AL-QURAN
DALAM BUDAYA KONTEKS INDONESIA
(Kajian Metodologis Studi Al-Quran Ala Jaringan Islam Liberal di
Indonesia)1
Pendahuluan
Dalam satu dasawarsa terakhir ini di Indonesia pemikiran progresif dalam
wacana keislaman merupakan fenomena yang penting untuk dicermati bersama.
Hal ini tidak saja dikarenakan produk yang dihasilkan dari wacana tersebut, lebih
dari itu adalah respons yang muncul terhadapnya. Dalam peta wacana keislaman
di Indonesia banyak sindikasi gerakan pemikiran keislaman, terutama dari
kalangan muda ormas Islam. Diantaranya adalah suatu ormas yang mengatas
namakan dirinya sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikoordinatori oleh
Ulil Absor Abdalla.
Mereka adalah anak-anak muda, yang aktif di Paramadina, NU, aktivis
jurnalis, dan IAIN Ciputat.2 Di lapisan keduanya, banyak pula terlibat aktivis
kelompok studi tahun 1980-an, yang sekolah sampai S3 di AS,3 ataupun yang
menjadi wartawan dan peneliti lembaga studi.4 Kelompok ini semakin
1Makalah ini diseminarkan di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada
tanggal 23 Februari, 2010.
2 Lihat, Denny JA. Ph.D, Berharap Kepada Islam Liberal dalam Islamllib. com. Di akses pada
19 Februari 2010.
3Misalnya adalah Ulil Absor-Abdallah, Koordinator Jaringan Islam Liberal Jakarta, ia aktif
menulis di berbagai majalah dan Koran baik lokal mapun nasional. Salah satu buku karyanya
adalah Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-surat Tersiar (2007). Ia
pernah belajar di Pesantren Kajen Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfudz. Menyelesaikan
pendidikan S2 di Boston University, Amerika Serikat. Sekarang dia sedang menyelesaikan
program S3 di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
4 Misalanya Gunawan Muhammad, Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan
luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan
dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi,
korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom "Catatan Pinggir" di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang,
Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang
penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang
menulis di berbagai media umum. Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard
dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari
Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis
kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo). Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun
kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Pada 1971, Goenawan
bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung
karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik
di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu
menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan
kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Goenawan Mohamad
kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di
Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja
mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan
Kata liberal berasal dari kata Latin liber yang artinya bebas atau
merdeka, bandingkan dengan kata liberty, kemerdekaan. Liberalisme, secara
etimologis, berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan
peran Negara dalam melindungi hak-hak warganya.7 Menurut Owen Chadwik
Kata Liberal secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya bebas dari
berbagai batasan (free from restraint).8 Sedangkan Islam Liberal adalah istilah
Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book. 9
Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh
bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot.
Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi
majalah politik.
5 Llihat, www.islamlib.com
6 Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam
dimulai.
7 M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Quran (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2008), hlm. 18.
8 Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006).
9 Liberal Islam: A Source Book. Oxford University Press, 1998. Selain buku Kurzman, buku yang
juga secara spesifik berbicara tentang isu ini adalah Islamic Liberalism: A Critique of
Development Ideologies (University of Chicago Press, 1988) karya Lionard Binder. Sedangkan
magnum opus Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (Cambridge
University Press, 1983), kerap dijadikan rujukan utama tentang pemikiran Arab modern.
Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950an. Mungkin Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah Islam liberal.10
Liberal yang menjadi kata sifat bagi Islam dalam istilah itu harus
dibedakan pengertiannya dengan, misalnya, liberalisme Barat. Hal ini untuk
menghindari kekeliruan ketika kita membicarakan tokoh-tokoh dalam wacana ini.
Istilah tersebut harus dipahami sebagai nomenklatur untuk memudahkan kita
merujuk kepada kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif,
dan dinamis. Dalam pengertian ini, Islam Liberal sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang benar-benar baru. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19,
ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai.11
Banyak sekali istilah Islam Liberal beredar, namun seiring dengan
banyaknya para pemikir Islam yang memakai istilah ini, jarang sekali yang
menjelaskan secara rinci apa itu Islam Liberal. Bahkan Kurzman sendiri yang
telah menulis sebuah buku dengan memakai istilah tersebut tidak menjelaskan
secara jelas apa yang Ia maksudkan dengan Islam Liberal. 12 Bahkan Fyzee pun
mempunyai istilah lain untuk Islam Liberal yaitu Islam Protestan. Menurut
Luthfie Assyaukanie, salah seorang pengajar Universitas Paramadina Mulya,
Dengan istilah ini (Islam Protestan atau Islam Liberal), Fyzee ingin
menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain: Islam yang
non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang
berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.13
Kemunculan istilah Islam Liberal ini, menurut Luthfie, mulai
dipopulerkan sejak tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesatterutama di
Indonesiatahun 1980-an.14 Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme
Islam bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut gerakan
10Lihat makalah diskusi yang disampaikan Oleh Luthfi Assyaukanie pada diskusi Wacana Islam
Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
11Lihat makalah diskusi yang disampaikan Oleh Luthfi Assyaukanie pada diskusi Wacana Islam
Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
12 Adnin Armas, menjelaskan bahwa Kurzman membagi lima makna liberal, yaitu pertama, para
penulis dalam bungan rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal; kedua, para
penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideology liberal, sekalipun mereka menganut
beberapa diantaranya; ketiga, bahwa istilahliberal mengandung konotasi negative bagi sebagian
dunia Islam karena makan itu diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas,
kemunafikan yang mendewakan kebenaran, serta permusuhan kepada Islam; keempat, konsep
Islam Liberal harus dilihat sebagai alat bantu anaslisis, bukan kategori yang mutlak; kelima,
saya tidak membuat klaim apapun mengenai kebenaran interpretasi liberal terhadap Islam. Saya
tidak memiliki kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian. Saya ingin
mendeskripsikannya saja. Lihat, Charlez Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, diterjemahkan
sebagai Wacana Islam Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global ( Jakarta: Paramadina,
2001), hlm. Xiii, dalam Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal:
Dialog Interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm.
xv.
13 Lihat, Luthfie Assyaukanie, Wacana Islam Liberal di Timur Tengah, Teater Utan Kayu (TUK),
(Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001).
14 Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), hlm. 2.
(yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang
tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna
perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokohtokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
Sampai sekarang komunitas Islam Liberal makin melebarkan sayapnya
hingga ke perguruan-perguruan tinggi Islam, terutama di Indonesia. Banyak
tokoh-tokoh yang terlibat didamnya diantaranya adalah: Sementara itu tokohtokoh yang di duga masuk dalam komunitas Islam Liberal dan menjadi
kontributor mereka (Islam Liberal) adalah : Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981),
Intelektual Muslim-India, Charles Kurzman, Univercity of North Carolina,
Abdallah Laroui, Muhammad V Univercity, Maroko, Mohammed Arkoun,
Univercity of Sorbonne, Prancis, Nashr Hamid Abu Zeyd, Fazlur Rahman,
Direktur Lembaga Riset Islam, Pakistan, Hassan Hanafi, Pemikir Kontemporer
Mesir, Ali Abdul Raziq, Ulama Al-Azhar (Telah dipecat oleh Haiat Kibaril Ulama,
karna bukunya yang dianggap liberal), Nurcholish Madjid, Universitas
Paramadina Mulya, Jakarta, Azyumardi Azra, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Nazaruddin Umar, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat,
Yayasan Paramadina Mulya, Jakarta, Ulil Absar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta,
Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, dan bahkan M.
Amin Abdullah rector UIN Sunan Kalijaga, dan lain-lain.
Setidaknya ada empat agenda yang diusung oleh JIL menurut Luthfi
Assyaulanie,17 Pertama,agenda politik. Yang dimaksud adalah sikap politik kaum
muslim dalam melihat system pemerintahan yang berlaku. Agenda kedua,
menyangkut kehidupan antaragama kaum muslim. Agenda ketiga (emansipasi
perempuan) mengajak kaum muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin
agama yang cenderung merugikan dan mendeskreditkan perempuan. Dan agenda
keempat (kebebasan berpendapat) menjadi penting dalam kehidupan kaum
msulim modern, khususnya ketika persolan ini berkaitan erat dengan masalah
hak-hak asi manusia (HAM).
B. Metodologi Penafsiran al-Quran Jaringan Islam Liberal
18 Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Chicago: Bibliotheca Islamika, 1989), hlm. 1.
19 Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 2 dan 185.
20 Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulumul Quran (Bairut: Dar al-Kutb, 2003), hlm. 65.
21Ayatullah Sayyid Kamal Faghih Imani, Nur al-Quran: An Enlightening Commentary Into The
Light Of The Holy Quran (Iran: Imam Ali Public Library, 1998), hlm. 16.
22 Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Lihat,
Berangkat dari sebuah kritik yang dilontarkan oleh kelompok JIL, bahwa
menurut JIL banyak pemikir Muslim memandang ilmu tafsir al-Quran dan
metodologi pembacaan (ushul fiqih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun.
Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk merubah pola bermadzhab dari yang
qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah
dikerangkakan oleh para ulam dahulu memang sudah tuntas dan sempurna,
sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya,
tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya
lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai
sesuatu yang mutlak, tak terbantah.23 Menurut JIL, mereka telah melakukan
idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.
Di sinilah, menurut JIL metodologi pembacaan klasik diletakkan
dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab,
fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidak berdayaan bahkan
kerapuhan metodologi klasik tersebut. Diantaranya adalah:24 (1) metodologi lama
Fuad Hassan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat
[ed], Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramadeia, 1977), hlm. 16. Dalam bahasa
Inggris, kata itu ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan
manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan
berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan
yang ditentukan.lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), hlm. 580-581. Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu
pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau
pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah
satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi tafsir
al-Quran tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat alQuran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Lihat, Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Quran (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988), hlm. 1-2. Metode tafsir Quran berisi
seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Quran. Maka,
apabila seseorang menafsirkan ayat Quran tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia
akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ray al-mahdh [tafsir
berdasarkan pikiran]. Tafsir bi al-ray al-mahdh [tafsir berdasarkan pemikiran] yang dilarang oleh
Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram [Ibnu Taymiyah.
1971/1391. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Quran al-Karim, cet.ke-I. hlm. 105,
dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, hlm. 2. Ada dua istilah yang
sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua
istilah tersebut, yakni: metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan alQuran, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Katakan saja, pembahasan
teoritis dan ilmiah mengenai metode muqaran [perbadingan], misalnya disebut analisis
metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap
ayat-ayat al-Quran, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau
memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran. Maka metode tafsir
merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran dan seni
atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam
metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran
al-Quran. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, hlm. 3.
23 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009), hlm. 139-140.
24 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 140.
semua, sebuah gagasan perihal hirarki sumber hukum perlu ditawarkan. JIL
menegaskan pentingnya mempertimbangkan mashid al-Syariah dalam suatu
pengambilan dalan penyelesaian suatu hukum. Menurutnya:
bahwa maqashid al-Syariah merupakan sumber hukum pertama
dalam Islam baru kemudian diikuti secara beriringan al-Quran dan al-Sunnah.
Mashid al-Syariah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam. Mashid al-Syariah
menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-ketentuan spesifik al-Quran.
Mashid al-Syariah ini merupakan sumber inspirasi tatkala al-Quran hendak
menjalankan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di masyarakat Arab. Mashid alSyariah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber
dari al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ada satu ketentuan baik di
dalam al-Quran maupun al-Hadis yang bertentangan secara substantif terhadap
Mashid al-Syariah, ketentuan tersebut mesti ditakwilkan. Ketentuan tersebut
harus batal atau dibatalkan demi logika Mashid al-Syariah.34
Menurut JIL, Maqashid al-Syariah itu bukan hanya digali melalui
proses dialektik antara umat Islam dan teks al-Quran per se, melainkan juga
sebagai hasil dialog yang bersangkutan dengan hati nuraninya disatu pihak, dan
interaksi mereka dengan realitas kehidupan dipihak lain.35 Berainteraksi dengan
realitas, berdialektik dengan teks suci, dan dilanjutkan dengan dialog personal
dengan hati nurani secara terus menerus oleh setiap anak manusia sepanjang masa
kirannya akan melahirkan suatu susunan dan konstruksi maqashid al-syariah
yang universal.
Khazanah ushul fiqih klasik telah merumuskan mashid al-Syariah adalah
keadlian (al-adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (al-musawah),
hikmah kebijak sanaan (al-hikmah), dan cinta kasih (al-rahmah), dan belakangan
kemudian ditambah dengan pluralisme (al-taaddudiyah), hak asasi
manusia(huquq al-insan), dan kesetaraan gender. Sedangkan al-Ghazali
menyatakan bahwa maqashid al-Syariah itu adalah hak hidup (hifzh al-nafs aw
al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-aql), hak
untuk memiliki harta (hifzh al-,mal), hak untuk mempertahankan nama baik (hifzh
al-irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut alGhazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah seluruh
ketentuan hukum dalam al-Quran (Islam) diacukan.36
1. Kaidah Tafsir al-Quran Alternatif
10
JIL dalam kaitannya merancang kaidah penafsiran al-Quran yang baru, ada
beberapa kaidah yang diajukan, antara lian sebagai berikut:37
a. Al-Ibrah bi al-Maqashid la bi al-Alfazh
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid
di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Quran dan al-Sunnah bukan huruf dan
aksaranya melainkan dari maqhasid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis
adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau
formulasi literalnya. Disinilah, menurut JIL untuk mengetahui maqashid ini
seseorang dituntut untuk memahami kontekstentu saja bukan hanya konteks
personal yang juziy-partikular, melainkkan juga konteks impersonal yang kulliuniversal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekedar ilmu sabab alnuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan
maqashid al-Syariah.
Mengenai hal ini JIL memberikan contoh. Dalam ulumul Quran
ditegaskan bahwa halphal yang menjadi petunjuk suatu sabab al-nuzul,
diantaranya, pertama, ketika al-Quran menjelaskan sendiri. Misal,, mereka
bertanya kepadamu (yasalunaka), katakana kepada mereka (wasalhum).
Kedua, sebagaimana dikatakan sebelumnya, al-Quran langsung menyebut nama
dari objek yang disasarnya seperti penyebutan Abu Lahab, atau Zaid (ibn
Haritsah). Tentang peristiwa Zaid ini, Allah berfirman dalam al-Quran:
Dan (ingatlah), ketika engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang
Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan engkau (juga) telah pula
memberinya kebahagiaan. Pertahankanlah terus isterimu (Zainab) dan
bertakwalah kepada Allah, sedang engkau (Nabi) menyembunyikan di dalam
hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan engkau (Nabi) takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk engkau takuti. Maka tatkala
Zaid Telah mengakhiri keperluan (menceraikan) terhadap Istrinya (Zainab), kami
nikahkan engkau dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menceraikan isteri-isteri mereka. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi. Tidak sepatutnya bagi nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang
diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka
yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat
pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang
menyapaikan risalah (pesan-pesan suci) Allah, mereka takut kepada-Nya, dan
mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Cukuplah
Allah sebagai pembuat perhitungan. Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak
dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab
[33]: 37-49).
Membaca teks di atas segera tampak bahwa ayat tersebut turun dalam
konteks spesifik, yaitu menyangkut hubungan tiga subjek: Nabi Muhammad, Zaid
(anak angkat Nabi) dan Zainab yang awalnya menjadi sitri Zaid. Tapi setelah
Zainab diceraikan, ia kemudian dinikahi Nabi. Sejak itu, Zaid tak lagi dipanggil
37Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 152-169.
11
sebagai Zaid ibn Muhammad melainkan Zaid ibn Haritsah (Haritsah memang
ayah kandung Zaid). Belakangan, dari kasus partikular ini, sejumlah ulama
melakukan generalisasi.38 Dengan merujuk pada kaidah al-ibrah bi umum allafazh la bi khushush al-sabab (yang menjadi perhatian adalah keumuman teksnya
dan bukan kekhususan sebabnya), para ulama fiqih berkesimpulan tentang: (1)
Anak angkat tak bernasab pada ayah angkatnya. Seorang hanya bernasab pada
ayah kandungnya sendiri. (2) Dengan demikian, sekiranya berkenaan, ayah angkat
diperbolehkan menikahi mantan isteri anak angkatnya.39
Penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa mengetahui konteks yang
melatari kehadiran al-Quran amat diperlukan. Mengenai hal ini JIL mengutip
Syathibi di dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa seorang mujtahid diharuskan
untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan
kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat Muslim yang menjadi sasaran
pertama wahyu.40 Pengetahuan tentang konteks (kontekstualisasi) tentu bukan
untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsipprinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syariah. Begitu
maqashid al-syariah sudah dicapai, teks harus segera dilepaskan dari konteks
kearabannya yang awal (disebut dengan dekontekstualisasi) untuk kemudian
dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di
tempat dan di belahan bumi non-Arab. Karena itu, kontekstualisasi,
dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran
sepanjang masa.41
Kaidah al-Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh yang diajukan di atas
merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-Ibrah bi umum al-lafadz
la bi khushush al-sabab. Yang berarti bahwa yang harus menjadi pertimbangan
adalah keumuman lafaz, bukan khususnya sebab.42 Ini berarti, jika suatu nash
38 Tentang generalisasi ini, al-Zamakhsyarisebagaimana dikutip oleh Ulil dkk. dalam buku
Metodologi Studi Al-Qurandalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi
surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas
berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan. Ibnu Abbas pun mengatakan
bahwa ayat 5: 38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian.
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, Juz I, hlm. 450. Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian; banyak
ayat turun berkenaandengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang
kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi
untuk menghukumi secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan BAni
Nadhir. Namun, kata Ibnu taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu
hanya berlaku terhadap dua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, hlm. 112.
Lihat juga catatan kaki dalam, Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 154.
39 Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran Jilid VII, hlm. 488-495. Lihat juga, Ulil AbsorAbdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm.154.
40 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Kairo: Mushthafa Muhammad, Tanpa Tahun,
Juz II), hlm. 12.
41 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm.155.
42Dalam catatan kaki bukunya Ulil tentang Metodologi Studi Al-Quran ini, dia
menjelaskan bahwa menyangkut kaidah ini, al-Suyuthi memberikan alas an bahwa itulah yang
telah dilakukan oleh para shahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, kata al-Suyuthi
sebagaimana dikutip oleh Ulil dalam bukunyadari antara lain ketika turun ayat zhihar dalam
kasus Slaman ibn Shakhar, ayat lian dalam perkara Hilal ibn Umayah dan ayat qadzf dalam kasus
tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga dapat
12
menggunakan redaksi yang bersifat umum, tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu
peristiwa yang khusus. Pasrah pada keumuman lafadz (al-taslim bi umum allafazh) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna
linguistik (fi ithar al-dalalah al-lughawiyah), tandas Nashr Hamid Abu Zaid
sebagai mana dikutip oleh Ulil dkk. dalam bukunya-- dalam bukunya yang
berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah.43
b. Jawaz Nasakh al-Nushush (al-Juziyyah) bi al-Mashlahah
13
14
Salah satu penulis dari buku metodologi Studi al-Quran ala JIL ini adalah
Dr. Abd. Moqsith Ghazali, dalam pengatar penulis, ia menjelaskan dua tujuan
penulisan buku ini. Pertama untuk dijadikan buku panduan atau pegangan bagi
UIN,IAIN dan STAIN yang mengambilmata kuiah Ulumul Quran, penggiat Studi
al-Quran, dan para teolog lintas agama pada khususnya, serta umat beragama
pada umumnya.49 Dan karena itu dibuat sepadat mungkin. Tujuan kedua adalah
untuk menjawab kritik yang menganggap bahwa JIL tidak punya metode dalam
menafsirkan Al-Quran. Isi dari buku ini menurutnya ada dua hal: pertama,
memberikan konteks yang lebih historis terhadap Alquran. Alquran mengalami
proses yang sangat panjang dan tidak ada secara tiba-tiba. Ini berkaitan dengan
bagian kedua yang membicarakan tentang yang aural dan yang kanonik. Pada
masa awal, Alquran hanya diucap dan belum dalam bentuk benda tertulis. Baru
beberapa waktu kemudian Alquran disusun menjadi tulisan dan dijadikan kanun
atau hukum. Saat itulah baru dicari kemukjizatannya. Proses itu cukup panjang,
kita bisa melihat tertib surat, urutan ayat dalam satu surat yang berbeda-beda antar
satu mushaf dan mushaf yang lain. Bagian ketiga kemudian mengkaji Al-Itqn f
`Ulum al-Qurn. Di situ dipaparkan beberapa kesalahan gramatikal dalam
Alquran. Dan yang paling penting pada bagian terakhir buku ini menjelaskan
masalah metodologi yang ditawarkan dalam menafsirkan al-Quran.
15
Namun demikian, buku setebal 175 yang menawarkan metodoogi baru ini
bukan berarti kedap dari kritik terhadap kelemahan dan kekurangan buku
Metodologi ini. Di sisni saya (penulis) untuk sementara baru mengkritik pada
wilayah teknis. Di dalam buku yang menawarkan sebuah metodologi baru dalam
menafsrikan al-Guran yang ditulis oleh tiga intelektual Muslim generasi baru
yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Absor-Abdallaini di
dalamnya banyak istilah-istilah baru yang sulit untuk dimengerti tanpa ada
kejelasan. Sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Zainun Kamal, dosen dan guru besar
UIN Jakarta, dalam suatu acara bedah buku ini, 50 mendapat kesempatan pertama
untuk mengulas buku itu. Dia melihat masih banyak yang belum terulas dalam
buku yang menurutnya terlalu tipis untuk ukuran buku daras itu. Salah satu yang
harus diperinci dan dikembangkan adalah tentang sejarah huruf, alfabet dan
bahasa Arab, pada bagian pertama. Itu ada kaitannya dengan tema sab`ah ahruf
yang selalu jadi polemik dalam Ulumul Quran. Selain itu, banyak kata-kata kunci
yang perlu diperjelas dan dipertegas seperti makna Kitab, Quran, wahyu dan
syariah; apakah dalam artian umum atau hukum. Dia melihat ide-ide dalam buku
ini tidak terlalu baru. Namun meski demikian, secara umum buku ini merupakan
sumbangan yang bagus dengan catatan perlu terus dikembangkan. Selain itu
adalah Dr. Yusuf Rahman, dosen pascasarjana UIN Jakarta, mengingatkan adanya
peluang untuk mempertanyakan otoritas penulis buku yang latar belakangnya
bukan dari tafsir hadits. Meski begitu, ia lebih mengutamakan argumen ketimbang
latar belakang penulis. Menurutnya, dalam tipologi Abdullah Said, ketiga penulis
itu termasuk critical muslim scholars. Dia juga menyebutkan adanya sejarah
kekuasaan saat Mushaf Usmani dijadikan closed official corpus dalam istilah
Mohamed Arkoun. Saat itulah Alquran menjadi suci. Dia menekankan pembaca
untuk membedakan antara wahyu dan penulisan, quran dan penafsiran, yang
absolut dan yang relatif. Menurutnya hubungan antara teks, konteks dan pembaca
itu sangat menentukan. Pada kelompok tekstualis, yang terjadi adalah hubungan
antara teks dan pembaca saja, tidak memperhatikan konteks. Menurutnya, konteks
perlu dilihat agar Alquran menjadi shlih li kull-i zamn wa makn.
D. Simpulan
50 Forum Mahasiswa Ciputat bekerja sama dengan Jaringan Islam Liberal dan BEM Aqidah
Filsafat UIN Jakarta, menggelar Seminar untuk memperkenalkan buku tersebut kepada kalangan
akademik UIN Jakarta. Acara itu diselenggarakan Selasa, 22 Desember 2009, bertempat di Ruang
Teater Lantai II Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Jakarta. Seminar menghadirkan Prof. Dr.
Zainun Kamal, Dr. Yusuf Rahman, dan Dr. Moqsith Ghazali dengan moderator Mumu Mahmudin
S.Th.I. Secara umum, buku ini disambut baik oleh para dosen dan mahasiswa. Tercatat ada 145
peserta dari berbagai kampus dan jurusan yang hadir dalam acara itu. Acara dimulai pukul 9.30
WIB. Lihat, www. islamlib.com. buku Metodologi Studi Alquran pernah dibedah di UIN Sunan
KAlijaga yang diadakan oleh Community for Religion and Social engineering (CRSe), dan BEMJ
Tafsir Hadist UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Diskusi
bedah buku ini berlangsung di Gedung Theatrical Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga pada
Senin 21 Desember 2009, dengan menghadirkan tiga orang narasumber: Dr. Abd. Moqsith
Ghazali, Dr. M. Nur Ichwan, Jadul Maula; dan dipandu oleh saudara Alwi Bani Rahman.
16
Dari uraian singkat di atas sedikit dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pernyataan bahwa al-Quran itu shalih li kulli zaman wa makan bukan hanya
diakui oleh para mufasir modern-kontemporer, dalam hal ini termasuknya adalah
Jaringan Islam Liberal, namun juga diakui oleh para mufasir klasik.
Perbedaannya, kalau para mufasir klasik menganggap pernyataan shalih li kulli
zaman wa makan ini dimaknai sebagai pemaksaan makna literal keberbagai
konteks situasi dan kondisi manusia, sehingga cenderung melahirkan pemahaman
yang tekstualis dan literalis. Akan tetapi, para penafsir modern-kontemporer
mencoba untuk melihat apa makna sebenarnya yang terkandung di balik teks ayatayat al-Quran.
Paradigma tafsir kontemporer cenderung mengkontekstualisasikan makna
dari ayat-ayat al-Quran dengan cara mengambil prinsip-prinsip dan ide
universalnya. Sehingga, jika ada ayat-ayat dari al-Quran yang dianggap kurang
relevan penafsirannya dengan perkembangan zaman, maka para penafsir pada
masa kontemporer ini berusaha untuk terus menafsirkan al-Quran sesuai dengan
semangat zamannya. Dengan metodologi yang ditawarkan di atas jaringan Islam
liberal berusaha untuk menjawab segala problematika yang terus berkembang dan
melilit masyarakat.
Sebagai saran, perlu ditegaskan kembali bahwa kebenaran mutlak
empunya adalah Tuhan. Ini merupakan wacana pemikiran dan sebuah tawaran,
yang akan terus berkembang sesusi dengan denyutnya nafas kehidupan dan
berkembangnya zaman. Sebuah gagasan atau pemikiran bisa saja diterima, ditolak
dan atau bahkan tidak kedua-duanya. Yang jelas jangan ada kepentingan ideologi
yang pada akhirnya saling menjustifikasi bahwa pihak kita saja yang benar dan
pihak yang lain adalah salah atau bahkan saling men-takfir-kan satu sama lain.
Diluar itu semua, diharapkan hal ini dapat meningkatkan gairah intelektual
Muslim untuk terus berpikir dan berbuat dan menyumbangkan banyak solusi yang
bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia.[]
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Arkoun dan Kritik Nalar Islam dalam Johan Hendrik
Meuleman (peny.), Tradissi Kemordenan dan Metamodernisme:
Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun Yogyakarta: LKiS,
1996.
Abu Zaid, Nashr Hamid. al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah (Beirut: al-Markaz alTsaqafi al-Arabi,1977.
_____________________. Naqdul Khitab ad-Dini Kairo: Sina li al-Syr, 1994.
_____________________. Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul
Quran terj. Khoiron Nahdliyyin Yogyakarta: LKiS, 2005.
Abdalla, Ulil Absor- dkk., Metodologi Studi Al-Quran Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009.
Assyaukanie, Luthfi. Islam Benar versus Islam Salah Jakarta: KataKita, 2007.
__________________. Wacana Islam Liberal di Timur Tengah makalah di
Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
17