Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING


(CPS) TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VII SMP
NEGERI 14 HALMAHERA BARAT PADA MATERI SUHU DAN
PERUBAHANNYA

NAMA : SITI NABILA LAHER


NPM : 03091811039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan

dan perkembangan bangsa, terutama dalam upaya meningkatkan sumber daya

manusia yang berkualitas.Perkembangan pesat dibidang teknologi dan komunikasi

sangat membutuhkan pencerahan di berbagai aspek seperti aspek pembangunan,

perekonomian, dan pendidikan. Fisika sebagai ilmu universal yang mendasari

perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai

disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia (Fata, 2018:1).

Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan

teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam, meskipun demikian, masih

banyak siswa yang menganggap bahwa fisika merupakan mata pelajaran yang sulit

baik dalam penggunaan rumus dan memahami konsep fisika itu sendiri belajar fisika

bukan hanya sekedar tahu matematika, tetapi lebih jauh anak didik diharap mampu

memahami konsep yang terkandung di dalamnya, menuliskannya ke dalam

parameter-parameter atau simbol-simbol fisis, memahami permasalahan serta

menyelesaikannya secara matematis (Budiyanto dalam Hatika, 2016:113).

Model Creative Problem Solving(CPS)merupakan model yang berupaya

untuk mengajak siswa untuk berpikir kreatif dalam menyelesaikan suatu masalah

yang bersifat open-ended dengan memperhatikan berbagai fakta-fakta penting yang


ada di sekitarnya lalu memunculkan berbagai gagasan atau many ways dan memilih

solusi yang tepat untuk mengimplementasikan secara nyata. Harlen dalam putri

(2019:150) menyatakann bahwa open-ended problems memungkinan respon atau

metode penyelesaian masalah yang dapat diberi adalah lebih luas jika dibandingkan

dengan pertanyaan tertutup, sehingga pemecahan masalah secara kreatif akan

terbangun. Kemampuan problem solving peserta didik dalam pembelajaran fisika

dapat ditingkatkan melalui banyak latihan terkait persoalan-persoalan fisika secara

terus- menerus.Penelitian pendidikan pada ranah kognitif mempelajari bahwa dengan

latihan pemecahan masalah yang terjadi terus-menerus dapat membangkitkan

pengalaman dalam mengambil solusi yang lebih kompleks, baik untuk tuntutan

pekerjaan maupun dalam hidup kesehariannya.

Hasil penelitian Renki dalam Vidyasari (2019:3) menyatakan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan hasil belajar antara pelajar ahli yang sering menggunakan

pemecahan masalah, dengan pelajar pemula yang jarang menggunakan pemecahan

masalah (Renkl, dalam Vidyasari, 2019:3). Latihan ini dapat diberikan dalam bentuk

worked examples, Atkinson et al dalam Vidyasari (2019:3) mendefinisikan Worked

Examples sebagai “instructional devices that provide an expert's problem solution

for a learner to study”, alat pembelajaran yang menyediakan solusi persoalan dari

seorang ahli untuk digunakan pembelajar (peserta didik) dalam belajar. Idenya adalah

bagaimana seseorang dapat menjawab sebuah persoalan yang belum familiar baginya

dengan mempelajari dan mengikuti langka-langkah penyelesaian masalah dari sebuah

soal sejenis yang telah diketahui solusinya.


Berdasarkan hasil observasi menunjukkan pembelajaran fisika di SMP Negeri

14 Halmahera Barat masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru

(teacher centered). Pada sistem ini, siswa cenderung menjadi pasif dan terpaku pada

rumus, sehingga menyebabkan pemahaman konsep pada siswa masih rendah.Hasil

belajar siswa kelas VII sebagian masih perlu ditingkatkan.Selain pemahaman konsep

siswa yang masih rendah, keterampilan komunikasi lisan siswa juga tergolong rendah

sehingga masih perlu ditingkatkan.Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa

pembelajaran Fisika yang dilakukan tidak mendukung untuk dilatihkannya

kemampuan memecahkan masalah dan penguasaan terhadap konsep.

Selain itu siswa hanya bersifat sebagai objek dalam menerima informasi yang

diberikan oleh guru.Siswa tidak diberikan pengalaman belajar yang dapat

memperkuat penanaman konsep-konsep Fisika. Siswa pun jauh dari proses pencarian

maupun penyusunan secara mandiri konsep-konsep yang akan dipelajari. dan hasil

studi di atas menunjukan bahwa pembelajaran hanya terfokus pada kegiatan

menghafal dan mencatat konsep yang bertahan dalam jangka pendek tanpa

memahaminya. Konsep-konsep hanya tersimpan dalam jangka pendek dan tidak

bermakna bagi perkembangan kognitif siswa. Siswa akan kesulitan dalam

menyelesaikan masalah yang serupa tapi pada kondisi berbeda.Hasil wawancara

dengan guru fisika SMP Negeri 14 Halmahera Barat menyatakan sebagian besar

siswa masih malu-malu, terkesan membaca dan tidak percaya diri pada saat

presentasi di depan kelas.


Permasalahan di atas perlu suatu pembaharuan dalam pembelajaran yang

memungkinkan siswa dapat mempelajari fisika lebih mudah, lebih bermakna, efektif,

kreatif, dan menyenangkan sehingga siswa mampu meningkatkan hasil belajar siswa

dalam menyelesaikan soal fisika. Salah satunya dengan menggunakan model

Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS). model pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang memiliki daya cipta

dalam memecahkan atau mencari jawaban dari suatu masalah, sehingga dalam model

ini menuntun siswa agar lebih aktif. Hal ini diperkuat lagi oleh temuan Risma Juwita,

bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS) lebih baik dari hasil belajar siswa yang diajarkan dengan

pembelajaran konvensional pada materi lingkaran di SMP Negeri 1

Manggeng(Hatika, 2016:6-7).

Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul “Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap hasil

belajar fisika Siswa Kelas VII SMP Negeri 14 Halmahera Barat pada Materi Suhu

Dan Perubahannya

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Keaktifan belajar siswa masih kurang

2. Keterampilan komunikasi lisan siswa juga tergolong masih rendah


3. Peserta didik mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep fisika

4. Model Creative Problem Solving (CPS) belum pernah diterapkan selama proses

pembelajaran

C. Batasan Masalah

Untuk membatasi agar penelitian ini tidak meluas, maka peneliti membatasi

masalah sebagai berikut :

1. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran Creative

Problem Solving (CPS)

2. Hasil belajar siswa yang diukur adalah hasil belajar siswa kelas VII pada ranah

kognitif C2, C3, C4

3. Materi yang menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran selama penelitian adalah

Suhu Dan Perubahannya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

terhadap hasil belajar Fisika Siswa kelas VII SMP Negeri 14 Halmahera Barat

pada materi Suhu Dan Perubahannya.


2. Berapa besar pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

terhadap hasil belajar peserta didik kelas VII SMP Negeri 14 Halmahera Barat

Pada Materi Suhu dan Perubahannya?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

terhadap hasil belajar siswa

2. Mengetahui besar pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

terhadap hasil belajar fisika siswa kelas VII Di SMP Negeri 14 Halmahera Barat

pada materi suhu dan perubahannya

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Berdasarkan penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dalam usaha

meningkatkan hasil belajar fisika dan kreativitas siswa dalam memecahkan

masalah dengan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) pada materi Suhu dan perubahannya di Smp Negeri 14 Halmahera Barat

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa

Pembelajaran dengan pemberian model pembelajaran ini dapat memberikan hasil

belajar siswa lebih optimal dan dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam

memecahkan masalah fisika khususnya pada materi suhu dan perubahannya .


Selain itu proses pembelajaran akan lebih bervariasi dan tidak membosankan,

siswa akan lebih aktif terlibat dalam proses belajar mengajar.

b. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran serta informasi mengenai hasil

belajar dan juga dapat memberikan masukan bagi guru, yaitu untuk meningkatkan

keterampilan memilih strategi pembelajaran yang bervariasi dan dapat

memperbaiki sistem pembelajaran, sehingga dapat memberikan pengajaran yang

lebih baik kepada siswa serta dapat mengembangkan model pembelajaran

Creative Problem Solving (CPS) ini pada konsep yang lain.

c. Bagi peneliti

Hasil penelitian akan menambah wawasan dan pengetahuan serta memperoleh

pengalaman langsung dalam menerapkan model Creative Problem Solving (CPS)

dalam proses pemebelajaran.

d. Bagi sekolah

Dapat memperluas pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan dapat

menambah keterampilan dalam mengadakan variasi mengajar sehingga

pembelajaran akan lebih bermakna.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Konseptual
1. Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

Creative Problem Solving (CPS) merupakan variasi dari pembelajaran dengan

pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan

kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan.Model creative problem solving

(CPS) adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran

dan keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan

keterampilan.Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan

keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan

tangggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa berpikir, keterampilan

memecahkan memperluas proses berpikir (Sohimin, 2014:56).

Ada banyak kegiatan yang melibatkan kreativitas dalam pemecahan masalah,

seperti riset dokumen, pengamatan terhadap lingkungan sekitar, kegiatan yang

berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dan penilaian yang kreatif.Dengan creative

problem solving (CPS), siswa dapat memilih dan mengembangkan ide dan

pemikirannya. Sasaran creative problem solving (CPS) sebagai berikut:

a. Siswa akan mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah

dalam creative problem solving (CPS).

b. Siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan

masalah.
9

c. Siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut

kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada.

d. Siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal.

e. Siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam mengimplementasikan

strategi pemecahan masalah.

f. Siswa mampu mengartikulasikan bagaimana creative problem solving (CPS) dapat

digunakan dalam berbagai bidang/situasi (Sohimin, 2014:56-57).

Salah satu model pembelajaran yang berkaitan dengan pemecahan

berbagai masalah yang dilakukan secara kreatif adalah model creative

problem solving (CPS). Model creative problem solving merupakan model

yang berupaya untuk mengajak siswa untuk berpikir kreatif dalam

menyelesaikan “suatu masalah yang bersifat open-ended”dengan

memperhatikan berbagai fakta-fakta penting yang ada di sekitarnya lalu

memunculkan berbagai gagasan atau many ways dan memilih solusi yang

tepat untuk mengimplementasikan secara nyata (Putri dkk, 2019:150).

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) merupakan

variasi dari pembelajaran pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam

mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Secara umum sintaksnya adalah dimulai dari fakta aktual sesuai dengan

materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan

fokus pilih, mengolahpikiran sehingga muncul gagasan baru untuk

menentukan solusi, presentasi dan diskusi.


Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang

berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan

kreativitas.Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan

keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan

tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan

memecahkan masalah memperluas proses berpikir siswa. Dengan model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS), siswa dapat memilih dan

mengembangkan ide dan pemikirannya. Berbeda dengan hafalan yang sedikit

menggunakan pemikiran, model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

memperluas proses berpikir (Fata, 2018:27-28).

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) merupakan suatu model

yang menekankan pada kerja kelompok yang memusatkan pada pembelajaran dan

keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan kekuatan keterampilan, atau

Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dapat dijadikan sebagai model

pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Siswa akan cenderung tertantang

mengikuti proses pembelajaran, karena model ini dapat membiasakan siswa

menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, dan merangsang

pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh melalui

berbagai kegiatan (Yuliati &Lestari, 2019:33).

2. Langkah-langkah Creative Problem Solving( CPS)


Adapun proses dari metoda/model pembelajaran Creative Problem Solving

(CPS) terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

a. Klarifikasi Masalah

Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang

masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian

seperti apa yang diharapkan.

b. Brainstorming atau Pengungkapan pendapat

Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang

berbagai macam strategi penyelesaian masalah.

c. Evaluasi dan pemilihan

Pada tahap evaluasi dan pemilihan, setiap kelompok mendiskusikan pendapat

atau strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.

d. Implementasi

Pada tahap ini siswa menentukaan strategi mana yang dapat diambil untuk

menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan

penyelesian dari masalah tersebut (Sohimin, 2014:57).

Tahapan-tahapan CPS yang dikemukakan di atas dapat melatih siswa untuk

mengkomunikasikan ide matematisnya, berpikir kritis untuk memecahkan masalah

yang dihadapinya, berpikir sistematis dan logis sesuai data atau fakta yang tersedia

serta dapat melatih siswa untuk saling berinteraksi satu sama lain.

3. Kelebihan dan Kekurangan

Adapun kelebihan Creative Problem Solving (CPS) yaitu:


a. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.

b. Berpikir dan bertindak kreatif.

c. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.

d. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.

e. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.

f. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah

yang dihadapi dengan tepat.

g. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya

dunia kerja.

Sedangkan kekurangan Creative Problem Solving (CPS) sebagai berikut:

a. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode pembelajaran ini.

Misalnya keterbatasan alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan

mengamati serta menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.

b. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode

pembelajaran yang lain (Shoimin, 2014:57-58).

Model pembelajaran Creative Problen Solving (CPS) merupakan suatu model

pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan

pemecahan masalah dan berpikir kreatif yang diikuti penguatan keterampilan dengan

fase CPS terdiri dari, objective finding, fact finding, problem finding, idea finding,

solution finding, acceptance finding. Dengan membiasakan peserta didik

menggunakan langkah-langkah kreatif dalam memecahkan masalah diharapkan

ketika peserta didik dihadapkan dengan suatu pertanyaan, peserta didik dapat
melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan

solusi dari permasalahan yang dihadapi dan kesulitan dalam proses pembelajaran

fisika, dengan tidak hanya menghafal penjelasan yang diberikan oleh guru tanpa

berpikir sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan hasil

belajar.

4. Model Problem Basic Learning

Menurut Arends (dalam Wulandari dkk, 2013:181), PBL merupakan

pembelajaran yang memiliki esensi berupa menyuguhkan berbagai situasi

bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa. Sebagai tambahan,

dalam PBL peran guru adalah menyodorkan berbagai masalah autentik

sehingga jelas bahwa dituntut keaktifan siswa untuk dapat menyelesaikan

masalah tersebut. Setelah masalah diperoleh maka selanjutnya melakukan

perumusan masalah, dari masalah masalah tersebut kemudian dipecahkan

secara bersama sama dengan didiskusikan. Saat pemecahan masalah tersebut

akan terjadi pertukaran informasi antara siswa yang satu dengan yang lainnya

sehingga permasalahan yang telah dirumuskan dapat terpecahkan. Sumber

informasi tidak hanya dari guru akan tetapi dapat dari berbagai sumber. Guru

disini berperan sebagai fasilitator untuk mengarahkan permasalahan sehingga

saat diskusi tetap fokus pada tujuan pencapaian kompetensi.

Jadi PBL adalah pemberian masalah yang berhubungan dengan kehidupan

seharihari kepada siswa kemudian siswa secara berkelompok mencari alternatif solusi
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan menurut Dutch (dalam Wulandari

dkk, 2009:21) problem based learming merupakan metode instruksional yang

menantang siswa agar belajar untuk belajar, bekerja sama dalam kelompok untuk

mencari solusi bagi masalah yang nyata masalah ini diguakan untuk mengingatkan

rasa keingintahuan serta kemampuan analitis dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL

mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis dan analisis dan untuk mencari dan

menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Pendapat tersebut diperkuat oleh

Pusdiklatkes (2004) bahwa belajar berdasarkan masalah atau PBL adalah suatu proses

pembelajaran yang diawali dari masalah-masalah yang ditemukan dalam suatu

lingkungan pekerjaan. atau PBL adalah lingkungan belajar yang di dalamnya

menggunakan masalah untuk belajar. Sebelum pembelajar mempelajari suatu hal,

mereka diharuskan mengidentifikasi suatu masalah, baik yang dihadapi secara nyata

maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga para pembelajar

menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar mereka dapat memecahkan

masalah tersebut

a. Tujuan Model Problem Basic Learning (PBL)

Menurut Ibrahim dan Nur (dalam Pratiwi, 2018:10) tujuan pembeljaran

berbasis maslah secara rinci yaitu:

1. membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan

memecahkan masalah.

2. Belajar berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan siswa dalam

pengalaman nyata.
3. menjadi siswa yang otonom

b. Karateristik Model Problem Basic Learning (PBL)

Karateristik pembelajaran berbasis maslah menurut Tan (dalam Pratiwi,

2018:11) adalah sebagai berikut:

1. Masalah digunakan ebagai awal pembelajaran

2. Biasanya,masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang

disajikan secara mengambang (ill-stcctured)

3. Masalah biasanya menuntut prespektif majemuk (multiple perpective).

4. Masalah membuat pemelajar untuk mendapatkan pembelajaran di ranah

pembelajaran yang baru.

5. Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning).

6. memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber

saja. pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi kunci

penting.

7. Pembelajaran kolaboratif, komonikatif dan kooperatif. pemelajar bekerja

dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarakan (peer teaching) dan

melakukan presentasi.

c. Langkah-Langkah Model Problem Basic Learning (PBL)

Menurut Amir (dalam Pratiwi, 2018:11-12) terdapat 7 Langkah proses

pemebelajaran berbasis maslah (PBL) sebagai berikut:

1. Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas


Memastikan setiap anggota memahami berbagai istilah dan konsep yang ada

dalam maslah.

2. Merumuskan Masalah

Fenomena yang ada dalam masalah menuntut penjelasan hubungan apa yang

terjadi di antara fenomena itu

3. Menganalisis Masalah

Anggota mengeluarkan pengetahuan terkait apa yang sudah dimiliki anggota

tentang masala. terjadi diskusi yang membahas informasi factual dan

informasi yang ada dalam pikiran anggota.

4. Menata gagasan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam.

dikelompokkan , mana yang saling menunjang, mana yang bertentangan, dan

sebagainya.

5. Memformalisikan tujuan Pembelajaran

Merumuskan tujuan pembelajaran dikaitkan dengan analisis masalah yang

dibuat.

6. Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (diluar diskusi kelompok).

Mencari informasi tambahan dan menentukan dimana hendak dicarinya.

Setiap anggota harus mampu belajar sendiri dengan efektif, agar mendapatkan

informasikan yang relevan.

7. Mensintesis (menggabungkan) dan menguji informasi baru,dan membuat

laporan untuk kelas.


Sugiyono (dalam Pratiwi, 2018:12) mengemukakan ada lima fase

(tahap) dalam model pembeljaran PBL. dapat disajikan dalam tabel berikut:

Fase Perilaku Guru


Fase 1: Memberikan orientasi permasalahan Guru membahas tujuan
kepada siswa. pembelajaran,
mendeskripsikan dan
memotivasi siswa untuk
terlibat dalam kegiatan
mengatasi masalah
Fase 2: Mengorganisasikan siswa mandiri dan Guru membantu siswa
kelompok untuk mendefinisikan
dan mengorganisasikan
tugas-tugas belajar yang
terkai dengan
permasalahannya.
Fase 3: Membantu investigasi mandiri Guru mendorong siswa
dan kelompok untuk mendapatkan
informasi yang tepat,
melaksanakan
eksperimen, dan mencari
penjelasan dan solusi
Fase 4: Mengmbangkan dan Guru membantu siswa
mempresentasikan hasil. dalam menyiapkan hasil
yang tepat seperti
laporan, rekaman,video,
model-model, dan
membantu siswa untuk
menyampaikan kepada
orang lain.
Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses Guru membantu siswa
megatasi masalah untuk melakukan refleksi
terhadap investigasinya
dan proses-proses yang
mereka gunakan

d. Kelebihan mdoel Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut:

1. pemecahan masalah dalam PBL cukup bagus untuk memahami isi pelajaran

2. pemecahan masalah berlangsung selama proses pembelajaran menantang

kemampuan siswa serta memberikan kepuasan kepada siswa

3. PBL dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran

4. membantu proses transfer siswa untuk memahami masalah-masalah dalam

kehidupan sehari-hari

5. membantu siswa mengembagkan pengetahuannya dan membantu siswa untuk

bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri

6. membantu siswa untuk memahami hakekat belajar sebagai cara berfikir bukan

hanya sekedar mengerti pembelajaran oleh guru berdasarkan buku teks

7. PBL menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan disukai siswa

8. memungkinkan aplikasi dalam dunia nyata


9. merangsang siswa untuk belajar secara kontinu.

e. Kelemahan PBL adalah sebagai berikut:

1. apabila siswa mengalami kegagalan atau kurang percaya diri dengan minat

yang rendah mala siswa enggan untuk mencoba lagi

2. PBL membutuhkan waktu yang cukup untuk persiapan

3. pemahaman yang kurang tentang mengapa masalah-masalah yang dipecahkan

maka siswa kurang termotivasi untuk belajar. Sanjaya (dalam Wulandari dkk,

2013:182)

5. Hasil Belajar

Belajar dan pembelajaran adalah dua hal yang saling berhubungan erat

dan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan edukatif. Belajar dan pembelajaran

dikatakan sebuah bentuk edukasi yang menjadikan adanya suatu interaksi

antara guru dengan siswa. Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dalam

hal ini diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan

sebelum pengajaran dilakukan. Guru secara sadar merencanakan kegiatan

pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya

untuk kepentingan dalam pengajaran. Belajar dimaknai sebagai proses

perubahan perilaku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya.

Perubahan perilaku terhadap hasil belajar bersifat continiu, fungsional, positif,

aktif, dan terarah. Proses perubahan tingkah laku dapat terjadi dalam berbagai

kondisi berdasarkan penjelasan dari para ahli pendidikan dan psikologi.


Adapun pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik,

dengan bahan pelajaran, metode penyampaian, strategi pembelajaran, dan

sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Kemudian, keberhasilan

dalam proses belajar dan pembelajaran dapat dilihat melalui tingkat

keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan (Pane dkk, 2017:333-334).

Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa

guru telah berhasil dalam mengajar. Dengan demikian, efektivitas sebuah

proses belajar dan pembelajaran ditentukan oleh interaksi diantara komponen-

komponen tersebut. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai

pemahaman tentang hakikat belajar dan pembelajaran yang merupakan

penjelasan tentang makna belajar dan makna pembelajaran, penjelasan tentang

komponen-komponen pembelajaran, kemudian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan belajar dan pembelajaran (Pane dkk, 2017:333-

334).

Belajar merupakan bagian integral dalam proses pendidikan secara

keseluruhan. Anna dan Yulia dalam Miswar (2017:33-34). Untuk mencapai

tujuan belajar yang efektif dan efisien, maka diperlukan teori belajar dan

pembelajaran yang cocok dan sesuai dengan tujuan belajar itu sendiri.

Berbicara tentang teori pembelajaran atau teori belajar, maka banyak sekali

teori semacam ini yang sudah dirumuskan pakar pendidikan di seluruh dunia,

termasuk di Indonesia. Salah satu contoh teori pembelajaran yang dimaksud

adalah, teori behavioristik. Dalam teori ini dijelaskan bahwa, perubahan


perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan

terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku

reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik (Lestari dalam

Miswar, 2017:334).

Pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu proses

mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar peserta didik

sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peserta didik melakukan

proses belajar. Pembelajaran juga dikatakan sebagai proses memberikan

bimbingan atau bantuan kepada peserta didik dalam melakukan proses belajar.

Peran dari guru sebagai pembimbing bertolak dari banyaknya peserta didik

yang bermasalah. Dalam belajar tentunya banyak perbedaan, seperti adanya

peserta didik yang mampu mencerna materi pelajaran, ada pula peserta didik

yang lambah dalam mencerna materi pelajaran. Kedua perbedaan inilah yang

menyebabkan guru mampu mengatur strategi dalam pembelajaran yang sesuai

dengan keadaan setiap peserta didik. Oleh karena itu, jika hakikat belajar

adalah “perubahan”, maka hakikat pembelajaran adalah pengaturan.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pembelajaran adalah proses

interaksi pendidik dengan peserta didik dan sumber belajar yang berlangsung

dalam suatu lingkungan belajar. Secara Nasional, pembelajaran dipandang

sebagai suatu proses interaksi yang melibatkan komponen-komponen utama,

yaitu peserta didik, pendidik, dan sumber belajar yang berlangsung dalam
suatu lingkungan belajar, maka yang dikatakan dengan proses pembelajaran

adalah suatu sistem yang melibatkan satu kesatuan komponen yang saling

berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan

secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Proses

pembelajaran ditandai dengan adanya interaksi edukatif yang terjadi, yaitu

interaksi yang sadar akan tujuan. Interaksi ini berakar dari pihak pendidik

(guru) dan kegiatan belajar secara paedagogis pada diri peserta didik,

berproses secara sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan

evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan berproses melalui

tahapan-tahapan tertentu. Dalam pembelajaran, pendidik menfasilitasi peserta

didik agar dapat belajar dengan baik. Dengan adanya interaksi tersebut maka

akan menghasilkan proses pembelajaran yang efektif sebagaimana yang telah

diharapkan (Pane dkk, 2017:337-338).

Sedangkan fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari

perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam, meskipun

demikian, masih banyak siswa yang menganggap bahwa fisika merupakan mata

pelajaran yang sulit baik dalam penggunaan rumus dan memahami konsep fisika itu

sendiri (Budiyanto dalam Hatika, 2016:113). Belajar fisika bukan hanya sekedar tahu

matematika, tetapi lebih jauh anak didik diharapkan mampu memahami konsep yang

terkandung di dalamnya, menuliskannya ke dalam parameter-parameter atau simbol-

simbol fisis, memahami permasalahan serta menyelesaikannya secara matematis

(Sugiharti dalam Hatika, 2016:113).


Menurut Sardiman dalam Bhakti (2017:140) menjelaskan bahwa pemberian

tugas merupakan alat motivasi yang baik. Melalui pemberian tugas kepada peserta

didik, peserta didik akan memiliki keinginan dan tuntutan untuk melakukan aktifitas

belajar, yaitu kebutuhan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Proses

pemberian tugas kepada peserta didik harus dilakukan secara terencana, yaitu format

tugas yang diberikan harus dirancang dan disusun secara sistematis dengan tujuan

pencapaian yang ditentukan harus jelas. berdasarkan hasil penelitian Surie dalam

Bhakti (2017:140) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara pemberian

tugas terstruktur dengan hasil belajar fisika peserta didik, artinya bahwa pemberian

tugas terstruktur dapat meningkatkan hasil belajar fisika. Dengan demikian peserta

didik dituntut untuk memiliki kemampuan menganalisis dan menyelesaikan soal

fisika dengan sistematis serta meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap

konsep yang dipelajari.

Metode tugas atau resitasi adalah metode penyajian bahan dimana guru

memberikan tugas tertentu agar peserta didik melakukan kegiatan belajar (Djamarah

dan Zain dalam Bhakti 2017:141). Pemberian tugas kepada peserta didik dapat

menjadi salah satu upaya yang dilakukan guru untuk membelajarkan peserta didik

dan melatih peserta didik untuk dapat memanfaatkan waktu diluar jam belajar

efektifnya di dalam kelas. Sebagaimana dikemukakan oleh Rostiyah dalam Bhakti

(2017:141) bahwa kegiatan interaksi belajar mengajar harus selalu ditingkatkan

efektifitas dan efisiensinya.


6. Uraian Materi

1. Suhu dan Perubahannya

a. Suhu

Suhu merupakan salah satu besaran pokok yang menyatakan derajat (tingkat)

panas atau dingin suatu benda. Satuan SI untuk suhu adalah Kelvin (K). Satuan

lainnya adalah Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F) (Mahanani, 2009:6).

1) Jenis-Jenis Termometer

a) Thermometer Zat Cair

Secara umum, benda-benda di alam akan memuai (ukurannya bertambah besar)

jika suhunya naik. Kenyataan ini dimanfaatkan untuk membuat termometer dari zat

cair. Perhatikan gambar 1.1 Cairan terletak pada tabung kapiler dari kaca yang

memiliki bagian penyimpan (reservoir/ labu).

Gambar 1.1

Thermometer zat cair, (dok kemdikbud dalam Fallis, 2013)

Zat cair yang digunakan umumnya raksa atau alkohol jenis tertentu. Raksa

memiliki keistimewaan, yaitu warnanya mengkilat dan cepat bereaksi terhadap


perubahan suhu. Selain itu, raksa membeku pada suhu rendah (-38̊ C) dan mendidih

pada suhu yang tinggi (lebih dari 350̊ C) sehingga dapat mengukur suhu pada rentang

suhu yang lebar. Namun, raksa sangat beracun, sehingga berbahaya jika termometer

pecah.

Alkohol untuk pengisi termometer biasanya diberi pewarna biru atau merah.

Rentang suhu yang dapat diukur bergantung jenis alkohol yang digunakan,

contohnya:

(1) Toluen, dengan rentang -90̊ C hingga 100̊ C

(2) Ethyl alcohol, dengan rentang -110̊ C hingga 100̊ C

Alkohol tidak seberbahaya raksa dan mudah menguap, sehingga lebih aman

digunakan sebagai pengisi termometer.

(a). Termometer laboratorium

Bentuknya panjang dengan skala dari 10°C sampai 110°C menggunakan raksa,

atau alkohol seperti ditunjukkan pada gambar 1.2

Gambar 1.2
Termometer Laboratorium (superagis blogspot.com dalam Fallis, 2013)

(b). Termometer suhu badan

Termometer ini digunakan untuk mengukur suhu badan manusia. Skala yang ditulis

antara 35̊ C dan 42̊ C. Pipa di bagian bawah dekat labu dibuat sempit sehingga

pengukuran lebih teliti akibat raksa tidak segera turun ke labu/ reservoir (gambar 2.4).
Gambar 1.3
Termometer suhu badan (https://materibelajar.co.id/termometer/)

b) Termometer Bimetal

Perhatikan dua logam yang jenisnya berbeda dan dilekatkan menjadi satu pada

gambar 2.5. Jika suhunya berubah, bimetal akan melengkung. Mengapa? Karena

logam yang satu memuai lebih panjang dibanding yang lain. Hal ini dimanfaatkan

untuk membuat termometer.

Gambar 1.4 Gambar 1.5. Terminal bimetal, digunakan


Saat dipanaskan, bimetal akan melengkung untuk mengukur suhu
(www.physics.edu dalam Fallis, 2013) (www.diytrade.com dalam Fallis, 2013)
c) Termometer Kristal Cair

Terdapat kristal cair yang warnanya dapat berubah jika suhu berubah. Kristal ini

dikemas dalam plastik tipis, untuk mengukur suhu tubuh, suhu akuarium, dan

sebagainya (gambar 2.6)


Gambar 1.6
termometer Kristal cair untuk mengukur suhu tubuh.
(Termometer-Kristal-Cair.jpg (640×480) (99.co)

Berapa suhu tubuh manusia sehat? Ya, kamu akan menjawab 37̊ C. Huruf C

kependekan dari Celcius, salah satu contoh satuan suhu atau skala suhu. Saat ini,

dikenal beberapa skala suhu, misalnya Celcius, Fahrenheit, Reamur, dan Kelvin.

Kelvin merupakan skala suhu dalam SI. Skala Kelvin menggunakan nol mutlak,

tidak menggunakan “derajat”. Pada suhu nol Kelvin, tidak ada energi panas yang

dimiliki benda. Perbedaan antara skala itu adalah angka pada titik tetap bawah

dan titik tetap atas pada skala termometer tersebut.

Gambar 1.7
Titik tetap bawah dan titik tetap
atas pada beberapa skala suhu.
Rentang skala celcius,
Fahrenheit, Reamur dan Kelvin
berturut-turut 100, (212-31), 80,
(372-273).
(Dok.Kemdikbud dalam Fallis,
2013)

Penggunaan matematika

Perbandinga Skala Suhu:

Skala C: skala R: skala F: skala K = 100: 80: 180: 100

Skala C: skala R: skala F: skala K = 5: 4: 9: 5


Dengan mempertimbangkan titik tetap bawah (dibandingkan mulai dari nol

semua), perbandingan angka suhunya:

tC: tR: (tF – 32): (tK – 273) = 5: 4: 9: 5

Perbandingan di atas dapat digunakan untuk menentukan konversi skala suhu.

Sebagai contoh, konversi skala suhu dari Celcius ke Fahrenheit.

tC 5
=
(t C −32) 9 ............................................................................................1.1

Maka

9
t F = tC +32
5 ............................................................................................1.2

b. Perubahan Akibat Suhu

1) Pemuaian zat padat

Zat padat dapat mengalami pemuaian. Gejala ini memang sulit untuk diamati

secara langsung, tetapi seringkali kamu dapat melihat pengaruhnya. Misalnya, saat

kamu menuangkan air panas ke dalam gelas, tiba-tiba gelas itu retak. Retaknya gelas

ini karena terjadinya pemuaian yang tidak merata pada gelas itu. Kamu akan pelajari

lebih dalam tentang pemuaian pada zat padat.

Pada umumnya, benda atau zat padat akan memuai atau mengembang jika

dipanaskan dan menyusut jika didinginkan. Pemuaian dan penyusutan itu terjadi pada

semua bagian benda, yaitu panjang, lebar, dan tebal benda tersebut. Jika benda padat

dipanaskan, suhunya akan naik. Pada suhu yang tinggi, atom dan molekul penyusun
logam tersebut akan bergetar lebih cepat dari biasanya sehingga logam tersebut akan

memuai ke segala arah

Gambar 1.8
Rel kereta api dapat melengkung akibat pemuaian
(Zitzewitz dalam Fallis, 2013)

Jika panjang logam mula-mula sama, untuk logam yang berbeda ternyata

pertambahan panjangnya benda karena pemuaiannya juga berbeda. Besaran

yang menentukan pemuaian panjang zat padat adalah koefisien muai panjang.

Koefisien muai panjang suatu zat padat adalah bilangan yang menunjukkan

pertambahan panjang tiap satu satuan panjang zat itu jika suhunya dinaikkan 1̊

C.

Sebagai contoh, jika muai panjang kaca 9 x 10-6/ o C berarti jika 1 meter

kaca suhunya bertambah 1̊ C maka panjangnya bertambah 0,000009 meter.

Tabel 2.1, menunjukkan koefisien muai panjang beberapa bahan.

Jenis Koefisien muai

bahan panjang (/ ̊ C)

Kaca biasa 0,000009

Kaca 0,000003
Pyrex

Aluminium 0,000026

Kuningan 0,000019

Baja 0,000011

Tembaga 0,000017

Tabel. 2.1 koefisien muai panjang bahan. (Fallis, 2013 : 148)

2) Pemuaian Luas dan Volume Zat Padat

Jika suatu benda berbentuk lempengan dipanaskan, pemuaian terjadi pada kedua

arah sisi-sisinya. Pemuaian semacam ini disebut pemuaian luas. Pemasangan pelat-

pelat logam selalu memperhatikan terjadinya pemuaian luas. Pemuaian luas memiliki

koefisien muai sebesar dua kali koefisien muai panjang. Berdasarkan data dalam

Tabel 2.1, maka lempengan baja memiliki koefisien muai luas sebesar 0,000022/ ̊ C.

Bagaimanakah pemuaian yang dialami oleh kelereng dan balok besi jika kedua

benda tersebut dipanaskan? Benda-benda yang berdimensi tiga (memiliki panjang,

lebar, dan tinggi) akan mengalami muai ruang jika dipanaskan. Pemuaian ruang

memiliki koefisien muai tiga kali koefisien muai panjang. Balok baja jika dipanaskan

akan memuai dengan koefisien muai sebesar 0,000033/ ̊ C.

Pernahkah kamu menjumpai daun pintu tidak dapat ditutupkan pada bingkai

pintunya? Kaca jendela tidak dapat masuk ke dalam bingkainya? Hal itu terjadi

karena pemasangan daun pintu dan kaca jendela terlalu rapat dengan bingkainya

sehingga ketika terjadi pemuaian atau penyusutan tidak tersedia lagi rongga yang

cukup.
3) Pemuaian Zat Cair dan Gas

Sebagaimana zat padat, zat cair juga memuai jika dipanaskan. Bahkan, pemuaian

zat cair relatif lebih mudah atau lebih cepat teramati dibandingkan dengan pemuaian

zat padat. Gas juga memuai jika dipanaskan. Sifat pemuaian gas harus diperhatikan

dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika memompa ban sepeda jangan terlalu

keras, seharusnya sesuai ukuran.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu

yaitu penelitian yang dilakukan oleh:

1. Busyairi dan Sinaga dalam Putri dkk, (2019:151) bahwa penerapan

pembelajaran CPS berbasis eksperimen dapat lebih meningkatkan

keterampilan berpikir kreatif secara signifikan dalam pemecahan masalah

siswa. Selain itu, hasil perhitungan menunjukkan bahwa penerapan

pembelajaran CPS berbasis eksperimen efektif dalam meningkatkan

keterampilan berpikir kreatif dalam pemecahan masalah siswa dengan effect

size sebesar 0,5 berdasarkan kriteria Cohen dalam Putri dkk (2019:151),

perolehan ini termasuk ke dalam kategori sedang. Pelatihan kegiatan

pemecahan masalah diharapkan berpengaruh meningkatkan kemampuan

siswa,
2. penelitian yang dilakukan oleh Mahardika dalam Yuskartika (2015:38)

dengan judul “penggunaan model pembelajaran Creative Problem Solving

disertai LKS Kartun fisika pada pembeljaran fisika di SMP”didapatkan hasil

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar, kemampuan

pemecahkan masalah dan aktivitas antara kelas model Creative Problem

Solving (CPS) disertai LKS dartun fisika dengan kelas tanpa model Creative

Problem Solving (CPS) disertai LKS kartun fisika. dan penelitian tersebut

juga membuktikan bahwa penggunaan model Creative Problem Solving

(CPS) disertai LKS kartun lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar.

3. Penelitian Dewi Hikmah & Muhammad Nasir dalam Yuskartika (2015:39)

yang berjudul “Penerapan pembelajaran berbasis masalah tipe Creative

Problem Solving (CPS) untuk meningkatkan ketuntasan belajar fisika siswa

kelas VIII-E SMPN 1 Ma’arang Kabuten Pangkep” Hasil yang diperoleh dari

penelitian ini adalah penggunan model pembelajaran berbasis masalah tipe

Creative Problem Solving (CPS) dalam pembeljaran fisika dapat

meningkatkan jumlah siswa yang memenuhi standar ketuntasan belajar

minimum (KKM).

Berdasarkan penelitian diatas, terdapat persamaan yaitu dari

penggunaan model Creative problem solving (CPS) adalah sama-sama

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, kemampuan memecahkan

masalah, kreativitas, dan hasil belajar siswa. Sedangkan perbedaannya adalah

materi yang digunakan pada aspek yang diteliti. Oleh karena itu, peneliti
mencoba untuk melakukan penelitian dengan model pembelajaran yang sama

yaitu model Creative problem solving (CPS) dengan pokok bahasan yang

berbeda.

C. Kerangka Teoritik

Pengetahuan dibangun dalam pikiran peserta didik dan belajar

merupakan sebuah upaya mengkonstruksi pengetahuan. Oleh karena itu,

dalam proses belajar mengajar peserta didiklah yang berperan aktif sebagai

pencipta gagasan-gagasan, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan

mediator yang seyogyanya memberikan bimbingan dan memilih serta

merancang pendekatan yang sesuai sehingga tercipta proses belajar dalam diri

peserta didik. Dengan dilatihnya peserta didik berpikir kreatif dengan

menggunakan model pembelajaran creative problem solving (CPS) yakni

pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, maka pembelajaran ini

menciptakan ruang kelas yang di dalamnya peserta didik akan menjadi peserta

aktif bukan peserta pasif dan bertanggung jawab terhadap belajarnya.

Penggunaan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

diharapkan peserta didik dapat mengintegrasikan masalah yang dihadapi

dengan menggunakan pemikiran kreatif mereka untuk memperoleh

pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Serta dapat

membuat peserta didik lebih bersemangat, lebih aktif, membangkitkan rasa

ingin tahu peserta didik terhadap suatu permasalahan serta tidak merasa bosan
pada saat proses belajar mengajar berlangsung sehingga peserta didik

menyukai pelajaran fisika.

fisika merupakan salah satu guru hanya menggunakan model konvensional dan tidak
pelajaran yang memuat konsep bervariasi dalam mengajar fisika di kelas
abstrak

diperlukan model pembelajaran Hasil belajar fisika siswa


yang menarik rendah

Model pembelajaran Creative


Problem solving

Pembelajaran fisika menjadi Hasil belajar fisika siswa


lebih menarik meningkat

Gambar 1.10 Kerangka pikir penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap hasil belajar siswa

kelas VII SMP Negeri 14 Halmahera Barat padaMateri Suhu dan

Perubahannya.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 14 Halmahera Barat, dan waktu penelitian ini

dimulai pada tanggal 17 Oktober – 01 November 2022, pada semester ganjil dengan pelaksanaan

disesuaikan pada mata pelajaran fisika tahun ajaran 2022-2023.

B. Metode Penelitian

Pada penelitian ini desain penelitian yang digunakan adalah non equivalent

control group yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.1: Desain Penelitian


Eksp O1 X1 O
erim
en
Kont O3 X2 O
rol
(Herlinda, dkk. 2017:3)
Keterangan:
O1 = pretest kelas eksperimen
O2 = Postest kelas kontrol
X1 = perlakuan dengan model pembelajaran creative Problem Solving (CPS)
X2 = perlakuan dengan model pembelajaran (PBL)
O3 = pretest kelas kontrol
O4 = postest kelas kontrol

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan 18 siswa kelas VII yang terdiri dari 1

kelas Di SMP Negeri 14 Halmahera Barat.

2. Sampel

Sampel pada penelitian ini berjumlah 18 siswa yang akan di bagi menjadi 2 kelas, yaitu kelas

VII A Dan kelas VII B Kemudian kedua kelas tersebut diundi untuk menentukan kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan Hasil undian diperoleh kelas VII A sebagai kelas

kontrol dengan model pembelajaran PBL dan kelas VII B sebagai kelas eksperimen dengan

menggunakan model pembelaran CPS.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah catatan peristiwa atau hal-hal atau keterangan-

keterangan atau karakteristik-karakteristik atau seluruh elemen populasi yang akan

menunjang atau mendukung penelitian. Penggunaan teknik pengumpulan data yang baik

akan memungkinkan mendapatka n data yang objektif. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut

1. Tes

Tes digunakan untuk mengukur kemampuan hasil belajar peserta didik yang

disajikan pada akhir materi untuk menilai kemampuan peserta didik.

mencari jumlah varians skor dari tiap-tiap butir item.

∑ σ 2i =σ 2i
1
2 2 2
+ σ i + σ i ......σ i ....................................................................(1.1)
2 3 n

Tabel 1.1 Pedoman kriteria koefesien reliabilitas


Batasan Kategori
0,80 < r11 ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < r11 ≤ 0,80 Tinggi
0,40 < r11 ≤ 0,60 Sedang
0,20< r11 ≤ 0,40 Rendah
0,00 < r11 ≤ 0,20 Sangat rendah
(Susana, 2014: 23)

2. Uji Tingkat Kesukaran

Dalam uji tingkat kesukaran instrument tes dalam tiap butir soal yang akan

dipakai menggunakan rumus :

B
P= ……………………………………………………………….(1.2)
JS
Keterangan :
P = indeks kesukaran.
B = banyaknya peserta didik yang menjawab soal dengan benar.
JS = jumlah seluruh peserta didik yang mengikuti tes.

Berdasarkan klasifikasi tingkat kesukaran soal di atas, maka 2 soal dikatakan

sukar, 11 soal dikatakan sedang dan 3 soal diakatakan mudah.

Besar tingkat kesukuran dapat dilihat pada tabel di bawah ini


Tabel 1.2Tingkat Kesukaran
Nilai P Kategori Soal
P < 0,30 Sukar
0,31 ≤ P ≤ 0,70 Sedang
P > 0,70 Mudah

5). Daya Pembeda

Daya beda pada soal adalah kemampuan soal untuk membedakan peserta didik

yang memiliki kemampuan menjawab soal dengan benar lebih banyak, dengan peserta
didik yang memiliki kemampuan menjawab soal dengan benar lebih sedikit. Menghitung

daya pembeda soal menggunakan rumus sebagai berikut :

BA BB
DP = - = PA-PB……………………………………………..(1.3)
JA JB
Keterangan :
DP = daya beda soal
JA = banyaknya peserta kelompok atas
JB = banyaknya peserta kelompok bawah
BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar
PA = Proporsi kelompok tinggi
PB = Proporsi kelompok rendah
Daya beda yang didapat akan diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel 1.3Kategori Daya Pembeda
Daya Pembeda (DP) Kategori
0,00 - 0,20 Rendah
0,21 - 0,40 Sedang
0,41 - 0,70 Tinggi
0,71 - 1,00 Tinggi Sekali
(Bagiyono, 2017: 5)

F. Teknik Analisis Data

suatu penelitian ilmiah sudah tentu melalui proses analisis data untuk

mendapatkan hasil penelitian yang representatif. Dalam memproses data memerlukan

beberapa langkah terutama yang berkaitan dengan masalah subyek dan obyek penelitian

yang diperoleh dari hasil pengumpulan data melalui pengisian angket maupun pencatatan

dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji-t sebelum melakukan analisis

uji-t harus dilakukan uji homogenitas, dan uji normalitas. Untuk melakukan analisis uji

coba soal dengan menggunakan terlebi dahulu dilakukan uji daya beda,uji tingkat

kesukaran dengan presntase diantaranya adalah:

a. Uji Homogenitas
sebelum analisis data dilakukan dengan menggunakan rumus t-test untuk membuktikan

kebenaran hipotesis yang telah dibuat sebelumnya, maka perlu diuji kedua varians kedua

sampel tersebut varians atau tidak. Pengujian homogenitas varian uji F dengan rumus:

varians terbesar
F= …………………………………………(1.4)
farians terkecil

Jika 𝐹hitung < 𝐹tabel maka data dikatakan homogen dan sebaliknya jika 𝐹hitung > 𝐹tabel maka

data dikatakan tidak homogen, pada taraf signifikan 5 % dengan derejat kebebasan 𝑑𝑏pembilang = n-

1 serta dbpenyebut = n-1 (Sugiyono dalam Pangkal dkk,2017:28).

b. Uji Normalitas

Hipotesis yang telah dirumuskan akan diuji dengan statistk parametris, antara lain

dengan menggunakan t-test untuk satu sampel, korelasi, dan regresi, analisis varians dan

t-test untuk dua sampel

( f o−f h ) 2
x2 = ……………………………………………….(1.5)
fh
Keterangan:
𝑥2 = chi kuadrat
fh = frekuensi yang diobservasi
f ୦ = frekuensi yang diharapkan
Adapun langka-langka pengujian normalitas data dengan chi kuadrat adalah

sebagai berikut:

1. Merangkum data seluru variable yang akan diuji normalitasnya.

2. Menentukan jumlah kelas interval.

3. Menentukan panjang kelas interval yaitu (data terbesar – data terkecil).

4. Menyusun kedalam table distribusi frekuensi, yang sekaligus merupakan penolong untuk

menghitung harga chi kuadrat.

5. Menghitung frekuensi (f ୦) dengan cara mengalikan presentase luas tiap bidang kurva

normal dengan jumlah anggota sampel.


6. Memasukan harga-harga f ୦ kedalam tabel kolom f ୦, sekaligus menghitung harga (fo-fh)

( f o−f h ) ( f o−f h )
dan dan menjumlahkanya. Harga adalah merupakan harga chi kuadra
fh fh

( X h ).
2

7. Membandingkan harga chi kuadrat hitung dengan chi kudrat table atau ( X h ≤ X t ). maka 2 2

data ter distribusi normal.

c. N-Gain

Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan

rumus gain ternormalisasi (N-Gain) sebagai berikut:

S post− S
g= …………………………………………………..(1.6)
pre

s maks−s pree

keterangan:
Spost : skor tes akhir
Spree: skor tes awal
Smaz : skor maksimum yang mungkin dicapai

Kriteria tingkat N-Gain adalah sebagai berikut.

Tabel 1.4Kategori Tingkat N-Gain


Batasan Kat
egor
i
0,70 ≤ g Ting
gi
0,30 ¿ g ¿ Seda
0,70 ng
g ≤ 0,30 Ren
dah
(Haake dalam Murlin dkk, 2012:183)

d. Uji hipotesis (uji-t)


uji perbandingan rata-rata hasil belajar (uji-t)digunakan untuk melihat perbedaan rata-rat

hasil belajar pada dua kelas yakni pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji-t berpasangan

(Paired t-test) adalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan tidak

bebas (berpasangan). ciri-ciri yang paling sering ditemui pada khasus yang berpasangan adalah

satu individu (objek penelitian)mendapat dua buah perlakuan yang berbeda. walaupun

menggunakan individu yang sama, peneliti tetap memperoleh dua macam data sampel, yaitu data

dari perlakuan pertama dan data dari perlakuan kedua.

Hipotesis dari khasus ini dapat ditulis :

H0 = μ 1 – μ 2 = 0
H1 = μ1 – μ2≠ 0
Ha berarti bahwa selisih sebenarnya dari kedua rata-rata tidak sama dengan nol.

Rumus uji-t berpasangan :

x 1−x 2

t=

2 2
S S2
1
+
n1 n2
Dimana:
x1 = Rata-rata variabel ke-1
x2 = Rata-rata variabel ke-2
n1= Jumlah sampel ke-1
n2= Jumlah sampel ke-2
S21= Jumlah sampel ke-1
2
S2= Jumlah sampel ke-2
S2 = Varians gabungan (Sugiono,2010).

e. effect size

Untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan model pembelajaran CPS

terhadap hasil belajar siswa kelas VII Di SMP Negeri 14 Halmahera Barat, maka perlu

dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji Effect Size. dengan rumus sebagai

berikut:
M eksperimen−M kontrol


2
d= SD eksperimen+SD2kontrol
……………………………………………….(1.7)
2
Keterangan:
M = Rata-rata skor tes
SD = Standar DeviasiSkor tes

Menurut, Saregar dkk (2016:236) penentuan karateristik effect size mengunakan

kriteria sebagai berikut:

d¿ 0,2 : Kecil
0,2¿ d ¿ 0,8 : Sedang
d¿ 0,8 : Tinggi

DAFTAR PUSTAKA

Bhakti. Y. B, 2017. Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Menggunakan Metode Pemberian Tugas
Terstruktur. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol. 5. No. 2
Budiyono, Agus. 2016. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Argument Based Science
Inquiry (ABSI)Terhadap Peningkatan Kemampuan Berargumentasi Siswa SMA. Jurnal
Pemikiran Penelitian Pendidikan dan Sains, Vol 4, No. 1, Juni 2016.
Bagiyono. 2017. Analisis Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Butir Soal Ujian Pelatihan
Radiografi Tingkat 1. Widyanuklida, vol. 16 No. 1. November 2017. Hal 1-12.
Chasanah. R dkk. 2019. Yogyakarta, Fisika Untuk SMA/MA Peminatan Fisika Dan Ilmu-Ilmu
Alam.

Fata. Z, 2018. Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving(Cps) Terhadap Hasil
Belajar Siswa Kelas X Man 3 Banda Aceh. Skripsi
Hariawan dkk, 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap
Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 4 Palu.
E-Jurnal Pend. Fisika Vol 1, No 2
Hermawan. A. A, 2014. Peningkatan Kompetensi Siswa Kelas XI Titl Smk Ma’arif 1 Wates Pada
Mata Pelajaran Fisika Menggunakan Model Creative Problem Solving. Skripsi
Mursalin. W. dkk. 2016. Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Children Learning In
Science Terhadap Hasil Belajar Di Smp Negeri 1 Meureudu Kabupaten Pidie Jaya
Tahun Ajaran 2015/2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Geografi Fkip
Unsyiah
Putri. C.S, dkk, 2019. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving
Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Dalam Pemecahan Masalah
Fisika Pada Siswa Sma. Jurnal Pendidikan Fisika Vol. 7 No. 2
Rismawati dkk, 2016. Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual Bermedia Power Point
Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Fisika Kelas Viii Smpn 4 Bireuen. JESBIO
Vol. V No. 1
Saregar dkk, 2016.Efektivitas Model Pembelajaran Cups: Dampak Terhadap Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi Peserta Didik Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Gisting
Lampung. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-BiRuNi, Vol 5 No 2.
Yuliati. Y & Lestari. I, 2019. Penerapan Model Creative Problem Solving Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Di Sekolah Dasar.
Jurnal Cakrawala Pendas Volume 5 Nomor 1
Yustika. S, 2015. Penggunaan Model apaembelajaran Creative Problem Solving (CPS)
Termodifikasi Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Hukum Newton Tentang
Gravitasi. Skripsi

Anda mungkin juga menyukai