Anda di halaman 1dari 2

a.

Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional

Pencabutan Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat Istiadat Cina
mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun
kebebasan untuk berekspresi. Perkembangan budaya juga berkembang pesat setelah keluarnya Keppres
Pencabutan Intruksi Presiden yang diskriminatif tersebut. Agama konghuchu sekarang ini bebas untuk
dianut oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Banyak kebijakan pemerintahan pasca reformasi yang
mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis Tionghoa.
Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur yakni Presiden Megawati dengan menetapkan
Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002 tentang Tahun Baru
Imlek pada 9 April 2002.

b. kelembagaan Umat Khonghucu

Di Indonesia, Umat Konghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak
pernah membubarkan MATAKIN yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era Reformasi MATAKIN
diberi kesempatan oleh Menteri Agama cabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII
yang bertempatan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri
perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebangkitan Agama Khonghucu Indonesia
(KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Hampir
20 tahun umat Khonghucu di Indonesia harus hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat
tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu. Hal ini membawa dampak negative bagi
perkembangan kelembagaan umat Khonghucu. (http://matakin-Indonesia.org/index_indo.htm)

c. Pendidikan Umat Khonghucu

Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini salah
satu isinya mengamanatkan mata pelajaran agama Khonghucu dapat diselenggarakan di jaulr
pendidikan formal. Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya
pada masa Presiden Soekarno pendidikan Agama Khonghucu pernah diterapkan. Hanya saja, pada masa
Presiden Soeharto menjabat, agama Khonghucu kemudian seakan-akan menghilang karena tidak diakui
oleh pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini semakin membuka lebar pengakuan Negara
Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak untuk
mendapatkan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Khonghucu.
((http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080205144637)

Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai kependudukan. Yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006
tentang kewarganegaraan. Dalam pasal 2 dan penjelasan undang-undang ini didefinisikan bahwa orang
Tinghoa adalah orang Indonesia Asli. Peraturan ini yang menjamin hak-hak kependudukan bagi etnis
Tionghoa adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. Dalam pasal
106 Undang-Undang tersebut, terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil
zaman colonial Belanda. Dan dicatatnya perkawinan agama Khonghucu di Kantor Catatan Sipil.
Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama Khonghucu.
((http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com)

(https://wisnu.blog.uns.ac.id/2011/03/10/pengakuan-agama-khonghucu-di-indonesia/)

Anda mungkin juga menyukai