Anda di halaman 1dari 9

NAMA : VIYUNA SELENA PUTRI

NIM : 03040220107

KELAS : PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM – B

Soal UAS

1. Rekonstruksi poin-poin penting dan substantif artikel yang sudah anda tulis dan anda
presentasi dalam diskusi kelas. (Jawaban antara 800-100 kata)
2. Seorang pembaharu muncul karena tantangan agar Islam tetap relevan dalam berbagai
situasi. Faktor apa yang membuat Syeikh M Abduh "tidak terbuai" dengan agitasi
politik Jamaluddin al-Afgani (jawaban minimal 500 kata)
3. Apa motivasi Sir Ahmad Khan di India bekerjasama dengan Inggris ? Apakah anda
bisa mengungkap perbedaan dan persemaan antar Sir Ahmad di India dengan Sayyid
Usman yang diangkat oleh Belanda sebagai mufti Islam di Batavia ? (Jawaban
maksimal 500 kata).
4. Setelah anda membaca pemikiran dan tantangan yang dihadapi oleh para pembaharu,
siapa diantara mereka yang paling anda kagumi ? Apa alasannya (Jawaban maksimal
500 kata).
Jawaban UAS

1. Ratradisionalisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan


yang dilakukan oleh mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (dikenal
sebagai Gus Dur), selama masa pemerintahannya. Kebijakan ini bertujuan untuk
mengurangi pengaruh Islam garis keras dan mempromosikan Islam moderat di
Indonesia. Gus Dur dikenal sebagai seorang pemimpin Muslim yang
memperjuangkan toleransi agama, kebebasan beragama, dan pluralisme di Indonesia.
Dia ingin mengembalikan ajaran Islam ke akarnya yang inklusif dan menghormati
keberagaman budaya dan agama di negara tersebut. Dalam konteks ratradisionalisasi,
Gus Dur berupaya untuk menyeimbangkan ajaran agama dengan nilai-nilai
nasionalisme dan demokrasi. Dia mendukung kebebasan berpendapat, termasuk bagi
kelompok-kelompok Islam liberal dan progresif. Selain itu, Gus Dur juga berupaya
memperkuat lembaga negara dan keadilan sosial. Namun, upaya ratradisionalisasi
Gus Dur menghadapi tantangan dan kritik dari beberapa kelompok garis keras di
Indonesia. Beberapa anggota masyarakat yang lebih konservatif menganggap
kebijakan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka anut. Hal ini
memicu kontroversi dan konflik di dalam masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, masa
pemerintahan Gus Dur tidak berlangsung lama. Dia dijatuhkan dari jabatannya
sebagai Presiden pada tahun 2001 melalui mekanisme impeachment oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meskipun begitu, warisan Gus Dur dalam
memperjuangkan Islam moderat dan nilai-nilai pluralisme terus menjadi inspirasi bagi
banyak orang di Indonesia.
Proses reideologisasi berlangsung dengan munculnya kecenderungan kuat untuk
menggunakan ideologi sebagai sumber penggerak dalam kehidupan masyarakat.
Mekanisme serba positivistik yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial untuk
menjelaskan tindakan masyarakat tidak lagi memuaskan. Rangsangan dan tekanan
yang diberikan tidak menghasilkan rekayasa yang diharapkan, malah memperumit
permasalahan yang dihadapi. Dalam situasi seperti ini, orang kemudian "kembali pada
ideologi" untuk menciptakan kerangka solidaritas yang kuat dan menonjol. Salah satu
bentuk solidaritas yang muncul adalah cinta terhadap tanah air, yang beberapa tahun
lalu tercermin dalam keinginan "mengingat kembali Bung Karno" dengan segala
aspek nostalgik terhadap presiden pertama Indonesia. Proses reideologisasi ini
mengikuti dua pola perkembangan utama. Di satu sisi, kekurangan ikatan ideologis
dan kuatnya hubungan dengan rekayasa teknokratik mengarah pada munculnya
kecenderungan untuk menampilkan ideologi alternatif dari berbagai sumber, seperti
nasionalisme masa lalu, agama, atau ikatan komunalistik. Keinginan baru terhadap
kebangsaan, meskipun tidak sekuat nasionalisme pada masa kejayaannya, memiliki
pengaruh yang cukup dalam kehidupan masyarakat, seperti komunalisme orang
Melayu di Malaysia. Dalam proses reideologisasi ini, agama menjadi sumber utama,
seperti yang terlihat dalam berbagai gerakan fundamentalis dan militan dalam Islam,
serta teologi pembebasan di kalangan aktivis Katolik di Amerika Latin. Untuk
melawan perkembangan ideologi alternatif ini, sistem kekuasaan harus
menghadapinya dengan memperkuat ideologi formal yang telah diterima kembali,
untuk mengklarifikasi kembali makna ideologi yang sudah mapan. Penemuan kembali
ideologi yang sudah mapan, tetapi hampir terlupakan, merupakan manifestasi utama
dalam beberapa negara berkembang, termasuk dengan adanya minat yang kembali
terhadap dimensi dan aspek-aspek Pancasila di Indonesia. Penguatan kembali ini
dilakukan melalui upaya untuk memperkuat ideologi yang telah mapan, seperti
melalui berbagai program pelatihan P4 (Pembinaan dan Peningkatan Prestasi) dan
Kewaspadaan Nasional di Indonesia saat ini. Pendekatan ini memperlakukan ideologi
sebagai pandangan dan cita-cita yang utuh, yang menghimpun seluruh kekayaan
bangsa dalam kekuatan yang kuat untuk mempertahankan negara dan mencapai tujuan
pembangunan ekonomi yang pragmatis.
Dengan demikian, ideologi negara mendapatkan posisi yang sangat kuat, seringkali
dengan menggusur paham-paham lain dari posisi ideologi mereka masing-masing.
Pemikiran, agama, dan rasa kebangsaan diizinkan untuk berkembang, tetapi harus
berada di luar kerangka ideologi formal negara. Posisi ini kemudian menghasilkan
kebutuhan untuk memperlihatkan tradisi budaya yang telah ada, guna memberikan
otentisitas kepada ideologi formal negara sebagai representasi nilai-nilai yang telah
ada sejak lama. Kebangsaan dinyatakan dalam bentuk munculnya tradisi lama yang
dihidupkan kembali melalui berbagai cara, seperti melestarikan adat istiadat daerah
dengan berbagai upaya. Di sisi lain, proses reideologisasi juga muncul dalam bentuk
yang sangat kultural, ketika serangkaian nilai-nilai oleh masyarakat disusun untuk
membentuk ideologi yang lengkap dan utuh. Nilai-nilai Islam yang telah lama
menjadi bagian integral kehidupan umat Muslim di Indonesia, misalnya, dihidupkan
kembali secara menyeluruh, yang pada akhirnya membawa kepada kebutuhan akan
kerangka ideologis. Mungkin "ideologi" yang dimaksud bukanlah ideologi politik,
melainkan ideologi kultural, seperti desakan untuk menciptakan masyarakat Islam
yang konsisten, di mana nilai-nilai Islam berkembang secara menyeluruh tanpa
penyimpangan atau distorsi. Proses seperti ini juga memunculkan retradisionalisasi,
ketika tradisi masa lalu dihubungkan dan diikat satu sama lain dengan kerangka
tradisi yang utuh, antara tradisi dan ideologi, meskipun hanya ideologi kultural.
Terjadi simbiosis yang saling mendukung dan memperkuat. Contohnya adalah kasus
penggunaan jilbab beberapa waktu yang lalu, yang jelas terkait dengan
kecenderungan kuat terhadap Islam sebagai "ideologi kultural" yang mulai muncul di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Gus Dur secara konsisten mempromosikan Islam yang toleran, inklusif, dan moderat.
Dia berpendapat bahwa dalam membangun masyarakat yang beragam, penting untuk
menghormati pluralitas dan menerima perbedaan antara tradisi dan modernitas. Gus
Dur juga menekankan pentingnya menginterpretasikan ajaran agama dengan konteks
zaman yang terus berubah. Dalam konteks ratradisionalisasi, yang mungkin mengacu
pada upaya menghidupkan kembali atau mempertahankan tradisi-tradisi kultural atau
keagamaan yang dianggap kuno atau terancam punah, Gus Dur mungkin memiliki
pandangan yang berbeda. Dia mungkin mendukung upaya untuk memahami dan
menghargai tradisi, tetapi juga akan mendorong untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman dan melibatkan pemikiran kritis dalam mempertahankan nilai-nilai
yang relevan dalam konteks modern.
Gus Dur berpandangan pendidikan Islam multikultural itu bisa dilakukan dengan
berbagai pendekatan dan strategi, misalnya dengan cara pembaharuan pendidikan
Islam dan modernisasi Gus Dur memberi contoh yaitu penggunaan tutup kepala di
sekolah nonagama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman
lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun
ke-tahun yang melakukan ibadah umroh atau haji kecil. Demikian juga, semangat
menjalankan ajaran Islam datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah,
antara Berbagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam
tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama
atau madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolahsekolah non-agama yang
berserak-serak di seluruh penjuru dunia.
2. Syeikh Muhammad Abduh adalah seorang cendekiawan Muslim yang terkenal pada
abad ke-19 dan merupakan pemikir utama dalam gerakan pembaruan Islam di Mesir.
Meskipun ada pengaruh dan keterkaitan antara Syeikh Abduh dengan tokoh
Jamaluddin al-Afghani, terdapat beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa
Syeikh Abduh "tidak terbuai" oleh agitasi politik al-Afghani. Yang pertama Syeikh
Abduh memiliki pandangan yang lebih moderat dalam hal agama dan politik. Ia lebih
condong pada pendekatan reformis yang menggabungkan pembaruan dalam
pemahaman agama dengan kecenderungan nasionalis dan keadilan sosial. Sementara
al-Afghani memiliki pandangan yang lebih revolusioner dan militan dalam menantang
kekuasaan kolonial dan tradisi agama yang dianggapnya ketinggalan zaman. Yang
kedua Syeikh Abduh lebih fokus pada pendidikan dan pembaruan pemikiran sebagai
sarana untuk memperkuat umat Islam dan menyongsong kemajuan sosial. Ia
mendirikan sekolah-sekolah modern dan memperjuangkan pendidikan yang inklusif.
Di sisi lain, al-Afghani lebih fokus pada pergerakan politik dan perlawanan terhadap
penjajahan. Yang ketiga Syeikh Abduh, meskipun ingin melakukan reformasi dalam
pemahaman Islam, tetap memiliki pengaruh dan kepatuhan terhadap nilai-nilai
tradisional Islam. Ia berusaha memadukan antara pembaruan dan tradisi, sementara al-
Afghani cenderung lebih menekankan perubahan radikal dan menolak tradisi yang
dianggapnya menghambat kemajuan umat Islam. Yang keempat Syeikh Abduh lebih
condong pada pendekatan dialog dan kerjasama dengan kekuatan kolonial serta
mengadvokasi pembaruan melalui pendidikan dan reformasi pemikiran. Al-Afghani,
di sisi lain, cenderung lebih konfrontasional dan memperjuangkan perubahan politik
melalui perlawanan aktif dan revolusi. Dalam bidang teologi, Muhammad Abduh
lebih cenderung memilih pandangan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
menentukan tindakannya, dengan batasan tertentu, serta memperhatikan masalah
takdir dan peran akal. Dalam pandangan ini, peran akal menjadi sangat penting dalam
tindakan manusia. Oleh karena itu, manusia dapat menentukan sikap dan pilihan
mereka dalam segala hal dan menilainya sebaik mungkin. Pendekatan ini lebih
mengutamakan penggunaan akal, tetapi tetap mempertimbangkan bahwa hukum alam
adalah dasar yang harus manusia ketahui. Dalam bidang sosial, seperti gurunya al-
Afghani, Muhammad Abduh juga memiliki proyek yang sama dalam menindaklanjuti
bahwa kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Barat merupakan hal yang
harus diperangi. Menurut mereka, umat Islam menjadi terbelakang karena mereka
menolak secara totalitas produk-produk dari Barat dan terlalu memuja produk-produk
mereka sendiri. Sikap ini didasarkan pada taklid buta dan cenderung membiarkan
taklid menjadi elemen yang paling nyaman dan dianggap relevan pada saat itu. Sikap
yang seharusnya diambil oleh umat Islam adalah sikap yang kritis terhadap kedua
aspek tersebut, baik yang berasal dari kalangan mereka sendiri maupun dari Barat.
Umat Islam seharusnya bersikap kritis terhadap pola-pola Barat dan terbuka terhadap
hal-hal yang positif darinya. Begitu pula sebaliknya, sikap kritis juga diperlukan
dalam upaya menjauhkan diri dari taklid buta. Karena bagaimanapun, karya-karya
ulama belum sepenuhnya dianggap sebagai final dan masih memerlukan penyesuaian
dengan nash al-Qur'an. Jika penyesuaian tersebut sesuai dengan nilai-nilai spirit al-
Qur'an, maka perlu dilakukan, dan sebaliknya pula.
Al-Afghani dan Abduh mengkritik dengan tajam sikap fundamentalisme yang
cenderung mengabaikan kemajuan. Meskipun keduanya mengadvokasi kembali
kepada masa Salaf (zaman Nabi dan para sahabat), mereka tidak bermaksud
mengabaikan kemajuan atau kegemilangan Barat. Mereka juga tidak ingin terlalu
memuja produk-produk Barat sehingga mengganggu proses kesucian dalam
menjalankan agama. Kritik terhadap para fundamentalis ini lebih terkait dengan sikap
mereka yang cenderung apatis terhadap kekuasaan dan bagaimana mereka
menciptakan pola-pola yang ingin meraih kemenangan dan mengeliminasi pihak lain. 1
Aktivitas politik Abduh sebagaimana pula gurunya, ia pernah dijebloskan ke dalam
penjara karena terlibat dalam revolusi Urabi Pasya. Bersama pemimpin lainnya ia
ditangkap, dipenjara dan kemudian dibuang keluar negeri pada tahun 1882. Pada
tahun 1884, ia bersama-sama Jamaluddin al-Afghani mendirikan majalah “alʿUrwah
al-Wuthqā” di Paris.2 Faktor-faktor tersebut menjelaskan mengapa Syeikh Abduh
tidak sepenuhnya terbuai oleh agitasi politik al-Afghani. Meskipun ada pengaruh dan
keterkaitan antara keduanya, perbedaan dalam pemikiran, pendekatan, dan fokus
mereka mengarah pada perbedaan dalam penekanan dan prioritas mereka dalam
gerakan pembaruan Islam.
3. Sir Ahmad Khan, seorang tokoh intelektual dan reformis Muslim di India pada abad
ke-19, memiliki beberapa motivasi dalam bekerja sama dengan Inggris. Sir Ahmad
Khan sangat prihatin dengan kondisi umat Muslim India pada masa itu. Ia melihat
bahwa umat Muslim mengalami kemunduran sosial, pendidikan, dan politik. Sir

1
Khairiyanto, Pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh Serta Relasinya Dengan Realitas Sosial
di Indonesia, Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 1, No. 2, 2019.
2
Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 38.
Ahmad Khan percaya bahwa bekerja sama dengan Inggris dapat membantu
memperbaiki situasi ini dan memberikan kesempatan untuk kemajuan umat Muslim.
selain itu, ia terkesan dengan perkembangan peradaban dan kemajuan sosial yang
dicapai oleh Barat, terutama dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ia
percaya bahwa nilai-nilai Barat seperti ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan modernitas
dapat memberikan kontribusi positif dalam pembaruan dan kemajuan umat Muslim di
India. Ia juga mengadopsi pendekatan pragmatis dalam melihat hubungan dengan
penguasa kolonial Inggris. Ia menyadari bahwa Inggris memiliki kekuasaan yang
dominan di India pada saat itu dan melihat bekerja sama dengan mereka sebagai cara
untuk memperoleh manfaat dan mendapatkan dukungan dalam upaya pembaruan dan
pendidikan umat Muslim. Dalam pandangan Ahmad Khan, pemerintahan Inggris
adalah pemerintahan yang sah. Ia berpikir, jika muslim di bawah pemerintahan
Inggris maka muslim dapat hidup damai, hukum syari’at diberlakukan, dan dalam
banyak hal umat muslim bergantung kepada kebijakan pemerintahan Inggris.3
Sir Ahmad Khan di India dan Sayyid Usman yang diangkat oleh Belanda sebagai
Mufti Islam di Batavia memiliki perbedaan dan persamaan dalam konteks sejarah dan
perannya sebagai pemimpin Muslim. Berikut adalah perbedaan antara keduanya:
1) Mereka memiliki berada di lokasi dan kekuasaan yang berbeda Sir Ahmad
Khan beroperasi di India, sedangkan Sayyid Usman aktif di Batavia (sekarang
Jakarta), yang saat itu merupakan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.
Keduanya berada di bawah penguasaan kolonial yang berbeda.
2) Keduanya memiliki konteks kolonial yang berbeda. Sir Ahmad Khan
berinteraksi dengan pemerintah kolonial Inggris, sedangkan Sayyid Usman
terlibat dengan pemerintah kolonial Belanda. Konteks kolonial yang berbeda
dapat mempengaruhi pendekatan dan tindakan mereka dalam memimpin umat
Muslim.
3) Selain itu, mereka juga memiliki pendekatan pembaruan yang berbeda. Sir
Ahmad Khan lebih fokus pada pembaruan pendidikan dan pemikiran di
kalangan umat Muslim India. Dia mendirikan Aligarh Muslim University dan
memperjuangkan pendidikan modern. Sayyid Usman, di sisi lain, berfokus
pada pembaruan hukum Islam dan peran sebagai Mufti untuk komunitas
Muslim di Batavia.

3
Rifai Shodiq Fathoni, “Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) – Biografi Tokoh”, 15 Mei 2016.
https://wawasansejarah.com/sayyid-ahmad-khan/. Diakses pada 7 Juli 2023.
Adapun persamaan antara keduanya adalah:

1) Baik Sir Ahmad Khan maupun Sayyid Usman diakui sebagai tokoh
pemimpin Muslim pada zamannya. Keduanya berjuang untuk
meningkatkan kondisi umat Muslim dan memperkuat identitas Islam di
bawah kekuasaan kolonial.
2) Keduanya menganjurkan pembaruan dalam konteks masing-masing. Sir
Ahmad Khan berfokus pada pembaruan pendidikan dan modernisasi
pemikiran Islam, sedangkan Sayyid Usman berusaha memperbarui hukum
Islam dan memberikan arahan keagamaan kepada umat Muslim di Batavia.
3) Baik Sir Ahmad Khan maupun Sayyid Usman memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap komunitas Muslim di wilayah masing-masing. Mereka
bekerja untuk memperkuat identitas dan keberdayaan umat Muslim dalam
menghadapi tantangan kolonial.

Perbedaan dan persamaan di atas mencerminkan perbedaan konteks sejarah


dan peran yang mereka jalani. Meskipun memiliki tujuan umum untuk
memperkuat umat Muslim, pendekatan dan fokus tindakan mereka dapat
bervariasi tergantung pada kondisi dan tantangan yang dihadapi di wilayah
mereka masing-masing.

4. Setelah saya membaca pemikiran dan tantangan yang dihadapi oleh para pembaharu,
saya memiliki satu tokoh yang saya kagumi. Gus Dur adalah tokoh pembaharu
muslim yang saya kagumi, dengan alasan Gus Dur dikenal karena pendekatannya
yang inklusif terhadap agama dan keberagaman. Ia memperjuangkan toleransi
antaragama, kebebasan beragama, dan menghormati perbedaan agama dan budaya.
Sikapnya yang terbuka dan mendukung keragaman dianggap sebagai nilai penting
dalam masyarakat yang multikultural. Ia memiliki pemahaman yang mendalam
tentang agama, politik, dan sosial. Kepemimpinannya di Nahdlatul Ulama (NU) dan
sebagai Presiden Indonesia menunjukkan dedikasinya dalam memajukan kebaikan
masyarakat dan menjaga keharmonisan antarumat beragama. Gus Dur ecara konsisten
mengkritik otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia berjuang untuk
demokrasi, kebebasan berpendapat, dan hak asasi manusia. Sikapnya yang berani dan
tegas dalam melawan otoritarianisme membuatnya dihormati sebagai pembela
kebebasan dan keadilan.
REFERENSI

Radinal Mukhtar Harahap, “NARASI PENDIDIKAN DARI TANAH BETAWI:


Pemikiran Sayyid Usman tentang Etika Akademik”, Journal Of Contemporary Islam
and Muslim Societies, Vol. 2, No. 2, 2018.

Yecki Bus, “Sir Sayyid Ahmad Khan dan Rekontruksisme Pendidikan Islam Ala India”,
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1, 2015.

Khairiyanto, “Pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh Serta Relasinya


Dengan Realitas Sosial di Indonesia”, Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy, Vol. 1, No. 2, 2019.
Ali Rahnema, Yuliani Liputo, dkk. “Para perintis zaman baru Islam”, MIZAN (Bandung:
1995).
Rifai Shodiq Fathoni, “Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) – Biografi Tokoh”, 15 Mei
2016. https://wawasansejarah.com/sayyid-ahmad-khan/.

Anda mungkin juga menyukai