Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha sadar yang bertujuan untuk mendewasakan

dan menanamkan nilai-nilai baik bagi pelajar. Dunia pendidikan memegang

peranan penting dalam pengembangan kualitas, hal ini terlihat dari usaha

pemerintah yang telah berupaya melaksanakan berbagai cara untuk meningkatkan

kualitas pendidikan (Tanjung, 2018). Kurikulum ialah sebuah perangkat yang

mengalami kenaikan kualitas pendidikan sebagaimana tujuan pendidikan

dianggap tercapai. Dari Pendidikan kurikulum mendapat perbaikan, upaya dalam

meningkat pendidikan mutu yaitu melalui penyempurnaan kurikulum. Kurikulum

yang digunakan sekarang adalah kurikulum 2013 yang pada hakikatnya

merupakan paradigma baru dalam pendidikan yang diharapkan akan membawa

perbaikan di dunia pendidikan (Rugaya, 2018).

Kurikulum 2013 mengutamakan pendidikan, pemahaman, skill

berkarakter. Menuntut siswa ditanamkan serta dilandasi terapan model

pembelajaran karakteristik pada siswadimana mendapkan rana tiga ialah

ketrampilan, sikap, pengetahuan. Pembelajaran pada kurikulum 2013 setiap

masalah diperoleh informasi serta kebiutuhan yang relevan dengan masalah nyata

(Janah & Widodo, 2013).

Lingkup pembelajaran kimia dalam kurikulum 2013 digunakan pembatas

dalam menggunakan rumus penurunan, proses kegiatan dikembangkan

berdasarkan produk sekumpulan hukum, prinsip, teori, dan fakta. Kimia adalah

1
ilmu yang mencari jawaban atas apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam

yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan

energetika zat (Wiyarsi, 2012).

Larutan elektrolit dan non elektrolit adalah materi yang diajarkan pada

semester II/genap. SMA Plus Muhammadiyah Merauke pengajaran kimia

terutama di kelas X ada beberapa persoalan yang ditemui peneliti dalam observasi

yang dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kimia

di SMA Plus Muhammadiyah Merauke, terdapat beberapa permasalahan yang

ditemukan pada saat proses pembelajaran diantaranya adalah siswa kurang aktif

dalam kegiatan belajar, konsentrasi siswa sangat rendah sehingga pembelajaran

tidak dapat diterima secara maksimal, pola pengajar kimia dalam ruangan, sedang

berfokus terhadap guru, siswa kurang fokus dan cenderung malu bertanya jika

kurang paham dengan penjelasan dari guru, keaktifan siswa di kelas kurang, siswa

lebih memilih cerita dengan teman sebangkunya. Pada saat pembelajaran

berlangsung di kelas terdapat siswa yang enggan menyelesaikan soal latihan yang

di berikan, kurangnya pemahaman siswa dalam berkonsentrasi, sehingga bingung

pada saat mengerjakan soal, kurangnya pemanfaatan model pembelajaran, serta di

sekolah hanya menerapkan metode ceramah, dan keterbatasan sumber belajar

siswa yang menjadi kendala dalam menjalankan setiap aktivitas belajar.

PBL adalah model pembelajaran tentunya harus dijadikan sebagai

alternatif serta membantu dan memudahkan siswa memecahkan masalahnya

dalam pembelajaran kimia dan terlatih dalam memecahkan masalah. Model

pembelajaran PBL menyajikan masalah yang kontekstual dan merangsang siswa

2
dalam belajar. Pembelajaran berbasis masalah yang dilaksanakan di dalam kelas

bahwa siswa dibentuk kelompok serta dituntun, masalah yang nyata dapat

dipecahkan/diselesaikan (Jayadiningrat & Ati, 2018). Oleh karena itu model

pembelajaran PBL sangat cocok digunakan karena berpusat pada siswa (Suryani,

Hairida, & Hadiarti, 2017).

Permasalahan pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit telah

banyak diteliti sebelumnya, diantaranya menyatakan bahwa rendahnya

kemampuan pemecahan masalah materi kimia pada larutan elektrolit dan non

elektrolit siswa (Septiwi Tri Pusparani, Tonih Feronika, (2018). Hal tersebut

dikarenakan sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan saat di berikan soal-

soal pemecahan masalah pada larutan elektrolit dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep larutan elektrolit berkaitan dengan lingkungan sekitar siswa yang

merupakan salah satu masalah yang perlu penyelesaian, namun siswa

menganggap bahwa materi larutan elektrolit sifatnya hafalan. Permasalahan

dalam materi larutan elektrolit, salah satunya dengan mengadakan perbaikan

dalam proses pembelajaran (Rusmina Wati, Rusmansyah, 2014).

Model Problem based learning (PBL) adalah suatu pembelajaran yang

menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar

tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah (D. D. Sari,

2012). Model PBL dapat simpulkan masalah, diperkirakan jawaban, analisis

masalah dan merangsang siswa. Penguasaan materi larutan elektrolit dan non

elektrolit tentunya diperlukan beberapa kemampuan, suatu kemampuan masalah

dipecahkan (Anwar, 2019).

3
Kemampuan pemecahan masalah adalah setiap orang dalam kehidupan

sehari-hari terus mendapatkan berbagai macam masalah karena itulah salah satu

kemampuan penting yang harus dimiliki siswa. Kemampuan pemecahan masalah

yang dihadapinya membuat siswa memiliki pemikiran tinggi dalam menemukan

solusi setiap permasalahan. Kemampuan pemecahan masalah yang tinggi

disebabkan karena pembelajaran berpusat pada siswa dan siswa diminta untuk

mencari jawaban atas pemasalahan yang diberikan, sehingga siswa bereksplorasi

lebih dalam memecahkan permasalahan (Yustianingsih, Syarifuddin, & Yerizon,

2017). Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah adalah menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (Sumiantari,

Suardana, & Selamet, 2019).

Penelitian-penelitian terdahulu pada materi larutan elektrolit dan non

elektrolit telah banyak dilakukan diantaranya, (1) (Ismulyati, 2017) yang

membahas tentang penerapan model pembelajaran Problem Based Learning

(PBL) berbasis lingkungan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi

larutan elektrolit dan non. (2) (Rusmina Wati, Rusmansyah, 2014) yang

membahas tentang penggunaan model Problem Based Learning pada materi

larutan elektrolit dan non elektrolit, untuk meningkatkan minat belajar siswa

dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran kimia.

Fokus Penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning) terhadap kemampuan pemecahan masalah,

model PBL digunakan untuk mengetahui dan di sekolah ditingkatkan pecahkan

masalah. Masalh mampu dipecahkan dapat dilihat hasil belajar siswa. Hal tersebut

4
penting karena menjadi salah satu solusi untuk guru, dalam pembelajaran agar

menjadi siswa yang lebih terlibat aktif sehingga mampu meningkatkan kualitas

pembelajaran kimia dikelas (Hariyanto, 2011).

PBL ialah digunakan masalah fokus dalam pembelajaran kontekstual.

Kemampuan ditingkatkan dengan analisis pada keuntungan dari penggunaan PBL

serta sebuah pembelajara (Susilawati,Jamaludin, 2018).

Hal itu sesuai sebuah penelitian oleh (Wafik Khoiri et al, 2013),

didapatkan hasil bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan

pembelajaran model problem based learning berbantuan bmultimedia memiliki

hasil yang lebih baik. Kesimpulannya adalah jika kemampuan berpikir kreatif

siswa semakin tinggi, maka kemampuan pemecahan masalah akan semakin

tinggi.

Dengan menggunakan PBL bisa dikatakan sebuah pendekatan

instruksional yang menggunakan ciri khas problem. Pembelajar melakukan

investigasi terhadap problem yang disajikan dan pada akhirnya akan menemukan

sebuah penyelesaian kasus. PBL bisa juga diartikan sebagai sebuah proses inkuiri

yang menyelesaikan pertanyaan, keingintahuan, keraguan, dan ketidaktentuan

mengenai fenomena kompleks dalam hidup (Rerung, Sinon, & Widyaningsih,

2017).

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, maka peneliti

melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Problem Based

Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa pada materi

pokok larutan elektrolit dan non elektrolit di SMA Plus Muhammadiyah”.

5
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat Pengaruh

Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Pemecahan

Masalah Siswa?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah “Untuk Mengetahui Pengaruh Model

Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Siswa”.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan masukan dalam

mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran kimia materi

larutan elektrolit dan non elektrolit.

2. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah siswa dan menumbuhkan kreatifitas guru dalam

pembelajaran kimia dengan digunakan model bervariasi untuk hasil belajar siswa

yang meningkat.

3. Bagi siswa

Meningkatkan hasil kemampuan pemecahan masalah siswa dan membuat

suasana belajar menyenangkan agar siswa tidak jenuh dalam proses pembelajaran.

6
4. Bagi peneliti

Pengetahuan dan pengalaman diberikan langsung untuk peneliti pada saat

pembelajaran kimia.

7
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Pengertian Belajar
Belajar ialah proses perbedaan yang terdapat pada perilaku individu serta

perbedaan yang ditunjukkan sesuai bentuk pengembangan jumlah perilaku dan

karakteristik seperti pengembangan daya piker, pengetahuan, sikap dan

keterampilan-keterampilan (Dimyati &Mudjiono, 2013). Belajar adalah proses

yang kompleks dan unik atau khusus artinya, seseorang yang belajar mengaitkan

segala aspek-aspek kepribadiannya, baik itu fisik maupun mental dan setiap orang

memunculkan perilaku belajar yang berbeda (Ekayani, 2017). Belajar adalah

proses perubahan yang dimiliki siswa secara individu dalam berbagai bentuk

aspek kepribadiannya.

Belajar ialah proses cara siswa melakukan aktivitas misalnya mengikuti

ujian, menyiapkan dan mengikuti pelajaran. Karakteristik ditentukan hasil belajar

akan diperoleh. Belajar akan menghasilkan hasil yang baik, sebaliknya buruk

akan dihasilkan yang buruk atau kurang baik dan gagal dalam belajar (Mappeasse,

2009).

1. Model Problem Based Learning (PBL)

a. Pengertian model problem based learning (PBL)

PBL ialah disimpulkan sebuah masalah di perkirakan jawaban, data

dicari, analisis data serta model yang dapat digunakan untuk mengatasi

permasalahan tersebut (Wardhani & Sunarno, 2012).

8
Cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa bisa

melalui proses pembelajaran yang tidak menekankan siswa untuk terus

menghafal, tetapi membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir

kritis dengan cara memberikan pengalaman-pengalaman bermakna ketika

pembelajaran berlangsung. Salah satu cara yang bisa mendorong siswa untuk

berpikir kritis yaitu dengan menggunakan model pembelajaran berdasarkan

masalah (Hasanah et al., n.d.).

Model problem based learning (PBL) adalah pembelajaran yang

memiliki esensi berupa penyuguhan berbagai masalah yang identik dan

bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai sarana untuk

melakukan investigasi dan penyelidikan. Di awal pembelajaran siswa diberi

permasalahan terlebih dahulu selanjutnya masalah tersebut diinvestigasi dan

dianalisis untuk dicari solusinya. Peran guru dalam pembelajaran adalah

memberikan berbagai masalah, pertanyaan, dan memberikan fasilitas terhadap

penyelidikan siswa (Rerung et al., 2017).

Model Problem based learning (PBL) adalah pengajaran yang

bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks pada siswa dalam

belajar berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, dan memperoleh

pengetahuan. Pembelajaran berbasis masalah/model Problem based learning

(PBL) digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi

berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar (Anwar,

2019).

9
Model Problem based learning (PBL) merupakan belajar mengajar

untuk mempunyai harapan tinggi dari kompetensi profesional lulusan yang

dihasilkan oleh program tersebut. Siswa yang lulus sekolah berbasis masalah,

misalnya, diharapkan lebih terampil dalam komunikasi antar pribadi, dianggap

sebagai pemecah masalah yang lebih baik dan lebih siap untuk belajar mandiri

(Rerung et al., 2017). Harapan ini didasarkan pada karakteristik khusus PBL

yaitu siswa berkolaborasi dalam kelompok kecil, pembelajaran mereka

berpusat pada masalah yang relevan dengan bidang studi mereka, dan mereka

menghabiskan banyak waktu untuk belajar mandiri (Schmidt, Vermeulen, &

Van Der Molen, 2006).

Berdasarkan uraian tersebut dapat dituliskan bahwa sintaks model

pembelajaran PBL dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran PBL


Langkah-langkah Aktivitasi Guru Aktivitas Siswa
Pembelajaran
Fase I  Guru memeriksa kesiapan belajar  Siswa menyiapkan buku
(menyampaikan tujuan, dan mengecek kehadiran siswa. dan alat tulis.
memotivasi siswa dan  Guru menjelaskan tujuan  Siswa mendengar
melakukan orientasi pembelajaran penjelasan guru.
masalah kepada siswa)  Guru mengajukan fenomena atau  Siswa menanggapi
cerita untuk memunculkan fenomena dan cerita
masalah. disampaikan.
 Guru memotivasi siswa untuk  Siswa mendengarkan
terlibat dalam pemecahan penjelasan guru.
masalah.
Fase II  Guru membagi siswa dalam  Siswa mencari teman
(mengorganisasi siswa kelompok kecil (4-5 orang). kelompok.
untuk belajar)  Guru siswa dibantu organisasikan  Siswa menganalisis

10
tugas belajar masing-masing masalah dan memilih
siswa dihubungkan dengan cara untuk menyelesaikan
pemecahan masalah. permasalahan.
 Guru bertanya mengenai  Siswa menanggapi
permasalahan yang muncul pertanyaan yang
dengan teori yang ada dalam diberikan guru.
buku.
Fase III  Guru memotivasi siswa untuk  Siswa mengumpulkan
(mendukung kelompok mengumpulkan informasi dan informasi mengenai
investigasi) melaksanakan eksperimen, dan pemasalahan dari
mencari penjelasan dan solusi sumber-sumber lain.
untuk memecahkan masalah.  Siswa melakukan
tindakan untuk
memecahkan masalah.
Fase IV  Guru siswa dibantu untuk  Siswa mengembangkan
(mengembangkan dan mengembangkan dan dan menyimpulkan hasil
menyimpulkan hasil menyimpulkan yang telah belajar kelompok dan
diskusi kelompok) dilakukan dengan hasil diskusi disajikan dengan baik.
kelompok.
Fase V  Guru membantu siswa untuk  Siswa menyiapkan hasil
(menganalisis dan merencanakan dan menyiapkan diskusi kelompok berupa
mengevaluasi serta hasil diskusi kelompok yang akan laporan yang akan
menyampaikan proses disampaikan di dalam kelas. disampaikan di depan
penyelesaian masalah di kelas.
depan kelas
(Shofiyah & Wulandari, 2018)

b. Ciri-ciri model problem based learning (PBL)

Model pembelajaran berbasis masalah ciri dimiliki dalam berbagai

pengembangan yaitu:

- Didunia nyata digunakan masalah


11
- Persoalan diselesaikan dengan pusat pembelajaran

- Siswa menentukan tujuan sendiri

- Fasilitator adalah guru. Informasi berbentuk luas dengan relevan pada tujuan yang

menarik secara konsisten dalam dimensi kemanusiaan (Hughes, 2008).

c. Kelebihan dan kekurangan model problem based learning (PBL)

 Kelebihan strategi pembelajaran dalam masalah ialah sebagai berikut:

- Siswa sangat memahami konsep yang diajarkan, karena mereka sendiri yang

temukan konsep tersebut.

- Siswa dituntut keterampilan berpikir tinggi dan aktif pecahkan masalah.

- Siswa memiliki pembelajaran bermakna dan pengetahuan tertanam berdasarkan

skemata yang dimiliki siswa

- Ketertarikan siswa pada sebuah hal yang dipelajari untuk motivasi meningkat

dengan manfaat yang dirasakan dalam pembelajaran karena dapat menyelesaikan

suatu masalah.

- Siswa sangat dewasa dan mandiri, bisa memberikan sikap positif serta pendapat

orang lain diterima.

- Ketuntasan belajar yang dicapai siswa sangat diharapkan dengan saling

berinteraksi terhadap teman yang lain dalam sebuah belajar kelompok (Hariyanto,

2011).

 Kelemahan model problem based learning (PBL)

Kekurangan model pembelajaran problem based learning

- Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan

masalah.

12
- Kesulitan memecahkan persoalan manakala siswa tidak memiliki minat atau

tidak memiliki kepercayaan bahwa masalah tersebut bisa dipecahkan.

- Aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru

(Veronica, Swistoro, & Hamdani, 2018)

2. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan pemecahan masalah yaitu kimia dalam pembelajaran suatu

kemampuan menjadi perhatian, diterapkan mampunya masalah dipecahkan untuk

dihadapi ke nyata kehidupan karena pada pengetahuan memiliki tujuan

pendidikan (Yustianingsih et al., 2017).

Kemampuan pemecahan masalah dalam memahami dan konsep

diterapkan yang dipelajari siswa untuk pengalaman yang diberikan langsung serta

mampu dalam mengkontruksi. Hal ini pada proses pembelajaran kimia,

kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan maka siswa mampu

memecahkan masalah menjadi lebih baik (Sumiantari et al., 2019).

Kenyataannya sampai saat sekarang di lapangan masih ditemukan

kemampuan pemecahan masalah kimia siswa yang belum tercapai secara optimal

yang terdapat di SMA khususnya dalam memahami permasalahan yang

berhubungan dengan dunia nyata. Selain itu, dengan aktivitas siswa dalam

mengikuti pelajaran kimia dikelas masih terlihat belum mendukung proses

pembelajaran kimia (Yustianingsih et al., 2017).

Keberhasilan dalam belajar kimia, selain dipengaruhi oleh model

pembelajaran, juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal dalam proses

13
pembelajaran. Salah satu faktor internal yang diperlukan dalam pembelajaran

kimia umum adalah kemampuan berpikir secara matematis. Kemampuan berpikir

secara matematis sangat diperlukan dalam studi kimia, terutama pada materi yang

sifat perhitungannya biasa dalam mata pelajaran kimia umum (Sugiharti, Hamid

K., & Mukhtar, 2019).

Pendekatan PBL sepertinya menjanjikan dalam mengatasi tantangan dunia

nyata, keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan komunikasi,

keterampilan pemecahan masalah dan pembelajaran mandiri. Meskipun,

pendekatan dan struktur metode PBL mungkin berbeda, tujuan umum cenderung

serupa. PBL dimulai dengan asumsi bahwa belajar adalah proses yang aktif,

terintegrasi dan konstruktif (Shishigu, Hailu, & Anibo, 2018).

3. Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit

a. Pengertian Larutan

Larutan ialah penyusunan suatu zat dibagian campuran tetapi bidang batas

dan sifat homogen tidak dimiliki. Larutan komponen yaitu zat terlarut dan pelarut.

Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua atau lebih (Yunita,

Nurhadi, & Kusumawardani, 2018).

Zat yang jumlahnya lebih sedikit di dalam larutan disebut (zat) terlarut

atau solut, sedangkan zat yang jumlahnya lebih banyak daripada zat-zat lain

dalam larutan disebut pelarut atau solven. Komposisi zat terlarut dan pelarut

dalam larutan dinyatakan dalam konsentrasi larutan, sedangkan proses

pencampuran zat terlarut dan pelarut membentuk larutan disebut pelarutan atau

solvasi (Iftitahurrahimah, Yayuk Andayani, 2020).

14
b. Larutan elektrolit dan larutan non elektrolit

Berdasarkan kemampuannya menghantarkan listrik, larutan dapat

dibedakan sebagai larutan elektrolit dan larutan non-elektrolit. Larutan elektrolit

mengandung zat elektrolit sehingga dapat menghantarkan listrik, sementara

larutan non-elektrolit tidak dapat menghantarkan listrik (Fitriani, 2021).

Elektrolit yaitu larutan yang menghasilkan arus listrik ketika zat dilarutkan

ke dalam air. Non elektrolit ialah air saat dilarutkan tidak dapat dihantarkan arus

listrik. Daya hantarnya semakin kuat, jumlah ion makin banyak. Zat yang

berwujud molekul netral tidak bermuatan, karena larutan tidak menhantarkan arus

listrik (N. Sari et al., 2015).

Elektrolit atas dasar hantarnya dibagi menjadi dua, yakni pertama

elektrolit kuat dan daya hantar besar. Basa kuat dan garam, larutan asam kuat

ialah contohnya. Kedua elektrolit lemah, yaitu larutan daya hantar lemah (Yuniar

Dwi Wahyugie, Muchlis, 2016).

c. Larutan elektrolit dan ikatan kimia

Ikatan ion dan kovalen terdapat sifat elektrolit sebagai berikut:

1) Sifat elekrolit senyawa ion

Senyawa ion disebut mengalami tarik-menarik pada ion-ionnya. Kation

yaitu partikel bermuatan listrik positif atau ion positif dan anion yakni partikel

bermuatan listrik negatif atau ion negatif (Felentina & Kembaren, 2022).

Ion-ion bergerak bebas menghantarkan arus listrik karena senyawa ion

dilarutkan ke air tentu bergerak bebas. Pada saat itu, elektrolit wuwjud padat tidak

15
menhantarkan listrik. Senyawa ion yaitu elektrolit kuat, sebuah tanda panah ke

hasil reaksi dalam menulis reaksi (Ipa Ida Rosita, 2016).

Reaksi pengionan senyawa ion contohnya sebagai berikut:

 KBr(aq) → K+(aq) + Br-(aq)

 BaI2(aq) → Ba2+(aq) + 2 I-(aq)

 CaCl2(aq) → Ca2+(aq) + 2 Cl-(aq)

 FeCl3(aq) → Fe3+(aq) + 3 Cl-(aq)

2) Sifat elektrolit senyawa kovalen

Senyawa ialah atomnya disatukan dengan ikatan kovalen. Dwikutub

terpolarisasi molekul polar yang timbul karena besar keelektonegatifan pada dua

atom. Kutub positif dan negatif ialah dwikutub molekul (Ningsih R.S, Kuswati M.

T., 2016)

Senyawa kovalen yang bersifat polar disebut senyawa kovalen polar.

Senyawa kovalen polar secara keseluruhan merupakan partikel yang netral.

Senyawa itu dalam bentuk murni merupakan penghantar listrik yang buruk, tetapi

jikia senyawa tersebut dilarutkan dalam air maka akan menghasilkan larutan yang

dapat menghantarkan arus listrik dengan baik (Ningsih R.S, Kuswati M. T.,

2016). Senyawa kovalen polar sebagai ion positif dan negatif dapat dibantu untuk

menguraikan senyawa ialah molekul dwikutub (Aminah, Abu Bakar, 2018).

Beberapa contoh rekasi pengionan senyawa kovalen sebagai berikut:

 HCl(l) + H2O(l) → H3O+(aq) + Cl-(aq)


 HBr(g) + H2O(l) → H3O+(aq) + Br-(aq)

 NH3(g) + H2O(l) ↔ NH4+(aq) + OH-(aq)

16
B. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini relevan dengan penelitian terdahulu yang mengacu

penelitian untuk melakukan penelitian ini. Penelitian yang berkaitan dengan

penelitian ini adalah:

1) Septiwi Tri Pusparini, Tonih Feronika, Evi Sapinatul Bahriah, (2018), pengaruh

model pembelajaran problem based learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir

kritis siswa pada materi sistem koloid. Sampel penelitian berjumlah masing-

masing 30 orang siswa pada kelas kontrol maupun eksperimen. Hasil penelitian

ini untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran Problem Based

Learning (PBL) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi sistem

koloid.

2) Elfrida Maharani Simanjuntak dan Rugaya, (2019), pengaruh model problem

based learning terhadap kemampuan pemecahan masalah Siswa pada materi

pokok usaha dan energi di kelas X semester I di SMA N 9 Medan T.P2017/2018.

Jenis penelitian adalah quasiexperiment dengan desain two group pretest-posttest.

Populasi penelitian adalah semua siswakelas X SMA Negeri 9 Medan dan sampel

penelitian diambil dengan teknik random sampling terdiri dari dua kelas, yaitu

kelas eksperimen X MIA-1 dan kelas kontrol X MIA-2 yang masing-masing

berjumlah 30 orang peserta didik. Hasil penelitian ini untuk mengetahui pengaruh

model problem based learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah

siswa pada materi usaha dan energi di kelas X semester II SMA Negeri 9 Medan

T.P. 2017/2018.

17
3) Kompyang Selamet, I Nyoman Suardana, N L.Eka Sumiantari, (2018), pengaruh

model problem based learning terhadap kemampuan pemecahan masalah Ipa

SiswaKelas Viii Smp. Penelitian adalah eksperimen semu nonequivalent pretest-

posttest control group design. Siswakelas VIII SMP Negeri 7 Singaraja ialah

populasi penelitian tahun ajaran 2017/2018 126 jumlah peserta didik. Siswayang

belajar model PBL yaitu hasil penelitian yang lebih baik dari model kooperatif

lainnya.

4) Kasmui, Antonius Tri Widodo, Mely Cholifatul Janah, (2018), Teknik sampling

yang digunakan yaitu cluster random sampling, dengan kelas XI MIPA 4 sebagai

kelas eksperimen dan kelas XI MIPA 5 sebagai kelas kontrol. Berdasarkan hasil

penelitian disimpulkan penerapan model problem based learning berpengaruh

pada keterampilan proses dan belajar sains siswa kelas XI SMA.

C. Kerangka Pikir

Larutan elektrolit dan non elektrolit adalah mata pelajaran yang bersifat

hafalan dan tidak ada hitungan, tentu ditemukan kesulitan pada siswa.

Berdasarkan wawancara dengan guru kimia di SMA Plus Muhammadiyah

didapatkan bahwa kurang aktif siswa saat jalannya belajar, konsentrasi siswa

sangat rendah sehingga pembelajaran tidak dapat diterima secara maksimal, pola

pengajar kimia dikelas ini hanya fokus ke guru, siswa kurang fokus dan

cenderung malu bertanya jika kurang paham dengan penjelasan dari guru,

keaktifan siswa di kelas kurang, siswa lebih memilih cerita dengan teman

sebangkunya. Pada saat pembelajaran berlangsung di kelas terdapat siswa yang

enggan menyelesaikan soal latihan yang di berikan, kurangnya pemahaman siswa

18
dalam berkonsentrasi, sehingga bingung pada saat mengerjakan soal, kurangnya

pemanfaatan model pembelajaran. Guru sebagai pendidik membuat agar belajar

siswa meningkat harus model tepat pada belajar mengajar.

Model pembelajaran yang tepat membuat siswa akan lebih mudah

memahami konsep kimia dan mampu membuktikan konsep yang sudah ada

dengan cara menyelidikinya sehingga pemahaman terhadap konsep kimia lebih

bermakna. Pada Pembelajaran kimia, siswa diharapkan untuk terlibat aktif pada

kegiatan belajar sehingga potensi yang dimilikinya dapat berkembang, dan siswa

tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.

Mengajak siswa untuk lebih berperan aktif dalam pembelajaran ialah cara

kegiatan belajar meningkat. Dikelas terdapat suatu pembelajaran dievaluasi

dengan meninjau hasil belajar rendah salah satunya dikarenakan kemampuan

pemecahan masalah kimia siswa masih kurang. Kemampuan pemecahan masalah

siswa rendah disebabkan siswa tidak fokus saat guru menyampaikan materi,

siswamelakukan kegiatan lain dan siswa kurang aktif. Solusi untuk mengatasi

masalah ini adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang sesuai. Model

yang dibutuhkan adalah model pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang

mampu meningkatkan pemahaman siswa mendorong siswa untuk berpikir,

berkolaborasi, keterampilan belajar, meningkat percaya diri dan keterampilan

pemecahan masalah.

Berdasarkan pernyataan diatas fokus peneliti adalah pengaruh PBL

terhadap mampu memecahkan persoalan. posttest dan pretest kemampuan

pemecahan masalah siswa diukur pada penelitian ini. Pretest untuk mengetahui

19
keterampilan awal siswa dan posttest untuk melihat apakah terdapat pengaruh

model problem based learning terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa.

 Proses belajar siswa jarang aktif


 Siswa tidak fokus terhadap penyampaian
Masalah guru
 Kurangnya variasi model pembelajaran
yang digunakan oleh guru

 Pemanfaatan model pembelajaran


problem based learning
Solusi

Perlakuan  Pretest
 Posttest

 Kemampuan pemecahan masalah siswa


Hasil yang
meningkat
Diharapkan

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini ialah terdapat Pengaruh Model Pembelajaran

Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa

Kelas X SMA Plus Muhammadiyah.

20
H o = Model pembelajaran problem based learning (PBL) tidak berpengaruh terhadap

kemampuan pemecahan masalah siswa pada materi pokok larutan elektrolit dan non

elektrolit di SMA Plus Muhammadiyah.

H a = Model pembelajaran problem based learning (PBL) berpengaruh terhadap

kemampuan pemecahan masalah siswa pada materi pokok larutan elektrolit dan non

elektrolit di SMA Plus Muhammadiyah.

21
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan eksperimen penelitian digunakan ialah pre-

eksperimental. Perlakuan dikelas diutamakan penelitian pre-eksperimental, grup

non perlakuan namun perbandingan tidak ada. Desain penelitian pre-

eksperimental dipakai yaitu one group pretest-posttest. Menurut (Sugiyono, 2014)

pola desain penelitian ditunjukan pada gambar 3.1

O1 X O2

Gambar 3.1 Desain One Group Pretest-Posttest

Keterangan:
O1 = nilai pretest (sebelum diberi perlakuan)

O2 = nilai posttest (setelah diberi perlakuan)

X = Perlakuan yaitu dengan model PBL

Desain penelitian ini dengan memberikan test sebelum perlakuan (O1)

yang disebut pretest dan sesudah perlakuan (O2) yang disebut posttest.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Dilakukan penelitian diSMA Plus Muhamadiyah Merauke berlokasi diJl.

Spadem. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan april semester genap tahun

ajaran 2022/2023.

22
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi ialah siswa kelas X di SMA Plus Muhammadiyah Merauke.

purposive sampling yaitu dipakai dalam pemakaian sampel, penelitian ini adalah

kelas X MIPA dengan jumlah 26 siswa.

D. Variabel Penelitian
Dalam penelitian inti menggunakan dua variabel yaitu:

1. Variabel Bebas (Variabel Independen) ialah penyebab perubahan variabel terikat

atau variabel dependen (Khoiroh dkk., 2017). Penelitian dalam variabel bebas

ialah Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL).

2. Variabel Terikat (Variabel Dependen) ialah variabel dipengaruh serta terkena

dampak dari variabel bebas (Khoiroh dkk., 2017). Penelitian pada variabel terikat

ialah kemampuan pemecahan masalah siswa.

Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat diperlihatkan pada gambar3.2

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 3.2 Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat

(Sugiyono, 2014)

E. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data


Instrumen yang digunakan pada penelitian ini ialah lembar tes hasil belajar

kimia. Tes tertulis digunakan untuk Teknik pengumpulan data. Soal uraian 5

dengan menggunakan tes tertulis

F. Validitas Instrumen

Validitas ialah alat ukur untuk menunjukan pada keahlihan atau ketepatan

suatu objek penelitian (Sugiyono, 2014). Uji validitas instrumen adalah bagian

23
penting yang dapat menentukan dalam proses penarikan kesimpulan penelitian.

Instrumen yang valid dapat membuat penarikan kesimpulan yang benar.

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif

dan statistik inferensial yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis

data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah

dikumpulkan sehingga mudah dipahami. Pada penelitian ini analisis statistik

deskriptif untuk kemampuan pemecahan masalah kimia digunakan untuk

menganalisis nilai tertinggi, nilai rendah, rata-rata, dan n-gain.

Dengan diketahui nilai meningkat pretest dan posttest digunakan uji n-

gain dengan rumus menurut (Sukaesih, 2011:80), sebagai berikut:

Skor postest-Skor pretest


N-Gain= ……………………................ (3.3)
Skor maksimum-Skor pretest

Tabel 3.1 Kategori Perolehan Skor N-Gain


Batasan Kategori
N-Gain ˃ 0,7 Tinggi
0,3 ≤ N-Gain ≤ 0,7 Sedang
N-Gain ˂ 0,3 Rendah
(Sukaesih, 2011:80),
2. Statistik Inferensial

Statistik inferensial adalah teknik analisis yang digunakan untuk

menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi. Melakukan

uji hipotesis, didahulukan uji normalitas dan homogenitas sebagai berikut:

24
a. Uji normalitas

Uji normalitas dipakai guna diketahui berdistribusi normal atau tidak

normal. Rumus yang digunakan yaitu Shapiro-Wilk pada taraf signifikansi 5%.

Menurut (Widiyana, 2016) pedoman pengambilan keputusan uji Shapiro-Wilk

dengan taraf signifikansi 5% ialah jika nilai sig < 0,05, sehingga data berdistribusi

tidak normal dan jika nilai sig ≥ 0,05, sehingga data berdistribusi normal. Jika

data berdistribusi normal dapat dilakukan uji parametrik (independen sampel t-

test) dan jika data tidak berdistribusi normal dapat dilakukan uji non parametrik

(uji Wilcoxon). Teknik pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan

SPPS versi 16.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui data tersebut homogen atau

tidak. Uji homogenitas yang digunakan ialah statistic uji Levene dengan

mengambil taraf signifikansi 5%. Menurut (Widiyana, 2016) syarat pengujian

ialah jika nilai sig < 0,05, sehingga data berasal dari populasi yang memiliki

varians tidak homogen dan jika nilai sig ≥ 0,05, sehingga data berasal dari

populasi yang memiliki varians homogen. Jika data berdistribusi normal dapat

dilakukan uji parametrik (independen sampel t-test) dan jika data tidak

berdistribusi normal dapat dilakukan uji non parametrik (uji Wilcoxon). Teknik

pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.

c. Uji Hipotesis

Pengujian dalam penelitian selanjutnya adalah uji hipotesis menggunakan

uji Wilcoxon, karena data tidak berdistribusi normal maka uji yang dipakai adalah

25
(Uji Wilcoxon). Uji Wilcoxon adalah uji nonparametric yang digunakan untuk

mengukur perbedaan 2 kelompok data berpasangan berskala ordinal atau interval

tetapi data berdistribusi tidak normal. Uji ini juga dikenal dengan nama uji match

pair test. Teknik pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPPS versi

16. Formula uji Wilcoxon:


Nr
W ¿ ∑ [ sgn ( x 2 , i−x 1 , i ) . Ri ]
i=1

Dimana:

W = statistik uji

Nr = ukuran sampel, kecuali pasangan dengan x1=x2

sgn = fungsi signum

x 2 , i−x 1 , i = pasangan berperingkat yang sesuai dari dua distribusi

Ri = peringkat i

Untuk keperluan data hipotesis statistik dasar pengambilan keputusan yang

dijadikan acuan dalam uji Wilcoxon dinyatakan berikut ini:

1. Jika nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed) lebih kecil dari < 0,05

maka hipotesis atau “Ha diterima”

2. Jika nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari > 0,05

maka hipotesis atau “Ha ditolak”

26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitan

1. Deskripsi Data

Data awal adalah hasil pretest dan posttest siswa. Sebelum soal tersebut

diujikan kepada siswa, dilakukan uji validitas guru pelajaran disertai dosen

pembimbing terdekat di SMA Plus Muhammadiyah Merauke. Berdasarkan hasil

uji validitas rupa, didapatkan bahwa instrumen valid dan layak digunakan dalam

proses penelitian. Kategori baik mendapatkan konsistensi antar tiga ahli yaitu

hasil perhitungan uji reliabilitas inter-rater didapatkan indeks kappa sebesar 1.

Hasil perhitungan uji validasi dan uji reliabilitas inter-rater bisa dilihat di

lampiran 5.1. dan lampiran 5.2.

a. Data Hasil Belajar Kimia

Pada penelitian dilakukan perlakuan sebelumnya mengambil sampel

terlebih dahulu. Purpose sampling digunakan untuk pengambil sampel,

27
didapatkan kelas X MIPA pada teknik pengambilan sampel. Siswa kelas X MIPA

diberikan pretest terlebih dahulu dalam mengetahui data awal hasil belajar siswa

dan peneliti memberikan atau mengetahui data hasil siswa digunakan untuk

posttest diberikan perlakuan. Penelitian awalnya menggunakan analisis statistik

parametrik dengan uji paired sample t-test untuk uji hipotesis, namun karena data

penelitian tersebut tidak berdistribusi normal makan digunakan alternatif lain

yakni dengan menggunakan uji Wilcoxon.

Data hasil pretest dan posttest yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data Hasil Belajar Kimia Kelas X MIPA


Nilai Statistik
No Statistik
Pretest Posttest
1 Sampel 26 26
2 Nilai KKM 75 75
3 Nilai ideal 100 100
4 Nilai tertinggi 68 90
5 Nilai terendah 30 50
6 Nilai rata-rata 46,96 76,73
7 Standar deviasi 9,28 12,83

Hasil Belajar Siswa Kimia kelas X MIPA


90
80 76.73

70
60
50 46.96

40
30
20
10
0
28
Nilai Rata-rata Pretest Nilai Rata-rata Posttest
Gambar 4.1 Grafik Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas X MIPA

46.96 ialah rata-rata nilai dengan 68 tingginya nilai dan nilai terendah 30

yakni nilai pretest hasil dihitung. Hal ini terjadi karena siswa belum mempelajari

materi larutan elektrolit sebelumnya. Dari hasil dihitungan posttest didapatkan

rata-rata hasil belajar siswa sebesar 76,73 dengan nilai terendah 50 dan nilai

tertinggi 90 dari 26 siswa, dan 4 siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM.

Selisih rata-rata nilai pretest dan posttest sebesar 29,77 yang menunjukan adanya

peningkatan pemahaman materi larutan elektrolit dan non elektrolit dalam soal

yang dipelajari oleh siswa sesudah digunakan model pemebelajran problem based

learning (PBL). Nilai posttest dan pretestdari menghitung terdapat dilampiran

5.3.

b. Data N-Gain

Data yang didapatkan hasil dengan menggunakan model pembelajaran

problem based learning (PBL) mengalami peningkatan dilihat dari selisih antara

nilai rata-rata pretest dan posttest yaitu sebesar 29,77. Data hasil pretest dan

posttest siswa yang didapat, lanjutannya dibuatkan perhitungan N-Gain. Hasilnya

bisa dilihat di tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rekapitulasi Nilai N-Gain


Data Pretest Posttest Nilai Ideal N-Gain
Rata2 46,96 76,73 100 0,61

Hasil perhitungan N-Gain menunjukkan terjadi peningkatan hasil belajar

siswa sebesar 0,61 termasuk dalam sedang. Perhitungan dari nilai N-Gain terdapat

dilampiran 5.7.

29
2. Pengujian Hipotesis

Uji hipotesis didapat kemampuan pemecahan masalah siswa dalam materi

larutan elektrolit dan non elektrolit sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dan uji homogenitas. Jika

data berdistribusi normal maka di pakai pre sampel t-test, jika data tidak

berdistribusi normal/ tidak homogen maka dilakukan uji non parametrik yaitu uji

Wilcoxon.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas yang dipakai ialah Shapiro-Wilk, dengan asumsi sampel

dikatakan normal jika nilai sig < 0,05, sehingga data berdistribusi tidak normal

dan nilai sig ≥ 0,05, sehingga data berdistribusi normal. Hasil uji normalitas data

pretest dan posttest bisa dilihat tabel 4.3.

Tabel 4.3 Uji Normalitas

Shapiro-Wilk
Df Sig.
Pretest 26 0,043
Posttest 26 0,030

Hasil perhitungan uji normalitas pretest didapatkan nilai signifikan 0,043

kecil dari 0,05 dikatakan data pretest tidak normal. Uji normalitas posttest

30
diperoleh nilai 0,030 lebih kecil 0,05 sehingga data posttest tidak berdistribusi

normal. Hasil perhitungan uji normalitas bisa dilihat di lampiran 5.5.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas diperoleh dengan menggunakan data homogen atau tidak.

Uji homogenitas dilakukan ialah statistic uji Levene dengan taraf signifikansi 5%.

Hasil uji homogenitas bisa diperhatikan ditabel 4.4

Tabel 4.4 Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances


Levene df1 df2 Sig.
Statistic
hasil belajar Based on Mean 3.273 7 16 0,023

pretest dan posttest uji homogenitas diperoleh nilai signifikan 0,023 ≤ 0,05

sehingga data berasal dari populasi yang tidak memiliki varians homogen.

Perhitungan uji homogenitas bisa dilihat di lampiran 5.6.

c. Uji Wilcoxon

Uji Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui pengaruh kemampuan

pemecahan masalah siswa sebelum diberi perlakuan dengan kriteria pengujiannya

jika nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed) lebih kecil dari < 0,05 maka

hipotesis “Ha diterima”, namun jika nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed)

lebih besar dari > 0,05 maka hipotesis atau “Ha ditolak”. Hasil uji Wilcoxon bisa

dilihat ditabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Uji Wilcoxon


31
Ranks

a. Posttest < N Mean Rank Sum of Ranks


Pretest Posttest – Pretest Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 26b 13.50 351.00
Ties 0c
Total 26
b. Posttest > Pretest
c. Posttest = Pretest

Test Statisticsb
Posttest – Pretest
Z -4.461a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test.

Hasil perhitungan uji Wilcoxon di atas diketahui bahwa nilai Asymp. Sig.

(2-tailed) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Oleh karena itu, sebagaimana dasar

pengambilan keputusan uji Wilcoxon maka dapat disimpulkan bahwa “Ha

diterima”. Dengan demikian dikatakan bahwa ada perbedaan nilai belajar kimia

antara pretest dan posttest. Karena ada perbedaan yang signifikan maka rumusan

masalah penelitian pun juga dapat terjawab yakni ada “pengaruh model

pembelajaran problem based learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan

masalah siswa”.

Terdapat perbedaan nilai kimia antara pretest dan posttest yang signifikan

maka rumusan masalah penelitian pun juga dapat terjawab yakni ada “pengaruh

model pembelajaran problem based learning (PBL) terhadap kemampuan

pemecahan masalah siswa pada materi pokok larutan elektrolit dan non elektrolit

32
kelas X MIPA SMA Plus Muhammadiyah Merauke”. Hasil perhitungan uji

Wilcoxon terdapat pada lampiran 5.8.

B. Pembahasan

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen yang dilakukan di

SMA Plus Muhammadiyah. Desain penelitian menggunakan one group pretest

and posttest design. Sampel dilakukan tes kemampuan awal sebelum perlakuan

diterapkan berupa tes uraian sebanyak 5 nomor soal dan tes kemampuan akhir

setelah perlakuan diterapkan berupa tes uraian sebanyak 5 nomor soal. Hal ini

memiliki tujuan dalam mengetahui perbandingan hasil belajar kimia sebelum dan

sesudah perlakuan. pretest dan posttest pergunakan menjadi soal sebelumnya

sudah pernah dilakukan validitas uji oleh doses pembimbing dan guru mata

pelajaran kimia di SMA Plus Muhammadiyah. Berdasarkan hasil uji validitas,

didapatkan hasil bahwa semua soal dalam pretest dan posttest valid untuk

diujikan.

1. Pelaksanaan Pembelajaran
Penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali pertemuan yaitu pertemuan awal

dilakukan pretest, pertemuan 1 sampai 2 dilakukan proses pembelajaran, dan

pertemuan akhir dilakukan posttest.

a. Pretest

Pertemuan awal tatap muka dengan para siswa, peneliti menjelaskan

model pembelajaran PBL yang dipakai selama pembelajaran, serta peneliti

menjelaskan tahap-tahap yang terdapat pada model pembelajaran yang akan di

gunakan. Peneliti menuntun siswa untuk membagi kelompok menjadi lima

kelompok belajar yang akan dgunakan selama beberapa pertemuan kedepan.

33
Siswa akan belajar bersama dengan kelompok yang telah ditentukan. Peneliti

menjelaskan tahap-tahap PBL kepada siswa, salah satunya ialah cara mengerjakan

soal pretest serta mengumpulkannya. Pertemuan pertama 3 siswa tidak mengikuti

pertemuan tatap muka.

Peneliti bekerja sama dengan wali kelas serta guru mata pelajaran untuk

mendorong siswa agar mengikuti pembelajaran tatap muka yang berlangsung

dengan baik. Pertemuan awal pretest diberikan terhadap siswa diketahui dalam

kemampuan siswa sebelum diberikan perlakuan. Pretest diberikan melalui

berahadapan pada kelas secara langsung oleh seluruh siswa mengumpulkan

jawaban pretest. Soal pretest yang diberikan berupa 5 soal uraian terdiri dari

materi yang akan diajarkan, jawaban pretest langsung dikumpulkan kepada

peneliti. Soal pretest yang diujikan diperoleh hasil belum ada siswayang

mencapai nilai KKM. Hal ini terjadi karena sebagian besar siswa belum

mempelajari elektrolit dan non elektrolit. Memperoleh skor pada pretest yaitu

terhitung 68, termuda 30 serta rata-rata 46,96.

b. Pertemuan Pertama

Pada pertemuan pertama, dilakukan proses pembelajaran dengan materi

larutan elektrolit dan non elektrolit. Pertemuan pertama kekurangan yang

ditemukan, siswa tidak sepenuhnya menerima informasi yang diberikan guru,

kurangnya pemahaman dalam memecahkan masalah. Pembelajaran dengan model

PBL melibatkan siswa secara aktif dalam memahami konsep dan prinsip dari

suatu materi karena karakteristik pembelajaran ini berupa pengajuan masalah

kepada siswa. Masalah yang diberikan dapat melatih siswa dalam melakukan

34
kebiasan-kebiasan memecahkan masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Tahapan-tahapan pembelajaran dilakukan sesuai dengan sintaks dalam Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran yaitu (melakukan orientasi masalah kepada,

dikembangkan, disajikan grup diskusi, mengayomi penyedikan kelompok, serta

menarik kesimpulan).

Fase Pertama (orientasi masalah kepada siswa), siswa diminta untuk

menganalisis terjadinya larutan elektrolit dan non elektrolit yang disajikan dalam

LKS dan menulis ringkasan dari hasil bacaan mengenai hal yang menyebabkan

terjadinya larutan elektrolit dan non elektrolit.

Fase kedua (Mengorganisasikan kegiatan pembelajaran), peneliti membagi

siswa kedalam beberapa kelompok kecil (4-5 orang), kemudian membagikan LKS

pada masing-masing kelompok diskusi yang telah dibentuk dan siswa diharapkan

untuk memperhatikan langkah-langkah pembelajaran PBL yang terdapat pada

LKS.

Fase ketiga (membimbing penyelidikan kelompok), peneliti membimbing

siswa untuk mengumpulkan informasi mengenai data yang berkaitan untuk

menanggapi pertanyaan yang telah diberikan oleh peneliti dengan cara membaca

sumber lain selain buku teks dan mencatat semua informasi yang diperoleh saat

pembelajaran berlangsung di dalam kelas. fase ketiga diberikan permasalahan

oleh peneliti dituntut siswa mendapat sendiri informasi, ketika siswa terbiasa

untuk mencari jawaban mereka sendiri maka dengan demikian siswa belajar untuk

dapat menemukan pengetahuan mereka sendiri sehingga mampu mengembangkan

35
kemampuan pemecahan masalah untuk menanggapi masalah yang diberikan oleh

peneliti.

Fase keempat (mengembangkan dan menyimpulkan hasil grup diskusi),

yang merminta siswa didskusi grup untuk mempresentasikan didepan kelas akan

diwakili oleh salah satu teman kelompok. Peneliti bersama siswa membahas

jawaban dan soal-soal pada materi yang telah dikerjakan oleh masing-masing

kelompok.

Fase kelima (menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah),

siswa diminta untuk menyimpulkan secara keseluruhan materi larutan elektrolit

dan non elektrolit. Pada pertemuan pertama ini siswa masih kurang paham dan

belum terbiasa belajar dengan menggunakan model pembelajaran problem based

learning (PBL), karena PBL merupakan model pembelajaran yang baru bagi

siswa sehingga butuh waktu untuk siswa menyesuiakan diri dengan model

pembelajaran tersebut. Selanjutnya peneliti memberitahukan materi yang akan

dipelajari pada pertemuan berikutnya kepada seluruh siswa dan menutup

pembelajaran.

c. Pertemuan Kedua
Pada pertemuan kedua, proses pembelajaran berlansung dengan

melakukan percobaan daya hantar listrik larutan. Dilihat dari kekurangan di

pertemuan pertama ada perbaikan di pertemuan kedua dalam memecahkan

masalah dengan adanya proses percobaan untuk mengasah siswa dalam

memahami konsep dan melakukan suatu percobaan. Percobaan yang dilakukan

dengan beberapa larutan, yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Peningkatan

kemampuan pemecahan masalah dan hasil belajar kognitif siswa melalui

36
pembelajaran dengan PBL juga diduga karena model PBL didasarkan pada

prinsip bahwa siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga bahwa

mereka tahu bagaimana menerapkan pengetahuan ini dalam situasi nyata.

Tahapan-tahapan pembelajaran dilakukan sesuai dengan sintaks dalam Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran yaitu (melakukan orientasi masalah kepada siswa,

membimbing penyelidikan grup, permasalahan dipecahkan ikut serta evaluasi,

mencari sertra menyediakan kelompok diskusi).

Fase pertama (melakukan orientasi masalah kepada siswa), siswa diminta

untuk menyiapkan alat dan bahan dalam percobaan. Menganalisis sebuah

percobaan dan ditentukan larutan elektrolit kuat, elektrolit lemah, dan non

elektrolit yang disajikan dalam LKS praktikum.

Fase kedua (Membimbing penyelidikan kelompok), peneliti membagi

siswa kedalam beberapa kelompok kecil (4-5 orang), kemudian membagikan LKS

praktikum pada masing-masing kelompok diskusi yang telah dibentuk.

Fase ketiga (membimbing penyelidikan kelompok), peneliti membimbing

siswa untuk percobaan daya hantar listrik hasil dicatat dalam beberapa larutan.

Fase keempat (Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi kelompok),

siswa diminta untuk mempresentasikan hasil percobaan kelompok di depan kelas

yang akan diwakili oleh salah satu teman kelompok berdasarkan hasil percobaan.

Fase kelima (menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah),

siswa diminta untuk menyimpulkan permasalahan terkait hasil percobaan. Pada

pertemuan kedua ini para siswa mulai berusaha belajar untuk menyesuaikan

dengan model pembelajaran problem based learning tersebut, namun masih ada

37
beberapa fase dalam model pbl sering ditanyakan siswa di kelas secara langsung

saat proses belajar.

d. Posttest

Pertemuan akhir tatap muka di dalam kelas, peneliti menjelaskan ulang

materi yang sudah diberikan serta menjelaskan posttest kepada peserta didik. Pada

pertemuan akhir semua siswa mengikuti tatap muka yang berlansung di dalam

kelas. Setelah itu peneliti mengarahkan siswa untuk membuka soal posttest yang

diberikan. Posttest yang diberikan bertujuan untuk mendapat nilai akhir setelah

diberikan perlakuan. Nilai Posttest yang diperoleh siswa menunjukkan hasil yang

memuaskan, tertinggi nilai yang didapat 90 dan nilai terendah sebesar 58 dengan

rata-rata nilai 76,73. Presentase ketuntasan hasil belajar siswa sesudah

dilaksanakan model pembelajaran PBL 90% sebanyak 22 siswa yang tuntas

dikerjakan soal posstest ditunjukan rata-rata serta tidak tuntas 4 siswa dari

hasilnya.

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa

Peningkatan hasil belajar siswa mampu pemecahan masalah nilai posttest

tinggi rata-rata dibandingkan pretest, sesudah perlakuan diberikan ada hasil

meningkat dalam penerapan model pembelajaran PBL dalam pembelajarn kimia.

Dibuktikan hitungan N-Gain 0,61 berada di kategori sedang, pemahaman siswa

kuasai konsep pembelajaran memakai model pembelajaran merupakan N-Gain

antara posttest dan pretest.

Penelitian dilakukan oleh (Balya, 2015) yaitu hasil pretest kemampuan

pemecahan masalah kelas eksperimen terdapat 2 siswa dengan kategori

38
pemecahan masalah cukup, 14 siswa dengan kategori kurang pemecahan masalah,

dan 10 siswa dengan kategori sangat kurang pemecahan masalah, sedangkan hasil

pretest kemampuan pemecahan masalah terdapat 1 siswa dengan kategori

pemecahan masalah sangat baik, 8 siswa dengan kemampuan pemecahan

masalah, 29 siswa dengan kategori cukup mampu memecahkan masalah.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dilihat bahwa hasil pretest kemampuan

pemecahan masalah siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan hasil pretest

kemampuan pemecahan masalahnya.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang

dilaksanakan (Lathifah, Kusasi, & Rusmansyah, 2019) bahwa pembelajaran PBL

memberikan pengaruh signifikan pada hasil belajar siswa. Hal tersebut

disebabkan karena model PBL lebih menuntut siswa untuk bekerja secara mandiri

serta berusaha secara mandiri untuk menyelesaikan masalah yang ditemui.

Menurut (Susilawati, Jamaludin, 2018) Model pembelajaran PBL

membantu siswa berinteraksi dengan guru dan teman sekelas pada saat proses

belajar mengajar berlangsung di dalam kelas, model pembelajaran berbasis

masalah berbantuan multimedia dapat diterapkan baik pada siswa berkemampuan

akademik tinggi maupun siswa berkemampuan rendah.

Berdasarkan hasil belajar dilakukan uji hipotesis dipakai ialah uji

Wilcoxon. Uji prasyarat dilakukan langkah pada hipotesis, yaitu uji normalitas

dan uji homogenitas. Hasil uji Wilcoxon didapatkan nilai Asymp. Sig. (2-tailed)

sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Oleh karena itu, sebagaimana dasar

pengambilan keputusan uji Wilcoxon maka dapat disimpulkan bahwa “Ha

39
diterima” Dengan demikian dikatakan bahwa ada perbedaan nilai conversation

kimia antara pretest dan posttest. Karena ada perbedaan yang signifikan maka

rumusan masalah penelitian pun juga dapat terjawab yakni ada pengaruh model

pembelajaran problem based learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan

masalah siswa.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

model pembelajaran problem based learning (PBL) terhadap kemampuan

pemecahan masalah siswa pada materi pokok larutan elektrolit dan non elektrolit

di SMA Plus Muhammadiyah Merauke. Ditunjukan persentase 90% hasil tuntasan

belajar, N-Gain 0,61 (sedang), Hasil uji Wilcoxon didapatkan nilai Asymp. Sig.

(2-tailed) sebesar 0,000 lebih kecil dari < 0,05.

B. Saran
Terdapat saran hasil penelitian ialah berikut ini:

40
1. Model pembelajaran problem based learning dapat diterapkan guru karena model

pembelajaran tersebut memberikan keleluasaan bagi siswa dalam belajar dan

dapat membantu guru pada proses pembelajaran saat ini.

2. Membangun komunikasi yang baik dengan siswa sehingga siswa menjadi tertarik

dan aktif dalam pertemuan di dalam kelas.

3. Diperhatikan kemampuan siswa disetiap kelompok setiap anggotanya heterogeny

di ketahui dari cara berpikir siswa.

41

Anda mungkin juga menyukai