Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pembelajaran matematika pada hakekatnya adalah suatu proses yang

dirancang dengan sengaja untuk menciptakan suatu lingkungan di mana

seseorang (siswa) melakukan kegiatan belajar matematika, dan proses ini

berpusat pada guru yang mengajar matematika. Lampiran Permendiknas No.

22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika SD/MI

menjelaskan bahwa Matematika dipelajari untuk membekali siswa dengan

kemampuan berpikir dan bekerja yang logis, analitis, sistematis, kritis dan

kreatif. Untuk menjelaskan dari hakikat pembelajaran matematika, agar siswa

dapat aktif berpikir kritis dalam proses pembelajaran diperlukan model

pembelajaran yang inovatif.

Menurut Eggen dan Kauchak yang dikutip Wardani (2013), model

pembelajaran adalah panduan yang diberikan dalam bentuk rencana atau

pernyataan strategi instruksional yang dirancang untuk memungkinkan

pembelajaran. Pembinaan tersebut mencakup tanggung jawab guru dalam

merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran.

Salah satu tujuan penggunaan model pembelajaran adalah untuk

meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar.

Tombak (2011) mengemukakan bahwa pembelajaran inovatif sebenarnya

merupakan definisi dari proses pembelajaran yang komprehensif terkait

dengan berbagai teori pembelajaran modern yang didasarkan pada inovasi


pembelajaran. Seperti teori belajar konstruktivis dan teori lainnya. Mengacu

pada pengertian di atas, dapat diartikan secara lebih luas bahwa pembelajaran

inovatif adalah pembelajaran yang lebih memperhatikan proses pembelajaran

dengan menanamkan konsep-konsep yang ada ke dalam isi mata pelajaran

agar menjadi lebih bermakna. Dalam konteks ini, pembelajaran inovatif

cenderung mengarahkan siswa untuk aktif belajar dan membangun konsepnya

sendiri pada topik yang diberikan.Dengan kata lain pembelajaran inovatif

adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa sehingga guru bertugas sebagai

fasilitator dalam pembelajaran.

Slameto (2015: 404) menyebutkan model pembelajaran inovatif

diantaranya; cooperative learning, contextual teaching dan learning, realistik

mathematics education, problem based learning, problem promting, problem

solving, cycle learning, example and non example. Dari beberapa model atau

metode di atas yang potensi untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika

adalah model pembelajaran problem based learning dan problem solving

Slameto (2015:407) berpendapat bahwa model PBL adalah model

pembelajaran yang menghadapi masalah nyata dalam kehidupan nyata siswa,

menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, serta

merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Konsisten dengan Slameto,

Hosnan (2014: 295) melihat PBL sebagai model pembelajaran yang mengatur

dirinya sendiri dalam cara siswa belajar, mengembangkan keterampilan dan

inkuiri yang lebih tinggi, memungkinkan siswa mandiri dan meningkatkan

rasa percaya diri dan percaya diri siswa. Kesimpulan ini sejalan dengan
Kemendikbud (2014), yang menyatakan bahwa PBL adalah metode

pembelajaran yang mengajukan pertanyaan situasional untuk memotivasi

siswa belajar.

Model berikutnya yang potensi untuk diterapkan dalam pembelajaran

matematika yaitu model problem solving. Menurut Wijaya (2008) problem

solving merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada

proses penyelesaian secara ilmiah. Senada dengan Slameto (2015: 407),

problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian

(menemukan pola, aturan, atau algoritma). Berdasarkan beberapa pendapat

yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa problem solving adalah

sebuah metode pembelajaran yang berupaya membahas permasalahan untuk

mencari pemecahan atau jawabannya.

Perbedaan antara problem solving dengan problem based learning terletak

pada cara penyelesaiannya. Pada problem solving, masalah dapat diselesaikan

hanya dengan diskusi saja (mencari atau menemukan cara penyelesaiannya)

akan tetapi pada PBL dibutuhkan penelitian mengenai masalah tersebut

(melatih dan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menyelesaikan

masalah). Sedangkan persamaan antara problem based learning dengan

problem solving adalah sama-sama pembelajaran berbasis masalah atau

pemecahan masalah, peran guru adalah sama-sama sebagai fasilitator, langkah

pembelajaran problem based learning dan problem solving sama yaitu pada

langkah awal pemberian masalah dari guru .


Pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan pemecahan masalah lebih

efektif ketika materi pembelajaran dipahami dengan bantuan media

pembelajaran. Menurut Hamdani (2013:243), media pembelajaran adalah

media yang membawa pesan atau informasi yang dimaksudkan untuk

meningkatkan efisiensi pembelajaran. Konsisten dengan Hamdani, Schram

(dalam Iswidayati, 2010: 2) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah

teknologi pembawa informasi yang dapat digunakan untuk tujuan

pembelajaran dan efek pembelajaran.

Penggunaan media dalam pembelajaran akan memudahkan siswa dalam

memahami materi. Media yang dapat digunakan selama proses pembelajaran

adalah media visual (gambar atau foto, sketsa, diagram, kartun, poster), media

audio (radio, kaset, tape recorder), media silent projected (film bingkai, film

sequence, OHT (overhead). proyektor) ) ), media proyeksi gerak dan audio-

visual (film gerak, video, program TV), multimedia Media pembelajaran yang

dapat digunakan untuk membantu siswa memahami konsep dan yang dapat

dimasukkan dalam pembelajaran berbasis masalah dan pemecahan masalah

model adalah media kartu pertanyaan.

Latar belakang pengembangan pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan problem solving untuk meningkatkan kemampuan belajar

pemecahan masalah matematika kelas V SD didasarkan pada fakta bahwa

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di SDN 104203

BANDAR KHALIPAH masih rendah. Hal ini saya dapat dari hasil observasi
saya dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan kepada guru wali kelas

yang mengajar di SDN 104203 BANDAR KHALIPAH .

Pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem solving

dianggap efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika siswa. Pendekatan pembelajaran kontekstual bertujuan

untuk membuat pembelajaran lebih relevan dengan kehidupan nyata siswa,

sehingga siswa dapat lebih mudah memahami dan mengaplikasikan konsep

matematika dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pendekatan problem

solving bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam

memecahkan masalah, sehingga siswa dapat lebih terampil dalam

menyelesaikan masalah matematika.

Dengan menggabungkan kedua pendekatan tersebut, diharapkan siswa

dapat belajar matematika dengan lebih efektif, karena siswa akan lebih

terlibat dalam pembelajaran dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

memecahkan masalah. Dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan

problem solving, siswa akan diberikan masalah-masalah matematika yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat lebih

mudah memahami dan mengaplikasikan konsep matematika dalam situasi

nyata.

Dengan demikian, pengembangan pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan problem solving diharapkan dapat meningkatkan kemampuan

belajar pemecahan masalah matematika siswa kelas V SD di SDN 104203


Bandar Khaliupah , sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika

siswa di Sekolah SDN 104201 Bandar Khalipah .

1.2 Identifikasi Masalah

Dari uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas, identifikasi

masalah yang dipat dilihat dalam penelitian ini adalah:

1. Kurangnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Banyak siswa yang

kurang tertarik dalam belajar matematika karena kurangnya relevansi

pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini dapat

menyebabkan siswa merasa bosan atau tidak tertarik untuk

mempelajari matematika, sehingga dapat menghambat kemampuan

mereka dalam memecahkan masalah matematika.

2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep matematika. Banyak

siswa yang hanya menghafal rumus dan cara menghitung tanpa

memahami konsep matematika yang mendasar. Hal ini dapat

menyebabkan mereka kesulitan dalam memecahkan masalah

matematika yang berbeda-beda dan menghambat kemampuan mereka

dalam memecahkan masalah matematika.

3. Kurangnya keterampilan pemecahan masalah siswa. Banyak siswa

yang kesulitan dalam memecahkan masalah matematika karena

kurangnya keterampilan pemecahan masalah yang mereka miliki.

Mereka mungkin tidak tahu bagaimana memecahkan masalah atau


tidak tahu bagaimana menerapkan konsep matematika yang telah

dipelajari.

4. Kurangnya penggunaan pendekatan pembelajaran yang efektif. Banyak

guru yang masih menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional

yang hanya fokus pada pemberian materi tanpa memperhatikan

relevansi dengan kehidupan sehari-hari siswa. Hal ini dapat

menyebabkan siswa tidak tertarik dalam belajar matematika dan

kesulitan dalam memecahkan masalah matematika.

1.3 Batasan Masalah

Untuk membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak terlalu meluas dan

lebih focus pada factor-faktor yang akan diteliti , maka peneliti membatasi

ruang lingkup penelitian pada pengembangan pembelajaran kontekstual

dengan problem solving untuk meningkatkan kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika kelas V SD , pengukuran kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika dilakukan dengan menggunakan instrumen tes yang telah

teruji validitas dan reliablitasnya .

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan

penelitian ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan

problem solving?
2. Bagaimana pengembangan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan

problem solving dapat meningkatkan kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika?

3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan

pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem solving dalam

meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah matematika pada

siswa kelas V SD?

4. Bagaimana cara mengukur keberhasilan pengembangan pembelajaran

kontekstual dengan pendekatan problem solving dalam meningkatkan

kemampuan belajar pemecahan masalah matematika pada siswa kelas V

SD?

5. Apa strategi yang tepat dalam mengimplementasikan pembelajaran

kontekstual dengan pendekatan problem solving untuk meningkatkan

kemampuan belajar pemecahan masalah matematika pada siswa kelas V

SD?

1.5 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian tentang pengembangan pembelajaran kontekstual

dengan pendekatan problem solving untuk meningkatkan kemampuan belajar

pemecahan masalah matematika kelas V SD adalah:

1. Untuk mengetahui efektivitas pengembangan pembelajaran kontekstual

dengan pendekatan problem solving dalam meningkatkan kemampuan

belajar pemecahan masalah matematika pada siswa kelas V SD.


2. Untuk mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

pengembangan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem

solving dalam meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah

matematika pada siswa kelas V SD.

3. Untuk mengidentifikasi strategi yang tepat dalam mengimplementasikan

pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem solving untuk

meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah matematika pada

siswa kelas V SD.

4. Untuk menyusun rekomendasi bagi guru dan pihak terkait dalam

pengembangan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem

solving dalam meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah

matematika pada siswa kelas V SD.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang positif terutama dari

segi pemanfaatannya, yaitu:

1.6.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi

perkembangan penelitian di dalam dunia pendidikan khususnya

matematika dan untuk memberikan gambaran Untuk mengetahui

efektivitas pengembangan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan

problem solving dalam meningkatkan kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika

1.6. 2 Manfaat Praktis


Hasil penelitian yang didapatkan diharapkan memiliki manfaat praktis

sebagai berikut:
1. Bagi Guru

a. Memberikan panduan bagi guru dalam penggunaan metode pembelajaran

matematika yang lebih kontekstual dan problem-solving oriented dalam

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

b. Memberikan rekomendasi untuk pengembangan kurikulum dan

pembelajaran matematika yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan siswa.

2. Bagi Sekolah

c. Meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah dan

meningkatkan prestasi belajar siswa di bidang matematika.

d. Dapat membantu sekolah dan pengambil kebijakan dalam bidang

pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dan

tingkat nasional.

3. Bagi siswa

e. Penerapan model pembelajaran problem based learning dan problem

solving dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran

matematika

f. Memberikan suasana baru dalam proses pembelajaran sehingga siswa

lebih aktif dan tidak bosan dalam pembelajaran.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Sejauh ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa

pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih

berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah

menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah model belajar

baru yang labih memberdayakan peserta didik. Sebuah model belajar yang tidak

mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi suatu model pembelajaran

yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

A. Model Pembelajaran

Model kontekstual merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa

anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara ilmiah, artinya

belajar akan lebih bermakna jika anak “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa

yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya”. Pembelajaran tidak hanya

sekedar kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa, tetapi

bagaimana siswa mampu memaknai apa yang dipelajari itu. Oleh karena itu,

strategi pembelajaran lebih utama dari sekedar hasil. Dalam hal ini siswa perlu

mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan

bagaimana mencapainya. Mereka menyadari bahwa apa yang dipelajari akan


berguna bagi hidupnya kelak. Dengan demikian, mereka akan belajar lebih

semangat dan penuh kesadaran.

Menurut Nadawidjaya (dalam Kunandar), dalam pembelajaran kontekstual

tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam menemukan sesuatu yang baru

(pengetahuan dan keterampilan) melalui pembelajaran secara sendiri bukan apa

kata guru. Siswa benar-benar mengalami dan menemukan sendiri apa yang

dipelajari sebagai hasil rekonstruksi sendiri. Dengan demikian, siswa akan lebih

produktif dan inovatif. Pembelajaran kontekstual akan mendorong ke arah belajar

aktif. Belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan

keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh

hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik .

Pada hakikatnya kata “model” memiliki definisi yang berbeda-beda sesuai

dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Salah satu definisi

model seperti yang dikemukakan Dilworth (dalam Sakdiahwati) berikut, “A

model is an abstract representation of some real world process, system,

subsystem. Model are used in all aspect of life. Model are useful in depicting

alternatives and in analysing their performance”. Berdasarkan pendapat tersebut

dapat dikatakan bahwa model merupakan representasi abstrak dari proses, sistem,

atau subsistem yang konkret. Model digunakan dalam seluruh aspek kehidupan.

Model bermanfaat dalam mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis

tampilan-tampilan pilihan tersebut.


Model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang

memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan

model itu. Pengertian model pembelajaran, merupakan landasan praktik

pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan belajar, yang

dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi

kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas. Memilih

suatu model mengajar, harus sesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas

yang ada, serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama

dilakukan antara guru dan peserta didik .

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling

mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem

pembelajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga

laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi,

slide, dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari

ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi

jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.

Adapun dari sumber lainnya, model pembelajaran adalah kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu & berfungsi sebagai pedoman

bagi perancang pembelajaran dan para pengajar/tutor dalam merencanakan dan

melaksanakan aktivititas pembelajaran .


Menurut Suyatno, model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang

tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas.

Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan

pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan adalah konsep dasar

yang mewadahi, menginsipirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran

dengan cakupan teoretis tertentu. Metode pembelajaran adalah prosedur, urutan,

langkah-langkah, dan cara yang digunakan guru dalam pencapaian tujuan

pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran merupakan jabaran

dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode

pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa metode adalah prosedur pembelajaran

yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran

diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran

berlangsung. Teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran

berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode

yang sama. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik

pembelajaran. Bungkus dari penerapan pendekatan, metode, dan teknik

pembelajaran tersebut dinamakan model pembelajaran.

Adapun menurut Trianto, model pembelajaran adalah suatu perencanaan

atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan

pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran

mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di

dalamnya tujuantujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,

lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas


Dan dalam tulisannya Akhmad Sudrajat mengemukakan, apabila antara

pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah

terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut

dengan model pembelajaran.

Untuk lebih jelasnya Akhmad Sudrajat menjelaskan posisi hierarkis dari

masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Hirarki Model Pembelajaran

B. Ciri-ciri Model pembelajaran

Seorang guru sebelum memilih sebuah model pembelajaran maka

sebaiknya terlebih dahulu tahu mengenai sifat-sifat atau ciriciri sehingga dalam

pelaksanaannya sebuah model pembelajaran akan berjalan sesuai dengan apa yang

telah direncanakan.
Pada umumnya model-model mengajar yang baik memiliki sifat-sifat atau

ciri-ciri yang dapat dikenali secara umum sebagai berikut:

1) Memiliki prosedur yang sistematik. Jadi, sebuah model mengajar

merupakan prosedur yang sistematik untuk memodifikasi perilaku siswa, yang

didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu.

2) Hasil belajar ditetapkan secara khusus. Setiap model mengajar

menentukan tujuan-tujuan khusus hasil belajar yang diharapkan dicapai siswa

secara rinci dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati. Apa yang harus

dipertunjukkan oleh siswa setelah menyelesaikan urutan pengajaran disusun

secara rinci dan khusus.

3) Penetapan lingkungan secara khusus. Menetapkan keadaan lingkungan

secara spesifik dala model mengajar.

4) Ukuran keberhasilan. Menggambarkan dan menjelaskan hasil-hasil

belajar dalam bentuk perilaku yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa setelah

menempuh dan menyelesaikan urutan pengajaran.

5) Interaksi dengan lingkungan. Semua model mengajar menetapkan cara

yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dan bereaksi dengan lingkungan.

Dari sifat-sifat atau ciri-ciri umum yang dimiliki oleh sebuah model

pembelajaran, maka akan mempermudah guru dalam hal memilih dan

memprediksi proses pelaksanaan sebuah model pembelajaran. sehingga guru tahu

kriteria sebuah model pembelajaran haruslah memiliki prosedur yang sistematik

(seperti pembuatan RPP), tetapi dengan hasil belajar dengan lingkungan belajar
yang telah ditetapkan secara khusus, evaluasi tingkat keberhasilan telah

ditentukan dan siswa diajak berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan sekitar

setiap kali KBM berlangsung.

C. Model Pembelajaran Kontekstual

1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia mengandung dua arti:

1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau

menambah kejelasan makna;

2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka seharihari, dengan melibatkan tujuh komponen utama

pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya

(Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning

Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya

(AuthenticAssessment).

Johnson, mengartikan pembelajaran kontekstual adalah suatu proses

pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan

pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan


konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan

pribadinya, sosialnya, dan budayanya.

2. Komponen dalam Pembelajaran Kontekstual

Terdapat tujuh komponen dalam model pembelajaran Kontekstual:

a. Kontruksivisme

1) Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar

pada pengetahuan awal.

2) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan

menerima pengetahuan.

b. . Inquiry

1) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman

2) Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis

c. Questioning (bertanya)

1) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai

kemampuan berpikir siswa.

2) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran

yang berbasis inquiry

d. Learning Community (masyarakat belajar)

1) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.


2) Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar

sendiri.

3) Tukar pengalaman

4) Berbagi ide

e. Modelling (pemodelan)

1) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja

dan belajar.

2) Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa

mengerjakannya

f. Reflection (repleksi)

1) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari

2) Mencatat apa yang telah dipelajari

3) Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.

g. Authentic Assessment (penilaian yang sebenarnya)

1) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa

2) Penilaian produk (kinerja)

3) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual

3. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual


Atas dasar pengertian tersebut, pembelajaran kontekstual menurut Muslich,

mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang

diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau

pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real

life setting).

b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-

tugas yang bermakna (meaningful learning).

c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada

siswa (learning by doing).

d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling

mengoreksi antarteman (learning in a group).

e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan,

bekerja sama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara

mendalam (learning to know each other deeply).

f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan

kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together).

g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an

enjoy activity)

Adapun dalam sosialisasi oleh Depdiknas, karakteristik pembelajaran

berbasis kontekstual, yaitu:


a. Kerjasama

b. Saling menunjang

c. Menyenangkan

d. Tidak membosankan

e. Belajar dengan bergairah

f. Pembelajaran terintegrasi

g. Menggunakan berbagai sumber

h. Siswa aktif

Sedangkan menurut Kunandar, ciri-ciri pembelajaran kontekstual

antara lain:

1) Adanya kerjasama antara semua pihak

2) Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem

3) Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda

4) Saling menunjang

5) Menyenangkan, tidak membosankan

6) Belajar dengan bergairah

7) Pembelajaran terintegrasi

8) Menggunakan berbagai sumber


9) Siswa aktif

10) Sharing dengan teman

11) Siswa kritis, guru kreatif

12) Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa,

peta-peta, gambar, artikel, humor dan sebagainya

13) Laporan kepada orang tua bukan saja rapor, tetapi hasil karya siswa,

laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.

Jadi pada model pembelajaran kontekstual ini, meliputi: adanya umpan

balik, penggunaan berbagai alat bantu, belajar kelompok, model demokrasi,

peningkatan pemahaman siswa, evaluasi berdasarkan penilaian autentik,

pembelajaran diformat berdasarkan tempat dan waktu yang tersedia, dan

informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik .

2.1.2 Pembelajaran Problem Solving

a. Pengertian Model pembelajaran problem solving

Pemecahan masalah (problem solving) merupakan bagian dari ketrampilan

atau kecakapan intelektual yang dinilai sebagai hasil belajar yang penting dan

signifikan dalam proses pendidikan. Signifikansi kecakapan pemecahan

masalah itu dapat dilihat baik dari banyaknya perhatian berbagai aliran

psikologi terhadap kecakapan intelektual ini, tingginya peringkat kecakapan

itu dalam berbagai taksonomi hasil belajar, maupun dari posisi kecakapan ini

dalam taksonomi disain pembelajaran. Terdapat banyak ragam pengertian


maupun klasifikasi masalah. Dari segi cara pernyataannya masalah ada yang

bersifat kebahasaan (lingustic), dan masalah yang bersifat bukan-kebahasaan

(non-linguistic). Dari segi perumusan, cara menjawab dan kemungkinan

jawabannya, masalah dapat dibedakan menjadi masalah yang dibatasi dengan

baik (well-defined), dan masalah yang dibatasi tidak dengan baik (ill-defined).

Ada juga yang membedakan menjadi masalah yang well-structured

(distrukturkan dengan baik) dan masalah yang ill-structured (tidak

distrukturkan dengan baik). Demikian juga terdapat banyak pendapat tentang

proses pemecahan atas berbagai macam masalah yang ada tersebut. Ada yang

berpendapat bahwa proses pemecahan atas masalah yang well defined maupun

yang ill defined sama, namun ada juga yang berpendapat bahwa proses

pemecahan kedua jenis masalah di atas berbeda.

Model pembelajaran Problem Solving merupakan cara memberikan

pengertian dengan menstimulasi anak didik untuk memperhatikan, menelaah

dan berpikir tentang suatu masalah untuk selanjutnya menganalisis masalah

tersebut sebagai upaya untuk memecahkan masalah. Problem solving melatih

siswa terlatih mencari informasi dan mengecek silang validitas informasi itu

dengan sumber lainnya, juga problem solving melatih siswa berfikir kritis dan

metode ini melatih siswa memecahkan dilema (Firli, dkk, 2017: 2).

Model pembelajaran problem solving adalah model yang mengutamakan

pemecahan masalah dalam kegiatan belajar untuk memperkuat daya nalar

yang digunakan oleh peserta didik agar mendapatkan pemahaman yang lebih

mendasar dari materi yang disampaikan. Seperti yang diungkapkan Pepkin


(dalam Shoimin, 2017, hlm. 135) bahwa metode problem solving adalah suatu

model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran

dan keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan

keterampilan.

Sementara itu Purwanto (dalam Chotimah & Fathurrohman, 2018, hlm.

280-281) berpendapat bahwa model problem solving adalah suatu proses

dengan menggunakan strategi, cara, atau teknik tertentu untuk menghadapi

situasi baru, agar keadaan tersebut dapat dilalui sesuai keinginan yang

ditetapkan.

Model ini sering disebut sebagai metode pula karena boleh dibilang

merupakan salah satu penerapan problem based learning (PBL) yang sudah

memiliki langkah-langkah konkret. Namun di balik itu, metode ini juga cukup

dinamis untuk dimodifikasi dan disesuaikan dengan keadaan siswa atau

sekolah. Oleh karena sifatnya yang dinamis, terdapat berbagai turunan dari

model ini, misalnya model pembelajaran creative problem solving      .

Menurut Murray, Hanlie, et al. (dalam Huda, 2015, hlm. 273) model

pembelajaran problem solving merupakan salah satu dasar teoretis dari

berbagai strategi pembelajaran yang menjadikan masalah (problem) sebagai

isu utamanya. Artinya akan terdapat beberapa tipe atau setting yang dapat

dinaunginya.
Model problem solving adalah sebuah metode pembelajaran yang

mengharuskan siswa berperan aktif dan mampu berpikir. Karena

dalam problem solving siswa diharuskan mampu menganalisis materi mulai

dengan mencari data sampai dengan menarik kesimpulan. Dapat disimpulkan

bahwa model pembelajaran problem solving adalah model yang memusatkan

pembelajaran pada pemecahan masalah sehingga siswa dapat memperkuat

daya nalar dengan menyusun cara, strategi, atau teknik baru untuk

menyelesaikan suatu permasalahan.

b. Sintaks Pembelajaran Problem Solving

Terdapat sintaks atau acuan dasar dari seluruh fase yang harus dilakukan

dalam menyelenggarakan model pembelajaran problem solving. Menurut

Chotimah & Fathurrohman (2018, hlm. 287-288) sintaks model

pembelajaran problem solving terdiri dari 6 tahap sebagai berikut.

1. Merumuskan masalah

Kemampuan ini diperlukan untuk mengetahui dan merumuskan masalah

secara jelas.

2. Menelaah masalah

Untuk menggunakan model problem solving, menelaah masalah diperlukan

agar peserta didik dapat menggunakan pengetahuan untuk memerinci dan

menganalisis masalah dari berbagai sudut.


3. Merumuskan hipotesis

Kemampuan yang diperlukan lainnya adalah berimajinasi dan menghayati

ruang lingkup, sebab-akibat, dan alternatif penyelesaian.

4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data (sebagai bahan pembuktian

hipotesis)

Tahap ini berfungsi untuk memancing kecakapan mencari dan menyusun

data serta menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar, atau tabel.

5. Pembuktian hipotesis

Kecakapan menelaah dan membahas data, kecakapan menghubung-

hubungkan dan menghitung, serta keterampilan mengambil keputusan dan

kesimpulan.

6. Menentukan pilihan penyelesaian

Tahap ini akan membuat peserta didik mampu untuk membuat alternatif

penyelesaian serta kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan

akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan.

c. Langkah Langkah Model Pembelajaran Problem Solving

Terdapat langkah-langkah konkret yang dapat digunakan untuk

menyelenggarakan model pembelajaran problem solving. Langkah-langkah

pembelajaran menggunakan model pembelajaran problem solving menurut

Sani (2019, hlm. 243) adalah sebagai berikut.

1. Pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran.


2. Guru memberikan permasalahan yang perlu dicari solusinya.

3. Pendidik (guru) menjelaskan prosedur pemecahan masalah yang benar.

4. Peserta didik mencari literatur yang mendukung untuk menyelesaikan

permasalahan yang diberikan guru.

5. Siswa atau peserta didik menetapkan beberapa solusi yang dapat

diambil untuk menyelesaikan permasalahan.

6. Peserta didik melaporkan tugas yang diberikan guru.

d. Tujuan Model Problem Solving

Dalam metode pembelajaran problem solving, pembelajaran tidak hanya

difokuskan dalam upaya mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya.

Justru bagaimana menggunakan segenap pengetahuan yang didapat tersebut

adalah fokusnya. Dengan kata lain, model pembelajaran ini mengutamakan

peningkatan keterampilan untuk menggunakan pengetahuan sebagiamana

nantinya akan digunakan pada dunia nyata atau kehidupan sehari-hari.

Siswa yang dapat mengerjakan atau dapat memecahkan masalah yang

diberikan oleh guru dapat dikatakan telah telah menguasai pelajaran dengan

baik. Bersinggungan dengan hal tersebut, menurut Chotimah & Fathurrohman

(2018, hlm. 282) tujuan dari pembelajaran problem solving adalah sebagai

berikut.
1. Peserta didik menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan

kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.

2. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hasil intrinsik

bagi peserta didik.

3. Potensi intelektual peserta didik meningkat.

4. Peserta didik belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui

proses melakukan penemuan.

e. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Problem Solving

Setiap model pembelajaran pasti mempunyai kelebihan masing-masing.

Salah satunya yakni model pembelajaran problem solving yang tentunya

mempunyai kelebihan dan kekurangan pula. Di bawah ini akan dipaparkan

beberapa kelebihan dan kekurangan dari model ini.

1. Kelebihan

Secara umum salah satu kelebihan dari model pembelajaran problem solving

adalah meningkatnya daya kritis siswa dalam pembelajaran. Selain itu, menurut

Shoimin (2017, hlm. 137-138) kelebihan dari model pembelajaran problem

solving adalah sebagai berikut.

1. Membuat peserta didik lebih menghayati pembelajaran berdasarkan

kehidupan sehari-hari.
2. Melatih dan membiasakan para peserta didik untuk menghadapi dan

memecahkan masalah secara terampil.

3. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik secara

kreatif.

4. Peserta didik sudah mulai dilatih untuk memecahkan masalahnya dari

semenjak sekolah (sebelum memasuki kehidupan nyata).

5. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.

6. Membuat peserta didik berpikir dan bertindak kreatif.

7. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.

8. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.

9. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.

10. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cara yang tepat.

11. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,

khususnya dunia kerja.

Sementara itu, menurut Sanjaya (2016, hlm. 220) keunggulan dari metode

problem solving adalah sebagai berikut.

1. Merupakan teknik pembelajaran yang cukup bagus agar siswa lebih

memahami isi pelajaran.

2. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk

menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

3. Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.


4. Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk

memahami masalah dalam kehidupan nyata.

5. Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.

2. Kelemahan

Menurut Sanjaya (2016, hlm. 220) kelemahan dari metode problem

solving adalah sebagai berikut ini.

1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai

kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka

mereka akan merasa enggan untuk mencoba.

2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui PBL membutuhkan cukup

waktu untuk persiapan.

3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan

masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang

mereka ingin dipelajari.

2.1.3 Pemecahan masalah matematika

Untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang tinggi di

Indonesia, dengan tujuan agar dapat bersaing di masa depan, maka jalur

pendidikan dipandang sebagai wadah yang dapat memenuhinya. Mulai dari

pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai perguruan tinggi peserta

didik belajar matematika. Hal tersebut tidak berlebihan, sebab dengan


memahami dan menguasai matematika, maka diharapkan bangsa Indonesia

dapat menguasai dan ikut mengembangkan ilmu dan teknologi (Qohar, 2008).

Matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari

matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan

kependidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sudarman,

2008(b)) dan tujuan matematika sekolah adalah siswa diharapkan tidak hanya

terampil dalam mengerjakan soal-soal matematika tetapi dapat menggunakan

matematika untuk memecahkan masalah-masalah yang dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari (Rizal, 2009), karena matematika merupakan

pengetahuan yang dibangun (Kaltz dalam Hartoyo, 2000). Pada kenyataannya

banyak guru matematika yang mengajar tanpa memperhatikan hal tersebut.

Padahal seharusnya guru dituntut untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi

secara efektif dengan siswa (Widjajanti, 2008), guru tidak hanya mengajarkan

matematika sebagai alat, tetapi mengajarkan matematika sebagai kegiatan

manusia (Soedjadi, 2007, 6-7). Hal ini merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan sebagian siswa mempunyai kesan negatif terhadap matematika

(Sudarman, 2008(a)), misalnya: matematika dianggap sebagai hal yang

menakutkan (Pamungkas, 2009), matematika sulit dan membosankan (Becker

dan Schneider, 2009), matematika tidak menyenangkan (Zainurie, 2009),

matematika merupakan ilmu yang kering, melulu teoritis dan hanya berisi

rumus-rumus, seolah-olah berada “di luar” mengawang jauh dan tidak

bersinggungan dengan realita siswa (Sriyanto, 2009). Jika siswa mempunyai


kesan negatif terhadap matematika, bahkan membenci karena kesulitannya, itu

sama saja mereka tidak menyukai tantangan kesulitan yang ditawarkannya .

Tujuan adanya mata pelajaran matematika antara lain agar siswa mampu

menghadapi perubahan keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui

latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat,

jujur, dan efektif (Suherman, 2003: 89). Hal ini merupakan tuntutan yang

sangat tinggi yang tidak mungkin dapat dicapai hanya melalui hafalan, latihan

pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa. Oleh

sebab itu, pemecahan masalah merupakan bagian yang penting dalam

pembelajaran matematika, karena dengan pemecahan masalah siswa

dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta

ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah

yang bersifat tidak rutin. Pentingnya pemecahan masalah matematika

diperkuat oleh pernyataan Wilson dalam National Council of Teachers

Mathematics (1993: 57) yang menyebutkan bahwa ”Problem solving has a

special importance in study of mathematics. A primary goal of mathematics

teaching and learning is development the ability to solve a wide variety of

complex mathematics problems” (Pemecahan masalah mempunyai arti

penting dalam pembelajaran matematika. Tujuan utama pembelajaran

matematika adalah mengembangkan kemampuan kompleks untuk

memecahkan masalah matematika). Hal ini berarti bahwa proses pembelajaran

harus diorientasikan pada pemecahan masalah (Maliki, 2009: 1) .


a. Pengertian Masalah

Masalah sebenarnya sudah menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam

kehidupan manusia. Masalah dipandang sebagai suatu tantangan, seperti yang

dinyatakan oleh Davis dan Simmt (2003: 140) bahwa the problems as constrasted

with the disorganized situation. Masalah tidak dapat dipandang sebagai hal yang

hanya membebani manusia saja, akan tetapi justru harus dipandang sebagai sarana

untuk memunculkan penemuanpenemuan baru. Lahirnya penemuan-penemuan

dari para ahli yang kini dinikmati manusia karena adanya suatu masalah

(Dewiyani, 2008).

Masalah juga terjadi karena adanya kesenjangan situasi saat ini dengan

situasi mendatang, atau keadaan saat ini dengan tujuan yang diinginkan

(Suharnan, 2005: 283). Suatu kesenjangan akan merupakan masalah hanya jika

seseorang tidak mempunyai aturan tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk

mengatasi kesenjangan tersebut. Jika seseorang menemukan aturan tertentu untuk

mengatasi kesenjangan yang dihadapi, maka orang tersebut dikatakan sudah dapat

menyelesaikan masalah, atau sudah mendapatkan pemecahan masalah.

Jika siswa menghadapi suatu soal matematika, maka ada beberapa hal

yang mungkin terjadi pada siswa, yaitu siswa: (a) langsung mengetahui atau

mempunyai gambaran tentang penyelesaiannya tetapi tidak berkeinginan

(berminat) untuk menyelesaikan soal itu, (b) mempunyai gambaran tentang

penyelesaiannya dan berkeinginan untuk menyelesaikannya, (c) tidak mempunyai


gambaran tentang penyelesaiannya akan tetapi berkeinginan untuk menyelesaikan

soal itu, dan (d) tidak mempunyai gambaran tentang penyelesaiannya dan tidak

berkeinginan untuk menyelesaikan soal itu.

Apabila siswa berada pada kemungkinan (c), maka dikatakan bahwa soal

itu adalah masalah bagi siswa. Jadi, agar suatu soal merupakan masalah bagi

siswa diperlukan dua syarat, yaitu: (1) siswa tidak mengetahui gambaran tentang

jawaban soal itu, dan (2) siswa berkeinginan atau berkemauan untuk

menyelesaikan soal tersebut. Berdasarkan kedua syarat tersebut dapat disimpulkan

bahwa suatu soal termasuk masalah atau tidak bagi siswa bersifat relatif terhadap

siswa itu. Suatu soal merupakan masalah bagi siswa A belum tentu merupakan

masalah bagi siswa lain yang sekelas dengan siswa A.

Soal yang bukan merupakan masalah biasanya disebut soal rutin atau

latihan. Untuk memecahkan atau menyelesaikan suatu masalah perlu kegiatan

mental (berpikir) yang lebih banyak dan kompleks dari pada kegiatan mental yang

dilakukan pada waktu menyelesaikan soal rutin. Hal ini sejalan dengan Hudoyo

(1979: 157) yang menyatakan bahwa sesuatu disebut masalah bagi peserta didik

jika: (1) pertanyaan yang dihadapkan kepada peserta didik harus dapat dimengerti

oleh peserta didik tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan

baginya untuk menjawab, dan (2) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan

prosedur rutin yang telah diketahui peserta didik.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa masalah memang sangat bergantung

kepada individu tertentu dan waktu tertentu. Artinya, suatu kesenjangan


merupakan suatu masalah bagi seseorang, tetapi bukan merupakan masalah bagi

orang lain. Bagi orang tertentu, kesenjangan pada saat ini merupakan masalah,

tetapi di saat yang lain, sudah bukan masalah lagi, karena orang tersebut sudah

segera dapat mengatasinya dengan belajar dari pengalaman yang lalu.

Mengenai masalah itu sendiri, Polya (1981: 119-120) mengklasifikasikan

menjadi 2 jenis, yaitu (1) problem to find dan (2) problem to prove, yang

penjabarannya sebagai berikut.

1. Soal mencari (problem to find), yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan

nilai atau objek tertentu yang tid.ak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi

atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari

(unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (conditions), dan data atau

informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah soal

mencari dan harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat awal

memecahkan masalah.

2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan

apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas

bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau

memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan, sedangkan

untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan tidak benar, cukup diberikan contoh

penyangkalnya sehingga pernyataan tersebut tidak benar.

b. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika


Peserta didik membutuhkan lingkungan kelas dimana mereka ditantang

untuk memecahkan masalah kehidupan dunia nyata (Maesuri, 2002). Peserta didik

dapat mengenal matematika sebagai mata pelajaran yang tidak terisolasi

melainkan dikaitkan dengan disiplin ilmu yang lain dan semua yang ada si

sekelilingnya. Menurut Gagne (Mulyasa, 2008: 111), kalau seorang peserta didik

dihadapkan pada suatu masalah, maka pada akhirnya mereka bukan hanya sekedar

memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang baru.

Dengan melihat pentingnya pemecahan masalah dalam kehidupan manusia

inilah yang mendasari mengapa pemecahan masalah menjadi sentral dalam

pembelajaran matematika di tingkat manapun. Pemecahan masalah memegang

peranan penting terutama agar pembelajaran dapat berjalan dengan fleksibel

(Mulyasa, 2008: 111). Sedangkan Gagne (Ruseffendi, 1980: 216) menyatakan

bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan

kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya. Hal ini karena problem

solving has special importance in the study of mathematics (Wilson, 1993: 57),

problem solving is the cognitive process (Someren, 1994: 8), problem solving by

analogy involves using the structure of the solution to one problem to guide the

solution to another problem (Anderson, 1985: 199), dan the desire to help

learners to become better problem solvers is a frequently expressed aim of

education, and not only of mathematical education (Orton, 1992: 93).

Pengertian sederhana dari pemecahan masalah adalah proses penerimaan

masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikannya. Polya (1981: 1)


mendefinisikan “Solving a problem means finding wau out a difficulty”

(pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan),

sedangkan Anderson (1985: 205) menyatakan the problem solving methods we

will describe heuristics (metode pemecahan masalah dapat menyelesaikan

masalah secara menyeluruh).

Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu

menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu

prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Karenanya, dapat terjadi suatu

pertanyaan menjadi masalah bagi seorang peserta didik akan menjadi soal biasa

bagi peserta didik yang lain, karena peserta didik tersebut sudah mengetahui

prosedur untuk menyelesaikannya, atau sudah mendapatkan pemecahan

masalahnya.

Identifikasi masalah merupakan tahap awal dalam pembelajaran problem

solving (Rosyada, 2007: 105). Dengan mengidentifikasi sebanyak mungkin

masalah yang terkait dengan fokus yang akan dicari dengan cara penemuan atau

kajian dan penelaahan atau penelitian yang mendalam. Karena tidak semua

masalah dapat diselesaikan, siswa diarahkan untuk memilih salah satu yang dapat

dijadikan fokus pembahasan. Setelah ditetapkan masalahnya, lalu dikaji pilihan-

pilihan strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tabel 2.1.3 Indikator pemecahan masalah Matematika

Langkah Pemecahan Poin-poin Indicator


Masalah
I Memahami 1. Cara peserta didik dalam 1. Peserta didik dapat
Masalah menerima informasi yang ada menentukan syarat cukup
pada soal (baik secara fisik, (hal-hal yang diketahui) dan
maupun yang terjadi dalam syarat perlu (hal-hal yang
proses berpikirnya) ditanyakan).
2. Cara peserta didik dalam 2. Peserta didik dapat
memilah informasi menjadi menceritakan kembali
informasi penting dan tidak masalah (soal) dengan
penting. bahasanya sendiri.
3. Cara peserta didik dalam
mengetahui kaitan antar
informasi yang ada.
4. Cara peserta didik dalam me-
nemukan informasi terpenting
yang akan menjadi kunci da-
lam menyelesaikan masalah.
5. Cara peserta didik dalam
menyimpan informasi penting
yang telah didapatkan.
6. Cara peserta didik dalam men-
ceritakan kembali informasi
yang telah didapatkan.

II Membuat 1. Cara peserta didik dalam Rencana pemecahan masalah


rencana merencanakan pemecahan peserta didik dapat digunakan
pemecahan masalah sebagi pedoman dalam
masalah menyelesaikan masalah.
2. Cara peserta didik dalam
menganalisis kecukupan data
untuk menyelesaikan soal.

3. Cara peserta didik dalam


memeriksa apakah semua
informasi penting telah
digunakan.
III Melaksanak 1. Cara peserta didik dalam 1. Peserta didik
an rencana membuat langkah-langkah pe- menggunakan
pemecahan nyelesaian secara benar. langkahlangkah secara benar.
masalah
2. Cara peserta didik dalam me- 2. Peserta didik terampil
meriksa setiap langkah penye- dalam algoritma dan
lesaian. ketepatan menjawab soal

3. Cara peserta didik dalam


memeriksa apakah setiap data
sudah digunakan, dan apakah
setiap masalah sudah ter-jawab.
IV Memeriksa 1. Cara peserta didik untuk Peserta didik melakukan
kembali memanggil kembali informasi pemeriksaan hasil jawaban
jawaban penting, agar dapat digunakan soal terhadap soal.
untuk merencanakan penyelesaian
dengan cara berbeda.

2. Cara peserta didik dalam


menggunakan informasi untuk
mengerjakan kembali soal dengan
cara yang berbeda.

Usia anak SD berada pada rentang 7–12 tahun. Berdasarkan hasil

penelitian Piaget diungkapkan bahwa perkembangan intelektual anak usia SD

berada pada tahap operasional konkrit (Suherman, dkk.,2001). Pada tahap

operasional konkrit ini siswa sudah mulai mengembangkan sistem berpikir

logisnya, namun belum mampu berpikir deduktif formal.Selain itu, siswa belum

mampu merumuskan semua alternatif jawaban yang mungkin dari sebuah

masalah.

Pembelajaran matematika di SD tentunya harus disesuaikan dengan

kebutuhan dan karakteristik siswa SD yang masih berada pada tahap operasional

konkrit.Pada tahap ini anak dapat memahami operasi (logis) dengan bantuan

benda-benda nyata, untuk memudahkan siswa dalam mempelajari materi

matematika yang baru karena walaupun mereka telah dapat mengetahui


simbolsimbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak,

maka dalam proses pembelajaran hendaknya diawali dalam konteks (situasi

nyata), termasuk benda nyata sebagai penunjang keefektifan pembelajaran yang

mengaitkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki dengan

materi baru yang akan dipelajari. Secara bertahap siswa dibimbing untuk

memahami materi matematika.

Menerapkan teori Bruner dalam pembelajaran merupakan salah satu cara

agar pengetahuan yang didapat siswa lebih bermakna, yaitu diawali dengan

memberikan situasi nyata atau benda konkrit untuk dimanipulasi oleh siswa

(enaktif), kemudian mewujudkan pengetahuan dalam bentuk gambar (ikonik)

yang menggambarkan kegiatan konkrit yang terdapat pada tahap enaktif, setelah

itu memunculkan simbol-simbol abstrak (simbolik). Tetapi penggunaan benda

konkrit bisa dihentikan bila representasi gambar sudah bisa mewakili atau

dipahami siswa, dan representasi gambar pun bisa dihentikan pada saat

representasi simbol sudah dipahami oleh siswa. Sebagai contoh, ketika

mengajarkan penjumlahan kita memerlukan benda konkrit, memunculkan gambar,

dan simbol, tetapi pada materi selanjutnya yaitu materi penjumlahan dengan

bilangan yang lebih besar atau pengurangan bisa langsung ke representasi simbol,

kecuali bila siswa memerlukannya, dan jangan sampai prosedur yang kita anggap

bisa memudahkan siswa dalam memahami suatu konsep malah mengubah konsep

itu sendiri.
Pelaksanaan pembelajaran pemecahan masalah di SD tidaklah semudah

yang dibayangkan, mungkin saja lebih sulit untuk dilaksanakan karena pada

rentang usia ini siswa belum mampu merumuskan semua alternatif jawaban yang

mungkin dari sebuah masalah, masih berpikir secara holistik, integratif, dan

konkrit, maka pembelajaran tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

karakteristik siswa, yaitu pembelajaran yang mengintegrasikan pengetahuan,

keterampilan, dan pemikiran yang kreatif serta lebih menekankan pada

pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam pemecahan masalah. Oleh

karena itu, ajarkan matematika dari hal yang konkrit menuju ke abstrak, dan

hubungkan hal yang abstrak ke dalam kehidupan sehari-harinya.Terlebih untuk

siswa SD yang merupakan masanya anak membentuk karakter dan biasa

diibaratkan seperti bingkaiyang belum terbentuk.

Salah satu pembelajaran yang bisa dilakukan yaitu dengan menerapkan

pendekatan pendidikan matematika realistik.Pendidikan matematika realistik

sangat dipengaruhi oleh ide Freudenthal yakni matematika sebagai human activity

atau suatu aktivitas manusia, bukan sekadar objek yang harus ditransfer dari guru

ke siswa (Gravemeijer, 1991). Pembelajaran matematika berdasarkan pendekatan

pendidikan matematika realistik merupakan pembelajaran yang bertitik tolak dari

hal-hal yang nyata atau pernah dialami siswa, menekankan keterampilan proses

yaitu memberikan kesempatan atau menciptakan peluang sehingga siswa aktif

bermatematika (Sabandar, 2001).Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Lakoff dan

Núñez (2000:365) bahwa matematika manusia adalah diwujudkan,


makadidasarkan pada pengalaman langsung di dunia.Oleh karena itu,

pembelajaran matematika hendaknya menggambarkan aktivitas kehidupan

manusia. Matematika tidak hanya berisi prosedur dan algoritma yang harus

dipelajari siswa, tetapi suatu pembelajaran yang dapat dipelajari dengan cara

mengerjakannya dan digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan.

Sebagai suatu pendekatan pembelajaran, pendidikan matematika realistik

memiliki prinsip dan karakteristik. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1)

penemuan terbimbing dan matematisasi berkelanjutan; dan 2) fenomenologi

didaktik (Hadi, 2009). Penemuan terbimbing bisa berjalan dengan bantuan guru

sebagai fasilitator sehingga siswa bisa menemukan kembali.Hal ini sejalan dengan

teori dari Vigotsky tentang zona perkembangan proksimal.Matematisasi

berkelanjutan berarti dimulai dari matematisasi horizontal menuju ke

matematisasi vertikal.Matematisasi horisontal berproses mulai dari masalah

realitas menuju ke lambang matematika sedangkan matematisasi vertikal

merupakan proses yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri. Setelah

diberikan permasalahan sebagai titik awal, siswa bereksplorasi menemukan

polapola untuk menemukan strategi penyelesaian masalah dengan arahan dari

guru.

Sedangkan karakteristiknya, antara lain: 1) penggunaan konteks dalam

eksplorasi fenomenologis; 2) penggunaan model untuk mengkonstruksi konsep


(matematisasi horizontal dan vertikal); 3) pengunaan kreasi dan konstribusi siswa;

4) sifat aktif dan interaktif dalam proses pembelajaran; 5) kesalingterkaitan antara

aspek-aspek atau unit-unit matematika (intertwinement) (Hadi, 2009). Prinsip dan

karekteristik dari pendekatan pendidikan matematika realistik tersebut merupakan

pedoman untuk penyusunan bahan ajar dan proses pelaksanaan pembelajaran di

kelas.

Penggunaan permasalahan kontekstual di awal pembelajaran digunakan

untuk membangun konsep.Permasalahan atau soal bisa juga berasal dari siswa.

Guru harus bisa memastikan kalau soal yang diberikan kepada siswa dan

diselesaikan itu bermanfaat, sehingga soal harus didesain dengan benar. Sering

kali kita kesulitan dalam membedakan konteks dalam pendekatan kontekstual dan

pendekatan realistik.Dalam pembelajaran dengan pendekatan pendidikan

matematika realistik, soal kontekstual tidak hanya kontekstual tapi harus

benarbenar realistik. Penggunaan permasalahan kontekstual dipakai juga dalam

pembelajaran biasa, perbedaannya dengan pendekatan realistik adalah pada

pendekatan realistik permasalahan kontekstual digunakan sebagai titik awal untuk

membangun pemahaman konsep dan penerapan dari konsep matematika itu

sendiri, serta penyelesaian masalah bersifat terbuka karena siswa diarahkan untuk

menemukan sendiri strategi penyelesaiannya, sehingga solusi dari siswa akan

berbeda-beda. Sedangkan pada pembelajaran biasa penggunaan permasalahan

kontekstual diberikan di akhir pembelajaran setelah guru memberi contoh dan

menjelaskan prosedur dan algoritma sebagai suatu bentuk penerapan dari konsep
yang telah dipelajari, dan penyelesaian masalahnya yang menekankan pada

prosedur dan algoritma yang bersifat terbatas karena siswa hanya akan

menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah diajarkan oleh guru kepadanya.

2.2 Penelitian Relavan

Dalam penyusunan penelitian yang berjudul “ pengembangan

pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem solving dalam

meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah matematika kelas V “

Penelitian ini melakukan studi pustaka melalui hasil-hasil penelitian yang

relavan . adapun penelitian yang dikaji oleh penelitian sebagai berikut :

No Judul Penelitian Hasil Penelitian Peneliti

1. Pendekatan pendekatan pembelajaran matematika Joko

Kontekstual Dalam secara konvensional yang menuntut Sulianto

pembelajaran siswa menghafal aksioma, definisi, (2008)

matematika untuk teorema, serta prosedur penggunaan

meningkatkan teorema tersebut, sudah saatnya

berpikir kristis diminimalkan, dan diganti dengan

pada siswa sekolah strategi dan pendekatan yang dapat

dasar . mengarahkan siswa menjadi aktif,

kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Dengan mengimplementasikan

Pendekatan Kontekstual dalam

Pembelajaran Matematika Sekolah


Dasar untuk Meningkatkan berpikir

Kritis sebagai bahan pendalaman

materi yang dipandang cukup

strategis dalam meningkatkan

kualitas professional guru

matematika.

2. Pengaruh Berdasarkan hasil penelitian yang Ratri

penerapan diperoleh setelah melakukan analisis Isharyadi

pendekatan dan pembahasan terhadap masalah (2018)

kontekstual yang telah dikemukakan dalam

terhadap penelitian ini, dapat diambil

peningkatan kesimpulan bahwa peningkatan

kemampuan kemampuan pemecahan masalah

pemecahan matematis siswa yang mendapat

masalah pembelajaran dengan pendekatan

matematika siswa . kontekstual lebih baik daripada siswa

yang mendapat pembelajaran dengan

pendekatan saintifik. Dengan besar

pengaruh yang diberikan pendekatan

kontekstual adalah sebesar 70 % lebih

tinggi dibandingkan pengaruh yang

diberikan pembelajaran saintifik yaitu

53%. Adapun saran bagi peneliti


yang ingin menerapkan pendekatan

kontekstual, hendaknya memberikan

porsi waktu yang lebih pada tahap

diskusi kelas dan presentasi, karena

pada tahap tersebut terjadi

penyamaan persepsi yang

membutuhkan banyak waktu. Peneliti

selanjutnya dapat menelaah

kemampuan pemecahan masalah

menggunakan alternatif pembelajaran

lainnya.

3. Penerapan model Berdasarkan hasil penelitian yang Novi Dian

problem solving telah dilaksanakan, dapat Juniarti,

untuk disimpulkan bahwa terjadi Ndara

meningkatkan hasil peningkatan terhadap hasil belajar Tanggu

belajar matematika siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil Renda

. evaluasi siklus I dan II yang (2018)

diperoleh siswa, yakni dengan

perolehan nilai rata-rata 73,69 pada

siklus I, kemudian mengalami

peningkatan menjadi 80,22 pada

siklus II. Begitu pun pada ketuntasan

belajar siswa secara klasikal,


mengalami peningkatan dari 73,31%

pada siklus 1 menjadi 84,78% pada

siklus 2. Berdasarkan hasil tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa

penerapan model Problem Solving

dapat meningkatkan hasil belajar

Matematika siswa SDN 4 Kampug

Baru tahun pelajaran 2017/ 2018.

2.3 Kerangka Berpikir

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang

menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran. Pembelajaran ini berfokus pada

pengalaman nyata dan konteks kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran

kontekstual, siswa diajak untuk mencari solusi masalah yang dihadapi di dalam

konteks nyata.

Konsep Problem Solving Problem solving adalah kemampuan untuk

menyelesaikan suatu masalah dengan mengidentifikasi masalah, memahami

masalah, mencari alternatif solusi, memilih solusi yang tepat, dan mengevaluasi

solusi yang diambil. Pembelajaran problem solving akan mengembangkan

kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif siswa.


Integrasi Pembelajaran Kontekstual dan Problem Solving dalam

Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika dengan pendekatan problem

solving akan membantu siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

Integrasi pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika akan

membuat siswa lebih memahami dan terhubung dengan dunia nyata sehingga

akan meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa. Dalam pembelajaran

matematika, siswa akan belajar mengidentifikasi masalah matematika yang

dihadapi, memahami masalah matematika, mencari alternatif solusi, memilih

solusi yang tepat, dan mengevaluasi solusi yang diambil.

Langkah-langkah Pengembangan Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan

Problem Solving

a. Pengembangan materi ajar Materi ajar harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

kemampuan siswa. Materi ajar harus mengacu pada kehidupan sehari-hari siswa

dan dikaitkan dengan masalah-masalah nyata di dalam kehidupan siswa.

b. Pembelajaran aktif Pembelajaran aktif dapat dilakukan dengan menggunakan

pendekatan cooperative learning atau collaborative learning. Metode ini akan

membantu siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam menyelesaikan

masalah matematika.

c. Penggunaan teknologi Penggunaan teknologi dapat meningkatkan kualitas

pembelajaran dan memudahkan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika.

Teknologi seperti aplikasi matematika atau multimedia dapat digunakan untuk

membantu siswa memahami konsep matematika dengan lebih baik.


d. Evaluasi pembelajaran Evaluasi pembelajaran dapat dilakukan dengan

menggunakan berbagai macam alat evaluasi seperti tes, observasi, dan portofolio.

Evaluasi ini akan membantu guru dalam mengevaluasi hasil pembelajaran dan

memberikan umpan balik kepada siswa.

Dengan mengembangkan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem

solving dalam pembelajaran matematika, siswa diharapkan dapat meningkatkan

kemampuan belajar pemecahan masalah matematika kelas V.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan atau Ressearch

and Development ( R&D) . menurut Anik Ghufron (2007: 2), penelitian dan

pengembangan adalah model yang dipakai untuk meningkatkan mutu pendidikan

dan pembelajaran yang mampu mengembangkan berbagai produk pembelajaran.

Sedangkan menurut Sugiyono (2009: 297), penelitian pengembangan atau

research and development (R&D) adalah aktifitas riset dasar untuk mendapatkan

informasi kebutuhan pengguna (needs assessment), kemudian dilanjutkan

kegiatan pengembangan (development) untuk menghasilkan produk dan mengkaji

keefektifan produk tersebut Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa penelitian pengembangan atau research and development (R&D) adalah

model penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk yang diawali

dengan riset kebutuhan kemudian dilakukan pengembangan untuk menghasilkan

sebuah produk yang telah teruji. Hasil produk pengembangan antara lain: media,

materi pembelajaran, dan sistem pembelajaran. Model pengembangan yang

dipakai pada penelitian ini adalah model pengembangan (development model). Model

ini bertujuan untuk mengembangkan suatu produk atau inovasi dengan

menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (R&D) yang sistematis


dan berkelanjutan. Penelitian ini juga memfokuskan pada proses pengembangan

pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem solving sebagai suatu

produk atau inovasi baru dalam bidang pendidikan matematika, yang diharapkan

dapat meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah siswa kelas V.

Selain itu, model Development Research juga memiliki tujuan untuk menguji dan

mengevaluasi efektivitas produk atau inovasi yang telah dikembangkan tersebut

melalui tahap-tahap evaluasi dan pengujian yang sistematis dan berkelanjutan.

3.2 Prosedur penelitian

Berikut adalah prosedur penelitian Research and Development (R&D)

pada pengembangan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem

solving dalam meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah

matematika:

1. Tahap Penelitian Pendahuluan

a. Identifikasi masalah dalam pembelajaran matematika,

khususnya dalam kemampuan pemecahan masalah pada siswa

kelas V.

b. Studi literatur terkait teori-teori dan konsep-konsep penting

yang terkait dengan pembelajaran kontekstual dan pendekatan

problem solving.

c. Identifikasi tujuan penelitian dan manfaat yang diharapkan dari

penelitian ini.
2. Tahap Perencanaan

a. Rancang desain pengembangan pembelajaran kontekstual

dengan pendekatan problem solving.

b. Identifikasi materi, topik, dan strategi pembelajaran yang sesuai

dengan tujuan penelitian.

c. Identifikasi kriteria evaluasi dan instrumen penilaian yang akan

digunakan.

3. Tahap Pengembangan

a. Implementasikan rancangan pengembangan pembelajaran

kontekstual dengan pendekatan problem solving.

b. Lakukan validasi dan revisi produk pembelajaran yang telah

dikembangkan berdasarkan masukan dari ahli dan pengguna.

4. Tahap Evaluasi Awal

a. Evaluasi produk pembelajaran melalui uji coba awal di kelas V.

b. Analisis data awal dan penilaian efektivitas produk

pembelajaran berdasarkan kriteria evaluasi dan instrumen penilaian

yang telah ditentukan.

c. Identifikasi kelemahan dan perbaikan yang perlu dilakukan.

5. Tahap Revisi Produk


a. Lakukan perbaikan dan revisi pada produk pembelajaran

berdasarkan hasil evaluasi awal.

6. Tahap Evaluasi Lanjutan

a. Implementasikan produk pembelajaran yang telah direvisi pada

kelas V.

b. Lakukan evaluasi lanjutan dan analisis data untuk menilai

efektivitas produk pembelajaran.

c. Identifikasi kelemahan dan perbaikan yang perlu dilakukan.

7. Tahap Diseminasi

a. Publikasikan hasil penelitian dan produk pembelajaran melalui

publikasi ilmiah dan seminar.

b. Distribusikan produk pembelajaran ke sekolah dan guru sebagai

alternatif pembelajaran matematika.

Dalam penelitian ini, tahap-tahap pengembangan dan evaluasi akan

dilakukan secara iteratif dan berkelanjutan untuk memperbaiki dan meningkatkan

kualitas produk pembelajaran. Selain itu, penelitian ini juga akan melibatkan ahli

dan pengguna sebagai sumber masukan yang akan mempengaruhi hasil

pengembangan produk pembelajaran.


3.3 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini bertempat di SDN 104203 Bandar Khalipah yang bertempat

di Jl Puskesmas kecamatan percut sei tuan. Penelitian ini akan dilaksanakan pada

semester genap T.A 2022/2023.

3.4 Subjek dan objek penelitian

3.4.1 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini merupakan 1 kelas yakni kelas V di SDN

104203 bandar khalipah dengan jumlah keseluruan siswa 38 murid yang terdiri

dari 20 perempuan dan 18 siswa laki-laki.

3.4.2 Objek penelitian

Objek penelitian adalah pengembangan pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan problem sholving untuk meningkatkan kemampuan belajar

pemecahan masalah matematika kelas V SDN 104203 bandar khalipah.

3.5 Instrumen dan Teknik pengumpulan data

Untuk pengembangan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan

problem solving dalam meningkatkan kemampuan belajar pemecahan masalah

matematika kelas V, terdapat beberapa instrumen dan teknik pengumpulan data

yang dapat digunakan dalam penelitian ini , antara lain:


2. Observasi:

Observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung aktivitas siswa

ketika belajar dan mengerjakan soal matematika. Observasi dapat mencatat

bagaimana siswa berpikir dan strategi apa yang digunakan dalam menyelesaikan

soal.

3. Tes:

Tes dapat digunakan untuk mengukur kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika siswa kelas V sebelum dan sesudah diterapkan pembelajaran

kontekstual dengan pendekatan problem solving. Dengan membandingkan hasil

tes sebelum dan sesudah pembelajaran, dapat diketahui sejauh mana kemampuan

belajar pemecahan masalah matematika siswa kelas V meningkat.

4. Wawancara:

Wawancara dapat digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih

mendalam tentang pandangan siswa terhadap matematika, kesulitan yang

dihadapi, serta pendapat siswa tentang pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan problem solving.

5. Angket

Angket dapat digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran kontekstual

dengan pendekatan problem solving yang telah diterapkan. Angket dapat

menanyakan tentang efektivitas pembelajaran, kelebihan dan kekurangan

pembelajaran, serta saran perbaikan dari siswa.


3.6 Teknik Analisis data

Untuk menganalisis data pengembangan pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan problem solving dalam meningkatkan kemampuan belajar pemecahan

masalah matematika kelas V, terdapat beberapa teknik analisis data yang dapat

digunakan, antara lain:

1. Analisis deskriptif: Analisis deskriptif dapat digunakan untuk memberikan

gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis ini dapat

dilakukan dengan menghitung mean, median, modus, standar deviasi, dan

persentil dari data.

2. Analisis statistik inferensial: Analisis statistik inferensial dapat digunakan

untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara

kemampuan belajar pemecahan masalah matematika siswa kelas V

sebelum dan sesudah diterapkan pembelajaran kontekstual dengan

pendekatan problem solving. Analisis ini dapat dilakukan dengan uji-t atau

uji ANOVA.

3. Analisis kualitatif: Analisis kualitatif dapat digunakan untuk

menginterpretasikan data kualitatif seperti hasil observasi, wawancara, dan

angket. Analisis kualitatif dapat dilakukan dengan melakukan pengkodean

data, penyusunan tema, dan melakukan interpretasi terhadap data yang

telah dikumpulkan.

4. Analisis triangulasi: Analisis triangulasi dapat digunakan untuk

memvalidasi hasil penelitian dengan membandingkan data dari beberapa

sumber yang berbeda. Analisis triangulasi dapat dilakukan dengan


membandingkan hasil tes, hasil observasi, hasil wawancara, dan hasil

angket.

5. Analisis perbandingan: Analisis perbandingan dapat digunakan untuk

membandingkan hasil penelitian dengan hasil penelitian sejenis yang telah

dilakukan oleh peneliti lain. Analisis perbandingan dapat dilakukan

dengan membandingkan teori yang digunakan, sampel yang diteliti, dan

hasil penelitian yang diperoleh.


DAFTAR PUSTAKA

Arywiantari, dkk. 2015. Pengembangan Multimedia Interaktif Model 4d

Pada Pembelajaran Ipa Di SMP Negeri 3 Singaraja. e-Journal

Edutech Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Teknologi

Pendidikan (Vol: 3 No: 1 Tahun: 2015).

Chotimah, C., & Fathurrohman, M. (2018). Paradigma Baru Sistem


Pembelajaran dari Teori, Metode, Model, Media, Hingga Evaluasi
Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Gamal,T. (2022, mei ). Model pembelajaran problem solving. diakses dari

https://serupa.id/model-pembelajaran-problem-solving/

Gravemeijer, K.P.E. (1991). RealisticMathematics Education in Primary

School: An Instruction-theoretical on the use of manipulatives.

Culemborg: Technipress.

Hadi, S. (2009).Standar PMRI untuk Penjamin Mutu.Bandung: IP-PMRI.

https://www.kompasiana.com/

birgitta56828/61572b0c28817573c8542d52/zona-perkembangan-

proksimal-menurut-teori-vygotsky

Huda, Miftahul. (2015). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-


Isu Metodis dan Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kadir, A. (2013). Konsep pembelajaran kontekstual di sekolah. Dinamika


ilmu.
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) Dan Sukses dalam Sertifikasi Guru,

Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007

Maesari, C., Marta, R., & Yusnira, Y. (2019). Penerapan Model

Pembelajaran Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar. Journal on

Teacher Education, 1(1), 92-102.

Muslich, Masnur., Pembelajaran Berbasis Kompetensi Dan Kontekstual.

Jakarta : Bumi Aksara, 2009

Sabandar, J. (2001). Aspek Konstektual dalam Soal Matematika dalam

Realistics Mathematics Education.Makalah pada Seminar UPI

Bandung : tidak dipublikasikan.

Sakdiahwati, Makalah: ”Penerapan Model Sinektik Dalam Meningkatkan

Kreativitas Menulis (Studi Kuasi Eksperimen dalam Pembelajaran

Menulis pada Siswa Kelas I SMPN di Kota Palembang)”,dalam

http://www.puslitjaknov.depdiknas.go.id.tt

Sani, R.A. (2019). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina (2016). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan ( Cetakan ke 12). Jakarta: Kencana Prenada Media.

Shoimin, A. (2017). 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum


2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sosialisasi KTSP oleh

Depdiknas,ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_smp/16.ppt. tt

Suherman, dkk.(2001). Strategi pembelajaran matematika kontemporer.

Bandung: JICA.

Suyatno, Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik

Pembelajaran dalam http://www.klubguru.com, 03 Maret 2008.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta:

Prestasi Pustaka Publisher, 2007

Anda mungkin juga menyukai