Anda di halaman 1dari 28

Tugas

Seratus Paragraf

1. Fenomena rendahnya daya saing bangsa Indonesia di pasar global pada era
persaingan kualitas menunjukkan bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Rendahnya daya
saing bangsa ditunjukkan oleh indeks pengembangan manusia Indonesia yang berada
pada peringkat berada di peringkat 113 dari 188 negara (The United Nations
Development Programme, 2016). Laporan The Global Competitiveness Index 2015-
2016 yang dirilis oleh World Economic Forum, Indonesia menempati posisi ke 41 dari
138 negara di dunia dengan skor 4,5. Sedangkan negara tetangga Singapura
menempati posisi kedua, Malaysia posisi 25, dan Thailand posisi 34. Hal ini terjadi
antara lain karena rendahnya kualitas SDM masyarakat Indonesia (World Economic
Forum, 2017). Laporan tersebut menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan dalam
pembangunan manusia Indonesia untuk dapat bersaing dengan masyarakat asia dan
dunia. Oleh karena itu, guru sebagai sebuah profesi memiliki pengaruh besar terhadap
peningkatan kualitas SDM masyarakat Indonesia.
2. Usaha dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama calon guru
SD/MI menjadi tantangan bagi perguruan tinggi. Dalam hal ini kemampuan berfikir
kritis tidak terkecuali dalam mata kuliah konsep dasar matematika SD/MI penting
untuk dikuasai oleh mahasiswa calon guru SD/MI. Hal ini sejalan dengan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi guru
menyatakan bahwa kompetensi professional yang harus dimiliki seorang guru SD/MI
dalam mengajarkan matematika di SD/MI adalah menguasai pengetahuan konseptual
dan prosedural serta keterkaitan keduanya dalam konteks materi aritmatika, aljabar,
geometri, trigonometri, pengukuran, statistika, dan logika matematika; mampu
menggunakan matematisasi horizontal dan vertikal untuk menyelesaikan masalah
matematik dan masalah dalam dunia nyata; mampu menggunakan pengetahuan
konseptual, prosedural, dan keterkaitan keduanya dalam pemecahan masalah
matematika, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari; dan mampu
menggunakan alat peraga, alat hitung, dan piranti lunak komputer (Permendikbud,
2007).
3. Tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan berdasarkan hasil wawancara dengan dosen
matematika Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) salah satu masalah pada pembelajaran
matematika di lingkungan PGMI adalah rendahnya kompetensi mahasiswa calon guru
Madrasah Ibtidaiyah maupun Sekolah Dasar dalam menguasai materi-materi di tingkat
110 Muallimuna : Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 3, No. 2, April 2018 I Halaman:
108-115 sekolah dasar. Hal ini disebabkan dikarenakan seringnya mahasiswa
mengalami kesalahan konsep, prinsip dan operasi; (2) aktivitas pembelajaran belum
optimal; (3) minat belajar matematika mahasiswa rendah; (4) interaksi antar
mahasiswa kurang optimal.
4. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diteliti suatu pendekatan pembelajaran lain
yang efetif dan berkaitan antara konsep-konsep matematika dengan kehidupan sehari-
hari sehingga memungkinkan mahasiswa dapat mengoptimalkan kemampuan berfikir
kritis mahasiswa. Berpikir kritis matematis adalah suatu cara berpikir dalam usaha
memperoleh pengetahuan dengan melalakukan pertimbangan dan membuat keputusan
berdasarkan penalaran yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah matematika.
Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam.
Pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita
setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian. berpikir kritis
akan dikategorikan berdasarkan tingkatannya.
5. Pendekatan pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis,
diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang bercirikan
berpusat kepada siswa, pembelajaran yang mampu menempatkan mahasiswa sebagai
peserta didik yang aktif, mandiri dan bertanggung jawab sepenuhnya selama
pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang berhubungan langsung dengan
pengembangan keterampilan berfikir kritis dan bercirikan berpusat kepada siswa
adalah model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran ini menuntut dan
membangun kreativitas berpikir solutif dan kecerdasan matematis logis. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Arends yang mengungkapkan bahwa penerapan
pembelajaran berbasis masalah dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan
pemikiran mereka, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual ( Arends, 2012).
Adapun karakteristik dari PBM di antaranya adalah: 1) memposisikan siswa sebagai
self-directed problem solver melalui kegiatan kolaboratif, 2) mendorong siswa untuk
mampu menemukan masalah dan mengelaborasinya dengan mengajukan dugaan-
dugaan dan merencanakan penyelesaian, 3) memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi
berbagai alternatif penyelesaian dan implikasinya, serta mengumpulkan dan
mendistribusikan informasi, 4) melatih siswa untuk terampil menyajikan temuan, dan
5) membiasakan siswa untuk merefleksi tentang efektivitas cara berpikir mereka dalam
menyelesaikan masalah (Herman, 2007).
6. Selanjutnya untuk mengembangkan keterampilan berpikir berpikir kritis maka model
pembelajaran yang dikembangkan juga didasarkan pendekatan saintifik, yaitu:
pendekatan yang membina keterampilan peserta didik melalui proses mengamati,
menanya, dan membuktikan (Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014). Pendekatan
scientific ini memiliki karakteristik “doing science”. Pendekatan ini memudahkan guru
atau pengembang kurikulum untuk memperbaiki proses pembelajaran, yaitu dengan
memecah proses ke dalam langkah-langkah atau tahapan-tahapan secara terperinci
yang memuat instruksi untuk siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pendekatan
saintifik ini dapat mendorong peserta didik untuk melakukan keterampilan-
keterampilan ilmiah agar secara aktif mengamati, menanya, menalar, mengasosiakan
dan mengkomunikasikan. Pendekatan saintifik diyakini sebagai titian emas
perkembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan. Oleh karena itu pembelajaran
diharapkan dapat mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari bebagai sumber
melalui pengalaman nyata peserta didik agar dapat memecahkan masalah. Dengan
memecahkan masalah peserta didik harus mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan
tekun dan rasa ingin tahu, 111 Pengaruh Model Pembelajaran berbasis Masalah
dengan Pendekatan Saintifik … I Ariani serta percaya diri dalam mengungkapkan
pendapatnya. Di kehidupan sehari-hari dan dunia kerja, menjadi seorang pemecah
yang baik bisa membawa manfaat-manfaat yang besar.
7. Jenis penelitian ini yaitu quasi eksperimen. Metode ini terdiri dari kelas eksperimen
dan kelas control. Kelas eksperimen merupakan kelas yang proses pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan pembelajaran
saintifik, sedangkan kelas kontrol yaitu kelas yang proses pembelajarannya
menggunakan strategi ekspositori. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa PGMI semester 3 yang tersebar sebanyak 5 kelas.
8. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Cluster Random
Sampling, yaitu pengambilan 2 dari 5 kelas semester 3. Kemudian, dua kelas tersebut
diundi lagi dan diperoleh kelas Banjarmasin yang terdiri dari 24 mahasiswa sebagai
kelas eksperimen dan kelas Banjarbaru yang terdiri dari 24 mahasiswa sebagai kelas
kontrol. Sebaran siswa di kedua kelas tersebut menurut informasi dari pihak Program
Studi PGMI bersifat heterogen baik dari jenis kelamin maupun prestasi belajar siswa.
Artinya tidak ada kelas unggulan di salah satu kelas tersebut. Pembelajaran Geometri
di kelas eksperimen maupun kelas kontrol dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan tidak
termasuk tes. Sementara itu, pembelajaran yang dilakukan di kelas kontrol seperti
biasanya dimana dosen menggunakan pengajaran langsung dalam membelajarkan
matematika kepada siswa di kelas.
9. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Posttest-Only Control Design.
10. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal post-test, perangkat SAP,
serta rubrik penilaian berfikir kritis. Soal yang dibuat berbentuk uraian berdasarkan
materi yang diajarkan kepada mahasiswa yaitu tentang Geometri. Perangkat RPS akan
divalidasi oleh dosen ahli dibidang Matematika SD,sedangkan soal akan divalidasi
secara empiris melalui ujicoba ke kelas yang bukan termasuk kelas penelitian. Selain
itu, sebelum soal dibuat, peneliti terlebih dahulu membuat kisi-kisi soal.
11. Selain itu, SAP diuji coba terlebih dahulu untuk memastikan kesiapan pengajar dalam
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan pembelajaran
saintifik. Tujuannya yaitu untuk memperbaiki langkah-langkah yang dilakukan oleh
pengajar apabila terdapat ketidaksesuaian antara sintak dalam SAP dan langkah-
langkah yang dilakukannya, serta menyesuaikan dengan lingkungan kelas tersebut.
12. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini yaitu teknik tes. Teknik tersebut
dilakukan dengan memberikan serangkaian soal berbentuk Essay dan melalui lembar
kerja (worksheet) dan menggunakan assesmen presentasi dan investigasi. Soal tes
essay dibuat dengan mengacu pada indikator kemampuan berfikir kritis matematika
yaitu (1) focus: merumuskan pokok-pokok permasalahan (menuliskan yang diketahui
dan ditanyakan dari soal), (2) clarity: menjelaskan istilah yang digunakan (mengubah
pernyataan dalam bentuk simbol matematis dan memberikan penjelasannya), (3)
inference: membuat simpulan dari penyelesaian suatu masalah.
13. Pada penelitian ini data diperoleh dari dua kelas yaitu kelas Banjarmasin dan Kelas
Banjarbaru. Kelas Banjarmasin sebagai kelas eksperimen merupakan kelas yang
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan saintifik pada
proses pembelajarannya. Sedangkan kelas Banjarbaru merupakan kelas kontrol yang
menggunakan strategi ekspositori pada proses pembelajarannya. Untuk selanjutnya
kelas eksperimen akan disebut kelas PBMPS dan kelas kontrol disebut kelas
ekspositori. Kelas Banjarmasin terdiri dari 24 mahasiswa dan kelas Banjarbaru terdiri
dari 24 mahasiswa. Materi yang diajarkan pada penelitian ini adalah Geometri. Berikut
ini analisis data kemampuan berpikir kritis.
14. Dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran
berbasisis masalah dengan pendekatan saintifik, mahasiswa dipandang sebagai
individu yang memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi proses belajar. Setelah siswa terlibat dalam proses belajar yang
bermakna, siswa mengembangkan lebih lanjut pengetahuan tersebut ke tingkat yang
lebih tinggi, selain itu siswa juga secara aktif memperoleh pengetahuan baru dengan
membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Mereka juga diberikan kesempatan
untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang matematika.
Melalui eksplorasi berbagai masalah, baik masalah kehidupan sehari-hari maupun
masalah matematika. Oleh karena itu, pembelajaran matematika dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan saintifik dapat mengasah
kemampuan berfikir kritis.
15. Presseisen (dalam Rochaminah, 2008) memberi pengertian berpikir sebagai suatu
aktivitas mental dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu,
berpikir merupakan proses kognitif yang tidak dapat dilihat secara fisik. Hasil dari
berpikir dapat berupa ide, pengetahuan, prosedur, argumen, dan keputusan.
16. Pengertian berpikir menurut Presseisen masih bersifat umum, pengertian berpikir
dalam bidang matematika dikemukakan oleh Sumarmo (2008:3) sebagai
melaksanakan kegiatan atau proses matematika (doing math) atau tugas matematik
(mathematical task).
17. Berdasarkan kedua pengertian tersebut maka berpikir matematik dapat diartikan
sebagai aktivitas mental dalam melaksanakan proses matematika (doing math) atau
tugas matematika (mathematical task).
18. Ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematika yang terlibat,
berpikir matematika dapat digolongkan dalam berpikir matematik tingkat rendah (low
order mathematical tinking) dan berpikir matematik tingkat tinggi (high order
mathematical thinking) (Sumarmo, 2008: 3).
19. Berpikir matematik tingkat rendah mencakup: pemahaman tingkat rendah, seperti
mengenal dan menghafal rumus serta menggunakan dalam perhitungan
rutin/algoritmik (pemahaman: mekanikal, komputasional, instrumental, knowing how
to). Berpikir matematik tingkat tinggi meliputi: pemahaman tingkat tinggi
(pemahaman: rasional, relasional, fungsional, knowing), berpikir kritis matematis,
kreatif matematis dan intuitif.
20. Kemampuan berpikir tingkat tinggi pada jenis: pemahaman konsep (conceptual
understanding), pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian
(reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connection), dan
representasi (representation) termuat di dalam National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM, 2000) sebagai prinsip dan standar matematika sekolah.
21. Dalam NCTM (2000), pemahaman konseptual (conceptual understanding) dinyatakan
sebagai salah satu prinsip belajar matematika sekolah. Ini berarti bahwa dalam
pembelajaran matematika di sekolah, siswa mempelajari konsep matematika dengan
pemahaman (conceptual understanding), secara aktif membangun pengetahuan baru,
dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang termasuk dalam berfikir
matematis tingkat tinggi. Sedangkan pemecahan masalah (problem solving), penalaran
dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi
(connection), dan representasi (representation) dinyatakan sebagai standar proses atau
kompetensi dalam pembelajaran matematika di sekolah.
22. Walaupun terdapat perbedaan dalam proses memperoleh kesimpulan, penalaran
deduktif dan penalaran induktif memiliki persamaan, yaitu kedua-duanya merupakan
argumen yang didefinisikan sebagai serangkaian proposisi yang mempunyai struktur
yang terdiri dari beberapa premis dan satu kesimpulan atau konklusi (Sumarmo, 1987:
31-32).
23. Pembuktian (proof) menurut Educational Development Center (2003) (dalam Fahinu,
2007:16) adalah suatu argumentasi logis yang menetapkan kebenaran suatu
pernyataan. Kesimpulan argumentasi diperoleh dari premis pernyataan, teorema lain
dan definisi. Logis berarti bahwa setiap langkah dalam argumentasi dibenarkan oleh
langkah-langkah sebelumnya.
24. Metode pembuktian diperlukan untuk meyakinkan kebenaran pernyataan atau teorema yang
pada umumnya berbentuk implikasi dan biimplikasi. Pembuktian pernyataan implikasi
menurut Martono (1999) (dalam Fahinu, 2007:18) terdiri dari metode bukti langsung dan
metode bukti tak langsung (kontraposisi dan kontradiksi).
25. Beberapa definisi yang berbeda mengenai berpikir kritis dikemukakan oleh Steven
(1991), Krulik dan Rudnik (1993), Ennis (1996) (dalam Rochaminah, 2008: 22-24).
Meskipun terdapat perbedaan, namun pada dasarnya terdapat kesamaan yang dapat
dijadikan sebagai landasan dalam menghasilkan suatu definisi operasional.
26. Steven (1991) memberikan definisi berfikir kritis sebagai berpikir dengan benar untuk
memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliabel. Berpikir kritis merupakan berpikir
menggunakan penalaran, berpikir reflektif, bertanggung jawab, dan expert dalam
berpikir (dalam Rochaminah, 2008: 22). Berdasarkan pengertian tersebut maka
seseorang dikatakan berpikir kritis apabila dapat memperoleh suatu pengetahuan
dengan cara hati-hati, tidak mudah menerima pendapat tetapi mempertimbangkan
menggunakan penalaran, sehingga kesimpulannya terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya Steven mengemukakan bahwa proses berpikir
kritis dapat digambarkan seperti metode ilmiah, yaitu: mengidentifikasi masalah,
merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data yang relevan, menguji
hipotesis secara logis, melakukan evaluasi dan membuat kesimpulan yang reliabel.
27. Pengertian berfikir kritis menurut Krulik dan Rudnik (1993) adalah
mengelompokkan, mengorganisasi, mengingat, dan menganalisis informasi yang
diperlukan, menguji, menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek dari situasi
masalah (dalam Rochaminah, 2008: 22). Pengertian berpikir kritis yang dikemukakan
Krulik dan Rudnik pada hakekatnya sejalan dengan pengertian berpikir kritis menurut
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X Vol. 2, No.
1, April 2013 73 Steven karena keduanya menggunakan langkah-langkah metode
ilmiah dalam melakukan proses berfikir.
28. Ennis (1996: 1-2) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses berpikir dengan
tujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan
mengenai apa yang akan diyakini dan apa yang akan dilakukan. Dalam memutuskan
apa yang akan dipercaya dan apa yang akan dilakukan, diperlukan informasi yang
reliabel dan pemahaman terhadap topik atau lapangan studi. Berdasarkan semua hal
tersebut seseorang dapat mengambil keputusan yang reliabel. Keputusan mengenai
keyakinan sangat penting, Suatu kunci dalam memutuskan suatu keyakinan sering
merupakan sebuah argumen. Berdasarkan definisi Ennis maka seseorang yang berpikir
kritis mampu mengambil keputusan mengenai apa yang akan diyakini dan apa yang
akan dilakukan berdasarkan informasi yang dapat dipercaya dan pemahaman terhadap
topik yang dihadapi.
29. Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, terdapat satu
kesamaan mengenai pengertian berpikir kritis, yaitu aktivitas mental yang dilakukan
menggunakan langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu: memahami dan
merumuskan masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi yang diperlukan
dan dapat dipercaya, merumuskan praduga dan hipotesis, menguji hipotesis secara
logis, mengambil kesimpulan secara hati-hati, melakukan evaluasi dan memutuskan
sesuatu yang akan diyakini atau sesuatu yang akan dilakukan, serta meramalkan
konsekuensi yang mungkin terjadi. Berpikir kritis matematis artinya berpikir kritis
dalam bidang matematika.
30. Beberapa penelitian mengenai Berpikir Kritis telah dilakukan oleh Gokhale (1995)
dan Brett at. al (2001) (dalam Rochaminah, 2008: 43 – 44). Berdasarkan hasil dari
kedua penelitian tersebut ditemukan bahwa pembelajaran kolaborasi, dan
pembelajaran kontekstual pada level mahasiswa lebih baik dalam mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
31. Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang lebih tepat dalam
berpikir, bekerja, dan membantu lebih akurat dalam menentukan keterkaitan sesuatu
dengan lainnya. Oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam
pemecahan masalah atau pencarian solusi. Pengembangan kemampuan berpikir kritis
merupakan integrasi berbagai komponan pengembangan kemampuan, seperti
pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan
persuasi. Semakin baik pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka akan
semakin baik pula dalam mengatasi masalah-masalah.
32. Menurut Zamroni dan Mahfudz (2009:30) ada empat cara meningkatkan
keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: (1) model pembelajaran tertentu, (2)
pemberian tugas mengkritisi buku, (3) penggunaan cerita, dan, (4) penggunaan model
pertanyaan socrates. Dalam penelitian ini bahasan akan difokuskan hanya pada model
pembelajaran.
33. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, keterampilan berpikir kritis dapat ditingkatkan
dengan model pembelajaran. Namun demikian, tidak semua model pembelajaran
secara otomatis dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis.Hanya model
pembelajaran tertentu yang akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Model
pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis, paling tidak
mengandung tiga proses, yakni (a) Perpustakaan IAI Agus Salim April 2020 5
Kemampuan Berfikir Kritis Matematis penguasaan materi, (b) internalisasi, dan (c)
transfer materi pada kasus yang berbeda.Penguasaan siswa atas materi, dapat cepat
atau lambat dan dapat dalam atau dangkal. Kecepatan atau kelambatan dan kedalaman
atau kedangkalan penguasaan materi dari siswa sangat tergantung pada cara guru
melaksanakan proses pembelajaran; termasuk dalam menggunakan model
pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi pembelajaran yang dipelajari.
34. Internalisasi merupakan proses pengaplikasian materi yang sudah dikuasai dalam
frekuensi tertentu, sehingga apa yang telah dikuasai, secara pelan-pelan terpateri pada
diri siswa, dan jika diperlukan akan muncul secara otomatis. Mengaplikasikan suatu
pengetahuan yang dikuasai amat penting artinya bagi pengembangan kerangka pikir.
Akan lebih penting lagi apabila aplikasi dilakukan pada berbagai kasus atau konteks
yang berbeda. Sehingga terjadi proses transfer of learning, dengan transfer of learning
akan terjadi proses penguatan critical thinking.
35. Steven (1991) memberikan definisi berpikir kritis sebagai berpikir dengan benar
untuk memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliabel. Sejalan dengan Steven,
Rochaminah (2008: 22) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir
menggunakan penalaran, reflektif, bertanggung jawab, dan expert dalam berpikir atau
keterampilan siswa untuk memecahkan suatu masalah dengan mengembangkan
potensi siswa (Chotimah, et. al, 2018:69), dengan mampu memecahkan masalah siswa
dapat menerapkan kedalam kehidupan sehari-hari (Islamiah, et. al, 2018:48, Siswanto,
et. al, 2018:69). Berdasarkan pengertian tersebut berpikir kritis dapat didefinisikan
sebagai berpikir secara mendalam dengan menggunakan penalaran untuk memperoleh
pengetahuan yang relevan dan mampu bertanggung jawab.
36. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata mandiri berarti dapat berdiri
sendiri, sementara kemandirian adalah belajar mandiri atau keadaan di mana seseorang
mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Menurut Lilik, dkk
(2013:64), kemandirian belajar adalah suatu keterampilan belajar di mana dalam
proses belajar tersebut, individu dimotivasi, dikendalikan dan dinilai oleh individu itu
sendiri. Selanjutnya menurut Brookfield (2000:130-133), bahwa kemandirian belajar
adalah suatu kegiatan untuk mencapai tujuan dengan kesadaran diri sendiri dan
digerakan oleh diri sendiri. Dengan kemandirian, siswa mampu menggali informasi
dari berbagai sumber selain dari guru (Fajriyah, et. al, 2018:288) dan menimbulkan
rasa percaya diri, sikap yang positif dan mampu mengevaluasi diri (Bungsu, et. al,
2018:383).
37. Berdasarkan pengertian tersebut, kemandirian belajar dapat disimpulkan sebagai
suatu kegiatan yang berasal dari kemauan diri sendiri, belajar yang mandiri dan tidak
bergantung terhadap orang lain serta bertanggung jawab agar tercapainya tujuan
belajar yang diinginkan.
38. Masalah yang terjadi saat ini terutama di Mts Al-Mukhtariyah Mande yaitu sugesti
buruk siswa pada pelajaran matematika membuat matematika lebih sedikit disukai dari
pelajaran lainnya hal ini sejalan dengan Ayubi (2018:356) bahwa tidak sedikit siswa
yang berasumsi bahwa matematika merupakan mata pelajarn yang sulit, ini terlihat
ketika diawal pembelajaran siswa sudah mengeluh karena mereka langsung berpikir
bahwa mereka tidak bisa, saat belajar siswa ada yang memperhatikan dan ada pula
yang tidak, bahkan ada siswa yang mengganggu siswa yang lainnya yang
menyebabkan mereka tidak bisa fokus pada saat belajar. Saat siswa diberi soal siswa
langsung mengisi soal tanpa terlebih dahulu menulis apa yang mereka ketahui dan
tidak mereka mengetahui. Siswa juga belum paham betul dari materi yang sudah guru
jelaskan. Contohnya siswa belum mengerti macam-macam metode yang terdapat
dalam materi SPLDV.
39. Jadi penyelesaian dari masalah yang telah diuraikan diatas bahwa kita harus bisa
membuat siswa menyukai pelajaran matematika dan membuat siswa paham bahwa
matematika itu juga bermanfaat untuk ilmu lainnya bahkan semua yang dilakukan
manusia berhubungan dengan matematika, selain hanya untuk hitung-menghitung.
Salah satu cara untuk bisa membuat anak berpikir kritis adalah memberikan soal yang
tidak rutin, untuk menarik perhatian siswa bisa juga dengan ANALISIS KEMAMPUAN
BERFIKIR KRITIS MATEMATIK SERTA KEMANDIRIAAN BELAJAR SISWA SMP
TERHADAP MATERI SPLDV, Fauziah Hidayat, Padillah Akbar, Martin Bernard 517
memanfaatkan media yang disediakan seperti ICT dan alat peraga. Dalam
pembelajaran pun siswa harus dilatih untuk menemukan konsep sendiri dengan cara
menggunakan pendekatan yang tepat.
40. Metode yang dipilih adalah deskriptif kualitatif. Strauss dan Corbin (Cresswell,
1998:24) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis
penelitian di mana penemuan-penemuan yang dihasilkan tidak dapat dicapai dengan
menggunakan prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).
41. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-B dan VIII-D di Mts Al-
Mukhtariyah Mande tahun pelajaran 2017-2018. Jumlah siswa pada kelas VIII-B
berjumlah 25 orang yang terdiri dari 13 siswa laki-laki, 12 siswa perempuan untuk
kelas VIII-D ada 33 orang yakni terdiri dari 15 siswa laki-laki, 18 siswa perempuan.
Penentuan 2 kelas pada penelitian ini dilakukan menggunakan teknik acak yang
disesuaikan dengan jadwal mengajar guru. Adapun objek dalam penelitian ini adalah
kemampuan berpikir kritis serta kemandirian belajar siswa kelas VIII-B dan kelas
VIII-D Mts AlMukhtariyah Mande tahun ajaran 2017-2018 dengan materi Sistem
Persamaan Linier Dua Variabel pada pembelajaran matematika.
42. Teknik pengumpulan data menggunakan dua jenis instrumen, yaitu tes soal
kemampuan berpikir kritis yang telah dilakukan validasi dan soal angket. Soal tes
berupa uraian yang memuat indikator berpikir kritis mengenai materi SPLDV terdiri
dari 5 soal untuk menguji kemampuan berpikir kritis siswa, dan skala mengenai
kemandirian belajar.
43. Masyarakat Ekonomi ASEAN atau yang lebih dikenal sebagai MEA merupakan
sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas yang
berlaku diantara negara-negara anggota ASEAN. Tujuan dari MEA adalah menjadikan
ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang mana terjadi arus barang, jasa,
investasi aliran modal, dan tenaga terampil yang bebas. MEA memberikan banyak
tantangan bagi Indonesia, baik secara eksternal maupun secara internal. Tantangan
eksternal yang utama diantaranya tingkat persaingan perdagangan yang semakin ketat
dengan Negara ASEAN lainnya. Sementara itu, tantangan internal Indonesia antara
lain rendahnya pemahaman masyarakat terhadap MEA, ketidaksiapan daerah
menghadapi MEA, tingkat pembangunan daerah yang belum merata, dan kondisi
Sumber Daya Manusia (SDM) serta ketenagakerjaan Indonesia.
44. Implementasi MEA membutuhkan kesiapan yang matang dalam berbagai sektor.
Untuk menghadapi tantangan MEA, Indonesia perlu mengembangkan potensi yang
ada. Salah satu potensi yang dimiliki Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar
dengan luas dan letak geografi yang strategis. Potensi ini harus didukung dengan
peningkatan pendidikan dan keterampilan untuk meningkatkan produktivitas kerja,
serta mencetak SDM yang berkualitas.
45. Berdasarkan fakta diatas, meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi
sangat penting dilakukan untuk mendorong peningkatan daya saing nasional. Hal ini
didukung pula dengan pernyataan Dimyati (2015) dimana pembenahan kualitas
sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan
dan kemajuan suatu bangsa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam
meningkatkan Eny Sulistiani, Masrukan 606 | Seminar Nasional Matematika X
Universitas Negeri Semarang 2016 SDM adalah dengan meningkatkan kualitas
dibidang pendidikan. Pendidikan menjadi unsur penting yang harus mendapat prioritas
utama dalam menghadapi persaingan MEA. Melalui pendidikan, setiap siswa dilatih
untuk mengembangkan kemandirian dan kemampuan berpikir kritis.
46. Glaser mendifinisikan berpikir kritis sebagai suatu sikap untuk berpikir secara
mendalam terkait masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan
pengalaman seseorang (Fisher, 2008: 3). Glaser juga mengungkapkan berpikir kritis
sebagai suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode pemeriksaan dan
penalaran yang logis. Keterampilan berpikir kritis sangat penting dikuasai oleh siswa
agar siswa lebih terampil dalam menyusun sebuah argumen, memeriksa kredibilitas
sumber, atau membuat keputusan. Salah satu alat untuk mengembangkan kemampuan
kritis siswa adalah matematika.
47. Matematika memiliki peranan penting dalam membentuk dan mengembangkan
keterampilan berpikir nalar, logis, sistematis dan kritis. Depdiknas (2006: 361),
menyatakan bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis menjadi fokus
pembelajaran dan menjadi salah satu standar kelulusan siswa SMP dan SMA.
Dikehendaki, lulusan SMP maupun SMA, mempunyai kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerja sama.
Namun kenyatannya, pelaksanaan pembelajaran matematika disekolah belum
sepenuhnya melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Sampai saat ini perhatian
pengembangan kemampuan untuk berfikir kritis masih relatif rendah sehingga masih
terbuka peluang untuk mengesplorasi kemampuan berfikir kritis serta
pengembangannya. Sementara itu, untuk menghadapi tantangan MEA juga diperlukan
peningkatan pada sektor human development yang dapat dilakukan melalui
pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa sebagai generasi penerus bangsa.
Pernyataan tersebut semakin menguatkan pentingnya berpikir kritis dalam
pembelajaran, khususnya matematika. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis
perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, dan membuat kesimpulan
dari berbagai kemungkinan secara efektif. Dalam artikel ini akan dieksplorasi
pentingnya berfikir kritis dalam pembelajaran matematika dan peranannya dalam
menghadapi MEA. Hasil kajian ini dapat dijadikan dasar pada penelitian-penelian
berikutnya tentang berfikir kritis.
48. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang
direncanakan untuk dicapai pada tahun 2015. Tujuan utama dari MEA 2015 adalah
menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang mana terjadi arus
barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran modal yang lebih
bebas. Bagi Indonesia, pembentukan MEA akan memberikan tantangan yang tidak
hanya bersifat internal di dalam negeri, tetapi juga akan mengakibatkan terjadinya
persaingan antar sesama negara ASEAN dan negara lain diluar ASEAN, seperti Cina
dan India. Selain itu permasalahan homogenitas komoditas yang diperjualbelikan serta
keterbatasan infrastruktur dalam negeri juga menjadi masalah krusial di masa
mendatang.
49. Sejauh ini, langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk
menghadapi MEA,diantaranya : (1) pemerintah meluncurkan Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3IE) sebagai penguatan daya
saing ekonomi; (2) gerakan Nation Branding sebagai pengembangan ekonomi kreatif
sebagai wujud program Aku Cinta Indonesia (ACI); (3) penguatan sektor UMKM; (4)
perbaikan infrastruktur; (5) peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan (6)
reformasi kelembagaan dan pemerintah (Warta Ekspor Edisi Januari 2015).
50. Sementara itu, sebagian pendapat menyatakan bahwa sampai saat ini Indonesia belum
sepenuhnya siap menghadapi MEA. Hal ini disebabkan karena daya saing ekonomi
nasional dan daerah dinilai masih rendah dan belum siap untuk bersaing dalam MEA.
Selain itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini sebagaimana dikutip
dalam Warta Ekspor, menilai bahwa persiapan yang dilakukan pemerintah Indonesia
dalam menghadapi MEA masih belum optimal. Pemerintah baru melakukan sosialisasi
tentang “Apa itu MEA”, belum pada sosialisasi apa yang harus dilakukan untuk
memerangi MEA. Berkaitan dengan hal tersebut, khususnya untuk membantu langkah
pemerintah dalam menghadapi MEA dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia, maka salah satu langkah yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas
pendidikan untuk mencetak lulusan yang unggul, dan kompetitif serta mampu bersaing
di era global.
51. Peran dunia pendidikan sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan di era
MEA. Hal ini didukung oleh Masrukan (2015), yang menyatakan bahwa pendidikan
khususnya pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam mendukung pembentukan
MEA dan dalam mempersiapkan masyarakat Indonesia untuk menghadapi integrasi
regional. Pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari output yang dihasilkan yaitu
siswa-siswa yang tidak hanya unggul di bidang akademik (hard skill), tetapi juga
unggul dalam soft skill, sehingga akan menjadi pribadi yang berkompeten, mandiri,
kerja keras dan professional. Secara garis besar, peran pendidikan dalam menghadapi
MEA diantaranya : (1) Pendidikan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pendidikan
memberikan bekal ilmu pengetahuan bagi siswa. Ilmu pengetahuan memberikan
wawasan yang luas bagi siswa yang nantinya berguna dalam memecahkan masalah
dan membantu siswa dalam mengembangkan kemampuannya. (2) Pendidikan
memberikan keterampilan. Pendidikan merupakan salah satu alat untuk mengajarkan
keterampilan pada siswa baik disekolah formal, maupun non formal. MEA menuntut
masyarakan Indonesia memiliki keterampilan yang mumpuni diberbagai bidang ilmu,
dengan tujuan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri hingga nantinya bisa
bersaing dengan masyarakat dari negara lain di ASEAN. (3) Pendidikan sebagai sarana
melatih mental, tanggung jawab, dan kedisiplinan.Pemerintah saat ini sedang gencar-
gencarnya menanamkan pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah. Mental,
tanggung jawab, dan kedisiplinan yang tinggi menjadi unsur penting yang harus
dikembangkan di era pendidikan saat ini.
52. Oleh karena itu, pendidikan menjadi salah satu solusi ampuh dalam menghadapi
MEA. Pentingnya pendidikan sebagai kekuatan suatu bangsa untuk menghadapi
tantangan MEA, maka perlu dirumuskan cara mengelola pengetahuan dalam
merancang langkah penyelesaian masalah untuk menghadapi tantangan dunia yang
semakin kompleks. Lembaga pendidikan perlu meningkatkan mutu pendidikan dengan
menciptakan inovasi pembelajaran yang mampu merangsang siswa untuk berpikir
tingkat tinggi dalam memecahkan suatu permasalahan. Salah satu alat dalam dunia
pendidikan yang dapat mencetak SDM berkualitas yang berkompeten dan mampu
bersaing dalam MEA adalah dengan melatih high order thinking siswa pada aspek
berpikir kritis melalui pembelajaran matematika.
53. Beragam definisi dikemukakan oleh para ahli mengenai definisi berpikir kritis.
Beberapa komponen berpikir kritis yang dikemukakan para ahli mengandung banyak
kesamaan. Schafersman (1991: 3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai kegiatan
berpikir dengan benar dalam memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliabel.
Berpikir kritis diartikan sebagai berpikir nalar, reflektif, bertanggungjawab, dan mahir
berpikir. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Ennis (1993: 180) yang mengatakan
bahwa, berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus
untuk menentukan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan. Tujuan berpikir kritis
difokuskan ke dalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran mengarah kepada suatu
tujuan yang akhirnya memungkinkan untuk membuat keputusan. Sementara itu,
Johnson (2002: 183) mengartikan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk
berpendapat dengan cara terorganisasi, dan merupakan kemampuan untuk
mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain. Paul,
Fisher dan Nosich (1993: 4) sebagaimana dikutip dalam Fisher (2008: 4)
mengungkapkan berpikir kritis adalah mode berpikir mengenai hal, substansi, atau
masalah apa saja dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan
menangani secara terampil strukturstruktur yang melekat dalam pemikiran dan
menerapkan standar intelektual padanya. Menurut Fisher (2008: 4) definisi tersebut
sangat menarik karena ia mengarahkan perhatian pada keistimewaan berpikir kritis
dimana para guru dan peneliti dibidang ini pada prinsipnya menyetujui bahwa satu-
satunya cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis seseorang adalah
melalui berpikir tentang dirinya sendiri, dan secara sadar berupaya untuk
memperbaikinya dengan merujuk pada beberapa model berpikir yang baik dalam
bidang itu.
54. Berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat diperlukan pada zaman sekarang.
Selain itu, berpikir kritis juga memiliki manfaat dalam jangka panjang, mendukung
siswa dalam mengatur keterampilan belajar mereka, dan kemudian memberdayakan
individu untuk berkontribusi secara kreatif pada profesi yang mereka pilih. Udi &
Cheng (2015: 456) menegaskan bahwa berpikir kritis harus menjadi dasar yang
meresap dari pengalaman pendidikan semua siswa mulai dari pra-sekolah hingga SMA
dan perangkat di universitas serta program terstruktur dalam berpikir kritis harus
dimulai dengan mengenalkan karakter (disposisi) yang tepat dan beralih menuju ke
pengembangan kemampuan berpikir kritis. Artinya, berbekal dengan kemampuan
berpikir kritis, guru telah membantu mempersiapkan peserta didik untuk masa
depannya. Lebih lanjut Ben-Chaim, et all (2000: 149) mengatakan bahwa kemampuan
berpikir kritis menjadi sangat penting agar sukses di kehidupan, sebagai langkah
perubahan untuk terus melaju dan sebagai kompleksitas serta saling meningkatkan
ketergantungan.
55. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir
rasional tentang sesuatu, kemudian mengumpulkan informasi sebanyak mungkin
tentang sesuatu tersebut yang meliputi metode-metode pemeriksaan atau penalaran
yang akan digunakan untuk mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu
tindakan. Seseorang yang berpikir kritis memiliki ciri-ciri : (1) mampu berpikir secara
rasional dalam menyikapi suatu permasalahan; (2) mampu membuat keputusan yang
tepat dalam menyelesaikan masalah; (3) dapat melakukan analisis, mengorganisasi,
dan menggali informasi berdasarkan fakta yang ada; (4) mampu menarik kesimpulan
dalam menyelesaikan masalah dan dapat menyusun argumen dengan benar dan
sistematik.
56. Matematika merupakan bagian dari ilmu yang memiliki sifat khas jika dibandingkan
dengan ilmu pengetahuan yang lain. Kekhasan pada matematika menjadikan
matematika sebagai ratu sekaligus pelayan dalam ilmu pengetahuan. Pentingnya
matematika dalam kehidupan sehari-hari menjadikan matematika sebagai salah satu
mata pelajaran yang harus dikuasai oleh setiap siswa. Menurut Lambertus (2009: 138-
139) matematika mempelajari tentang pola, struktur, keteraturan yang terorganisasi,
yang dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi kemudian ke unsurunsur yang
terdefinisi, hingga ke aksioma atau postulat dan dalil-dalil atau teorema. Komponen
matematika tersebut membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan
terorganisir dengan baik.
57. Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif, yang artinya proses pengerjaan
matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi
berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pada pembuktian secara
deduktif. Berpikir deduktif merupakan cara berpikir yang diawali dari pembuktian
pernyataan yang bersifat umum yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang
bersifat khusus. Tujuan dari berpikir deduktif adalah untuk menentukan kerangka
pemikiran yang koheren dan logis. Dalam penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik
merupakan akibat logis dari alasan-alasan yang bersifat umum menjadi bersifat
khusus. Penerapan cara berpikir deduktif ini akan menghasilkan teorema-teorema yang
selanjutnya dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah baik dalam
matematika murni maupun dalam matematika terapan.
58. Keunikan dan kompleksitas unsur pada matematika mengharuskan para pembelajar
matematika mampu berpikir kritis dalam mempelajari matematika. Glaser (Sumarmo,
dkk., 2016: 18) menyatakan bahwa berpikir kritis dalam matematika merupakan
kemampuan dan disposisi yang dikombinasikan dengan pengetahuan, kemampuan
penalaran matematik, dan strategi kognitif sebelumnya, untuk menggeneralisasikan,
membuktikan, mengevaluasi situasi matematik secara reflektif. Kemampuan berpikir
kritis siswa dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan untuk memahami dan
memecahkan suatu permasalahan atau soal matematika yang membutuhkan penalaran,
analisis, evaluasi dan intrepetasi pikiran. Berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika dapat meminimalisir terjadinya kesalahan saat menyelesaikan
permasalahan, sehingga pada hasil akhir akan diperoleh suatu penyelesaian dengan
kesimpulan yang tepat. Glazer menyebutkan beberapa syarat-syarat untuk berpikir
kritis dalam matematika, yaitu (1) Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab
sehingga seorang individu tidak dapat secara langsung mengenali konsep matematika
atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu masalah. (2) Menggunakan
pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika dan strategi kognitif. (3)
Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi. (4) Berpikir reflektif yang
melibatkan pengkomunikasian suatu solusi, rasionalisasi argumen, penentuan cara lain
untuk menjelaskan suatu konsep atau memecahkan suatu masalah dan pengembangan
studi lebih lanjut.
59. Peningkatkan pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika sangat diperlukan karena berpikir kritis dan matematika merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui berpikir
kritis dan berpikir kritis dilatih melalui serangkaian proses dalam pembelajaran
matematika. Baik kemampuan maupun keterampilan berpikir kritis perlu
dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Keterampilan berpikir kritis dipahami
sebagai kemampuan yang ada dalam diri (innerability) yang mengacu pada
kemampuan khusus yang diperoleh melalui pengalaman atau latihan untuk melakukan
tugas tertentu. Sementara itu kemampuan berpikir kritis diartikan sebagai kegiatan
penalaran yang beroriantasi pada suatu proses intelektual yang melibatkan
pembentukan konsep, aplikasi, analisis, ataupun penilaian dari suatu informasi untuk
memecahkan suatu masalah. Keterampilan berpikir kritis sebagai aspek psikomotorik,
dan kemampuan berpikir kritis sebagai aspek kognitif dalam penilaian hasil belajar.
Keduanya harus saling bersinergi secara seimbang dalam pelaksanaan pembelajaran
matematika untuk melatih siswa dalam menganalisis pemikirannya sendiri dalam
memutuskan suatu pilihan dan menarik kesimpulan, serta untuk meningkatkan hasil
belajar.
60. Keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika dapat dikembangkan
melalui proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang berpedoman pada indikator
keterampilan berpikir kritis yang telah dikemukakan oleh para ahli. Fisher (2009: 8)
menekankan pada indikator keterampilan berpikir kritis yang penting meliputi: (1)
mengidentifikasi elemen-elemen dalam kasus yang dipikirkan (alasan dan
kesimpulan); (2) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi; (3) mengklarifikasi dan
menginterpretasi pernyataan-pernyataan dan gagasan-gagasan; (4) menilai
aksetabilitas (kredibilitas dan klaim); (5) mengevaluasi berbagai argumen; (6)
menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan penjelasan; (7) menganalisis,
mengevaluasi, dan membuat kesimpulan; (8) menarik inferensi-inferensi; dan (9)
menghasilkan argumenargumen. Sementara itu, kemampuan berpikir kritis siswa juga
dapat dikembangkan dengan mengacu pada langkah-langkah berpikir kritis siswa
menurut Fisher dengan sedikit modofikasi agar dapat diterapkan dalam penyelesaian
soal matematika.
61. Pengembangan keterampilan dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam
pembelajaran matematika merupakan salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan
dalam menghadapi MEA. Hal ini didukung pendapat Aring (2015: 16) yang
mengatakan bahwa sekolah menengah perlu menyediakan kurikulum dan pedagogi
yang dapat meningkatkan kreativitas, pemecahan masalah, berpikir kritis dan
kewirausahaan dalam menghadapi tantangan pendidikan tinggi di ASEAN. Jelas
bahwa berpikir kritis menjadi salah satu faktor yang harus diprioritaskan untuk
bersaing dalam MEA. Sementara itu, Waluya (2012) sebagaimana dikutip dalam
Setiawan (2016: 7) mengungkapkan bahwa pendidikan matematika juga dapat
digunakan dalam mempersiapkan peserta didik sebagai calon insan cendikia dan
tenaga kerja terdidik dalam era MEA. Hal ini bisa dilihat dari nilai-nilai atau karakter
yang perlu dikembangkan berkaitan dengan matematika, salah satunya yaitu berpikir
logis, kritis, kreatif dan inovatif. Pembelajaran matematika yang melatih berpikir kritis
memberikan dampak positif bagi siswa baik selama proses pembelajaran, maupun
setelah proses pembelajaran berlangsung. Beberapa dampak positif yang dialami siswa
dari berpikir kritis dalam pembelajaran matematika, diantaranya : (1) Melatih
keterampilan dalam memecahkan masalah. Pembelajaran matematika yang dirangkai
sesuai tahap berpikir kritis akan melatih siswa untuk terbiasa melakukan langkah-
langkah kecil terlebih dahulu sebelum akhirnya terampil dalam berpikir ketingkat yang
lebih tinggi dalam menyelesaikan solusi suatu permasalahan. Hal ini akan secara tidak
langsung membekali siswa untuk mencari tindakan terbaik yang harus dipilih dalam
bersaing dengan negara-negara ASEAN. (2) Munculnya pertanyaan inovatif, dan
merancang solusi yang tepat. Mengembangkan berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika akan merangsang rasa ingin tahu siswa terhadap materi yang dipelajari.
Akibatnya siswa termotivasi untuk bertanya, dan mencari informasi sebanyak-
banyaknya untuk menemukan solusi dari permasalahan yang diajukan. Kaitan dampak
positif ini dengan MEA adalah dengan tumbuhnya rasa ingin tahu siswa, akan tergerak
nurani untuk mencoba hal-hal baru, menciptakan temuan-temuan baru untuk
selanjutnya digunakan sebagai alat dalam bersaing dengan negara-negara ASEAN. (3)
Aktif membangun argumen dengan menunjukkan bukti-bukti yang akurat dan logis.
Langkah-langkah berpikir kritis saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan yang
utuh. Pengaplikasian langkah tersebut dalam pembelajaran matematika memungkinkan
siswa untuk mengevaluasi pemikiran mereka sendiri maupun pemikiran orang lain
untuk kemudian merangkum hasil evaluasi tersebut sampai pada kesimpulan, yang
selanjutnya diungkapkan dalam bentuk argumen yang logis dan kritis.
62. Secara umum, berpikir kritis dalam pembelajaran matematika dapat melatih siswa
untuk berpartisipasi secara aktif untuk memperoleh dan merasakan
pengalamanpengalaman yang bermakna dalam proses pembelajaran. Akibatnya, siswa
terbiasa menghadapi tantangan dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah,
hingga pada akhirnya tercipta sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan
berkualitas serta siap bersaing menghadapi tantangan MEA.
63. Solso et al (2008: 402) mendefinisikan berpikir sebagai proses yang membentuk
representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari
atribusi mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran,
penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas, dan
kecerdasan.
64. Krulick dan Rudnick (Ismaimuza, 2010) mengemukakan bahwa berpikir kritis
merupakan suatu cara berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi
semua aspek dari suatu situasi masalah, termasuk di dalamnya kemampuan untuk
mengumpulkan informasi, mengingat, menganalisis situasi, membaca serta memahami
dan mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan.
65. Sedangkan Ennis (1995) menyatakan ada enam unsur dasar yang perlu
dipertimbangkan dalam berpikir kritis, yaitu: fokus, alasan, kesimpulan, situasi,
kejelasan dan pemeriksaan secara keseluruhan. Keseluruhan unsur ini dapat
membentuk suatu keputusan yang tepat jika dipertimbangkan dengan matang. Facione
(2010) mengemukakan juga keterampilan-keterampilan kognitif yang merupakan inti
dari berpikir kritis berupa interpretasi, analisis, evaluasi, kesimpulan, penjelasan, dan
pengaturan diri sendiri.
66. Menurut Facione (2010) lagi, para ahli yakin bahwa berpikir kritis merupakan
fenomena dari tujuan hidup manusia. Pemikir kritis yang ideal memiliki ciri-ciri tidak
hanya oleh keterampilan kognitif mereka tetapi juga oleh bagaimana mereka memiliki
pendekatan hidup. Berpikir kritis ada jauh sebelum mengikuti sekolah, yang terdapat
pada bagian paling utama dari sebuah peradaban. Hal ini merupakan suatu batu
loncatan dalam perjalanan hidup umat manusia yang diambil dari kebiadaban kepada
rasa sensitivitas secara global.
67. Dengan demikian berpikir kritis merupakan suatu kebutuhan bagi manusia untuk
menelaah dan memilah segala kemungkinan hidup yang dihadapi demi keselamatan
dan kebaikan kehidupan. Setiap orang mesti mampu berpikir kritis, malah mesti dibina
agar kemampuan berpikir kritis tersebut terarah dan tersusun dengan baik. Untuk
melatih kebiasaan berpikir kritis ini mesti dimulai sejak mereka berada di bangku
sekolah sebagai tempat yang memang semestinya membina dan memunculkan segala
kemampuan yang mungkin muncul akibat dari proses pendidikan.
68. Namun kebiasan berpikir kritis ini belum ditradisikan di sekolah-sekolah. Seperti
yang diungkapkan kritikus Jacqueline dan Brooks (Santrock, 2007), sedikit sekolah
yang mengajarkan siswanya berpikir kritis. Sekolah justru mendorong siswa memberi
jawaban yang benar daripada mendorong mereka memunculkan ide-ide baru atau
memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Terlalu sering para guru
meminta siswa untuk menceritakan kembali, mendefinisikan, mendeskripsikan,
menguraikan, dan mendaftar daripada menganalisis, menarik kesimpulan,
menghubungkan, mensintesakan, mengkritik, menciptakan, mengevalusi, memikirkan
dan memikirkan ulang. Akibatnya banyak sekolah meluluskan siswa-siswa yang
berpikir secara dangkal, hanya berdiri di permukaan persoalan, bukannya siswa-siswa
yang mampu berpikir secara mendalam.
69. Matematika sebagai suatu disiplin ilmu yang secara jelas mengandalkan proses
berpikir dipandang sangat baik untuk diajarkan pada anak didik. Di dalamnya
terkandung berbagai aspek yang secara substansial menuntun murid untuk berpikir
logis menurut pola dan aturan yang telah tersusun secara baku. Sehingga seringkali
tujuan utama dari mengajarkan matematika tidak lain untuk membiasakan agar anak
didik mampu berpikir logis, kritis dan sistematis.
70. Berpikir kritis dalam belajar matematika sebenarnya telah terjadi secara tidak
langsung melalui proses pengerjaan tahap demi tahap analisis yang dilakukan. Untuk
menuju pada kesimpulan akhir dari proses pembuktian dan penyelesaian jawaban dari
suatu permasalahan matematika, dalam pikiran subjek yang menggelutinya telah
terjadi proses berpikir kritis.
71. Namun berpikir kritis yang demikian belum maksimal memunculkan daya pikir kritis
siswa, karena perannya belum dioptimalkan untuk membantu siswa melejitkan
kemampuan daya kritisnya. Perlu suatu upaya yang lebih kentara lagi dan lebih
berdaya guna agar kemampuan berpikir kritis mereka dapat diukur dan dioptimalkan.
Upaya tersebut yakni dengan mengembangkan suatu produk pembelajaran yang
memuat unsurunsur berpikir kritis, khususnya berpikir kritis matematis.
72. Salah satu pendekatan yang diperkirakan baik untuk diterapkan dalam pembelajaran
matematika adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan
kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pendekatan
pembelajaran yang mengkaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks
kehidupan sehari-hari siswa. Dari ketujuh komponen utama pembelajaran kontekstual,
sangatlah sinkron dengan upaya memunculkan kemampuan berpikir kritis siswa
(Johnson, 2010), terutama pada komponen bertanya, menemukan, dan refleksi. Bahkan
menurut Johnson berpikir kritis merupakan salah satu karakteristik dari pendekatan
CTL.
73. Muslich (2007) mengemukakan kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu
menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya
dalam kehidupan nyata. Sehingga menurut Depdiknas (2007) pembelajaran
kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan membantu
siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks
pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang
secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke
permasalahan/konteks lainnya.
74. Komponen pembelajaran kontekstual seperti yang dijelaskan Muslich (2007) memuat
tujuh hal pokok yakni konstruktivisme, bertanya, menyelidiki atau menemukan,
masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya.
75. Berdasarkan Teori Perkembangan Kognitif Piaget, anak usia SMP (12-15 tahun)
belum sepenuhnya dapat berpikir abstrak, dalam pembelajarannya kehadiran
bendabenda konkrit masih diperlukan. Meski begitu harus pula mulai dikenalkan
benda-benda semi konkrit. Namun pada level SMP ini, anak sudah mulai dapat
menangkap maksud dari suatu permasalahan secara lebih jelas, mempertimbangkan,
mengajukan dugaan, dan menganalisa secara sederhana keterkaitan antar subjek
permasalahan. Di sinilah peran berpikir kritis bagi anak usia SMP tersebut, yang dalam
hal ini mengacu pada pendapat Piaget (mengenai ciri-ciri kemampuan kognitif anak
pada level SMP), telah dapat diterapkan.
76. Sehingga untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa, pada
penelitian ini dikembangkan perangkat pembelajaran berbasis kontekstual pada materi
bangun ruang prisma dan limas untuk siswa kelas VIII SMP, yang meliputi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Soal tes hasil
belajar.
77. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menghasilkan perangkat pembelajaran berbasis
kontekstual yang valid, dan praktis untuk mengajarkan materi prisma dan limas pada
siswa SMP. (2) Mengetahui efek potensial yang muncul dari pengembangan perangkat
pembelajaran berbasis kontekstual terhadap kemampuan berpikir kritis matematis
siswa pada materi prisma dan limas.
78. Penelitian ini menggunakan metode penelitian development research tipe formative
research (Tessmer,1993; Zulkardi, 2006). Pengembangan dilakukan pada perangkat
pembelajaran yang berupa RPP berbasis kontekstual, LKS berbasis kontekstual, dan
soal-soal dengan indikator berpikir kritis yang valid, praktis dan mempunyai potensial
efek. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2011 di SMPN 1, SMPN
17, dan SMPN 18 Palembang.
79. Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini terdiri dari 3
tahapan yaitu : Self Evaluation, Prototyping (validasi, evaluasi dan revisi), Field Test
(Uji lapangan). Pada tahap Self Evaluation dilakukan analisis dan desain. Peneliti
menganalisis siswa, analisis kurikulum dan analisis materi apakah sesuai dengan
KTSP SMPN 1, SMPN 17, dan SMPN 18 Palembang. Kemudian desain dilakukan
pada perangkat pembelajaran yang dibuat, meliputi (1) RPP disusun dengan
memperhatikan tujuh komponen CTL, (2) LKS berbasis CTL yang digunakan untuk
membantu siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya, (3) Soal tes hasil
belajar, dirancang sedemikian rupa untuk melihat ketercapaian standar kompetensi dan
kompetensi dasar dan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
80. Tahap Prototyping (validasi, evaluasi dan revisi) terbagi dua, yakni Expert Review dan One-
to-one serta Small Group. Hasil desain pada prototipe pertama yang dikembangkan melalui
self evaluation dari pakar (expert review) dan teman sejawat untuk ditelaah content, konstruk
dan bahasa. Secara paralel diberikan juga pada 6 orang siswa SMPN 17 Palembang (one-to-
one) untuk mengamati, mengerjakan soal-soal dan mengkomentarinya. Saran-saran mereka
digunakan untuk merevisi desain perangkat pembelajaran (RPP, LKS dan soal tes). Dari hasil
keduanya dijadikan bahan revisi. Hasil revisi perangkat pembelajaran dari pendapat expert dan
dari kesulitan yang dialami siswa saat uji coba one to one dinamakan prototipe kedua.
Kemudian hasil revisi ini diujicobakan pada siswa kelas VIII.6 SMPN 1 Palembang (small
group). Saran-saran serta hasil uji coba pada prototipe kedua dijadikan dasar untuk merevisi
instrumen prototipe kedua itu sehingga diperoleh prototipe ketiga.
81. Hasil revisi diujicobakan ke subjek penelitian pada field test. Field test merupakan uji
coba lapangan yang situasinya nyata. Pada tahap ini produk yang telah direvisi tadi
diujicobakan kepada siswa kelas VIII.1 dan VIII.2 (total 78 siswa) SMPN 18
Palembang yang menjadi subjek penelitian. Produk yang diujicobakan pada field test
merupakan produk yang telah memenuhi standar validitas, kepraktisan dan
keefektifan.
82. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan tes.
Observasi digunakan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan dari perangkat
pembelajaran yang dibuat, observasi ini adalah observasi siswa untuk melihat
keaktifan dan partisipasi siswa selama pembelajaran berlangsung dengan
menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa yang dilakukan oleh dua orang
pengamat masing-masing mengamati 4 kelompok dari setiap kelas. Dokumentasi
digunakan untuk mengumpulkan dan menilai hasil pengerjaan LKS. Tes digunakan
untuk memperoleh data tentang keefektifan atau memiliki potential effect dari
perangkat pembelajaran yang dibuat dan mengukur kemampuan berpikir kritis
matematis siswa.
83. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
kualitatif, yang dilakukan sebagai berikut: (1) Analisis data validasi ahli. Untuk
menganalisis data validasi ahli digunakan analisis deskriptif dengan cara merevisi
berdasarkan catatan validator yang ditinjau dari 3 karakteristik yaitu content, konstruk
dan bahasa. Hasil analisis akan digunakan untuk merevisi perangkat pembelajaran. (2)
Analisis data observasi aktivitas siswa. Untuk mengetahui keaktifan siswa selama
proses pembelajaran maka dilakukan pengamatan, aspek yang diamati sesuai dengan
rencana pembelajaran. Kategori keaktifan siswa dimodifikasi dari Nasoetion (2007).
(3) Analisis data hasil pengerjaan LKS. Untuk mengetahui kemampuan siswa
mengerjakan LKS dilihat dari penskoran yang diberikan pada setiap poin jawaban
pada LKS. (4) Analisis data hasil tes. Untuk mengukur kemampuan siswa dilihat dari
skor yang diperoleh siswa dalam mengerjakan soal. Soal tes merupakan soal uraian
yang mengacu pada 4 indikator kemampuan berpikir kritis dari Ennis (Innabi, 2003)
yaitu : (a) Aspek yang berkaitan dengan konsep, (b) Aspek yang berkaitan dengan
generalisasi, (c) Aspek yang berkaitan dengan keterampilan dan algoritma, dan (d)
Aspek yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Kriteria penskoran menggunakan
skor rubrik yang dimodifikasi dari Facione (Somakim, 2010).
84. Data hasil pengerjaan LKS dan hasil tes siswa kemudian dianalisis untuk menentukan
rata-rata skor akhir dan kemudian dikonversi ke dalam data kualitatif untuk
menentukan kategori tingkat kemampuan. Kategori penilaiannya juga mengacu pada
modifikasi kategori dari Nasoetion (2007).
85. Untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang berkualitas baik, menurut
pendapat Akker (1999:126) perangkat pembelajaran tersebut mesti memiliki kriteria
kevalidan (validity), kepraktisan (practically), dan keefektifan (effectiveness).
86. Untuk memenuhi ketiga kriteria tersebut, pengembangan perangkat pembelajaran
pada penelitian ini melalui tiga tahapan yaitu self evaluation, prototyping (validasi,
evaluasi dan revisi) dan field test. Pada tahap self evaluation (analisis dan desain),
perangkat pembelajaran (RPP, LKS, dan Soal) didesain sebagai prototipe I. Pada tahap
prototyping, perangkat pembelajaran divalidasi oleh para ahli. Sejalan dengan tahap
expert review dilakukan tahap one-to-one. Hasil expert review dan one-toone dijadikan
dasar untuk merevisi prototipe II.
87. Draf perangkat pembelajaran pada prototipe II diujicobakan pada small group yang
dilakukan pada kelas VIII.6 SMPN 1 Palembang. Dari tahap small group ini
memberikan masukan tentang efektifitas dari LKS dan instrumen soal yang
dikembangkan. Hasil small group dijadikan dasar merevisi prototipe II untuk
mendapatkan prototipe III sebagai prototipe akhir (produk).
88. Selanjutnya tahap field Test (Uji lapangan), perangkat pembelajaran pada prototipe
III sebagai prototipe akhir diujicobakan pada subjek penelitian yaitu siswa kelas VIII.1
dan VIII.2 SMPN 18 Palembang.
89. Pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL ini memiliki karakteristik yang
menurut Nur (2000: 3) sebagai berikut: 1) pembelajaran didesain berawal dari
pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengalaman yang
telah dimiliki siswa dengan menggunakan konteks nyata sebagai titik awal, 2)
pembelajaran menghadirkan aktivitas atau eksploratif, siswa menciptakan dan
mengelaborasi modelmodel simbolik dan aktivitas matematika mereka yang tidak
formal sebagai jembatan antara real dan abstrak, 3) tidak menekankan semata-mata
pada komputasi, algoritma serta drill, 4) memberikan penekanan pada pemahaman
konsep dan pemecahan masalah, 5) siswa mengalami proses pembelajaran secara
bermakna dan memahami matematika dengan penalaran, 6) siswa belajar matematika
dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengetahuan awal
mereka, 7) belajar dalam suasana demokratis dan interaktif, 8) menghargai jawaban
informal siswa sebelum siswa mencapai bentuk formal matematika, dan 9)
memberikan perhatian seimbang antara pematematikawan secara horizontal vertikal.
Selain itu Johnson (2010) menyatakan ada delapan karakteristik CTL yaitu 1)
membuat hubungan penuh makna, 2) melakukan pekerjaan penting, 3) belajar
mengatur sendiri, 4) kerjasama, 5) berpikir kritis dan kreatif, 6) memelihara individu,
7) mencapai standar tinggi, dan 8) penggunaan penilaian sebenarnya.
90. Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini meliputi karakteristik
pengalaman siswa, keterkaitan konteks dan konsep, pemahaman, pengaturan,
kerjasama, dan penilaian otentik. Dengan demikian perangkat pembelajaran yang telah
dikembangkan dan pelaksanaan pembelajaran matematika dalam penelitian ini
mengacu pada karakteristik pendekatan CTL tersebut dan memuat indikatorindikator
berpikir kritis yang diajukan Ennis (Innabi, 2003).
91. Dalam menghasilkan perangkat pembelajaran yang berkualitas baik yang sesuai
dengan pendapat Akker (1999), maka perangkat pembelajaran tersebut mesti
memenuhi tiga kriteria, yaitu kevalidan (validity), kepraktisan (practically), dan
keefektifan (effectiveness).
92. Menurut validasi ahli (expert review), kriteria kevalidan perangkat pembelajaran ini
telah sesuai dengan kriteria yang diajukan Akker (1999) bahwa aspek kevalidan suatu
perangkat pembelajaran mesti terkait pada dua hal, yaitu: pertama perangkat
pembelajaran yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoritis yang kuat, dalam
hal ini perangkat pembelajaran ini mengacu pada karakteristik pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual (Nur, 2000; Muslich, 2007; Nurhadi, 2002) dan kemampuan
berpikir kritis (Innabi, 2003). Kedua terdapat konsistensi secara internal, dalam hal ini
perangkat pembelajaran ini telah saling berkaitan antara pendekatan pembelajaran
kontekstualnya dengan kemampuan berpikir kritisnya.
93. Kualitas perangkat pembelajaran hasil validasi ahli ini diperkuat dengan hasil koreksi
terhadap uji one to one. Validasi ahli berjalan seiring ujicoba one to one (Tessmer,
1993). Perangkat pembelajaran tersebut dibenahi setelah diperiksa dari hasil uji one to
one ini secara content, konstruk dan bahasanya.
94. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan ini juga telah memenuhi aspek kepraktisan.
Hal ini sesuai dengan kriteria kepraktisan yang dipersyaratkan Akker (1999) bahwa
pertama para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat
diterapkan, dalam hal ini menurut pendapat ahli (dosen dan guru) perangkat
pembelajaran ini dapat diterapkan di kelas VIII SMP. Kedua kenyataan menunjukkan
bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan, dalam hal ini setelah melalui
ujicoba orang perorang (one to one), ujicoba kelompok kecil (small group), dan
terakhir ujicoba situasi nyata (field test) perangkat pembelajaran ini telah dapat
diterapkan dengan baik.
95. Pembelajaran untuk mengaktifkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
melalui pendekatan kontekstual dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang
dikembangkan ini juga telah memenuhi kriteria keefektifan, yaitu (1) rata-rata hasil
pengerjaan LKS seluruh kelompok pada kedua kelas yang menggunakan perangkat
pembelajaran hasil pengembangan ini telah mencapai ketuntasan minimal dan
termasuk kriteria nilai baik; (2) rata-rata hasil tes seluruh siswa pada kedua kelas
setelah menggunakan perangkat pembelajaran hasil pengembangan ini juga telah
mencapai ketuntasan minimal dan termasuk kriteria nilai baik; (3) aktifitas siswa
selama pembelajaran telah mencapai 81,2 % yang mencerminkan aktifitas tersebut
sesuai dengan indikator pendekatan CTL.
96. Rata-rata hasil pengerjaan LKS seluruh kelompok pada kedua kelas lebih tinggi dari
rata-rata hasil tes seluruh siswa pada kedua kelas disebabkan pengerjaan LKS dalam
kelompok dilakukan secara bersama-sama, sehingga kesulitan yang ada dapat dibantu
teratasi oleh siswa yang kemampuannya lebih tinggi. Sedangkan pengerjaan tes secara
mandiri tergantung dengan kemampuan individu masing-masing, sehingga masih juga
terdapat 16,67 % siswa yang nilainya kurang.
97. Dengan mengacu pada proses pengembangan perangkat belajar berpikir kritis ini,
sudah saatnya untuk memulai budaya berpikir kritis yang menurut Jacqueline dan
Brooks (Santrock, 2007) selama ini belum ditradisikan di sekolah-sekolah. Sebenarnya
siswa SMP mampu berpikir kritis, namun belum tersedianya perangkat untuk
menumbuhkan dan mengaktifkan kemampuan berpikir kritis matematis tersebut.
98. Penelitian ini telah menghasilkan suatu produk perangkat pembelajaran berbasis
kontekstual pokok bahasan prisma dan limas yang meliputi RPP, LKS dan soal tes
hasil belajar. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran
yang dikembangkan dalam penelitian ini, dikategorikan valid, praktis dan memiliki
potensial effect terhadap hasil belajar dan aktivitas siswa di kelas VIII.1 dan VIII.2
SMPN 18 Palembang.
99. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini dikategorikan valid
dan praktis. Valid tergambar dari hasil penilaian validator bahwa semua validator
menyatakan baik berdasarkan content (sesuai kurikulum untuk pokok bahasan prisma
dan limas), konstruk (sesuai karakteristik/prinsip pembelajaran CTL) dan bahasa
(sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku yaitu ejaan yang disempurnakan). Praktis
tergambar dari hasil uji coba lapangan bahwa semua siswa dapat menggunakan
perangkat pembelajaran tersebut dengan baik.
100. Berdasarkan proses pengembangan diperoleh bahwa prototype perangkat
pembelajaran yang dikembangkan efektif meningkatkan aktivitas belajar siswa, terlihat
dari hasil analisis observasi aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan CTL.

DAFTAR PUSTAKA
Dessy Noor Ariani ( Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin )
Sumber :

Arends, Richard. 2012. Learning to Teach: Nineth Edition. USA: Mcgraw-Hill Companies Inc.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 103.Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar
dan Pendidikan Menengah. Indonesia. 2014.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi
Guru. Indonesia. 2007.

Fauziah, R., Abdullah, A. G., & Hakim, D. L. (2017). Pembelajaran saintifik elektronika dasar berorientasi
pembelajaran berbasis masalah. Innovation of Vocational Technology Education, 9(2).

Herman, T. (2007). Pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis
tingkat tinggi siswa sekolah menengah pertama. Educationist, 1(1), pp-47.

The United Nations Development Programme. (2016). Human Development Report 2016. Canada: The Lowe-
Martin Group.

Ali Syahbana ( Universitas Muhammadiyah Bengkulu ) Sumber :

Akker, J. V. 1999. Design Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers.

Depdiknas. 2007. Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP. Jakarta:
Pusat Kurikulum Depdiknas.

Ennis, Robert H. 1995. Critical Thinking. New Jersey : Prentice Hall, University of Illinois.

Facione, Peter A. 2010. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. [Online]
Tersedia: http://www.telacommunications.com/nutshell/cthinking.htm
Diakses: 8 Januari 2011

Innabi, Hanan. 2003. Aspects of Critical Thinking in Classroom Instruction of Secondary School Mathematics
Teachers in Jordan. [Online]
Tersedia: http://dipmat.math.unipa.it/pdf. Diakses: 14 Januari 2011.

Ismaimuza, Dasa. 2010. Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. Bandung: PPS UPI. Disertasi tidak diterbitkan.

Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.

Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Nasoetion, N. 2007. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Nur, M. 2000. Penerapan Pembelajaran Kontekstual pada Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPG
Matematika.

Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdiknas.

Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Somakim. 2010. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah
Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Bandung: PPS UPI. Disertasi tidak
diterbitkan.

Tessmer, Martin. 1993. Planning and Conducting Formative Evaluation. London, Philadelphia: Kogan Page

Zulkardi. 2006. Formative Evaluation : What, Why, When, and How. [Online].
Tersedia : http://www.geocities.com/zulkardi/books.html. Diakses : 23 Oktober 2010.

Eny Sulistiani dan Masrukan ( Program Paska Sarjana, Universitas Negri Semarang ) Sumber :

Aring, M. 2015. Asean Economic Community 2015: Enchanging Competitiveness and Employability through Skill
Development. Bangkok : ILO Publications.

Ben-Chaim, D,. et all. 2000. The Disposition of Eleventh-Grade Science Students Toward Critical Thinking.
Journal of Science Education and Technology. Vol. 9, No. 2.

Dimyati, A. 2015. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Mts Melalui Model
Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dengan Metode Hypnoteaching. (Tesis). Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai