Dosen Pengampu:
Dr. Erma Rusdiana, SH., MH.
Disusun Oleh:
Kelompok 14
Imam Fauzi (180111100080)
Devi Sulistiyani (180111100269)
FAKULTAS HUKUM
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah yang dikarunia-nya,
Shalawat serta salam tetap terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ahamdulillah,
berkat kemudahan serta petunjuk darinya kami dapat dapat menyelesaikan tugas makalah
matakuliah Hukum Kejahatan Korporasi yang berjudul “Analisis Kasus E-Ktp Dalam
semua dan dapat di jadikan sebagai bahan ajar atau referensi yang bermanfaat.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya pada
umumnya, dan semoga bermanfaat bagi saya sendiri sebagai penulis, saya menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saya akan menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. terima kasih
kepada segenap yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini. Mudah-mudahan makalah
Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR....………………………………………………………………………...i
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………ii
BAB I……………………………………………………………………………………………..1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang………………………..……………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….........................2
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………2
1.4 Manfaat……………………………………………………………………………..3
BAB II……………………………………………………………………………………………4
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………4
2.1 Analisis putusan Praperadilan atas penetapan tersangka kasus E-KTP oleh KPK
yang tidak melalui proses penyelidikan (Putusan No.97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel) .
…….5
2.2 Kewenangan hakim pra peradilan dalam penyelesaian kasus e-KTP untuk
pengembalian keuangan Negara……………….........................................................7
BAB III………………………………………………………………………………………….10
PENUTUP………………………………………………………………………………………10
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………..10
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, dan keberadaan hukum menjadi
unsur penting kehidupan bermasyarakat. Keberadaan hukum menurut L.J. Apeldoorn
dilihat dari tujuannya adalah untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai
dan adil. Pandangan ini memberi arti bahwa adanya hukum memberi pelayanan bagi
masyarakat sehingga tercipta suatu ketertiban , keamanan, keadilan dan kesejahteraan.
Maka dalam menajalankan kehidupan bernegara tersebut salah satunya dengan
penanganan dalam menyelesaikan masalah social yang disebut tindak pidana.1
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar hampir diseluruh negara. Korupsi
bisa dikatakan seperti penyakit yang menjamur. Tidak hanya terjadi dilingkungan
pemerintahan, korupsi juga sudah menyebar kemasyarakat. Berdasarkan Undang-Undang
No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi didefinisikan sebagai tindakan setiap orang yang dengan sengaja
dengan melawan hukumuntuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri
sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara. Korupsi pada umumnya bisa dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik
kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Dan pada saat
ini korupsi yang terjadi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat baik
secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional maupun daerah.2
Dalam proses perjalanan memberantas korupsi, semakin banyak adanya kasus-
kasus korupsi besar yang berhasil diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) seperti kasus mega proyek KTP Elektronik yang membawa nama ketua DPR RI
menjadi tersangka dan kemudian terdapat beberapa anggota DPR RI dan instansi
pemerintahan lainnya. Pelaku tindak pidana korupsi yang telah ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi tersebut juga tidak sedikit yang mengembalikan kerugian
1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet 11, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 57
2
Dwi Supriyadi DKK, 2017, Ensiklopedia Antikorupsi, Surakarta: Borobudur Inspira Nusantara, hlm 20
1
keuangan negara hasil tindak pidana korupsi yang mereka lakukan sebelum dijatuhkan
putusan oleh majelis hakim. Hal tersebut juga dilakukan oleh mantan ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yaitu Setya Novanto yang
mengembalikan uang hasil tindak pidana korupsi KTP Elektronik (E-KTP) yang
diperolehnya pada tahun 2010 sebesar Rp 5 Miliar ke rekening Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Pengembalian tersebut dilakukan oleh Setya Novanto dalam tahap
pemeriksaan dimuka pengadilan sebelum perkaranya diputus pidana oleh majelis hakim
yang memeriksa. Walaupun telah mengembalikan kerugian keuangan negara yang
disebabkan oleh tindak pidana korupsi yang diperbuatnya, Setya Novanto tetap menjalani
proses hukum dan divonis oleh Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
15 tahun penjara. Putusan Majelis Hakim tersebut lebih ringan 1 tahun daripada tuntutan
Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus Setya Novanto yaitu selama 16 tahun. Hal
tersebut tidak diketahui apakah Majelis Hakim memutus lebih ringan 1 tahun diakibatkan
penerapan Pasal 4 Undang-undang Tipikor atau tidak.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses penetapan tersangka oleh KPK terhadap tersangka kasus e-ktp
yang tidak melalui proses penyelidikan.
2. Untuk mengetahui kewenangan hakim pra peradilan dalam penyelesaian kasus e-ktp dan
pengembalian kerugian Negara.
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
2
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari
matakuliah Hukum Kejahatan Korporasi.
2. Bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan dapat menabah referensi pustaka untuk memahami berbagai
teori yang menjadi landasan seputar tindak pidana korupsi
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Analisis putusan Praperadilan atas penetapan tersangka kasus E-KTP oleh KPK
yang tidak melalui proses penyelidikan (Putusan No.97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel).
Penentuan status tersangka seseorang pada tahap penyidikan bagian tahapan yang penting
bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya berdasarkan bukti
permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 10 KUHAP), dijelaskan
pula bahwa Penangkapan merupakan suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menuntut cara yang diatur dalam
undang-undang ini (Pasal 1 angka 20 KUHAP).
Selain Undang-Undang ada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang manjadi
pedoman bagi aparat penegak hukum yakni penyidik dalam melakukan penyelidikan dan
3
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju 2003, hal 11
4
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang termuat Dalam UU No 8 Tahun 1981, Politeia-Bogor 1986 hal
162
4
penyidikan terkait pencarian alat bukti dan barang bukti diatur dalam ketentuan pasal 1 angka
20 sampai pasal 1 angka 23 serta pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana. Putusan MK
Nomor: 20/PUU-XIV/2016 mengenai bukti elektronik digital sebagai alat bukti dan Putusan
MA Nomor: 42/PUU-XV/2017. Keberlakuan asas due process of law dan asas legalitas dalam
hukum acara pidana. Due process of law menghasilkan prosedur dan substansi yang
memberikan perlindungan hukum terhadap individu. Sementara asas legalitas mengandung
makna lex scripta (tertulis), lex certa (jelas) dan lex stricta (hukum pidana ditafsirkan secara
ketat).5
Melihat dari sisi yuridis, penyelidikan tindak pidana korupsi harus berpatokan pada
KUHAP, UU PTPK dan UU KPK. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP penyelidikan
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menemukan peristiwa pidana.
Penyelidikan terhadap kasus korupsi e-KTP telah didahului dengan pengawasan yang dilakukan
oleh KPK. Pengawasan tersebut ditemukan kejanggalan, diantaranya pada saat uji coba ada
penetapan Tersangka oleh kejaksaan yang tidak dilanjutkan, temuan post bidding (bertentangan
dengan Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Keppres No. 80 Tahun 2003) dan penandatanganan
kontrak sanggah banding pada saat complain peserta lelang belum selesai. Atas temuan tersebut,
KPK melakukan penyelidikan dengan berdasarkan Sprin.Lidik 53/07/2013, tertanggal 26 Juli
2013. Selama penyelidikan KPK melakukan identifikasi perkara yang menunjukkan bahwa
proyek e-KTP merupakan proyek nasional, melibatkan Kementerian Dalam Negeri yang
menjalankan fungsi perencanaan dan pelaksanaan, DPR RI yang menjalankan fungsi
penganggaran dan konsorsium perusahaan pemenang lelang yang menjalankan fungsi
pengadaan barang dan jasa. Pada proses penyelidikan, KPK melakukan pemanggilan saksi,
meminta keterangan ahli dan mengumpulkan dokumen yang relevan dengan proyek E-KTP.
Akhirnya, KPK berhasil memperoleh alat bukti berupa 62 keterangan saksi dan lebih dari 457
dokumen.
Tindak pidana korupsi yang telah terindetifikasi dilakukan secara bersama-sama, suatu proses
penyelidikan yang mana dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyidikan atas beberapa orang
5
Rhonda Wasserman, “Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States Constitution”,
Greenwood Publishing Group, Santa Barbara, 2004, hlm. 1 dikutip Dalam Eddy O. S. Hiariej, “Teori dan Hukum
Pembuktian”, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 30.
5
yang diduga sebagai tersangka. Sebelum dilakukan penyidikan dilakukan gelar perkara pada
tanggal 17 Februari 2014 yang menghasilkan laporan hasil Penyelidikan No. LHP-
14/22/03/2014, tertanggal 17 Maret 2014. Pada laporan hasil penyelidikan tersebut, termuat pula
perhitungan keuangan negara sebesar Rp. 1,1 T. Selanjutnya, KPK melakukan penyidikan
terhadap Sugiharto. Hasil Penyidikan mengarah pada keterlibatan pihak lain. Oleh karenanya,
KPK juga turut melakukan penyidikan terhadap Irman, Andi Narogong als. Andi Agustinus,
termasuk pula penyidikan terhadap Setya Novanto. Penyidikan terhadap Setya Novanto
dilakukan didasarkan pada Sprin.Dik 56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 dan SPDP
310/23/07/2017, tertanggal 18 Juli 2017.
Peristiwa ini menunjukkan penyelidikan yang dilakukan pada bulan Juli tahun 2013
digunakan sebagai dasar untuk melakukan penyidikan dan Penetapan Tersangka terhadap
beberapa orang. UU PTPK, UU KPK maupun KUHAP tidak menentukan secara eksplisit
legitimasi penyelidikan yang digunakan untuk melakukan beberapa penyidikan. Akan tetapi, hal
tersebut dibenarkan dalam pandangan beberapa praktisi. Pandangan Monistis perbuatan pidana,
Simons menyebutkan bahwa strafbaar Feit terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur
objektif terdiri atas perbuatan, akibat perbuatan dan kemungkinan adanya keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan. Unsur Subjektif, meliputi orang yang mampu bertanggungjawab dan
adanya kesalahan (dolus atau culpa).6 Berdasarkan pandangan tersebut penyelidikan yang
ditujukan untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana juga termasuk pula untuk
menemukan unsur subjektif atau orang yang melakukan perbuatan pidana. Dalam artian, ketika
penyelenggaraan Penyelidikan dilakukan juga untuk mengidentifikasi siapa saja yang menjadi
calon tersangka dibenarkan.
Maka dari itu berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, Pasal 1 angka 2 KUHAP, Pasal 44
ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002, Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, serta
terpenuhinya Manajemen penyelidikan dan Manajeman penyidikan, didukung pula dengan
keterangan praktisi dan dibenarkan melalui pandangan monistis perbuatan pidana, maka
mematahkan pertimbangan hukum Hakim praperadilan yang menyatakan bahwa penyidikan
terhadap Setya Novanto dilakukan tanpa melalui Penyelidikan. Penetapan tersangka harus
6
Sudarto, “Hukum Pidana I”, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hlm. 41.
6
melalui pemeriksaan terlebih dahulu dimana calon tersangka diberi kesempatan untuk
mengajukan saksi, bukti, dan jika perlu ahlinya.7.
2.2. Kewenangan hakim pra peradilan dalam memutus penyelesaian kasus e-KTP
untuk pengembalian keuangan Negara.
7
Mudzakkir, “Indonesia Lawyers Club; Novanto, Wow!, 03 Oktober 2017, ILC TV One, Jakarta.
7
Pengembalian keuangan hasil tindak pidana korupsi sudah merupakan norma yang berdiri
sendiri, dengan prinsip hukum bahwa pelkau tindak pidana korupsi tersebut tidak boleh
mendapatkan keuntungan dari hasil korupsi. Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana maka perampasan asset hasil tindak pidana korupsi dapat digunkan untuk
memperbaiki kondisi kerusakan dan degradasi kuantitas dan kualitas perekonomian dan
mensejahterakan masyarakat yang terkena dampak dari yang diakibatkan oleh pelaku tindak
pidana korupsi. Pengembalian kerugian keuangan Negara melalui jalur pidana adalah melalui
proses penyitaan dan perampasan. Didalam persidangan pengembalian kerugian keuangan
negara, Hakim disamping menjatuhkan pidana pokok juga dapat menjatuhkan pidana tambahan
berupa : 1- Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana serta harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
(pasal 18 ayat (1) huruf a UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001. 2- Pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) UU 31/99 jo UU 20/2001). 3-
Pidana Denda, UU TPK mempergunakan perumusan sanksi pidana bersifat kumulatif (pidana
penjara dan atau pidana denda), Kumulatifalternatif (pidana penjara dan atau pidana denda), dan
perumusan pidana lamanya sanksi pidana bersifat Determinate sentence. 4- Penetapan
perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (Peradilan In
absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah
melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU 31/99 jo UU 20/2001). 8
Uang hasil korupsi yang di gunakan tersebut wajib dikembalikan oleh terpidana korupsi
berupa uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi. Hal ini juga dapat dilihat dari Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor, yang secara
implisit mengatakan adanya pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi. Akan tetapi pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tersebut
hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan, tidak menghilangkan sanksi pidana.
Sejalan dengan pengaturan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Purwaning M.
Yanuar dalam bukunya berjudul Pengembalian Aset Hasil Korupsi bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut UU Pemberantasan
8
Razak Musahib, pengembalian keuangan negara hasil tindak pidana korupsi, 2015 hlm 1-9.
8
Tipikor dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda. Upaya
pengembalian aset hasil korupsi dirasakan masih kurang dan belum cukup dalam memberantas
tindak pidana tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu Korupsi terjadi secara
sistemik, Adanya penyalahgunaan kekuasaan (Abuse Of Power).
9
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis berkesimpulan bahwa
ratio decidendi Hakim praperadilan yang menyatakan bahwa penetapan Tersangka atas Setya
Novanto dilakukan tanpa didahului dengan penyelidikan adalah Pertimbangan hukum yang
tidak tepat. Ratio decidendi yang menyebutkan bahwa penetapan Tersangka harus dilakukan
pada tahap akhir penyidikan juga bukan merupakan alasan yang berdasarkan hukum. Kedua
Argumentasi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1) dan ayat (2) jo. Pasal 46 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002, Pasal 1 angka 2, 5 dan 14 KUHAP
serta Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Kewenangan hakim Praperadilan dalm memutus kasus tersebut sesuai denga ketetapan
yang dilakukan oleh termohon untuk mnetapkan pemoohon sebagai tersangka pada kasus
tersebut dimana tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang No. 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, HUHAP, dan SOP KPK.
Maka dengan demikian penetapan pemohon tersebut sebagai tersangka adalah tidak sah.
10
DAFTAR PUSTAKA
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet 11, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
Dwi Supriyadi DKK, 2017, Ensiklopedia Antikorupsi, Surakarta: Borobudur Inspira Nusantara,
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar
Maju 2003
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang termuat Dalam UU No 8 Tahun 1981,
Politeia-Bogor 1986
Rhonda Wasserman, “Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States
Constitution”, Greenwood Publishing Group, Santa Barbara, 2004, hlm. 1 dikutip Dalam Eddy
O. S. Hiariej, “Teori dan Hukum Pembuktian”, Erlangga, Jakarta, 2012
Sudarto, “Hukum Pidana I”, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990
Mudzakkir, “Indonesia Lawyers Club; Novanto, Wow!, 03 Oktober 2017, ILC TV One, Jakarta.
11