


18

Menyimpulkan

Membuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan

Menentukan pola dari hasil observasi

Memprediksi

Mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan kecenderungan atau pola
angsudah ada.

Menggunakan pola-pola hasil pengamatan

Tabel 2.5 Keterampilan Proses Sains Terintegrasi


No

Ketrampilan

Sub ketrampilan

Mengidentifikasi variabel

Mengidentifikasi variabel yang penting dalam investigasi

Membedakan variabel bebas dan variabel terikat

Membuat tabel data

Membuat tabel yang sesuai dengan data

Memodifikasi tabel untuk data berulang


19

Menggambarkan grafik

Memberikan label pada sumbu x dan sumbu y

Menentukan rentang skala grafik pada masing-masing sumbu

Membuat plot data pada grafik

Menjelaskan hubungan antar variabel

Menjelaskan hubungan antar variabel dalam grafik

Menggambarkan kecenderungan grafik yang sesuai dengan poin pada grafik

Mengumpulkan dan menganalisis data

Mengawali investigasi dengan pertanyaan “mengapa?”

Mengumpulkan data yang diperoleh dari pengamatan, survey, dan eksperimen

Menganalisis investigasi

Mengidentifikasi variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol

Mengidentifikasi hipotesis yang sedang diselidiki

Membuat hipotesis

Menyatakan hubungan variabel yang akan diuji

Mengajukan perkiraan penyebab sesuatu terjadi

Mendefinisikan variabel secara operasional


20

Menentukan cara mengukur variabel dalam investigas

Mendesain eksperimen

Menentukan alat dan bahan yang akan digunakan

Menentukan cara dan langkah kerja

Menentukan cara mengolah dan menganalisis data

10

Melakukan eksperimen

Melakukan investigasi yang sesuai dengan masalah yang telah diidentifikasi atau dipelajari

Materi Momentum dan Implus

a. Momentum

Momentum adalah ukuran kesukaran untuk mendiamkan atau

mengerakkan suatu benda. Momentum merupakan hasil kali antara massa dengan

kecepatan benda. Karena kecepatan merupakan besaran vektor, maka momentum

juga termasuk besaran vektor yang arahnya sama dengan arah kecepatan benda.

secara matemaris, momentum dapat dituliskan sebagai berikut:

p=m x v ……………………………………………………………...(2.1)

Keterangan:

p = momentum (kg m/s)

m = massa benda (kg)

v = kecepatan (m/s), (Risdiyani dkk, 2019 :95).


21

b. Impuls

Ketika seorang pemain sepak bola menendang bola. Ketika pemain

menendang bola, kaki pemain tersebut tentu menempel pada bola. Ketika kaki

menempel pada bola disebut waktu kontak (∆ t ¿ .Gaya kontak yang diberikan

pada suatu benda dalam waktu singkat dinamakan gaya implusif. Gaya ini

mengakibatkan benda bergerak semakin cepat. Makin lama gaya impuls bekerja,

makin cepat benda bergerak. Jadi, impuls adalah peristiwa gaya yang bekerja

dalam waktu sesaat. Hasil kali gaya yang bekerja pada benda dengan waktu

kontak disebut impuls (I). Impuls merupakan besaran vektor yang arahnya searah

dengan arah gayanya. Secara matematis impuls dapat ditulis sebagai berikut:

I=F x ∆ t ……………………………………………………………...(2.2)

Keterangan:

I = impuls (Ns)

F = gaya yang bekerja pada benda (N)

∆ t = waktu kontak (s), (Ridiyani dkk, 2019 : 95).

Impuls yang dilakukan oleh sebuah gaya besarnya sama dengan luas

daerah di bawah grafik terhadap waktu (grafik F terhadap t ). Misalnya, gaya 10 N

bekerja selama selang waktu ∆ t =2 s . Impuls yang dilakukan gaya tersebut adalah

20 Ns. Luas daerah yang diarsir di bawah grafik F terhadap t sama dengan (10 N )

x (2 s ) =20 Ns. Grafik F terhadap t dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

10

4 6
22

Gambar 2.1 Grafik gaya (F)terhadap waktu (t) ,( Risdiyani dkk, 2019 : 95).

c. Hubungan Momentum dan Impuls

Sebuah benda yang massanya m mula-mula bergerak dengan kecepatan v 0.

Kemudian dalam selang waktu ∆ t kecepatan benda tersebut berubah menjadi v .

Menurut hukum II Newton, jika benda menerima gaya yang searah dengan gerak

benda, maka benda akan dipercepat. Percepatan rata-rata yang disebabkan oleh

gaya F sebagai berikut:

F
a= ………………………………………………..………………..(2.3)
m

Menurut definisi, percepatan rata-rata adalah perubahan kecepatan

persatuan waktu. Jadi, persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut:

v−v 0
a= …………………………………………………….………..(2.4)
t

Jika t adalah waktu untuk mengubah kecepatan dari v 0 menjadi v atau

sama dengan lamanya gaya bekerja, maka dari kedua persamaan di atas anda

dapatkan persamaan sebagai berikut:

F v−v 0
=
m t

F . ∆ t=m . v−m. v 0

I =m( v−v 0 )

I =∆ P ………………………………………………...…………..…(2.5)
23

Keterangan:
I =¿ besar impuls (Ns)
m=¿ massa benda (kg)
v = besar kecepatan (kelajuan) akhir benda (m/s)
v 0=¿ kecepatan (kelajuan) mula-mula benda (m/s)
∆ P=¿ besar perubahan momentum (kg m/s)

F=¿ besar gaya yang bekerja pada benda (N)

∆ t=¿ selang waktu (s), (Risdiyani dkk, 2019 : 96).

Persamaan di atas menyatakan bahwa impuls yang dikerjakan pada suatu

benda sama dengan perubahan momentum yang dialami benda tersebut, yaitu

beda antara momentum akhir dengan momentum awalnya.

Berbagai contoh aplikasi impuls dan momentum dalam kehidupan sehari-hari,

antara lain, sebagai berikut:

1) Ketika sebuah truk dan sebuah sepeda menabrak pohon dengan

kecepatan sama, truk akan memberikan efek yang lebih serius. Hal ini

disebabkan perubahan momentum truk lebih besar dibandingkan dengan

perubahan momentum sepeda (massa truk lebih besar).

2) Ketika peluru ditembakkan dan batu dilemparkan ke sebuah papan, peluru

akan merusak papan lebih serius karena perubahan momentum peluru

lebih besar (kecepatannya lebih besar).

3) Josan yang hendak memecahkan tumpukan kayu harus memberikan

kecepatan yang tinggi pada tangannya agar impuls yang ditimbulkan

besar. Kemudian ia harus menghantam kayu dengan waktu kontak yang

sangat singkat agar gaya yang dirasakan kayu lebih besar.


24

4) Seorang petinju yang tidak dapat menghindari pukulan lawannya berusaha

mengurangi efek pukulan ini dengan memundurkan kepalanya mengikuti

gerakan tangan lawan. Dengan demikian ia memperpanjang waktu kontak

antara tangan lawan dengan kepalanya sehingga gaya yang ia rasakan

lebih kecil.

5)  Orang yang jatuh di atas batu akan merasakan efek yang lebih besar

dibandingkan jatuh di atas spon. Hal ini karena spon memberikan waktu

tumbukan yang lebih lama dibandingkan dengan batu.

6) Menendang batu terasa lebih sakit daripada menendang bola, walaupun

massa batu dan bola sama. Ini terjadi karena selang waktu kontak antara

kaki dengan bola lebih lama.

7) Pejudo yang dibanting pada matras dapat menahan rasa sakit karena selang

waktu kontak antara punggung Pejudo dengan matras lebih lama sehingga

Pejudo menderita gaya impuls yang lebih kecil.

8) Tabrakan antara dua mobil yang mengakibatkan kedua mobil saling

menempel sesaat setelah tabrakan (waktu kontak lebih lama) kurang

membahayakan dibandingkan dengan tabrakan sentral yang meng-

akibatkan kedua mobil saling terpental sesaat setelah tabrakan (waktu

kontak lebih singkat).

d. Hukum kekekalan momentum

Huygens, ilmuwan berkebangsaan Belanda, melakukan eksperimen

dengan menggunakan bola-bola bilyar untuk menjelaskan hukum kekekalan


25

Tabrakan/Tumbukkan

momentum. Perhatikan uraian berikut. Dua buah bola pada gambar 2.2 bergerak

berlawanan arah saling mendekati. Bola pertama massanya m 1, bergerak dengan

kecepatan v1 Sedangkan bola kedua massanya m2 bergerak dengan kecepatan v 2.

Jika kedua bola berada pada lintasan yang sama dan lurus, maka pada suatu saat

kedua bola akan bertabrakan.

Gambar 2.2 Hukum kekekalan momentum, (Risdiyani dkk, 2019 : 100).

Dengan memperhatikan analisis gaya tumbukan bola pada Gambar 2.2,

ternyata sesuai dengan pernyataan hukum III Newton. Kedua bola akan saling

menekan dengan gaya F yang sama besar, tetapi arahnya berlawanan. Akibat

adanya gaya aksi dan reaksi dalam selang waktu ∆ t tersebut, kedua bola akan
' '
saling melepaskan diri dengan kecepatan masing-masing sebesar v1 dan v 2.

Penurunan rumus secara umum dapat dilakukan dengan meninjau gaya interaksi

saat terjadi tumbukan berdasarkan hukum III Newton.

F aksi =−F reaksi

F 1−F2…………………………………………………………...….....(2.6)

Keterangan:
F 1=¿ Gaya aksi (N)
F 2=¿ Gaya reaksi (N)
26

Impuls yang terjadi selama interval waktu ∆ t adalah F 1 ∆ t=−F 2 ∆ t diketahui

bahwa I =F ∆ t=∆ p, maka persamaannya menjadi seperti berikut:

∆ p1=−∆ p2
' '
m1 v 1−m1 v 1=−(m2 v 2 −m2 v 2 )
' '
m1 v 1+ m2 v 2=m1 v 1 +m 2 v 2

p1 + p2= p'1 + p'2

Jumlah momentum awal = Jumlah momentum akhir

Keterangan:
p1 , p2 =¿ momentum benda 1 dan 2 sebelum tumbukan
' '
p1 , p2 =¿ momentum benda 1 dan 2 sesudah tumbukkan
m1 ,m2=¿ massa benda 1 dan 2
v1 , v 2=¿ kecepatan benda 1 dan 2 sebelum tumbukan

v'1 , v '2=¿ kecepatan benda 1 dan 2 sesudah tumbukan

Persamaan di atas dinamakan hukum kekekalan momentum. Hukum ini

menyatakan bahwa “jika tidak ada gaya luar yang bekerja pada sistem, maka

momentum total sesaat sebelum sama dengan momentum total sesudah

tumbukan”. K menggunakan persamaan ini, kita harus memperhatikan arah

kecepatan tiap benda.

e. Tumbukan

Kata tumbukan mungkin tidak asing bagi anda. Dalam kehidupan sehari-

hari kita sering menyaksikan peristiwa tumbukan. Kecelakaan yang terjadi di jalan

raya kadang-kadang disebabkan oleh tabrakan (tumbukan) antara dua kendaraan,

baik antara sepeda motor dengan sepeda motor, mobil dengan mobil, maupun
27

antara sepeda motor dengan mobil. Dalam olahraga juga dapat terjadi peristiwa

tumbukan, misalnya dalam permainan sepak bola, tumbukan terjadi antara kaki

dengan bola atau antara pemain bola. Tumbukan merupakan hasil interaktif dua

benda yang bergerak searah maupun berlawanan arah, (Risdiyani dkk, 2019 :

101).

Berdasarkan sifat kelentingan atau elastisitas benda yang bertumbukan,

tumbukan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1) Tumbukan lenting sempurna

Dua benda dikatakan melakukan lenting sempurna jika momentum dan

energi kinetik kedua benda sebelum tumbukan sama dengan momentum

dan energi kinetik setelah tumbukan. Dengan kata lain tumbukan lenting

sempurna berlaku hukum Kekelan Momentum dan hukum kekelan energi

kinetik.

Benda-benda yang mengalami tumbukan lenting sempurna tidak

menghasilkan bunyi, panas, atau bentuk energi lain ketika terjadi

tumbukan. Tidak ada energi kinetik yang hilang selama proses tumbukan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tumbukan lenting sempurna

seperti pada gambar di bawah ini:

Sebelum tumbukkan Tumbukan


Sesudah tumbukkan
28

Gambar 2.3
Tumbukan lenting sempurna antara dua benda, (Risdiyani dkk, 2019 : 101).

Dua buah benda memiliki massa masing-masing m1 dan m2 bergerak saling

mendekati dengan kecepatan sebesar v1 dan v 2 sepanjang lintasan yang lurus.

Setelah keduanya bertumbukan masing- masing bergerak dengan kecepatan

sebesar v'1 dan v'2 dengan arah saling berlawanan. Berdasarkan hukum kekekalan

momentum dapat ditulis sebagai berikut:

m1 v 1+ m1 v '1=m1 v '1 +m2 v '2


' '
m 1 v 1−m1 v 1=m 2 v 2−m2 v 2
m1 ¿ …………………………………………...(2.8)
Berdasarkan hukum kekekalan energi kinetik, diperoleh persamaan sebagai

berikut:

∑ E k=∑ E 'k
Ek 1+ Ek 2=E'k + E'k1 2

1 1 1 +1
m1 v 1+ m2 v 2= m1 (v '1 )2 m2 (v '2 )2
2 2 2 2
1 1 1 1
m1 v 21− m1 v ' 21 = m2 v ' 22− m2 v 22
2 2 2 2
m1 ( v 21−v ' 21) =m2 (v ' 22−v 22)

m1 ( v 1 +v 1 )( v 1−v 1) =m2 ( v¿¿ 2 + v2 )( v2 −v 2 )¿


' ' ' '

Jika m1=m2 persamaannya menjadi:

( v 1+ v '1 )( v 1−v '1 )=( v ¿¿ 2' + v 2) ( v '2−v 2 ) ¿…………………...…….(2.9)


Pada peristiwa tumbukan berlaku hukum kekelan momentum, secara  matematis

dapat ditulis:
' '
m1 v 1+ m2 v 2=m1 v 1 +m 2 v 2
29

' '
m1 v 1−m1 v 1=m2 v 2−m2 v 2

m1 ( v 1−v '1 )=m2 ( v ¿¿ 2' −v 2 )¿

Jika m1=m2 persamaannya menjadi ( v 1−v '1)=( v ¿¿ 2' −v 2)¿

Subsitusi persamaan hukum kekekalan energi kinetik ke dalam persamaan  hukum

kekekalan momentum.

( v 1+ v '1 )( v 1−v '1 )=(v ¿¿ 2' + v 2) ( v '2−v 2 ) ¿


( v 1+ v '1 )( v '2−v 2 )=(v ¿¿ 2' + v 2) ( v 1−v'1 ) ¿
v1 + v '1=v '2 + v 2
' '
v1 −v 1=v 2−v2
' '
−( v ¿¿ 1 −v 2 )=v 1+ v 2 ¿
' '
−(v ¿¿ 1 −v 2 )
=1 ¿………………………………………………………...
v 1+ v 2

(2.10)

Perbandingan antara nilai selisih kecepatan kedua benda sebelum dan   sesudah

tumbukan disebut koefisien restitusi, yang dilambangkan dengan e.


' '
−( v ¿¿ 1 −v 2 )
e= ¿ ………………………………………………………..
v 1 +v 2

(2.11)

Nilai koefisien resitusi inilah yang menunjukan kelentingan benda pada

peristiwa tumbukan. Koefisien resitusi inilah yang menunjukkan kelentingan pada

benda peristiwa tumbukan. pada peristiwa tumbukan lenting sempurna, koefisien

restitusinya sebesar e = 1. Persamaan di atas menunjukan bahwa pada tumbukan

lenting sempurna kecepatan relatif benda sebelum dan sesudah tumbukan

besarnya tetap tetapi arahnya berlawanan.


30

b) Tumbukan tidak lenting sama sekali

Suatu tumbukan dikatakan tumbukan tidak lenting sama sekali apabila

dua benda yang bertumbukan bersatu atau saling menempel setelah

tumbukan. Hukum kekelan momentum hanya berlaku pada waktu yang

sangat singkat ketika kedua benda bertumbukan, karena pada saat itu belum

ada gaya luar yang bekerja. Secara matematis hukum kekelan momentum

dirumuskan sebagi berikut:


' '
m1 v 1+ m2 v 2=m1 v 1 +m2 v 2……………………………….............(2.12)

Karena setelah tumbukan benda salng menempel (melekat), berarti v'1 =v '2=v ,

Setelah tumbukkan Tumbukkan


Setelah tumbukkan

Gambar 2.4 Tumbukan tidak lenting sama sekali yang terjadi antara dua benda,
(Risdiyani dkk, 2019 : 103).
'
m1 v 1+ m1 ( 0 )=(m1 +m2)v

m1 v 1=( m1 +m2 ) v'


Oleh karena v'1 =v '2 maka v'1 −v '2=0 sehingga koefisien restitusi

(e ) adalah:
' '
−v1 −v2
e= =0 ................................................................................(2.13)
v 1 −v 2

Jadi, besar koefisien restitusi pada tumbukan tidak lenting sama sekali

adalah nol (e=0 ¿


31

Salah satu contoh tumbukan tidak lenting sam sekali adalah ayunan balistik.,

Ayunan balistik merupakan seperangkat alat yang digunakan untuk

mengukur benda yang bergerak dengan keceptan cukup besar, misalnya

kecepatan peluru.

Gambar 2.5 Skema Ayunan Balistik, (Risdiyani dkk, 2019 : 104).

c) Tumbukan lenting sebagian

Kebanyakan benda-benda yang ada di alam mengalami tumbukan

lenting sebagian, dimana energi kinetik berkurang selama tumbukan. Oleh

karena itu, hukum kekekalan energi mekanik tidak berlaku. Besarnya

kecepatan relatif juga berkurang dengan suatu faktor tertentu yang disebut

koefisien restitusi. Bila koefisien restitusi dinyatakan dengan huruf e, maka

derajat berkurangnya kecepatan relatif benda setelah tumbukan dirumuskan

sebagai berikut:

−(v 2−v 1)
e= ………………………………………...……………(2.14)
(v 2−v 1)

Nilai restitusi berkisar antara 0 dan 1 (0 ≤ e ≤ 1 ). Untuk tumbukan

lenting sempurna, nilai e = 1. Untuk tumbukan tidak lenting nilai e = 0.


32

Sedangkan untuk tumbukan lenting sebagian mempunyai nilai e antara 0 dan

1 (0 < e < 1). Misalnya, sebuah bola tenis dilepas dari ketinggian h1 di atas

lantai. Setelah menumbuk lantai bola akan terpental setinggi h2 , nilaih2

selalu lebih kecil dari h1 .

Kedudukan bola mula-mula

Kedudukan bola pada pola pantulan pertama

Gambar 2.6 tumbukan lenting sebagian, (Risdiyani dkk, 2019 : 105).

Kecepatan bola sesaat sebelum tumbukan adalah v1 dan sesaat setelah

tumbukan v'1 . Berdasarkan persamaan gerak jatuh bebas, besar kecepatan

bola memenuhi persamaan:

v=√ 2 gh………………………………………………………….(2.15)

Keterangan:
v=¿ kecepatan bola (m/s)
g=¿ percepatan gravitasi (m/s)
h=¿ tinggi (kedudukan) bola (m). (Risdiyani dkk, 2019 : 106).
33

Hasil Penelitian Relevan

(Rahman & Limatahu, 2020), penerapan model pembelajaran CCDSR (Condition,


Construction, Development, Simulation, Reflection) dapat melatihkan
keterampilan proses sains (KPS) siswa SMA Negeri 8 Kota Ternate. Jenis
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan kelas (PTK) yang diterapkan pada 36
orang siswa dengan dua kali siklus penelitian.

Masing-masing siklus terdiri dari empat kali pertemuan. Penerapan CCDSR


menunjukkan bahwa KPS siswa menggunakan model pembelajaran CCDSR ada
peningkatan pada siklus II dibandingkan dengan siklus I. Implikasi penelitian ini
adalah model pembelajaran CCDSR dapat digunakan untuk melatihkan
keterampilan proses sains siswa SMA. Penelitian lanjutan dalam dilaksanakan
untuk mata pelajaran lain yang ada di SMA.

(Darman, Limatahu & Achmad, 2021), penerapan model pembelajaran CCDSR


(Condition, Construction, Development, Simulation, Reflection) untuk
meningkatkan keterampilan proses sains mahasiswa pada konsep likuifaksi,
dengan desain eksperimen semu (Quasy Eksperiment). One grup pretest-posttest
(tes awal dan tes akhir pada kelompok tunggal), pada kelas eksperimen diteliti
kemampuan proses sains mahasiswa pendidikan fisika angkatan 2020 Semester I
dengan jumlah mahasiswa 35 orang yang tersebar di kelas A dan kelas B. Dapat
disimpulkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan proses sains dengan N-
Gain sebesar 0,37 pada kriteria sedang untuk kelas A dan N-Gain 0,36 pada
kriteria sedang untuk kelas B.

(Limatahu, Sutoyo & Prahani 2019), model pembelajaran CCDSR dikembangkan


untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran SPS calon guru fisika. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) Rata-rata skor post-test kemampuan belajar
SPS berada pada kategori tinggi, (2) Terjadi peningkatan kemampuan belajar SPS
calon guru fisika pada = 5%, (3) Rata-rata skor n-gain kemampuan belajar SPS
calon guru fisika berada pada kategori sedang, dan (4) Tidak ada perbedaan
(konsistensi) N-gain kemampuan belajar SPS calon guru fisika semua kelompok.
Oleh karena itu model pembelajaran CCDSR terbukti efektif dalam meningkatkan
kemampuan belajar SPS calon guru fisika. Implikasi penelitian model
pembelajaran CCDSR dapat dijadikan sebagai solusi untuk meningkatkan
kemampuan belajar SPS calon guru fisika. Penelitian selanjutnya perlu
mereplikasi Model Pembelajaran CCDSR dalam meningkatkan kemampuan
belajar SPS calon guru fisika pada berbagai jenjang (pendidikan IPA, kimia dan
biologi).
34

(Limatahu & Mubarok, 2020), dengan demikian hasil penilaian validator


menunjukkan bahwa validitas isi dan konstruk model pembelajaran CCDSR
termasuk kriteria sangat valid. Model pembelajaran CCDSR yang valid berarti
memiliki beberapa karakteristik yaitu memenuhi kebutuhan, keadaan memiliki
landasan teoritis dan empiris yang kuat, serta terdapat konsistensi antar komponen
model. Implikasi dari penelitian ini, model pembelajaran CCDSR termasuk dalam
kriteria validitas, baik isi maupun konstruk sehingga dapat digunakan sebagai
pedoman dalam menyusun rencana peningkatan pembelajaran SPS dan SPS bagi
siswa calon guru fisika.

(Saiful & Limatahu, 2021), berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data,
peneliti memperoleh kesimpulan bahwa model pembelajaran CCDSR cukup
efektif meningkatkan KPS siswa dengan kriteria cukup dilihat dari hasil analisis
respon siswa terhadap model pembelajaran CCDSR, juga menunjukan adanya
peningkatan keterampilan proses sains siswa dilihat dari perbedaan perbedaan
nilai pretest dan posttest siswa kelas XI-IPA SMA Negeri 13 Halmahera Selatan
dengan menggunakan model pembelajaran CCDSR, serta hasil penelitian ini
menunjukan peningkatan peningkatan di semua indikator keterampilan proses
sains siswa kelas XI-IPA SMA Negeri 13 Halmahera Selatan sesudah diberikan
perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran CCDSR.

Kerangka Teoritik

Secara sistematik kerangka teoritik dapat digambarkan sebagai berikut.

Model Pembelajaran Keterampilan Proses


CCDSR Sains

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : peningkatan keterampilan proses sains siswa tidak signifikan setelah

diterapkannya model pembelajaran CCDSR


35

Ha : keterampilan proses sains siswa meningkat secara signifikan setelah

diterapkannya model pembelajaran CCDSR

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


36

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Kristen Dian Halmahera, Desa

Akelamo, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku

Utara.

Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai dari tanggal 22 Maret- 23


Mei disesuaikan dengan jadwal mata pelajaran fisika pada Tahun ajaran
2021/2022.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif yang mendeskripsikan pengeloaan pembelajaran untuk meningkatkan

keterampilan proses sains siswa dengan menerapkan model pembelajaran

CCDSR. Penelitian ini adalah penelitian pre-eksperimental dengan desain

penelitian yang digunakan adalah one group pre-test post-test design yaitu

pemberian tes awal sebelum diberi perlakuan dan tes akhir setelah diberi

perlakuan dalam setiap kelompok yang sama, digambarkan sebagai berikut.

O1 X O2

Tabel 3.1 Desain Penelitian


(Arikunto, 2013: 75)

Keterangan:
O1  =  pretest
X =   treatment
O2  =  jenis perlakuan perlakuan.

Populasi dan Sampel


37

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa kelas X IPA SMA

Kristen Dian Halmahera yang terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas X IPA-1 sampai

X IPA-3 yang berjumlah 60 siswa. Sedangkan yang menjadi sampel dalam

penelitian ini adalah dua kelas, yakni kelas X IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan

kelas X IPA 2 sebagai kelas replikasi.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua vaiabel yaitu:

Variabel bebas (X)

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu : model pembelajaran CCDSR

(Condition, Contruction, Development, Simulation, Reflection) yang

dilambangkan dengan (X) yang dilakukan eksperimen pada kelas A dan B sesuai

desain penelitian.

Variabel terikat

Variabel terikat adalah keterampilan proses sains yang dilihat sebelum

diberi perlakuan (pretest) dan setelah diberi perlakuan (posttest) pada konsep

momentum dan impuls.

Teknik Pengumpulan Data

Definis Konsep

Model CCDSR merupakan model pembelajaran yang mendorong keterampilan


proses sains sehingga siswa dapat merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,
mengidentifikasi variabel, merumuskan definisi operasional variabel, merancang
38

dan melaksanakan percobaan, merancang tabel, membuat grafik, menganalisis


data, dan merumuskan kesimpulan yang dikemas melalui langkah-langkah
model pembelajaran CCDSR.

Keterampilan proses sains merupakan salah satu pilar dalam mendukung


penguasaan fisika. Keterampilan proses sains harus dilatihkan kepada peserta
didik agar peserta didik tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga dapat
melakukan pencarian informasi terkait dengan hal-hal yang dipelajari.

Definisi Operasional

Model pembelajaran CCDSR diambil dari angket respon siswa yang dibagikan
sesuai dengan aspek indikator:

Mengkondisikan siswa

Mengkontruksi siswa

Mengembangkan perangkat pembelajaran

Mensimulasi siswa

Merefleksi

Keterampilan proses sains diambil menggunakan metode pre-test post-test LKPD


sebagai skor penilaian dengan indikator:

Merumuskan masalah

Merumuskan hipotesis

Mengidentifikasi variabel

Merumuskan definisi operasional variabel

Merancang dan melaksanakan variabel

Merancang tabel

Membuat grafik

Menganalisis data

Merumuskan kesimpulan

Instrumen Penelitian
39

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes
keterampilan proses sains siswa dalam bentuk LKPD yang digunakan untuk
mengetahui keterampilan proses sains siswa sebelum dan setelah diajarkan
menggunakan model CCDSR. Tes keterampilan proses sains dalam bentuk LKPD
dengan pendekatan Saintifik didalamnya terdapat sembilan indikator
keterampilan proses sains.

Teknik Analisis Data

Keterampilan proses sains di analisis berdasarkan skor yang diperoleh siswa


sebelum dan setelah pembelajaran menggunakan model pembelajaran CCDSR.

Nilai ketrampilan proses sains hasil pre-tes dan post–test siswa di analisis dengan
N-gain. N-gain menunjukan derajat peningkatan KPS siswa sebelum dan setelah
mengunakan model pembelajaran CCDSR perolehan N-gain dapat dihitung
dengan menggunakana rumus:

( skor posttest ) −( skor pretest)


N-Gain =
skor maksimum−(skor prestest )

Hasil perhitungan dengan rumus indeks gain dapat dikategorikan sesuai kriteria
pada tabel 3.2 indeks gain dibawah ini

Tabel 3.2 kriteria N-gain

Nilai N-gain

Kriteria

0.70 <N-Gain

0.30 ≤ N-Gain ≤ 0.70

N-gain< 30

Tinggi

Sedang

Rendah

(Sesmiyanti dkk, 2019: 3)


40

Uji homogenitas dan uji normalistas di jadikan acuan untuk menentukan uji
statistic parametrik atau non parametrik. Data ketrampilan proses sains di analisis
dengan uji statistic inferensial dengan bantuan SPSS.

Ho : peningkatan keterampilan proses sains siswa tidak signifikan setelah


diterapkannya model pembelajaran CCDSR
Ha : keterampilan proses sains siswa meningkat secara signifikan setelah
diterapkannya model pembelajaran CCDSR

Jika P-Value < α maka HO di tolak

Jika P-value ≥ α, maka HO tidak dapat di tolak

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Data Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini keterampilan proses sains peserta didik dapat dilihat
berdasarkan hasil pretest dan posttest yang diberikan pada peserta didik.
Pemberian pretest bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik
sebelum diberi perlakuan yaitu diajarkan materi momentum dan impuls
menggunakan model pembelajaran CCDSR. Nilai rata-rata hasil pretest dan
posttest kedua kelas tercamtum dalam tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Rangkuman analisis statistik deskriptif


41

N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Pretest IPA 1
18
22.22
66.66
55.3967
11.08869
Posttest IPA 1
18
75.00
100.00
85.4894
7.47523
Pretest IPA 2
18
38.00
63.88
50.8617
5.59765
Posttest IPA 2
18
72.22
97.22
83.8983
8.68157
Valid N (listwise)
18

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pretest kelas

eksperimen X IPA 1 adalah 55,39 sedangkan kelas replikasi X IPA 2 adalah

50,86. Ditunjukkan pula untuk nilai rata-rata posttest pada kelas eksperimen X
42

IPA 1 adalah 85,48 dan kelas replikasi X IPA 2 sebesar 83,89. Dari data tersebut

tidak ada perbedaan nilai yang mencolok antara kelas eksperimen maupun

replikasi, baik nilai pretest maupun posttest karena model pembelajaran yang

digunakan pada kedua kelas sama yaitu model pembelajaran CCDSR.

Hasil Penelitian

Keterampilan proses sains siswa pada kelas X IPA 1 dan X IPA 2 dinilai
menggunakan tes LKPD. Tes ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum
perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest), kemudian diukur
peningkatan melalui perhitungan N-gain disetiap indikator keterampilan proses
sains yang diperoleh siswa pada kelas X IPA 1 dan X IPA 2 tercantum pada tabel
4.2. Berdasarkan tabel tersebut tampak Keterampilan proses sains siswa untuk
kelas X IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 2 masing-masing mengalami
peningkatan (Lampiran 9c).

Tabel 4.2 Hasil analisis n-gain


Prestes Posste Hasil N-gain
Kelas
t st N-gain Keterangan

Eksper 55,44 85,55 0,66 Sedang


imen

Replik 50,88 83,83 0,66 Sedang


asi

Hasil analisis n-gain pada semua kelas menunjukkan kategori sedang,

dengan nilai rata-rata n-gain pada kelas eksperimen maupun kelas replikasi

sebesar 0,66. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada aspek keterampilan

proses sains. Ada 9 ndikator keterampilan proses sains yang dikerjakan peserta

didik pada lembar LKPD saat pre-test dan post-test diantaranya merumuskan

masalah, merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, mengidentifikasi

definisi opersional variabel, merancang dan melaksanakan percobaan, membuat


43

tabel, merancang grafik, menganalisis data dan merumuskan kesimpulan

(Limatahu, 2018). Berikut ini merupakan hasil data keterampilan proses sains

siswa yang dicapai peserta didik berdasarkan kompetensinya (Lampiran 9b)

Tabel 4.5 Presentase data keterampilan proses sains kelas eksperimen dan kelas
replikasi
Kela Data 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-
s rata
Eks Pretest 28,9 31, 38,8 29,1 100 100 51,3 47,2 69, 55,1
9 4
Posttest 81,9 77, 75 66,6 100 98, 94,4 87,5 87, 85,4
7 6 5
n-gain 0,74 0,6 0,59 0,52 0 0 0,88 0,76 0,5 0,53
7 9
Rep Pretest 26,3 25 43 31,9 100 98, 51,3 43 41, 51,1
6 6
Posttest 88,8 86, 59,7 56,9 100 98, 88,8 91,6 84, 83,9
1 6 7
n-gain 0,84 0,8 0,29 0,36 0 0 0,77 0,85 0,7 0,52
1 3

Kedua kelas tersebut memiliki peningkatan dalam kategori sedang, namun

yang paling besar peningkatannya adalah pada kelas eksperimen. Dilihat dari

indikator keterampilan proses sains yang memiliki peningkatan paling besar

adalah indikator ketujuh yaitu merancang grafik. Jika dikonversikan dalam bentuk

grafik batang, maka data keterampilan proses sains siswa berdasarkan

kompetensinya dapat dilihat pada gambar 4.1. berikut.

Gambar 4.1. grafik presentase data keterampilan proses sains siswa berdasarkan
indikator keterampilan proses sains
44

120
1
100
2
80 3
4
60
5
40 6
7
20
8
0 9
pretest kelas eks posttest kelas eks pretest kelas rep posttest kelas rep

Jika dihitung nilai rata-rata dari ke sembilan indikator keterampilan proses

sains diperoleh data seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Bahwa

persentase ratarata keterampilan proses sains siswa pada kelas eksperimen dan

kelas replikasi tidak menonjol perbedaannya, salah satunya karena model

pembelajaran yang digunakan juga sama yaitu model pembelajaran CCDSR. Pada

kelas eksperimen rata-rata keterampilan proses sains ketika uji pretest sebesar

55,1% sedangkan ketika posttest sebesar 85,4%. Pada kelas replikasi rata-rata

keterampilan proses sains ketika uji pretest sebesar 51,1% sedangkan ketika post-

test sebesar 83,9%. Terdapat peningkatan keterampilan proses sains siswa pada

masing-masing kelas. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa

keterampilan proses sains siswa pada kelas eksperimen maupun kelas replikasi

meningkat. Jika dilihat dari rata-rata nilai yang diperoleh kelas eksperimen

maupun kelas repliksi dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran CCDSR

terbukti konsisten untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa karena

tidak ada ada perbedaan yang menonjol pada kelas eksperimen maupun kelas

replikasi setelah diterapkannya model pembelajaran CCDSR.


45

Gambar 4.2 Grafik Presentase rata-rata kemampuan keterampilan proses


sains siswa
90
80
70
60
50
Pretest
40
30 posttest
20
10
0
eksperimen replikasi eksperimen replikasi

Hasil penelitian ini diperkuat teori konstruktivis kognitif oleh Piaget (1954),

setiap siswa dalam usia berapa pun secara aktif terlibat dalam proses perolehan

informasi dan pengontruksian pengetahuan mereka sendiri (Arends, 2012). Sesuai

dengan teori konstruktivis kognitif, yaitu teori tingkat pemrosesan informasi,

orang menangani rangsangan pada tingkat pemrosesan mental yang berbeda dan

hanya akan menyimpan informasi yang telah ditangani melalui pemrosesan yang

paling sungguh-sungguh dan mendalam (Slavin, 2011). Hasil penelitian

menunjukkan siswa yang memproses informasi dengan serius dan sungguh-

sungguh lebih bagus ingatannya dibandingkan yang tidak (Slavin, 2011).

Kegiatan KPS tersebut relevan dengan hasil penelitian Dogan & Kunt (2016),

Zeidan & Jayosi (2015), dan Colvill & Pattie (2002) yang menyimpulkan bahwa

KPS adalah keterampilan prosedural, eksperimental, dan kemampuan

penyelidikan ilmiah sistematis sebagai dasar literasi sains ilmiah (Rahman dkk,

2020: 1787).

Selain uji n gain, data pretest posttest juga dilakukan uji statistik non

parametrik. Uji non parametrik digunakan karena pada saat uji normalitas ada
46

salah satu data yang tidak berdistribusi normal. Uji non parametrik yang

digunakan adalah uji wilcoxon. Uji wilcoxon bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya perbedaan rata-rata dua sampel yang saling berpasangan. Hipotesis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : peningkatan keterampilan proses sains siswa tidak signifikan setelah


diterapkannya model pembelajaran CCDSR
Ha : keterampilan proses sains siswa meningkat secara signifikan setelah
diterapkannya model pembelajaran CCDSR

Berikut adalah hasil dari uji non parametrik wilcoxon yang dianalisis

menggunakan uji statistik inferensial dengan bantuan SPSS 16 (Lampiran 10)

Tabel 4.4 Ranks kelas eksperimen


N Mean Rank Sum of Ranks

posttest kelas Negative


0a .00 .00
eksperimen - pretest Ranks
kelas eksperimen
Positive Ranks 18b 9.50 171.00

Ties 0c

Total 18
a. posttest kelas eksperimen < pretest kelas eksperimen
b. posttest kelas eksperimen > pretest kelas eksperimen
c. posttest kelas eksperimen = pretest kelas eksperimen

Tabel 4.4 Ranks kelas eksperimen


N Mean Rank Sum of Ranks

posttest replikasi - Negative


0a .00 .00
pretest replikasi Ranks

Positive Ranks 18b 9.50 171.00

Ties 0c

Total 18

a. posttest replikasi < pretest replikasi

b. posttest replikasi > pretest replikasi


47

Tabel 4.4 Ranks kelas eksperimen


N Mean Rank Sum of Ranks

posttest replikasi - Negative


0a .00 .00
pretest replikasi Ranks

Positive Ranks 18b 9.50 171.00

Ties 0c

Total 18

a. posttest replikasi < pretest replikasi

c. posttest replikasi = pretest replikasi

Negative Ranks atau selisih (negatif) antara keterampilan proses sains untuk

pretest dan posttest kelas eksperimen maupun kelas replikasi adalah 0, baik itu

nilai N, Man Rank maupun Sum of Ranks. Nilai ini menunjukkan tidak adanya

penurunan (pengurangan) dari nilai pretest ke nilai posttest.

Positive ranks atau selisih (positif) antara keterampilan proses sains untuk

pretest dan posttest kelas eksperimen. Disini terdapat 18 data positif (N) yang

artinya ke 18 siswa mengalami peningkatan keterampilan proses sains dari nilai

pretest ke posttest. Mean Rank aatau rata-rata peningkatan tersebut adalah sebesar

9,50, sedangkan jumlah rangking positif atau sum of ranks adalah 171,00.

Ties adalah kesamaan nilai pretest dan posttest, disini nilai Ties adalah 0,

sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada nilai yang sama antara pretest dan

postest.

Tabel 4.4 Test Statistics kelas eksperimen Tabel 4.5 Test Statistics kelas replikasi

posttest kelas posttest kelas


eksperimen - eksperimen -
pretest kelas pretest kelas
eksperimen eksperimen

Z -3.729a Z -3.729a

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Based on negative ranks. a. Based on negative ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Wilcoxon Signed Ranks Test


48

Dasar pengambilan keputusan uji wilcoxon

Jika nilai Asymp.Sig. < 0,05, maka hipotesis diterima

Jika nilai Asymp. Sig. > 0,05, maka hipotesis ditolak

Pengambilan keputusan

Berdasarkan output test statistics, diketahui asymp. Sig. (2-tailed) bernilai

0,000 bisa dilihat pada kelas eksperimen maupun kelas replikasi. Karena nilai

0,000 lebih kecil dari < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.

Artinya ada perbedaan antara ketermpilan proses sains siswa untuk pretest dan

posttest baik pada kelas eksperimen maupun kelas replikasi. Sehingga dapat

disimpulkan pula bahwa keterampilan proses sains siswa meningkat secara

signifikan setelah diterapkannya model pembelajaran CCDSR.

Dari uji non parametrik wilcoxon yang telah dianalisis menggunakan SPSS

16 dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan peningkatan ketermpilan proses sains

siswa pada kelas eksperimen maupun kelas replikasi karena kedua kelas sama-

sama menggunakan model pembelajaran CCDSR.


49

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil analisis data penelitian serta pembahasan, peneliti menarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Model pembelajaran CCDSR dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan


proses sains siswa khususnya pada materi momentum dan impuls, karena
terdapat peningkatan nilai pre-test dan post-test peserta didik secara signifikan
yang diuji menggunakan uji non parametrik wilcoxon dan rata-rata keterampilan
proses sains pada kelas eksperimen maupun kelas replikasi meningkat sebesar 0,6
pada kriteria sedang yang dihitung menggunakan n gain.

Model pembelajaran CCDSR konsisten untuk meningkatkan keterampilan proses


sains siswa karena tidak ada perbedaan yang menonjol dari kelas eksperimen dan
50

kelas replikasi dimana rata-rata perhitungan skor n gain pada kelas eksperimen
dan kelas replikasi adalah sama yaitu 0,6 yang berada pada kriteria sedang.
Sedangkan pada uji wilcoxon positive ranks atau selisih (positif) antara
keterampilan proses sains untuk pretest dan posttest kelas eksperimen maupun
kelas replikasi terdapat 18 data positif (N) yang artinya ke 18 siswa mengalami
peningkatan keterampilan proses sains dari nilai pretest ke posttest. Mean Rank
atau rata-rata peningkatan tersebut adalah sebesar 9,50, sedangkan jumlah
rangking positif atau sum of ranks adalah 171,00.

Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian di atas, dapat peneliti sarankan

kepada:

Model pembelajaran CCDSR dapat disarankan untuk meningkatkan keterampilan


proses sains siswa.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan referensi bagi
sekolah yang ingin meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini pada materi


Fisika yang lain atau dapat dikembangkan dengan instrumen yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai