1
kepada Nabi Muhammad saw. memiliki bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam
Islam dan banyak diapresiasi dan hidup dalam keseharian dunia pesantren.
Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap memiliki kekuatan magis sehingga tak
jarang juga dibacakan sebagai doa untuk keperluan tertentu.
Selain literasi yang banyak digunakan di pesantren lebih banyak
menggunakan bahasa sastra, para kiai dan santri-santrinya pun tidak jarang yang
juga mendalami ilmu sastra, baik itu sastra Arab maupun sastra Indonesia.
Bahkan tidak jarang juga dari mereka yang menulis puisi, baik itu berbahasa
Arab atau Indonesia dengan tema-tema yang bernuansa Islami. Itulah yang
menjadi sebuah fenomena dalam sastra Indonesia mutakhir. Sastra sudah
mentradisi dan mengakar dalam keilmuan santri sejak lama dan sampai sekarang
sastra menjadi salah satu media pembelajaran baik di sekolah formal ataupun
non-formal.1
1 Badrus Shaleh, “Sastrawan Santri: Study Etnografis Sastra di PP. Annuqayah Guluk-guluk
Sumenep Madura,” Tesis, (UGM, 2017).
2 Al-Qur’an Kitab Sasta Terbesar sebuah judul buku yang merupakan edisi bahasa Indonesia yang
diterjemah dari disertasi M. Nur Khalis Setriawan yang berbahasa Jerman untuk meraih gelar
doktor di Orientalisches Seminar der Rheinischen Friendrich Bonn, Jerman.
2
dan para ulama sudah banyak berjasa dalam membantu umat Islam agar dengan
mudah bisa memahami kandungan isi al-Qur’an. Mulai dari pembukuan al-Qur’an
sampai cara memahami kandungan isi al-Qur’an. Beberapa ilmu ditulis menjadi
kitab, diantaranya kitab tafsir al-Qur’an, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantik (logika),
dan lain sebagainya.
Beberapa kitab juga ditulis oleh para ulama, mulai dari kitab tentang
syariat Islam yaitu kitab fiqh, kitab tentang akhlaq sampai kitab tetang aqidah
yaitu kitab-kitab tasawuf atau bisa juga disebut kitab tentang ketauhitan. Dari
kitab-kitab tersebut, tidak jarang para ulama juga menggunakan syair-syair Arab
untuk dijadikan bumbu dalam karangannya agar umat Islam merasa senang
mempelajarinya. Itulah bukti bahwa para ulama terdahulu sudah membudayakan
sastra dalam kehidupannya. Bahkan tradisi bersastra sudah menjadi kebiasaan
orang-orang Arab terdahulu sebelum Islam datang menjadi agama penyempurna
mereka.
Lir-Ilir
Lir-ilir, lir-ilir…
Tandure wis sumilir…
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar…
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi…
3
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro…
Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah
(pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat
untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping
Penafsiran secara garis besar, tembang atau syair Lir-Ilir mempunyai dua
makna yaitu: makna struktural dan makna simbolis. Makna struktural adalah
tahapan untuk mengetahu makna secara umum. Secara umum tembang Lir-Ilir
mempunyai nilai spiritual dan budaya.4
Secara spiritual syair atau tembang tersebut merupakan tahapan-tahapan
untuk menuju makrifat kepada Allah Saw. tahapan tersebut tergambar pada setiap
bait syair tersebut, mulai Bangunlah, bangunlah//panjatlah (pohon) belimbing
itu//biar licin dan susah tetaplah kau panjat//untuk membasuh
4 Muh. Budi Santosa, Nilai dan Hakikat Tembang Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga, Skripsi,
(Purwokerto, IAIN Purwokerto, 2017), v.
4
pakaianmu//Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping//Jahitlah,
benahilah untuk menghadap nanti sore//Ayo bersoraklah dengan sorakan iya.
Secara metaforis dari beberapa tingkatan tersebut, pertama, untuk menuju
maqam makrifat, di baris pertama Bangunlah-bangunlah, pada baris tersebut
sunan Kalijaga ingin menyampaikan bahwa dalam menuju makrifat harus
mempunyai niat yang teguh. Kedua, panjatlah (pohon) belimbing itu, dalam baris
tersebut yang menjadi simbol adalah belimbing. Di mana belimbing yang
mempunyai lima sudut atau sisi seperti bintang menggambarkan sholat lima
waktu dan rukun iman. Secara tersirat pada baris itu, selain kita harus mempunyai
niat yang teguh, kita harus menjaga sholat lima waktu dengan tepat waktu,
meskipun susah tetaplah berusaha, seperti yang tergambar di baris ketujuh, biar
licin dan susah tetaplah kau panjat. Sehingga dosa-dosa yang melekat dalam diri
kita terbasuh, seperti yang tergambar pada baris kedelapan dan sembilan, untuk
membasuh pakaianmu//Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian
samping. Ketiga, Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore, selain niat
yang teguh dan menegakkan sholat dengan tepat waktu untuk membersihkan
dosa-dosa atau kita kenal dengan taubat, pada baris kesepuluh itu menggambarkan
bahwa kita harus memperbaiki sifat-sifat buruk dan berjanji untuk tidak
mengulangi lagi sampai kita bisa merasakan kebahagiaan yang hakiki, seperti
yang tergambar pada bait terakhir, Ayo bersoraklah dengan sorakan iya.
Secara budaya, dalam syair tersebut ada beberapa baris yang maknanya
lebih tersirat atau bersifat metaforis, yang itu menunjukkan esensi dari isi tembang
Lir-ilir, yaitu Pancasila Budhis yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai
simbol untuk memahami ajaran-ajaran agama yang benar, hal ini juga
menunjukkan bahwa kebudayaan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam
untuk menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam diri seorang hamba Allah.5
Pada abad ke 17, setelah zaman walisongo kemudian muncullah para
ulama tasawuf diantaranya adalah, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Abdur
Rauf Singkel, dan Yusuf al-Makassari.6 Para ulama tersebut banyak memberikan
sumbangsih terhadap berkembangnya Islam di Nusantara dalam hal tasawuf.
5
Mereka berpandangan bahwa teologi sunni yang mereka anut tidak bertantangan
dengan ajaran kesufian yang mereka kembangkan. Mereka justru
mengembangkan spiritual melalui teologi Sunni sebagai pijakan awal dan
kontrol.7
Mereka mengembangkan ajaran kesufian menggunakan karangan-
karangan sastra. Seperti halnya Hamzah Fansuri seorang bapak sastra Melayu
yang waktu dan tempat lahirnya sampai sekarang masih merupakan teka-teki,
dalam sebagian bait puisinya yang berjudul tempatnya kapur di dalam katu:
7 Arrazy Hasyim, “Teologi Ulama Tasawuf Nusantara”, Jurnal Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (Academia Edu), 17.
6
Kayu dimetaforkan sebagai diri jasmani, kehangusannya disimbolkan
sebagai kefanaannya, sedangkan kapur adalah hakikat dari kayu. Barus
melambangkan diri rohani, hakikat yang tersembunyi di dalam diri jasmani.10
Begitu pula laut, adalah kata yang sering digunakan oleh Ibnu Arabi dan
Jalaluddin Rumi untuk dijadikan lambang sebagai dzat yang maha luas. 11 Secara
umum, Hamzah Fansuri menggambarkan bagaimana rasanya berada di keluasan
dunia makrifat, sampai dirinya sendiri merasa bukan siapa-siapa, melainkan hanya
hamba yang tak punya daya tanpa keagungan sang Mahbub.
7
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Maret 194312
Dalam puisi yang berjudul Aku, secara umum, tergambar jelas kalau
Chairil Anwar adalah penyair yang menggebu-gebu untuk mewujudkan segala
impiyannya, termasuk melawan penjajah dengan puisi-puisinya. Hal itu tergambar
pada bait keempat, Biar peluru menembus kulitku//Aku tetap meradang
menerjang. Dalam puisinya dia tidak hanya menggambarkan dirinya yang begitu
semangat dalam berjuang, tapi dalam salah satu puisinya yang lain dia juga
memberikan semangat perjuangan. Seperti yang dia tulis dalam puisi yang
berjudul Diponegoro
Diponegoro
12 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalan, (Jakarta: Gramedia, 2011), 17.
8
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Februari, 194313
Tuhanku
Dalam termangu
13 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalan, 9.
9
Aku masih menyebut namaMu
Tuhanku
Tuhanku
13 November 194314
Pada bait peratama, Tuhanku//Dalam termangu//Aku masih menyebut
namaMu. Chairil Anwar pada bait itu menunjukkan sisi keimanannya. Dia ingin
menyatakan bahwa mengingat Allah tidak hanya dilakukan ketika dia sholat,
bahkan ketika dia termangu pun masih berusaha mengingat Allah. Meskipun
mengingat-Nya itu masih begitu sulit, tapi dia berusaha dengan sungguh-sungguh
dengan mengingat bahkan dengan cara merenungi seluruh ciptaannya, seperti
yang dia ungkapkan pada bait kedua, Biar susah sungguh//mengingat Kau penuh
seluruh.
Pada bait ketiga, empat dan lima, cayaMu panas suci//tinggal kerlip lilin
di kelam sunyi//Tuhanku//aku hilang bentuk//remuk. Bait tersebut menunjukkan
bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Terlihat dia adalah seorang yang sangat tawaduk.
Dia mengungkapkan bahwa hanya Allah yang maha besar dan dia hanya hamba
yang tidak punya kekuatan apa-apa selain kekuatan dari-Nya, dia hilang bentuk,
remuk. Hanya Allah yang maha Suci dan hanya nur yang dia pancarkan dalam
10
hati setiap insan ini yang bisa membawa dia ke jalan yang benar atau jalan menuju
makrifat.
Pada bait terakhir dia mengungkapkan, aku mengembara di negeri
asing//Tuhanku//di pintuMu aku mengetuk//aku tak bisa berpaling. Bait tersebut
menunjukkan kalau Chairil Anwar adalah seorang yang dalam hidupnya selalu
ingin mendekatkan diri kepada Allah. Dia mengambara di negeri asing, bisa
diinterpretasikan kalau dia adalah seorang pengembara, mengembara dengan cara
lebih dalam memasuki relung-relung keimanannya untuk memantapkan batinnya
agar bisa lebih dekat kepada Allah.
Selain penyair Chairil Anwar, Indonesia juga memiliki penyair yang
semangat berjuang membela negara dengan puisi-puisinya. Dia menulis puisi
dengan tema-tema yang mengangkat tentang kaum tertindas dan termarjinalkan
dengan gaya dan latar belakang yang berbeda.15 Dia menyuarakan aspirasi kaum
tertindas. Dengan puisi-puisinya, dia melakukan perlawanan terhadap Orde baru.
Tulisannya menggugah semangat kaum-kaum tertindas. Widjhi Thukul, seorang
penyair yang berasal dari Surakarta dinyatakan hilang pada umur 34, dan sekarang
masih belum ditemukan jejaknya, entah kemana dia telah berlabuh, masih hidup
atau sudah bersatu dengan alam. lewat karya-karyanya mengorasikan perlawanan
terhadap rezim Orde Baru. Tulisannya menggugah semangat kaum-kaum
tertindas. Sastrawan asal Surakarta ini kemudian dinyatakan hilang di usia 34
tahun. Tak tahu, kini masih hidup atau telah bersatu dengan alam.
Pada suatu siang Agustus 1996, dia pamit kepada istrinya untuk pergi
bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini mengembara dari satu kota ke kota lain,
menghindar dari kejaran jenderal-jenderal di Jakarta yang marah-marah menuding
puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi,
bahkan setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang. Banyak
yang menduga dia menjadi korban penculikan dan pembunuhan di sekitar prahara
15 Tengsoe Tjahjono, “Melawan Kekuasaan dengan Puisi, “ FBS, Uneversitas Negeri Surabaya,
(Juni 2012), 49.
11
Mei 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan suatu
ketika akan kembali.16
Puisi Wiji Thukul menggambarkan adanya tekanan atau adanya suatu
pengekangan bagi Wiji sendiri dan kaum yang lemah. Pemerintah menindas
mereka yang lemah. Tekanan tersebut muncul dengan adanya pembatasan bacaan
dan kebebasan untuk bersuara demi bangsa Indonesia yang lebih baik.17 Wiji
Thukul membela kaum tertindas demi masyarakan Nusantara khususnya
Indonesia yang lebih baik, dan lebih khususnya umat Islam yang ada di Indonesia.
Secara umum puisi Wiji memang lebih kepada puisi-puisi sosial. Dia lebih
fokus terhadap perlawanan kepada pemerintah pada tahun 1998. Puisinya yang
begitu bergejolak telah meruntuhkan hati pemerintah dan membuat para kaum
tertindas lebih berani melawan kekuasaan presiden Suharto. Dia mengatakan
bahwa tindakan pemerintah pada saat itu, bukanlah tindakan yang dapat
memanusiakan manusia. Tindakan yang semena-mena membuat hatinya semakin
bergejolak untuk melawan dan tidak bisa diam. Hal ini tergambar dalam puisinya
yang (Tanpa Judul).
(Tanpa Judul)
kutrima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
17 Candra Rahma Wijaya Putra, “Cerminan Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul) Karya Wiji Thukul:
Kajian Sosiologi Sastra”, Kembara: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengjarannya, (Vol. 4
No. 1, Juni 2014), 12.
12
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
Indonesia, 11 Agustus 96
Tangga penulisan puisinya yaitu pada tahun 1996, di mana Wiji pada saat
itu memutuskan diri untuk pergi dari rumahnya, meniggalkan istri dan anak-
anaknya. Hal itu disebabkan karena kondisi persoalan Wiji dengan pemerintah
pada saat itu sangat memanas. Dia jadi buron pemerintah Orde Baru karena
pemerintah pemerintah menganggap gerakan yang dipimpin olehnya sangatlah
mengganggu keamanan negara. Dia harus melarikan diri karena puisi-puisinya
dianggap sebagai puisi yang beraroma konfrontasi terhadap kebijakan pemerintah
pada saat itu.
Pada bait pertama, kutrima kabar dari kampong//rumahku kalian
geledah//buku-bukuku kalian jarah. Pada bait tersebut, sangat tergambar kalau
memang pada waktu itu Wiji tidak ada di rumahnya. Tentunya dari bait tersebut
sangatlah tergambar jelas betapa tersiksanya seseorang yang harus jauh dari
keluarganya. Pada baris kedua dia mengatakan bahwa rumahku kalian geledah,
hal itu menggambarkan kalau kekuasaan rezim Orde Baru sangatlah kejam. Itulah
yang dia sebut tidak memanusiakan Manusia. Bahkan sampai buku-buku
bacaanya dirampas oleh mereka, para oknum-oknum di masa Orde Baru.
Selain Wiji Thukul, penyair yang dikenal dengan puisi-puisi sosialnya
adalah WS. Rendra. Dia adalah seorang penyair yang mengekspresikan puisi-
puisinya untuk mengajak orang kembali ke kehidupan. Dia mengajak orang untuk
menghayati makna kehidupan secara mendalam sebagai pencarian keseimbangan
antara atas-bawah, naluri-akal demensi individu, dan sosial, sampai kepada
dimensi baka atau ilahi. Dia juga mengajak seorang penyair bukan hanya seorang
seorang yang menulis puisi-puisi romantis tapi juga sebagai penghayat fenomena
kehidupan yang terjadi di sekelilingnya. Seperti dalam ungkapan puisi yang dia
tulis dalam puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong.
13
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian18
Pada kutipan bait puisi di atas bisa digambarkan bagaimana WS. Rendra
mengkritik para penyair salon yang hanya bersajak tentang anggur dan rembulan,
semetara mereka tidak peduli terhadap ketidak-adilan yang terjadi di sampingnya.
Para penyair yang hanya menulis puisi-puisi buat kekasihnya bukanlah penyair
yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat. Mereka tidak pernah ikut
membaca kedaan yang terjadi di sekelilingnya baik hal yang terjadi pada alam
atau masyarakat sosial.
Puisi-puisi sosial WS. Rendra banyak menuai kontroversial di mata
pemerintah, karena puisinya lebih banyak mengkritik keadaan pemerintahan pada
saat rezim Orde Baru. Dia juga banyak menggunakan puisinya sebagai jalan untuk
mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, dia pernah menolak
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah—yang direncanakan akan
menghabiskan biaya pembangunan Rp. 10,5 Milyar. Hal itu adalah salah satu
bentuk gerakan WS. Rendra bersama seorang pelopor Arif Budiman.19
Selain dia dikenal dengan puisi-puisi sosialnya, dia juga menulis puisi-
puisi spiritual pada kehidupan menjelang akhir hayatnya. Karena saking
menghayatnya WS. Rendra terhadap segala persoalan aspek kehidupan yang
terjadi di sekelilingnya, Cak Nun mengatakan dalam salah satu pidatonya bahwa
dia adalah seorang wali. Buku yang pernah terbit setelah akhir hayatnya adalah
Doa untuk Anak Cucu. Betapa sangat religius dia, dalam sebuah wawancara
dengan wartawan republika dia mengatakan:
“Saya menangis untuk masalah-masalah lain. Dulu saya pernah diminta
membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis,
18 www.krupukcair.wordpress.com Page 14
19 Hendrik Yuda Wahyu Alek, “Pemikiran Kritis WS. Rendra”, Skripsi, FISIP Universitas
Airlangga, 2009, 5.
14
terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau
membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan
pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada
agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau
mengenangkan Asmaul Husna”[1]20
WS Rendra, Depok 2006
Pada usianya yang ke 73, WS. Rendra mengakhiri hayatnya 6 Agustus
2009 karena komplikasi penyakit yang dia derita. Sebelumnya, dia sempat dirawat
di rumah sakit Harapan Kita dan sempat pulang dulu ke kediamannya di Depok.
Setelah beberapa hari di rumahnya dia kemudian dibawa ke rumah sakit Mitra
Keluarga di Depok, dan disanalah dia mengakhiri hayatnya. Masyarakat Indonesia
sangat kehilangan mendengar berita yang sangat menyedihkan itu, apalagi bagi
keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Indonesia telah kehilangan putra bangsanya
yang sangat berharga. Akan tetapi terlepas dari semua itu, dari beberapa karya dan
buah pemikirannya yang tersebar di nusantara, dia terasa masih ada sampai saat
ini. Sehingga itu semua bisa jadi pelajaran dan refrensi bagi generasi bangsa
Indonesia.
Rendra adalah seorang muallaf. Dia hijrah dari agama Kristen Katolik ke
agama Islam. Sebagaimana lazimnya seorang muallaf, dia menganut agama Islam
dengan sungguh-sungguh serius, yang dia tunjukkan pada cara berpikir, prilaku,
dan puisi-puisinya, dan tentu saja dengan pemahaman yang mendalam pula.
Rendra banyak berbicara mengenai Islam sambil mengutip ayat-ayat Al-Quran
beserta maknanya.
Semenjak dia pindah agama, sikap dan prilakunya sangat berubah total.
Setiap harinya dia sholat lima waktu dan tidak mengonsumsi alkohol dan daging
Babi, tapi dia tidak suka pada hal-hal yang berbau mistis. Dari perubahan sikap
dan kepribadiannya, seringkali nafas-nafas keislaman yang ada dalam batinnya
seringkali tertuang dalam puisi-puisinya. Seperti halnya tentang ujian, titipan dari
Allah, hubungan batin antara individu dengan Allah, syukur, keadilan Allah, dan
konsep inti dari ajaran Islam, yaitu keberserahdirian. Semua lengkap termaktub
15
dalam puisinya yang diciptakannya ketika sedang sakit di pembaringan menjelang
akhir hayat hidupnya.
Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-
Nya ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-
Nya?
Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu musibah,
kusebut itu ujian,
kusebut itu petaka,
kusebut itu apa saja …
Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah derita …
16
Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku …
Betapa curangnya aku,
Kuperlakukan Dia seolah “Mitra Dagang” ku dan bukan sebagai
“Kekasih”!
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan-Nya
yang tidak sesuai dengan keinginanku …
Duh Allah …
Semoga manfaat
Sahabatmu…”21
17
Allah yang tunggal, yang satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya.
Wahid itu Allah yang manunggal, yang menyatu, yang integral, yang
merendahkan diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji’ Meledak tangis Rendra
dalam rasa dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak
dengan dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang
diakhiri dengan kalimat, ‘Tuhan, aku cinta pada-Mu.’22
Puisi yang dimaksud Emha dalam kesaksiannya itu diperlihatkan oleh
pihak keluarga di rumah duka di Bengkel Teater, Citayam pada tanggal 7 Agustus
2009. Berikut ini adalah teks lengkap dari puisi terakhir Si Burung Merak yang
ditulis tangan oleh Rendra sendiri:
“Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
31 Juli 200923
22 Emha Ainun Nadjib, “Bulan Purnama Rendra”, Majalah Gatra Edisi Khusus, terbit 13 Agustus
2009.
18
Masih menurut kesaksian Emha, setelah puisi tersebut tercipta, Rendra
sempat pulang ke rumah karena keadaannya membaik. Emha menafsirkan bahwa
keinginannya dalam bait puisi tersebut terwujud, yaitu “Aku pengin
membersihkan tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam.
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu.”
Rendra kemudian dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas
kesembuhannya. 24
Rendra memang telah wafat, tapi jiwanya masih “hidup” di sekeliling kita.
Iwan Fals, musisi legendaris Indonesia, pernah membuat sebuah lagu tentang WS
Rendra yang berjudul “Willy” yang dirilis dalam album “Ethiopia” tahun 1986.
Willy adalah panggilan akrab WS Rendra di lingkungan teman-teman dekatnya.
Liriknya menggambarkan kekaguman sekaligus kekangenan Iwan Fals pada sosok
Rendra yang memiliki kepedulian tinggi terhadap rakyat kecil.25Salam hormat
untuk Si Burung Merak. (PH).
19
sekitarnya. Sedangkan Raedu Basha, seorang penyair santri, puisinya lebih kental
dengan nilai-nilai kepesantrenan.
Mustofa Bisri, Seorang kiai dan pengasuh Pondok Pesantren Rembang
sekaligus penyair yang dikenal dengan puisi yang khas dengan nilai-nilai
keislaman. Selain dikenal dengan puisi-puisi bernuansa Islam, dia juga dikenal
dengan pembacaan puisinya. Dalam antologi yang dia terbitkan dengan judul
Tasdarus, Gus Mus lebih banyak mengangkat tema-tema ketauhidan, dimana
dalam antologi tersebut, ada tiga macam ketauhidan, yaitu tauhid rububiyah,
tauhid mulkiyah, dan tauhid ilahiyah.26 Seperti yang dia tulis dalam puisinya yang
berjudul, Doa Rasulullah Saw.
Doa Rasulullah Saw
Ya Allah ya Tuhanku
AmpunanMu lebih kuharapkan
daripada amalku
rahmatMu lebih luas
daripada dosaku
Ya Allah ya Tuhanku
Bila aku tak pantas
mencapai rahmatMu
RahmatMu pantas mencapaiku
Karena rahmatMu mencapai apa saja
Dan aku termasuk apa saja
Ya Arhamarrahimun!
141527
Pada puisi tersebut, Mustofa Bisri, yang lebih dikenal dengan Gus Mus,
ingin menggambarkan bahwa Rahman dan Rahim Allah itu lebih luas dari amal
yang kita kerjakan di dunia. Amal kita takkan pantas mencapai rahmat-Nya tapi
dengan rahmat-Nya segalanya bisa dicapai termasuk Rahman dan Rahim-Nya.
D. Zawawi Imron, yang dikampungnya lebih dikenal dengan seorang kiai
dan seorang dai yang selalu berceramah dari kampong ke kampong, puisinya lebih
kental dengan budaya Madura. Dengan gelar penyair celurit emas, dia juga
26 Wachid Eko Purwanto, “Puisi-Puisi Dalam Tadarus Karya Ahmad Mustofa Bisri Suatu Kajian
Semiotika Riffaterre”, Tesis.
20
dikenal sebagai seorang budayawan Madura. Salah satu antologi yang pernah dia
terbitkan berjudul Madura Akulah Darahmu. Dalam antologi tersebut lebih
banyak menggunakan simbol-simbol yang banyak digunakan oleh penyair-penyair
sufi sebelumnya seperti kata “burung”. Simbol burung banyak digunakan dalam
puisinya yang berjudul In Memoriam Seorang Nelayan Tua, Sajak Burung Gagak,
Tembang Alam, dan Seekor Burung Rahim. 28 Termasuk salah satu puisi yang ada
dalam antologi tersebut dan berjudul Madura Akulah Darahmu.
Madura, Akulah Darahmu
Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling di atas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akan layu
dan aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan air matamu.
Di sini
perkenankan aku berseru:
-- Madura, engkaulah tangisku.
21
di ranting-ranting roh nenek-moyangku.
Dalam puisi tersebut terlihat jelas kalau dia memang sangat memegang
teguh budaya kemaduraannya. Dalam ungkapan puisinya, Madura, akulah
darahmu, menyampaikan bahwa dia adalah darah yang mengalir pada setiap detak
nadi Madura, artinya dirinya adalah seorang yang lahir di Madura dan tidak malu
dan dengan bangga menjadi orang Madura—yang notabene dianggap kolot oleh
banyak kalangan elit—yang juga senantiasa tetap melestarikan budaya Madura.
Selain puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu, ada beberapa
puisinya yang nuansa puitika lebih kepada perjalanan spiritualitasnya. Salah
satunya adalah puisi yang berjudul Zikir.
Zikir
Alif, alif, alif!
Terang
Hingga aku
Berkesiur
Pada
Angin kecil
Takdir-Mu
29 https://mozaik.inilah.com/read/detail/2374143/d-zawawi-imrom-madura-akulah-darahmu,
diakses pada tanggal 24 Mei 2019, pukul 14.44.
22
Alif, alif, alif!
Alifmu yg Satu
Tegak dimana-mana
198030
23
beragama. Pendidikan agama dianggap terlalu mengedepankan aspek-aspek lahir
(exoteric) dalam beragama, dan kurang membekali peserta didik dengan pesan-
pesan spiritual (esoteric); pendidikan saat ini juga dianggap amat memarginalkan
media sastra sebagai alat pembelajaran.
Daftar Pustaka
Budi Santosa, Muh. 2017. “Nilai dan Hakikat Tembang Lir-Ilir Karya Sunan
Kalijaga,” Skripsi.
24
Tjahjono, Tengsoe. 2012. “Melawan Kekuasaan dengan Puisi, “ FBS, Uneversitas
Negeri Surabaya.
Putra, Candra Rahma Wijaya. 2014. “Cerminan Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul)
Karya Wiji Thukul: Kajian Sosiologi Sastra”, Kembara: Jurnal
Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengjarannya.
www.krupukcair.wordpress.com Page 14
Alek, Hendrik Yuda Wahyu. 2009. “Pemikiran Kritis WS. Rendra”, Skripsi, FISIP
Universitas Airlangga.
Nadjib, Emha Ainun. 2009. “Bulan Purnama Rendra”, Majalah Gatra Edisi
Khusus.
25
Purwanto, Wachid Eko. “Puisi-Puisi Dalam Tadarus Karya Ahmad Mustofa Bisri
Suatu Kajian Semiotika Riffaterre”, Tesis.
http://www.sepenuhnya.com/2000/01/puisi-doa-rasulullah-saw.html.
https://mozaik.inilah.com/read/detail/2374143/d-zawawi-imrom-madura-akulah-
darahmu.
http://www.nu.or.id/post/read/37327/puisi-puisi-d-zawawi-imron.
26