Anda di halaman 1dari 25

Kaum Padri: Cikal Bakal Gerakan Fundamentalisme Wahabi di Indonesia

(Review Buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di


Indonesia)
Review ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “studi
multikultural dan gerakan islam Transnasional”

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag

Oleh: Ach Faisol Arifin

(18770059)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
2019

1
Kaum Padri: Cikal Bakal Gerakan Fundamentalisme Wahabi di Indonesia
(Review Buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia)

Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam


Judul Buku
Transnasional di Indonesia
Editor Abdurrahman Wahid
Tahun Terbit 2009
Jumlah Halaman 232
Tema Dinamika Relasi Agama-agama di Indonesia
Dosen Pengampu Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag
Reviewer Achmad Faishol Arifien

Abstrak
Secara sejarah, Islam transnasional telah masuk dari zaman dahulu.
Misalnya saja peristiwa perang Padri. Peristiwa ini adalah titik
kulminasi dari keegoisan dalam hidup bersama. Satu berpaham kaku
dan rigid, dan satu berpaham lunak dan cenderung menjauh dari
koridor agama. Namun ada dua hal penting yang harus dipahami.
Pertama adalah adanya keinginan menyemai bibit ideologi yang kaku
dan kedua adalah kepentingan melepaskan diri dari ketertindasan
bangsa lain. Tulisan ini memberikan kita gambaran sejarah dan masa
depan tentang bagaimana radikalisme sebagai imbas dari
fundamentalisme menyeruak dan membutuhkan penangan yang serius.
Titik fokunsya adalah mencari ibrah dari peristiwa Padri serta
kontekstualisasi dan bayangan masa depannya.

A. Pendahuluan
Membahas pernak pernik dinamika kehidupan masyarakat
beragama di Indonesia merupakan hal yang sangat menarik. Bukan hanya

2
karena Indonesia adalah negeri yang kaya akan suku dan budaya dan paham
kepercayaan saja, akan tetapi agama-agama multinasional yang tumbuh dan
berkembang juga menawarkan segudang dinamika yang patut untuk dikaji.
Mulai dari dinamika konflik hingga keharmonisan yang ditunjukkan oleh
ragam masyarakat Indonesia.1
Agama-agama multinasional yang muncul memberikan begitu
banyak sumbangsi terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat.
Sebagaimana kita pernah mendengar postula Durkheim yang menyatakan
bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Agaknya pernyataan itu benar
adanya. Banyak orang yang mabuk terhadap pemahaman agamanya yang
terkadang terlalu ekstrim sehingga menjadikannya kaku terhadap realitas
plural yang ada.2
Gaung puritanisme dan negara Islam tak pelak menghiasi berbagai
sisi kehidupan bersosial masyarakat, sehingga resistansi bermunculan dari
berbagai kalangan, utamanya dari mereka yang berpaham moderat dan
mengusung paham kebangsaan. Bahkan sudah menjadi lagu populer bagi
masyarakat dengan menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah harga mati. Kalimat ini menjadi jargon persatuan dan kesatuan yang
menghendaki keberlangsungan negara yang menaungi berjuta manusia ini.
Di era demokrasi yang “setelanjang” ini kemudian memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk melihat dan menilai gerak-gerik dan
perkembangan paham keagamaan yang ada. Misalnya berkaitan dengan
jargon khilafah yang seakan-akan terasa sangat menggelikan telinga dan
bahkan memunculkan berbagai pandangan miring akan kata tersebut.
Secara mudah masyarakat mampu melihat berkembangnya paham dari kata
tersebut melalui berbagai media yang disediakan. Mulai dari media daring,

1
Musa Rumbaru, Hasse J, “Radikalisme Agama Legitimasi Tafsir Kekerasan di
Ruang Publik”, Jurnal Al-Ulum, Vol.16, No.2, 2016, 1-19,1
2
Alfi Arifian,”Redefinisi Kaum Paderi Melalui Metodologi Genealogis Foucauldian
Sebagai Rekonsilliasi Etnis Minangkabau-Batak”, Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya,
Vol.18, No.1, 13-19

3
televisi dan juga cetak. Demikian masyarakat mampu berperan secara aktif
untuk menilai dan kemudian setuju ataupun menolak hal tersebut.
Puritanisme berikutnya, ia hadir di tengah-tengah masyarakat yang
begitu mudah mendapakan referensi keagamaan puris dengan jargon
kembali ke Qur’an dan Sunnah. Pada satu titik, jargon yang diusung ini
kemudian menyederhanakan bahkan menghilangkan secara perlahan peran
dan jasa para ulama. Padahal para ulama lah yang telah berjuang membina
umat yang moderat dan tidak anti terhadap budaya. Salah satu persitiwa
yang mencengangkan tetapi banyak tidak dikeahui publik adalah
munculnya gerakan kaum Padri di Sumatera Barat. Gerakan ini kemudian
akan menjadi titik fokus bahasan kita dalam makalah singkat ini.
Berkembang pesatnya berbagai paham di atas tadi adalah akibat dari
perjuangan para fundamentalis di era moderen. Namun adahal yang
hendaknya dipahami oleh khalayak, yakni genealogi dan sejarah
kemunculannya. Banyak orang sekarang yang mereka tertarik mengikuti
pahaman ini sebab mereka bersikap apatis dan tidak memahami genealogi
dan sejarah yang terkadang berdarah yang mengiringi kemunculannya. Hal
yang tertanam dalam benak mereka sesungguhnya adalah fanatisme
berlebihan serta terkadang mengesampingkan nalar dan hati dalam berpikir
dan bertindak. Buku yang saya review ini secara sadar telah berusaha
menyadarkan khalayak beragama di Indonesia untuk memikirkan kembali
tentang kemunculan berbagai aliran fundamental yang muncul.
Dalam menyusun buku ini, para penulis telah melakkukan riset
selama dua tahundi Indonesia. Riset ini dilakukan oleh lembaga nirlaba
LibForAll Foundation, sebuah institusi nonpemerintah yang senaniasa
menyuarakan akan terwujudnya kedamaian, kebebasan, dan toleransi dunia
dan khususnya di Indonesia. Buku ini menyajikan kita rangkaian-rangkaian
sejarah panjang berbagai aliran yang dikatakan fundamental dan mencari
titik temu genaloginya. Setelah itu dilakukan penelaahan kesejarahan
ideologis dengan analisa yang sistematis. Sebagaimana dikatakan
sebelumnya, salah satu bahasan penting dan akan dieksplorasi lebih lanjut

4
dalam buku ini ialah tentang Wahabisme. Wahabisme dinsisbatkan sebagai
paham telah yang menginisiasi gerakan puritan kaum Padri di Sumatera
Barat.
Dalam makalah ini akan disajikan berbagai sumber-sumber lain
untuk membandingkan ataupun mendukung terhadap buku ini, khususnya
tentang Wahabisme dan kaum Padri. Hal ini dilakukan agar para pembaca
mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai ideologi transnasional
Wahabisme yang “meracuni” kaum Padri. Bukan hanya itu, akan disajikan
pula lebih mendalam secara kesejarahan mengenai kaum Padri ini.
B. Pembahasan
1. Biografi Editor
Dr.(H.C.) K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab
dipanggil dengan nama Gus Dur dilahirkan di Jawa Timur, tepatnya di
kota Jombang pada tanggal 7 September 1940. Ia wafat pada 30
Desember 2009 di Jakarta di usianya yang ke-69 tahun. Ia merupakan
tokoh beragama Islam yang sangat fenomenal di Indonesia. Selain
sebagai tokoh agama, ia juga berkarir di politik serta menjadi Presiden
Republik Indonesia yang keempat, menjabat tahun 1999 hingga tahun
2001. Ia menggantikan Presiden sebelumnya yakni B.J. Habibie setelah
ia ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
pada Pemilu tahun 1999. Pemerintahan yang dipimpimnya dibantu
oleh Kabinet dengan nama Kabinet Persatuan Nasional. Masa jabatan
K.H. Abdurrahman Wahid berlangsung ,mulai tanggal 20 Oktober 1999
hingga 23 Juli 2001 (dengan adanya Sidang Istimewa MPRRI yang
mencabut mandatnya), untuk kemudian jabatan presiden yang
diembannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Sebagai cucu
pendiri NU, ia juga aktif fi organisasi ini, bahkan ia pernah menjadi
ketua Tanfidziyah serta mendirikan Partai yang berafiliasi dengan
organisasi bentukan kakeknya, yakni Partai Persatuan Bangsa (PKB).3

3
Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 88

5
Dari sisi akademis, perjalanan Gus Dur sangatlah menarik. Ia
terkenal dengan kecerdasan yang dimilikinya. Ia pernah menjadi santri
KH. Ali Ma’sum Yogyakarta, yakni di Pondok Pesantren Krapyak dan
belajar di jenjang Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun 1957, ia
pindah ke Magelang untuk mengikuti Pendidikan Muslim di Pesantren
Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasinya sebagai murid yang memiliki
kelebihan di atas rata-rata, ia mampu menyelesaikan pendidikan
pesantren di Tegalrejo hanya dalam waktu dua tahun yang seharusnya
ditempuh selama empat tahun. Pada tahun 1959, ia kemudian hijrah ke
Pesantren Tambakberas di tempat kelahirannya Jombang. Selain
belajar, ia juga diberikan amanah untuk bekerja sebagai guru dan
nantinya menjadi kepala madrasah. Kelebihan Gus Dur juga
membuatnya dipekerjakan sebagai jurnalis majalah, yakni
Majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya.4
Tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementrian
Agama (Kemenag) untuk mengkaji Studi Islam di Mesir, yakni
di Universitas Al Azhar, Kairo Ia pergi ke Mesir pada November 1963.
Selama menjadi mahasiswa, ia aktif dalam Asosiasi Pelajar Indonesia
dan menjadi jurnalis majalah di dalamnya. Di mesir, ia kurang tertarik
dengan apa yang dikajinya, sebab apa yang ia kaji pada dasarnya telah
ia dapatkan di pesantren dan di sana hanya mengulangi saja. Selain itu
ia juga dijadikan pekerja oleh Kedutaan Besar Ri (masa Orde Baru).
Saat pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965,
Presiden Suharto menangani situasi ini serta berupaya untuk
memberantas komunis. Sebagai bagian dari langkah tersebut, Kedutaan
Besar Republik Indonesia untuk Mesir diperintahkan agar melakukan
investigasi terhadap para mahasiswa serta memberikan laporan
kedudukan politik mereka. Pekerjaan ini dibebankan kepada Gus Dur
yakni ditugaskan untuk menulis laporan.5 Pekerjaan ini pula yang

4
Greg Barton, Biografi........... 92
5
Greg Barton, Biografi..........., 88-89

6
membuatnya tidak kerasan di Mesir. Tahun 1966, ia diberitahu bahwa
ia harus mengulang belajar. Gus Dur kemudian melanjutkan pendidikan
magisternya di Baghdad,Irak, yakni di Universitas Baghdad dan lulus
pada tahun 1970. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Jerman
dan Prancis, setalah itu kembali ke Indonesia pada tahun 1971.6
2. Kegelisahan Akademik Penulis
Melihat berbagai kasus yang menerpa kehidupan bangsa
membuat para pionir kedamaian gundah. Bukan hanya karena apa yang
dilakukan ini membuat rusuh persatuan, akan tetapi apa dilakukan oleh
manusia rusuh ini tidak mencerminkan ajaran pokok yang dikandung
oleh agamanya. Umat Islam sebagai mayoritas pun banyak yang tidak
lebih toleran daripada Qur’an, meskipun ini dilakukan hanya oleh
segelintir orang atau kelompok.
Dengan adanya hal ini maka timbul postulat bahwa
kecenderungan intoleran tersebut muncul akibat kegagalan dalam
menyikapi modernitas. Sebab ketidak berdayaan ini kemudian
memunculkan tindakan-tindakan yang jauh dari idealitas an sich kitab
ajarannya. Akhirnya menimbulkan kerugian bagi kaum-kaum yang
mengusung toleransi beragama yang tinggi. Lembaga LIBforAll
kemudian mencoba mengulas hal ini untuk kemudian memberikan
rekomendasi lanjutan terkait bagaimana harusnya menyikapi kesuburan
fundamentalisme yang ada.
3. Logika dan Sistimatika Buku
Pembaca akan disuguhkan kajian-kajian penelitian ini di dalam
lima bab. Bab pertama akan dibawa kepada studi gerakan Islam
transnasional dan kaki tangannya di Indonesia. Kemudian bab kedua
pembaca akan disajikan tentang infiltrasi ideologi wahabi-Ikhwanul
Muslimin-Hizbut Tahrir di Indonesia. Bab ketiga tentang ideologi dan
agenda gerakan Islam garis keras di Indonesia. Bab keempat tentang

6
Greg Barton, Biografi………., 99-101

7
infiltrasi agen-agen garis kerasterhadap Islam Indonesia. Dan bab
terahir adalah kesimpulan dan rekomendasi.
4. Telaah dan Gagasan yang Ditawarkan
a. Ideologi Transnasional dan Islam Moderat di Indonesia
Berkaitan dengan pengertian ideology Islam transnasional
buku ini hanya mendefinisikan dua pengertian Islam, yakni Islam
radikal dan Islam moderat. Islam radikal diartikan sebagai individu
atau organisasi yang memutlakkan pandangannya atau
pemahamannya serta bersikap intoleran terhadap perbedaan dan
pandangan dari kelompok di luarnya. Sementara Islam moderat
diartikan ‘inidividu yang tengah, yakni mereka yang mau
menghargai perbedaan dalam berkeyakinan dan memahaminya
sebagai fitrah manusia. Golongan moderat ialah mereka yang tidak
ingin memaksakan keyakinan yang dimilikinya agar diterima dan
diikuti oleh yang lain, baik melalui pemerintah atau bukan. Mereka
menolak berbagai cara kekerasan yang mengatas namakan agama.
Mereka juga menolak berbagai bentuk tindak pelarangan untuk
menganut pandangan dan keyakinan yang berseberangan sebagai
bentuk kebebasan dasar yang dijamin secara konstitusional oleh
negara kita, serta memegagi dengan teguh pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai hal yang final.7
Berkaitan dengan labelisasi Islam garis keras yang diulas
dalam buku ini, maka akan kita temukan satu pandangan kunci.
Pandangan kunci ini adalah sebab mendasar penolakan gerakan
radikal ini. Yakni mereka menolak Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia dan/atau menginginkan adanya dasar negara
Islam, bentuk negara Islam atau pun khilafah Islamiyah.8

7
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hlm. 48
8
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi........... 45-46

8
Maka dari itu, kemudian pengelompokkan fundamentalisme,
radikalisme dan sebagainya adalah sebagai upaya mengenali gerak
gerik segingga data menjadi langkah antisipatif dan prventif. Label
fundamentalisme ini memang terkadang menjadi blanket term yang
digunakan oleh para orientalis untuk menuduh setiap fenomena
kebangkitan Islam.9 Namun faktanya ketika ditrik dalam konteks
keindonesiaan menjadi standar identifikasi terhadap virus
perpecahan bangsa. Salah satunya adalah kegiatan purifikasi yang
telah menjadi ideologi.
Dikatakan dalam buku ini, ideologi-ideologi puritan yang
dijelaskan dalam buku ini adalah direpresentasikan oleh ideologi
Wahabi dari Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin dari Mesir.
Keduanya mampu berkembang pesat dan semakin megideologi
bukan hanya di negara asalnya, akan tetapi dunia dan merambah
Indonesia. Meskipun ideologi ini ada yang mengalami perubahan
yang sedikit banyak merubah wajah dari asal ideologi ini.
1) Wahabi
Jazirah Arab merupakan awal kemunculan kelompok
Wahabi, yakni semenjak abad 18. Gerakan ini merupakan
sebuah sekte garis keras lagi kaku yang didirikan oleh seorang
bernama Muhammad ibnu ‘Abdul Wahab. Ayahnya merupakan
seorang qadi di ‘Uyaynah pengikut madzhab Hambali. Ia lahir
di Najd daerah di beagian timur Kerajan Arab Saudi sekarang.
Daerah ini dihuni suku-suku badui dengan karakteristik khas
yakni senang berperang. 10
Ia adalah mufti pada Daulah Su′udiyah. Semuatahu
bahwa Daulah ini adalah sebagai cikal bakal Kerajaan Arab
Saudi yang kita kenal saat ini. Muhammad ibn Abdul Wahab

9
Asep Syamsul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan
Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm. 25
10
http://www.wikipedia.com//wahabisme-abdulwahab diakses pada senin 27mei
2019

9
menyerukan ajaran kembali ke tauhid. Ia menyerukan akan
pemurnian pemahaman keagamaan yang tunggal. Ia
mengajarkan kaumnya agar berdoa memohon hanya kepada
Allah tanpa melalui perantara apa pun. Ia mengharamkan
berdoa dengan menjadikan akam wali dan orang alim atau
ulama atau orang-orang sholeh sebagai perantara. Agama yang
lurus bgai mereka tidaklah mengajarkan semua itu. Wahabi
menganut prinsip keseragaman dalam pemahaman keagamaan
serta dalam beribadah. Abdul Wahab kemudian dianggap
sebagai pengasas mazhab kelima setelah empat mazhab yang
terkenal. Pendiri gerakan ini banyak menulis kitab yang isinya
sejalan dengan pemahaman dan pemikiran Ibn Taymiyyah, Ibn
al-Qayyim al Jauzy, dan Ahmad ibn Hanbal.11
Pemahaman demikian pun yang terus dilestarikan oleh
para pengikutnya hingga saat ini, mereka sangat tekstualis
dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam. Bahkan identik
dengan khawarij (dalam istilah lain disebut sebagai neokhawarij
atau khawarij baru).12
Berbagai kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
Wahhabi ini dan tercatat dalam sejarah selalu dibarengi dengan
kalimat takfiri, pensirikan bahkan pemurtadan. Hal demikian
sebenarnya telah membuat Islam menjadi “hantu” bagi
kelompok lain bahkan bagi umat Islam sendiri. Paham ini
kemudian dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk
fundamentalisme Islam.13
Kehadiran kelompok ini jelas akan ditentang oleh nurani
manusia yang normal. Betapa tidak, mereka marak melakukan

11
Herdi Sahrasad, Al Chaidar, Fundamentalisme, Terorisme Dan Radikalism:
Perspektif Atas Agama, Masyarakat dan Negara (Jakarta: Freedom Foundation, 2017) hlm.
453
12
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 63
13
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Bandung: Muzan, 1996), 109.

10
aksi-aksi kekejaman dengan dalih agama. Bahkan waktu awal
kemunculannya, pemerintah yang berkuasa di ‘Uyaynah yakni
Utsman ibn Mu’ammar secara terbuka melakukan perlawanan
dan berhasil membuat Ibn Abdul Wahab berpindah ke Dir’iyah.
Namun di Dir’iyah ini, ia menemukan sekutu baru yang
membuat gerakan ini masih bercokol sampai saat ini, yakni
Muhammad ibn Sa’ud sang politikus yang menjadi arsitek serta
penyokong gerakan ini.14
Tampak nyata, bahwa perkawinan Wahabisme dan
politik ini berhasil membuat Ibn Sa’ud berkuasa di jazirah Arab
setidaknya sekitar 6,5 tahun.yang kemudian diambil alih kebali
oleh pemerintahan ‘Utsmani melalui Muhammad ‘Ali Pasha
sebagai gubernur di Mesir (1226 M). Namun ini hanya
menidurkan gerakan Wahabi dan sahabat sejatinya hanya dalam
beberapa tahun saja, mereka kemudian berhasil bangkit dan
melakukan ekspedisi militer untuk mengambil alih ‘Uman dan
memaksa penguasanya untuk membayar upeti ke Riyadh (1248
M). Ekspedisi ini dilakukan secara terus menerus sehingga
akhirnya pada 1925 mereka berhasil menaklukkan Haramain
yang didukung dengan perjanjian kerjasama antara Wahabi-
Saudi dengan Kolonial Inggris.15 Hal ini pun yang menjadikan
Arab Saudi tetap kaya sampai saat ini dengan dilanjutkan
pertemanan dengan Amerika.
Penolakan massa terhadap Wahabi sangatlah besar,
apalagi pasca teror terhadap World Trade Center (WTC). Hal ini
dikarenakan Arab Saudi diketahui sebagai penyumbang dana
akan kelompok al Qaeda yang diketuai oleh Osama bin Laden
yang menyatakan diri sebagai kelompok yang telah berulah pada
aksi ini. Setelah hal ini kemudian Arab Saudi menghentikan

14
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 66
15
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 68-69

11
bantuannya terhadap teoris al Qaeda. Namun misi penyebaran
Wahabisme global yang digaungkan oleh Arab Saudi tetap
dilanjutkan. Di antaranya, sejak 39 tahun lalu telah menyalurkan
dana yang lebih dari 90 USD melalui Rabithat al-‘Alam al
Islami, International Islamic Relief Organisation (IIRO), dan
yayasan-yayasan lain ke seluruh dunia untuk membela diri dan
memperbaiki citra buruk mereka melalui Wahabisasi global.16
Sementara di Indonesia dengan difasilitasi oleh Dewan Dakwah
Indonesia (DDII) Arab Saudi kemudian mendirikan LIPIA yang
merupakan cabag Unversitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud di
Riyadh. Lembaga ini telah menelurkan ribuan alumni yang
menjadi agen gerakan Salafi serta manusia penting di kalangan
Tarbiyah. Upaya membuka cabang di Indonesia dilakukan
dengan datangnya Syekh Abdul Aziz Abdullah Al-Ammar,
seorang murid tokoh paling penting kalangan Salafi, Syekh
Abdullah bin Baz ke Jakarta. Oleh bin Baz, ia diminta agar
bertemu Mohammad Natsir. Natsir menyambut baik
kedatangannya dan rencana pendirian lembaga pendidikan ini,
serta bersedia menjadi penghubung dengan pemerintah Republik
Indonesia.17
DDII menjadi agen sentral dalam mendistribusikan
beasiswa dari Rabithah Alam Al-Islami yang didukung
pendanaannya oleh Saudi Arabia untuk mengenyam studi di
Timur Tengah. Untuk mempermudah hubungan dengan Saudi
Arabia, DDII sampai membuka kantornya di Riyadh pada tahun
1970-an. Sampai tahun 2004, DDII telah mengirim 500
mahasiswa ke Timur Tengah dan juga Pakistan. Mereka
kebanyakan adalah kader organisasi-organisasi Islam modernis

16
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 75
17
Ismail Hasani, et.all, Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat:
Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, (Jakarta: Publikasi
SETARA Institute, 2010) hlm. 29

12
yang secara strukturdan kultur terkait erat dengan Masyumi.
Para alumni pendidikan Timur Tengah ini yang kemudian
menjadi agen utama penyebaran gerakan kebangkitan Islam di
Indonesia.18
2) Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin (IM) merupakan gerakan yang
muncul di jazirah Mesir yang diarsiteki oleh Hasan al Banna
pada tahun 1928 M. Gerakan ini didirikan dengan tujuan awal
untuk melawan imperialisme Inggris pada waktu itu, untuk
mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan membawa umat
Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni. Liberalisme
yang dibawa oleh Inggris dirasa sebagai hal yang menyimpang,
bahkan gerakan ini lebih meyakini akan fasisme Itali-Musholini
dan Komunisme Uni Soviet dan juga Wahabisme, sehingga
ketiga gagasan tersebut menjadi DNA bagi gerakan ini. IM
mengadopsi sistem totalitarianisme dan negara sentralistik dari
Fasisme Itali-Musholini tetapi menolak nasionalisme. Dari
Komunisme-Uni Soviet mereka mengadopsi totlitarianisme,
sistem penyusupan dan perekrutan anggota, strategi gerakan,
dan internasionalisme, namun menolak ateisme. Sehingga
pemahaman IM dapat diibaratkan sebagai anak kandung yang
sekaligus memusuhi induknya.19
3) Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir (HT) adalah gerakan yang dibinakan oleh
Taqiyuddin an Nabhani pada tahun 1952 M di Jerusalem Timur
sebagai bentuk kekecewaan atas Ikhwanul Muslimin yang
menurutnya kebablasan moderat dan akomodatif terhadap Barat.
Menurutnya umat Islam telah menyimpang akibat menelan
racun Barat yakni pemahaman kapitalisme, sosialisme,

18
Ismail Hasani, et.all, Radikalisme Agama.........., hlm. 29
19
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 79

13
sekterianisme dan nasionalisme. Oleh karena itu Nabhani snagat
berambisi untuk membentuk Khilafah Islamiyah Internasional
yang akan diawali dari wilayah Islam Arab dan Non-Arab.20
b. Ideologi Transnasional di Indonesia: Analisis Kasus Perang
Paderi
Masukknya ideologi internasional dalam lingkungan
organisasi mainstream masyarakat yakni Muhammadiyah dan NU
merupakan sebuah proses yang dilakukan secara bertahap. Ideologi
ini tidak secara langsung besar dan diterima oleh masyarakat kita
Indonesia. Misalnya gerakan Wahabi, mereka melakukan
penyebaran pahaman keagamaannya melalui jalur yang sangat
halus di Indonesia pada awalnya kemudian berubah menjadi kasar
dan pada era sekarang lebih sopan.
Wahabi berkembang di Indonesia tidak lepas dari misi
penyebaran paham neokhawarij global yang dilakukan secara ramai
oleh negara asalnya. Dalam konteks negara Indonesia, sejarah
pertama pergerakan Wahabi ini dapat kita lacak melalui kacamata
sejarah, yakni adanya perang Padri. Perang ini oleh kebanyakan dari
kita dianggap hanya sebatas perang melawan kolonialisme
penjajah. Padahal sejatinya perang yang ada adalah perang antara
sesama umat Islam dalam satu bangsa Indonesia. Perang ini diawali
dari adanya tekstualitas pemahaman akan ajaran Islam. Mereka
melakukan pengkafiran, penyirikan dan juga pemurtadan terhadap
ekspresi keagamaan masyarakat yang ada. Itu jejak awal paham
Wahabi yang menggungcangkan Indonesia.21
Munculnya gerakan Islam semacam ini di Indonesia pada
awal abad yang ke-20 ditengarai karena dipengaruhi oleh berbagai
variabel penting yang melatarinya. Menurut Steenbrink, setidaknya
ada empat faktor penting yang berpengaruh dalam perubahan dan

20
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 85
21
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 85

14
pembaharuan Islam di Indonesia pada masa itu. Pertama, adanya
tekanan yang kuat untuk kembali memurnikan ajaran agama, yakni
dengan kepada ajaran Al-Qur‟an dan Hadist. Kedua sumber ajaran
ini dijadikan sebagai panduan berfikir untuk menilai pola
keagamaan serta tradisi yang telah lama bercokol dan berkembang
di masyarakat. Tema sentral dari kecenderungan ini adalah menolak
setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap mengotori kemurnian
ajaran agama Islam. Sehingga upaya ini merupakan jawaban solutif
atasberbagai problem keberagamaan yang muncul dan meluas di
masyarakat kita. Kedua, kuatnya resistansi terhadap kekejaman
kolonialisme dengan terus berupaya menentang kebijakan para
penjajah Belanda, akan tetapi mereka juga tidak mau untuk
menerima gerakan Pan-Islamisme. Ketiga, adanya motivasi yang
kuat dari komunitas muslim untuk mendirikan organisasi pada
bidang sosial dan ekonomi yang dapat menjadi wadah mereka
dalam berbagi dan menuntaskan berbagai kepentingan, baik
kepentingan mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat,
maraknya upaya untuk memperbaiki pendidikan Islam.22 Sebab
pada masa itu, pemerintah Belanda acuh terhadap pendidikan
agama sehingga menjadikan umat dan ulama bersikukuh untuk
mempertahankan pendidikan Islam.23
Gerakan Padri awalnya muncul selepas kembalinya tiga
orang haji dari Tanah Suci Mekah, yaknHaji Miskin dari Pandai
Iskat, Haji Sumanik dari Salapan Koto serta Haji Pahabong dari
Tanah Datar.24 Gerakan Padri sendiri berasal dari sebuah gerakan
untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan atau pemurnian

22
Putri Citra Hati, “Dakwah Pada Masyarakat Minangkabau (Studi Kasus Pada Kaum
Padri)”, Islamic Comunication Journal, Vol.3, No.1, 2018, 105-120
23
Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren Dalam Perspektif Masyarakat
Minangkabau”, dalam M. Dawam Raharjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun
Dart Bawah, (Jakarta: P3M, 1985}, h. 165-166
24
Erli Yetti,”Penulisan Sejarah Perang Padr dalam Karya Sastra Melayu Sebuah Studi
Banding”, Jurnal Atavisme, Vol.2,No.2, 2017, 129-33

15
kembali ajaran agama Islam yang sudah menyimpang bagi
kebanyakan masyarakat Minangkabau dengan dominasi
masyarakat ialah kaum adat. Penyimpangan tersebut misalnya
banyaknya masyarakat yang mendawamkan meminum minuman
keras, melakukan judi, lain-lain. Akan tetapi pada hakikatnya
gerakan Padri tidak hanya sekedar memperjuangkan pemurnian
ajaran keagamaan saja, melainkan juga bentuk perjuangan melawan
kolonialisme Belanda yang padasat itu ingin menguasai
Minangkabau melalui istilah politiknya yang terkenal, yakni politik
pecah belahnya.25
Terlepas dari perjuangan melawan penjajah, konflik
keagamaan yang muncul adalah sebuah peristiwa yang berakar dari
ajaran keras Wahabisme. Tokoh yang paling masyhur karena
catatan kebrutalannya adalah Haji Miskin. Meskipun ia kerap
dieluhkan sebagai tokoh pembaharu. Dalam catatan Taufik
Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Safwan Rozi menuliskan
bahwa pertentangan yang terjadi antarakaum agama dengan kaum
adat secara tidak langsung telah menciptakan permasalahan baru
yaitu keretakan-keretakan di dalam persatuan masyarakat
Minangkabau. Sampai akhirnya kedua kelompok ini berdamai
secara tiba-tiba sebagai akibat dari adanya campur tangan
pemerintah Belanda pada tahun 1921.26
Penolakan yang bergejolak di Pandai kemudian membuatnya
tidak bisa menahan hati, Haji Miskin kemudian membakar balai
adat megah yang baru didirikan. Ia kemudian melarikan diri Koto
Lawas, tempat bermukim Tuanku Mensiangan (Nan Tua).
Kegagalan di Pandai Sikek membuatnya berpikir keras, ia
kemudian berpendapat bahwa kegagalan yang dialaminya

25
Putri Citra Hati, “Dakwah......... 105-120
26
Safwan Rozi, “Negosiasi Islam Kultur dala Gerakan Paderi Rao di Sumatera
Tengah ( 1820- 1833)”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol.6, No.1, 2012,
85-104

16
disebabkan oleh kurangnya guru agama yang modern. Di tempat ini
Mensianga menjadi pelindungnya setelah menerima ajaran Wahabi.
Tak lama kemudian ia mendapat pengikut, terutama dari keluarga-
keluarga pengikut Fakih Sagir yang seorang pendakwah. Fakih
berpindah ke Koto Lawas pasca madrasahnya di Sungai Pua dibakar
kaum adat. Haji Miskin dapat melarikan diri ke utara. Di Bukit
Kamang, Haji Miskin tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di
Surau Bansa pada tahun 1807 sampai 1811. Keduanya mulai
membuat siasat pembaruan secara menyeluruh untuk dapat
menerapkan hukum perdagangan Islam dalam mengintervensi
hukum adat Minangkabau. Setelah itu Haji Miskin melanjutkan
usaha pembaruan “Wahabismenya” di Luak Lima Puluh. Di tempat
ini ia menggugah ulama muda, Malin Putih di Aia Tabik, untuk
melakukan pembaruan. Atas bantuan Fakih Sagir kemudian Malin
Putih mendirikan benteng di Bukit 28 Kawi. Haji Miskin kemudian
pindah ke Masjid Sungai Lundi di Negeri Aia Tabik serta
mengajarkan pahamnya hingga ke Halaban. Seorang ulama yang
mengikuti ajarannya itu adalah Tuanku Luak (Halaban). Haji
Miskin kemudian dianggap sebagai pioner penyebar cita-cita dan
gagasan pembaruan masyarakat Minangkabau, khususnya dalam
penerapan hukum-hukum Islam (yang dipahaminya). Karena
sikapnya yang sangat kaku dan tekstualis kemudian ia terbunuh di
Bukit Kawi pada 1811). 27
Kemudian peran Haji Piobang dan Haji Sumanik juga begitu
halnya dengan Haji Miskin. Keduanya juga mendapat penolakan,
meskipun catatan kekerasannya tidak terakomodasi secara lengkap
dalam catatan sejarah. Namun, lagi-lagi konservatisme berlebihan
membuatnya banyak melakukan hal-hal yang menurut kaum adat
sangat tidak bisa ditoleransi.

27
S. Metron Madison, Tokoh-tokoh Gerakan Padri, (Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, 2018), 26-29

17
Sebagai titik perjuangan dalam tatanan penegakkan ideologi,
kemudian kaum Padri yang secara genalogis merupakan afiliasi
paham keagamaan melanjutkan perang melawan penjajah pada
pertengahan pertama abad ke-19. Ini merupakan hasil dari desakan
masyarakat minang yang ingin menghapuskan hegemoni Belanda.
Perang ini digerakkan oleh orang-orang Padri. Istilah “Paderi”
sendiri berasal dari kata Portugis yang merujuk pada sosok pemuka
agama yang berbusana putih. Para partisipan perang Padri
memanglah menggunakan pakaian yang serba putih sebagai
simboli bahwa perang tersebut adalah perang atas nama agama,
yakni jihad di jalan Allah. Kelompok Paderi ini menggunakan
busana berwarna putih sebagai perlawanan terhadap kaum adat
yang berbuusana hitam.28
Apabila kita perhatikan secara lebih dalam, perbedaan
busana saja telah menggambarkan panasnya pertentangan dari dua
kelompok yang mengidentifikasi diri sangat berbeda. Jika kita
kembali kepada bahasan sebelumnya, maka nampak bahwa
keterikatan masing-masing kelompok atas cara pandangnya adalah
amunisi utama. Kaum Padri lebih pada aspek formalisasi hukum
agama, sementara kaum adat pada peneguhan hukum adat,
meskipun kedua kelompok tersebut adalah berasal dari satu agama.
Dalam tataran perjuangan pembebasan negara (nasinal)
Imam Bondjol yangmemimpin perjuangan Kaum Padri tidak dapat
tidak untu dipungkiri perananya. Kaum adat yang dianggap sebagai
kelompok yang lunak menjadi bahan adu domba oleh Belanda. Ia
dibenturkan melalui berbagai isi yang sensitif dengan kaum Padri
yang terkenal keras.29 Meskipun pada akhirnya kaum Padri

28
Nina Wonsela, “Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan di
Minangkabau Abad XVII-Awal Abad XX”, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017),4-5
29
Haedar Nashir, “Purifikasi Islam dalam Gerakan Padri di Minangkabau”, Jurnal
UNISISA, Vol. 21, No.69, 2008, 219-230

18
tersingkir oleh politik mencekiknya Belanda, namun dalam hal
nasionalisme patut untuk diberikan apresiasi.
c. Strategi Penyemaian Ideologi Transnasional di Indonesia pada
Era Modern
Kelompok-kelompok puritan pasca kejadian perang Padri di
era modern juga tak kalah menarik untuk dikaji. Kaum
Fundamentalis ini (sebagaimana dikelompokkan Azra) telah
meracuni tubuh persatuan dan kedamaian masyarakat kita. Apalagi
ideologi transnasional yang mendunia, layaknya Wahabisme, IM
dan juga HT. Tujuannya jelas, selalu bertumpu pada penegakkan
hukum syariat Islam. Segala upaya dilakukan, termasuk dalam
menyemai ideologinya pada organisasi maisntream yang bercokol
di negeri ini.
1) Penyemaian Ideologi Puritan di Tubuh Muhammadiyah
Organisasi Masyarakat Keagamaan yang sangat besar
dan pertama muncul dan masih bertahan sampai saat ini adalah
Muhammadiyah. Muhammadiyah pun tidak luput darisasaran
penggarapan para kaum fundamentalis ini. Banyak cara yang
mereka tempuh untuk menggoyangan stabilitas pengikut
Muhammadiyah. Salah satunya adalah PKS yang disinyalir
berafiliasi dengan IM. Pada tahun 2006 Muhammadiyah
kemudian menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP)
Muhammadiyah Nomor 149/Kep/1.0/B/2006 tentang
“Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai
Konsolidasi dan Amal Usaha Muhammadiyah”. SKPP ini
ditandatangani Ketua Umum Pimpinsn Pudst Muhammadiyah
ksls itu, yskni Prof. Dr. Din Syamsuddin, M.A dan Sekretaris
Umum Pimpinan Pusatnya Drs.. H. A. Rosyad Sholeh.30

30
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi ........., hlm. 179

19
SKPP ini diterbitkan demi menyelamatkan
Muhammadiyah dari perangkap yang siapmenghancurkan
Muhammadiyah daridalam. Secara khusus, dalam SKPP ini
Muhammadiyah menyebutkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
sebagai partai politik yang telah memanfaatkan Muhammadiyah
untuk mencapai hasrat politiknya. Partai ini dinilai telah secara
lancang menggunakan badan amal usaha, masjid, lembaga
pendidikan, dan fasilitas lainnya untuk kegiatan politik melalui
gerakan yang kita kenal dengan Tarbiyah. Hal ini
mengakibatkan keroposnya keutihan dan persatuan anggota
Muhammadiyah.31 Hal ini tepat, sebab pada prinsipnya, secara
khittah, Muhammadiyah bukan merupakan sebuah
organisasi/gerakan politik.
Dari bacaan saya, selain organisasi PKS yang
memanfaatkan Muhammadiyah, ada juga dar Wahabisme yang
mencoba mengubah haluan moderat Muhammadiyah menjadi
lebih keras. Yakni munculnya gerakan Salafi yang merupakan
modifikasi Wahabisme moderen. Secara tidak langsung gerakan
ini telah memudarkan skap tengah masyarakat Muhammadiyah
dan berubah menjadi lebih keras. Namun hal ini sebatas praduga
yang saya sampikan melihat realitas yang ada saat ini.
2) Penyemaian Ideologi Puritan di Tubuh Nahdlatul Ulama
(NU)
Usaha agen-agen gerakan puritan di tubuh NU terbilang
lucu dalam buku ini. Hampir mirip dengan yang mereka perbuat
pada Muhammadiyah, awalnya merka melakukan ekspansi
masjid NU. Mereka menawarkan jasa cleaning service masjid
secara gratis. Setelah kepercayaan pengurus masjid didapat,

31
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 179-180

20
maka hal yang selanjutnya dilakukan adalah menguasai masjid
secara penuh.
3) Penyemaian Ideologi Puritas di Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga semi
pemerintah yang dibentuk pada masa Orde Baru. Pada masa
Orde Baru, lembaga ini dimanfaatkan oleh rezim untuk
menguasai gerik organisasi Islam yang melawan rezim. Oleh
sebab itu, keberadaannya tersebar di seluruh negeri ini, dan
tentunya dengan sokongan dana dari pemerintah. Lembaga ini
kemudian menjadi pembuat kebijakan dalam masalah
keagamaan yang ada di Indonesia, seperti adanya labelisasi halal
sebuah produk, serta melakukan keputusan hukum berupa fatwa
yang mewadahi para ulama lintas organisasi di Indonesia.32
Lembaga ini semenjak sebelum tahun 2010 lebih banyak
dikuasai oleh organisasi-organisasi di luar mainstrem. Oleh
sebab itu, ia memiliki wewenang untuk memberikan status sesat
atau menyimpang pada sebuah organisasi atau paham
keagamaan. Pada masa Orde Baru, kebijakan yang dibuat
lembaga ini justru cenderung memberikan kemudahan bagi
organisasi yang jelas-jelas menyatakan diri anti terhadap
demokrasi, Pancasila, bahkan entitas Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini tentu saja karena lembaga ini telah diisi oleh
banyak tokoh berepentingan puris di dalamnya.
4) Penyemaian Ideologi Puritan di Lembaga-lembaga
Pendidikan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik
memiliki organisasi cabangan di kampus yakni Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), organisasi ini tumbuh
subur di setiap kampus di negeri ini, lebih khusus pada kampus-

32
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 198-201

21
kampus umum. Ada juga Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
yang disinyalir berafiliasi dengan HTI dan/atau PKS. Selain di
kampus, pendirian sekolah-sekolah yang berbasis PKS ataupun
Wahabi juga sangat marak saat ini, contohnya sekolah Islam
Terpadu ala PKS, dan sekolah-sekolah lain yang berafiliasi
dengan Arab Saudi, yang kemudian akan mencetak agen-agen
ideolog untuk menyebarkan kekakuan mereka.33
d. Penutup
Buku kontroversial ini secara tidak langsung elah membuka
mata kita akan bahaya laten kekakuan dan tekstualitas keagamaan
tanpa dasar rasional yang kuat. Alih-alih beragama dan
menegakkan agama Tuhan, justu membuat agama menjadi ternoda
oleh mereka. Dalam kaitan kasus perang Kaum Padri (Penyebar
paham Wahabisme) dengan kaum adat, setidaknya ada beberapa
kejadian dari eskalasi konflik yang terjadi yang dapat kita ambil
ibrahnya. Pertama adalah purifikasi yang dilakukan, kedua adalah
perjuangan nasinal melawan penindasan.
Pada sisi pertama tentu akan menimbulkan gejolak, bukan
hanya fase zaman dahulu, saat ini pun ketika pemahaman agama
yang rigid dan kaku ketika berhadapan dengan realitas
kemajemukkan maka akan mengalami permasalan perlik. Tak
jarang permasalahan ini berujung pada kekerasan, yang pada
dasarnya merugikan diri sendiri dan nama agama juga menjadi
tercoreng. Akhirnya ketika kita ada dalam satu bingkai persatuan
sebuah negara, mengikuti setiap aturan hukum yang ada adalah
sebuah kebenaran. Kebenaran yang benar-benar kebenaran, bukan
kebenaran kita yang kita paksakan untuk dibenarkan dan menjadi
kebenaran secara terpaksa bagi orang lain.

33
Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi.........., hlm. 202-213

22
Sisi yang kedua adalah sisi nasionalisme. Inilah sebenarnya
yang harus dipupuk. Namun nasionalisme yang saat ini harus
diusung bukan lagi macam dulu. Nasionalisme yang harus dipupuk
adalah paham bahwa kita berada pada satu badan yang bersatu
padu, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Arifian Alfi,”Redefinisi Kaum Paderi Melalui Metodologi Genealogis


Foucauldian Sebagai Rekonsilliasi Etnis Minangkabau-Batak”, Jurnal
Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, Vol.18, No.1, 13-19

23
Azra Azyumardi. 1985. “Surau di Tengah Krisis: Pesantren Dalam Perspektif
Masyarakat Minangkabau”, dalam M. Dawam Raharjo, (ed.),
Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dart Bawah, (Jakarta: P3M,

Barton Greg. 2002. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LkiS.

Hasani Ismail, et.all, 2010. Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa


Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/
Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA Institute.

Hati Putri Citra. 2018 .“Dakwah Pada Masyarakat Minangkabau (Studi Kasus
Pada Kaum Padri)”, Islamic Comunication Journal, Vol.3, No.1. 105-
120

http://www.wikipedia.com//wahabisme-abdulwahab

Madison S. Metron. 2018. Tokoh-tokoh Gerakan Padri. Jakarta: Badan


Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.

Nashir Haedar. 2008. “Purifikasi Islam dalam Gerakan Padri di Minangkabau”,


Jurnal UNISISA, Vol. 21, No.69, 219-230

Romli Asep Syamsul M., 2000. Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam. Jakarta: Gema Insani.

Rozi Safwan. 2012. “Negosiasi Islam Kultur dala Gerakan Paderi Rao di
Sumatera Tengah ( 1820- 1833)”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, Vol.6, No.1, 85-104

Rumbaru Musa, Hasse J. 2016. “Radikalisme Agama Legitimasi Tafsir


Kekerasan di Ruang Publik”, Jurnal Al-Ulum, Vol.16, No.2, 1-19

Sahrasad Herdi, Al Chaidar,. 2017. Fundamentalisme, Terorisme Dan


Radikalism: Perspektif Atas Agama, Masyarakat dan Negara. Jakarta:
Freedom Foundation.

24
Wahid Abdurrahman (Ed). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

Wonsela Nina. 2017. “Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan


di Minangkabau Abad XVII-Awal Abad XX”, Tesis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Yetti Erli. 2017. ”Penulisan Sejarah Perang Padr dalam Karya Sastra Melayu
Sebuah Studi Banding”, Jurnal Atavisme, Vol.2,No.2, 129-33

25

Anda mungkin juga menyukai