Anda di halaman 1dari 21

1.

DISKUSIKANLAH PENDAPAT BERIKUT :


It is always necessary to relate anti-corruption strategies to characteristics of the
actors involved (and the environment they operate in). THERE IS NO SINGLE
CONCEPT and program of good governance FOR ALL COUNTRIES and
organizations, there is no ‘one right way’. There are many initiatives and most are
tailored to specifics contexts. SOCIETIES and organizations WILL HAVE TO SEEK
THEIR OWN SOLUTIONS. (Fijnaut dan Huberts : 2002)
Strategi antikorupsi selalu perlu dikaitkan dengan karakteristik aktor yang terlibat (dan
lingkungan tempat mereka beroperasi). TIDAK ADA KONSEP TUNGGAL dan
program tata kelola yang baik UNTUK SEMUA NEGARA dan organisasi, tidak ada
'cara yang benar'. Ada banyak inisiatif dan sebagian besar disesuaikan dengan konteks
spesifik. MASYARAKAT dan organisasi HARUS MENCARI SOLUSI MEREKA
SENDIRI

2. HUKUM PIDANA BUKAN PANACEA


Diskusikanlah kasus perlakuan istimewa yang diberikan kepada Artalita. Ia bisa
menyulap ruang tempat ia mendekam di LP Cipinang menjadi ruang yang sangat nyaman
bagaikan ruang hotel berbintang. Bagaimana pula dengan Gayus yang bebas berkeliaran
dan berpelesiran ke luar negeri selama menjadi tahanan kasus penggelapan pajak.
Menurut and apa yang harus dilakukan untuk mencegah hal ini?
(JAWAB)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa koruptor yang sedang menjlani hukuman pidana
penjara mendapat privilage atau keistimewaan. Seperti kasus Artalyta yang menyulap sel
lapas menjadi sel mewah, dan gayus yang leluasa bepergian keluar lapas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru melakukan Operasi Tangkap Tangan
(OTT) terhadap dugaan tindak pidana penyuap terhadap Kepala Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung, Wahid Husen . Dugaan tindak pidana
penyuapan tersebut dilakukan untuk “membeli” fasilitas dan izin di Lapas Sukamiskin.
Seperti hal nya kasus Gayus yang bisa leluasa keluar tahanan Bagaimana ia bisa leluasa
keluar tahanan saat itu? Dari hasil pemeriksan terungkap Gayus bekerjasama dengan
petugas. Untuk bisa keluar sel itu Gayus merogoh kocek sampai dengan ratusan juta
untuk keluar selama 30 hari.
Tentu hal ini mencederai rasa keadilan masyarakat dan membuat upaya penindakan
dan penegakan hukum menjadi sia-sia. Tindakan tegas pelu diambil.  Pada kasus-kasus
sebelumnya tindakan tegas dilakukan hanya sebatas administasi saja. Akan tetapi sanksi
administratif tersebut tidaklah efektik dan menimbulkan efek jera faktanya kejadian
tersebut terus berulang.
OTT yang dilakukan oleh KPK patut diapresiasi. KPK mampu membuktikan
kebenaran mengenai isu jual beli fasilitas mewah dan keistimewaan dalam Lapas yang
selama ini telah menjadi rahasia publik. Selain itu KPK juga tegas dengan menindak dan
menjalankan mekanisme penegakan hukum pidana yang dimana sebelumnya penindakan
dilakukan melalui jalur hukum administrasi saja. Akan lebih baik jika penindakan dan
penegakan hukum tersebut hendaknya tidak berhenti pada memidana Kepala Lapas atau
pegawai Lapas serta warga binaan yang menyuap saja. Pengusutan lebih jauh harus
dilakukan, seperti pihak-pihak lain yang mendapatkan bagian dari suap tersebut termasuk
atasan langsung maupun tidak langsung dari Kepala Lapas Sukamiskin, Bandung. 

3. Bahan Diskusi/Tugas ( sudah ada jawaban)


a. Coba anda bandingkan apa saja tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh ICAC di
Hongkong, MACC di Malaysia dan KPK di Indonesia ! Apa saja yang sudah dilakukan
oleh ketiga lembaga tersebut untuk mencegah dan memberantas korupsi?
Jawab

Tugas dan wewenang ICAC, MACC, dan KPK

A. Organisasi ICAAC(Independent Commission Against Corruption) Hongkong

a. Tugas Commissioner diatur dalam Pasal 12 Ordinance Chapter 204, yang meliputi hal-hal
sebagai berikut:

1. Menerima dan mempertimbangkan pengaduan terjadinya praktik korupsidan menyelidiki


setiap pengaduan yang dianggap layak;

2. Penyidikan;

3. Menyelidiki setiap perbuatan pegawai pemerintah menurut pendapat Commissioner,


berkaitan atau mendorong praktik korupsi dan melaporkannya kepada Chief Executive; 

4. Memeriksa praktik dan prosedur masing-masing departemen dari pemerintah dan badan
hukum, guna mempermudah pengungkapan praktik korupsi serta menjamin revisi metode
kerja dan prosedur yang menuntut pendapat Commissioner dapat mendorong praktik korupsi;
5. Menginstruksikan, menasehati, dan mendorong setiap orang atas permintaannya, mengenai
bagaimana cara praktik korupsi dapat ditiadakan oleh orang bersangkutan;

6. Memberi saran kepada departemen dari pemerintah atau badan umum mengenai perubahan
dalam praktik dan prosedur yang sesuai dengan pelaksanaan yang efektif dari tugas masing-
masing departemen atau badan umum bersangkutan yang dianggap perlu oleh Commissioner,
guna mengurangi kemungkinan terjadinya praktik lorupsi;

7. Mendidik publik untuk melawan seluruh aspek jahat korupsi;

8. Mengumpulkan dan memupuk dukungan publik dalam memerangi korupsi.

b. Wewenang ICAAC Hongkong

Wewenang Commissioner dalam Chapter 201 Part III 

• Ayat 13: Wewenang istimewa untuk investigasi dengan surat perintah Commissioner.

• Ayat 13A : Memberintahkan untuk menyediakan bukti dan memberi bantuan mengkopi dan
memotret.

• Ayat 13B : Mengungkap informasi yang didapat pada ayat 13A

• Ayat 13C : Melarang mengumumkan informasi yang diperoleh.

• Ayat 14 :Wewenang untuk memperoleh informasi. Akan tetapi, jika seseorang memberi
informasi palsu dapat didenda dengan HK $20.000 Dan penjara satu tahun.

• Ayat 14A-B Pencabutan undang-undang.

• Ayat 14 Perintah Penahanan.

• Ayat 14DVariasi dan pembatalan perintah penahanan. 

• Ayat 14E Memohon petunjuk pengadilan mengenai kapan perkara disidangkan dan siapa jaksa
penuntut.

• Ayat 15 Penasihat hukum dan informasi yang istimewa yang dapat diperluas terhadap
pembantu penasihat hukum.
• Ayat 16 Wewenang untuk mendapatkan bantuan dan mengajukan petunjuk kepada pegawai
pemerintah. Jika pegawai pemerintah yang diminta bantuan tidak memberikan bantuan dapat
didenda HK $20.000 dan penjara satu tahun.

• Ayat 17 Mempunyai wewenang untuk penyelidikan.

• Ayat 17A Menahan dokumen perjalanan. 

• Ayat 17B Mengembalikan dokumen perjalanan.

• Ayat17C Mengenai ketentuan lebih lanjut tentang pengamanan,penampilan, dan lain-lain.

 
B. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Indonesia 

a. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bertugas:

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi.

2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

b. Wewenang :

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Komisi


Pemberantasan Korupsi berwenang :

A. Pasal 7 huruf a-e melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
a, Komisi Pemberantasan Korupsi Berwenang;

B. Pasal 8 angka (1) menjelaskan bahwa dalam menentukan tugas supervisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instamsi
yang dalam melaksanakan pelayanan publik;

C. Pasal 8 angka (2) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
oleh Kepolisian atau Kejaksaan;

D. Pasal 8 angka (3) menjelaskan bahwa dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil
alih penyidikan atau penuntuan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara berserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
Komisi Pemberantasan Korupsi;

E. Pasal 8 angka (4) menjelaskan bahwa penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi;

F. Pasal 9 menjelaskan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi;

G. Pasal 10 menjelaskan bahwa dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk
mengambil alih tindak pidana korupsi yang ditangani;

H. Pasal 11 huruf a-c menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang;

I. Pasal 12 huruf a-i menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c ;

J. Pasal 12 huruf g menjelaskan bahwa menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,


transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi
serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang
sedang diperiksa;
K. Pasal 12 huruf h menjelaskan bahwa meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi
penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang
bukti di luar negeri;

L. Pasal 12 huruf i menjelaskan bahwa meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang
terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani;

M. Melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi


Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan;

N. Melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e (Ermansjah


Djaja, 2013 : 260-266).

C. BPR (Badan Pencegah Rasuah) Malaysia

Tugas : 

1. Mengenal dan memastikan terjadinya korupsi dan menyalahgunakan wewenang didasarkan


pada informasi serta pengaduan yang diperoleh secara teliti, menyeluru, dan efesien melalui
intelijen dan penyidikan.

2. Memperoleh dan mengumpulkan bukti-bukti secara teliti dan lengkap untuk membuktikan
terjadinya perbuatan korupsi, penyalagunaan wewenang, dan pelanggaran disiplin, melalui
penyidikan yang rapi, cepat, dan efektif.

3. Memastikan keadilan dan kepentingan umum secara berkelanjutan dijamin dengan undang-
undang dan peraturan nasional serta penuntutan yang bijaksana dalam kasus-kasus korupsi
dan penyalahgunaan wewenang.

4. Membantu ketua-ketua organisasi sektor publik dan swasta dalam mengambil tindakan tata
tertib terhadap pegawai mereka yang melanggar peraturan serta kode etik kerja berdasarkan
laporan BPR Malaysia yang lengkap.

Kewenangan : 

1. Kewenangan Memeriksa Orang 


Pemeriksaan dilakukan dengan memanggil orang dan memeriksanya dengan lisan
menurut cara tertentu untuk mengungkap suatu delik. Pejabat itu dapat meminta
diserahkan keadanya buku, dokumen atau salinannya, atau benda lain yang
menurut pendapatnya dapat mengungkapkan suatu delik korupsi. Dapat juga
meminta pernyataan tertulis dibuat di bawah sumpah yang dapat mengungkapkan
suatu delik korupsi. Ketentuan mengenai penyerahan buku atau dokumen atau
salinannya tidak berlaku bagi bank, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (2) ACA (Anti Corruption Act).
Seseorang yang diperiksa oleh pejabat BPR Malaysia tersebut harus
mengungkapkan semua informasi yang diketahuinya dan dapat diperiksa setiap
hari dalam kurun waktu tertentu sampai pemeriksaan itu selesai. Orang tersebut
tidak boleh menyembunyikan, merusak, mengubah, atau mengirim keluar dari
wilyah hukum Malaysia, buku, dokumen, atau benda yang dapat dijadikan alat
bukti delik korupsi, dan tidak dapat beralasan bahwa informasi yang diketahuinya
akan menyebabkan self incrimination kepada dirinya atau istri/suaminya.

2. Kewenangan Melakukan Penggeledahan


Jika cukup alasan berdasarkan informasi yang telah diperoleh bahwa disuatu tempat dengan
disertai bukti telah dilakukan delik korupsi beradasarkan ACA (Anti Corruption
Act),  Penuntut Umum dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat BPR Malaysia
untuk:

a. Memasuki suatu pekarangan untuk mengeledah, menyita atau mengambil buku, dokumen,
atau benda lain;

b. Memeriksa, membuat salinan atau mengambil ekstrak buku, rekaman atau dokumen;

c. Membuka, memeriksa dan menggeledah benda, container atau wadah;

d. Menyetop, menggeledah, dan menyita suatu kendaraan.

3. Kewenangan untuk Menyita Barang Bergerak


Dalam melakukan tugas penyidikan beradasarkan ACA (Anti Corruption Act), maka setiap
pejabat BPR Malaysia yang berpangkat di atas investigator (penyiasat), yang mempunyai
alasan untuk menduga suatu barang bergerak menjadi hal subjek atau bukti berkaitan dengan
delik korupsi, pejabat BPR Malaysia mempunyai kewenangan untuk menyitanya.
Pejabat BPR Malaysia membuat daftar barang yang disita dan mencantumkan lokasi atau
tempat terjadinya penyitaan serta mendandatagani daftar tersebut. Salinan atau copy daftar
barang yang disita diserahkan sesegera mungkin kepada pemilik harta yang disita atau kepada
orang darimana harta itu disita. Harta hasil penyitaan tersebut disimpan disuatu tempat yang
ditentukan oleh pejabat BPR Malaysia yang berpangkat atau di atas Assistant Superintendent.

4. Advokat atau Pengacara dapat Disyaratkan Mengungkap Informasi


Berdasarkan Pasal 27 ACA (Anti Corruption Act), walaupun ditentukan lain dalam
perundang-undangan, seorang hakim Pengadilan Tinggi, dengan permohonan yang diajukan
kepadanya berkaitan dengan penyidikan yang dilakukan mengenai delik berdasarkan
ACA (Anti Corruption Act), dapat memerintahkan advokat atau pengacara untuk
mengungkap informasi yang diketahuinya mengenai transaksi atau berkaitan dengan suatu
harta benda yang dapat disita beradasarkan ACA (Anti Corruption Act). Ketentuan sama
seperti ini juga diatur di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5. Kewajiban untuk Memberi Informasi

Berdasarkan Pasal 28 ACA (Anti Corruption Act),  setiap orang dapat diminta oleh
pejabat BPR Malaysia atau oleh pihak kepolisian untuk memberikan informasi
mengenai hal yang bagi pejabat BPR Malaysia berkewajiban untuk memeriksa
berdasarkan ACA (Anti Corruption Act), yang orang itu mempunyai kuasa
memberikan harus dapat memberikan informasi tersebut

Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi


 
A. ICAAC (Hongkong)

Strategi pemberantasan korupsi yang dimiliki Hongkong memiliki tiga pendekatan


utama, masing-masing pendekatan memiliki tujuan dan sasaran yang berbeda yaitu:
1. Pendekatan pertama yaitu pencegahan(prevention)
Dilakukan melalui legalisasi dan prosedur yang mengatur secara detil
mengenai definisi dan sanksi korupsi.
2. Pendekatan penyelidikan (investigation)

Merupakan langkah-langkah penindakan untuk memberikan efek jera bagi


para pelaku korupsi.
3. Pendekatan pendidikan (education)

Dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan haknya


sebagai warga negara dan kesadaran akan dampak negatif korupsi bagi
kelangsungan pembangunan.

Instrumen perundangan di Hongkong yang berhubungan dengan strategi


pemberantasan korupsi di Hongkong, adalah: 
a) The Independent Commission Against Corruption Ordinance ; 
b) The Prevention of Bribery Ordinance ; 
c) The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance.
 
B. KPK (Indonesia)

Indonesia menempuh strategi pemberantasan korupsi melalui 3 (tiga) pendekatan


yaitu: sistem; regulasi; dan institusional. Pendekatan tersebut didasarkan pada
keterkaitan antara elemen-elemen (pelaku) dalam pemberantasan korupsi yang ada
di Indonesia.
1. Pendekatan sistem yang ditempuh Pemerintah Indonesia mencakup: pencegahan; penegakan
hukum; dan kerjasama.

2. Pendekatan Regulasi dalam memberantas korupsi meliputi: pengesahan Undang-Undang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK); penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor; dan ratifikasi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

C. BPR (Malaysia)

Tiga strategi utama BPR Malaysia dalam memberantas korupsi, yaitu sebagai
berikut:
1. Strategi Pengukuhan: Untuk meningkatkan efektivitas BPR Malaysia, strategi ini memberi
kekuatan pada profesionalisme BPR Malaysia dan menigkatkan kerja sama dengan
penegak hukum anti korupsi internasional dan mass media.

2. Strategi Penggalakan dan Pencegahan:Startegi ini menekankan pada usaha-usaha


penghayatan nilai murni, pencegahan korupsi, dan peningkatan sistem supervise yang tegas
dalam penegakan peraturan perundang-undangan.

3. Strategi Penegakan Hukum: Undang-undang yang baru meningkatkan wewenang BPR


Malaysia yang meliputi aspek pidana mandatory,pembalikan beban pembuktian kepada
tersangka yang kepadatan memiliki harta benda yang berlebihan dibandingkan dengan
pendapatannya, perampasan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usul, dan juga
meningkatkan ketegasan penegakan undang-undang yang memberi dampak pencegahan
untuk melakukan korupsi.

4. Aktivitas Utama

Aktivitas utama dalam pencegahan korupsi adalah sebagai berikut:


1) Aktivitas intelijen (hanya aktivitas tertentu yang dilaporkan)

2) Aktivitas penyidikan.

3) Aktivitas penuntutan.

4) Aktivitas komunikasi dan pendidikan.

5) Aktivitas perancangan dan koordinasi dasar.

6) Aktivitas pengawasan.

7) Aktivitas pelatihan.

8) Aktivitas manajemen dan administrasi.

Sebagai lembaga independen anti-korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK) tentu tak lepas dari kritik terlebih tentang kinerjanya. Berikut beberapa kinerja KPK
yang masih harus diperbaiki menurut beberapa sumber:

1. Dsiparitas Tuntutan 
Disparitas atau perbedaan antara tuntutan jaksa dan putusan hakim dianggap sebagai
catatan penting, karena berdampak pada rasa keadilan, baik dari sisi terdakwa maupun
masyarakat sebagai pihak terdampak kejahatan korupsi.Sebagai contoh, untuk kasus
suap. Anang Basuki, ajudan mantan Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur yang terlibat
kasus suap hanya dituntut 1,5 tahun penjara oleh KPK. Sedangkan Kasman Sangaji,
Pengacara Saipul Jamil yang juga terlibat kasus suap dituntut maksimal 5 tahun
penjara. Padahal kedua terdakwa bersamaan didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Selain itu disparitas tuntutan pun terjadi ketika
KPK mendakwa dengan Pasal terkait kerugian negara. Budi Rachmat Kurniawan,
mantan GM PT Hutama Karya hanya dituntut 5 tahun penjara. Padahal perbuatan yang
bersangkutan diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp40 milyar. Sedangkan
Irvanto Hendra Pambudi, mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera dituntut 12 tahun
penjara dalam kasus pengadaan KTP-El. Keduanya didakwa dengan aturan serupa,
yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persoalan
disparitas saat ini juga sedang menjadi perhatian KPK sendiri dimana lembaga tersebut
juga mulai menyusun pedoman untuk mencegah disparitas tuntutan ini

2. Pencabutan Hak Politik 

Masalah pencabutan hak politik juga masih dianggap minim. Dalam pantuan ICW dari
tahun 2016-2018 KPK setidaknya telah menuntut 88 terdakwa dari dimensi
politik.Akan tetapi yang cukup mengecewakan, KPK hanya menutut 42 terdakwa agar
dicabut hak politiknya. Hal yang patut disesalkan adalah ketika KPK tidak menuntut
pencabutan hak politik atas terdakwa Sri Hartini, Bupati Klaten. Alasan yang diutarakan
jaksa saat itu adalah karena tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak
diperlukan lagi pencabutan hak politik. Padahal tujuan keduanya sudah jelas
berbeda. Pidana penjara dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat merasakan efek
jera atas kejahatan yang dilakukan. Sedangkan pencabutan hak politik dimaksudkan
agar yang bersangkutan tidak dapat menduduki jabatan tertentu.

3. Tunggakan Perkara  

Menurut catatan Koalisi, ada sekitar 18 tunggakan perkara yang belum diselesaikan
KPK, di antaranya kasus dugaan korupsi proyek Hambalang.

4. Penerapan UU Baru yang Mempengaruhi Kinerja


Semenjak UU baru KPK yang disahkan pada 17 September 2019 berlaku, kinerja KPK
malah dinilai merosot oleh berbagai pihak. Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang
berpendapat KPK saat ini cenderung dilihat sebagai instansi yang memiliki banyak
persoalan internal. Mulai dari tumbangnya para pegawai dan pejabat struktural, hingga
pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK. Selain itu juga terdapat beberapa pion
dalam UU yang dinilai menghambat kinerja KPK, diantaranya:

a. Pelemahan Independensi KPK. KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif.


Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK
sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat
constitutional important. Pegawai KPK merupakan ASN, sehingga ada resiko independensi
terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya

b. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus

c. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan
KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana
lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum,
ekonomi, keuangan atau perbankan.

d. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan
atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika
Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas? 

e. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah
dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas,
sehingga: Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga
jabatan profesi lainnya. Dewan Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak
lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK. Sementara itu pihak yang
diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman
pidana di UU KPK

f. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang
menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun. 

g. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada
tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
h. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak
cukup umur (kurang dari 50 tahun). Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia
Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh”
tahun (Pasal 29 huruf e); Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih
tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat.
Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka
pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu
berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50
tahun. Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan
yang diambil tidak sah.

i. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan


terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara
dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan.

j. Pemangkasan kewenangan Penyadapan Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap


Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Jika UU ini diberlakukan, ada 6
tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu: Dari penyelidik yang menangani perkara ke
Kasatgas Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi
Bidang Penindakan Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan Dari Pimpinan ke Dewan
Pengawas Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu Terdapat resiko lebih besar adanya
kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan
kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.

k. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan
lain yang ada di UU KPK.

l. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT
seperti saat ini lagi, yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK bertugas melakukan: a.
Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi Hal ini sering
kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak
yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat
tersebut agar tidak menerima suap.

m. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak
jelas di UU KPK Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait
perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga
siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut. Ada ancaman pidana terhadap pihak
yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan tersebut. Ancaman pidana
diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya.

n. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri
karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga
yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani
kasus korupsi; Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko
Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri. 

o. Berkurangnya kewenangan Penuntutan Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan


Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”, padahal sejumlah
kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa. Norma yang diatur tidak jelas dan
saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas Penyidikan,
tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap Terdakwa yang sebenarnya
hanya akan terjadi di Penuntutan 

p. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas
siapa pihak terkait yang dimaksud.

q. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena
status ASN.

r. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK
(pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik
KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian
mekanisme peralihan ke ASN.

s. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang
kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus
korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan
perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.
Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat
batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar
biasa, bukan tindak pidana umum.
t. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus
tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan
penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa
pejabat tertentu. 

u. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan
Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan
ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal
diundangkan. 

v. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat
menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan

w. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11) Sesuai
dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran
KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan
tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang
diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses
pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang
meresahkan masyarakat. 

x. KPK hanya berkedudukan di Ibukota Negara. KPK tidak lagi memiliki harapan untuk


diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan
wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani
kasus korupsi di seantero negeri.

y. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan Keluhan. Selama ini tidak adanya sanksi tegas
terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur. Kendala
Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab
dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius
memperkuat Kerja Pencegahan.

z. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan
KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak
ada lagi. Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan
publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan.
5. Penurunan Kepercayaan Publik 

Lembaga survei Indo Barometer merilis hasil survei terbarunya yang menyatakan
adanya penurunan kepercayaan publik terhadap KPK. Sementara, masyarakat
menjadikan TNI sebagai lembaga yang paling dipercayai.TNI berada dipuncuk terkait
kepercayaan masyarakat berada diangka 94 persen dan Presiden RI diangka 89
persen. Kemudian organisasi keagaaman seperti NU dan Muhammadiyah berada
diurutan ketiga 86,8 persen disusul KPK diangka 81 persen.

Tidak seperti Indonesia, beberapa Negara di belahan dunia justru tidak memiliki lembaga
khusus anti-korupsi namun memiliki tingkat korupsi yang rendah, salah satunya adalah
Finlandia. di Finlandia korupsi didudukkan sebagai suatu perbuatan kriminal biasa bukan
sebagai extraordinary crime. Finlandia tidak memiliki lembaga khusus dalam memerangi
korupsi. Karena pemerintah Finlandia tidak mempunyai lembaga khusus untuk menangani
masalah korupsi, pencegahan dan pemberantasan korupsi ditangani oleh beberapa
institusi.Pengendalian administratif didesentralisasikan ke berbagai institusi pemerintah, dan
audit internal memegang peran penting dalam mencegah korupsi. Hal ini terjai karena karena
audit internal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai lembaga penelaah mekanisme
pengendalian internal. 

Ditinjau dari sudut perundang-undangan, di Finladia korupsi didudukkan sebagai suatu


perbuatan kriminal biasa sehingga tidak disediakan Undang Undang khusus yang mengatur
tentang korupsi. Bentuk tindak korupsi dan jenis sanksi yang dijatuhkan cukup diatur dalam
Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Ada dua undang-undang yang mengatur masalah korupsi di Finlandia yaitu UU Prosedur
Administrasi dan UU Hukum Pidana. UU Prosedur Administrasi ditekankan untuk
memajukan perilaku yang baik dalam organisasi publik. Prinsip-prinsip yang melandasinya
antara lain, menekankan pejabat untuk bertindak adil dan melaksanakan pekerjaannya, sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Dalam memberikan pelayanan, mereka dilarang memungut
biaya. Sanksi bagi pegawai yang melanggar dapat berupa teguran tertulis sampai dengan
pemberhentian dengan tidak hormat.

Sistem peradilan Finlandia sangat diawasi oleh negara.Hampir tidak pernah ada kasus
warga negara yang melakukan suap kepada hakim, dan bisnis di negara ini memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi terhadap sistem pengadilan. Para pembuat keputusan (hakim) sangat
percaya diri dengan pekerjaan mereka dan mengaku mendapatkan sedikit tekanan.Selain itu,
bila mereka berprestasi, mereka yakin akan naik jabatan. Bukan karena faktor-faktor
asing. Alasan lain yakni negara ini memiliki kebebasan sejati dalam hal keterbukaan dan
penghormatan terhadap media dan jurnalisme. Akses ke informasi sangat penting dan dijamin
secara konstitusional.

b. Adakah yang masih harus diperbaiki dari kinerja KPK yang merupakan lembaga
independen anti-korupsi yang ada di Indonesia? Ada beberapa negara yang tidak
memiliki lembaga khusus yang memiliki kewenangan seperti ketiga lembaga tersebut.
Namun tingkat korupsi di negara-negara tersebut sangat rendah. Mengapa?

4. Bahan Diskusi/Tugas (sudah ada jawaban)


a. Lakukanlah survey mengenai tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga
peradilan baik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun Lembaga Pemasyarakatan.

Jawab

Seberapa Puas Publik Terhadap Lembaga Peradilan? Ini Dia Hasilnya

Dari sisi layanan lembaga pengadilan, Layanan Pendampingan Hukum yang diperankan oleh
Posbakum mendapatkan indeks kepuasan tertinggi, disusul Layanan Mediasi dan Layanan
Administrasi dan Sidang serta Layanan Informasi.

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan Badan
Pengawas Mahkamah Agung didukung Proyek SUSTAIN EU-UNDP, melakukan survei
kepuasan publik terhadap lembaga pengadilan di 60 satuan kerja lembaga pengadilan
(Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama) di 20 Provinsi di
Indonesia. Survei dilakukan pada 21 Januari s/d 15 Februari 2019 melalui wawancara tatap
muka dengan kuesioner.

Total sebanyak 720 responden pengguna layanan pengadilan dari 20 provinsi yakni Nanggro
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua yang ikut survei. Selain itu
survei juga dilakukan wawancara ke beberapa peegak hukum.

“Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya reformasi mewujudan tata kelola lembaga
pengadilan yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Hasil dari survei ini
kepuasan masyarakat terhadap pengadilan meningkat. Namun masih banyak pekerjaan rumah
dan masih banyak melakukan perbaikan dalam pelayanan di pengadilan,” kata Ketua Team
Leader LP3ES Alvon Kurnia Palma, ketika dikonfirmasi Hukumonline, (28/05).

Ia memaparkan hasil survei menunjukkan, secara keseluruhan indeks kepuasan publik


terhadap lembaga pengadilan sebesar 76% berada pada kategori baik. Namun, angka ini
relatif moderat jika dibandingkan hasil pengukuran internal di mana tingkat kepuasan publik
rata-ratanya sebesar 79,8%. Jika dibandingkan dengan baseline indeks kepuasan tahun 2013
sebesar 69,3%, hasil studi kepuasan publik sekarang ini, mengalami peningkatan sebesar
6,7% poin dalam kurun waktu lima tahun (2014 – 2018).

Alvon juga juga menunjukkan, dari berbagai layanan yang diberikan lembaga-lembaga
pengadilan, Layanan Pendampingan Hukum yang diperankan oleh Pos Bantuan Hukum
(Posbakum)/advokat piket mendapatkan indeks kepuasan tertinggi (79%), disusul Layanan
Mediasi dan Layanan Administrasi dan Sidang (masing-masing 75%), serta Layanan
Informasi (74%).

Menurutnya, kepuasan Layanan Pendampingan Hukum, SDM Posbakum dinilai sudah cakap
dalam memberi saran hukum, namun kelengkapan dan keakuratan informasi di lembaga
peradilan masih perlu ditingkatkan. Selain itu, publik juga menilai rendah ketersediaan
ruangan/kantor dan alat penunjang kerja Posbakum, kebersihan toilet, sehingga variabel-
variabel ini perlu ditingkatkan oleh lembaga peradilan dalam meningkatkan layanan
pendampingan hukum ke depan.

- Tingkat kepuasan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan di Indonesia
masih lebih tinggi dibandingkan lembaga legislatif.

Hal ini terungkap berdasarkan hasil riset terhadap kinerja 11 kementerian dan lembaga (K/L)
pada 100 hari masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode 2019-2024, yang
disampaikan Alvara Research Center.
Berdasarkan data hasil riset yang diterima, lembaga penegak hukum, yaitu Polri, dan lembaga
peradilan Mahkamah Agung sama-sama mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 72,7 Persen.
Sementara itu, berada di tempat pertama kepuasan tertinggi lembaga TNI.

"Tingkat kepuasan tertinggi diperoleh TNI (85,2%), disusul kemudian oleh Polri (72,7%),
dan Mahkamah Agung (72,7%)," kata Founder dan CEO Alvara Reserach Center Hasanuddin
Ali berdasarkan data yang diterima, Jumat (14/2/2020).

Setelah itu, berada di urutan selanjutnya berdasarkan peringkat kepuasan publik adalah
Mahkamah Konstitusi 72,4%; KPK (71,1%); Kejaksaan Agung (70,1%); DPD (65,3%), dan
KPU (63,3%).

Rilis survei Kepatuhan Hukum Tahun 2019 pada instansi penegak hukum yang ada di 11
provinsi. Ombudsman RI menyebutkan perlunya ada pembenahan terhadap instansi penegak
hukum terkait administrasi di tingkat pusat atau daerah.

Survei yang dilakukan di 11 Provinsi yaitu, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara
dan Kalimantan Barat.

Anggota Ombudsman RI, Prof. Adrianus Meliala menjelaskan bahwa survei ini dilakukan
untuk melihat sejauh mana tertib administrasi dokumen dalam penyelesaian perkara pidana
umum diterapkan oleh instansi penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

"Hasil kesimpulannya, penilaian terhadap ketersediaan dokumen, pada tahap penyidikan


sebesar 83,39 persen, pada tahap penuntutan sebesar 96,36 persen, pada tahap peradilan
sebesar 100,00 persen, dan pada tahap pemasyarakatan sebesar 86,36 persen. Seluruhnya
masuk pada zona kepatuhan tinggi," jelas Adrianus saat konferensi pers virtual, Kamis (25/6).

Sedangkan, lanjutnya, untuk penilaian terhadap pemenuhan unsur dokumen, didapatkan nilai
masing-masing pada tahap penyidikan sebanyak 31,85 persen atau kepatuhan rendah, pada
tahap penuntutan 70,62 persen atau kepatuhan sedang, pada tahap peradilan 83,39 persen atau
kepatuhan tinggi dan pada tahap pemasyarakatan 53,79 persen atau kepatuhan rendah.

Menurutnya, hasil survei ini menyangkut hasil dari administratif yang sudah dilakukan
terhadap berkas perkara tindak pidana umum berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama
di Pengadilan Negeri.
"Berkas perkara tersebut diperoleh dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan
Lembaga Pemasyarakatan, yang kemudian dianalisis berdasarkan ketersediaannya," ujarnya.

Atas hal tersebut, dia menyampaikan hasil temuan Ombudsman akan diberikan kepada Polri,
Jaksa Agung, Mahkamah dan Kementerian Hukum dan HAM agar menciptakan sistem
penanganan perkara tindak pidana yang lebih baik.

Mulai tahap, yang saling terintegrasi dari penyidikan di Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan,
peradilan di Pengadilan, sampai pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan agar
meningkatkan fungsi kontrol dalam penanganan perkara tindak pidana.

"Sedangkan untuk tingkat daerah, Ombudsman memberikan saran agar instansi penegak
hukum dapat memastikan implementasi peraturan perundang-undangan dan peraturan
internal administrasi pada penanganan perkara tindak pidana umum," pungkasnya.

Diketahui bahwa Ombudsman RI dalam melakukan survei kepatuhan hukum memakai teknik
porposive sampling, yakni teknik yang berdasarkan pertimbangan dan kajian tujuan
penelitian.

Dengan dua indikator ketersediaan dokumen dan pemenuhan dokumen pada sejumlah berkas
perkara pidana umum tetap tingkat pertama terhadap empat lembaga yakni, Kepolisian,
Lembaga Pemasyarakatan, Pengadilan Negeri, dan Kejaksaan Negeri di 11 Kota. [rhm]

b. Apakah masyarakat menilai lembaga-lembaga ini telah berperan dengan baik dengan
bersikap imparsial, jujur dan adil atau justru kinerja lembaga ini dinilai buruk oleh
masyarakat. Berikan analisis anda mengapa demikian?
Ada beberapa lembaga yang sudah berperan baik terhadap hukum di indonesia, namun
kita tidak dapat mengingkari bahwa masih ada beberapa pihak yang main di belakang
korupsi, karna alasan berbagai hal, contoh gaya hidup dan kekuasaan.

5. Ada 5 (lima) Bank yang melakukan penyimpangan terbesar hingga 74% dari total BLBI
penyimpangan 48 bank penerima yaitu :
1.BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul Nursalim
2.BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono Salim
3.Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik Usman Admadjaya
4.Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik Bob Hasan
5.Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan pemilik Atang
Latief (Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII /2000

Anda mungkin juga menyukai