Anda di halaman 1dari 17

1

AL-QURAN
DALAM BUDAYA KONTEKS INDONESIA
(Kajian Metodologis Studi Al-Quran Ala Jaringan Islam Liberal di
Indonesia)1
Pendahuluan
Dalam satu dasawarsa terakhir ini di Indonesia pemikiran progresif dalam
wacana keislaman merupakan fenomena yang penting untuk dicermati bersama.
Hal ini tidak saja dikarenakan produk yang dihasilkan dari wacana tersebut, lebih
dari itu adalah respons yang muncul terhadapnya. Dalam peta wacana keislaman
di Indonesia banyak sindikasi gerakan pemikiran keislaman, terutama dari
kalangan muda ormas Islam. Diantaranya adalah suatu ormas yang mengatas
namakan dirinya sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikoordinatori oleh
Ulil Absor Abdalla.
Mereka adalah anak-anak muda, yang aktif di Paramadina, NU, aktivis
jurnalis, dan IAIN Ciputat.2 Di lapisan keduanya, banyak pula terlibat aktivis
kelompok studi tahun 1980-an, yang sekolah sampai S3 di AS,3 ataupun yang
menjadi wartawan dan peneliti lembaga studi.4 Kelompok ini semakin
1Makalah ini diseminarkan di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada
tanggal 23 Februari, 2010.
2 Lihat, Denny JA. Ph.D, Berharap Kepada Islam Liberal dalam Islamllib. com. Di akses pada
19 Februari 2010.
3Misalnya adalah Ulil Absor-Abdallah, Koordinator Jaringan Islam Liberal Jakarta, ia aktif
menulis di berbagai majalah dan Koran baik lokal mapun nasional. Salah satu buku karyanya
adalah Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-surat Tersiar (2007). Ia
pernah belajar di Pesantren Kajen Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfudz. Menyelesaikan
pendidikan S2 di Boston University, Amerika Serikat. Sekarang dia sedang menyelesaikan
program S3 di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
4 Misalanya Gunawan Muhammad, Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan
luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan
dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi,
korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom "Catatan Pinggir" di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang,
Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang
penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang
menulis di berbagai media umum. Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard
dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari
Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis
kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo). Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun
kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Pada 1971, Goenawan
bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung
karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik
di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu
menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan
kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Goenawan Mohamad
kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di
Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja
mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan

mengkristal, mulai mempunyai homepage serta diskusi internet sendiri, 5 dan


membuat jaringan dengan sejumlah koran dan radio.
Yang istimewa dari komunitas ini adalah pandangan Islamnya yang
berbeda. Mereka mewakili pandangan liberal. Konsep mereka baik tentang syariat
Islam, Al-Quran, Hadis, negara sekuler, kebebasan berpikir, menghidupkan spirit
keberanian berijtihad dengan mengusung isu-isu kontemporer dalam konteks
keindonesiaan, serta isu-isu antaragama. Tak pelak, hal tersebut banyak
mengundang kontroversi dari kelompok lain. Terutama dalam hal ini adalah
padangannya mengenai pemaknaan kembali Islam, dalam hal ini adalah alQuran.
Berbicara mengenai Islam tentu tidak lepas dari sumber utama ajarannya,
yaitu Al-Quran dan Hadis. Disinilah Jaringan Islam Liberal mempunyai metode
yang bisa dibilang baru dan berbeda dari metode yang ada. Walaupun sebenarnya
menurut JIL ini bukanlah sesuatu yang baru. 6 JIL hanyalah menghidupkan
kembali. Agar tema yang dianggkat dalam tulisan ini tidak terlalu meluas, maka
ada beberapa rumusan masalah yang dimunculkan: (1) Bagaimanakah pandangan
JIL mengenai al-Quran?; dan (2) Metode seperti apakah yang ditawarkan dalam
menafsirkan al-Quran?
A. Seputar Islam Liberal dan Sejarahnya
1. Sejarah Liberal dan Jaringannya di Indonesia

Kata liberal berasal dari kata Latin liber yang artinya bebas atau
merdeka, bandingkan dengan kata liberty, kemerdekaan. Liberalisme, secara
etimologis, berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan
peran Negara dalam melindungi hak-hak warganya.7 Menurut Owen Chadwik
Kata Liberal secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya bebas dari
berbagai batasan (free from restraint).8 Sedangkan Islam Liberal adalah istilah
Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book. 9
Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh
bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot.
Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi
majalah politik.
5 Llihat, www.islamlib.com
6 Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam
dimulai.
7 M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Quran (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2008), hlm. 18.
8 Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006).
9 Liberal Islam: A Source Book. Oxford University Press, 1998. Selain buku Kurzman, buku yang
juga secara spesifik berbicara tentang isu ini adalah Islamic Liberalism: A Critique of
Development Ideologies (University of Chicago Press, 1988) karya Lionard Binder. Sedangkan
magnum opus Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (Cambridge
University Press, 1983), kerap dijadikan rujukan utama tentang pemikiran Arab modern.

Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950an. Mungkin Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah Islam liberal.10
Liberal yang menjadi kata sifat bagi Islam dalam istilah itu harus
dibedakan pengertiannya dengan, misalnya, liberalisme Barat. Hal ini untuk
menghindari kekeliruan ketika kita membicarakan tokoh-tokoh dalam wacana ini.
Istilah tersebut harus dipahami sebagai nomenklatur untuk memudahkan kita
merujuk kepada kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif,
dan dinamis. Dalam pengertian ini, Islam Liberal sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang benar-benar baru. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19,
ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai.11
Banyak sekali istilah Islam Liberal beredar, namun seiring dengan
banyaknya para pemikir Islam yang memakai istilah ini, jarang sekali yang
menjelaskan secara rinci apa itu Islam Liberal. Bahkan Kurzman sendiri yang
telah menulis sebuah buku dengan memakai istilah tersebut tidak menjelaskan
secara jelas apa yang Ia maksudkan dengan Islam Liberal. 12 Bahkan Fyzee pun
mempunyai istilah lain untuk Islam Liberal yaitu Islam Protestan. Menurut
Luthfie Assyaukanie, salah seorang pengajar Universitas Paramadina Mulya,
Dengan istilah ini (Islam Protestan atau Islam Liberal), Fyzee ingin
menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain: Islam yang
non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang
berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.13
Kemunculan istilah Islam Liberal ini, menurut Luthfie, mulai
dipopulerkan sejak tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesatterutama di
Indonesiatahun 1980-an.14 Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme
Islam bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut gerakan
10Lihat makalah diskusi yang disampaikan Oleh Luthfi Assyaukanie pada diskusi Wacana Islam
Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
11Lihat makalah diskusi yang disampaikan Oleh Luthfi Assyaukanie pada diskusi Wacana Islam
Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
12 Adnin Armas, menjelaskan bahwa Kurzman membagi lima makna liberal, yaitu pertama, para
penulis dalam bungan rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal; kedua, para
penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideology liberal, sekalipun mereka menganut
beberapa diantaranya; ketiga, bahwa istilahliberal mengandung konotasi negative bagi sebagian
dunia Islam karena makan itu diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas,
kemunafikan yang mendewakan kebenaran, serta permusuhan kepada Islam; keempat, konsep
Islam Liberal harus dilihat sebagai alat bantu anaslisis, bukan kategori yang mutlak; kelima,
saya tidak membuat klaim apapun mengenai kebenaran interpretasi liberal terhadap Islam. Saya
tidak memiliki kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian. Saya ingin
mendeskripsikannya saja. Lihat, Charlez Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, diterjemahkan
sebagai Wacana Islam Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global ( Jakarta: Paramadina,
2001), hlm. Xiii, dalam Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal:
Dialog Interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm.
xv.
13 Lihat, Luthfie Assyaukanie, Wacana Islam Liberal di Timur Tengah, Teater Utan Kayu (TUK),
(Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001).
14 Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), hlm. 2.

kebangkitan (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak


dimulai. Di Indonesia sendiri mulai timbul sekitar Tahun 1980-an yang dibawa
oleh tokoh utama dan sumber rujukan utama komunitas Islam Liberal Indonesia,
Nurcholish Madjid. Meski Cak Nur tidak pernah menggunakan istilah tersebut
dalam gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tetapi ia tidak menentang ide-ide
Islam Liberal.15
Karna itu istilah Islam Liberal tidak beda halnya dengan gagasan-gagasan
pemikiran Islamnya Cak Nur beserta kelompoknya yang tidak setuju dengan
pemberlakuan syariat Islam (secara formal dalam Negara) serta yang selalu
menyuarakan sekularisme, emansipasi wanita, persamaan satu agama dengan
agama yang lain (pluralisme theologies), dan lain sebagainya.16
Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di
kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa
pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain.
Karenanya, misi para pembaru Muslim pada meminjam istilah Albert Hourani
masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman
penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara
beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negaranegara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek
pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan
menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokohtokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di
Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia,
Rifaat Rafi al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (18221889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap
tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum
Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu
mendapatkan respon dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami
tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan
serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaru Arab di masa-masa awal kebangkitan
meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat
(shlih li kulli zamn wa makn). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia
modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan --dalam beberapa
hal-- nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian
modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak
modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap
dan doktrin Islam Liberal.
Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal itu juga yang kerap
membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa
15 Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, hlm. 2-3.
16 Lihat, Islam Liberal: Sejarah dan Penyimpangannya dalam
http://roele.wordpress.com/2008/02/28/islam-liberal/. Makalah inipernah disampaikan pada
Sanggar Informatika, ICMI Orsat Kairo, pada Selasa, 03 Oktober 2006. Lihat juga, Adian Husaini,
Islam Liberal: Sejarah, hlm. 3.

(yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang
tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna
perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokohtokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
Sampai sekarang komunitas Islam Liberal makin melebarkan sayapnya
hingga ke perguruan-perguruan tinggi Islam, terutama di Indonesia. Banyak
tokoh-tokoh yang terlibat didamnya diantaranya adalah: Sementara itu tokohtokoh yang di duga masuk dalam komunitas Islam Liberal dan menjadi
kontributor mereka (Islam Liberal) adalah : Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981),
Intelektual Muslim-India, Charles Kurzman, Univercity of North Carolina,
Abdallah Laroui, Muhammad V Univercity, Maroko, Mohammed Arkoun,
Univercity of Sorbonne, Prancis, Nashr Hamid Abu Zeyd, Fazlur Rahman,
Direktur Lembaga Riset Islam, Pakistan, Hassan Hanafi, Pemikir Kontemporer
Mesir, Ali Abdul Raziq, Ulama Al-Azhar (Telah dipecat oleh Haiat Kibaril Ulama,
karna bukunya yang dianggap liberal), Nurcholish Madjid, Universitas
Paramadina Mulya, Jakarta, Azyumardi Azra, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Nazaruddin Umar, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat,
Yayasan Paramadina Mulya, Jakarta, Ulil Absar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta,
Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, dan bahkan M.
Amin Abdullah rector UIN Sunan Kalijaga, dan lain-lain.
Setidaknya ada empat agenda yang diusung oleh JIL menurut Luthfi
Assyaulanie,17 Pertama,agenda politik. Yang dimaksud adalah sikap politik kaum
muslim dalam melihat system pemerintahan yang berlaku. Agenda kedua,
menyangkut kehidupan antaragama kaum muslim. Agenda ketiga (emansipasi
perempuan) mengajak kaum muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin
agama yang cenderung merugikan dan mendeskreditkan perempuan. Dan agenda
keempat (kebebasan berpendapat) menjadi penting dalam kehidupan kaum
msulim modern, khususnya ketika persolan ini berkaitan erat dengan masalah
hak-hak asi manusia (HAM).
B. Metodologi Penafsiran al-Quran Jaringan Islam Liberal

Al-Quran adalah sebuah dokumen untuk umat manusia18 yang diturunkan


sebagai pedoman hidup dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. 19 Al-Quran
merupakan nur Tuhan, petunjuk samawi dan syariat umum yang abadi. Ia
memuat apa saja yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam urusan agama
ataupun dunia mereka.20 Ia telah dikaji dengan beragam metode dan diajarkan
dengan aneka cara.21 Salah satu metodenya adalah metode yag digunakan oleh JIL
yang akan diuraikan dalam tulisan ini.22
17 Lihat, Luthfi Assyaukanie, Islam Benar versus Islam Salah (Jakarta: KataKita, 2007), hlm. 7276.

18 Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Chicago: Bibliotheca Islamika, 1989), hlm. 1.
19 Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 2 dan 185.
20 Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulumul Quran (Bairut: Dar al-Kutb, 2003), hlm. 65.
21Ayatullah Sayyid Kamal Faghih Imani, Nur al-Quran: An Enlightening Commentary Into The
Light Of The Holy Quran (Iran: Imam Ali Public Library, 1998), hlm. 16.
22 Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Lihat,

Berangkat dari sebuah kritik yang dilontarkan oleh kelompok JIL, bahwa
menurut JIL banyak pemikir Muslim memandang ilmu tafsir al-Quran dan
metodologi pembacaan (ushul fiqih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun.
Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk merubah pola bermadzhab dari yang
qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah
dikerangkakan oleh para ulam dahulu memang sudah tuntas dan sempurna,
sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya,
tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya
lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai
sesuatu yang mutlak, tak terbantah.23 Menurut JIL, mereka telah melakukan
idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.
Di sinilah, menurut JIL metodologi pembacaan klasik diletakkan
dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab,
fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidak berdayaan bahkan
kerapuhan metodologi klasik tersebut. Diantaranya adalah:24 (1) metodologi lama
Fuad Hassan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat
[ed], Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramadeia, 1977), hlm. 16. Dalam bahasa
Inggris, kata itu ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan
manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan
berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan
yang ditentukan.lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), hlm. 580-581. Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu
pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau
pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah
satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi tafsir
al-Quran tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat alQuran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Lihat, Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Quran (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988), hlm. 1-2. Metode tafsir Quran berisi
seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Quran. Maka,
apabila seseorang menafsirkan ayat Quran tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia
akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ray al-mahdh [tafsir
berdasarkan pikiran]. Tafsir bi al-ray al-mahdh [tafsir berdasarkan pemikiran] yang dilarang oleh
Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram [Ibnu Taymiyah.
1971/1391. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Quran al-Karim, cet.ke-I. hlm. 105,
dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, hlm. 2. Ada dua istilah yang
sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua
istilah tersebut, yakni: metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan alQuran, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Katakan saja, pembahasan
teoritis dan ilmiah mengenai metode muqaran [perbadingan], misalnya disebut analisis
metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap
ayat-ayat al-Quran, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau
memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran. Maka metode tafsir
merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran dan seni
atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam
metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran
al-Quran. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, hlm. 3.
23 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009), hlm. 139-140.
24 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 140.

terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam


menyulih bahkan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam
Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan
antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu
mengambil cara pendudukan terhadap akal publik. (2) metodologi klasik kurang
hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan
walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan
kedudukan apa pun dalam ruang ushul fiqih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum
yang tak berdaya (mukallaf). (3) Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas
merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas jihad selalu digerakkan di
dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab
teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.
Dari sinilah, JIL memandang bahwa hal tersebut merupakan
kelemahan metodologis yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala
keterbatasan, JIL bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah tafsir dan ushul
fiqih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan
merekonstruksi kaidah-kaidah penafsiran dan ushul fiqih ini niscaya produk
pemikiran Islam akan lebih solutif bagi probelm-problem kemanusian yang terus
melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi, jika kandas pada
tingkat pemecahan problem, maka ia tidak banyak guna dan manfaatnya. 25
Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam ilmu-ilmu terapan Islam
semacam ilmu tafsir dan ushul fiqih ini akan berkoresponden dengan
kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat
manusia.26
JIL, menjelaskan bahwa sebelum masuk pada perumusan kaidahkaidah penafsiran yang ditawarkan oleh JIL yang baru itu, perlu diingatkan
kembali perihal tekstualitas dan kontekstualitas al-Quran. Karena menurut JIL,
dibalik teks al-Quran yang historis itu, kita kemudian bisa merumuskan prinsipprinsip pokok al-Quran yang kerap disebut sebagai maqashid al-syariah.27
Namun disisi lain al-Quran tetap dianggap sebagai kitab suci yang
kemunculannya tidak bisa lepas dari konteks historis manusia. Al-Quran tidak
dilahirkan dari dalam ruang yang hampa budaya, melainkan lahir dari budayakultur tertentu. Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban Arab-Islam
sebagai peradaban teks artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam
tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan di mana teks sebagai pusatnya tidak
dapat diabaikan.28 Namun bukan berarti bahwa peradaban itu dibangun hanya dari
teks semata. Akan tetapi peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika
manusia dengan realitas disatu pihak, dan dialognya dengan teks dipihak lain. 29
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh M. Amin Abdullah:
25 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 141.
26 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 141.
27 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 141.
28 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron
Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 1.
29 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran..., hlm. 1.

Menurut telaah filologis, teks apapun, termasuk di dalamnya teks-teks


keagamaan, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak muncul dari ruang
hampa kebudayaan. Teks-teks dan naskah-naskah keagamaanapapun
bentuknyaadalah dikarang, disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh
pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah-naskah
tersebut disusun dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan sosial-politik dan
sosial budaya yang mengitarinya.30
Dialektika manusia dengan realitas yang mampu membangun peradaban
dan kebudayaan tersebut. Sehingga umat manusia sampai saat ini semakin maju
dan berkembang, baik itu dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Selain
peradaban Islam-Arab disebut oleh Nasir Hamid Abu Zaid sebagai peradaban
teks, Nasr Hamid pun menyebut bahwa al-Quran merupakan muntaj tsaqafi
(produk budaya).31 Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan situasi sosiohistoris yang menyertai firman Allah tersebut, sungguh terdapat hubungan yang
dialektis antara teks al-Quran dan realitas budaya.32 Persis di dalam sistem
budaya yang mendasarinya ini, al-Quran yang terkonstruk secara kultural dan
terstruktur secara historis. Meskipun al-Quran diwahyukan oleh Tuhan. Secara
historis ia telah dibentuk dan secara kultural ia telah dibangun. Bahkan,bisa
dikatakan bahwa al-Quran datang untuk membangun dialog dengan masyarakat
Arab.33
Selain menegaskan pentingnya mengaitkan antara tekstualitas dan
konteks tualitas al-Quran, JIL menjadikan maqashid al-Syariah sebagai rujukan
utama. Dalam pandangan paradigma ilmu tafsir dan ushul fiqih klasik selalu
dinyatakan bahwa sumber hukum paling pokok (mashadir ashliyah asasiyah)
dalam Islam secara hirarkis hanya ada empat, yaitu al-Quran, hadis, ijma
(konsensus) dan qiyas (analogi). Sementara mashalat mursalah, istihsan, syaru
man qablana (syariat umat atau nabi-nabi terdahulu), urf (tradisi, kebiasaan),
dan yang lain-lain merupakan deretan sumber pada level sekunder, atau disebut
dengan mashadir tabaiyah.
Menurut JIL, tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi sejumlah
kontradiksi di dalam al-Quran, yang diklaim sebagai poros dari seluruh dalil
yang lain. Kontradiksi bukan hanya satu lafaz dan lafaz yang lain, melainkan juga
antara satu gagasan dan gagasan yang lain dalam al-Quran. Dari sisi penyelesaian
terhadap kontradiksi lafzhdiyah sudah banyak dilakukan oleh suhul fiqih klasik.
Akan tetapi, penanganan terhadap kontradiksi yang bersifat isu dan gagasan
belum banyak dilakukan. Misalnya gagasan pluralisme dalam al-Quran.
Terusterang menurut JIL, tidak banyak ulama dan cendekiawan
Muslim yang memiliki perhatian utama untuk mencoban menyelesaikan gagasan
yang kontradiktif tersebut, baik dengan cara memperbaharui penafsiran maupun
dengan menyusun sebuah metodologi pembacaan baru. Dan bertolak dari itu
30M. Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islam dalam Johan Hendrik Meuleman (peny.),
Tradissi Kemordenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun
(Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm. 13-14.
31 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqdul Khitab ad-Dini (Kairo: Sina li al-Syr, 1994), hlm. 142-146.
32 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 146.
33 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 146.

semua, sebuah gagasan perihal hirarki sumber hukum perlu ditawarkan. JIL
menegaskan pentingnya mempertimbangkan mashid al-Syariah dalam suatu
pengambilan dalan penyelesaian suatu hukum. Menurutnya:
bahwa maqashid al-Syariah merupakan sumber hukum pertama
dalam Islam baru kemudian diikuti secara beriringan al-Quran dan al-Sunnah.
Mashid al-Syariah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam. Mashid al-Syariah
menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-ketentuan spesifik al-Quran.
Mashid al-Syariah ini merupakan sumber inspirasi tatkala al-Quran hendak
menjalankan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di masyarakat Arab. Mashid alSyariah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber
dari al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ada satu ketentuan baik di
dalam al-Quran maupun al-Hadis yang bertentangan secara substantif terhadap
Mashid al-Syariah, ketentuan tersebut mesti ditakwilkan. Ketentuan tersebut
harus batal atau dibatalkan demi logika Mashid al-Syariah.34
Menurut JIL, Maqashid al-Syariah itu bukan hanya digali melalui
proses dialektik antara umat Islam dan teks al-Quran per se, melainkan juga
sebagai hasil dialog yang bersangkutan dengan hati nuraninya disatu pihak, dan
interaksi mereka dengan realitas kehidupan dipihak lain.35 Berainteraksi dengan
realitas, berdialektik dengan teks suci, dan dilanjutkan dengan dialog personal
dengan hati nurani secara terus menerus oleh setiap anak manusia sepanjang masa
kirannya akan melahirkan suatu susunan dan konstruksi maqashid al-syariah
yang universal.
Khazanah ushul fiqih klasik telah merumuskan mashid al-Syariah adalah
keadlian (al-adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (al-musawah),
hikmah kebijak sanaan (al-hikmah), dan cinta kasih (al-rahmah), dan belakangan
kemudian ditambah dengan pluralisme (al-taaddudiyah), hak asasi
manusia(huquq al-insan), dan kesetaraan gender. Sedangkan al-Ghazali
menyatakan bahwa maqashid al-Syariah itu adalah hak hidup (hifzh al-nafs aw
al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-aql), hak
untuk memiliki harta (hifzh al-,mal), hak untuk mempertahankan nama baik (hifzh
al-irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut alGhazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah seluruh
ketentuan hukum dalam al-Quran (Islam) diacukan.36
1. Kaidah Tafsir al-Quran Alternatif

Dalam menawarkan kaidah penafsiran yang baru, disini JIL


menawarkan kaidah yang disebutnya kaidah tafsir al-Quran alternatif. Di sinilah,
34 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 150-151.
35 Hal ini hampir senada dengan statemen yang dilontarkan oleh Nashr Hamid Abu Zaid yang
neyatakan bahwa peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas
disatu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain.lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas alQuran: Kritik Terhadap Ulumul Quran terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005),
hlm.1.
36Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul (Beirut: dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I), hlm. 26.
Dalam, Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm.152.

10

JIL dalam kaitannya merancang kaidah penafsiran al-Quran yang baru, ada
beberapa kaidah yang diajukan, antara lian sebagai berikut:37
a. Al-Ibrah bi al-Maqashid la bi al-Alfazh

Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid
di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Quran dan al-Sunnah bukan huruf dan
aksaranya melainkan dari maqhasid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis
adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau
formulasi literalnya. Disinilah, menurut JIL untuk mengetahui maqashid ini
seseorang dituntut untuk memahami kontekstentu saja bukan hanya konteks
personal yang juziy-partikular, melainkkan juga konteks impersonal yang kulliuniversal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekedar ilmu sabab alnuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan
maqashid al-Syariah.
Mengenai hal ini JIL memberikan contoh. Dalam ulumul Quran
ditegaskan bahwa halphal yang menjadi petunjuk suatu sabab al-nuzul,
diantaranya, pertama, ketika al-Quran menjelaskan sendiri. Misal,, mereka
bertanya kepadamu (yasalunaka), katakana kepada mereka (wasalhum).
Kedua, sebagaimana dikatakan sebelumnya, al-Quran langsung menyebut nama
dari objek yang disasarnya seperti penyebutan Abu Lahab, atau Zaid (ibn
Haritsah). Tentang peristiwa Zaid ini, Allah berfirman dalam al-Quran:
Dan (ingatlah), ketika engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang
Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan engkau (juga) telah pula
memberinya kebahagiaan. Pertahankanlah terus isterimu (Zainab) dan
bertakwalah kepada Allah, sedang engkau (Nabi) menyembunyikan di dalam
hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan engkau (Nabi) takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk engkau takuti. Maka tatkala
Zaid Telah mengakhiri keperluan (menceraikan) terhadap Istrinya (Zainab), kami
nikahkan engkau dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menceraikan isteri-isteri mereka. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi. Tidak sepatutnya bagi nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang
diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka
yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat
pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang
menyapaikan risalah (pesan-pesan suci) Allah, mereka takut kepada-Nya, dan
mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Cukuplah
Allah sebagai pembuat perhitungan. Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak
dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab
[33]: 37-49).
Membaca teks di atas segera tampak bahwa ayat tersebut turun dalam
konteks spesifik, yaitu menyangkut hubungan tiga subjek: Nabi Muhammad, Zaid
(anak angkat Nabi) dan Zainab yang awalnya menjadi sitri Zaid. Tapi setelah
Zainab diceraikan, ia kemudian dinikahi Nabi. Sejak itu, Zaid tak lagi dipanggil
37Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 152-169.

11

sebagai Zaid ibn Muhammad melainkan Zaid ibn Haritsah (Haritsah memang
ayah kandung Zaid). Belakangan, dari kasus partikular ini, sejumlah ulama
melakukan generalisasi.38 Dengan merujuk pada kaidah al-ibrah bi umum allafazh la bi khushush al-sabab (yang menjadi perhatian adalah keumuman teksnya
dan bukan kekhususan sebabnya), para ulama fiqih berkesimpulan tentang: (1)
Anak angkat tak bernasab pada ayah angkatnya. Seorang hanya bernasab pada
ayah kandungnya sendiri. (2) Dengan demikian, sekiranya berkenaan, ayah angkat
diperbolehkan menikahi mantan isteri anak angkatnya.39
Penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa mengetahui konteks yang
melatari kehadiran al-Quran amat diperlukan. Mengenai hal ini JIL mengutip
Syathibi di dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa seorang mujtahid diharuskan
untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan
kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat Muslim yang menjadi sasaran
pertama wahyu.40 Pengetahuan tentang konteks (kontekstualisasi) tentu bukan
untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsipprinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syariah. Begitu
maqashid al-syariah sudah dicapai, teks harus segera dilepaskan dari konteks
kearabannya yang awal (disebut dengan dekontekstualisasi) untuk kemudian
dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di
tempat dan di belahan bumi non-Arab. Karena itu, kontekstualisasi,
dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran
sepanjang masa.41
Kaidah al-Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh yang diajukan di atas
merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-Ibrah bi umum al-lafadz
la bi khushush al-sabab. Yang berarti bahwa yang harus menjadi pertimbangan
adalah keumuman lafaz, bukan khususnya sebab.42 Ini berarti, jika suatu nash
38 Tentang generalisasi ini, al-Zamakhsyarisebagaimana dikutip oleh Ulil dkk. dalam buku
Metodologi Studi Al-Qurandalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi
surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas
berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan. Ibnu Abbas pun mengatakan
bahwa ayat 5: 38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian.
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, Juz I, hlm. 450. Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian; banyak
ayat turun berkenaandengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang
kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi
untuk menghukumi secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan BAni
Nadhir. Namun, kata Ibnu taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu
hanya berlaku terhadap dua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, hlm. 112.
Lihat juga catatan kaki dalam, Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 154.
39 Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran Jilid VII, hlm. 488-495. Lihat juga, Ulil AbsorAbdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm.154.
40 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Kairo: Mushthafa Muhammad, Tanpa Tahun,
Juz II), hlm. 12.
41 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm.155.
42Dalam catatan kaki bukunya Ulil tentang Metodologi Studi Al-Quran ini, dia
menjelaskan bahwa menyangkut kaidah ini, al-Suyuthi memberikan alas an bahwa itulah yang
telah dilakukan oleh para shahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, kata al-Suyuthi
sebagaimana dikutip oleh Ulil dalam bukunyadari antara lain ketika turun ayat zhihar dalam
kasus Slaman ibn Shakhar, ayat lian dalam perkara Hilal ibn Umayah dan ayat qadzf dalam kasus
tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga dapat

12

menggunakan redaksi yang bersifat umum, tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu
peristiwa yang khusus. Pasrah pada keumuman lafadz (al-taslim bi umum allafazh) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna
linguistik (fi ithar al-dalalah al-lughawiyah), tandas Nashr Hamid Abu Zaid
sebagai mana dikutip oleh Ulil dkk. dalam bukunya-- dalam bukunya yang
berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah.43
b. Jawaz Nasakh al-Nushush (al-Juziyyah) bi al-Mashlahah

Sesungguhnya syariat (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali


untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan
menolak segala bentuk kemafsadatan (daru al-mafasid). Ibn al-Qayyim alJwziyyah seoarang tokoh bermadzhab hanbalisebagaimana dikutip oleh Ulil
dalam bukunya Metodologi Studi al-Quranmenyimpulkan bahwa syariat
Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan
universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan
(al-hikmah). Prinsip-prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi dari seluruh
persoalan hokum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fiqih ketika
memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini
berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.44
diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa. Lihat Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum
al-Quran, (Kairo: 1974) hlm. 110.
Al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah, mengatakan bahwa boleh jadi surat
ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku
umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun
mengatakan bahwa ayat 5: 38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku
pencurian. Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, (Kairo: 1970, Juz I), hlm. 450.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian; bahwa banyak ayat-ayat yang diturunkan
berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian
dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk
mengadili secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nadhir.
Namun, kata Ibnu taimiyah tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya
untuk berlaku adil terhadap kedua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan, hlm. 12.
Muhammad Abduh dalam hal ini juga memiliki sikap yang sama, yaitu menekankan universalitas
al-Quran, karena menurutnya al-Quran adalah kitab kemanusiaan yang kekal, pelita hidayah dan
petunjuk kepada kebenaran dan sebagai rahmat kepada orang-orang yang beriman. Lihat Abdullah
Mahmud Syathahah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Quran al-Karim (Kairo:
1963), hlm. 48. Lihat masalah ini lebih lengkap pada catatan kaki dalam, Ulil Absor-Abdalla,
dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm.155-156.
43Nashr Hamid Abu Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-Arabi,1977), hlm. 155.
44 Ibnu al-Qayyim, Ilam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, (Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun)
Juz III, hlm. 3. Pandangan ini juga dikemukakan oleh para pemikir terkemuka seperti al-Ghazali
9w. 505H./1111 M.), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606. H.), Izza al-Din Ibn Abd al-Salam (w. 660 H.),
Najm al-Din al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.), Abu Ishaq sl-Syathibi (w. 790 H.),
hingga Muhammad bin al-Tahir bin Asyur (1393 H./1973 M.). mereka sepakat bahwa
sesungguhnya syariat Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan
kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (daru almafashid). Sebuah pernyataan yang menyarakan bahwa syariat Islam dibangun demi kebahagiaan
(saadah) manusia baik di dunia maupun di akhirat (maasy wa maad), sepenuhnya
mencerminkan kemaslahatan tadi. Lihat lebih lengkap pada cacatan kaki, dalam Ulil Absor-

13

Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, siapa yang berhak


mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya? Untuk
mejawabnyamenurut Ulilperlu kiranya dibedakan kemaslahatan yang bersifat
individual-subjektif dari kemaslahatan yang bersifat social-objektif. Yang pertama
adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per orang yang bersifat
independen, terpisah dari kepentingan orang lain. Karena sifatnya yang subjektif,
yang berhak menentukan mashlahat dan tidaknya adalah pribadi
yang
bersangkutan. Sedang kemaslahatan yang bersifat social-objektif adalah
kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini,
otoritas yang memberikan penilaian adalah orang banyak, melalui mekanisme
syura untuk mencapai kesepakatan (ijma). Dan sesuatu yang telah menjadi
consensus dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hokum
tertinggi yang mengikat kita. Disinilah pemecahan masalah bersama cukup
menentukan.45
c. Tanqih al-Nushush bi Aql al-Mujtama Yajuzu

Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal public memiliki kewenangan


untuk menyortir sejumlah ketentuan particular agama menyangkut perkaraperkara publik, baik dalam al-Quran maupun dalam al-Sunnah, sehingga ketika
terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, akal publik
punya otoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasinya.
Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhdapan dengan ayat-ayat
pertikular, seperti ayat uqubat dan hudud (seperti potong tangan dan rajam),
qishash,waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alihalih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemausiaan, yang terjadi bisa-bisa
merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih
yang berupa taqyid bi al-aql, takhshish bi al-aql, dan tabyin bi al-aql.46
Kerja tanqih ini pada hakikatnya inheren di dalam diri setiap manusia
yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat inpuls abadi yang tak pernah
padam untuk ber-tanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak
pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi
pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan
bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau
otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusanurusan publik.
Bagaimanapun di dalam ruang public tidak boleh ada satu pihak atau golongan
dalam masyarakat yang berhak memaksakan pandangannya pada orang lain,
karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat
yang sama.47
Di sinilah, dalam buku Metodologi Studi Al-Quran ini menegaskan lagi
bahwa akal publik harus diberi posisi yang penting. Ia tidak cukup hanya
Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 160.
45 QS. Al-Syura, 38: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
46 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 166-167.
47 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 167.

14

diperlakukan sebagai pengelola dan alat penafsir terhadap teks. Menyangkut


perkara-perkara muamalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan
wewenang untuk mempertanyakan relevansi dan signifikansi ketentuan-ketentuan
spesifik-legal al-Quran. Bahkan sekiranya dari data empiris diketahui secara pasti
ketidak berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, akal
publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut.
Akal public
mempunyai tanggung jawab moral-intelektual untuk men-tanqih ayat-ayat yang
problematik pada implementasinya di lapangan.48
Keterangan di atas, mengenai tawaran metodologi baru atau kaidah-kaidah baru
dalam penafsiran al-Quran yang ditawarkan oleh JIL yang saya ambil dari buku
Metodologi Studi al-Quran ini menurut JIL merupakan sebagian kaidah tafsir dan
ushul fiqih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan
metodologi intinbath yang telah lama dirisaukan. Dan menurut JIL, tentu saja
masih ada sekian banyak lagi kaidah penafsiran yang perlu direformasikan dengan
menyertakan banyak orang yang berkompeten. Bahkan, menurut JIL bukan hanya
kaidah-kaidah itu yang perlu diperbaharui, melainkan yang tidak kalah pentingnya
adalah terkait dengan mekanisme kerja ijma, qiyas, istihsan, maslahat,mursalah,
urf dan lain-lain. Dengan cara ini menurut JIL, niscaya kita bisa menghindari
kebekuan dan kemandulan metodologi tafsir al-Quran dan ushul fiqih.
C. Catatan Analisis dan Kritik

Salah satu penulis dari buku metodologi Studi al-Quran ala JIL ini adalah
Dr. Abd. Moqsith Ghazali, dalam pengatar penulis, ia menjelaskan dua tujuan
penulisan buku ini. Pertama untuk dijadikan buku panduan atau pegangan bagi
UIN,IAIN dan STAIN yang mengambilmata kuiah Ulumul Quran, penggiat Studi
al-Quran, dan para teolog lintas agama pada khususnya, serta umat beragama
pada umumnya.49 Dan karena itu dibuat sepadat mungkin. Tujuan kedua adalah
untuk menjawab kritik yang menganggap bahwa JIL tidak punya metode dalam
menafsirkan Al-Quran. Isi dari buku ini menurutnya ada dua hal: pertama,
memberikan konteks yang lebih historis terhadap Alquran. Alquran mengalami
proses yang sangat panjang dan tidak ada secara tiba-tiba. Ini berkaitan dengan
bagian kedua yang membicarakan tentang yang aural dan yang kanonik. Pada
masa awal, Alquran hanya diucap dan belum dalam bentuk benda tertulis. Baru
beberapa waktu kemudian Alquran disusun menjadi tulisan dan dijadikan kanun
atau hukum. Saat itulah baru dicari kemukjizatannya. Proses itu cukup panjang,
kita bisa melihat tertib surat, urutan ayat dalam satu surat yang berbeda-beda antar
satu mushaf dan mushaf yang lain. Bagian ketiga kemudian mengkaji Al-Itqn f
`Ulum al-Qurn. Di situ dipaparkan beberapa kesalahan gramatikal dalam
Alquran. Dan yang paling penting pada bagian terakhir buku ini menjelaskan
masalah metodologi yang ditawarkan dalam menafsirkan al-Quran.

48 Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 169.


49 Lihat Pengantar penulis dalam, Ulil Absor-Abdalla, dkk., Metodologi Studi Al-Quran,
hlm. xii.

15

Namun demikian, buku setebal 175 yang menawarkan metodoogi baru ini
bukan berarti kedap dari kritik terhadap kelemahan dan kekurangan buku
Metodologi ini. Di sisni saya (penulis) untuk sementara baru mengkritik pada
wilayah teknis. Di dalam buku yang menawarkan sebuah metodologi baru dalam
menafsrikan al-Guran yang ditulis oleh tiga intelektual Muslim generasi baru
yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Absor-Abdallaini di
dalamnya banyak istilah-istilah baru yang sulit untuk dimengerti tanpa ada
kejelasan. Sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Zainun Kamal, dosen dan guru besar
UIN Jakarta, dalam suatu acara bedah buku ini, 50 mendapat kesempatan pertama
untuk mengulas buku itu. Dia melihat masih banyak yang belum terulas dalam
buku yang menurutnya terlalu tipis untuk ukuran buku daras itu. Salah satu yang
harus diperinci dan dikembangkan adalah tentang sejarah huruf, alfabet dan
bahasa Arab, pada bagian pertama. Itu ada kaitannya dengan tema sab`ah ahruf
yang selalu jadi polemik dalam Ulumul Quran. Selain itu, banyak kata-kata kunci
yang perlu diperjelas dan dipertegas seperti makna Kitab, Quran, wahyu dan
syariah; apakah dalam artian umum atau hukum. Dia melihat ide-ide dalam buku
ini tidak terlalu baru. Namun meski demikian, secara umum buku ini merupakan
sumbangan yang bagus dengan catatan perlu terus dikembangkan. Selain itu
adalah Dr. Yusuf Rahman, dosen pascasarjana UIN Jakarta, mengingatkan adanya
peluang untuk mempertanyakan otoritas penulis buku yang latar belakangnya
bukan dari tafsir hadits. Meski begitu, ia lebih mengutamakan argumen ketimbang
latar belakang penulis. Menurutnya, dalam tipologi Abdullah Said, ketiga penulis
itu termasuk critical muslim scholars. Dia juga menyebutkan adanya sejarah
kekuasaan saat Mushaf Usmani dijadikan closed official corpus dalam istilah
Mohamed Arkoun. Saat itulah Alquran menjadi suci. Dia menekankan pembaca
untuk membedakan antara wahyu dan penulisan, quran dan penafsiran, yang
absolut dan yang relatif. Menurutnya hubungan antara teks, konteks dan pembaca
itu sangat menentukan. Pada kelompok tekstualis, yang terjadi adalah hubungan
antara teks dan pembaca saja, tidak memperhatikan konteks. Menurutnya, konteks
perlu dilihat agar Alquran menjadi shlih li kull-i zamn wa makn.
D. Simpulan

50 Forum Mahasiswa Ciputat bekerja sama dengan Jaringan Islam Liberal dan BEM Aqidah
Filsafat UIN Jakarta, menggelar Seminar untuk memperkenalkan buku tersebut kepada kalangan
akademik UIN Jakarta. Acara itu diselenggarakan Selasa, 22 Desember 2009, bertempat di Ruang
Teater Lantai II Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Jakarta. Seminar menghadirkan Prof. Dr.
Zainun Kamal, Dr. Yusuf Rahman, dan Dr. Moqsith Ghazali dengan moderator Mumu Mahmudin
S.Th.I. Secara umum, buku ini disambut baik oleh para dosen dan mahasiswa. Tercatat ada 145
peserta dari berbagai kampus dan jurusan yang hadir dalam acara itu. Acara dimulai pukul 9.30
WIB. Lihat, www. islamlib.com. buku Metodologi Studi Alquran pernah dibedah di UIN Sunan
KAlijaga yang diadakan oleh Community for Religion and Social engineering (CRSe), dan BEMJ
Tafsir Hadist UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Diskusi
bedah buku ini berlangsung di Gedung Theatrical Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga pada
Senin 21 Desember 2009, dengan menghadirkan tiga orang narasumber: Dr. Abd. Moqsith
Ghazali, Dr. M. Nur Ichwan, Jadul Maula; dan dipandu oleh saudara Alwi Bani Rahman.

16

Dari uraian singkat di atas sedikit dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pernyataan bahwa al-Quran itu shalih li kulli zaman wa makan bukan hanya
diakui oleh para mufasir modern-kontemporer, dalam hal ini termasuknya adalah
Jaringan Islam Liberal, namun juga diakui oleh para mufasir klasik.
Perbedaannya, kalau para mufasir klasik menganggap pernyataan shalih li kulli
zaman wa makan ini dimaknai sebagai pemaksaan makna literal keberbagai
konteks situasi dan kondisi manusia, sehingga cenderung melahirkan pemahaman
yang tekstualis dan literalis. Akan tetapi, para penafsir modern-kontemporer
mencoba untuk melihat apa makna sebenarnya yang terkandung di balik teks ayatayat al-Quran.
Paradigma tafsir kontemporer cenderung mengkontekstualisasikan makna
dari ayat-ayat al-Quran dengan cara mengambil prinsip-prinsip dan ide
universalnya. Sehingga, jika ada ayat-ayat dari al-Quran yang dianggap kurang
relevan penafsirannya dengan perkembangan zaman, maka para penafsir pada
masa kontemporer ini berusaha untuk terus menafsirkan al-Quran sesuai dengan
semangat zamannya. Dengan metodologi yang ditawarkan di atas jaringan Islam
liberal berusaha untuk menjawab segala problematika yang terus berkembang dan
melilit masyarakat.
Sebagai saran, perlu ditegaskan kembali bahwa kebenaran mutlak
empunya adalah Tuhan. Ini merupakan wacana pemikiran dan sebuah tawaran,
yang akan terus berkembang sesusi dengan denyutnya nafas kehidupan dan
berkembangnya zaman. Sebuah gagasan atau pemikiran bisa saja diterima, ditolak
dan atau bahkan tidak kedua-duanya. Yang jelas jangan ada kepentingan ideologi
yang pada akhirnya saling menjustifikasi bahwa pihak kita saja yang benar dan
pihak yang lain adalah salah atau bahkan saling men-takfir-kan satu sama lain.
Diluar itu semua, diharapkan hal ini dapat meningkatkan gairah intelektual
Muslim untuk terus berpikir dan berbuat dan menyumbangkan banyak solusi yang
bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia.[]
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Arkoun dan Kritik Nalar Islam dalam Johan Hendrik
Meuleman (peny.), Tradissi Kemordenan dan Metamodernisme:
Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun Yogyakarta: LKiS,
1996.
Abu Zaid, Nashr Hamid. al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah (Beirut: al-Markaz alTsaqafi al-Arabi,1977.
_____________________. Naqdul Khitab ad-Dini Kairo: Sina li al-Syr, 1994.
_____________________. Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul
Quran terj. Khoiron Nahdliyyin Yogyakarta: LKiS, 2005.
Abdalla, Ulil Absor- dkk., Metodologi Studi Al-Quran Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009.
Assyaukanie, Luthfi. Islam Benar versus Islam Salah Jakarta: KataKita, 2007.
__________________. Wacana Islam Liberal di Timur Tengah makalah di
Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.

17

Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal: Dialog


Interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal Jakarta: Gema Insani
Press, 2003.
al-Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi Ulumul Quran Bairut: Dar al-Kutb,
2003.
Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul Beirut: dar al-Fikr, Tanpa Tahun.
Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran Jilid VII.
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah Kairo: Mushthafa Muhammad,
Tanpa Tahun, Juz II.
al-Suyuthi, Abd al-Rahman. al-Itqan fi Ulum al-Quran, Kairo: 1974.
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, Kairo: 1970, Juz I.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Quran. Jakarta: Pustaka Pelajar,
1988.
Binder, Lionard. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies
University of Chicago Press, 1988.
Kurzman, Charlez. Liberal Islam: A Source Book, Jakarta: Paramadina, 2001.
Husaini, Adian. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, makalah, KairoMesir, Februari 2006.
Husaini, Adian. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan
Jawabannya Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 Cambridge
University Press, 1983.
Hassan, Fuad. dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam
Koentjaraningrat [ed], Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramadeia, 1977.
http://roele.wordpress.com/2008/02/28/islam-liberal/.
Ibnu al-Qayyim, Ilam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Beirut: Dar al-Jil,
Tanpa Tahun Juz III.
Imani, Ayatullah Sayyid Kamal Faghih. Nur al-Quran: An Enlightening
Commentary Into The Light Of The Holy Quran Iran: Imam Ali
Public Library, 1998.
Rahman, Fazlur. Major Themes of The Quran Chicago: Bibliotheca Islamika,
1989.
Setiawan, M. Nur Kholis. Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian AlQuran Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008.
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Ibnu Taymiyah. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Quran al-Karim,
1971/1391.

Anda mungkin juga menyukai