C. korupsi tidak hanya terbatas pada kerugian keuangan saja ini berdasarkan
yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di
dalam Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang
sebelumya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian
yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang
memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan
delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu,
rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
2. A. Tafsiran terhadap unsur melawan hokum materiil negatif dapat terlihat dari
putusan pengadilan dalam menyelesaikan kasus konkrit, seperti Putusan
Mahkamah Agung No. 42/K/Kr/1965 yang menerapkan ajaran ini. Perkara ini
terjadi karena terdakwa, Machrus Effendi yang menjabat sebagai patih pada
Kantor Bupati Sambas, telah mengeluarkan D.O gula insentif padi yang
menyimpang dari tujuannya. Gula insentif tersebut sesungguhnya hanya boleh
dikeluarkan dalam rangka pembelian padi untuk Pemerintah dari para petani dan
menjual gula kepada mereka yang menjual padi kepada Pemerintah. Akan tetapi,
terdakwa telah mengeluarkan D.O gula insentif padi tersebut untuk keperluan
lainnya, seperti untuk ongkos pengangkutan giling, buruh, dan jasa-jasa lain.
Adapun kelebihan harga dari penjualan, terdakwa kemudian gunakan untuk
pembangunanpembangunan daerah diantaranya untuk menyelesaikan rumah
milik Pemerintah Daerah. Dengan berbagai pertimbangan terhadap kasus di atas,
Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa tindakan terdakwa sesungguhnya
merupakan tindakan yang menyimpang dari tujuan awal yang telah ditentukan.
Akan tetapi, perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut jika ditinjau dari sudut
kemasyarakatan, perbuatan terdakwa tersebut justru merupakan wujud
pelayanan yang menguntungkan masyarakat, dan dapat disebut juga melayani
kepentingan umum. Adakalanya kebijaksanaan seperti ini
kadang-kadang terpaksa dihadapi dan diambil oleh aparatur pemerintah daerah
demi kelancaran pembangunan atau demi kepentingan masyarakat daerah. Oleh
sebab itu, dalam putusannya Mahkamah Agung juga menyatakan pendapat yang
serupa dengan Pengadilan Tinggi, dimana suatu perbuatan pada umumnya
dapat hilang sifat melawan hukumnya bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan
dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan
atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Dalam perkara ini
disebutkan beberapa factor yang menjadi kriteria atau tolak ukur yang
digunakan untuk menghapuskan sifat melawan hukum, yaitu:
- negara tidak dirugikan,
- kepentingan umum dilayani, dan
- terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
C. Menurut literasi yang saya baca cara membedakan delik formil dan delik
materil dalam hal perumusannya, yaitu: Pada delik formil, yang dirumuskan
adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya pasal: 160 Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penghasutan, 209 KUHP tentang
penyuapan, 242 KUHP tentang sumpah palsu, 362 KUHP tentang pencurian.
Pada pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362
KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang
yang kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau
tidak. Sedangkan delik material selain dari pada tindakan yang terlarang itu
dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru
dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya:
pasal 187 KUHP tentang pembakaran dan sebagainya, 338 KUHP tentang
pembunuhan, 378 KUHP tentang penipuan, harus timbul akibat-akibat secara
berurutan kebakaran, matinya si korban, pemberian sesuatu barang.
3. A. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada
pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Berbeda
dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah
dimulai dari tahap pendahuluan yakni penyelidikan dan penyidikan.
Pembuktian terhadap kasus tindak pidana korupsi mengenai alat-alat bukti tetap
mengacu pada pasal 184 KUHAP dan Pasal 26A Undang-undang No 20 Tahun
2001. Alat bukti yang disebutkan pada pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
B. Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat
penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan
perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara
pidana itu sendiri
C. pengaturan alat bukti tindak pidana korupsi sebagai salah satu alat bukti
khusus perkara tindak pidana korupsi, disamping dapat diperoleh dari alat bukti
berupa keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, juga diperoleh: bahwa
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic.
B. Secara teknis yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa
pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara
perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa
yang, antara lain, menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak
pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang harus membuktikan)
kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak, dan
sebagainya. Sedangkan jaksa pengacara negara (JPN) sebagai penggugat harus
membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian
keuangan negara akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa,
atau terpidana; adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana
yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan Negara. Selain
itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang
sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Berharap Banyak Pembentuk UU Tipikor, tampaknya, berharap banyak untuk
mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. Lihat saja, misalnya,
ketentuan tentang dimungkinkannya melakukan gugatan perdata dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti.
Secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (pasal 32), gugatan terhadap
ahli waris, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan
gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum
pernah dilakukan. Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah
dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang
menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa, atau
terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban
kepada ahli warisnya. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehkan
mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau
perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan
pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir
meskipun telah dipanggil dengan layak. Keinginan besar untuk mengembalikan
kerugian negara dan julukan korupsi sebagai extraordinary crime tidak didukung
oleh perangkat hukum yang ada, khususnya dalam upaya pengembalian
kerugian negara melalui gugatan perdata.
Dalam hal ini, hukum acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan
cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik,
adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas
penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara.