a. Tugas Commissioner diatur dalam Pasal 12 Ordinance Chapter 204, yang meliputi hal-hal
sebagai berikut:
2. Penyidikan;
4. Memeriksa praktik dan prosedur masing-masing departemen dari pemerintah dan badan
hukum, guna mempermudah pengungkapan praktik korupsi serta menjamin revisi metode
kerja dan prosedur yang menuntut pendapat Commissioner dapat mendorong praktik korupsi;
5. Menginstruksikan, menasehati, dan mendorong setiap orang atas permintaannya, mengenai
bagaimana cara praktik korupsi dapat ditiadakan oleh orang bersangkutan;
6. Memberi saran kepada departemen dari pemerintah atau badan umum mengenai perubahan
dalam praktik dan prosedur yang sesuai dengan pelaksanaan yang efektif dari tugas masing-
masing departemen atau badan umum bersangkutan yang dianggap perlu oleh Commissioner,
guna mengurangi kemungkinan terjadinya praktik lorupsi;
• Ayat 13: Wewenang istimewa untuk investigasi dengan surat perintah Commissioner.
• Ayat 13A : Memberintahkan untuk menyediakan bukti dan memberi bantuan mengkopi dan
memotret.
• Ayat 14 :Wewenang untuk memperoleh informasi. Akan tetapi, jika seseorang memberi
informasi palsu dapat didenda dengan HK $20.000 Dan penjara satu tahun.
• Ayat 14E Memohon petunjuk pengadilan mengenai kapan perkara disidangkan dan siapa jaksa
penuntut.
• Ayat 15 Penasihat hukum dan informasi yang istimewa yang dapat diperluas terhadap
pembantu penasihat hukum.
• Ayat 16 Wewenang untuk mendapatkan bantuan dan mengajukan petunjuk kepada pegawai
pemerintah. Jika pegawai pemerintah yang diminta bantuan tidak memberikan bantuan dapat
didenda HK $20.000 dan penjara satu tahun.
B. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Indonesia
a. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertugas:
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Wewenang :
A. Pasal 7 huruf a-e melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
a, Komisi Pemberantasan Korupsi Berwenang;
B. Pasal 8 angka (1) menjelaskan bahwa dalam menentukan tugas supervisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instamsi
yang dalam melaksanakan pelayanan publik;
D. Pasal 8 angka (3) menjelaskan bahwa dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil
alih penyidikan atau penuntuan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara berserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
Komisi Pemberantasan Korupsi;
E. Pasal 8 angka (4) menjelaskan bahwa penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi;
G. Pasal 10 menjelaskan bahwa dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk
mengambil alih tindak pidana korupsi yang ditangani;
H. Pasal 11 huruf a-c menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang;
I. Pasal 12 huruf a-i menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c ;
L. Pasal 12 huruf i menjelaskan bahwa meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang
terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani;
Tugas :
2. Memperoleh dan mengumpulkan bukti-bukti secara teliti dan lengkap untuk membuktikan
terjadinya perbuatan korupsi, penyalagunaan wewenang, dan pelanggaran disiplin, melalui
penyidikan yang rapi, cepat, dan efektif.
3. Memastikan keadilan dan kepentingan umum secara berkelanjutan dijamin dengan undang-
undang dan peraturan nasional serta penuntutan yang bijaksana dalam kasus-kasus korupsi
dan penyalahgunaan wewenang.
4. Membantu ketua-ketua organisasi sektor publik dan swasta dalam mengambil tindakan tata
tertib terhadap pegawai mereka yang melanggar peraturan serta kode etik kerja berdasarkan
laporan BPR Malaysia yang lengkap.
Kewenangan :
a. Memasuki suatu pekarangan untuk mengeledah, menyita atau mengambil buku, dokumen,
atau benda lain;
b. Memeriksa, membuat salinan atau mengambil ekstrak buku, rekaman atau dokumen;
Berdasarkan Pasal 28 ACA (Anti Corruption Act), setiap orang dapat diminta oleh
pejabat BPR Malaysia atau oleh pihak kepolisian untuk memberikan informasi
mengenai hal yang bagi pejabat BPR Malaysia berkewajiban untuk memeriksa
berdasarkan ACA (Anti Corruption Act), yang orang itu mempunyai kuasa
memberikan harus dapat memberikan informasi tersebut
C. BPR (Malaysia)
Tiga strategi utama BPR Malaysia dalam memberantas korupsi, yaitu sebagai
berikut:
1. Strategi Pengukuhan: Untuk meningkatkan efektivitas BPR Malaysia, strategi ini memberi
kekuatan pada profesionalisme BPR Malaysia dan menigkatkan kerja sama dengan
penegak hukum anti korupsi internasional dan mass media.
4. Aktivitas Utama
2) Aktivitas penyidikan.
3) Aktivitas penuntutan.
6) Aktivitas pengawasan.
7) Aktivitas pelatihan.
1. Dsiparitas Tuntutan
Disparitas atau perbedaan antara tuntutan jaksa dan putusan hakim dianggap sebagai
catatan penting, karena berdampak pada rasa keadilan, baik dari sisi terdakwa maupun
masyarakat sebagai pihak terdampak kejahatan korupsi.Sebagai contoh, untuk kasus
suap. Anang Basuki, ajudan mantan Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur yang terlibat
kasus suap hanya dituntut 1,5 tahun penjara oleh KPK. Sedangkan Kasman Sangaji,
Pengacara Saipul Jamil yang juga terlibat kasus suap dituntut maksimal 5 tahun
penjara. Padahal kedua terdakwa bersamaan didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Selain itu disparitas tuntutan pun terjadi ketika
KPK mendakwa dengan Pasal terkait kerugian negara. Budi Rachmat Kurniawan,
mantan GM PT Hutama Karya hanya dituntut 5 tahun penjara. Padahal perbuatan yang
bersangkutan diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp40 milyar. Sedangkan
Irvanto Hendra Pambudi, mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera dituntut 12 tahun
penjara dalam kasus pengadaan KTP-El. Keduanya didakwa dengan aturan serupa,
yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persoalan
disparitas saat ini juga sedang menjadi perhatian KPK sendiri dimana lembaga tersebut
juga mulai menyusun pedoman untuk mencegah disparitas tuntutan ini
Masalah pencabutan hak politik juga masih dianggap minim. Dalam pantuan ICW dari
tahun 2016-2018 KPK setidaknya telah menuntut 88 terdakwa dari dimensi
politik.Akan tetapi yang cukup mengecewakan, KPK hanya menutut 42 terdakwa agar
dicabut hak politiknya. Hal yang patut disesalkan adalah ketika KPK tidak menuntut
pencabutan hak politik atas terdakwa Sri Hartini, Bupati Klaten. Alasan yang diutarakan
jaksa saat itu adalah karena tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak
diperlukan lagi pencabutan hak politik. Padahal tujuan keduanya sudah jelas
berbeda. Pidana penjara dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat merasakan efek
jera atas kejahatan yang dilakukan. Sedangkan pencabutan hak politik dimaksudkan
agar yang bersangkutan tidak dapat menduduki jabatan tertentu.
3. Tunggakan Perkara
Menurut catatan Koalisi, ada sekitar 18 tunggakan perkara yang belum diselesaikan
KPK, di antaranya kasus dugaan korupsi proyek Hambalang.
c. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan
KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana
lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum,
ekonomi, keuangan atau perbankan.
d. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan
atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika
Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
e. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah
dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas,
sehingga: Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga
jabatan profesi lainnya. Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak
lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK. Sementara itu pihak yang
diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman
pidana di UU KPK
f. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang
menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
g. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada
tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
h. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak
cukup umur (kurang dari 50 tahun). Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia
Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh”
tahun (Pasal 29 huruf e); Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih
tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat.
Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka
pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu
berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50
tahun. Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan
yang diambil tidak sah.
k. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan
lain yang ada di UU KPK.
l. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT
seperti saat ini lagi, yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK bertugas melakukan: a.
Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi Hal ini sering
kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak
yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat
tersebut agar tidak menerima suap.
m. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak
jelas di UU KPK Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait
perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga
siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut. Ada ancaman pidana terhadap pihak
yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan tersebut. Ancaman pidana
diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya.
n. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri
karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga
yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani
kasus korupsi; Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko
Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
p. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas
siapa pihak terkait yang dimaksud.
q. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena
status ASN.
r. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK
(pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik
KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian
mekanisme peralihan ke ASN.
s. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang
kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus
korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan
perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.
Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat
batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar
biasa, bukan tindak pidana umum.
t. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus
tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan
penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa
pejabat tertentu.
u. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan
Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan
ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal
diundangkan.
v. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat
menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan
w. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11) Sesuai
dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran
KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan
tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang
diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses
pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang
meresahkan masyarakat.
y. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan Keluhan. Selama ini tidak adanya sanksi tegas
terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur. Kendala
Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab
dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius
memperkuat Kerja Pencegahan.
z. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan
KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak
ada lagi. Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan
publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan.
5. Penurunan Kepercayaan Publik
Lembaga survei Indo Barometer merilis hasil survei terbarunya yang menyatakan
adanya penurunan kepercayaan publik terhadap KPK. Sementara, masyarakat
menjadikan TNI sebagai lembaga yang paling dipercayai.TNI berada dipuncuk terkait
kepercayaan masyarakat berada diangka 94 persen dan Presiden RI diangka 89
persen. Kemudian organisasi keagaaman seperti NU dan Muhammadiyah berada
diurutan ketiga 86,8 persen disusul KPK diangka 81 persen.
Tidak seperti Indonesia, beberapa Negara di belahan dunia justru tidak memiliki lembaga
khusus anti-korupsi namun memiliki tingkat korupsi yang rendah, salah satunya adalah
Finlandia. di Finlandia korupsi didudukkan sebagai suatu perbuatan kriminal biasa bukan
sebagai extraordinary crime. Finlandia tidak memiliki lembaga khusus dalam memerangi
korupsi. Karena pemerintah Finlandia tidak mempunyai lembaga khusus untuk menangani
masalah korupsi, pencegahan dan pemberantasan korupsi ditangani oleh beberapa
institusi.Pengendalian administratif didesentralisasikan ke berbagai institusi pemerintah, dan
audit internal memegang peran penting dalam mencegah korupsi. Hal ini terjai karena karena
audit internal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai lembaga penelaah mekanisme
pengendalian internal.
Ada dua undang-undang yang mengatur masalah korupsi di Finlandia yaitu UU Prosedur
Administrasi dan UU Hukum Pidana. UU Prosedur Administrasi ditekankan untuk
memajukan perilaku yang baik dalam organisasi publik. Prinsip-prinsip yang melandasinya
antara lain, menekankan pejabat untuk bertindak adil dan melaksanakan pekerjaannya, sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Dalam memberikan pelayanan, mereka dilarang memungut
biaya. Sanksi bagi pegawai yang melanggar dapat berupa teguran tertulis sampai dengan
pemberhentian dengan tidak hormat.
Sistem peradilan Finlandia sangat diawasi oleh negara.Hampir tidak pernah ada kasus
warga negara yang melakukan suap kepada hakim, dan bisnis di negara ini memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi terhadap sistem pengadilan. Para pembuat keputusan (hakim) sangat
percaya diri dengan pekerjaan mereka dan mengaku mendapatkan sedikit tekanan.Selain itu,
bila mereka berprestasi, mereka yakin akan naik jabatan. Bukan karena faktor-faktor
asing. Alasan lain yakni negara ini memiliki kebebasan sejati dalam hal keterbukaan dan
penghormatan terhadap media dan jurnalisme. Akses ke informasi sangat penting dan dijamin
secara konstitusional.
b. Adakah yang masih harus diperbaiki dari kinerja KPK yang merupakan lembaga
independen anti-korupsi yang ada di Indonesia? Ada beberapa negara yang tidak
memiliki lembaga khusus yang memiliki kewenangan seperti ketiga lembaga tersebut.
Namun tingkat korupsi di negara-negara tersebut sangat rendah. Mengapa?
Jawab
Dari sisi layanan lembaga pengadilan, Layanan Pendampingan Hukum yang diperankan oleh
Posbakum mendapatkan indeks kepuasan tertinggi, disusul Layanan Mediasi dan Layanan
Administrasi dan Sidang serta Layanan Informasi.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan Badan
Pengawas Mahkamah Agung didukung Proyek SUSTAIN EU-UNDP, melakukan survei
kepuasan publik terhadap lembaga pengadilan di 60 satuan kerja lembaga pengadilan
(Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama) di 20 Provinsi di
Indonesia. Survei dilakukan pada 21 Januari s/d 15 Februari 2019 melalui wawancara tatap
muka dengan kuesioner.
Total sebanyak 720 responden pengguna layanan pengadilan dari 20 provinsi yakni Nanggro
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua yang ikut survei. Selain itu
survei juga dilakukan wawancara ke beberapa peegak hukum.
“Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya reformasi mewujudan tata kelola lembaga
pengadilan yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Hasil dari survei ini
kepuasan masyarakat terhadap pengadilan meningkat. Namun masih banyak pekerjaan rumah
dan masih banyak melakukan perbaikan dalam pelayanan di pengadilan,” kata Ketua Team
Leader LP3ES Alvon Kurnia Palma, ketika dikonfirmasi Hukumonline, (28/05).
Alvon juga juga menunjukkan, dari berbagai layanan yang diberikan lembaga-lembaga
pengadilan, Layanan Pendampingan Hukum yang diperankan oleh Pos Bantuan Hukum
(Posbakum)/advokat piket mendapatkan indeks kepuasan tertinggi (79%), disusul Layanan
Mediasi dan Layanan Administrasi dan Sidang (masing-masing 75%), serta Layanan
Informasi (74%).
Menurutnya, kepuasan Layanan Pendampingan Hukum, SDM Posbakum dinilai sudah cakap
dalam memberi saran hukum, namun kelengkapan dan keakuratan informasi di lembaga
peradilan masih perlu ditingkatkan. Selain itu, publik juga menilai rendah ketersediaan
ruangan/kantor dan alat penunjang kerja Posbakum, kebersihan toilet, sehingga variabel-
variabel ini perlu ditingkatkan oleh lembaga peradilan dalam meningkatkan layanan
pendampingan hukum ke depan.
- Tingkat kepuasan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan di Indonesia
masih lebih tinggi dibandingkan lembaga legislatif.
Hal ini terungkap berdasarkan hasil riset terhadap kinerja 11 kementerian dan lembaga (K/L)
pada 100 hari masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode 2019-2024, yang
disampaikan Alvara Research Center.
Berdasarkan data hasil riset yang diterima, lembaga penegak hukum, yaitu Polri, dan lembaga
peradilan Mahkamah Agung sama-sama mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 72,7 Persen.
Sementara itu, berada di tempat pertama kepuasan tertinggi lembaga TNI.
"Tingkat kepuasan tertinggi diperoleh TNI (85,2%), disusul kemudian oleh Polri (72,7%),
dan Mahkamah Agung (72,7%)," kata Founder dan CEO Alvara Reserach Center Hasanuddin
Ali berdasarkan data yang diterima, Jumat (14/2/2020).
Setelah itu, berada di urutan selanjutnya berdasarkan peringkat kepuasan publik adalah
Mahkamah Konstitusi 72,4%; KPK (71,1%); Kejaksaan Agung (70,1%); DPD (65,3%), dan
KPU (63,3%).
Rilis survei Kepatuhan Hukum Tahun 2019 pada instansi penegak hukum yang ada di 11
provinsi. Ombudsman RI menyebutkan perlunya ada pembenahan terhadap instansi penegak
hukum terkait administrasi di tingkat pusat atau daerah.
Survei yang dilakukan di 11 Provinsi yaitu, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara
dan Kalimantan Barat.
Anggota Ombudsman RI, Prof. Adrianus Meliala menjelaskan bahwa survei ini dilakukan
untuk melihat sejauh mana tertib administrasi dokumen dalam penyelesaian perkara pidana
umum diterapkan oleh instansi penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sedangkan, lanjutnya, untuk penilaian terhadap pemenuhan unsur dokumen, didapatkan nilai
masing-masing pada tahap penyidikan sebanyak 31,85 persen atau kepatuhan rendah, pada
tahap penuntutan 70,62 persen atau kepatuhan sedang, pada tahap peradilan 83,39 persen atau
kepatuhan tinggi dan pada tahap pemasyarakatan 53,79 persen atau kepatuhan rendah.
Menurutnya, hasil survei ini menyangkut hasil dari administratif yang sudah dilakukan
terhadap berkas perkara tindak pidana umum berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama
di Pengadilan Negeri.
"Berkas perkara tersebut diperoleh dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan
Lembaga Pemasyarakatan, yang kemudian dianalisis berdasarkan ketersediaannya," ujarnya.
Atas hal tersebut, dia menyampaikan hasil temuan Ombudsman akan diberikan kepada Polri,
Jaksa Agung, Mahkamah dan Kementerian Hukum dan HAM agar menciptakan sistem
penanganan perkara tindak pidana yang lebih baik.
Mulai tahap, yang saling terintegrasi dari penyidikan di Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan,
peradilan di Pengadilan, sampai pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan agar
meningkatkan fungsi kontrol dalam penanganan perkara tindak pidana.
"Sedangkan untuk tingkat daerah, Ombudsman memberikan saran agar instansi penegak
hukum dapat memastikan implementasi peraturan perundang-undangan dan peraturan
internal administrasi pada penanganan perkara tindak pidana umum," pungkasnya.
Diketahui bahwa Ombudsman RI dalam melakukan survei kepatuhan hukum memakai teknik
porposive sampling, yakni teknik yang berdasarkan pertimbangan dan kajian tujuan
penelitian.
Dengan dua indikator ketersediaan dokumen dan pemenuhan dokumen pada sejumlah berkas
perkara pidana umum tetap tingkat pertama terhadap empat lembaga yakni, Kepolisian,
Lembaga Pemasyarakatan, Pengadilan Negeri, dan Kejaksaan Negeri di 11 Kota. [rhm]
b. Apakah masyarakat menilai lembaga-lembaga ini telah berperan dengan baik dengan
bersikap imparsial, jujur dan adil atau justru kinerja lembaga ini dinilai buruk oleh
masyarakat. Berikan analisis anda mengapa demikian?
Ada beberapa lembaga yang sudah berperan baik terhadap hukum di indonesia, namun
kita tidak dapat mengingkari bahwa masih ada beberapa pihak yang main di belakang
korupsi, karna alasan berbagai hal, contoh gaya hidup dan kekuasaan.
5. Ada 5 (lima) Bank yang melakukan penyimpangan terbesar hingga 74% dari total BLBI
penyimpangan 48 bank penerima yaitu :
1.BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul Nursalim
2.BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono Salim
3.Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik Usman Admadjaya
4.Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik Bob Hasan
5.Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan pemilik Atang
Latief (Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII /2000