A. Definisi 1. Istilah ekstradisi berasal dari bahasa lain, “extradere” atau penyerahan. Secara etimilogis, kata ekstradisi berasal dari dua suku kata yaitu “extra” dan “tradition”. Ekstradisi adalah sebuah konsep yang berbeda dengan tradisi yang telah berabad abad di priaktikan di antara bangsa-bangsa. Praktik tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi “asylum”(pelindung) bagi siapa saja yang memohon perlindungan dan tradisi untuk memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara (tuan rumah) atas mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan kekecualian dari asylum. 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi sebagai mana dinyatakan dalam pasal 1 undang-undang tersebut memberikan definisi ekstradisi sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena Selanjutnya Pasal 2 mengatur bahwa ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian ataupun atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya. 3. L. Oppenheim: Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to habe been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be. (Ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan) 4. J.G. Starke: Extradirion is the process where by under treaty or upom a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the law of the requesting state competent to try alleged offender. (Ekstradisi menunjukan suatu proses di mana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang- undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan yang berwenang untuk mengadili penjahatan tersebut yang dilakukannya B.1. Ada 2 Elemen mendasarkan dalam ekstradisi yang satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan: a. Elemen kerja sama antarnegara; b. Elemen penegakan hukum. B.2. Ada 2 Aspek Ekstradisi sebagai bentuk kerja sama antar negara: 1) Dari aspek landasan pelaksanaan ekstadisi, yaitu adanya perjanjian atau dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara menghendakinya; 2) Dari aspek ekstradisi sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dapat disimpulkan dari tujuan dilaksanakannya ekstradisi tersebut atas kejahatan yang dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut. C. 5 Unsur dalam Ekstradisi a. Subjek Hukum Dilihar dari unsur subjek hukumnya, yaitu subjek-subjek hukum yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi, terdiri atas: 1. Negara peminta sebagai negara yang berkepentingan untuk mengadili atau menghukumnya; 2. Negara diminta sebagai negara tempat sipelaku kejahatan itu berada. b. Objek Hukum Unsur objek hukumnya, sebagai orang yang diminta, boleh jadi berstatus seabgai tersangka, tertuduh, terdakwa ataupun sebagai terhukum. Dalam hubungan ini kedudukannya adalah sebagai onjek atau sasaran dari permintaan negara peminta kepada negara uang dimintai ekstradisi maupun sebagai objek dari pengestradisian atas dirinya oleh negara peminta itu dikabulkan oleh negara yang di mintai ekstradisi. Secara singkat orang ini disebut sebagai “orang yang di minta” (the requested person). c. Tata Cara/Prosedur Unsur tata cara atau prosedur meliputi tata cara untuk mengajukan permintaan dengan segala persyaratannya, tata cara untuk memberitahukan apakah permintaan itu dikabulkan ataukah ditolak, dan jika dikabulkan selanjutnya adalah tata cara untuk menyerahkan orang yang diminta. Dengan demikian ada suatu prosedur atau tata cara formalitas tertentu yang harus dipenuhi atau diikuti oleh kedua pihak. Itulah sebabnya permintaan ataupun penyerahannya lazim disebut permintaan ataupun penyerahan yang dilakukan secara formal. Prosedur dilakukan dengan cara: 1. Saluran diplomatik; 2. Inisiatif dilakukan oleh negara yang memiliki yurisdiksi terhadap pelaku kejahatan; 3. Negara tempat pelaku kejahatan berada tidak boleh melakukan penangkapan sepanjang keberadaan pelaku dinegara tersebut tidak menggangu kepentingan nasional ataupun melanggar hukum; 4. Masalah ekstradisi baru muncul apabila ada permohonan dari negara peminta secara formal d. Maksud dan Tujuan Unsur maksud dan tujuan, dimana permintaan negara peminta ataupun penyerahan oleh negara yang dimintai ekstradisi atas diri orang yang diminta adalah dengan maksud dan tujuan untuk mengadilinya atas kejahatan yang telah dilakukan yang menjadi yurisdiksi dari negara peminta, atau jika dia sudah bersatuts sebagai terhukum adalah dengan maksud dan tujuan untuk pelaksanaan hukuman atau sisa hukumannya di negara peminta. Jika hal itu sudah berhasil dilakukan berati maksud dan tujuan dari ekstradisi itu sudah tercapai. e. Dasar/Landasan Unsur dasar atau landasan yaitu bisa berupa perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya antara kedua pihak atau jika perjanjian ekstradisi itu tidak atau belum ada, sepanjang para pihak bersedia dapat juga didasarkan atas hubungan baik secara timbal balik. Apabila para pihak (negara peminta dan negara yang dimintai ekstradisi) sebelumnya sudah terikat pada suatu perjanjian ekstradisi ternyata pada suatu waktu menghadapi suatu kasus ekstradiksi, penyelesaiannya haruslah berdasarkan pada perjanjian tersebut. Sebaliknya jika para pihak setuju proses mengacu pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum tak tertulis tentang ekstradisi D. Kedudukan Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana Kedudukan Ekstradisi Dalam Sistem Peradilan Pidana tidak semata- mata mendasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi yang secara eksplisit tidak mengatur terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi subjek hukum yang akan di ekstradisi namun ekstradisi dalam system peradilan pidana telah secara alamiah tunduk dan mengikatkan diri dengan peraturan perundangan yang mengatur penghormatan terhadap hak asasi subjek hukum yang menjadi subjek dalam system peradilan pidana, yaitu terikat dan tunduk terhadap: 1) Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kuhap dan Konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik International Convention On Civil and Poltical (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No 12 Tahun 2005 yang mewajibkan Indonesia untuk segera menyesuaikan ketentuan hukum positif yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR; 2) Komitmen bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi penghormatan terhadap HAM dalam proses peradilan pidana yang makna hukumnya adalah bahwa tujuan penegakan hukum bukan semata- mata untuk menghukum para pelaku kejahatan, akan tetapi usaha perlindungan harus diimbangi dengan Procendural safeguards against the arbitrary was conduct of the state (prosedur usaha perlindungan sebagai wasit terhadap tingkah laku/tindakan negara), yang artinya bahwa adanya prosedur usaha perlindungan terhadap hak-hak individu dari tersangka ataupun terdakwa yang terlibat didalamnya dari bentuk kesewenang wenangan negara, yang diwujudkan melalui proses hukum yang adil (due process of law), serta pembatasan jangka waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh negara Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi tidak mengatur tentang tentang pembatasan penahanan, sehingga dengan diundangkan Undang-undang No 8 Tahun 1981 dan Undang-undang No 12 Tahun 2005, maka praktek pelaksanaan ekstradisi, telah mempedomaninya due process of law, dan terhadap tersangka atau terdakwa dapat menempuh upaya pra peradilan, yang dapat membuktikan bahwa proses pemeriksaan perkara ekstradisi telah mengarah pada proses peradilan pada umumnya. Ada referensi pelaksanaan ekstradisi dalam system peradilan pidana Indonesia yaitu: a. Putusan Pengadilan Negeri Batam No 01/Prd.Pra/2015/PN BTM tanggal 20 April 2015 telah mengabulkan permohonan pra peradilan yang diajukan oleh termohon Ekstradisi, atas nama Lim Yong Nam warga negara Singapura yang dimintakan ekstradisi oleh pemerintah Amerika Serikat atas kejahatan penipuan, yang amar putusannya bahwa penangkapan dan penahanan oleh polda kepri tidak sah. b. Penggadilan Tinggi DKI No 16/Pid/plw/2014/PT Dki mengabulkan keberatan JPU atas penetapan PN Jaksel No 01/Pid.C/Fks/2013/PN Jkt selasa tanggal 11 Juli 2013 dalam perkara Ekstradisi atas nama Sayed Abbas Azad bin Sayed Abdul Peraturan Dalam Undang-undang Ekstradisi yang mengatur lembaga otoritas pusat (central authority) maupun model Treaty On Extradiction yang diterbitkan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 45/116 Tahun 1960) yang juga menggunakan pendekatan Central authority dengan mekanisme bantuan timbal balik dalam masalah-masalah pidana (Mutual Legal Assistance/MLA), dimana dalam model ini tidak mengatur tentang penghormatan terhadap hak-hak asasi subjek hukum yang dimintakan ekstradisi kecuali hanya mengatur bahwa permintaan ekstradisi dilakukan melalui saluran diplomatik yang didukung dengan dokumen pendukungnya yaitu dilaksanakan secara langsung antar Menteri Kehakiman atau Lembaga lain yang ditunjuk oleh pihak. Model ini mewajibkan negara untuk memilih saluran komunikasi yang digunakan dalam proses ekstradisi apakah memalui saluran diplomatik atau secara langsung kepada Lembaga pemerintah yang berwenang. Hal ini dapat dilihat lebih jelas dalam interpretasi yang diberikan oleh United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC), 2012, Manual on Mutual Legal Assistance and Extradiction, United Nations, New York, hal 36: Outgoing or incoming mutual legal assistance or extradition request will essentially be a legal exercise involving domestic criminal law and procedure, such as the rules of evidence and search an seizure, of at least two States, along with the applicable domestic laws, if any, pertaining directly to mutual legal assistance or extradition. Issues of international criminal practice such as the interpretation of a treaty, or perhaps a number of treaties, in an attempt to either find standing to make a request or respond to a request, may also have to be considered. In many cases, there will also be interaction with police, appearances before magistrates and judges, negotiations with defence counsel, communication with prosecutors and witnesses and the management and assessment of legal documentation, pleadings and exhibits. Bantuan hukum timbal balik yang keluar atau masuk atau permintaan ekstradisi pada dasarnya adalah suatu pelaksanaan hukum yang melibatkan hukum dan acara pidana dalam negeri, seperti aturan pembuktian dan penggeledahan suatu penyitaan, di setidaknya dua Negara, bersama dengan undang-undang domestik yang berlaku, jika ada, berkenaan dengan hal tersebut. langsung pada bantuan hukum timbal balik atau ekstradisi. Persoalan praktik kriminal internasional seperti penafsiran suatu perjanjian, atau mungkin sejumlah perjanjian, dalam upaya untuk mendapatkan alasan untuk mengajukan permintaan atau menanggapi permintaan, mungkin juga harus dipertimbangkan. Dalam banyak kasus, juga akan ada interaksi dengan polisi, kehadiran di hadapan hakim dan hakim, negosiasi dengan penasihat hukum, komunikasi dengan jaksa dan saksi serta pengelolaan dan penilaian dokumentasi hukum, pembelaan dan bukti The role responsibilities of such an office have been described above, along with the suggested profile of the counsel who should staff if. Given the nature and type previously mentioned, as well as already established domestic line of communication to the courts, prosecutors, police and other investigative agencies, all bolster the concept of housing the central authority in this department. (Tanggung jawab peran dari kantor tersebut telah dijelaskan di atas, bersama dengan profil penasihat yang disarankan yang harus menjadi stafnya. Mengingat sifat dan jenis yang disebutkan sebelumnya, serta jalur komunikasi domestik yang sudah terjalin dengan pengadilan, jaksa, polisi dan lembaga investigasi lainnya, semuanya mendukung konsep perumahan otoritas pusat di departemen ini.) EKSTRADISI DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. KEWAJIBAN NEGARA UNTUK MELAKSANAKAN EKSTRADISI Praktek ekstradisi pada awalnya bukan merupakan budaya barat, melainkan dilakukan oleh negara-negara seperti Mesir, China. Kasdim, dan Babilonia. Dalam penerapannya, penyerahan seseorang yang diminta oleh negara asalnya dilakukan melalui sebuah upacara yang digelar secara besar-besaran. Ekstradisi biasanya dilakukan perjanjian atau kesepakatan, namun dapat pula dilandaskan pada hubungan timbal balik atau untuk menunjukan niat baik dan persahabatan antar negara-negara yang berdaulat. Pelaksanaan ekstradisi yang pertama kali tercatat dalam sejarah terjadi pada tahun 1280 sebelum Masehi. Dalam dokumen tertua kedua dalam sejarah diplomasi internasional, ditulis bahwa Ramses II, Fiuraun dari Mesir menandatangani perjanjian damai dengan suku Het, setelah ia berhasil upaya mereka untuk menyerbu Mesir. Dokumen ini ditulis dalam bahasa Hieroglyphik dan dipahat pada kuil Ammon di Maka dan juga disimpan dalam bentuk sebuah loh batu di arsip yang disimpan oleh suku Het di Boghazkoi. Perjanjian damai tersebut secara tegas menyatakan mengenai kesepakatan untuk menyerahkan orang yang dicari oleh masing-masing negara yang mencari suaka ke negara lainnya. Setelah masa itu, konsep ekstradisi tidak banyak mendapat perhatian sampai dengan kejayaan Kekaisaran Roma sekitar tahun 400 – 100 sebelum Masehi. Salah satu pelaksanaan ekstradisi yang terkenal pada masa itu adalah permintaan Roma untuk mengembalikan Hannibal dari Suria sesuai dengan perjanjian pasca perang yang ditandatangani antara kedua negara. Hukum Roma yang berlaku pada masa itu memperbolehkan untuk mengekstradisi warga negara Roma yang melakukan kejahatan terhadap para Duta Besar yang berada di wilayah kekuasaan Romawi Dalam perjalanannya, praktik ekstradisi yang awalnya didasarkan pada sebuah perjanjian, ternyata dapat pula dilakukan atas dasar hubungan baik antara kedua negara. Praktik saling mengekstradisi ini kemudian berlanjut secara terus menerus dan berkembang menjadi suatu pranata hukum ekstradisi sebagai hukum kebiasaan. Kebiasaan tersebut selanjutnya diperkuat dengan pendapat ahli hukum internasional masa itu yaitu Hugo de Groot atau yang lebih dikenal dengan Grotius yang memperkenalkan konsep hukum internasional yakni aut dedere aut puniere (bahwa setiap pelaku kejahatan dimanapun berada atau ditemukan haruslah dihukum). Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 1648, juga memberikan dampak positif terhadap perkembangan hukum tentang ekstradisi, di mana dengan adanya perjanjian tersebut, melahirkan prinsip penghormatan kedaulatan tiap negara sehingga setiap negara yang seharusnya memiliki yurisdiksi untuk mengadili para buronan (fugitive offenders) yang bersembunyi di negara lain, tidak dengan mudah masuk ke negara lain tersebut dan kemudian menangkap serta membawa buronan itu ke wilayahnya, melainkan dibutuhkan pranata hukum ekstradisi sebagai upaya kedua negara untuk menegakan hukum dengan tidak melanggar batas kedaulatan negara tetangga Gagasan untuk menggunakan ekstradisi sebagai instrumen dalam mendukung upaya penegakan hukum mulai mencul pada periode Tahun 1833 sampai 1948. Pada periode ini, mulai tumbuh kesadaran bersama untuk menggunakan ekstradisi sebagai instrumen internasional guna menekan tingginya angka kejahatan, termasuk kejahatan konvensional. Setelah Perang Dunia II Lembaga hukum Ekstradisi diwarnai dengan Hak Asasi Manusia sebagai manifestasi dari Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), dimana terdapat beberapa point penting dari perkembangan hukum ekstradisi akibat pengaruh pengakuan, perlindungan serta jaminan terhadap HAM. Sebagai perkembangannya, terdapat beberapa asas-asas ekstradisi yang selanjutnya menjadi asas baku yang diakui dan diterima oleh masyarakat Internasional, antara lain sebagai berikut: 1. Asas kejahatan ganda (double criminality principle); 2. Asas kekhususan (Speciallity principle/ rule of speciality); 3. Asas tidak mengesktradisikan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal); 4. Asas tidak mengekstradisikan warga negara dari negara yang di mintai ekstradisi; 5. Asas kadaluarsa (laps of time principle); 6. Asas ne bis in idem; 7. Terhadap kejahatan yang diancam hukuman mati, jika menurut negara yang dimintai ekstradisi kejahatan tersebut tidak diancam hukuman mati, sementara menurut hukum negara peminta, kejahatan tersebut diancam hukuman mati, maka negara yang di mintai ekstradisi dapat menolak penyerahan (ekstradisi) kecuali negara peminta dapat menjamin bahwa pelaku tidak pidana tersebut tidak dijatuhi hukuman mati. Selanjutnya, Model Law on Extradition yang diterbitkan oleh Majelis Umum PBB mengatur mengenai beberapa landasan untuk menolak permintaan ekstradisi, yaitu sebagai berikut: a. Ekstradisi tidak akan diberikan jika menurut pandangan dari Pejabat yang berwenang dari negara yang diminta, orang yang dicari/buronan tersebut tidak akan menerima standard minimum untuk dilakukan proses peradilan yang adil dari negara yang meminta dilakukannya ekstradisi tersebut. b. Ekstradisi dapat ditolak, jika kejahatan dilakukan diluar batas teritorial dari negara peminta dan hukum dari negara yang dimintai ekstradisi tidak mengijinkan penuntutan untuk kejahatan yang sama tersebut Ketika dilakukan diluar teritorial dari sebuah Negara. c. Asas-asas tersebut dapat dikesampingkan semua yaitu terhadap pelaku tindak pidana yang akan diserahkan kepada Pengadilan kejahatan internasional (International Criminal Court or Tribunal). Dalam Model Law Treaty juga mengatur mengenai bentuk kejahatan yang dapat diekstradisikan, yaitu apabila: a. Kejahatan tersebut dapat dijatuhi pidana berdasarkan hukum dari negara peminta dengan pidana penjara atau perampasan kemerdekaan lainnya unutk jangka waktu maksimum paling sedikit satu atau dua tahun, atau hukuman yang lebih berat lainnya; b. Perbuatan tersebut tergolong sebagai kejahatan dan dapat dijatuhi pidana berdasarkan hukum dari negara yang diminta dengan pidana penjara atau bentuk pidana perampasan kemerdekaan lainnya untuk jangka waktu maksimum paling sedikit satu/dua tahun, atau hukuman yang lebih berat lainnya; c. Terhadap seseorang buronan yang telah dijatuhi hukuman penjara atau hukuman perampasan kemerdekaan lainnya berdasarkan kejahatan yang telah dilakukannya tersebut, tidak dapat dilakukan ekstradisi kecuali masih ada jangka waktu untuk menjalani hukuman minimal 6 (enam) bulan atau lebih; d. Dalam menentukan apakah satu kejahatan adalah kejahatan yang dapat dipidana oleh hukum yang berlaku di negara yang dimintai ekstradisi dan hukum yang berlaku di negara yang meminta, tindaklah perlu diperhatikan, apakah terhadap kejahatan tersebut memiliki kesamaan kategori kejahatan, terminology, definisi atau karakteristik yang sama dari kedua Negara; e. Perbuatan yang melanggar hukum dari negara peminta terkait dengan pajak, bea cukai, dapat menjadi kejahatan yang bisa dikenakan ekstradisi apabila kejahatan tersebut memiliki kesamaan nuansa dengan hukum dari negara yang dimintai ektradisi; f. Apabila permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang dapat dikenakan pidana oleh hukum dari negara peminta, namun demikian kejahatan tersebut untuk sebagaian tidak sesuai dengan ketentuan atas, yaitu adanya pidana maksumum paling sedikit lamanya 1 (satu) atau 2 (dua) tahun atau lebih, maka ektradisi tetap dapat diberikan. Dalam perkembangannya, konsep menggunakan esktradisi sebagai instrumen dalam mendukung upaya penegakan hukum diwujudkan dengan munculnya berbagai konvensi internasional yang mewajibkan negara pihak dalam konvensi tersebut untuk mendorong efektivitas ekstradisi sebagai salah satu bentuk kerja sama internasional di bidang penegakan hukum. Diantara berbagai konvensi tersebut, dua konvensi yang dapat dikatakan memberikan landasan bagi pengembangan ekstradisi sebagai instumen kerja sama penegakan hukum adalah Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional (United Nations Convention against Transnational Organized Crime, disingkat UNTOC) yang ditandatangani di Palermi, Italia pada tahun 2000 dan Konvensi PBB tentang Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption, disingkat UNCAC) yang ditandatangani di Merida, Meksiko pada tahun 2003. Kedua konvensi internasional tersebut dikatakan sebagai tonggak perkembangan ekstradisi sebagai instrumen dalam upaya penegakan hukum mengingat jumlah negara yang menandatangani dan meratifikasi kedua konvensi terbilang cukup besar. UNTOC yang pada saat pengesahannya ditandatangani oleh 140 negara, sampai dengan bulan April 2015 telah diratifikasi oleh 175 negara di dunia. Kedua konvensi Internasional tersebut menyatakan bahwa dalam hal sebuah negara mengatur ekstradisi hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian, maka negara tersebut pada saat ratifikasi konvensi tersebut dapat menganggap konvensi tersebut sebagai perjanjian ekstradisi dengan negara-negara pihak lainnya. Dari ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa dalam perspektif internasional, telah menjadi instrumen utama dalam kerja sama pengakan hukum internasional yang pelaksanaannya tidak lagi hanya sebatas ada atau tidak adanya kemauan dua negara untuk bekerja sama, melainkan sebuah kesepakatan internasional yang diharuskan terlembaga dalam sistem hukum di setiap negara. Kedua konsep dalam memandang ekstradisi tersebut, yaitu di satu sisi sebagai bentuk kerja sama antaranegara dan di lain sisi sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya penegakan hukum pada gilirannya menimbulkan diskursus dalam memahami ekstradisi yaitu antara konsep tradisional ekstradisi dan konsepnya yang modern. Dalam konsepnya yang tradisional, dimana ekstradisi masih dipahami sebagai kerja sama antar negara, maka pelaksanaan ekstradisi merupakan kewenangan pemerintah yang dalam hal ini berhak untuk mengabulkan atau menolak permintaan ekstradisi merupakan keputusan eksekutif yang melekat pada Pemerintah. Konsep ekstradisi dalam bentuknya yang tradisional tersebut tidak dapat dilepaskan dari azas “non intervensi” yang dikenal dalam hukum internasional. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali di negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Mengingat yurisdiksi hukum sebuah negara hanya dapat diterapkan dalam batas wilayah negara tersebut, maka Ketika pelaku kejahatan telah keluar dari batas yurisdiksi negara yang berhak mengadilinya, upaya memulangkan orang tersebut tidak lagi dipandang sebagai permasalahan penegakan hukum melainkan telah menjadi ruang lingkup hubungan diplomatik antar negara yang pelaksanaannya diserahkan pada keputusan politik Pemerintah. Sebaliknya, dalam konsepnya yang modern, di mana ekstradisi di anggap merupakan bagian integral dari upaya penegakan hukum, maka pelaksanaan ektradisi harus dilakukan sesuai prinsip proses hukum yang adil (due process of law) yang menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk orang yang dimintakan ekstradisi. Telah menjadi pehamanan yang diterima secara umum bahwa sejuah mana upaya perlindungan hak-hak asasi manusia di sebuah negara dapat dilihat dari sistem peradilan pidana yang berlaku di negara tersebut. Dalam konteks perlindungan hak-hak manusia tersebut maka negara pada dasarnya memiliki dua macam kewajiban yaitu di satu sisi negara dan aparaturnya dilarang untuk melakukan tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan di lain sisi negara wajib memberikan perlindungan atau mencegah pelangagran hak-hak asasi manusia yang dilakukan terhadap seseorang oleh siapapun. Oleh karena itulah, maka jaminan procedural yang terlembaga dalam proses penegakan hukum seperti hak atas persidangan yang adil (fair trial) dan batasan waktu penahanan merupakan fundamental mendasarkan dalam upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut. Pemahaman yang memandang ekstradisi sebagai bagian integral dari upaya penegakan hukum pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kesadaran aparat penegakan hukum di seluruh dunia bahwa untuk mengatasi perkembangan kejahatan yang telah memasuki dimensi baru di tengah era globalisasi saat ini, maka upaya penegakan hukum tidak boleh dibatasi oleh kendala yurisdiksi dan batasan antar negara. Di kala pelaku kejahatan dapat mudahnya berpindah tempat dan mengendalikan kegiatan kejahatannya atau dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, maka penegakan hukum pun harus dilakukan dengan sama lintas negara. Organisasi Penegak Hukum yang berskala internasional seperti Asosiasi Jaksa Internasional (International asspciation of prosecutor disingkat, IAP) telah menyatakan kebulatan tekad untuk menigkatkan kerja sama di antara mereka dalam upaya memberantas kejahatan. Dalam Deklarasi Busan tentang Kerjasama Antara Para Pimpinan Kejasaan (The Busan Declaration On Cooperation Among High Level Prosecutors) yang dihasilkan pada Konferensi Regional IAP Asia Pasifik kelima di Seoul, Korea Selatan, 8 – 12 Juni 2008, para Pimpinan Kejaksaan di seluruh dunia sepakat untuk menciptakan kerjasama yang lebih erat dan kuat di masa yang akan datang termasuk memperkuat dengan pondasi hukum sebagai dasar kerja sama bilateral, jika memungkinkan dengan memperluas jangkauan dari perjanjian ekstradisi dan perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam masalah pidana untuk kerjasama yang lebih sukses. Dalam penerapannya saat ini, konsep mana yang dipilih dalam pengaturan ektradisi di berbagai belahan dunia pun masih beragam. Sebagai contoh, Amerika Serikat sampai saat ini masih menerapkan ekstradisi hanya berdasarkan perjanjian bilateral, sedangkan negara Uni Eropa Mulai mengembagkan pelaksanaan ekstradisi atas dasar perjanjian multilateral. Sementara itu pelaksanaan ekstradisi yang dilandaskan pada prinsip resiprositas pun telah banyak dilakukan oleh negara-negara di berbagai belahan dunia. Disamping itu, walaupun masalah ekstradisi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari hukum internasional tetap peninjauan dan pembahasannya tidaklah mungkin hanya ditekankan pada segi-segi hukum internasional saja, sebab ada hal-hal yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi terutama hal- hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan, yaitu antara lain penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain- lainnya. B. PERKEMBANGAN EKSTRADISI SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL Ekstradisi pada dasarnya memiliki dua elemen mendasar yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan yaitu elemen kerja sama antarnegara dan elemen penegakan hukum. Ekstradisi sebagai bentuk kerja sama antara negara dapat dilihat dari landasan pelaksanaan ektradisi, yaitu adanya perjanjian atau dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya. Sementara itu, ekstradisi sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dapat disimpulkan dari tujuan dilaksanakannya ekstradisi tersebut yaitu untuk mengadili dan memidana seseorang karena disangka atau dipidana atas kejahatan yang dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut. Sebagai bentuk kerja sama antar negara untuk saling menyerahkan orang yang diminta oleh salah satu pihak, maka konsep ekstradisi justru pada awalnya merefleksikan hubungan politik antara kedua negara. Ekstadisi seringkali digunakan untuk meminta pengembalian musuh-musuh politik atau musuh keagamaan dari golongan yang berkuasa, sedangkan para pelaku kejahatan konvensional jarang dicari dan di mintakan ekstradisi karena dianggap perbuatan mereka hanya merugikan individu dan tidak mengancam kepentingan negara atau kepentingan umum. Sementara itu, gagasan unutk menggunakan ekstradisi sebagai instrumen dalam mendukung upaya penegakan hukum mulai muncul pada periode Tahun 1833 sampai 1948. Pada periode ini, mulai tumbuh kesadaran bersama untuk menggunakan ekstradisi sebagai instrumen internasional guna menekan tingginya angka kejahatan, termasuk kejahatan konvensional. Dalam perkembangannya, konsep menggunakan ekstradisi sebagai dalam mendukung upaya penegakan hukum diwujudkan dengan munculnya berbagai konvensi internasional yang mewajibkan negara pihak dalam konvensi tersebut untuk mendorong efektifitas ekstradisi sebagai salah satu bentuk kerja sama internasional di bidang penegakan hukum. Di antara berbagai konvensi tersebut, dua konvensi yang dapat dikatakan memberikan landasan bagi pengembangan ekstradisi sebagai instrumen kerja sama penegakan hukum adalah Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional (United Nations Convention Against Transnational Organized, disingkat UNTOC) yang ditandatangani di Palermo, Italia pada tahun 2000 dan Konvensi PBB tentang Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption, disingkat UNCAC) yang ditandatangani di Merida, Meksiko pada tahun 2003. Kedua konvensi internasional tersebut dikatakan sebagai tonggak perkembangan ekstradisi sebagai instrumen dalam upaya penegakan hukum mengingat jumlah negara yang menandatangani dan meratifikasi kedua konvensi terbilang cukup besar. UNTOC yang pada saat pengesahannya ditandatangani oleh 147 negara, sampai dengan bulan April 2015 telah diratifikasi oleh 185 negara di dunia. Sedangkan UNTAC yang pada saat pengesahannya ditandatangani oleh 140 negara, sampai dengan bulan April 2015 telah diratifikasi oleh 175 negara di dunia. Kedua konvensi Internasional tersebut menyatakan bahwa dalam hal sebuah negara mengatur ekstradisi hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian, maka negara tersebut pada saat ratifikasi konvensi tersebut dapat menganggap konvensi tersebut sebagai perjanjian ekstradisi dengan negara-negara pihak lainnya. Dari ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa dalam perspektif internasional, telah menjadi instrumen utama dalam kerja sama pengakan hukum internasional yang pelaksanaannya tidak lagi hanya sebatas ada atau tidak adanya kemauan dua negara untuk bekerja sama, melainkan sebuah kesepakatan internasional yang diharuskan terlembaga dalam sistem hukum di setiap negara. Dalam konsepnya yang tradisional, dimana ekstradisi masih dipahami sebagai kerja sama antar negara, maka pelaksanaan ekstradisi merupakan kewenangan pemerintah yang dalam hal ini berhak untuk mengabulkan atau menolak permintaan ekstradisi berdasarkan pertimbangan kepentingan. Dengan demikian maka sesuai konsep tersebut, ekstradisi merupakan keputusan eksekutif yang melekat pada pemeritah. Konsep ekstradisi dalam bentuknya yang tradisional tersebut tidak dapat dilepaskan dari azas “non intervensi” yang dikenal dalam hukum internasional. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali di negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Mengingat yurisdiksi hukum sebuah negara hanya dapat diterapkan dalam batas wilayah negara tersebut, maka Ketika pelaku kejahatan telah keluar dari batas yurisdiksi negara yang berhak mengadilinya, upaya memulangkan orang tersebut tidak lagi dipandang sebagai permasalahan penegakan hukum melainkan telah menjadi ruang lingkup hubungan diplomatik antar negara yang pelaksanaannya diserahkan pada keputusan politik Pemerintah. Sebaliknya, dalam konsepnya yang modern, di mana ekstradisi di anggap merupakan bagian integral dari upaya penegakan hukum, maka pelaksanaan ektradisi harus dilakukan sesuai prinsip proses hukum yang adil (due process of law) yang menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk orang yang dimintakan ekstradisi. Telah menjadi pehamanan yang diterima secara umum bahwa sejuah mana upaya perlindungan hak-hak asasi manusia di sebuah negara dapat dilihat dari sistem peradilan pidana yang berlaku di negara tersebut. Dalam konteks perlindungan hak-hak manusia tersebut maka negara pada dasarnya memiliki dua macam kewajiban yaitu di satu sisi negara dan aparaturnya dilarang untuk melakukan tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan di lain sisi negara wajib memberikan perlindungan atau mencegah pelangagran hak-hak asasi manusia yang dilakukan terhadap seseorang oleh siapapun. Oleh karena itulah, maka jaminan procedural yang terlembaga dalam proses penegakan hukum seperti hak atas persidangan yang adil (fair trial) dan batasan waktu penahanan merupakan fundamental mendasarkan dalam upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut. Pemahaman yang memandang ekstradisi sebagai bagian integral dari upaya penegakan hukum pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kesadaran aparat penegakan hukum di seluruh dunia bahwa untuk mengatasi perkembangan kejahatan yang telah memasuki dimensi baru di tengah era globalisasi saat ini, maka upaya penegakan hukum tidak boleh dibatasi oleh kendala yurisdiksi dan batasan antar negara. Di kala pelaku kejahatan dapat mudahnya berpindah tempat dan mengendalikan kegiatan kejahatannya atau dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, maka penegakan hukum pun harus dilakukan dengan sama Organisasi Penegak Hukum yang berskala internasional seperti Asosiasi Jaksa Internasional (International asspciation of prosecutor disingkat, IAP) telah menyatakan kebulatan tekad untuk menigkatkan kerja sama di antara mereka dalam upaya memberantas kejahatan. Dalam Deklarasi Busan tentang Kerjasama Antara Para Pimpinan Kejasaan (The Busan Declaration On Cooperation Among High Level Prosecutors) yang dihasilkan pada Konferensi Regional IAP Asia Pasifik kelima di Seoul, Korea Selatan, 8 – 12 Juni 2008, para Pimpinan Kejaksaan di seluruh dunia sepakat untuk menciptakan kerjasama yang lebih erat dan kuat di masa yang akan datang termasuk memperkuat dengan pondasi hukum sebagai dasar kerja sama bilateral, jika memungkinkan dengan memperluas jangkauan dari perjanjian ekstradisi dan perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam masalah pidana untuk kerjasama yang lebih sukses. Dalam penerapannya saat ini, konsep mana yang dipilih dalam pengaturan ektradisi di berbagai belahan dunia pun masih beragam. Sebagai contoh, Amerika Serikat sampai saat ini masih menerapkan ekstradisi hanya berdasarkan perjanjian bilateral, sedangkan negara Uni Eropa Mulai mengembangkan pelaksanaan ekstradisi atas Sementara itu pelaksanaan ekstradisi yang dilandaskan pada prinsip resiprositas pun telah banyak dilakukan oleh negara-negara di berbagai belahan dunia. Disamping itu, walaupun masalah ekstradisi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari hukum internasional tetap peninjauan dan pembahasannya tidaklah mungkin hanya ditekankan pada segi-segi hukum internasional saja, sebab ada hal-hal yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi terutama hal- hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan, yaitu antara lain penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain- lainnya. C. LEMBAGA PELAKSANA EKSTRADISI Ekstradisi merupakan bentuk kerja sama penegakan hukum internasional dengan mekanisme yang komplek dan mencakup lintas kewenangan yang tersebut di berbagai instansi terkait. Permasalahan mengenai siapakah yang berwenang mengajukan, menerima, memproses serta memutuskan dapat atau tidaknya ekstradisi dilaksanakan merupakan pertanyaan dengan jawaban yang beragam tergantung dari hukum positif yang berlaku di masing-masing negara, Sebagaimana telah dikemukakan di atas, subjek dalam pelaksanaan ekstradisi pada dasarnya menyangkut dua negara, yaitu negara peminta dan negara yang dimintai ekstradisi. Dengan demikian maka jelaslah bahwa selain aspek hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara, ekstradisi juga berkait dengan hukum positif yang berlaku di masing-masing negara, baik terkait mekanisme kerja sama internasional, birokrasi pemerintah maupun hukum acara pidana yang mengatur cara bekerjanya kepolisian, kejaksaan serta pemeriksaan di persidangan dalam memproses pemintaan ekstradisi tersebut. Bervariasi pengaturan tentang mekanisme kerja sama internasional serta lembaga yang berwenang untuk melaksanakan kerja sama tersebut, mendorong PBB untuk mengeluarkan Model Treaty on Extradition berdasarkan Resolusi Nomor 45/116 Tahun 1990, yang memberikan pedoman bagi negara-negara untuk mewujudkan keseragaman pengaturan tentang proses ekstradisi sehingga diharapkan dalam meningkatkan efektivitas pelaksamaam ekstradisi sebagai sebuah instrumen internasional. Pasal 5 Model perjajian Ekstradisi mengatur bahwa permintaan ekstradisim dokumen pendukung dan komunikasi selanjutnya dilakukan melalui saluran diplomatik, secara langsung antar Menteri kehakiman ataupun lembaga lain yang ditunjuk oleh para pihak. Dengan demikian maka Model Ekstradisi yang dikeluarkan PBB tersebut mewajibkan negara untuk memilik saluran komunikasi yang digunakan dalam proses ekstradisi yaitu apakah melalui a) saluran diplomatik atau b) secara langsung kepada lembaga pemerintah yang bewenang, yang dalam hal ini dapat merupakan Menteri Kehakiman ataupun lembaga lain yang ditunjuk. Selanjutnya Pasal 10 Model Perjanjian Ekstradisi mengatur bahwa negara yang dimintai ekstradisi menangani permintaan ekstradisi sesuai dengan prosesdur yang berlaku menurut hukum positifnya, dan wajib untuk secepatnya memberitahukan tentang keputusannya kepada negara peminta. Dari ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa secara garis besar, proses pelaksanaan ekstradisi melibatkan 2 (dua) lembaga, yaitu: a. Saluran komunikasi (transmitting autority), yang berwenang untuk menerima, menyalurkan serta memberitahukan keputusan tentang permintaan ekstradisi; dan, b. Lembaga yang berwenang melakukan proses ekstradisi (competent authority), yaitu lembaga yang ada kenyataannya melaksanakan proses ektradisi, termasuk berbagai upaya paksa serta pemeriksaan yang diperlukan dalam pengambilam keputusan terkait ekstradisi, sesuai dengan hukum positif yang berlaku di masing-masing negara. Selanjutnya, didorong oleh komitmen untuk mewujudkan mekanisme kerja sama yang efektif, konvensi PBB tentang Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisir atau United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (selanjutnya disebut UNTOC) mengatur mengenai kewajiban negara pihak untuk membentuk central authority di masing-masing negara yang berperan sebagai pusat informasi dan koordinasi terhadap mekanisme kerja sama Konsep central authority walaupun menurut UNTOC hanya dikenal dalam mekanime bantuan timbal balik dalam masalah-masalah pidana, namun dalam perkembangannya juga disarankan untuk diterapkan dalam mekanisme ekstradisi. Selanjutnya menurut Manual on Mutual Legal Assistance and Extradition yang diterbitkan oleh UNODC pada tahun 2007, karakteristik otoritas pusat seharusnya mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: 1. Authoritis with “the responsibility and power to execute request or to transmit them to the competent authorities fox execution (otoritas-otoritas yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam mengeksekusi permintaan atau untuk menyampaikan permintaan kepada otoritas berwenang untuk pelaksanaannya); 2. The central authority should effectively be a national central coordinating office, wether its competency is no make request, execute the or merenly transmit them”(Otoritas pusat harus secara efektif sebagai kantor pusat koordinasi nasional, baik kompetensinya untuk membuat permintaan, melaksanakan/menjalankan permintaan atau hanya menyampaikan permintaan). 3. Central Authority should have a number of key additional functions to those referred to (Otoritas pusat harus memiliki beberapa fungsi pokok tambahan seperti hal-hal berikut): a. to receive, review and transmit request (menerima, mengkaji, dan menyampaikan permintaan); b. advise its international counterparts on the legal and other requirements and constraints relevant to the making or effective execution of international requests (memberikan masukan untuk pihak counterpart internasional tentang hukum dan persyaratan-persyaratan lain dan hal relevan lain yang terkait untuk pembuatan atau pelaksanaan permintaan internasional yang efektif); c. if it is not itself able to execute the request, advise which other, if any, domestic authority could (jika otoritas tersebut tidak dapat melaksanakan suatu permintaan sendiri, menyerahkan pada pihak lain, jika ada, pada otoritas domestic lain yang dapat melaksanakannya);and d. carry out a leadership, liaison, co-ordination and quality control role domestically to ensure thath outgoing request from the requesting state can be executed as quickly and effectively as Possible in the requested state (menjalankan kepemimpinan, pemnghubung, koordinasi dan secara domestic peran pengendalian kualitas untuk memjamin permintaan keluar dari negara peminta dapat dilaksanakan secepat dan seefektif mungkin pada negara yang BAB 3 KEJAHATAN LINTAS NEGARA A. PERKEMBANGAN KEJAHATAN LINTAS NEGARA Secara konseptual, transnational crime atau kejahatan transnasional adalah tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional di tahun 1990an dalam The Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kejahatan transnasional menurut kongres tersebut diartikan sebagai the large-scale and complex criminal activities carried out by tightly or loosely organized associations and aimed at the establishment, supply and exploitation of illegal markets at the expense of society (aktivitas kejahatan yang berskala besar dan komples, dilakukan oleh organisasi kejahatan baik yang bersifat tertutup maupun terbuka, dan ditujukan untuk membentuk, mengsuplai dan ekspolitasi pasar gelap yang merugikan masyarakat). Menurut Gergard O.W.Mueller dalam Transnational crimel:Definitions and Concepts, pada pertengahan tahun 1990an, banyak peneliti mendefinisikan “kejahatan transnasional” untuk menyebut offences whose inception, prevention, and/or direct or indirect effects involve more than one country. Mueller sendiri menggunakan istilah kejahatan transnasional untuk mengidentifikasi certain criminal phenomena transcending international borders, trans-gressing the laws of several states or having an impact on another country. (sebuah fenomena kejahatan yang melampaui Batasan negara, melanggar hukum dari beebrapa negara atau kejahatan yang berdampak pada negara lain). Namun demikian, sebelum berkembangannya istilah transnational crime tersebut, pada sekitar tahun 1970an telah lebih dulu berkembang istilah organized crime yang oleh PBB diartikan sebagai the large-scale and complex criminal activity carried on by groups of those participating and at the expense of the community and its members. Istilah “transnational crime” diperkenalkan untuk menjelaswkan kaitan kompleks yang ada antara organized crime , white—collar crime dan korupsi yang merupakan masalah serius yang dimunculkan akibat “kejahatan sebagai bisnis” (crime as business). Pengaturan kegiatan kejahatan melangkaui perbatasan negara dan berdampak pada pelanggaran hukum berbagai negara, telah menjadi karakteristik yang paling membahayakan dari kelompok kejahatan yang bergiat di tingkatan internasional. Selanjutnya, James O. Finckenauer menggagaskan bahwa terdapat sejumlah tantangan yang menurutnya unik dalam mencegah atau menanggulangi fenomena kejahatan transnasional, yaitu sebagai berikut: a. kondisi pengalaman sosial dan kultural, berikut dengan pengalaman- pengalaman yang menyertainnya, berbeda antara satu negara dengan yang lain. Seperti peribahasa yang dikenal di Indonesia “lain padang, lain ilalang”; b. Terdapatnya kejahatan yang tidak terikat dalam batas suatu negara, seperti kejahatan yang dihasilkan melalui teknologi telekomunikasi, yaitu contohnya cybercrime. c. Semakin mudahnya perjalanan dan berkomunikasi secara global, mempermudah keinginan-keinginan untuk menyembunyikan kejahatan dan menghindari penegakkan hukum; d. Arahan atau orientasi dari hukum dan penegakkan hukum suatu negara, selain juga permasalahan hukum antar negara seperti ekstradisi. Berdasarkan sejumlah paparan tersebut, makan tepatlah bila dapat dikatakan membicarakan transnational crime bukanlah terpaku pada satu bentuk kejahatan saja, namun lebih kepada cara suatu kelompok kejahatab beroperasi, seperti yang dikemukakan oleh Louise L. Shelly, bahwa kelompok-kelompok transnational crime adalah sebagai berikut: e. Bermakarkas besar di satu negara; f. Terlibat tindak kejahatan dalam satu atau terkadang beberapa negara yang kondisi pasarnya lebih menjanjikan; g. melakukan tindakan gelap yang menyediakan kecilnya resiko “penangkapan”. Selanjutnya menurut Sardjono, kejahatan transnasional dapat di artikan secara luas sebagai keseluruhan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat lintas batas negara. Batasan definisi dan klasifikasi dari kejahatan transnasional menunjukkan adanya unsur lintas batas atau menyangkut kepentingan bukan hanya domestic dari suatu negara, tetapi juga kepentingan negara lain. Selain istilah kejahatan transnasional, juga dikenal terminology kejahatan internasional, yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang memang diperangi oleh seluruh umat manusia yaitu kejahatan seperti perang, penjajahan dan perbudakan. Kejahatan Internasional seperti ini dapat dikategorikan dalam hukum humaniter yang membahas secara khusus mengenai hukum perang internasional. Ada pula kejahatan internasional perkembangan dari dari bentuk kejahatan yang dikenal secara domestic yang berubah sifatnya dan berkembang menjadi ancaman masyarakat internasional secara umum seperti perdagangan orang dan peredaran obat bius. I Wayan Parthiana dalam bukunya, Hukum Pidana Internasional merumuskan definisi dan klasifikasi kejahatan internasional sebagai berikut: Pertama, Dimensi-dimensi internasional dari hukum pidana nasional bisa saja pada hukum pidana nasional itu yang diberlakukan keluar batas-batas wilayah Negara yang bersangkutan. Misalnya pemberlakuan hukum pidana nasional terhadap kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negara tetapi menimbulkan korban yang berada di luar wilayah negara, seperti korban-korban di laut lepas atau di ruang udara di atas laut lepas. Kedua, Dimensi-dimensi internasional dari kejahatannya adalah kejahatan dengan segala akibatnya itu tidak terjadi semata-mata di dalam batas wilayah negara yang bersangkutan, tetapi juga di wilayah neagra lain, sehingga tersangkut kepentingan atau hukum nasional negara atau negara-negara lainnya, misalnya kejahatan yang dilakukan di suatu negara ternyata menimbulkan korban di pelbagai negara. Sebagai contoh adalah Kejahatan pemalsuan mata uang yang dilakukan di wilayah suatu negara dan kemudian diedarkan ke negara-negara yang mata uangnya dipalsukan. Ketiga, bahkan dimensi internasionalnya itu bisa terjadi pada subjek hukumnya, baik subjek hukum sebagai si pelaku maupun korban dari kejahatan tersebut. Misalnya, beberapa orang yang berada di wilayah negara yang berbeda-beda, bekerja sama melakukan kejahatan yang menimbulkan korban juga di pelbagai negara. Dalam hal ini,tersangkut kepentingan lebih dari satu negara dengan hukum nasionalnya masing- masing. Keempat, kombinasi dari pertama, kedua, dan ketiga. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, dapat dijumpai pelbagai jenis kejahatan yang boleh jadi menampakan semua aspek seperti dipaparkan diatas. Prof. Dr. H.R. Abdussalam dalam bukunya Hukum Pidana Internasional memberikan juga Batasan definisi dari kejahatan internasional yang juga berbeda aspek procedural penegakan hukumnya menjadi: a. Tindak pidana internasional yang merupakan pelanggarah hukum hak asasi manusia dalam keadaan damai yang dikenal dengan istilah transnational crimes. Elemen-elemen dari transnational crime, antara lain conduct affecting more than one state, conduct including or affecting citizen of more than one state, means and methods tranced national boundaries b. Tindak pidana internasional yang merupakan penaggaran hukum hak asasi manusia dalam konflik bersenjata baik internasional maupun non internasional disebut juga pelangagran hukum humaniter internasional (pelanggaran tehadap konvensi-konvensi dan protokol). Dengan perkemmbangannya yang demikian pesat, kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime- UNTOC). UNTOC menyebutkan bahwa transnational organized crime (TOC) atau kejahatan lintas negara terorganisir adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas tiga orang atau lebih, dalam kurun waktu tertentu dan dilakukan secara terorganisir dengan tujuan unutk melakukan satu atau lebih kejahatan serius sebagaimana yang dimaksud di dalam konvensi dalam rangka memperoleh, secara langsung maupun tak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya. Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangant kompleks. Beberapa factor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut. Pada Pertemuan Tingkat Tinggi yang diselenggarakan di Majelis Umum PBB tanggal 17 Juni 2010, sekretaris Jendral PBB Ban Ki-Moon menyebutkan bahwa di satu sisi ancaman kejahatan lintas negara semakin meningkat namum di sisi lain kemampuan negara untuk mengatasinya masih terbatas. Untuk itu, sangant penting bagi negara-negara untuk meningkatkan Kerjasama internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman kejahatan lintas negara tersebut. UNTOC yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No.5 Tahun 2009 menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan stwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdanganan manusia, penyeludupan migran serta produksi dan perdaganan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelapnarkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dam tiga konvensi terkait narkoba sebelum disepakatinya UNTOC, yaitu Single Convention on Narcotic Drugs, Covention on psychotropic substances 1971 melalui UU No. 8 Tahun 1971, Convention against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988. Seiring perkembangan jaman, terdapat berbagai kejahatan lintas negara lainnya yang perlu ditangani secara bersama dalam kerangka multilateral, seperti kejahatan pencurian dan penyeludupan objek-objek budaya, pedagangan organ tubuh manusia, environmental crime (seperti illegal logging dan illegal fishing),cyber crime Meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai konsep dan definisi atas beberapa kejahatan tersebut, secara umum kejahatan ini merujuk secara luas kepada non-violent crime yang pada umumnya mengakibatkan kerugian finansial. Semakin beragam dan meluasnya tindak kejahatan lintas negara tersebut telah menarik perhatian dan mendorong negara-negara di dunia melakukan Kerjasama untuk menanggulangi kejahatan tersebut di tingkat bilateral, regional dan multilateral. Di tingkat multilateral, PBB memprakarsai dan melakukan Langkah-Langkah peningkatan kerja sama internasional memberantas kejahatan lintas negara, sejalan dengan implementasi Konvensi-konvensi terkait yang ada, seperti : UNTOC dan 3 Protokolnya, UNCAC, Single Convention on Narcotics Drugs 1961, Convention on Psychotropic Subtances 1971 dan UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988. Terkait dengan itu, juga telah dibangun jejaring antar intansi focal point masing-masing negara sebagaimana yang dimandatkan oleh masing-masing konvensi, yang dihadapkan dapat mempercepat penanganan terhadap kejahatan lintas negara. Indonesia terus mempertegas komitmennya dan mendorong upaya untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara yang terorganisir. Dalam kaitan itu, Indonesia telah meratifikasi UNTOC melalui UU No. 5 Tahun 2009, selain itu, terdapat sejumlah instrumen hukum internasional lainnya, yang telah ditandatangani dan juga diratifikasi Indonesia seperti: a. Single Convention on Narcotic Drugs 1961 melalui UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang mengubahnya; b. Convention on Psychotropic Subtance 1971 melalui UU No.8 tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971; c. Convention against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988 melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika,1998). d. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children melalui UU No .14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan orang Terutama Perempuan dan Anak-anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); e. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Air and Sea melalui UU No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Air and Sea (Protokol Menentang Penyeludupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa- bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); f. United Nations Convention against Corruption 2003 melalui UU No. 7 Tahun 2006. Dengan semakin luas dan canggihnya jaringan kejahatan yang dibentuk tentunya berdampak pula pada semakin sukarnya melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan ini. Oleh karena itu, dalam upaya mencegah dan memberantas kejahatan transnasional teroganisasi, kerja sama di antara negara- negara, baik yang sifatnya bilateral maupun multilateral merupakan hal yang sangat penting untuk segara direalisasikan. Model kerja sama internasional dalam kaitan pencegahan dan pemberantasan kejhatan transnasional terorganisasi memiliki banyak bentuk, diantaranya: perjanjian ekstradisi, perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual assistance in criminal matters), perjanjian tentang transfer dalam proses beracara, dan sebagainya. Di antara model-model perjanjian tersebut, perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantual timbal balik dalam masalah pidana merupakan perjanjian yang sangat penting dalam pengungkapan kejahatan transnasional terorganisasi karena telah terbukti efektif sebagai cara untuk mencegah, menangkap, dan menjatuhi pidana terhadap pelaku kejahatan transnasional. B. KEJAHATAN TERKAIT YURISDIKSI ASING Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestic negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum “par in parem non habet imperium”. Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang bentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalm wilayah negaranya. Anthony Csafani, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in Internasional Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut:”Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berati hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri”. Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Didalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Di samping itu, ada beberapa orang (subjek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut. Menurut Rebecca M.M Wallace, yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentuka (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang. Setiap negara berdaulat yang tekag diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk memunjukan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyrakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tidakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus dilindunginya. Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannya dalam wilayah negara itu. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstren. Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negeri. Dengan hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujur apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional. Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda didalam batas-batas teritorialnya, dan dalam semua perkara berdata dan pidanayang timbul didalam batas- batas teritorial ini. Prinsip yurisdiksi teritorial ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional, yaitu bahwa suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat. Dari uraian diatas terdapat hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kewenangan yurisdiksinya. Menurut Glanville Williams hubungan yang erat tersebut dapat dijelaskan karena adanya faktor-faktor berikut: 1. Negara dimana suatu perbuatan tindak pidana kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan paling kuat untuk menghukumnya; 2. Biasanya sipelaku penjahat ditemukan dinegara tempat yang melakukan tindak pidana; 3. Biasanya pengadilan setempat (local forum) dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan dinegara tersebut; 4. Adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal bila seseorang tundak pada dua sistem. Namun demikian, adakalanya yurisdiksi itu harus tunduk kepadapembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional. Dalamhal ini yang dimaksud adalah "hak-hak istimewa ekstrateritorial", yaknisuatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimanastatus seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan luar negeri Di samping itu, ada beberapa orang (subjek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipunmereka berada di dalam negara tersebut.Oleh karena itulah, selain prinsip yurisdiksi teritoial, juga dikenalprinsip yurisdiksi personal, yaitu suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga.Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Yurisdiksi personal, berbeda dengan yurisdiksi atas wilayah bergantung Pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum.Kualitas ini dapat membenarkan suatu negara-negara menjalankan yurisdiksinya apabila orang itu berada dalam kekuasaan negara dan proses peradilan dapat dilaksanakan terhadapnya. Hal ini pada umumnyaterjadi apabila seorang individu memasuki wilayah negara tersebut, baiksecara sukarela maupun akibat tindakan ekstradisi. Menurut praktik internasional dewasa ini yurisdiksi terhadapindividu dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip berikut: a. Prinsip nasional aktif. Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya. Prinsip ini pada umumnya diberikan oleh hukum internasional kepada semua negara yang hendak memberlakukannya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah bahwa negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana diluar negeri; b. Prinsip nasionalitas pasif. Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian hukum internasional mengakui prinsip ini tetapi dengan beberapa pembatasan. Dalam Cutting case tampat bahwa negara yang tidak mengakui prinsip ini, juga tidak wajib memberikan pengakuan terhadap peradilan yang dilaksanakan oleh negara lain terhadap warga negaranya. Dasar pembenar prinsip nasionalitas pasif adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya diluar negeri, dan apabila negara teritorial dimana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut maka negara asal korban berwenang menghukum tidak pidana itu, apabila orang itu berada diwilayahnya. Tetapi sebagai keberatan dapat dikemukakan bahwa kepentingan umum negara tidak terganggu, karena salah seorang warga negara itu dirugikan Disamping yurisdiksi teritorial dan personal, dalam perkembangan yang juga dikenal yurisdiksi disebut menurut prinsip perlindungan dan prinsip yurisdiksi internasional Menurut prinsip perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan diluar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan. integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain. Sementara itu, menurut prinsip Yurisdiksi Universal setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu). Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip yurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang. Yurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Setiap negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajakan dilaut, Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada yurisdiksi setiap negara meskipun jenis kejahatan ini sangat sensitif dan lebih berat bobot politiknya. Sebagai tambahan, Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah Pidana, di antaranya: Perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia yang dimuat dalam Undang-undang No . 9 Tahun 1974, perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Philipina melalui Undang-undang No.10 Tahun 1976, perjanjian ektradisi dengan pemerintah kerajaan Thailand melalui Undang-undang No. 2 Tahun 1978, serta pejanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan pemerintah Australia pada Tahun 1995. C. PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG EKSTRADISI DI BERBAGAI NEGARA 1. Ekstradisi di Amerika Serikat Proses ektradisi kepada Amerika Serikat dimulai dengan permintaan disampaikan oleh negara peminta kepada menteri luar negeri Amerika Serikat dokumentasi yang diperlukan oleh perjanjian. Dalam hal terdapat kekawatiran bahwa orang yang dicari akan dapat melarikan diri, maka sebelum dikirimkannya permintaan ekstradisi secara formal, negara peminta dapat terlebih dahulu mengirimkan permintaan secara informal disertai permohonan penangkapan sementara dengan jaminan bahwa akan segera ditindaklanjuti dengan dokumen resmi permintaan ekstradisi yang di perlukan. Dalam kedua kondisi tersebut, menteri Luar Negeri sesuai dengan pertimbangannya, dapat meneruskan permintaan tersebut kepada Jaksa Agung untuk memulai prosedur penangkapan buronan dengan tujuan bahwa permintaan tersebut dapat didengar dan dipertimbangkan Pedoman bagi Para Jaksa (The united states Attorneys Manual) selanjutnya mengatur peranan Jaksa Agung terhadap proses ekstradisi tersebut, sebagai berikut: 1. Kantor Urusan Internasional (Office of Internatinal Affairs, disingkat OIA) Departemen Kehakiman meneliti kelengkapan syarat-syarat permintaan ekstradisi dan menerukannya kepada Kantor Kejaksaan di wilayah dimana buronan tersebut ditemukan; 2. Setelah memperoleh surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan, maka Jaksa yang ditugaskan untuk menagani kasus tersebut dapat menangkap orang yang dicari dan membawanya kepada hakim magistrat atau hakim distrik, dimana Pemerintah dapat mengajukan penolakan terhadap kemungkinan pelepasan dengan jaminan terhadap orang tersebut. Bedasarkan ketentuan 18 U.S.C §3184, sebuah sidang peradilan akan diselenggarakan untuk menentukan apakah buronan tersebut di ekstradisikan. Tujuan dari pemeriksaan di persidangan tersebut adalah untuk menentukan apakah terdapat dasar-dasar yang kuat (probable cause) untuk meyakini bahwa termohon ektradisi benar-benar melakukan tindak pidana yang diatur dalam perjanjian ekstradisi. Dalam konteks tersebut, termohon ektradisi dapat megemukakan pendapat dan bukti-bukti atau menolak mengakui keberadaan dasar-dasar yang diajukan negara peminta tersebut. Namun demikian kesempatan untuk melakukan pembelaan secara lengkap sebagaimana dikenal dalam hukum acara pidana tidak dikenal dalam pemeriksaan persidangan ekstradisi. Dalam hal pengadilan menganggap bahwa tidak terdapat halangan bagi pelaksanaan ekstradisi, maka termohon ekstradisi tidak dapat mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Namun demikian, ia tetap memiliki hak yang mengajukan peninjauan ulang secara terbatas berdasarkan prinsip Habeas corpus, yang pada dasarnya menyangkut pertimbangan atas kewenangan pengadilan untuk mengadili, apakah tindak pidana yang dituduhkan termasuk dalam perjanjian ekstradiksi, dam dalam hal yang sangat terbatas, apakah terdapat bukti-bukti yang kuat sebagai dasar ketetapan hakim yang menyatakan bahwa terdapat dasar-dasar yang layak (reasoneable ground) untuk meyakini bahwa permohon ektradisi bersalah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Terhadapan putusan Pengadilan distrik atas keberatan termohon ekstradisi yang diajukan berdasarkan prinsip habeas corpus, termohon ekstradisi dapat mengajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi. Dalam perkembangannya, sebagai konsekuensi diratifikasinya Konvensi PBB anti penyiksaan (U.N.Conventions against torture, singkat CAT) , kongres Amerika Serikat memberlakukan § 2422 atas pembaruan ketentuan hubungan internasional (the Foreign Affairs Act of 1998, disingkat FARRA), yang mewajibkan seluruh lembaga federal untuk menyesuaikan prosedur yang berlaku menyesuaikan prosedur yang berlaku dalam hubungan internasional untuk melaksanakan kebijakan tersebut. CAT sendiri mengajukan bahwa negara pihak tidak boleh mengusir, mengembalikan atau melaksanakan ektradisi terhadap seseorang pada negara lain dimana terdapat alasan mendasar untuk meyakini bahwa orang tersebut akan menghadapi kemungkinan penyiksaan. Selanjutnya, setelah pengadilan mengeluarkan ketetapan bahwa orang tersebut bahwa orang tersebut dapat ektradisi, maka pengadilan meneruskan ketetapan tersebut kepada menteri luar negeri yang diberikan kewenangan untuk mengambil kebijakan apakah akan menyerahkan buronan kepada negara peminta. Dalam hal menteri luar negeri memutuskan untuk menyerahkan orang tersebut kepada negara peminta, maka kantor urusan internasional (office of International Affairs, disingkat OIA) Departemen Kehakiman memberitahukan negara peminta untuk mempersiapkan serah terima termohon ekstradisi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian ektradiksi, dengan ketentuan bahwa termohon ekstradisi dapat dibebaskan jika dalam jangka waktu tertentu,negara peminta tidak dapat melaksanakan serah terima tersebut namun dalam beberapa kasus, atas dasar Konvensi PBB Anti Penyiksaan dan Undang- Undang Hubungan Luar Negeri 1998, pada kenyataannya termohon ekstradisi kembali dapat mengajukan keberatan atas keputusan Menteri Luar Negeri yang diambil pasca terbitnya ketetapan Pengadilan. Dengan demikian, maka keberadaan konvensi tersebut serta peraturan pelaksanaannya oleh sebagian kalangan dianggap memperluas kewenangan pengadilan untuk mempertimbangkan pelaksanaan ekstradisi, walaupun dalam hal ini masih terdapat perbedaan pandangan apakah peninjauan ulang berdasarkan Konvensi Anti Penyiksaan PBB tersebut dapat dibenarkan. 2. Ekstradisi di Filipina Ketentuan ekstradisi dalam hukum Filipina diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 1069 Tahun 1977 (Presidential Decree No. 1069, c. 1977).Pasal 4 ketentuan tersebut mengatur mengenai proses pelaksanaan ekstradisi yang diajukan kepada Fillipina oleh negara peminta, yaitu sebagai berikut. 1. Setiap negara yang telah memiliki perjanjian ekstradisi denganfilipina atau konvensi terkait ekstradisi dimana Filipina menjadi pihaknya, dapat mengajukan permintaan ektradisi terhadap seseorang yang diduga berada di wilayah hukum filipina 2. Permintaan harus diajukan melalui saluan diplomatik negara peminta, ditujukan kepada Menteri Luar Negeri dengan dilengkapi dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Selanjutnya, Pasal 20 mengatur bahwa dalam keadaan darurat Negara peminta dapat meminta penahanan sementara kepada Pemerintah Filipina sebelum diajukannya permintaan ekstradisi secara resmi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4. Pemintaan penahanan sementara tersebut akan dikirimkan kepada Direktur Biru Investigasi nasional di Manila baik melalui saluran diplomatik atau dikirmkan langsung melalui telegram. Setelah telah menerima permintaan penahan sementara tersebut, Direktu Biro Invenstigasi nasional atau Pejabat untuk yang ditunjuk olehnya, segera meminta surat perintah penangkapan diri Hakim pada pengadilan regional di Provinsi atau distrik yang wilayah hukumnya meliputi tempat pemohon ektradisi diduga berada. Direktu Biro Investigasi Nasional melalui menteri luar negeri selanjutnya meberitahukan hal tersebut kepada negara peminta. Jika dalam 20 hari setelah penahan sementara terhadap permohon ektradisi, menteri luar negeri belum menerima permintaan ekstradisi secara resmi serta dokumen dimaksud dalam Pasal 4 dari negera peminta, maka termohon ekstradisi harus segara dilepaskan dari penahanan sementara. Namun demikian pelepasan dari penahanan sementara tersebut tidak menutup kemungkinan untuk kembali melakukan penangkapan serta pelaksanaan ektradisi secara resmi telah diterima sesuai dengan perjanjian ataupun konvensi terkait Pasal 5 selanjutnya mengatur bahwa kecuali jika menurut menteri luar negeri, permintaan ekstradisi yang diajukan tidak memenuhi syarat yang diajukan dalam peraturan ini serta perjanjian ekstradisi ataupun konvensi terkait, maka menteri luar negeri wajib meneruskan permintaan ekstradisi tersebut serta dokumen- dokumen kelengkapannya kepada Jaksa Agung yang kemudian segara menunjuk seorang Jaksa untuk menangani perkara tersebut. Jaksa yang telah ditunjuk kemudia mengajukan permintaan secara tertulis disertai dengan kelengkapan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan kepada pengadilan regional di provinsi atau distrik yang wilayah hukumnya meliputi tempat termohon ektradisi diduga berada, dengan permintaan agar pengadilan memeriksa dan mempertimbangkan permintaan ekstradisi tersebut. Menurut Pasal 6, setelah menerima permintaan tertulis dari jaksa terkait permohonan ekstradisi, hakim pada Pengadilan Regional sesegera mungkin, memanggil termohon ektradisi untuk menghadap ke pengadilan dan memberikan tanggapannya atas permohonan ekstradisi terhadap dirinya tersebut pada waktu dan tanggal yang ditentukan dalam surat panggilan. Hakim tersebut dapat menerbitkan perintah penahanan terhadap termohon ekstradisi yang berlaku di seluruh wilayah hukum Filipina jika menurutnya, bahwa penahanan terhadap termohon ektradisi dibutuhkan untuk menjamin kelancaran penanganan perkara. Sejalan dengan hal tersebut, maka jika termohon ektradisi tidak memenuhi panggilan pada waktu sidang yang telag ditentukan, atau jika ia tidak berada dalam penahanan, maka Pengadilan selanjutnya dapat mengeluarkan perintah penahanan terhadap yang berlaku di seluruh wilayah hukum Filipina (Pasal 8). Berdasarkan ketentuan Pasal 9, dalam persidangan perkara ektradisi, ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dapat diterapkan selama mungkin untuk diterapkan serta tidak bertentangan dengan sifat kesederhanaan pemeriksaan perkara ektradisi, dan jalannya persidangan harus dilakukan dalam cara yang menjamin pemeriksaan yang adil seta azas perdilan cepat. Alat bukti berupa keterangan di bawah sumpah dapat digunakan dalam perkara ektradisi jika dianggap layak dan diotentikaso secara hukum oleh Kepala Diplomatik atau Pejabat Konsuleran Republik Filipina yang ditunjuk untuk menangani permintaan dari negara peminta. Selanjutnya Pasal 10 jo. Pasal 11 mengatur bahwa Keputusan Pengadilan segera diberitahukan kepada termohon ektradisi, jika ia tidak hadir pada saat pembaca putusan, dan Panitera Pengadilan harus segera menyampaikan keputusan Pengadilan tersebut kepada Menteri Luar Negeri melaui Jaksa Agung, atas putusan pengadilan tersebut. Maka termohon ekstradisi, dalam waktu 10 hari setelah menerima putusan dari pengadilan regional, berhak untuk mengajukan banding Pengajuan banding dari termohon ekstradisi menunda pelaksanaan putusan dari Pengadilan Regional tersebut. Dalam hal sebaliknya, putusan Pengadilan Regional menjadi berkuatan hukum tetap dan dapat segera dilaksanakan (Pasal 12). Menurut Pasal 16, setelah keputusan pengadilan dalam perkara ektradisi bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap, maka termohon ektradisi diserahkan kepada otoritas Negara Peminta pada waktu dan tempat yang ditentukan oleh Mentri Luar Negeri, setelah berkonsultasi dengan Diplomat dari Negera Peminta. 3. Ekstradisi di Australia Proses Pelaksanaan Ekstradisi oleh Australia dalam kapasitas sebagai negara yang diminta ekstradisi, pada dasarnya dapat dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu: Menurut pasal 16 UU Ektradisi 1988, setelah menerima permintaan kepada semua hakim magistrat (hakim pengadilan tingkat pertama di Australia) bahwa permintaan ektradisi atas seseorang telah diterima dari negara lain. Namun demikian, menurut Pasal 12 Ayat (1) UU ekstradisi 1988 seorang Hakim Magistrat, setelah menerima permohonan penahanan sementara yang diajukan oleh negara peminta, dapat menerbitkan pemerintah penahanan, dalam hal ia menilai bahwa informasi yang diberikan dalam affidavit (penjelasan resmi dari negara perminta) tersebut bahwa orang yang dimintakan penangkapannya oleh negara peminta merupakan orang yang dapat diekstradisi. Setelah mengeluarkan surat perintah penahanan, Hakim Magistrat wajib melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung dengan melampirkan fotocopy affidavit dari negara peminta Jaksa Agung, setelah menerima laporan dari Hakim Magistrat ataupun dengan cara lain mengetahui mengenai adanya penerbitan perintah penahanan tersebut, dapat memerintahkan hakim magistrat untuk membatalkan perintah tersebut jika menurut pendapatnya penahanan tersebut tidak diperlukan atau tidak dapat dilakukan. Selanjutnya menurut Pasal 19 Undang-undang Ekstradisi 1988, dalam hal seseorang sebelumnya telah dilakukan penahanan atas dasar permintaan yang diajukan oleh negara peminta (Pasal 12), ataupun Hakim Magistrat telah menerima pemberitahuan dari Jaksa Agung sebagaimana dimaksud Pasal 16, ataupun Magistrat menerima permohonan dari orang yang dimohonkan ekstradisi ataupun negara peminta agar pemeriksaan dilakukan terkait permintaan ekstradisi dari negara lain dan Magistrat menilai telah cukup waktu bagi orang yang di mintakan ekstradisi untuk mempersiapkan diri guna kepentingan pemeriksaan tersebut, maka Magistrat menggelar pemeriksaan di pengadilan untuk menentukan aoa terhadap orang tersebut dapat dilakukan ektradisi kepada negara peminta. Dalam hal Hakim Magistrat menilai bahwa terhadap orang tersebut dapat dilakukan ekstradisi, maka Hakim Magistratdapat memerintahkan bahwa orang tersebut tetap berada dalam tahanan sampai dengan diterbitkannya surat perintah penyerahan atau penyerahan sementara oleh Jaksa Agung, atau sebaliknya dalam hal Jaksa Agung menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dilakukan ektradisi, maka Jaksa Agung dapat memerintahkan agar orang tersebut dilepaskan dari tahanan Namum demikian, menurut Pasal 16 UU Ekstradisi 1988, seseorang dapat saj menyatakan kepada Magistrat bersedia secara sukarela untuk diserahkan kepada negara permintaan ekstradisi yang dimohonkan terhadap dirinya oleh negara peminta. Dalam keadaan tersebut, maka kecuali meyakini bahwa permintaan tersebut dilakukan atas dasar paksaan, hakim Magistrat wajib menjelaskan kepada orang tersebut bahwa persetujuan yang diberikan oleh orang tersebut dapat berakibat pada: a. Orang tersebut akan dimasukkan ke dalam tahanan tanpa melakukan proses pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 19, yaitu untuk menilai dapat atau tidaknya ia di ekstradisi. b. Dalam hak Jaksa Agung menerbitkan perintah penyerahan, maka orang tersebut akan segera diserahkan kepada negara peminta. Dalam hal setelah mendengar penjelasan tersebut, ternyata orang yang bersangkutan tetap bersedia untuk secara sukarela menyerahkan diri, maka orang tersebut segera dimasukan ke dalam tahanan daru kejahatan yang oleh orang Menurut Pasal 22 UU Ekstradisi 1988, Jaksa Agung sesegera mungkin setelah mengetahui bahwa seseorang dinyatakan dapat dilakukan ekstradisi (baik karena persetujuan secara sukarela dari orang tersebut sebagaimana diatur Pasal 18 ataupun karena Keputusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 19) menentukan apakah orang tersebut dapat diserahkan untuk kejahatan-kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi tersebut. Pasal 21 Ayat (1) Undang-undang Ekstradisi 1988, memberikan kesempatan kepada orang yang dimintakan ekstradisi ataupun negara peminta ekstradisi untuk dalam waktu 15 hari sejak dikeluarkannya keputusan oleh Hakim Magistrat mengenai dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisi, mengajukan banding kepada Pengadilan federal (fedaral court) ataupun Mahkamah Agung Negara Bagian atau wilayah, untuk meninjau ulang perintah tersebut. Menurut Pasal 21 Ayat (3) terhadap Putusan Banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan Federal ataupun Mahkamah Agung Negara Bagian atau wilayah, maka termohon ekstradisi maupun negara peminta dapat kembali mengajukan banding ke Persidangan Penuh Pengadilan Ferderal (full Court of the Federal Court) dalam waktu 15 hari setelah dikeluarkannya keputusan Banding oleh Pengadilan federal (Federal Court) ataupun Mahkamah Agung Negara Bagian atau Wilayah tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 21 Ayat (5) terhadap Putusan Pengadilan di tingkat banding tersebut, termohon ekstradisi ataupun negara peminta, dapat pula mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Australia (High Court of Australia) setelah sebelumnya diberikan persetujuan (special leave) untuk itu oleh Mahkamah Agung Australia. Bab 4 Proses Ekstradisi di Indonesia A. PRINSIP-PRINSIP EKSTRADISI MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA Ketentuan mengenai ekstradisi di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi yang disahkan pada Tanggal 18 Febuari 1979 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130), Undang-undang Nomor Tahun 1979 tersebut di bentuk untuk menggantikan Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatblad 1883 – 188) tentang “Uitlevering van Vreemdelingen” (Peraturan kerajaan dengan Penyerahan Orang Asing), yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tata hukum dan dengan perkembangan Negara Republik Indonesia yang merdeka. Definisi ekstradisi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Dari definisi tersebut, maka unsur dalam ekstradisi menurut hukum Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Negara yang meminta penyerahan seseorang; 2. Negara yang diminta untuk menyerahkan, yaitu negara tempat orang tersebut diketahui atau diduga berada; 3. Tujuan penyerahan adalah untuk mengadili atau memidana orang tersebut karena disangka atau dipidana melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut. Menurut penulis, dari ketiga unsur dapat dijabarkan dalam tiga unsur pokok, yaitu unsur negara, unsur orang dan unsur tujuan, yang masing-masing sebagai berikut: 4. Unsur “Negara” Unsur negara meliputi negara yang meminta penyerahan dan negara yang diminta untuk menyerahkan seseorang. Hubungan antar kedua negara tersebut menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 dibangun atas dasar suatu perjanjian, (“treaty”) yang diadakan oleh Negara Republik Indonesia dengan negara lain dan yang Selanjutnya penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 menyatakan bahwa Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan [erjanjian dengan Negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian. Dalam hal belum terdapat perjanjian ekstradisi, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentinfan Negara Republik Indonesia menghendakinya. Namun demikian, Undang-undang ternyata tidak memberikan definisi lebih lanjut ataupun batasan mengenai yang dimaksud dengan “jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya.” 2. Unsur “Orang” Menurut Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, orang yang dapat diekstradisikan ialah mereka yang oleh penjabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan. Pasal 3 Ayat (2) memberikan perluasan terhadap pengertian “disangka melakukan kejahatan”yaitu meliputi juga orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan dan permufakatan jahatan untuk melakukan kejahatan tersebut, sepanjang perbantuan, percobaan, dan permufakatan jahata itu dapat dipidana menurut hukum Negara Repulik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi. Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, permintaan ekstradisi pada dasarnya tidak dapat dilakukan terhadap warga negara Republik Indonesia. Hal ini dilakukan guna kepentingan perlindungan warga negara sendiri sehingga dianggap lebih baik, apabila yang bersangkutan diadili di negaranya sendiri. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disampingi, dalam orang yang bersangkutan karena keadaan lebih baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan. Menurut penjelasan Pasal 7 Ayat (2) pertimbangan untuk menyerahkan warga negara Indonesia untuk diadili di negara lain(di negara peminta) didasari pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan neagra, hukum dan keadilan, dan pelaksanaan penyerahan tersebut didasarkan pada asas timbal balik (resiprositas). Sementara itu, permintaan ektradisi dapat ditolak jika orang yang diminta sedang di proses di Negara Republik Indonesia untuk kejahatan yang di mintakan ekstradisi atau jika kejahatan yang dituduhkan dilakukan seluruhnya atau sebagiannya dalam wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 8 jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979). Selanjutnya Pasal 17 mengatur bahwa permintaan ekstradisi yang telah memenuhi syarat ditunda apabila orang yang akan diminta sedang diperiksa atau diadili atau sedang menjalani pidana untuk kejahatan lain yang dilakukan di Indonesia. 3. Unsur “tujuan” Sebagaimana telah dijelaskan di atas, tujuan penyerahan dalam ekstradisi adalah untuk mengadili atau memidana orang tersebut karena disangka atau pidana melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 menganut prinsip bahwa tidak semua kejahatan dapat diektradisikan, melainkan kejahatan-kejahatan berat yang secara khusus diatur dalam Undang-undang maupun perjanjian ekstradisi antar kedua negara. Menurut Lampiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, terdapat 32 Jenis kejahatan yang dapat dimintakan ekstradisi, yaitu sebagai berikut: 4. Pembunuhan; 5. Pembunuhan yang direncanakan; 6. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang; 7. Pemerkosaan, pembuatan cabul dengan kekerasan; 5. Persetubuhan dengan seorang Wanita di luar perkawinan atau perbuatan-perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya atau orang itu belum berumur 15 Tahun atau belum mampu dikawinkan 6. Perbuatan cabul yang dilakukan oleh cukup umur dengan orang lain sama kelamin yang belum cukup umur; 7. Memberikan atau mempergunakan obat-obatan atau alat-alat dengan maksud menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita; 8. Melarikan wanita dengan kekerasan ancaman kekerasan atau tipu muslihat dengan sengaja melarikan sesorang yang belum cukup umur; 9. Perdaganan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur; 10. Penculikan dan penahanan melawan hukum; 11. Perbudakan; 12. Pemerasan dan pengancaman; 13. Meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas neger atau uang kertas bank atau mengedarkan mata uang kertas negeri asal kertas bank yang ditiru atau dipalsukan 14. Menyimpan atau memalsukan uang ke Indonesia yang telah ditiru atau dipalsukan; 15. Pemalsuan dan kejahatan yang bersangkutan dengan pemalsuan; 16. Sumpah palsu; 17. Penipuan; 18. Tindak pidana-tindak pidana berhubung dengan kebangkrutan; 19. Penggelapan; 20. Pencurian perampokan; 21. Pembakaran dengan sengaja; 22. Pengerusakan barang atau bangunan dengan sengaja; 23. Penyeludupan; 24. Setiap tindak kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan kereta api, kapal laut, atau kapal terbang dengan penumpang- penumpangnya; 25. Menengelamkan atau merusak kapal di tengah laut; 26. Penganiayaan diatas kapal ditengah laut dengan maksud menghilangkan nyawa atau meyebabkan luka berat 27. Pemberontakan atau termufakatan untuk memberontak oleh dua orang atau lebih diatas kapal ditengah laut menentang kuasa nahkoda penghasutan untuk memberontak; 28. Pembajakan laut; 29. Pembajakan udara kejahatan penerbangan kejahatan terhadap sarana atau prasaranan penerbangan; 30. Tindak pidana korupsi; 31. Tindak pidana narkotika dan obat-obatan berbahaya lainnya; 32. Perbuatan-perbuatan yang melanggar Undang-undang senjata api, bahan- bahan peledak dan bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran. Namun demikian menurut Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Nomot 1 Tahun 1979 ekstradisi dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan dari negara yang diminta berhadap kejahatan yang lain tidak disebut dalam daftar kejahatan, sedangkan melalui peraturan pemerintah, daftar kejahatan sebagaimana diatur dalam lampiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tersebut dapat ditambah dengan jenis perbuatan yang lain oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai kejahatan. Selain hal-hal diuraikan diatas beberapa asas mendasar yang di atur dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1979 antara lain: 1. Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik (Pasal 5) 2. Permintaan ekstradisi ditolak jika putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Republik Indonesia yang berwenang mengenai kejahatan yang dimintakan eksradisinya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (Pasal 10); 3. Pemintaan ekstradisinya ditolak apabila orang yang dimintakan ekstradisinya telah diadili dan bebaskan telah atau telah selesai menjalani pidananya di negara lain mengenai kejahatan yang tindakan ekstradisinya. (asas nebis in idem, Pasa 11) 4. Permintaan ekstradisi ditolak jika menurut hukum negara Repbulik Indonesia hak untuk menuntut atau melaksanakan putusan pidana telah kadaluarsa ( Pasal 12); 5. Pemintaan ekstradisi ditolak jika kejahatan yang dimintakan ekstradisi diancam dipidana mati menurut hukum mendarat peminta sedangkan menurut negara Republik Indonesia kejahatan itu tidak diancam dengan pidana mati tidak selalu dilaksanakan kecuali jika negara peminta memberikan jaminan yang cukup meyakinkan bahwa pidana mati tidak akan dilaksanakan (Pasal 13); 6. Permintaan esktradisi ditolak jika menurut instansi yang berwenang berdapat sangkaan yang lebih kuat bahwa orang yang dimintakan ekstradisinya akan dituntut dipidana atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya atau kewarganegaraannya ataupun karena ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu (Pasal 14); 7. Permintan ekstradisi ditolak jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut dipidana atau ditahan karena melakukan kejahatan lain daripada kejahatan yang karenanya ia dimintakan ektradisinya kecuali dengan izin presiden (Asas khususan Pasal 15); 8. Permintaan ekstradisi ditolak jika orang yang dimintakan ekstradisinya akan diserahkan kepada negara ketiga untuk kejahatan-kejahatan lainnya yang dilakukan sebelum ia dimintakan ekstradisi itu (Pasal 16) B. PELAKSANA PROSES EKTRADISI Mencermati mekanisme proses pelaksanaan ekstradisi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1979 maka disimpulkan bahwa proses pelaksanaan ekstradisi dalam kapasitas Indonesia sebagai negara yang diminta ekstradisi dapat dibagi 3 tahapan pokok yaitu sebagai berikut: 1. Tahap peneriman permintaan ekstradisi Termasuk dalam tahap ini adalah dari negara melalui saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman yang dilanjutkan dengan penelitian pelengkapan dokumen dan syaratan ekstradisi oleh Menteri Kehakiman; 2. Tahap pemeriksaan perkara ektradisi Termasuk dalam tahap ini adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap orang yang dimohokan ekstradisi berdasarkan dokumen tertulis yang diterima dari negara peminta, penyerahan berita acara hasil pemeriksaan kepada Kejaksaan, pemeriksaan di muka pengadilan berdasarkan pemerintahan terlulis dari Jaksa serta keluarnya penetapan pengadilan mengenai dapat atau tidaknya dilakukan ekstradisi terhadap orang yang bersangkutan. 3. Tahap Persetujuan Presiden Termasuk dalam tahap ini adalah diterimanya penetapan pengadilan oleh Menteri Kehakiman dan masuknya pertimbangan dari berbagai instansi terkait yaitu Menteri Luar Negeri, Kapolri Jaksa Agung disertai Menteri Kehakiman sendiri, yang kemudian diajukan kepada presiden untuk memperoleh keputusan mengenai apakah permintaan ekstradisi dapat disetujui atau ditolak. Dari berbagai tahapan proses pelaksanaan ekstradisi sebagaimana diuraikan diats, maka dapat terlihat peran beberapa institusi yang terlibat secara langsung dalam proses pelaksanaan ekstradisi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 yaitu sebagai berikut: a. Menteri Luar Negeri, dengan peranan: ‒ Meneruskan permintaan ekstradisi dari negara peminta kepada Menteri Kehakiman; ‒ Dalam hal permintaan ekstradisi diajukan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, maka Menteri Luar Negeri memberikan pertimbangan kepada Menteri Kehakiman mengenai dapat atau tidaknya ‒ Turut memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai dapat disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi sebagai bahan pertimbangan bersama-sama dengan penetapan pengadilan; ‒ Menyampaikan keputusan Presiden mengenai disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi kepada negara peminta. b. Menteri Kehakiman, dengan peranan: ‒ Menerima permintaan ekstradisi yang diajukan oleh negara peminta; ‒ Melakukan penelitian terhadap syarat-syarat permintaan ekstradisi serta dapat meminta kepada negara peminta untuk melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk proses pelaksanaan ekstradisi; ‒ Dalam hal permintaan ekstradisi diajukan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, maka Menteri kehakiman melaporkan permintaan tersebut kepada Presiden guna memperoleh persetujuan, dengan disertai pertimbangannya serta pertimbangan Menteri Luar Negeri; − Dalam hal permintaan ekstradisi yang diajukan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan disetujui oleh Presiden, maka Menteri Kehakiman memperoses lebih lamjut seperti halnya adanya perjanjian ekstradisi antara negara peminta dengan Negara Republik Indonesia. Sebaliknya dalam hal Presiden menolak permintaan ekstradisi tersebut, Menteri Kehakiman meneruskan keputusan tersebut kepada negara peminta melalui Menteri Luar Negeri; − Sesudah menerima penetapan Pengadilan tentang dapat atau tidaknya seseorang diekstradisi, Menteri kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk memperoleh keputusan; − Jika menurut penetapan Pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman memerlukan tambahan keterangan, maka Menteri Kehakiman republik Indonesia meminta keterangan dimaksud kepada negara peminta dalam waktu yang dianggap cukup; − Memberitahukan Keputusan Presiden mengenai disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi kepada Negara Peminta melalui saluran diplomatik; − Meberitahukan Keputusan Presiden mengenai disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi kepada Negara Peminta melalui saluran diplomatic; − Memberitahukan Keputusan Presiden mengenai disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi kepada Menteri Luar Negeri , Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia; − Menyerahkan orang yang dimintakan ekstradisi kepada Pejabat yang bersangkutan dari nehara peminta, ditempat dan pada waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. c. Kepolisian, dengan peranan: − Berdasarkan permintaan penahanan negara yang meminta yang disampaikan melalui saluran Interpol Indonesia atau melalu saluran Diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram, dapat melakukan penahanan dengan alasan mendesak, sebelum diterimanya permintaan ekstradisi; − Setelah diterimanya permintaan ekstradisi dari negara peminta, melakukan penahanan terhdap orang yang diminta apabila diajukan permintaan penahanan terhadap orang yang diminta apabila diajukan permintaan penahanan oleh negara − Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan ekstradisinya dengan dicatat dalam berita acara serta segera diserahkan kepada Kejaksaan Republik Indonesia setempat; − Turut memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai dpat disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi sebagai bahan pertimbangan Bersama-sama dengan penetapan pengadilan. d. Kejaksaan, dengan peranan: − Berdasarkan permintaan penahanan negara yang meminta yang disampaikan melalui saluran Interpol Indonesia atau melalui diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram, dapat melakukan penahanan dengan alasam mendesak, sebelum diterimanya permintaan ekstradisi; − Setelah diterimanya permintaan ekstradisi dari negara peminta, melakukan penahanan terhadap orang yang diminta apabila diajukan permintaan penahanan oleh negara peminta; − Meminta penetapan perpanjangan penahanan kepada Hakim untuk setiap kali selama 30 hari, dalam hal belum adanya penetapan Pengadilan mengenai permintaan ekstradisi atau permintaan ekstradisi sudah dikabulkan, tetapi belum dapat dilaksanakan; − Dalam hal penahanan dilakukan berdasarkan perintah Jaksa Agung, maka melakukan pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan ekstradisinya dengan dicatat dalam berita acara serta segera diserahkan kepada Pengadilan untuk dimintakan penetapan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan; − Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh kepolisan, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima berita acara tersebut Kejaksaan dengan mengemukakan alasannya secara tulis, meminta kepada Pengadilan Negeri di daerah tempat ditahannya orang itu untuk memeriksa dan kemudian menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan ; − Jaksa menghadiri sidang pemeriksaan ekstradisi dipengadilan dan mengemukakan pendapatnya; − Melaksanakan penetapan hakim dengan cara menyampaikan pengadilan tersebut kepada Menteri kehakiman untuk diteruskan kepada presiden; − Turut memberikan pertimbangan keapda Presiden mengenai dapat disetujui atau ditolaknya peermintaan ekstradisi sebagai bahan pertimbangan Bersama-sama dengan penetapan pengadilan e. Pengadilan Negeri, dengan peranan: − Berdasarkan permintaan Jaksa mengeluarkan penetapan perpanjangan, penahanan untuk setiap kali selama 30 (tiga puluh) hari, dalam hal belum adanya penetapan pengadilan mengenai permintaan ekstradisi atau permintaan ekstradisi sudah dikabulkan, tetapi belum dapat dilaksanakan; − Berdasarkan permintaan jaksa, melakukan pemeriksaan kepada orang yang dimintakan ekstradisi pada sidang yang terbuka untuk umum untuk menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisi , dengan objek pemeriksaan terdiri atas: a. Identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstraddisi itu sesuai dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan oleh negara peminta; b. Kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat di ekstradisi menurut Pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer; c. Hak penuntutan atau hak melaksanakan putusan Pengadilan sudah atau belum kadaluwarsa; d. Terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau belum diajatuhkan putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti; e. Kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara peminta sedangkan di Indonesia tidak; f. Orang tersebut sedang diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama. Sementara itu, panjanganya birokrasi dalam proses ekstradisi yang membuat proses ekstradisi menjadi tidak efektif juga patut mendapatkan perhatian khusus mengingat efektivitas kecepatan dan ketepatan dalam mempersiapkan, memproses dan mengeksekusi sebuah permintaan ekstradisi akan sangat berpengaruh bagi terungkapnya proseesnpenanganan perkara kejahatan antar negara. Tidak terpenuhinya efektivitas dan efiensi dalam proses di atas, akan mengakibatkan menguatnya persepsi negative dari kalangan penegak hukum negara lain, terhadap keseriusan kegiatan penegakan hukum dan kredibilitas penegak hukum di suatu negara. Mengenai hal tersebut, Geoff Gilbert menulis bahwa walaupun ekstradisi merupakan mekanisme utama dalam upaya negara tempat kejahatan dilakukan untuk meminta Penyerahan elaku kejahatan tersebut dari negara lain, namun dalam kenyataanya, pelaksanaan ekstradisi dapat menjadi sangat lambat yang berpotensi memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan tersebut untuk melarikan diri atau justru hilangnya kesempatan bagi negara peminta untuk mengadili atau memidana orang tersebut. Dalam kondisi tersebut, mereka tidak jarang sebuah negara akhirnya menempuh cara-cara pemulangan lain di luar mekanisme tradisi baik dengan deportasi terselubung maupun penculikan. Menurut I Wayan Parthiana, Proses ekstradisi di Indonesia, mengandung beberapa kelemahan, yaitu antara lain: a. Pertama, persyratan materiil yang terlalu banyak dan jika dalah satu saja todak terpenuhi meskipun yang lain semuanya terpenuhi maka pengekstradisian tidak akan bisa dilakukan. Hampir sebagian besar asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi berisi persyratan yang harusdipenuhi terutama oleh negara peminta untuk sampai pada keputusan apakah akan mengajukan permintaan ataukah tidak. Meskipun menurut negara pemintasemua persyaratan sudah b. Kedua, prosedut dan mekanismenya terlalu Panjang dan birokratis yakni melalui saluran diplomatik mengingat masalah ekstradisi adalahmasalah antarnegara. Mulai dari maksud negara peminta untuk meminta pengekstradisian orang yang diminta, selanjutnya pemenuhan atas segala persyaratan meteriil yang dibutuhkan, kemudian mengenai prosedur untuk mengajukan permintaan sampai dengan keputusan dari negara yang dimintai ekstradisi terhadap permintaan negara peminta yang ditindaklanjuti dengan pemberitahuannya oleh negara yang dimintai ekstradisi kepada negara yang dimintai ekstradisi kepada negara peminta dikabulkan oleh negara yang dimintai ekstradisi; c. Ketiga, sebagai konsekuensi dari pertama dan kedua diatas dibutuhkan biaya, tenaga dan pikiran yang cukup besar terutama karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi serta lamanya waktu yang dibutuhkan kadang-kadang bisa lebih dari satu tahun apalagi jika hukum nasional negara yang dimintai ekstradisi mewajibkan proses yang harus ditempuh melalui pemeriksaan oleh badan peradilan nasionalnya dari badan peradilan tingkatan yang paling rendah hingga paling tinggi; d. Keempat, dalam beberapa hal, pranata hukum ekstradisi ini, terutama dalam pengimplematasiannya sangat dipengaruhi oleh factor politik subjektif dari negara yang dimintai. Bagaimanapun juga harus disadari, bahwa kenyataanya orang yang diminta berada dalam wilayah negara yang dimintai ekstradisi memainkan posisi kunci dalam memutuskan apakah akan dikabulkan atau tidak. C. TAHAPAN DALAM PROSES EKSTRADISI Walaupun dalam proses pelaksana ekstradisi, Indonesia dapat berkedudukan sebagai negara yang meminta penyerahan ekstradisi (selanjutnya, disebut negara peminta) maupun negara yang diminta untuk melakukan penyerahan (selanjutnya disebut a, negara yang dimintai ekstradisi) namun Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 dalam penjabarannya lebih banyak mengatur mengenai proses pelaksanaan ekstradisi dalam kapasitas Indinesia sebagai negara yang diminta, sedangkan prosedur pengajuan ekstradisi yang diminta oleh Indonesia kepada negara lain sebagaimana diatur dalam Bab X Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 hanya terdiri tiga pasal yang pada pokoknya hanya mengatur pengajuan permintaan ekstradisi oleh Menteri Kehakimamn atas nama Presiden mellui saluran diplomatic, sedangkan mengenai tata cara permintaan penyerahan dan penerimaan diserahkan kepada Peraturan Pemerintah, yang ternyata sampai dengan lebih dari tiga dasarwarsa, tidak pernah dibuat oleh Pemerintah. Apabila melihat proses pelaksanaan ekstradisi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 dalam kapasitas Indonesia sebagai negara yang dimintai ekstradisi, maka pada proses pelaksanaan ekstradisi pada dasarnya dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu prapermintaan ekstradisi, permintaan ekstradisi, pemeriksaan ekstradisi, persetujuan ekstradisi dan penyerahan ekstradisi. Masing- masing tahapan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tahap Pra Permintaan Ekstradisi Menurut Pasal 18 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, sebelum di terimanta permintaan ekstradisi dari sebuah negara, Kapolri ataupun Jaksa Agung dapat memerintahkan penahanan yang dimintakan oleh Negara lain atas dasar alasan yang mendesak jika penahanan itu tidak bertantangan dengan hukum Negara Republik Indonesia, dengan ketentyan bahwa ddalam ermintaan untuk penahanan itu, negara peminta harus menerangkan, bahwa dokumen permintaan ekstradisi sudah tersedia dan bahwa negara tersebut segera dalam waktu dekat akan menyampaikan permintaan ekstradisi Selanjutnya, menurut Pasal 19, setelah menerima permintaan penahanan yang disampaikan oleh Pejabat yang berwenang dari negara peminta yang disampaikan melalui Interpol Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram, Kapolri atau Jaksa Agung dapat mengeluarkan surat perintah untuk menangkap dan atau menahan orang yang bersangkutan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Menyimpang dari ketentuan Hukum Acaara Pidana Indonesia yang berlaku, maka terhadap mereka yang melakukan kejahatan yang dapat diektradisikan dapat dilakukan penahanan, dengan ketantuan orang tersebut dibebaskan jika dalam waktu yang dianggap cukup sejak tanggal penahanan, Presiden melalui Menteri Kehakiman tidak menerima permintaan ekstradisi beserta dokumen yang dibutuhkan dari negara peminta. 2. Tahap Permintaan Ekstradisi Menurut Pasal 22, surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk diteruskan kepada Presiden. Permintaan tersebut hanya akan dipertimbangkan, apabila memenuhi syarat-syarat seperti berikut: a. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk menjalani pidana harus disertai: Lembaran asli atau Salinan otentik dari putusan Pengadilan yang berupa pemindahan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti; Keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya; Lembaran asli atau Salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwnang dari negara peminta. b. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahatan harus disertai: Lembaran asli atau Salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang dari negara peminta uraian dari kejahatan yang dimintakan ekstradisi dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahatan dilakukan dengan disertai bukti tertulis yang diperlukan; Teks ketentuan hukum dari negara peminta yang dilanggar atau jika hal demikian tidak mungkin, is idari hukum yang diterapkan keterangan-keterangan saksi dibawah sumpah mengenai pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan; Keterangan yang diperlukan untuk menetapkan indentitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya; Permohonan penyitaan barang-barang bukti, bila ada dan diperlukan. Menurut Pasal 23 jika menurut pertimbangan Menteri Kehakiman surat yang diserahkan itu tidak memenuhi syarat atau syarat lain yang ditetapkan dalam perjanjian, maka kepada pejabat negara peminta diberikan kesempatan untuk melengkapi sura-surat tersebut, dalam jangka waktu yang dipandang cukup oleh Selanjutnya setelah syarat-syarat dan surat-surat dimaksud dipenuhi, Menteri kehakiman Republik Indonesia mengirimkan surat permintaan ekstradisi beserta surat-surat lampirannya kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan. Namun demikian, kerangka prosedur sebagaimana diuraikan di atas, menjadi berubah dalam hal permintaan ekstrasisi diajukan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia Menurut Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, dalam hal tidak ada perjanjian ekstradisi antara negara peminta dengan Negara Republik Indonesia, maka permintaan ekstradisi diajukan melalui saulran diplomatik, selanjutnya oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia disertai pertimbangan-pertimbangan. Menteri Kehakiman Republik Indonesia setelah menerima permintaan dari negara peminta dan pertimbangan dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia melaporkan kepada Presiden tentang permintaan ekstradisi tersebut dan setelah mendengar saran dan pertimbangan Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman mengenai permintaan ekstradisi dimaksud, Presiden dapat menyetujui atau tidak menyetujui permintaan tersebut. Dalam hal permintaan ekstradisi disetujui, maka Presiden memerintahkan Menteri Kehakiman memproses lebih lanjut seperti halnya ada perjanjian ekstradisi antara negara peminta dengan Negara Republik Indonesia, namun dalam hal permintaan ekstradisi tidak disetujui, maka Presiden memberitahukan kepada Menteri Kehakiman, untuk diteruskan kepada Menteri Luar Negeri yang memberitahukan hal itu kepada negara peminta 3. Tahap Pemeriksaan Ekstradisi Sebagaimana telah diuraikan diatas, setelah syarat-syarat dan surat-surat terkait permintaan ekstradisi dipenuhi (atau bagi permintaan dari negara yang belum meiliki perjanjian ekstradisi, maka setelah terbitnya persetujuan Presiden), Menteri Kehakiman mengirimkan surat permintaan ekstradisi beserta surat-suraat lampirannya kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk mengadakan pemeriksaan. Menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, apabila kejahatan merupakan kejahatan yang dapat dikenakan penahanan menurt Hukum Acara Pidana Indonesia dan diajukan permintaan penahanan oleh negara peminta, maka terhadap orang tersebut dikenakan penahanan. Menurut Pasal 34, penahanan yang diperintahkan berdasarkan Pasal 25 tersebut baru dicabut, jika diperintahkan oleh Pengadilan,sudah berjalan selama 30 (tiga puluh) hari, kecuali jika diperpanjang oleh Pengadilan atas permintaan Jaksa atau permintaan ekstradisi di tolak oleh presiden. Sementara itu, terkait dengan perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Pengadilan atas permintaan Jaksa, pasal 35 mengatur bahwa jangka waktu penahanan tersebut setiap kali dapat diperpanjang dengan 30 (tiga puluh) hari dalam hal belum adanya penetapan Pengadilan mengenai permintaan ekstradisi, diperlukan keterangan oleh Menteri Kehakiman seperti dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (3), ekstradisi diminta pula oleh negara lain dan Presiden belum memberikan keputusannya atau dalam hal permintaan ekstradisi sudah dikabulkan, tetapi belum dapat dilaksanakan. Menarik dicermaati bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 ternyata mengatur mengenai 2 (dua) jenis penahanan, yaitu sebagai berikut: a. Penahanan karena alasan mendesak Penahanan karena alasan mendesak sebagaimana diatur dalammPasal 18 dapat dilakukan sebelum diterimanya permintaan ekstradisi dari negara peminta, namun cukup berdasarkan permintaan untuk penahanan disampikan oleh Pejabat yang berwenang dari negara peminta kepadda Kapolri atau Jaksa Agung melakui INTERPOL Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram. Penahanan yang dilakukan berdasarkan alasan mendesak tersebut dapat dilakukan terhadap semua kejahatan yang dapat diekstradisi sebagaimana diatur dalam lampiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979. b. Penahanan dalam rangka pemeriksaan ekstradisi Penahanan dalam rangka pemeriksaan ekstradisi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 hanya dapat dilakukan setelah permintaan ekstradisi diterima dan diteruskan oleh Menteri Kehakiman kepada Kepolisian atau Kejaksaan untuk dilakukan pemeriksaan. Penahanan dalam rangka pemeriksaan tersebut hanya dpat dilakukan apabila kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang dapat dikenakan penahanan menurut hukum acara pidana Indonesia dan diajukan permintaan penahanan oleh negara peminta. Selanjutnya menurut Pasal 26, apabila yang melakukan penahanan tersebut adalah Kepolisian, maka setelah menerima surat permintaan ekstradisi, kepolisian mengadakan pemeriksaan tentang orang tersebut atas dasar keterangan atau bukti dari negara peminta, selanjutnya hasil pemeriksaan dicatat dalam berita acara dan segera diserahkan kepada Kejaksaan setempat. Pasal 27 mengatur bahwa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima berita acara tersebut, Kejaksaan dengan mengemukakan alasannya secara tertulis, meminta kepada Pengadilan Negeri di daerah tempat ditahannya orang itu untuk memeriksa dan kemudian menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diektradisikan. Cara pemeriksaan di Pengadilan ini tidak merupakan pemeriksaan peradilan seperti peradilan biasa, tetapi Pengadilan mendasarkan pemeriksaannya kepada keterangan tertulis besaerta bukti-buktinya dari negara peminta yang diajukan oleh Jaksa dengan disertai pendapatnya, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut: a) Identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstraaadisi itu sesuai dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan oleh negara peminta; b) Kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat diekstradisikan menurut Pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer; c) Hak penuntutan atau hak melaksanakan putusan Pengadilan sudah atau belum kadaluwarsa; d) Terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau belum dijatuhkan putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti; e) Kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara peminta sedangkan di Indonesia tidak; f) Orang tersebut sedang diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama. Pasal 28 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 mengatur bahwa perkara-perkara ekstradisi termasuk perkara-perkara yang didahulukan. Pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dilakukan dalam sidang terbuka, kecuali apabila Ketua Sidang menganggap perlu sidang dilakukan tertutup, dengan dihadiri Jaksa dan Orang yang dimintakan ekstradisi. Menurut Pasal 29 Kejaksaan menyampaikan surat panggilan kepada orang yang bersangkutan untuk menghadapnPengadilan pada hari siding dan suraat panggilan tersebut harus sudah diterima oleh orang yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari sidang. Setelah Pengadilan menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut di ekstradisi, penetapan tersebut beserta surat-suratnya yang berhubungan dengan perkara itu segera diserahkan kepada Menteri Kehakiman untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan penyelesaian lebih lanjut. Menarik untuk dicermati bahwa menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, penetapan pengadilan dalam perkara ekstradisi memiliki kekuatan eksekutorial (mengikat dan dapat dilaksanakan), mengingatpenetapan pengadilan tersebut hanya digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan oleh Presiden yang oleh Undang-undang tersebut diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan atau menolak perkara ekstradisi. Penegasan bahwa keputusan akhir untuk menyetujui atau tidak menyetujui ada di tangan Presiden dan bukan pengadilan, dinyatakan dalam penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 yaitu bahwa keputusan tentang permintaan ekstradisi adalah bukan keputusan badanjudikatif tapi merupakan keputusan badan eksekutif, oleh sebab itu pada tarafterakhir terletak dalam tangan Presiden, setelah mendapat nasehat jurisdis dari Menteri Kehakiman berdasarkan penetapan Pengadilan. 4. Tahap Persetujuan Ekstradisi Sebagaimana diuraikan diatas, dalam sistem Indonesia, keputusan tentang permintaan ekstradisi adalah bukan keputusan badan judikatif tapi merupakan keputusan badan ekskutif, sedangkan penetapan yang dikeluarkan pengadilan hanya sebatas salah bahan petimbangan bagi presiden dalm memutuskan memberikan perssetujuan atau menolak permintaan ekstradisi yang diajukan di negara lain Menurut Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, sesudah menerima penetapan Pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 33, Menteri Kehakiman segerra menyampaikan penetapan tersebut kepada Presiden dengan disertai pertimbangan- pertimbangan Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk memperoleh Keputusan. Namun demikian, jika menurut penetapan Pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman memerlukan tambahan keterangan, maka sebelum menyampaikan penetapan pengadilan tersebut kepada Presiden, Menteri Kehakiman dapat meminta keterangan dimaksud kepada negara meminta dalam waktu yang dianggap cukup Setelah menerima penetapan Pengadilan beserta pertimbangan-pertimbangan Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, maka Presiden memutuskan dapat tidaknya seseorang di ekstradisi. Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada negara peminta melalui saluran diplomatik. Menurut Pasal 37, jika 2 (dua) negara atau lebih meminta ekstradisi seseorang, bekenaan dengan kejahatan yang sama atau yang berlainan dalam waktu yang bersamaan, maka dalam menolak atau mengabulkan permintaan ekstradisi Presiden dengan mempertimbangkan demi kepentingan keadilan memperlihatkan berat ringannya kejahatan tempat dilakukannya kejahatan, waktu mengajukan permintaan ekstradisi, kewaarganegaraan orang yang diminta, dan kemungkinan diekstradisikannya orang yang di minta oleh negara peminta kepada negara lainnya. Menarik untuk dicermati bahwa dalam hal permintaan ekstradisi diajukan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, maka terdapat dua bentuk keputusan Presiden terkait permintaan ekstradisi tersebut, yaitu sebagai berikut: a. Persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 39 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1979, yang diperlukan untuk memulai proses pemeriksaan terhadap orang yang diminta. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2, maksud dari persetujuan Presiden tersebut adalah mempertimbangkan dapat dilakukannya ekstradisi atas dasar hubungan baik dan kepentingan Negara Republik Indonesia. Dalam hal Presiden menyetujui permintaan ekstradisi tersebut maka Presiden memerintahkan Menteri Kehakiman memproses lebih lanjut seperti halnya ada perjanjian ekstradisi antara negara peminta dengan Negara Republik Indonesia, yaitu dalam hal ini menyerahkan permintaan ekstradisi tersebut kepada Kepolsian atau Kejaksaan guna pemeriksaan lebih lanjut b. Pesetujuan Presiden sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 36 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1979, sebagai keputusan final mengenai dapat tidaknya seseorang di ekstradisikan, yang diambil setelah menerima penetapan Pengadilan beserta pertimbangan-pertimbangan Menteri Kehakiman, menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia 5. Tahap Penyerahan Ekstradisi Menurut Pasal 40 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, jika permintaan ekstradisi disetujui, orang yang dimintakan ekstradisi segera diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan dari negara peminta, di tempat dan [ada waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Jika orang yang dimintakan ekstradisinya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka ia dapat dilepaskan sesudah lampau 15 (lima belas) hari dan bagaimana pun juga ia wajib dilepaskan sesudah llampau 30 (tiga puluh) hari. Permintaan ekstradisi berikutnya terhadap kejahatan yang sama, setelah dilampauinya waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, dapat ditolak oleh Presiden. Selanjutnya Pasal 41 mengatur bahwa jika keadaan di luar kemampuan kedua negara baik negara peminta untuk mengambil maupun Negra yang diminta untuk menyerahkan orang yang bersangkutan, negara dimaksud wajib memberitahukan kepada negara lainnya dan kedua negara akan memutuskan Bersama tanggal yang lain untuk pengambilan atau menyerahkan yang dimaksud. Dalam hal demikian berlaku ketentuan-ketentuan dalam Pasal 40 Ayat (3) yang waktunya dihitung sejak tanggal ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut. Selain dari penyerahan orang yang dimintakan ekstradisi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 juga mengatur mengenai penyerahan barang-barang yang diperlukan sebagai bukti yang terdapat pada orang yang dimintakan ekstradisinya. Menurut Pasal 42, dalam hal negara peminta juga menghendaki diserahkannya barang-barang yang terdapat pada orang yang dimintakan ekstradisinya untuk dipergunakan sebagai barang bukti, maka permintaan tersebut dinyatakan secara tegas dalam permintaan ekstradisi untuk dipetimbangkan oelh Pengadilan bersamaan dengan permintaan pokok ekstradisi. Selanjutnya, dalam penetapannya mengenai permintaan ekstradisi, Pengadilan Negeri menetapkan pula barang- barang yang diserahkan kepada negara peminta dan yang dikembalikan kepada orang yang bersangkutan. Pengadilan Negeri dapat pula menetapkan bahwa barang-barang tertentu hanya diserhkan kepada negara peminta dengan syarat bahwa barang-barang tersebut segera akan dikembalikan sesudah selesai digunakan. Bab 5 Ekstradisi dan Sistem Peradilan Pidana A. KONFIGURASI SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PROSES EKSTRADISI Sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya, ketentuan Undang-undang yang dijadikan pertimbangan dalam penyusunan Undang-undang ekstradisi adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaga Negara Nomor 2289); 2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2298); 3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951). Selanjutnya walaupun dalam ketentuan pasalnya banyak menyinggung mengenai hukum acara pidana di Indonesia, namun konsideran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 ternyata tidak memasukan hukum acara pidana yang berlaku saat itu yaitu Herziene Indonesisch Reglement (HIR) sebagaimana diatur dalam Staatsblad tahun 1941 Nomor 44 pada bagian konsiderannya. HIR sendiri masih diberlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 (drt) tahun 1951, yang mengatur bahwa HIR seberapa mungkin diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidanansipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik Indonesia kecuali atas beberapa penambahan dan perubahannya. Oleh karena itu, dapat memahami secara utuh Undang-undang Ekstradisi, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai pemahaman para pembentuk undang-undang mengenai sistem peradilan pidana yang saat itu berlaku di Indonesia, khususnya dari konfigurasi hubungan-hubungan antara berbagai subsistem yang terlibat di dalamnya. Perlu diingat, bahwa di dalam HIR tidak dikenal pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dan penuntutan. Kedua kewenangan tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari tugas kepolisian represif yang diatur dalam bab Kedua HIR di bawah judul “Tentang Mencari Kejahatan dan Pelanggaran”. Menurut HIR, pengusutan/penyidikan dapat dilakukan oleh jaksa sendiri atau oleh pejabat- pejabat lain sebagaimana ditunjuk oleh Pasal 39 HIR, yang dapat dikelompokan menjadi (1) pegawai penyidik biasa, dan (2) pegawai penyidik penuntutumum di penyidik jaksa pembantu. Mengenai pegawai penyidik penuntut umum, Pasal 46 HIR menyatakan bahwa apabila tidak ditentukan lain, yang dimaksud dengan pegawai penuntut umum dalam reglemen ini (HIR) adalah jaksa-jaksa pada pengadilan negeri. Selanjutnya menurut Pasal 55 HIR, dalam hal pemeriksaan terhadap suatu perkara dilakukan oleh pembantu jaksa, maka jaksa pembantu dengan segera mengirimkan pemberitahuan, proses-perbal, dan akte-akte yang lain yang dibuatnya, demikian juga barang-barang yang disitanya, kepada jaksa pada pengadilan negeri. Sebaliknya, menurut Pasal 56 Ayat (1) HIR, pegawai penuntut umum (jaksa) pada pengadilan negeri berhak untuk meminta jaksa-pembantu untuk memberi keterangan kepadanya mengenai pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh jaksa pembantu, dalam hal pemeriksaan perkara tersebut berada dalam kewenangan jaksa selaku pegawai penuntut umum. Ketentuan penahanan yang diatur dalam HIR pada dasarnya mengikuti pula badan kewenangan sebagaimana digambarkan diatas, yaitu terbagi atas: 1. Penahanan yang dapat dilakukan oleh petugas penyidik biasa (selain pegawai penuntut umum dan jaksa pembantu) terhadap seseorang yang kedapatan tengah berbuat (tertangkap tangan), yang kerap disebut sebagai “penahanan tanpa surat perintah” terbatas hanya untuk tujuan-tujuan sebagai berikut: a. Supaya seorangpun walaupun siapa juga tidak noleh meninggalkan rumah itu atau pergi dari tempat kejahatan itu dilakukan, selama pemeriksaan di tempat itu belum selesai (Pasal 59 HIR); b. Untuk kepentingan membawanya kepada salah seorang pegawai penuntut umum atau kepada salah seorang jaksa-pembantu (Pasal 60 HIR) 2. Penahanan sementara yang dilakukan oleh pegawai penuntut umum atau jaksa pembantu untuk jangka waktu paling lama 20 hari. Menurut Psal 62 HIR, kewenangan untuk mengeluarkan perintah penahanan selama 20 hari terhadap tersangka yang kedapatan tertangkap tangan tersebut melekat pada pegawai penuntut umum. Namun demikian berdasarkan Pasal 71 HIR, pembantu jaksa berhak dan wajib melakukan segala sesuatu yang boleh dan harus dilakukan oleh pegawai penuntut umum terkait dengan proses terhadap seseorang yang tertangkap tangan tersebut, yaitu apabila pada saat tersangka dihadapkan kepadanya, ia masih harus menunggu kedatangan atau surat perintah dari pegawai penuntut umum. Dalam keadaan yang demikian, maka pembantu jaksa harus segera memberitahukan mengenai pelaksanaan tugasnya tersebut kepada pegawai penuntut umum. Selanjutnya, muenurut Pasal 75 Ayat (1) HIR, dalam hal tersangka tidak kedapatan tengah berbebuat (tertangkap tangan), maka penahaan terhadapnya hanya dapat dilakukan atas dasar surat perintah dari pegawai penuntut umum atau pembantu jaksa. Selanjutnya Pasal 75 Ayat (2) HIR mengatur bahwa Peraturan dalam pasal-pasal 62, 71 Ayat (2) dan 72 berlaku untuk perintah penahanan tersebut. Dengan demikian maka penahanan terhadap seseorang yang tidak tertangkap tangan juga berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. 3. Penahanan oleh jaksa untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh hari). Menurut Paasal 83 c (1) HIR, bila terhadap tersangka ada hal-hal yang sangat memberatkan dan cukup pasti bahwa perbuatan itu masuk pada yang diterangkan dalam ayat (2) Pasal 62 dan perkara itu diduga tidak akan dapat diperiksa pengadilan dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 72, maka untuk kepentingan pemeriksaan atau mencegah supaya perbuatan itu tidak akan diulangi atau untuk mencegah supaya si tertunduh tidak melarikan diri, jaksa dapat memerintahkan menagkap si tertuduh, atau (lau ia sudah ditangkap, ditahan buat sementara), memerintahkan supaya ia tetap ditahan. Menurut Pasal 83 c ayat (4) HIR perintah penahanan yang keluar oleh Jaksa tersebut tidak dapat berlaku lebih lama dari tiga puluh hari, terhitung mulai dari hari perintah itu dijalankan. 4. Menurut Pasal 83 c Ayat (4) HIR, apabilapemeriksaan belum juga selesai, jaksa dapat memohon agar penahanan tesebut diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri unutk tiap-tiap kali selama 30 (tiga puluh) hari. Berdasarkan ketetuan Pasal 83 c Ayat(1) jo ayat (4) HIR tersebut, maka jelaslah bahwa setelah lewat masa penahanan selama 20 hari berdasarkan perintah penahanan yang dilekuarkan oleh pegawa penuntut umum atau pembantu jaksa, maka penahanan hanya dapat dilanjutkan berdasarkan perintah dari jaksa, yang berlaku untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan apabila pemeriksaan belum juga selesai, jaksa dapat memohon agar penahanan tersebut diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk tiap-tiap kali selama 30 (tiga puluh) hari. Di sinilah terlihat kurangnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa di dalam HIR, mengingat HIR tidak membatasi untuk berapa kalikah Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan-memberikan perpanjangan penahanan, dengan demikian pada dasarnya penahanan tersebut dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Selanjutnya pada tahun 1961, terjadi perubahan besar dalam konfigurasi sistem peradilan pidana di indoensia, mengingat pada tahun itu, pemerintah secara hampir bersamaan mensahkan dua undang-undang pokok kelembagaan penegak hukum, yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok kepolisian Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan Undang- undang Pokok Kepolisian 1961, Kepolisian merupakan institusi yang berdiri sendiri yang berada di bawah Menteri Kepolisian, memegang pimpinan penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara, baik pencegahan (preventif) maupun pemberantasan (represif). Di bidang dalam bidang perdilan, kepolisian berwenang mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara, sementara penyelidikan perkara dilakukan oleh penjabat-penjabat Kepolisian tersebut, Undang-undang Pokok Kepolisian tersebut, Undang-undang Pokok Kejaksaan (Undang-udang Nomor 15 Tahun 1961) menyatakan bahwa Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dengan demikian maka jelaslah keberadaan kedua undang-undang pokok teresbut mengubah konfigurasi hubungan antara Kejaksaan dan Kepolisian. Dengan diberikannya kewenangan penuh keapda kelolisian untuk melakukan penyedikan, maka tidaklah dapat lagi mereka disebut sebagai sebagai jaksa pembantu. Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Pokok Kepolisian menyebutkan hubungan kerja antara Kepolisian dan Kejaksaan harus dilakukan dengan menjunjung tinggi kerja sama yang sederajat, sesuai dengan semangat gotong royong sebagai unsur kepribadian Indonesia. Sebaliknya jaksa tetap berwenang serta mengawaso dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut kentuan-ketentuan dalam Undang- undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara. Setelah memahami mengenai konfigurasi penahanan dan kewenangan di bidang peradilan pidana sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatlah dimengerti mengenai sebabnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi mengatur bahwa penahanan dalam ekstradisi dapat dilakukan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan setiap waktu dapat diperpanjang oelh Pengadilan berdasarkan permintaan Jaksa. Apabila dihubungkan dengan ketentuan penahanan yang saat itu berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam HIR, maka dapat disimpulkan bahwa pedoman yang digunakan adalah jangka waktu penahanan yang dilakukan Jaksa sebagaimana diatur dalam pasal 83 c Ayat (4) HIR, yaitu untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan apabila pemeriksaan belum juga selesai, jaksa dapat memohon agar penahanan tersebut diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk tiap-tiap kali selama 30 (tiga puluh) hari. Sejalan dengan hal tersebut, dapat pula dipahami mengenai sebabnya penahanan maupun pemeriksaan ekstradisi dapat dilakukan oleh Kepolisian atau kejaksaan, mengingat pada saat itu, kedua lembaga penegak hukum masing-masing memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dalam perkara pidana, yaitu Kepolisian berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Kejaksaan berdasarkan HIR dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961. Sementara itu, menarik untuk dicermati mengenai sebabnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 ikut memasukan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pada bagian konsiderannya, walaupun dalam penjabarannya ternyata ketentuan dalam Undang- undang Ekstradisi banyak menyimpangi prinsip-prinsip sebagaiman diatur dalam Disamping tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya menurut Pasal 2 Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970, Badan-badan peradilan memang dapat diserahi tugas lain yang diberikan kepadanya berdasarkan peratuan perundangan. Sementara itu Pasal 25 mengatur bahwa semua pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Apabila dikaitkan dengan penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, maka jelaslah bahwa kedudukan penetapan pengadilan dalam proses pelaksanaan ekstradisi, hanya sebatas bahan bagi Menteri Kehakiman dalam meberikan nasihat yuridis kepada Presiden, atau dikaitkan dengan konteks Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut maka dapat dianggap bahwa dalam perkara ekstradisi, maka pengadilan menjalankan fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat- nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya. Karakteristik penetapan pengadilan dalam perkara ekstradisi yang berbeda dengan bentuk produk Pengadilan pada umumnya juga dapat disimpulkan dari penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa cara pemeriksaan peradilan seperti peradilan biasa, tetapi Pengadilan mendasarkan pemeriksaan kepada keterangan tertulis beserta bukti-buktinya dari negara peminta yang diajukan oleh Jaksa dengan disertai pendapatnya. Namun demikian pemahaman tersebut tidak dapat sepenuhnya dipertahankan, mengingat secara tegas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 mengatur bahwa produk dari pemeriksaan pengadilan dalam perkara ekstradisi dituangkan dalam bentuk Penetapan Pengadilan yang dihasilkan melalui siding yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Jaksa maupun orang yang dimintakan penyerahannya. denganKarakteristik sebagai sebuah penetapan, maka jelaslah bahwa prosuk pengadilan dalam perkara ekstradisi memiliki implikasi dan kekuatan hukum yang wajib dijungjung tinggi oleh semua orang tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini lembaga pemerintahan. B. PERKEMBANGAN DAN REALITAS PELAKSANAAN EKSTRADISI DI INDONESIA 1. Red Notice Pemberitahuan (Notice) merupakan sebuah istilah yang digunakan terhadap instumen yang digunakan Interpol untuk berbagi informasi penting terkait kerja sama penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan antara negara-negara anggota. Pemberitahuan (notice) diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Interpol atas permintaan Biro Pusat Nasional (NCB) dan badan yang berwenang serta dipublikasikan dalam bahwa resmi yang digunakan oleh Interpol yaitu Arab, Inggris, Perancis dan Spanyol. Penerbitan Red Notice (Pemberitahuan Merah) dilakukan terhadap orang yang diinginkan oleh suatu yurisdiksi nasional untuk penuntutan atau menjalani hukuman berdasarkan surat perintah penangkapan atau putusan pengadilan. Peran Interpol adalah untuk membantu penegak hukum negara anggota dalam mengindetifikasi dan menemukan orang tersebut dengan maksud untuk penangkapan dan ekstradisi atau tindakan hukum serupa. Dasar hukum untuk penerbitan Red Notice adalah surat perintah penangkapan ataupun perintah pengadilan yang dikeluarkan oleh otoritas peradilan di negara yang bersangkutan. Banyak negara-negara anggota Interpol mempertimbangkan Red Notice untuk menjadi permintaan yang sah untuk melakukan penangkapan sementara (provisional arrest). Adapun Tata Cara Permintaan Penerbitan Interpol Notices, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Permintaan penerbitan red notice dapat diajukan terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang diduga melarikan diri ke luar negeri dengan maksud agar dilakukan pencarian untuk menangkap, menahan atau mengekstradisi; b. Permintaan penerbitan red notice dapat diajukan oleh penyidik atau instansi lain yang terkait dengan criminal justice system; c. Permintaan penerbitan red notice disertai dengan kelengkapan atau perysratan- persyaratan sebagaimana tersebut dalam formular permintaan red notice; d. Dalam hal permintaan penerbitan red notice kurang memenuhi persyaratan atau terdapat kekurangan, maka NCB akan segera memberitahukan kekurangan tersebut dan meminta instansi terkait untuk melengkapinya; e. Setelah persyaratan permintaan penerbitan red notice lengkap, NCB negara anggota yang bersangkutan segera mengajukannya kepada Sekretariat Jenderal Interpol sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; f. Lembaran asli red notice yang diterima dari Sekretariat Jenderal Interpol, akan dikirimkan kepada neagra yang meminta; g. Segala perkembangan yang terjadi setelah penerbitan red notice, akan segera diinformasikan kepada negara yang mengajukan permintaan; h. Dalam hal diperoleh informasi bahwa tersangka atau terdakwa atau terpidana yang dimintakan red notice berhasil ditangkap oleh negara tertentu, maka NCB negara bersangkutan akan segera mempersiapkan pengajuan permintaan ekstradisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Interpol sendiri merupakan organisasi dunia yang menagani kejahatan internasional terorganisir (ICPO) yang berkantor pusat di Lyon,Perancis, dan mempunyai keanggotaan yang terdiri dari 188 negara. Kegiatan Interpol juga dilaksanakan oleh masing-masing badan pelaksana disetiap negara anggota yang disebut NCB (National Central Bureau). Secara yuridis pembentukan National Central Buerau (NCB) di suatu negara didasarkan pada Pasal 22 Konstitusi ICPO-Interpol yang menyatakan bahwa setiap negara anggota harus menunjuk suatu badan yang berfungsi sebagai Biro Pusat Nasional menjamin hubungan dengan berbagai departemen/instansi di dalam negeri, dengan NCB negara lain, dan dengan Sekretaris Jenderal ICPO-Interpol. Di Indonesia, Kepala NCB adalah Kapolri, sesuai SK Perdana Menteri RI tanggal 5 Oktober 1954 No 2451 PM/1954. Surat keputusan itu menunjuk Djawatan Kepolisian Negara sebagai NCB, mewakili Pemerintah RI, dengan pelaksana harian Kepala Sekretariat NCB-Interpol yang secara operasional di bawah kendali langsung Kapolri. Salah satu terobosan yang dilakuka oleh Interpol dalam meningkatkan efektivitas informasi Red Notice di antara negara-negara anggota adalag melalui Sistem Komunikasi yang terkoneksi ke instansipenegak hukum di 188 negara anggota ICPO-Interpol untuk berbagi informasi penting tentang kejahatan dan aktivitas kejahatan sealam 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Dengan menggunakan I-24/7, NCB-Interpol Indonesia dapat melakukan pencarian dan pengecekan data dengan akses langsung ke database Interpol yang memuat data tentang buronan, pencarian orang, sidik jari, DNA dokumen perjalanan yang hilang atau dicuri, kendaraan bermotor yang dicuri, benda seni yang dicuri dan lain-lain. Sesuai dengan Pasal 18 jo. pasal 19 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, Kapolri atau Jaksa Agung dapat memerintahkan penahanan yang dimintakan oleh negara lain atas dasar alasan yang mendesak berdasarkan permintaan yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta kepada Kapolri atau Jaksa Agung melaui Interpol Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram. Kentuan Pasal 18 jo. Pasal 19 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, dalam kenyataanya menjadi dasar bagi Kepolisian RI untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang berdasarkan Red Notice yang diterbitkan oleh Interpol sepanjang dalam Red Notice tersebut dicantumkan mengenai surat perintah penangkapan atau penahanan yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang di negara peminta. Dengan demikian, maka Red Notice dipersamakan dengan surat permintaan resmi dari negara peminta untuk melakukan penangkapan atau penahanan terhadap seseorang yang dimintakan ekstradisi. Namun demikian, permasalahan menjadi menarik mengingat tidak semua negara yang meminta penangkapan melalui penerbitan Red Notice memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, sedangkan menurut Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, proses terhadap permintaan ekstradisi dengan Indonesia terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Presiden sebelum dapat diteruskan sesuai mekanisme yang berlaku selayaknya negara yang telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Dalam Konteks tersebut di atas, maka penangkapan yang dilakuka oleh Kepolisian berdasarkan Red Notice yang dimintakan oleh negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia menimbulkan sebuah problematika tersendiri mengingat rangkaian mekanisme proses pelaksanaan ekstradisi baru dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan presiden. Dengan demikian maka persetujuan Presiden terhadap permintaan ekstradisi yang diajukan oleh negara peminta yang belum memiliki perjanjian ekstradisi merupakan dasar bagi keseluruhan proses pelaksanaan ekstradisi, termasuk dasar bagi penangkapan yang dapat dilakukan oleh Kepolisian. Sebaliknya, walaupun tujuan dari penerbitan Red Notice adalah penyerahan orang yang dicari untuk diserahkan kepada negara peminta, namun demikian Interpol tidak secara tegas membatasi Teknik penyerahan harus melalui jalur ekstradisi. Dalam kenyataanya, apabila proses ekstradisi dinilai sulit untuk dilakukan, maka Kepolisian dapat mengambil diskresi untuk menempuh cara-cara lain dalam menyerahkan lain yang dalam praktik biasanya dikenal dengan istilah “Handing Over” atau “Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung) Diskresi yang dapat dilakukan oleh Kepolisian untuk menempuh Teknik penyerahan di luar ekstradisi dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur bahwa untuk kepentingan umum dan dalam keadaan yang sangat perlu, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyerahan atas permintaan penahanan diberitahukan kepada negara peminta oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Interpol Indonesia atau saluran diplomatik atau langsung dengan pos dan telegram. Dengan ketentuan bahwa baik permintaan penahanan maupun pemberitahuan atas keputusan permintaan penahanan yang dapat dilakukan secara langsung melalui mekanisme Interpol maupun lewat surat ataupun telegram, maka jelaslah terdapat diskresi yang begitu luas pada lembaga Kepolisian untuk memilik jalur pelaksanaan penyerahan selain ekstradisi tanpa proses pengawasan ataupun “check and balance” dari lembaga lain terkait tindakan penangkapan maupun penahanan yang dilakukan 2. Kedudukan Menteri Kehakiman sebagai “Filtering Authority” Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 memberikan peranan yang strategis kepada Menteri Kehakiman dalam proses pelaksanaan ekstradisi yaitu sebagai pintu masuk penerimaan permintaan ekstradisi, penyaringan dokumen, memberikan masukan kepada Presiden dan pintu keluar penyampaian Keputusan Presiden terkait disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi tersebut. Dominannya kedudukan Menteri Kehakiman tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep ekstradisi sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, yaitu bahwa keputusan tentang permintaan ekstradisi adalah bukan keputusan badan judikatif tetapi merupakan keputusan badan eksekutif. Oleh sebab itu, pada taraf terakhir terletak dalam tangan Presiden, setelah mendapat nasihat juridis dari Menteri Kehakiman berdasarkan penetapan Pengadilan. Menurut Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, pada saat mengajukan permintaan ekstradisi kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia, negara peminta harus menyertakan kelengkapan dokumen sebagai berikut. 1. Surat Permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk menjalani pidana harus disertai: a. Lembaran asli atau Salinan otentik dari putusan Pengadilan yang berupa pemindahan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti; b. Keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya; c. Lembaran asli atau Salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta. 2. Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejhatan harus disertai: a. Lembaran asli atau Salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta; b. Uraian dari kejahatan yang dimintakan ekstradisi, dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahatan dilakukan dengan disertai bukti tertulis yang diperlukan c. Teks ketentuan hukum dari negara peminta yang dilanggar atau jika hal demikian tidak mungkin, isi dari hukum yang diterapkan; d. Keterangan-keterangan saksi di bawah sumpah mengenai pengetahuannya tentang kejahatan yang dilakukan; e. Keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya; f. Permohonan penyitaan barang-barang bukti, bila ada dan diperlukan. Menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, jika menurut pertimbangan Menteri Kehakiman Republik Indonesia surat yang diserahkan itu tidak memenuhi syrat dalam Pasal 22 atau syarat lain yang ditetapkan dalam perjanjian, maka kepada pejabat negara peminta diberikan kesempatan untuk melengkapi surat-surat tersebut, dalam jangka waktu yang di pandang cukup oleh Menteri Kehakiman. Selanjutnya Pasal 24 mengatur bahwa setelah syarat-syarat dan surat-surat dimaksud dipenuhi, Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengirimkan surat permintaan ekstradisi besarta surat-surat lampirannya kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan. dari bagian pada halaman 99, maka jelaslah kecermatan Menteri Kehakiman dalam melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen yang diserahkan oleh Negara peminta sangat menentukan bagi keberhasilan proses ekstradisi,mengingat kelengkapan dokumen dan persyaratan ekstradisi yang diserahkan dari negara peminta tersebut merupakan dasar bagi Kepolisian maupun Kejaksaan dalam melakukan pemeriksaan serta dasar pembuktian di muka persidangan Pengadilan dalam menilai dapat atau tidaknya ekstradisi tersebut dilakukan. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, berbeda peradilan biasa, pemeriksaan peradilan dalam perkara ekstradisi mendasarkan pemeriksaannya kepada keterangan tertulis beserta bukti-buktinya dari negara peminta yang diajukan oleh Jaksa dengan disertai pendapatnya. Dengan demikian maka dokimen-dokumen yang diserahkan oleh negara peminta tersebut harus dapat meyakinkan Pengadilan dalam menilai hal-hal sebagai berikut. a. Identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstrasdisi itu sesuai dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan oleh negara peminta; b. Kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat diekstradisikan menurut Pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer; c. Hak penuntutan atau hak melaksanakan putusan pengadilan sudah atau belum kadaluwarsa; d. Terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau belum dijatuhkan putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti; e. Kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara peminta sedangkan di Indonesia tidak; f. Orang tersebut sedang diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama. Menarik untuk dicermati, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tidak menyediakan mekanisme bagi Kepolisian ataupun Kejaksaan untuk menilai lebih lanjut mengenai kelengkapan dokumen yang di serahkan oleh negara peminta serta meminta Kembali negara peminta untuk melengkapi dokumen tambahan. Ketentuan tersebut merupakan sebuah hal yang logis mengingat menurut Undang- undang Nomor 1 Tahun 1979, perkara ekstradisi merupakan perkara yang didahulukan sehingga pemeriksaanya harus dilakukan secara capat. Dengan demikian setelah Menteri Kehakiman menyerahkan permintaan ekstradisi kepada Kepolisian ataupun Kejaksaan, maka diharapkan Kepolisian atau Kejaksaan dapat menjadi dasar yang cukup bagi Kepolisian ataupun Kejaksaan dalam melakukan dan menyelesaikan pemeriksaan terhadap perkara ekstradisi tersebut. Namun demikian permasalah menjadi menarik mengingat walaupun kelangkapan dokumen dari negara peminta sangat berkaitan dengan teknis pembuktian di muka persidangan, dalam kenyataannya penelitian terhadap kelengkapan dokumen tersebut dilakukan oleh Pejabat yang lingkup tugasnya terbatas pada bidang administrasi hukum dan bukan mereka yang secara nyata berkecimpung di dunia peradilan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Kementerian Hukum dan HAM RI, penerimaan dan peneliatian berkas permintaan ekstradisi dari negara peminta ditangani oleh Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, khususnya Direktorat Hukum Internasional dan Otoritas Pusat. Secara faktual, pejabat yang melakukan penelitian terhadap kelengkapan persyaratan permintaan ekstradisi pada Direktorat Hukum Internasional dan Otoritas Pusat adalah analis ekstradisi dan TSP yang berada di bawah Kepala Seksi Ekstradisi dan TSP. Apabila mencermati Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dijadikan dasar dalam penyusunan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, maka secara fungsional Menteri Kehakiman memang sejak awal tidak terlibat langsung dalam pelaksana proses peradulan, namun demikian tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman pada saat itu, mengingat Menteri kehakiman bertanggung jawab atas pembinaan organisatoris, administratif dan finansial badan-badan peradilan umum Pemisahan fungsi Menteri Kehakiman dari sistem kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia mulai terlihat sejak disahkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengalihkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan kepada Mahkamah Agung, yang pelaksanaanya dilakukan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang- undang tersebut mulai berlaku. Untuk melaksanakan amant Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, pada tanggal 23 Maret 2004 Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Ri No.21 Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara, Pengadalin Agama ke Mahkamah Agung yang kemudian ditindaklanjuti dengan serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2004. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa sejak disahkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, Menteri Kehakiman hanya melakukan pembinaan terhadap huhkum dan perundangan-undangan dan tidak memiliki fungsi di bidang peradilan. Kondisi ini kemudian mendorong Pemerintah menyesuaikan nomenklatur Menteri Kehakiman sesuai dengan fungsinya yang baru, yaitu Menteri Hukum dan Perundang-undangan (1999-2004), Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (2001-2004) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004-sekarang). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010, Kemneterian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia; 2. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 3. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 4. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise atas pelaksanaan urusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah; 5. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; 6. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. Berdasarkan uraian diatas, maka jelaslah bahwa kedudukan Menteri Hukum dan HAM dalam fungsinya saat ini telah sangat jauh berbeda dari fungsinya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menjadi dasar penyusunan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979. Kenyataan bahwa pernan Menteri Hukum dan Ham secara teknis tidak bersentuhan dengan fungsi peradilan dan tidak lagi manjdi bagian dari kekuasaan kehakiman jelas mempenharuhi tingkat kecermatan dan ketepatan Kementerian Hukum dan Ham dalam menilai dan mempertimbangkan kebutuhan lembaga penegak hukum terkait pembuktian di muka persidangan pengadilan 3. Penelitian Berkas Perkara oleh Kejaksaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi mengatur bahwa setelah Kepolisian mengadakan pemeriksaan tentang orang tersebut atas dasar keterangan atau bukti dari negara peminta, maka berita acara hasil pemeriksaan tersebut segera diserahkan kepada kejaksaan setempat. Selanjutnya, Kejaksaan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima hasil pemeriksaan tersebut segera meminta kepada Pengadilan Negeri di daerah tempat ditahannya orang itu untuk memeriksa dan kemudia menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan. Perlu untuk dicermati bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 disahkan pada saat konfigurasi hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masih menggunakan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang kemudian dalam beberapa hal diubah dengan keluarnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, jaksa berwenang untuk mengadakan penyidikan lanjutan terhadap berkas perkara hasil penyelidik yang diserahkan oleh Kepolisian serta mengawasi dan mengoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara. Apabila ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tersebut dihubungkan dengan Undnag-undang Nomor 1 Tahun 1979 maka jelaslah bahwa jangka waktu 7 (tujuh) hari bagi jaksa untuk melimpahkan perkara ekstradisi tersebut kepada pengadilan, adalah untuk memberikan kesempatan bagi jaksa melakukan pemeriksaan dan persiapan membuat permintaan tertulis sebagai dasar melimpahkan perkara ekstradisitersebut ke pengadilan. Dalam pekembangannya setelah berlakunya Undang-undang Nmor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang- undang Hukum acara pidana (KUHAP), maka hubungan antara kepolisain dan kejaksaan disusun berdasarkan prinsip diferensiasi fungsial mengalami perubahan yang mendasar, yang kemudian dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Penyidik memberitahukan kepada penuntut umum pada saat memulai penyidikan (Pasal 109 Ayat (1) KUHAP); 2. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas pekara itu kepada penuntut umum, atau lebih dikenal dengan istilah tahap I (Pasal 110 Ayat (1) KUHAP); 3. Dalam hal penunut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk unutk dilengkapi, atau lebih dikenal dengan istilah Pra Penuntutan (Pasal 110 Ayat(2) KUHAP); 4. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasill penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesaui dengan petunjuk dari penuntut umum, atau lebih dikenal dengan istilah penyidikan tambahan (Pasal 110 Ayat (3) KUHAP); 5. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebulam batas waktu tersebut berakhir telaha ad pemberitahuan hal itu dari penuntut Selanjutnya, menururt pasal 8 KUHAP, penyerahan berkas perkara dari Kepolisian pada Kejaksaan dapat dibedakan 2 tahap, yaitu pada Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berksa perkara, dan dalm hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan banrang bukti kepada penyidik umum. Dalam perakteknya, walaup pun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 hanya mengatur hubungan antara kepolisian dan kejaksaan secara sederhana, namun ternyata dilapangan,hubungan koordinasi yang dibangun antara kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan perkara ekstradisi menyesuaikan dengan, konfigurasi sebagaimana diatur dalam KUHAP, yaitu diawali dengan pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), penyerahan berkas tahap I Pra Penuntutan dan penyerahan tahap II atas orang yang dimohonkan ekstradisi. Dalam konteks tersebut maka apabila kejaksaan menilai masih terdapat kekurangan dapam hasil pemeriksa yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanganan perkara ekstradisi, Kejaksaan mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Kepolisian unutk dilengkapi oleh Kepolisian sebagaimana proseedur yang berlaku di dalam KUHAP. Dengan demikian maka jangka waktu 7 (tujuh) hari bagi jaksa untuk melimpahkan perkara ekstradisi ke Pengadilan bukan lagi diitung sejak Kpolisian menyerahkan berkas perkara ekstradisi, melainkan dihitng dari sejak saat penyerahan terhadap 11 yaitu penyerahan tanggung jawab atas orang yang dimohonkan ekstradisi. Permasalahan menajdi menarik mengingat sebagaimana dijelaskan di muka, Kepolisian sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tidak berwenang untuk berhubungan secara langsung dengan Negara peminta, melainkan harus dilakukan melalui Menteri Hukum dam HAM RI yang kemudian akan meneruskan kepada Negara Pemintah untuk dipenuhi. Dalam Kondisi tersebut, pada akhirnya terdapat dua kali penelitian yang terhadap kelengkapan dokumen ekstradisi, yaitu: 1. Penelitian dokumen kelengkapan perkara ekstradisi yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM Menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, jika menurut pertimbangan Menteri Kehakiman Republik Indonesia surat yang diserahkan oleh Negara Peminta itu tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen ekstradisi atau syarat lain yang di maka kepada pejabat negara pemintadiberikan kesempatan untuk melengkapi surat-surat tersebut, dalam jangka waktu yang dipandangcukup oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Selanjutnya Pasal 24 mengatur bahwa setelah syarat-syarat dan surat-surat dimaksud dalam Pasal 22 dan 23 dipenuhi, Menteri Kehakiman Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan. 2. Dalam hal Jaksa menilai bahwa berkas perkara yang diserahkan oleh Kepolisian dalam perkara ekstradisi masih terdapat kekurangan, maka Jaksa memberikan petunjuuk keapda Kepolisian untuk segera melangkapi berkas perkara dimaksud, yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan melalui Menteri Hukum dan HAM untuk dipernuhi oleh negara peminta. Dari uraian di atas, maka dimingkunkan terdapat pengulangan penelitian terhadap kelengkpana dokumen permintaan ekstradisi dari negara pemintah, dalam hal menurut pendapat Jaksa, dokumen yang telah diserahkan belum cukup memenuhi kebutuhan untuk membuktkan terpenuhinya prinsip-prinsip ekstradisi di muka persidangan. Hal ini menurut hemat Penulis disebabkan karena penelitian dokumen sejak awal bukan dilakukan oleh Pejabat yang tugas dan fungsi terkait dengan proses kelengkapan dan kekuatan hukum dokume-dokumen yang di butuhkan untuk proses pembuktian di muka persidangan 4. Pra Peradilan terhadap Sah atau Tidaknya Penahanan dalam Perkara Ekstradisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 yang diterbitkan sebelum berlakunya KUHAP, sangat sedikit memuat pengaturan mengenai hak-hak termohon ekstradisi dalam proses pemeriksaan ekstradisi. Pengaturan mengenai hak termohon ekstradisi hanya ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 yang mengatur mengenai hak termohon ekstradisi untuk diberitahukan dalam waktu layak untuk menghadap ke muka Persidangan ekstradisi terhadap dirinya di muka persidangan. Undang- undang ekstradisi sebaliknya tidak mengatur mengenai hak termohon ekstradisi untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan paksa yang dikenakan terhadap dirinya dalam perkara ekstradisi, yaitu khususnya mengenai penahanan. Tidak diaturnya mengenai hak-hak termohon ekstradisi untuk mengajukan keberatan atas penahanan yang dikenakan terhadap dirinya dapat dipahami mengigat hukum acara pidana yang dijadikan acuan dalam penyusunan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1979 adalah hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam HIR yang sebagaimana telah dikemukakan di atas, sangat sedikit sekali memuat pengaturan mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu seorang tersangka atau terdakwa atas penahanan yang dilakukan terhada[ dirinya. Kenyataan bahwa HIR juga tidak mengatur mengenai Batasan jangka waktu penahanan mengakibatkan penahanan dapat berlangsung tanpa kepastian hukum dan tanpa hak bagi orang yang dikenakan penahanan untuk mengajukan keberatan atas upaya paksa tersebut. Mengenai praktik penahanan selama berlakunya HIR, Sutomo Surtiatimodjo menulis sebagai berikut: “Praktik penahanan di Indonesia menurut HIR, sedemikian rupa sehingga kadang kala sampai berkalan berminggu berbulan bahkan pernah terjadi bertahun-tahun tanpa pemeriksaan di muka siding pengadilan. Praktik-praktik yang demikian itu sudah barang tentu sangat bertentangan dengan idea-idea hukum; bagaimana dapat dibayangkan seseorang yang hanya mencuri barang yang relatif tidak seberapa harganya sampai tertahan bertahun-tahun tanpa dipersidangkan satu kalipun. Mungkin hal itu terjadi karena kelengahan pejabat yang berkewajiban melaksanakan atau kurangnya pengawasan dari atasannya, atau kesengajaan seperti yang biasanya terhadap tahanan-tahanan politik; tetapi yang terang penahanan berlarut-larut tersebut biasa terjadi karena hukumnya memang memberi kemungkinan.” Kondisi tersebut tentunya berbeda sejak berlakunya KUHAP yang selain mengatur secara tegas mengenai Batasan penahanan yang dapat dilakukan di setiap pemeriksaan juga memberikan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan keberatan atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya yaitu melalui jalur pra peradilan. Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP, yang dimaksud dengan pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasan tersangka,b) sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadulatan, dan c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Namun demikian, permasalah menjadi menarik mengingatnya Peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP tersebut merupakan pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang dilakukan dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan pengadilan dalam perkara pidana yang terjadi di dalam wilayah yurisdiksi Indonesia dan bukan dalam perkara ekstradisi di mana kejahatan yang dilakukan oleh termohon dilakukan diwilayah yurisdiksi negara lain Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah ketentuan pra peradilan sebagaimana diatur dalam KUHAP sebenarnya tidak dapat dilakukan dalam perkara ekstradisi, bahkan sebaliknya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 mengatur bahwa dalam hal pemeriksaan terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh termohon ekstradisi sedang dilakukan di Negara Republik Indonesia, maka hal tersebut merupakan salah alasan yang dapat digunakan untuk menolak permintaan ekstradisi. Namun demikian dalam kenyataannya, dalam Putusan nomor 01/Pid.Pra/2015/PN.BTM tanggal 20 April 2015, Pengadilan Negeri Batam telah mengabulkan permohonan pra preadilan yang diajukan oleh termohon ekstradisi Lim Yong Nam, yang telah ditangkap dan ditahan oleh Kepolisian Daerah Kepulauan Riau sejak tanggal 24 Oktober 2014, Lim Yong Nam adalah warga negara Singapura yang ditangkap dari Pemerintah Amerika Serikat Nomor:A-5633/9-2013, tanggal 12 September 2013 Ia dalam daftar Interpol termasuk orang yang dicari oleh Amerika Serikat dituduh melanggar UU Amerika Serikat karena melakukan konsipirasi penipuan, penyeludupan, dan pemberian di Singapura membeli 6.000 modul frekuensi radio dari Amerika Serikat. Ribuan modul itu belakangan diketahui diekspor ke Iran yang sudah diembargo Amerika Serikat. Walaupun Lim Young Nam telah ditahan sejak 24 Oktober 2414, namun dalam kenyataannya proses pemeriksaan administrative dalam perkara Lim Yong Nam menjadi berbelit-belit. Sehingga persetujuan Presiden untuk melanjutkan permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Pemerintah Amerika Serikat (hal ini sesuai Pasal 39 Undang-undang Ekstradisi wajib dilakukan mengingat Amerika Serikat belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia) baru dapat diterbitkan pada tanggal 20 Maret 2015, yaitu hamper 4 (empat) bulan Lim Yong Nam ditahan di Polda Kepulauan Riau. Permohonan Pra Peradilan diajukan oleh Kuasa Hukum Termohon Ekstradisi ke Pengadilan Negeri Batam pada tanggal 2 April 2015 dengan alasan penahanan dilakukan tanpa bukti yang cukup dan penahanan tanpa jangka waktu yang pasti, yang dianggap bertentangan dengan KUHAP. Dalam amar putusannya, Hakim Pengadilan Negeri Batam menyatakan menerima dan mengabulkan sebagaian permohonan pemohon, serta menyatakan penangkapan dan penahanan yang diajukan dalam pra preadilan tidak sah dan oleh kareanya memerintahkan untuk Adapun salah satu pertimbangan yang dijadikan dasar oleh Hakim adalah bahwa dalam penangkapan dan penahanan dilakukan oleh penyidik Polda Kepri tanpa bukti yang cukup mengingat di muka persidangan, Polda Kepulauan Riau tidak dapat menunjukan dokumen-dokumen “copie collatione” sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 22 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 sebagai dasar melakukan penahanan terhadap termohon ekstradisi yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Dapat diajukan dan dikabulkannya permohonan pra peradilan atas penahanan yang dilakukan dalam perkara ekstradisi, jenis menunjukan perubahan paradigma dalam memandang ketentuan penahanan dalam Undang-undang nomor 1979, yaitu bahwa proses pelaksanaan ekstradisi perlu dilakukan dengan menjunjung tinggi penghormatan terhadap jak-hak asasi manusia termasuk syarat-syarat penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Selanjutnya, pesan penting lain yang dapat ditangkap dari putusan peradilan atas nama termohon ekstradisi Lim Yong Nam tersebut, menunjukan bahwa proses penahanan dalam ekstradisi dianggap tidak berbeda dengan proses penahanan dalam ekstradisi dianggap tidak berbeda dengan proses penahanan dalam ekstradisi dianggap tidak berbeda dengan proses penahanan dalam penyidilan ataupun penuntutan perkara pidana Hal ini menunjukan bahwa dalam kenyataannya, Pengadilan memandang proses pelaksanaan ekstradisi tunduk pada hukum acara pidana yang berlaku, sehingga ketentuan hukum acara pidana pidana dapat pula diterapkan dalam proses pelaksanaan ekstradisi. 5. Upaya Hukum terhadap Penetapan Pengadilan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, hakikat ekstradisi di Indonesia menempatkan keputusan tentang permintaan ekstradisi sebagai keputusan badan eksekutif, oleh sebab itu pada taraf terakhir dalam tangan Presiden, setelah mendapat nasehat juridis daari Menteri Kehakiman berdasarkan penetapan Pengadilan. Menurut penjelasan Pasal 33 Undang-undang Ekstradisi, penetapan pengadilan dalam perkara ekstradisi adalah merupakan bentuk dari apa yang dinyatakan oleh Pengadilan, sedang isinya adalah merupakan pernyataan dan atau pendapat. Pemahaman bahwa pengadilan dapat memberikan pendapat kepada Pemerintah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum Dengan menempatkan Penetapan Pengadilan hanya sebatas sebuah pernyataan ataupun pendapat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 memberikan kekeluasaan bagi pihak eksekutif (dalam hal ini adlah Menteri Kehakiman) untuk memilih menggunakan atau tidak menggunakan penetapan yang telah dibuat oleh pengadilan tersebut. Hal tersebut antara lain terlihat dengan jelas dari ketentuan Pasal 36 ayat (3) yang mengatur bahwa jika menurut penetapan Pengadilan Permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetrapi Mentari kehamikan Republik Indonesia memerlukan tambahan keterangan, maka Menteri kehakiman Republik Indonesia meminta keterangan yang dimaksud kepada negara peminta dalam waktu yang dianggap cukup. Selanjutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 juga menadapatkan penetapan Pengadilan sejajar dengan pertimbangan instansi lainnya yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Kehakiman, Kapolri, dan Jaksa Agung. Pasal 36 Ayat (1) mengatur bahwa sesudah menerima penetapan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 33, Menteri Kehakiman segara menyampaikan penetapan tersebut kepada Presiden dengan disertai pertimbangan-pertimbangan . Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk memperoleh Selanjutnya Pasal 36 Ayat (2) mengatur bahwa setelah menerima penetapan pengadilan Bersama pertimbangan-pertmbangan yang dimaksud dalam ayat (1), maka Presiden memutuskan dapat tidaknya seseorang diekstradisikan. Dalam konteks tersebut diatas , maka tidaklah mengehrankan apabila Undang- undnag Nomor 1 Tahun 1979 tidak memberikan ruang bagi upaya hukum terhadap penetapan pengadilan, mengingat pada akhirnya penetapan pengadilan tersebut tidak menerima kekuasaan mengikat terhadap pihak-pihak yang berpekara (dalam hal ini, jaksa di satu pihak dan orang yang dimintakan ekstradisi, dilain pihak) dan hanya berlaku sebagai pendapat , yang Bersama-sama dengan pertimbangan dari instansi lainnya, menjadi bahan bagi Presiden untuk menyetujui atau menolak pemintaan ekstradisi tersebut. Kondisi tersebut jelas menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam perkara ekstradisi, dan bertentangan dengan tujuan diadakannya pemeriksaan pengadilan dalam perkara ekstradisi itu sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 yaitu: 1. Memberikan kesempatan bagi termohon ekstradisi untuk menyampaikan pendapat/pembelaan; 2. Pemeriksaan dilakukan secara objektif dan dengan mendengar keterangan dua belah pihak, yang antara lain tercermindalam dari beberapa ketentuan, yaitu; a. Pemeriksaan dilakukan dengan susunan majelis; b. Pemeriksaan dihadiri oleh jaksa dan termohon ekstradisi 3. Mewujudkan peradilan yang bebas dan penghormatan Hak Asasi Manusia, yang tercermin dari beberapa ketentuan, antara lain; c. pemeriksaan dilakukan dalam siding yang terbuka untuk umum; d. Pemeriksaan terhadap prinsip prinsip dasar dalam ektrasidi, yaitu Dual Criminatity, bukan kejahatan pemimpin politik, kadaluarsa, Nebis In Idem, dan sebagainya. Dari berbagai ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa tujuan dilakukannya pemeriksaan dimuka pengadilan adalah menjamin terselenggaraannya proses hukum yang adil (due prrocces of law) dalam perkara ekstradiksi, sehingga ketentuan yang mengatur bahwa penetapan pengadilan yang dihasilkan oleh proses hukum tersebut ternyata dapat dengan mudah dikesampingkan dan hanya berlaku sebagai sebuah pendapat, jelaskan dirasakan kontradiktif dengan tujuan tersebut. Namun demikian, dalam perkembangannya paradikma bahwa penetapan hakim dalam perkara ekstradiksi hanya sebuah pendapat dan oleh karena nya tidak dapat dilakukan upaya hukum mulai mengalami perubahan setelah pada tanggal 17 Februari 2014, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusannya Nomor : 16/Pide/Plw/2014/PT.DKI mengabulkan keberatan jaksa penuntut umum atas penetapan Pengadilan Negri Jakarta Selatan Nomor : 01/Pid/C/Ekst/2013/PR.JKT.SEL tanggal 11 Juli 2013. Dalam perkara ekstradisi atas nama Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid. Surat permintaan ekstradisi Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia atas nama Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid diterima pada bulan Juni 2010 melalui nota diplomatik Kedutaan Besar Australia di Jakarta Nomor P036/2010 tanggal 08 Juni 2010 kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian dengan surat Nomor: AHU5.AH.08.02.-84 tanggal 25 Juni 2010, Direktur Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia meminta kepada Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia untuk menindaklanjuti permohonan ekstradisi atas nama Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid. Sehubungan dengan diterimanya permintaan penahanan sementara dari Pemerintah Australia melalui Nota Diplomatik Kedutaan Besar Australia Nomor P091/2009 tanggal 10 November 2009 kepada kementrian luar negeri Republik Indonesia, maka Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan surat dari Dirjen Administrasi Hukum Umum Nomor UHU.5.AHA.08.02-44 tanggal 09 April 2010 telah melakukan penangkapan terhadap termohon ekstradisi Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid pada tanggal 10 Mei Pukul 05.45 WIB di Stadiun Jakarta Barat. Berdasarkan penyerahan berkas perkara dari kepolisian pada tanggal 19 April 2013, Jaksa melimpahkan perkara ekstradisi tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 25 April 2013 dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan hari sidang 08 Mei 2013. Pada tanggal 11 Juni 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan penetapan Nomor: 01/Pid.C/Ekst/2013/PN.JKT.Sel tanggal 11 Juni 2013 yang amarnya sebagai berikut: 1. Menolak permohonan estradisi dari pemohon Jaksa Penuntut Umum; 2. Menyatakan termohon ekstradisi Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid warga negara Afghanistan tidak dapat di ekstradiksi ke Australia; 3. Memerintahkan agar Termohon ekstradiksi Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid dikeluarkan dari tahanan; 4. Menyatakan dokumen-dokumen yang disampaikan oleh Pemerintah Australia diserahkan Kembali kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; 5. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai bahwa azas dual criminality (kejahatan ganda) tidak terpenuhi mengingat tindak pidana penyeludupan manusia (people smuggling) bukan merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam lampiran Undang-undang Nomor 1tahun 1979 tentang ekstradisi dan tidak ada kebijaksanaan Negara yang diwujudkan dengan suatu keputusan yang besar Presiden yang menyatakan bahwa tindak pidana penyeludupan manusia (people smuggling) merupakan tindak pidana yang dimintakan ekstradiksi. Atas penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, pada tanggal 18 Juli 2013, jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebagaimana tercatat dalam Akta Permintaan Banding Perlawanan Nomor.54/Akta.Pid.Pw/PN.JKT.Sel tanggal 18 Juli 2013. Hak untuk mengajukan perlawanan terhadap Penetapan Pengadilan Negeri tersebut jelas tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979, namun demikian sesuai Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam memori perlawanannya, Jaksa menyatakan bahwa walaupun tindak pidana penyeludupan manusia (People Smuggling) bukan merupakan salah satu Tindakan pidana yang diatur dalam lampiran Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi, namun Pemerintah Republik Indonesia (pada tanggal 20 April 2009) maupun Pemerintah Australia (pada tanggal 27 Mei 2004) telah meratifikasi United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (UNCTOC) annex 1. Konvensi tersebut mengacu pada Protocol Againts The Smuggling of Migrant by Land, Sea, and Air, Supplementing The UN Convention Againts Transnational Organized Crime yang juga diratifikasi oleh Australia pada tanggal 27 Mei 2004 dan Indonesia pada tanggal 28 September 2009. Berdasarkan konfensi tersebut negara pihak diwajibkan mengkriminalisasi atau melakukan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan penyeludupan manusia. Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undan Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian telah mengatur ketentuan kejahatan penyeludupan manusia sebagai suatu perbuatan yang dapat di jatuhi pidana. Pada tanggal 25 Februari 2014, berdasarkan putusan Nomor: 16/Pid/Plw/2014/PT.DKI, Pengambilan Tinggi DKI Jakarta atas permohonan perlawanan Jaksa tersebut, dalam amarnya menyatakan sebagai berikut: 1. Menyatakan permohonan perlawanan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan; 2. Membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor; 01/Pid.C/Ekst/2013/PN.JKT.Sel tanggal 11 Juli 2013 tersebut; 3. Mengabulkan permintaan ekstradisi Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas nama Termohon Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid; 4. Memerintahkan Termohon Sayeed Abbas Azad bin Sayed Abdul Hamid di ekstradisi ke Negara Australia; 5. Membebankan biaya perkara ini dalam kedua tingkat pengadilan kepada pemohon, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.5000 (Lima Ribu Rupiah). Berdasarkan uraian diatas, maka jelaslah bahwa walaupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi tidak mengatur mekanisme upaya hukum terdapat penetapan pengadilan negeri dalam menerima permohonan perlawanan yang diajukan oleh pihak dalam perkara ekstadisi (dalam perkara ini adalahJaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) dan membatalkan penetapan pengadilan di bawahnya. Dalam konteks sistem peradilan pidana, maka mekanisme pengujian putusan pengadilan oleh pengadilan yang lebih tinggi, merupakan salah satu unsur pokok dari proses hukum yang adil (due process of law) yang memandang bahwa setiap tahapan dalam sistem peradilan dalam perkara ekstradisi dapat diuji oleh pengadilan pengadilan yang lebih tinggi melalui mekanisme proses hukum yang adil tersebut menunjukan bahwa kedudukan penetapan pengadilan dalam perkara ekstradisi tidak dapat lagi dipandang sebagai sebuah pendapat yang dapat dengan mudah dikempangingkan oleh Pemerintah dalam memutuskan menyetujui atau menolak permintaan ekstradisi dari 6. Persetujuan Presiden dalma Perkara Ekstradisi Dalam mekanisme proses pelaksanaan ektradisi sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1979, maka dapat disimpukan bahwwa proses pelaksanaan ekstradisi dalam kapasias Indonesia sebagai negara yang dimintai ekstradisi dalam kapasitas Indonesia sebagai negara yang dimintai ekstradisi, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan pokok, yaitu: 7. Tahap Penerimaa Permintaan Ekstradisi Termasuk dalam tahap ini adalah diterimanya permintaan ekstradisi dari negara melalui saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman yang dilanjutkan dengan penelitian kelengkapan dokumen dan persyaratan ekstradisi oleh Menteri Kehakiman; 2. Tahap Pemeriksaan Perkara Ekstradisi Termasuk dalam tahap ini adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap orang yang dimohonkan ekstradisi berdasarkan dokumen tertulis yang diterima dari negara peminta, penyerahan berita acara hasil pemeriksaan kepada Kejaksaan, pemeriksaan di muka pengadilan berdasarkan permintaan tertulis dari jaksa serta keluarnya penetapan pengadilan mengenai dapat atau tidaknya dilakukan ekstradisi terhadap orang yang bersangkutan. 3. Tahap Persetujuan Presiden Termasuk dalam tahap ini adalah diterimanya penetapan pengadilan oleh Menteri Kehakiman dan masuknya pertimbangan dari berbagai instansi terkait yaitu Menteri Luar Negeri, Kapolri, Jaksa Agung disertai Menteri Kehakiman sendiri, yang kemudian diajukan kepada Presiden untuk memperoleh keputusan mengenai apakah permintaan ekstradisi dapat disetujui atau ditolak. Selanjutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 mengatur bahwa proses pelaksanaan ekstradisi harus diselesaikan secara cepat, hal tersebut antara lain dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan sebagai berikut: ₋ Pasal 28; Perkara-perkara ekstradisi termasuk