Anda di halaman 1dari 7

NAMA : Rima Melati Situmorang

Nim 227005088
Kelas : Reguler B
Mata Kuliah : Hukum Anti Money Laundering
Dosen Pengampu : Dr. Yunus Husein, SH., LLM

1. Mengapa ada pembuktian terbalik dalam perkara TPPU sebagaimana diatur dalam
pasal 77 dan 78 UU NO. 8 Tahun 2010?
JAWAB :

Alasan diterapkannya pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang karena
pencucian uang dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan dengan cara yang rumit serta
melibatkan pelaku yang memiliki jaringan kejahatan (crime network) yang terorganisir
sehingga dalam proses pembuktian di pengadilan kadangkala penuntut umum kesulitan
dalam membuktikan kasus pencucian uang di pengadilan, ditambah pula semakin
mutakhirnya teknologi informasi di bidang keuangan dan perbankan membuat sulit menjerat
pelaku tindak pidana ini.
Undang-Undang PP TPPU, Pasal 77 adalah pasal pembuka yang membahas ketentuan
pembuktian terbalik, Pasal 77 menyatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana”. kalimat dalam Pasal ini sama dengan kalimat pada Undang-Undang
sebelumnya dan dari ketentuan ini pula hakim dapat memerintahkan terdakwa atau penasihat
hukum untuk membuktikan harta kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa bukan terkait tindak
pidana yang didakwakan oleh penuntut umum. Pasal ini berhubungan dengan Pasal 78
Undang-Undang PP TPPU yang berisi tentang bagaimana cara terdakwa atau penasihat
hukumnya membuktikan asal-usul harta kekayaan milik terdakwa. Pasal 78 terbagi menjadi
dua ayat yang menyatakan:
1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77,
hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang
terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Selanjutnya Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang PP TPPU yang menyatakan bahwa
“terdakwa membuktikan Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana sebagaimana Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti
yang cukup”. Pasal ini berhubungan dengan ketentuan alat bukti yang tercantum Pasal 73
Undang-Undang PP TPPU yang menjelaskan secara eskplisit bentuk-bentuk alat bukti yang
sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang, dan sesuai dengan konsep awal
pembuktian terbalik maka terdakwa atau penasihat hukum dalam membuktikan secara
terbalik bahwa harta kekayaannya tidak terkait tindak pidana juga menggunakan alat bukti
sesuai dalam Pasal 73 Undang-Undang PP TPPU. Mengenai penjelasan kalimat “dengan cara
mengajukan alat bukti yang cukup” dalam Pasal 78 ayat (2). Memang dalam Undang-Undang
PP TPPU tidak dijelaskan mengenai batas minimal alat bukti, karena tidak ada batasan
ketentuan alat bukti dalam perkara pencucian uang, maka secara otomatis kembali lagi pada
Pasal 183 KUHAP, yang merupakan pedoman dalam hukum acara pidana di Indonesia.
Dengan demikian jika terdakwa atau penasihat hukum tidak dapat menghadirkan sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang mampu meyakinkan hakim bahwa harta kekayaannya
diperoleh secara sah, maka dengan sendirinya dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
diajukan Jaksa penuntut umum terbukti.
Pembuktian terbalik terhadap asal usul aset atau harta kekayaan yang tidak wajar
yang dimiliki oleh terdakwa dapat dilakukan seminimal mungkin dalam kaitannya
bersinggungan hak asasi terdakwa apabila pihak jaksa penuntut umum terlebih dahulu
membuktikan harta kekayaan milik terdakwa kemudian diikuti oleh terdakwa untuk
membuktikan harta kekayaan miliknya. Pembuktian terhadap harta kekayaan milik terdakwa
merupakan suatu kewajiban yang tercantum dalam undang-undang, bukan dalam bentuk hak
yang dapat digunakan atau tidak dapat digunakan. Pembuktian terbalik yang menjadi
kewajiban terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk membuktikan bahwa asal usul harta
kekayaan yang dimiliki bukan berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1). Dasar hukum pembuktian terbalik ini diatur pada Pasal 77 dan 78 Undang-Undang
PP TPPU. Pada Pasal 77 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana. Sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang pada Pasal 77
dan 78 adalah untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh sebab itu
pembuktian terbalik hanya dapat diterapkan pada waktu dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Konsep pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang adalah konsep
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang. Maksud terbatas adalah pembuktian terbalik
dibatasi pada tindak pidana tertentu,
sedangkan maksud dari berimbang adalah penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.

2. jelaskan berbagai resiko tinggi (high risk) dalam transaksi perbankan yang terkait
TPPU?
JAWAB :

Hasil Pengkinian Penilaian Risiko Indonesia terhadap Pencucian Uang Tahun 2015
telah memetakan risiko pencucian uang berdasarkan tindak pidana asal yang menunjukan
bahwa adanya 5 (lima) Tindak Pidana Asal yang memiliki risiko tinggi, diantaranya Tindak
Pidana Narkotika, Korupsi Perbankan, Kehutanan dan Pasar Modal. Untuk merespon hal
tersebut, Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Nasional Dalam Upaya Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme Tahun 2019
yang menyatakan bahwa aksi priotitas untuk memitigasi risiko tersebut diantaranya melalui
penyusunan Penilaian Risiko Sektoral Penanganan Perkara Pencucian Uang Hasil Tindak
Pidana Perbankan atau Sectoral Risk Assessment on Banking Crime. Pemangku kepentingan
dalam tindak lanjut Aksi Strategi Nasional (Stranas) tersebut diantaranya Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan. Penilaian Sektoral ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif selama periode
2017 s.d. 2019 dari berbagai sumber yang diperoleh oleh anggota tim. Sumber data dan
informasi ini termasuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Hasil Analisis atau Hasil
Pemeriksaan PPATK, Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan, Studi Kasus.
Pelaksanaan Indepth Study dalam Penilaian ini juga dilakukan bersama Pihak Penegak
Hukum, Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK untuk melakukan self-assessment
dan identifikasi tipologi dan indikator transaksi keuangan mencurigakan yang berlaku. Hasil
analisis 3 faktor risiko (ancaman, kerentanan, dan dampak) terhadap 4 jenis delik pidana
perbankan, ditemukan bahwa Tindak Pidana berkaitan dengan Kegiatan Usaha Bank
merupakan Risiko Tinggi, Tindak Pidana berkaitan dengan Perizininan memiliki risiko
menengah dan Tindak Pidana berkaitan dengan Rahasia Bank serta Tindak Pidana berkaitan
Pengawasan Bank memiliki tingkat risiko rendah. Berdasarkan profil pelaku kejahatan
diketahui bahwa Pengusaha atau Wiraswasta dan Pegawai Bank memiliki Risiko Tinggi.
Selanjutnya berdasarkan sebaran wilayah, diketahui bahwa DKI Jakarta dan Jawa Barat
memiliki tingkat risiko tinggi terjadinya pencucian uang hasil tindak pidana perbankan.

3. Peraturan / UU apa saja yang berlaku sebagai hukum acara dalam TPPU?
JAWAB :
Sesuai dengan pasal 68 UU TPPU, hukum acara termasuk pembuktian yaitu
menggunakan :
1) KUHAP a.1. Pasal 184;
2) UU NO. 8 Tahun 2010 tentang PP TPPU, a.1. pasal 1 (16), 68, 77 dan 78;
3) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dan perubahannya, Pasal 5;
4) UU Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya;
5) UU lain seperti KUH Perdata, terutama untuk membuktikan asal-usul harta kekayaan
yang terkait dengan perkara a.1. buku ke IV tentang pembuktian dan daluarsa.

4. Mengapa kita harus mengikuti standard international dalam mencegah dan


memberantas TPPU?
JAWAB :

Mengikuti standar internasional dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana


Pencucian Uang (TPPU) memiliki beberapa alasan yang penting, antara lain:
A. Kerjasama dan Kolaborasi Internasional: TPPU merupakan masalah global yang
melibatkan aliran dana ilegal lintas batas. Dengan mengikuti standar internasional,
negara-negara dapat bekerja sama dalam memerangi TPPU melalui pertukaran
informasi, kerjasama investigasi, dan ekstradisi pelaku kejahatan ke negara yang
meminta. Hal ini memungkinkan upaya yang lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas TPPU secara global.
B. Pencegahan Aliran Uang Haram: Standar internasional tentang pencegahan TPPU
mendorong negara-negara untuk mengadopsi tindakan pencegahan yang lebih kuat.
Melalui kebijakan dan mekanisme yang efektif, negara dapat mengidentifikasi,
melacak, dan mencegah aliran uang haram sebelum mencapai sistem keuangan yang
sah. Hal ini membantu menjaga integritas sektor keuangan dan mencegah kerugian
ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan TPPU.
C. Meminimalisir Risiko terhadap Sektor Keuangan: TPPU dapat merusak kepercayaan
terhadap sektor keuangan dan merugikan stabilitas ekonomi suatu negara. Dengan
mengikuti standar internasional, negara-negara dapat memperkuat sistem
pengawasan, pengendalian, dan pelaporan keuangan untuk mengidentifikasi dan
melaporkan transaksi mencurigakan. Hal ini membantu melindungi sektor keuangan
dari risiko TPPU dan memperkuat integritas sistem keuangan secara keseluruhan.
D. Kepatuhan terhadap Konvensi Internasional: Banyak negara telah menandatangani
dan meratifikasi konvensi internasional terkait pencegahan dan pemberantasan TPPU,
seperti Konvensi PBB tentang Pemberantasan Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana.
Dengan mengikuti standar internasional, negara-negara memenuhi kewajiban mereka
sesuai dengan perjanjian internasional yang telah mereka ikuti.
E. Penyediaan Keamanan dan Perlindungan Masyarakat: TPPU sering terkait dengan
kejahatan yang serius, seperti perdagangan narkoba, terorisme, korupsi, dan kejahatan
lintas batas lainnya. Dengan mengikuti standar internasional dalam mencegah dan
memberantas TPPU, negara-negara berupaya untuk melindungi masyarakat dari risiko
kejahatan ini. Tindakan ini mencakup pengungkapan dana ilegal, penghentian
kegiatan kejahatan, dan memastikan bahwa pelaku dihukum secara adil dan efektif.

Melalui pengadopsian standar internasional, negara-negara dapat bekerja sama secara


efektif untuk melawan TPPU, memperkuat integritas sektor keuangan, dan melindungi
masyarakat dari risiko kejahatan terkait.

5. Bagaimana pendapat anda tentang perampasan asset hasil TPPU sesuai dengan
ketentuan yang ada ( Kuhap, UU TPPU, RUU perampasan asset )?
JAWAB :

Dalam Draft RUU perampasan asset mendefenisikan bahwa Aset adalah semua
benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan
mempunyai nilai ekonomis. Selanjutnya yang dimaksud dengan Perampasan Aset Tindak
Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh
negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa
didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Saat ini, sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, perampasan aset bisa dilakukan
jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana
pencucian uang (TPPU). Artinya, harus ada “pembuktian pidana asal”. Dengan disahkannya
RUU Perampasan Aset nantinya, tindak pidana asal tidak lagi dibutuhkan. Sebab, dikutip dari
naskah akademik RUU Perampasan Aset, ada beberapa kemungkinan yang dapat
menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan. Misalnya tidak ditemukannya atau
meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak
bisa menjalani
pemeriksaan di pengadilan atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan
tuntutan ke pengadilan, dan sebab yang lainnya.
Dalam draf RUU Perampasan Aset penelusuran aset yang dapat dirampas dilakukan
oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), maupun pegawai negeri sipil. Penyidik dapat
melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan. RUU
Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan
pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.
RUU Perampasan Aset juga mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset
pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU. Dalam Undang-undang
Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti yang bisa disubsiderkan dengan hukuman
penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”. Begitu juga perampasan
aset dalam Undang-undang TPPU, “Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak
dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang.
RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi
dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai
kehilangan barang bukti. Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi
pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU
Perampasan Aset.

6. Jelaskan non conviction based asset forfeiture ? NCB


JAWAB :

Non Conviction Based Asset Forfeiture adalah perampasan asset tanpa tuntutan
pidana. yang telah diatur di dalam Pasal 67 UU TPPU. Sehingga tanpa harus ada tuntutan
pidana aparat dapat mengembalikan uang tersebut pada negara atau pada yang berhak.
Konsep NCB asset forfeiture pada intinya adalah perampasan aset dari pelaku tindak pidana
tanpa adanya proses hukum terlebih dulu. Sehingga, perampasan dilakukan secara perdata (in
rem) dan ditujukan pada aset pelaku tanpa melalui proses pidana. Hal yang paling penting
dari NCB asset forfeiture adalah harta tersebut adalah harta tercemar atau diperoleh melalui
kejahatan. Perampasan ini dilakukan dengan cara pembalikan beban pembuktian yang
ditekankan pada tindakan terhadap aset itu sendiri dan bukan kepada individu. Subjek dalam
NCB asset forfeiture itu sendiri adalah para pihak yang memiliki potensi kepentingan atas
harta benda dari tindakan tersebut.
Non-conviction based asset forfeiture pertama kali diatur pada United Nations
Convention Against Corruption 2003 atau yang biasa disingkat UNCAC 2003. Konvensi
PBB tersebut diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003. Sebagai negara
yang ikut meratifikasi konvensi tersebut, maka Indonesia dapat mengikuti ketentuan yang ada
di dalamnya, salah satunya tentang non-conviction based asset forfeiture. Pasal 54 angka 1
huruf c UNCAC 2003 menyebutkan: “Consider taking such measures as may be necessary to
allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the
offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate
cases.” Sehingga menurut konvensi tersebut salah satu mekanisme yang dapat dilakukan
untuk mengembalikan kerugian negara adalah dengan merampas aset tanpa adanya putusan
pidana baik dengan alasan meninggal, melarikan diri, atau tidak dapat hadir. Ketentuan ini
diikuti oleh Indonesia yaitu dengan memasukkannya ketentuan tersebut di dalam UU TPPU
khususnya pada Pasal 67. Prosesnya sendiri dimulai seperti yang tercantum pada Pasal 65
ayat (1) yaitu ketika PPATK meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan
sementara seluruh atau sebagian transaksi sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (1) huruf I
yang bunyinya sebagai berikut: “Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan
sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil
tindak pidana.” Jangka waktu penghentian sementara transaksi ini sebagaimana diatur pada
Pasal 66 adalah paling lama 5 hari kerja, dan dapat diperpanjang untuk paling lama 15 hari.
Perpanjang dilakukan untuk memberikan kesempatan pada PPATK melakukan pemeriksaan
maupun analisis sebelum hasil pemeriksaan maupun analisisnya diserahkan kepada penyidik.
Penghentian sementara transaksi yang dimintakan oleh PPATK, dalam hal tidak ada yang
mengajukan keberatan dalam waktu 20 hari (waktu maksismal tentang penghentian
sementara transaksi).

Anda mungkin juga menyukai