Anda di halaman 1dari 26

Sastra Pesantren: Syair Syiarkan Islam Nusantara

Badruddin Syariful Alim (18770056)

Sastra di Kalangan Pesantren


Setiap pesantren memiliki keunikan tersendiri. Salah satu keunikan
tersebut adalah budaya bersastra santri-santrinya. Sehingga sastra bukanlah hal
yang asing bagi santri milenial, karena sastra merupakan bagian yang
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pesantren. Tradisi bersastra
sebenarnya berakar pada kalangan para ulama baik di Arab atau di Nusantara
sendiri yang kemudian di rawat oleh para kiai atau santri di kalangan pesantren.
Para ulama klasik menulis karya mereka dengan bentuk syi’ir, syair atau
nazham yang kemudian diterbitkan dan kemudian dikenal dengan nama kitab
kuning. Dari kitab-kitab klasik tersebut, santri mempelajari tentang agama Islam.
Bahkan bisa dikatakan bahwa tidak ada tranmisi keilmuan dengan media puisi,
selain kitab-kitab yang jadi pegangan santri setiap hari. Dari syair-syair dalam
kitab itulah santri bisa mendalami berbagai disiplin ilmu seperti tawhid, fikih,
tafsir, hadis, tata bahasa Arab, dan yang lainnya. Kitab-kitab tersebut semuanya
pasti memiliki rujukan kitab yang ditulis dengan gaya syi’ir atau nazham, atau
yang lebih modern kita kenal dengan puisi atau sajak.
Salah satu contoh kitab yang paling terkenal adalah kitab Alfiyah karya
Ibnu Malik dari Andalusia, yang menulis seribu bait syair atau puisi tentang tata
cara menyusun struktur yang benar dalam bahasa Arab. Di beberapa pesantren
yang masih menggunakan kitab tersebut sebagai modul, tidak jarang ditemukan
santri-santri menghafalkan larik-larik yang ada di dalamnya. Bahkan penguasaan
kitab tersebut sering kali di luar kepala yang kemudian dijadikan sebagai ukuran
tingkat pemahaman atau kealiman seorang santri atau juga menjadi bentuk
kebanggaan diri.
Pada kehidupan sebagian santri, sansta dalam bentuk puisi juga hadir
secara cukup intens. Kehidupan sehari-hari di pesantren banyak menampilkan
puji-pujian dan zikir keagamaan yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan
menjelang atau di sekitar waktu shalat. Secara khusus, syair berisi puji-pujian

1
kepada Nabi Muhammad saw. memiliki bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam
Islam dan banyak diapresiasi dan hidup dalam keseharian dunia pesantren.
Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap memiliki kekuatan magis sehingga tak
jarang juga dibacakan sebagai doa untuk keperluan tertentu.
Selain literasi yang banyak digunakan di pesantren lebih banyak
menggunakan bahasa sastra, para kiai dan santri-santrinya pun tidak jarang yang
juga mendalami ilmu sastra, baik itu sastra Arab maupun sastra Indonesia.
Bahkan tidak jarang juga dari mereka yang menulis puisi, baik itu berbahasa
Arab atau Indonesia dengan tema-tema yang bernuansa Islami. Itulah yang
menjadi sebuah fenomena dalam sastra Indonesia mutakhir. Sastra sudah
mentradisi dan mengakar dalam keilmuan santri sejak lama dan sampai sekarang
sastra menjadi salah satu media pembelajaran baik di sekolah formal ataupun
non-formal.1

Dari al-Qur’an dan Sastrawan Ulama untuk Nusantara

Al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar.2 Bukti keagungan al-Qur’an dan


bahasa sastranya adalah keindahan dari ayat-ayatnya yang tidak bisa ditiru oleh
penyair Arab. Ayat-ayatnya sama sekali dan tidak akan pernah ada satu kalimat
pun mengandung ujaran kebencian atau caci makian. Hal itu adalah bukti sifat
maha lembut Allah dalam menuntun umatnya ke jalan yang benar. Sebuah
mukjizat yang diamanahkan kepada Rasulullah Saw. untuk menggiring umatnya
dari ruang yang gelap gulita menuju alam yang penuh dengan kasih-sayang-Nya.
Sehingga dengan keindahan dan kelembutan bahasa al-Qur’an secara otomatis
juga tercermin dalam diri Rasulullah Saw dalam menggiring umatnya.

Mempelajari, memahami, dan mengkaji kandungan isi al-Qur’an


merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam. Para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin

1 Badrus Shaleh, “Sastrawan Santri: Study Etnografis Sastra di PP. Annuqayah Guluk-guluk
Sumenep Madura,” Tesis, (UGM, 2017).

2 Al-Qur’an Kitab Sasta Terbesar sebuah judul buku yang merupakan edisi bahasa Indonesia yang
diterjemah dari disertasi M. Nur Khalis Setriawan yang berbahasa Jerman untuk meraih gelar
doktor di Orientalisches Seminar der Rheinischen Friendrich Bonn, Jerman.

2
dan para ulama sudah banyak berjasa dalam membantu umat Islam agar dengan
mudah bisa memahami kandungan isi al-Qur’an. Mulai dari pembukuan al-Qur’an
sampai cara memahami kandungan isi al-Qur’an. Beberapa ilmu ditulis menjadi
kitab, diantaranya kitab tafsir al-Qur’an, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantik (logika),
dan lain sebagainya.

Beberapa kitab juga ditulis oleh para ulama, mulai dari kitab tentang
syariat Islam yaitu kitab fiqh, kitab tentang akhlaq sampai kitab tetang aqidah
yaitu kitab-kitab tasawuf atau bisa juga disebut kitab tentang ketauhitan. Dari
kitab-kitab tersebut, tidak jarang para ulama juga menggunakan syair-syair Arab
untuk dijadikan bumbu dalam karangannya agar umat Islam merasa senang
mempelajarinya. Itulah bukti bahwa para ulama terdahulu sudah membudayakan
sastra dalam kehidupannya. Bahkan tradisi bersastra sudah menjadi kebiasaan
orang-orang Arab terdahulu sebelum Islam datang menjadi agama penyempurna
mereka.

Sampai agama Islam tersebar di bumi Nusantara khususnya di Indonesia


berkat keteguhan dan keinginan kuat para ulama (Walisongo) untuk menyebarkan
agama Islam. Walisongo menyebarkan agama Islam mulai dari bagian utara pulau
jawa dengan cara berdagang. Selain berdagang, Walisongo juga menggunakan
tradisi-tradisi lama seperti dagelan Jawa untuk menyebarkan syariat Islam. Selain
dagelan Jawa, beberapa diantara mereka ada yang menciptakan syair-syair
berbahasa Jawa yang mengandung ajaran-ajaran Islam dengan tujuan mengajak
meraka yang mayoritas beragama Hindu-Budha untuk masuk ke agama Islam
dengan cara yang lemah-lembut tanpa ada ujaran kebencian. Seperti syair yang
ditulis oleh Raden Paku atau yang kita kenal dengan Sunan Kalijaga dengan judul
Lir-Ilir.

Lir-Ilir

Lir-ilir, lir-ilir…
Tandure wis sumilir…
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar…
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi…

3
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro…

Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir…


Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore…
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane…
Yo surako… surak iyo…

Terjemah Bahasa Indonesia

Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah
(pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat
untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping

Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore


Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang
Ayo bersoraklah dengan sorakan iya3

Penafsiran secara garis besar, tembang atau syair Lir-Ilir mempunyai dua
makna yaitu: makna struktural dan makna simbolis. Makna struktural adalah
tahapan untuk mengetahu makna secara umum. Secara umum tembang Lir-Ilir
mempunyai nilai spiritual dan budaya.4
Secara spiritual syair atau tembang tersebut merupakan tahapan-tahapan
untuk menuju makrifat kepada Allah Saw. tahapan tersebut tergambar pada setiap
bait syair tersebut, mulai Bangunlah, bangunlah//panjatlah (pohon) belimbing
itu//biar licin dan susah tetaplah kau panjat//untuk membasuh

3 “Makna Mendalam di Balik Lagu Lir-Ilir”, Merah Putih, 15 Pebruari 2016.


https://merahputih.com/post/read/makna-mendalam-di-balik-lagu-lir-ilir, diakses pada tanggal 17
Mei 2019, jam 21:54.

4 Muh. Budi Santosa, Nilai dan Hakikat Tembang Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga, Skripsi,
(Purwokerto, IAIN Purwokerto, 2017), v.

4
pakaianmu//Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping//Jahitlah,
benahilah untuk menghadap nanti sore//Ayo bersoraklah dengan sorakan iya.
Secara metaforis dari beberapa tingkatan tersebut, pertama, untuk menuju
maqam makrifat, di baris pertama Bangunlah-bangunlah, pada baris tersebut
sunan Kalijaga ingin menyampaikan bahwa dalam menuju makrifat harus
mempunyai niat yang teguh. Kedua, panjatlah (pohon) belimbing itu, dalam baris
tersebut yang menjadi simbol adalah belimbing. Di mana belimbing yang
mempunyai lima sudut atau sisi seperti bintang menggambarkan sholat lima
waktu dan rukun iman. Secara tersirat pada baris itu, selain kita harus mempunyai
niat yang teguh, kita harus menjaga sholat lima waktu dengan tepat waktu,
meskipun susah tetaplah berusaha, seperti yang tergambar di baris ketujuh, biar
licin dan susah tetaplah kau panjat. Sehingga dosa-dosa yang melekat dalam diri
kita terbasuh, seperti yang tergambar pada baris kedelapan dan sembilan, untuk
membasuh pakaianmu//Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian
samping. Ketiga, Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore, selain niat
yang teguh dan menegakkan sholat dengan tepat waktu untuk membersihkan
dosa-dosa atau kita kenal dengan taubat, pada baris kesepuluh itu menggambarkan
bahwa kita harus memperbaiki sifat-sifat buruk dan berjanji untuk tidak
mengulangi lagi sampai kita bisa merasakan kebahagiaan yang hakiki, seperti
yang tergambar pada bait terakhir, Ayo bersoraklah dengan sorakan iya.
Secara budaya, dalam syair tersebut ada beberapa baris yang maknanya
lebih tersirat atau bersifat metaforis, yang itu menunjukkan esensi dari isi tembang
Lir-ilir, yaitu Pancasila Budhis yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai
simbol untuk memahami ajaran-ajaran agama yang benar, hal ini juga
menunjukkan bahwa kebudayaan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam
untuk menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam diri seorang hamba Allah.5
Pada abad ke 17, setelah zaman walisongo kemudian muncullah para
ulama tasawuf diantaranya adalah, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Abdur
Rauf Singkel, dan Yusuf al-Makassari.6 Para ulama tersebut banyak memberikan
sumbangsih terhadap berkembangnya Islam di Nusantara dalam hal tasawuf.

5 Santosa, Nilai dan Hakikat, v.

5
Mereka berpandangan bahwa teologi sunni yang mereka anut tidak bertantangan
dengan ajaran kesufian yang mereka kembangkan. Mereka justru
mengembangkan spiritual melalui teologi Sunni sebagai pijakan awal dan
kontrol.7
Mereka mengembangkan ajaran kesufian menggunakan karangan-
karangan sastra. Seperti halnya Hamzah Fansuri seorang bapak sastra Melayu
yang waktu dan tempat lahirnya sampai sekarang masih merupakan teka-teki,
dalam sebagian bait puisinya yang berjudul tempatnya kapur di dalam katu:

Hamzah Shahr-Nawi terlalu hapus


Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berhapus
Menjadi kapur di dalam Barus

Dalam kutipan puisinya itu, Hamzah Fansuri mengatakan bahwa dirinya


telah sampai pada makrifat. Hal itu dia tunjukkan pada baris kedua, kayu sekalian
hangus. Seseorang yang mencapai maqam makrifat atau fana (hapus) dengan
Tuhannya sering dilambangkan sebagai sesuatu yang kembali pada asalnya yaitu
laut tiada berhapus.8 Luluhnya diri jasmani (nafsu lahir) ke dalam diri rohani,
merupakan tanda bahwa seorang ahli suluk telah mengenal hakikat dirinya.
Pencapaian semacam itu disebut juga fana’ (hapus). Hal itu sering disamakan
dengan persatuan mistik (unio-mystika), yaitu menetapnya perasaan seorang
hamba terhadap sang Ilahi di dalam batinnya.9

6 “Tasawuf dan Para Tokoh Sufi di Nusantara”, Kompasiana, 16 April 2018.


https://www.kompasiana.com/fatihhusni/5ad3d68fab12ae0e903d0742/tasawuf-dan-para-tokoh-
sufi-di-nusantara, diakses pada tanggal 17 Mei 2019, jam 22:25.

7 Arrazy Hasyim, “Teologi Ulama Tasawuf Nusantara”, Jurnal Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (Academia Edu), 17.

8 Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, (Jakarta: Lotkala, 1984), 15.

9 “Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya”, Komunitas Salihara (Kalam, 28/2016).


http://salihara.org/kalam/back-issues/detail/hamzah-fansuri-dan-syair-syair-tasawufnya, diakses
pada tanggal 18 Mei 2019, jam 01:55.

6
Kayu dimetaforkan sebagai diri jasmani, kehangusannya disimbolkan
sebagai kefanaannya, sedangkan kapur adalah hakikat dari kayu. Barus
melambangkan diri rohani, hakikat yang tersembunyi di dalam diri jasmani.10
Begitu pula laut, adalah kata yang sering digunakan oleh Ibnu Arabi dan
Jalaluddin Rumi untuk dijadikan lambang sebagai dzat yang maha luas. 11 Secara
umum, Hamzah Fansuri menggambarkan bagaimana rasanya berada di keluasan
dunia makrifat, sampai dirinya sendiri merasa bukan siapa-siapa, melainkan hanya
hamba yang tak punya daya tanpa keagungan sang Mahbub.

Dari Sastrawan untuk Nusantara


Seiring berkembangnya sastra Indonesia, puisi atau ketika pada zamannya
lebih dikenal syair mengalami perubahan semenjak seorang penyair Chairil Anwar
dan kawan-kawannya memperbaharuinya pada tahu 1940-an. Syair atau puisi
yang awalnya terikat oleh sajak dan rima, dikonstruk kembali oleh Chairil Anwar.
Dia mengatakan bahwa puisi itu bebas, tidak terikat oleh segala yang
mengungkung dirinya, seperti halnya sajak dan rima.
Chairil Anwar bukanlah seorang agamawan muslim, tapi dia lebih dikenal
sebagai pahlawan bangsa ketika negara Indonesia dijajah oleh para sekutu
Belanda. Chairil Anwar adalah orang yang pertama kali melawan dan
memberontak dengan puisi-puisinya. Puisi pertamanya yang begitu terkenal—
yang sampai sekarang masih sering dibacakan pada hari kemerdekaan Indonesia
—berjudul Aku.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang


Dari kumpulannya terbuang
10 “Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya”, Komunitas Salihara (Kalam, 28/2016).

11 Hamzah, Penyair Sufi Aceh, 15.

7
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 194312
Dalam puisi yang berjudul Aku, secara umum, tergambar jelas kalau
Chairil Anwar adalah penyair yang menggebu-gebu untuk mewujudkan segala
impiyannya, termasuk melawan penjajah dengan puisi-puisinya. Hal itu tergambar
pada bait keempat, Biar peluru menembus kulitku//Aku tetap meradang
menerjang. Dalam puisinya dia tidak hanya menggambarkan dirinya yang begitu
semangat dalam berjuang, tapi dalam salah satu puisinya yang lain dia juga
memberikan semangat perjuangan. Seperti yang dia tulis dalam puisi yang
berjudul Diponegoro

Diponegoro

Di masa pembangunan ini


tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti


Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
.
MAJU

12 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalan, (Jakarta: Gramedia, 2011), 17.

8
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba


Binasa di atas ditinda

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai


Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Februari, 194313

Puisi tersebut mengisahkan tentang pahlawan Diponegoro dalam melawan


para penjajah. Diponegoro tak pernah gentar melawan penjajah dan dengan
gagah-berani dia maju meskipun musuh yang ada di depannya berjumlah ratusan
orang. Dia begitu bersemangat dengan senjatanya dan tak pernah takut mati.
Selain puisi-puisi perjuangan, ada beberapa puisi Chairil Anwar yang
temanya tetang semangat spiritualnya dalam menghadap Tuhannya. Meskipu dia
bukanlah seorang agamawan, tapi membaca puisi-puisi spiritualnya dapat dibaca
kalau dia adalah seorang yang mempunyai sisi spiritual yang tinggi. Seperti yang
dia tulis dalam puisinya yang berjudul Doa.
Doa
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
13 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalan, 9.

9
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh


mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci


tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk


remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing


Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling

13 November 194314
Pada bait peratama, Tuhanku//Dalam termangu//Aku masih menyebut
namaMu. Chairil Anwar pada bait itu menunjukkan sisi keimanannya. Dia ingin
menyatakan bahwa mengingat Allah tidak hanya dilakukan ketika dia sholat,
bahkan ketika dia termangu pun masih berusaha mengingat Allah. Meskipun
mengingat-Nya itu masih begitu sulit, tapi dia berusaha dengan sungguh-sungguh
dengan mengingat bahkan dengan cara merenungi seluruh ciptaannya, seperti
yang dia ungkapkan pada bait kedua, Biar susah sungguh//mengingat Kau penuh
seluruh.
Pada bait ketiga, empat dan lima, cayaMu panas suci//tinggal kerlip lilin
di kelam sunyi//Tuhanku//aku hilang bentuk//remuk. Bait tersebut menunjukkan
bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Terlihat dia adalah seorang yang sangat tawaduk.
Dia mengungkapkan bahwa hanya Allah yang maha besar dan dia hanya hamba
yang tidak punya kekuatan apa-apa selain kekuatan dari-Nya, dia hilang bentuk,
remuk. Hanya Allah yang maha Suci dan hanya nur yang dia pancarkan dalam

14 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalan, 45.

10
hati setiap insan ini yang bisa membawa dia ke jalan yang benar atau jalan menuju
makrifat.
Pada bait terakhir dia mengungkapkan, aku mengembara di negeri
asing//Tuhanku//di pintuMu aku mengetuk//aku tak bisa berpaling. Bait tersebut
menunjukkan kalau Chairil Anwar adalah seorang yang dalam hidupnya selalu
ingin mendekatkan diri kepada Allah. Dia mengambara di negeri asing, bisa
diinterpretasikan kalau dia adalah seorang pengembara, mengembara dengan cara
lebih dalam memasuki relung-relung keimanannya untuk memantapkan batinnya
agar bisa lebih dekat kepada Allah.
Selain penyair Chairil Anwar, Indonesia juga memiliki penyair yang
semangat berjuang membela negara dengan puisi-puisinya. Dia menulis puisi
dengan tema-tema yang mengangkat tentang kaum tertindas dan termarjinalkan
dengan gaya dan latar belakang yang berbeda.15 Dia menyuarakan aspirasi kaum
tertindas. Dengan puisi-puisinya, dia melakukan perlawanan terhadap Orde baru.
Tulisannya menggugah semangat kaum-kaum tertindas. Widjhi Thukul, seorang
penyair yang berasal dari Surakarta dinyatakan hilang pada umur 34, dan sekarang
masih belum ditemukan jejaknya, entah kemana dia telah berlabuh, masih hidup
atau sudah bersatu dengan alam. lewat karya-karyanya mengorasikan perlawanan
terhadap rezim Orde Baru. Tulisannya menggugah semangat kaum-kaum
tertindas. Sastrawan asal Surakarta ini kemudian dinyatakan hilang di usia 34
tahun. Tak tahu, kini masih hidup atau telah bersatu dengan alam.
Pada suatu siang Agustus 1996, dia pamit kepada istrinya untuk pergi
bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini mengembara dari satu kota ke kota lain,
menghindar dari kejaran jenderal-jenderal di Jakarta yang marah-marah menuding
puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi,
bahkan setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang. Banyak
yang menduga dia menjadi korban penculikan dan pembunuhan di sekitar prahara

15 Tengsoe Tjahjono, “Melawan Kekuasaan dengan Puisi, “ FBS, Uneversitas Negeri Surabaya,
(Juni 2012), 49.

11
Mei 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan suatu
ketika akan kembali.16
Puisi Wiji Thukul menggambarkan adanya tekanan atau adanya suatu
pengekangan bagi Wiji sendiri dan kaum yang lemah. Pemerintah menindas
mereka yang lemah. Tekanan tersebut muncul dengan adanya pembatasan bacaan
dan kebebasan untuk bersuara demi bangsa Indonesia yang lebih baik.17 Wiji
Thukul membela kaum tertindas demi masyarakan Nusantara khususnya
Indonesia yang lebih baik, dan lebih khususnya umat Islam yang ada di Indonesia.
Secara umum puisi Wiji memang lebih kepada puisi-puisi sosial. Dia lebih
fokus terhadap perlawanan kepada pemerintah pada tahun 1998. Puisinya yang
begitu bergejolak telah meruntuhkan hati pemerintah dan membuat para kaum
tertindas lebih berani melawan kekuasaan presiden Suharto. Dia mengatakan
bahwa tindakan pemerintah pada saat itu, bukanlah tindakan yang dapat
memanusiakan manusia. Tindakan yang semena-mena membuat hatinya semakin
bergejolak untuk melawan dan tidak bisa diam. Hal ini tergambar dalam puisinya
yang (Tanpa Judul).
(Tanpa Judul)
kutrima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan


tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita

16 “Konfrontasi Puisi Wiji Thukul”, Tempo, 13-19 Mei 2013, 36.

17 Candra Rahma Wijaya Putra, “Cerminan Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul) Karya Wiji Thukul:
Kajian Sosiologi Sastra”, Kembara: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengjarannya, (Vol. 4
No. 1, Juni 2014), 12.

12
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

Indonesia, 11 Agustus 96

Tangga penulisan puisinya yaitu pada tahun 1996, di mana Wiji pada saat
itu memutuskan diri untuk pergi dari rumahnya, meniggalkan istri dan anak-
anaknya. Hal itu disebabkan karena kondisi persoalan Wiji dengan pemerintah
pada saat itu sangat memanas. Dia jadi buron pemerintah Orde Baru karena
pemerintah pemerintah menganggap gerakan yang dipimpin olehnya sangatlah
mengganggu keamanan negara. Dia harus melarikan diri karena puisi-puisinya
dianggap sebagai puisi yang beraroma konfrontasi terhadap kebijakan pemerintah
pada saat itu.
Pada bait pertama, kutrima kabar dari kampong//rumahku kalian
geledah//buku-bukuku kalian jarah. Pada bait tersebut, sangat tergambar kalau
memang pada waktu itu Wiji tidak ada di rumahnya. Tentunya dari bait tersebut
sangatlah tergambar jelas betapa tersiksanya seseorang yang harus jauh dari
keluarganya. Pada baris kedua dia mengatakan bahwa rumahku kalian geledah,
hal itu menggambarkan kalau kekuasaan rezim Orde Baru sangatlah kejam. Itulah
yang dia sebut tidak memanusiakan Manusia. Bahkan sampai buku-buku
bacaanya dirampas oleh mereka, para oknum-oknum di masa Orde Baru.
Selain Wiji Thukul, penyair yang dikenal dengan puisi-puisi sosialnya
adalah WS. Rendra. Dia adalah seorang penyair yang mengekspresikan puisi-
puisinya untuk mengajak orang kembali ke kehidupan. Dia mengajak orang untuk
menghayati makna kehidupan secara mendalam sebagai pencarian keseimbangan
antara atas-bawah, naluri-akal demensi individu, dan sosial, sampai kepada
dimensi baka atau ilahi. Dia juga mengajak seorang penyair bukan hanya seorang
seorang yang menulis puisi-puisi romantis tapi juga sebagai penghayat fenomena
kehidupan yang terjadi di sekelilingnya. Seperti dalam ungkapan puisi yang dia
tulis dalam puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong.

13
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian18

Pada kutipan bait puisi di atas bisa digambarkan bagaimana WS. Rendra
mengkritik para penyair salon yang hanya bersajak tentang anggur dan rembulan,
semetara mereka tidak peduli terhadap ketidak-adilan yang terjadi di sampingnya.
Para penyair yang hanya menulis puisi-puisi buat kekasihnya bukanlah penyair
yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat. Mereka tidak pernah ikut
membaca kedaan yang terjadi di sekelilingnya baik hal yang terjadi pada alam
atau masyarakat sosial.
Puisi-puisi sosial WS. Rendra banyak menuai kontroversial di mata
pemerintah, karena puisinya lebih banyak mengkritik keadaan pemerintahan pada
saat rezim Orde Baru. Dia juga banyak menggunakan puisinya sebagai jalan untuk
mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, dia pernah menolak
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah—yang direncanakan akan
menghabiskan biaya pembangunan Rp. 10,5 Milyar. Hal itu adalah salah satu
bentuk gerakan WS. Rendra bersama seorang pelopor Arif Budiman.19
Selain dia dikenal dengan puisi-puisi sosialnya, dia juga menulis puisi-
puisi spiritual pada kehidupan menjelang akhir hayatnya. Karena saking
menghayatnya WS. Rendra terhadap segala persoalan aspek kehidupan yang
terjadi di sekelilingnya, Cak Nun mengatakan dalam salah satu pidatonya bahwa
dia adalah seorang wali. Buku yang pernah terbit setelah akhir hayatnya adalah
Doa untuk Anak Cucu. Betapa sangat religius dia, dalam sebuah wawancara
dengan wartawan republika dia mengatakan:
“Saya menangis untuk masalah-masalah lain. Dulu saya pernah diminta
membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis,

18 www.krupukcair.wordpress.com Page 14

19 Hendrik Yuda Wahyu Alek, “Pemikiran Kritis WS. Rendra”, Skripsi, FISIP Universitas
Airlangga, 2009, 5.

14
terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau
membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan
pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada
agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau
mengenangkan Asmaul Husna”[1]20
WS Rendra, Depok 2006
Pada usianya yang ke 73, WS. Rendra mengakhiri hayatnya 6 Agustus
2009 karena komplikasi penyakit yang dia derita. Sebelumnya, dia sempat dirawat
di rumah sakit Harapan Kita dan sempat pulang dulu ke kediamannya di Depok.
Setelah beberapa hari di rumahnya dia kemudian dibawa ke rumah sakit Mitra
Keluarga di Depok, dan disanalah dia mengakhiri hayatnya. Masyarakat Indonesia
sangat kehilangan mendengar berita yang sangat menyedihkan itu, apalagi bagi
keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Indonesia telah kehilangan putra bangsanya
yang sangat berharga. Akan tetapi terlepas dari semua itu, dari beberapa karya dan
buah pemikirannya yang tersebar di nusantara, dia terasa masih ada sampai saat
ini. Sehingga itu semua bisa jadi pelajaran dan refrensi bagi generasi bangsa
Indonesia.
Rendra adalah seorang muallaf. Dia hijrah dari agama Kristen Katolik ke
agama Islam. Sebagaimana lazimnya seorang muallaf, dia menganut agama Islam
dengan sungguh-sungguh serius, yang dia tunjukkan pada cara berpikir, prilaku,
dan puisi-puisinya, dan tentu saja dengan pemahaman yang mendalam pula.
Rendra banyak berbicara mengenai Islam sambil mengutip ayat-ayat Al-Quran
beserta maknanya.
Semenjak dia pindah agama, sikap dan prilakunya sangat berubah total.
Setiap harinya dia sholat lima waktu dan tidak mengonsumsi alkohol dan daging
Babi, tapi dia tidak suka pada hal-hal yang berbau mistis. Dari perubahan sikap
dan kepribadiannya, seringkali nafas-nafas keislaman yang ada dalam batinnya
seringkali tertuang dalam puisi-puisinya. Seperti halnya tentang ujian, titipan dari
Allah, hubungan batin antara individu dengan Allah, syukur, keadilan Allah, dan
konsep inti dari ajaran Islam, yaitu keberserahdirian. Semua lengkap termaktub

20 “Rendra Tertarik dengan Alquran”, dari laman


http://www.republika.co.id/berita/shortlink/67740, diakses 27 Mei 2019, pukul 06.48.

15
dalam puisinya yang diciptakannya ketika sedang sakit di pembaringan menjelang
akhir hayat hidupnya.

“Hidup itu seperti uap,


yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap!
Ketika orang memuji milikku,
aku berkata bahwa ini hanya titipan saja.

Bahwa mobilku adalah titipan-Nya,


Bahwa rumahku adalah titipan-Nya,
Bahwa hartaku adalah titipan-Nya,
Bahwa putra-putriku hanyalah titipan-Nya …

Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya,


“Mengapa Dia menitipkannya kepadaku?”
“Untuk apa Dia menitipkan semuanya kepadaku?”

Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-
Nya ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-
Nya?
Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu musibah,
kusebut itu ujian,
kusebut itu petaka,
kusebut itu apa saja …
Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah derita …

Ketika aku berdo’a, kuminta titipan yang cocok dengan kebutuhan


duniawi,
Aku ingin lebih banyak harta,
Aku ingin lebih banyak mobil,
Aku ingin lebih banyak rumah,
Aku ingin lebih banyak popularitas,

Dan kutolak sakit,


Kutolak kemiskinan,
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih-Nya, harus berjalan seperti penyelesaian
matematika dan sesuai dengan kehendakku.

Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,

16
Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku …
Betapa curangnya aku,
Kuperlakukan Dia seolah “Mitra Dagang” ku dan bukan sebagai
“Kekasih”!
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan-Nya
yang tidak sesuai dengan keinginanku …

Duh Allah …

Padahal setiap hari kuucapkan,

“Hidup dan Matiku, Hanyalah untukMu ya Allah,” ampuni aku, ya Allah



Mulai hari ini, ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam
setiap keadaan dan menjadi bijaksana, mau menuruti kehendakmu saja ya
Allah …
Sebab aku yakin Engkau akan memberikan anugerah dalam hidupku ..
Kehendakmu adalah yang terbaik bagiku …

Semoga manfaat
Sahabatmu…”21

Kesaksian menjelang wafatnya Rendra juga diceritakan oleh budayawan


Emha Ainun Nadjib:
“Malam Jumat, di bawah cahaya bulan purnama. Orang besar itu telah
pergi dengan gagah sebagaimana ajarannya: ‘gagah dalam kemiskinan’. Istrinya,
Ken Zuraida, menyatakan ‘ia sangat bahagia’, meskipun pasti bagi setiap yang
terlibat kematian selalu ada semacam ‘derita manusiawi’ yang membungkusnya.
Ini adalah puncak tangis mengguguk-guguk seorang pecinta yang air matanya
tumpah di ufuk kesadaran tentang nyawiji. Selama sakit di pembaringan, Rendra
selalu spontan menyebut, ‘Ya Lathif, wahai Yang Mahalembut.’ Di saat-saat
paling menderita oleh sakitnya, ia meneguhkan hatinya dengan ‘Qul huwal-Lahu
Ahad, Allahus-Shamad.’ Setengah sadar, sambil saya genggam tangan kirinya,
saya minta ia menambahi, ‘Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid’ Ia
berbisik, ‘Apa bedanya Ahad dengan Wahid, Nun’, saya jawab, ‘Mas, Ahad itu

21 “Puisi Terakhir WS Rendra Bikin Merinding Baca Wasiatnya”, dari laman:


http://www.dutaislam.com/2016/04/puisi-terakhir-ws-rendra-bikin-merinding-baca-
wasiatnya.html, diakses 12 Oktober 2017.

17
Allah yang tunggal, yang satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya.
Wahid itu Allah yang manunggal, yang menyatu, yang integral, yang
merendahkan diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji’ Meledak tangis Rendra
dalam rasa dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak
dengan dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang
diakhiri dengan kalimat, ‘Tuhan, aku cinta pada-Mu.’22
Puisi yang dimaksud Emha dalam kesaksiannya itu diperlihatkan oleh
pihak keluarga di rumah duka di Bengkel Teater, Citayam pada tanggal 7 Agustus
2009. Berikut ini adalah teks lengkap dari puisi terakhir Si Burung Merak yang
ditulis tangan oleh Rendra sendiri:

“Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin


Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku


dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam


Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu


Rendra

31 Juli 200923

22 Emha Ainun Nadjib, “Bulan Purnama Rendra”, Majalah Gatra Edisi Khusus, terbit 13 Agustus
2009.

23 “Tuhan, Aku Cinta Padamu..” Puisi Terakhir Rendra, dari laman:


https://news.detik.com/berita/1179062/tuhan-aku-cinta-padamu-puisi-terakhir-rendra, diakses 12
Oktober 2017.

18
Masih menurut kesaksian Emha, setelah puisi tersebut tercipta, Rendra
sempat pulang ke rumah karena keadaannya membaik. Emha menafsirkan bahwa
keinginannya dalam bait puisi tersebut terwujud, yaitu “Aku pengin
membersihkan tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam.
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu.”
Rendra kemudian dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas
kesembuhannya. 24
Rendra memang telah wafat, tapi jiwanya masih “hidup” di sekeliling kita.
Iwan Fals, musisi legendaris Indonesia, pernah membuat sebuah lagu tentang WS
Rendra yang berjudul “Willy” yang dirilis dalam album “Ethiopia” tahun 1986.
Willy adalah panggilan akrab WS Rendra di lingkungan teman-teman dekatnya.
Liriknya menggambarkan kekaguman sekaligus kekangenan Iwan Fals pada sosok
Rendra yang memiliki kepedulian tinggi terhadap rakyat kecil.25Salam hormat
untuk Si Burung Merak. (PH).

Dari Sastrawan Santri atau Kiai untuk Nusantara


Setelah angkatan WS. Rendra, penyair yang namanya dikenal yaitu dari
kalangan pesantren. Diantaranya adalah Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, M.
Faizi, dan Raedu Basha. Ada beberapa penyair lain yang mungkin namanya tidak
begitu dikenal, akan tetapi karya mereka lahir dari kalangan pesantren. Penyair-
penyair tersebut memiliki karakter masing-masing dalam menulis puisi. Mustofa
Bisri karakter puisinya lebih fokus pada nilai-nilai keislaman. D. Zawawi Imron,
seorang penyair Madura, karakter budaya kemaduraannya lebih kental dalam
puisi-puisinya, selain ada juga beberapa puisinya yang mengangkat tentang nilai-
nilai keislaman. M. Faizi, seorang penyair yang kiai dan lebih dikenal dengan
gayanya yang nyentrik, puisi-puisinya lebih berkarakter dengan kehidupan yang
di sekelilingnya, yaitu tentang kopi, alam, dan kehidupan masyarakat di

24 Emha Ainun Nadjib, “Bulan Purnama Rendra”.

25 “’Willy’”, Sebuah Kekaguman Iwan Fals pada WS Rendra, dari laman:


https://news.detik.com/berita/1179170/willy-sebuah-kekaguman-iwan-fals-pada-ws-rendra,
diakses 12 Oktober 2017.

19
sekitarnya. Sedangkan Raedu Basha, seorang penyair santri, puisinya lebih kental
dengan nilai-nilai kepesantrenan.
Mustofa Bisri, Seorang kiai dan pengasuh Pondok Pesantren Rembang
sekaligus penyair yang dikenal dengan puisi yang khas dengan nilai-nilai
keislaman. Selain dikenal dengan puisi-puisi bernuansa Islam, dia juga dikenal
dengan pembacaan puisinya. Dalam antologi yang dia terbitkan dengan judul
Tasdarus, Gus Mus lebih banyak mengangkat tema-tema ketauhidan, dimana
dalam antologi tersebut, ada tiga macam ketauhidan, yaitu tauhid rububiyah,
tauhid mulkiyah, dan tauhid ilahiyah.26 Seperti yang dia tulis dalam puisinya yang
berjudul, Doa Rasulullah Saw.
Doa Rasulullah Saw
Ya Allah ya Tuhanku
AmpunanMu lebih kuharapkan
daripada amalku
rahmatMu lebih luas
daripada dosaku
Ya Allah ya Tuhanku
Bila aku tak pantas
mencapai rahmatMu
RahmatMu pantas mencapaiku
Karena rahmatMu mencapai apa saja
Dan aku termasuk apa saja
Ya Arhamarrahimun!
141527

Pada puisi tersebut, Mustofa Bisri, yang lebih dikenal dengan Gus Mus,
ingin menggambarkan bahwa Rahman dan Rahim Allah itu lebih luas dari amal
yang kita kerjakan di dunia. Amal kita takkan pantas mencapai rahmat-Nya tapi
dengan rahmat-Nya segalanya bisa dicapai termasuk Rahman dan Rahim-Nya.
D. Zawawi Imron, yang dikampungnya lebih dikenal dengan seorang kiai
dan seorang dai yang selalu berceramah dari kampong ke kampong, puisinya lebih
kental dengan budaya Madura. Dengan gelar penyair celurit emas, dia juga

26 Wachid Eko Purwanto, “Puisi-Puisi Dalam Tadarus Karya Ahmad Mustofa Bisri Suatu Kajian
Semiotika Riffaterre”, Tesis.

27 http://www.sepenuhnya.com/2000/01/puisi-doa-rasulullah-saw.html diakses pada tanggal 24


Mei 2019, 14.40.

20
dikenal sebagai seorang budayawan Madura. Salah satu antologi yang pernah dia
terbitkan berjudul Madura Akulah Darahmu. Dalam antologi tersebut lebih
banyak menggunakan simbol-simbol yang banyak digunakan oleh penyair-penyair
sufi sebelumnya seperti kata “burung”. Simbol burung banyak digunakan dalam
puisinya yang berjudul In Memoriam Seorang Nelayan Tua, Sajak Burung Gagak,
Tembang Alam, dan Seekor Burung Rahim. 28 Termasuk salah satu puisi yang ada
dalam antologi tersebut dan berjudul Madura Akulah Darahmu.
Madura, Akulah Darahmu
Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling di atas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akan layu
dan aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan air matamu.

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,


sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua.

Di sini
perkenankan aku berseru:
-- Madura, engkaulah tangisku.

Bila musim labuh hujan tak turun


kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan air matamu.

Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan


dan memetik bintang gemintang
28 Teguh Susanto, “Kajian Sosiobudaya Kumpulan Sajak, ‘Madura, Akulah Darahmu’,”
Humaniora, vol. 16. 3. (oktober 2004), 316.

21
di ranting-ranting roh nenek-moyangku.

Di ubun langit 'ku ucapkan sumpah:


-- Madura, akulah darahmu.29

Dalam puisi tersebut terlihat jelas kalau dia memang sangat memegang
teguh budaya kemaduraannya. Dalam ungkapan puisinya, Madura, akulah
darahmu, menyampaikan bahwa dia adalah darah yang mengalir pada setiap detak
nadi Madura, artinya dirinya adalah seorang yang lahir di Madura dan tidak malu
dan dengan bangga menjadi orang Madura—yang notabene dianggap kolot oleh
banyak kalangan elit—yang juga senantiasa tetap melestarikan budaya Madura.
Selain puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu, ada beberapa
puisinya yang nuansa puitika lebih kepada perjalanan spiritualitasnya. Salah
satunya adalah puisi yang berjudul Zikir.
Zikir
Alif, alif, alif!

Alifmu pedang di tanganku


Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan

Terang
Hingga aku
Berkesiur
Pada
Angin kecil
Takdir-Mu

Hompimpah hidupku, hompimpah matiku


Hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah
Hompimpah!
Kugali hatiku dengan linggis alifmu
Hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
Jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
Mengerang menyebut alifmu

29 https://mozaik.inilah.com/read/detail/2374143/d-zawawi-imrom-madura-akulah-darahmu,
diakses pada tanggal 24 Mei 2019, pukul 14.44.

22
Alif, alif, alif!
Alifmu yg Satu
Tegak dimana-mana
198030

Muktamar Sastra Indonesia


Muktamar sastra Indonesia pertama kali dilaksanakan di Situbondo pada
tanggal 18-20 Desember 2018 di Pondok Pesantren Salfiyah Syafi’iyah
Situbondo. Acara tersebut dihadiri oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim
Saifuddin, dan beberapa sastrawan Indonesia termasuk Mustofa Bisri (Gus Mus)
dan D. Zawawi Imron. Pada acara tersebut, dalam pidato pembukaan yang
disampaikan, Menag menilai Muktamar Sastra penting dan strategis. Muktamar
sastra dilaksankan untuk mencegah adanya saling mencaci antara umat Muslim.
Lantas kenapa harus dengan sastra, karena hati sastrawan selalu diliputi gagasan
kebudayaan dan tak akan punya waktu untuk saling fitnah.
Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan setidaknya
ada tiga alasan mengapa Muktamar Sastra 2018 menjadi penting di waktu yang
tepat. Pertama, kata Menag, pada 9 Desember 2018, Pemerintah, dalam hal ini
Presiden Joko Widodo menerima naskah Strategi Kebudayaan Indonesia dari Tim
perumus Kongres Kebudayaan Indonesia. Naskah tersebut diproyeksikan sebagai
usulan rancang bangun visi pemajuan kebudayaan Indonesia 20 tahun ke depan.
Alasan kedua, Menag memandang bahwa Muktamar Sastra 2018 tepat waktu,
yakni karena saat ini bangsa Indonesia sedang perlu lebih banyak mengasah rasa.
Perkembangan sosial politik, ditambah pesatnya media sosial akibat revolusi
industri digital, sedikit banyak telah mengubah cara dan perilaku beragama
sebagian dari masyarakat. Alasan ketiga, Muktamar Sastra penting karena ada
benang merah dan kesinambungan sejumlah peristiwa mutakhir yang
menggambarkan adanya keprihatinan sekaligus kepedulian warga masyarakat
terhadap masa depan kebudayaan dan kebangsaan. Permufakatan Yogyakarta yang
digelar Kemenag pada awal November juga telah menggambarkan kegelisahan
kaum agamawan dan budayawan atas menguatnya konservatisme dalam
30 http://www.nu.or.id/post/read/37327/puisi-puisi-d-zawawi-imron diakses pada tanggal 24 Mei
2019, pukul 15.45.

23
beragama. Pendidikan agama dianggap terlalu mengedepankan aspek-aspek lahir
(exoteric) dalam beragama, dan kurang membekali peserta didik dengan pesan-
pesan spiritual (esoteric); pendidikan saat ini juga dianggap amat memarginalkan
media sastra sebagai alat pembelajaran.

Daftar Pustaka

Shaleh, Badrus. 2017. “Sastrawan Santri: Study Etnografis Sastra di PP.


Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura,” Tesis.

“Makna Mendalam di Balik Lagu Lir-Ilir”, Merah Putih, 15 Pebruari 2016.


https://merahputih.com/post/read/makna-mendalam-di-balik-lagu-lir-ilir.

Budi Santosa, Muh. 2017. “Nilai dan Hakikat Tembang Lir-Ilir Karya Sunan
Kalijaga,” Skripsi.

“Tasawuf dan Para Tokoh Sufi di Nusantara”, Kompasiana, 16 April 2018.


https://www.kompasiana.com/fatihhusni/5ad3d68fab12ae0e903d0742/tas
awuf-dan-para-tokoh-sufi-di-nusantara.

Hasyim, Arrazy. “Teologi Ulama Tasawuf Nusantara”, Jurnal Pascasarjana UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta.

Fansuri, Hamzah. 1984. Penyair Sufi Aceh, Jakarta: Lotkala.

“Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya”, Komunitas Salihara (Kalam,


28/2016). http://salihara.org/kalam/back-issues/detail/hamzah-fansuri-
dan-syair-syair-tasawufnya

“Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya”, Komunitas Salihara (Kalam,


28/2016).

Anwar, Chairil. 2011. Aku Ini Binatang Jalan, Jakarta: Gramedia.

24
Tjahjono, Tengsoe. 2012. “Melawan Kekuasaan dengan Puisi, “ FBS, Uneversitas
Negeri Surabaya.

“Konfrontasi Puisi Wiji Thukul”, Tempo, 13-19 Mei 2013.

Putra, Candra Rahma Wijaya. 2014. “Cerminan Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul)
Karya Wiji Thukul: Kajian Sosiologi Sastra”, Kembara: Jurnal
Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengjarannya.

www.krupukcair.wordpress.com Page 14

Alek, Hendrik Yuda Wahyu. 2009. “Pemikiran Kritis WS. Rendra”, Skripsi, FISIP
Universitas Airlangga.

“Rendra Tertarik dengan Alquran”, dari laman


http://www.republika.co.id/berita/shortlink/67740, diakses 27 Mei 2019,
pukul 06.48.

“Puisi Terakhir WS Rendra Bikin Merinding Baca Wasiatnya”, dari laman:


http://www.dutaislam.com/2016/04/puisi-terakhir-ws-rendra-bikin-
merinding-baca-wasiatnya.html, diakses 12 Oktober 2017.

Nadjib, Emha Ainun. 2009. “Bulan Purnama Rendra”, Majalah Gatra Edisi
Khusus.

“Tuhan, Aku Cinta Padamu..” Puisi Terakhir Rendra, dari laman:


https://news.detik.com/berita/1179062/tuhan-aku-cinta-padamu-puisi-
terakhir-rendra.

“’Willy’”, Sebuah Kekaguman Iwan Fals pada WS Rendra, dari laman:


https://news.detik.com/berita/1179170/willy-sebuah-kekaguman-iwan-
fals-pada-ws-rendra.

25
Purwanto, Wachid Eko. “Puisi-Puisi Dalam Tadarus Karya Ahmad Mustofa Bisri
Suatu Kajian Semiotika Riffaterre”, Tesis.

http://www.sepenuhnya.com/2000/01/puisi-doa-rasulullah-saw.html.

Susanto, Teguh. 2004. “Kajian Sosiobudaya Kumpulan Sajak, ‘Madura, Akulah


Darahmu’,” Humaniora.

https://mozaik.inilah.com/read/detail/2374143/d-zawawi-imrom-madura-akulah-
darahmu.

http://www.nu.or.id/post/read/37327/puisi-puisi-d-zawawi-imron.

26

Anda mungkin juga menyukai