Anda di halaman 1dari 12

TRADISI MAULID

Pengertian dan Sejarah Singkat


Maulid berasal dari Bahasa Arab, ‫ مولد‬yang bermakna kelahiran (Mashdar Mim),
tempat kelahiran (Isim Makan), dan waktu kelahiran (Isim Zaman). Maulid Nabi berarti
tempat dan waktu kelahiran Nabi. Kemudian kata tersebut menjadi sebuah istilah yang
diartikan dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Hingga saat ini, maulid masih menjadi tradisi umum di kalangan mayoritas umat
Islam di Indonesia. Eksistensinya terus dipertahankan dan menjadi salah satu syiar
keislaman. Bahkan, tanggal yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw
telah ditetapkan sebagai hari lbur Nasional yang ditandai dengan warna merah.
Namun, sebagai bagian dari tradisi, pertanyaan yang mungkin muncul adalah, sejak
kapan maulid itu ada? Seperti dituturkan oleh Abdullah al-Harari (w. 2008 M) di dalam kitab
al-Rawa’ih al-Zakiyah fi Maulid Khair al-Bariyah, Maulid baru ada pada masa-masa awal
abad ke-7 H yang diadakan oleh Raja Arbil yang merupakan saudara ipar Salahuddin al-
Ayubi, Pendiri Dinasti Ayubiah, yaitu Mudhzaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin
Baktakin (w. 6 30 H) yang dikenal alim, bertakwa dan pemberani. Saat itu ia menghadirkan
banyak ulama yang berasal dari kalangan ahli hadits dan kaum sufi. Ia juga mengeluarkan
300.000 Dinar untuk ia sedekahkan dengan ikhlas.
Menurut sumber yang lain, Maulid sudah diadakan pada masa Dinasti Fathimiah,
yaitu pada abad ke-4 H. Akan tetapi pada masa ini, selain Maulid Nabi, juga diadakan Hari
Asyura, Maulid Hasan, Maulid Husain, Maulid Fathimah dan sebagainya hingga kental
dengan nuansa Syiah. Perayaan Maulid ini sempat dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy
dan kembali diperbolehkan pada masa Amir li Ahkamillah pada 524 H. Kemudian setelah
Dinasti Fathimiah runtuh dan Dinasti Ayubiyah berdiri, maulid diadakan lagi oleh Salahuddin
al-Ayubi atas gagasan saudara iparnya, Mudhzaffar, dan kali ini, maulid yang diadakan hanya
maulid Nabi Saw dengan tujuan meningkatkan semangat juang umat Islam.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Salahuddin al-Ayubi kemudian mendapatkan
apresiasi positif dari banyak ulama. Meskipun pada awalnya ditolak dengan alasan
menghidupkan kembali maulid ala dinasti fathimiah, namun dengan argumentasi, bahwa
maulid itu diadakan hanya semata-mata sebagai syiar, bukan kegiatan ritual, maka maulid
diterima. Saat itu Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad.
Kemudian dengan persetujuan dari khalifah al-Nashir, maka pada saat ibadah haji bulan Zul
Hijjah 579 H / 1183 M, Sultan Salahuddin al-Ayyubi yang mendapatkan otoritas kekuasaan
atas Dua Tanah Haram, Mekah dan Madinah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah
haji yang datang dari berbagai belahan dunia agar jika mereka kembali ke kampung halaman
masing-masing sesepatnya menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada,
bahwa mulai tahun 580 H / 1184 M, tanggal 12 Rabiul Awwal dirayakan sebagai hari maulid
nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada maulid yang pertama kali diadakan itu, Sultan Salahuddin mengadakan sebuah
sayembara, yaitu penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang
seindah mungkin. Ia mengundang banyak ulama dan sastrawan untuk mengikuti sayembara
tersebut, dan yang menjadi pemenangnya adalah Syekh Ja’far al-Barzanji. Sampai saat ini,
karya syekh Ja’far al-Barzanji yang dikenal dengan kitab Barzanji sering dibaca masyarakat di
kampung-kampung dalam perayaan maulid, selain kitab Burdah yang ditulis oleh Imam Al-
Bushiri (w. 695 H) dan kitab Diba’ yang ditulis oleh Said Abdurrahman al-Diba’i (w. 994 H).
Sedangkan di Indonesia, maulid dikembangkan oleh wali songo sebagai media
dakwah dalam upaya islamisasi masyarakat dengan berbagai kegiatan yang menarik agar
mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, karena dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat, berarti mereka masuk Islam. Dalam bahasa Jawa, dua kalimat syahadat itu oleh
orang Jawa dilafalkan dengan Saketan atau Syahadatain dalam bahasa Arab. Sebagai
lambang dua kalimat syahadat, Sunan Kalijaga membuat dua buah gamelan yang dinamai
Gamelan Kiai Nogowilogo dan Gunturmadu yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada
waktu perayaan Maulid Nabi.
Pada masa-masa berikutnya hingga saat ini, tradisi maulid semakin meluas dan
diapresiasi oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Banyak di antara mereka yang ikut
melaksanakan maulid, baik secara kelembagaan maupun secara personal. Tidak hanya di
bulan Rabi’ul-Awal tanggal 12, melainkan berlanjut hingga tanggal-tanggal berikutnya,
bahkan sampai bulan Rabi’uts-Tsani. Kegiatan yang dilaksakan di dalamnyapun semakin
bervariasi, seperti lomba baca Salawat dan sebagainya,

Tujuan
Tujuan utama dari Maulid adalah mengekspresikan kegembiraan dan kecintaan
kepada Nabi Muhammad Saw, karena beliau adalah orang yang diutus oleh Allah SWT
sebagai rahmat untuk alam semesta. Tujuan yang kedua adalah mewujudkan rasa syukur
kepada Allah SWT atas terutusnya beliau, karena melalui beliau manusia bisa mengenal-
Nya, dan keimanan kepada-Nya bertambah. Dan, tujuan ketiga adalah mengambil pelajaran
dari kisah-kisah perjuangan beliau. Tujuan yang lain adalah bertawasul dan bertabaruk
melalui Nabi Muhammad Saw.

Muatan
Berikut adalah beberapa rangkaian seremonial yang biasa dilaksanakan di dalam
maulid Nabi, dan Rangkaian seremonial tersebut semunya bertema tentang Nabi
Muhammad Saw:
1. Pembuka dengan pembacaan Surat al-Fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada
Nabi Saw, Para Sahabat beliau, keluarga beliau, dan seterusnya;
2. Pembacaan Kitab Maulid yang dilanjutkan dengan salawat Julus dan Qiyam;
3. Ceramah tentang Nabi Muhammad Saw oleh seorang dai
4. Penghidangan makanan

Manfaat
Melalui pelaksanaan maulid yang diadakan, ada manfaat yang bisa didapatkan, yaitu:
1. Sebagai Media untuk belajar, yaitu melalui ceramah dan pembacaan kitab Maulid
2. Sebagai Media efektif untuk berbagi, yaitu melalui makanan yang dibagikan atau
dihidangkan
3. Sebagai Media kebersamaan yang bernilai silaturrahim

Etika
Etika yang berlaku dalam maulid adalah etika umum sehari-hari. Namun ketika
Salawat disenandungkan, dianjurkan untuk berdiri.

Landasan
Meskipun maulid sudah menjadi tradisi yang diterima oleh mayoritas umat Islam,
namun ada sebagian kalian yang terus memandangnya sebagai kesesatan. Bahkan ada yang
menganggap nya sebagai tasyabuh dengan umat Nasrani yang merayakan hari kenaikan Isa
al-Masih. Alasan mereka, karena maulid tidak pernah diadakan oleh Rasulullah Saw sendiri,
bahkan oleh generasi sahabat, tabiin hingga golongan salaf. Maulid baru muncul jauh
setelah itu, yaitu pada abad ke-7 H. Menurut mereka, maulid termasuk bid’ah yang
disabdakan oleh Nabi Saw:
ٌ‫ضاَل لَة‬ َ ‫ َو ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬،ٌ‫ فَِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعة‬،‫ور‬ ‫وَِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا ِ ُأْل‬
ِ ‫ت ا ُم‬
“Jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena setiap perkara baru yang di ada-
adakan merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Daud).
Namun, sebagaimana dikutip oleh Abdullah al-Harari, Imam Nawawi memberikan
komentar terhadap hadits itu dengan ucapakannya, “Sabda Nabi Saw ‘dan setiap bid’ah
adalah kesesatan’ adalah kalimat general spesifik. Maksudnya adalah mayoritas bid’ah.”
Kemudian Imam Nawawi mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima, yaitu wajib, sunah,
makruh, mubah dan haram. Lantas Imam Nawawi berkata, “Kalau apa yang telah aku
paparkan sudah dimengerti, pasti diketahui, bahwa kalimat hadits itu adalah general
spesifik. Begitu juga hadits-hadits yang serupa.”
Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi diperkuat oleh perkataan Umar ibn Khattab
mengenai salat Tarawih,
‫ت ْالبِ ْدعَة‬
ِ ‫نِ ْع َم‬
“Ini adalah sebagus-bagus bid’ah.”
Kata ‘Setiap’ tidak menghalangi keberadaan isinya yang bisa dispesifikasikan, seperti
firman Allah SWT:
‫تُ َد ِّم ُر ُك َّل َش ْي ٍء‬
“Angin itu menghancurkan segala sesuatu...” (QS. Al-Ahqaf: 25).
Dengan demikian, berarti bid’ah masih bisa dipilah, yaitu Hasanah (Bagus/Positif)
dan Sayi’ah (Negatif). Pemilahan ini sejalan dengan sabda Nabi Saw:
‫ َو َم ْن َس َّن فِي‬،‫ُور ِه ْم َش ْي ٌء‬ ‫ُأ‬ َ ُ‫ ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬،ُ‫ َوَأجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َده‬،‫ فَلَهُ َأجْ ُرهَا‬،ً‫َم ْن َس َّن فِي اِإْل ْساَل ِم ُسنَّةً َح َسنَة‬
ِ ‫ص ِم ْن ج‬
ِ ‫ص ِم ْن َأوْ َز‬
‫ار ِه ْم َش ْي ٌء‬ َ ُ‫ ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬،‫ َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه‬،ً‫اِإْل ْساَل ِم ُسنَّةً َسيَِّئة‬
“Siapapun yang membuat tradisi baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala
orang-orang yang mempraktekkannya sepeninggalnya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun; dan siapapun yang membuat tradisi jelek di dalam Islam, maka ia pasti
mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mempraktekkannya sepeninggalnya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Dan termasuk bid’ah hasanah adalah Maulid, sebagaimana dikatakan oleh Jalaluddin
al-Suyuthi di dalam kitab Husn al-Maqashid fi Amal al-Maulid,
‫فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع األول ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل‬
‫ ورواية‬،‫ وقراءة ما تيسر من القرءان‬،‫ أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس‬:‫يثاب فاعله أو ال؟ والجواب عندي‬
‫األخبار الواردة في مبدإ أمر النبي صلى هللا عليه وسلم وما وقع في مولده من اآليات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون‬
‫من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى هللا عليه وسلم‬
.‫وإظهار الفرح واالستبشار بمولده الشريف‬
“Ada pertanyaan yang muncul tentang praktek maulid Nabi yang dilakukan pada Bulan
Rabi’ul-Awal, hukumnya bagaimana dari sudut pandang syariat? Apakah itu merupakan
sesuatu yang terpuji atau tercela? Apakah pelakunya bisa mendapatkan pahala atau tidak?
Menurutku, bahwa dasar Maulid yang merupakan berkumpulnya orang-orang, pembacaan
ayat-ayat al-Qur’an yang mudah, penyampaian berbagai riwayat mengenai masa awal Nabi
Saw, dan berbagai tanda yang terjadi pada waktu kelahirannya, kemudian ada makanan
yang dihidagkan yang mereka makan bersama, lalu mereka pulang, tidak lebih dari itu, itu
termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya bisa mendapatkan pahala, karena isinya adalah
mengagungkan kedudukan Nabi Saw, mengekspresikan kegembiraan dan rasa bahagia
dengan kelahiran beliau.”
Dari komentar al-Suyuthi ini mengenai tradisi maulid sangat jelas, bahwa ia
menilainya sebagai bid’ah hasanah berdasarkan tujuan dan muatannya. Ia tidak serta merta
menilainya sebagai kesesatan hanya karena wujudnya yang baru. Ia lebih menitikberatkan
pada tujuan dan muatannya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Syekh Ali Jum’ah di dalam kitab al-Bayan Lima
Yusyghilu al-Adzhan. Menurutnya, perayaan maulid termasuk amal saleh yang paling utama
karena merupakan ekspresi kebahagiaan dan kecintaan kepada Nab Saw. Kemudian ia
mengutip hadits yang berisi tentang kecintaan kepada Nabi Saw.
َ‫اس َأجْ َم ِعين‬
ِ َّ‫ َحتَّى َأ ُكونَ َأ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬،‫الَ يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم‬
“Salah seorang di antara kalian tidak beriman kecuali kalau aku lebih dicintai olehnya
daripada orang tua dan anaknya serta seluruh manusia.” (HR. Bukhari).
Ali Jum’ah juga menuturkan, bahwa sejak abad ke-4 dan ke-5, ulama salaf yang saleh
secara bertahap telah mengadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan
beragam amal saleh, seperti membagikan makanan, membaca al-Qur’an dan zikir, dan
menyenandungkan syair-syair dan pujian-pujian mengenai Rasulullah Saw. Hal itu telah
ditegaskan oleh banyak ahli sejarah, seperti al-Hafidhz Ibnul Jauzi, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar
dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Adapun mengenai kitab maulid yang biasa dibacakan di dalam perayaan maulid dan
sebagian isinya dianggap sebagai riwayat palsu, yaitu riwayat tentang ke-pertama-an
penciptaan Nur Muhammad, Abdullah al-Harari yang dijuluki sebagai Pendekar Aswaja
berkata di dalam bukunya, Risalah Fi Buthlan Da’wa Awwaliyah al-Nur al-Muhammadi,
‫من المفاسد التي انتشرت بين بعض العوام ما درج عليه بعض قراء المولد النبوي الشريف وبعض المؤذنين وغيرهم من‬
‫ وما ذاك إال النتشار حديث جابر الموضوع بينهم وهو أول ما خلق هللا نور نبيك يا جابر‬،‫ إن محمدا أول المخلوقات‬:‫قولهم‬
“Termasuk kerusakan yang merebak di tengah-tengah sebagian masyarakat awam adalah
penyisipan yang dilakukan oleh sebagian pembaca kitab Maulid Nabi yang mulia, sebagian
orator dan yang lain, yaitu ucapan mereka, bahwa Muhammad adalah makhluk pertama,
dan yang menjadi biang hal itu tiada lain adalah popularitas hadits palsu yang bersumber
dari sahabat Jabir di kalangan mereka, yaitu hadits, ‘Sesuatu yang Allah ciptakan pertama
adalah cahaya Nabimu, wahai Jabir.’”
Lantas al-Harari menyitir ayat al-Qur’an dan beberapa hadits yang dinilai saheh dan
berseberangan dengan hadits Jabir itu. Ia juga menuturkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Syekh Abdullah al-Ghumari tentang hadits itu yang sering dihubung-hubungkan dengan
kitab Mushannaf Abdurrazzaq, tapi setelah dilakukan penelitian, ternyata hadits itu tidak
ada di dalam Mushannaf Abdurrazaq. Artinya, bahwa hadits itu memang palsu.
Hal senada juga dikemukakan oleh Syekh Ali Jum’ah di dalam kitab Al-Bayan Lima
Yusyghilu al-Adzhan. Akan tetapi Syekh Ali Jum’ah berkata setelah mengutip beberapa
pendapat ulama yang menilai palsu hadits itu, “Makna hadits itu bisa saja benar, yaitu kalau
yang dimaksud dengan ke-pertama-an di situ adalah ke-pertama-an dalam cahaya. Hal itu
sangat mungkin. Dan lagi, bahwa ke-pertama-an itu bersifat general. Ada ke-pertama-an
Qalam (pena), Arsy, dan sebagainya berdasarkan perbedaan yang masyhur.
Ali Jum’ah juga menuturkan kutipan al-Ajaluni di dalam kitab Kasyf al-Khafa’, bahwa
ke-pertama-an pada setiap sesuatu adalah kalau dibandingkan dengan sesuatu yang sama.
Artinya, bahwa cahaya yang Allah ciptakan pertama kali adalah cahaya Nabi Muhammad
Saw.
Di bagian akhir masalah itu, Ali Jum’ah berkata,
‫ ومعناه يمكن أن يكون صحيحا كما بيناه‬،‫فالحديث موضوع وال يصح نسبته إلى النبي صلى هللا عليه وسلم‬
“Intinya, hadits itu palsu dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Saw, namun maknanya
bisa saja benar, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Sedangkan tentang tawasul dan tabaruk yang menjadi salah satu tujuan dari maulid,
di dalam kitab al-Inshaf fi Ma’rifati al-Rajih min al-Khilaf disebutkan,
‫صلَّى‬ َ - ‫ ْال َمرُّ و ِذيُّ يَتَ َو َّس ُل بِالنَّبِ ِّي‬:‫ قَا َل اِإْل َما ُم َأحْ َم ُد‬. ُّ‫ يُ ْستَ َحب‬:‫ َوقِي َل‬،‫ب‬ ِ َ‫يح ِم ْن ْال َم ْذه‬ِ ‫ص ِح‬ َّ ‫ َعلَى ال‬،‫ح‬ ِ ِ‫يَجُو ُز التَّ َو ُّس ُل بِال َّر ُج ِل الصَّال‬
ِ ‫ َوالتَّ َو ُّس ُل بِاِإْل ي َم‬:‫ال‬
‫ان‬ َ َ‫ِّين َك َم ْسَألَ ِة ْاليَ ِمي ِن بِ ِه ق‬
ِ ‫ َو َج َعلَهُ ال َّش ْي ُخ تَقِ ُّي الد‬،‫ب َو َغي ِْر ِه‬ ِ ‫فِي ُدعَاِئ ِه َو َج َز َم بِ ِه فِي ْال ُم ْستَوْ ِع‬- ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
:‫ور بِهَا فِي َحقِّ ِه‬ ‫ْأ‬ ْ ْ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ ‫ َونَحْ ِو ِه ِم َّما هُ َو ِم ْن فِ ْعلِ ِه وْ ْف َع‬،‫ َوبِ ُدعَاِئ ِه َو َشفَا َعتِ ِه‬،‫صاَل ِة َوال َّساَل ِم َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫بِ ِه َوطَا َعتِ ِه َو َم َحبَّتِ ِه َوال‬
ِ ‫ال ال ِعبَا ِد ال َم ُم‬
َ َ ْ َ ُ ‫هَّللا‬ ُ َّ َ َ ‫ْأ‬ ْ َ ْ ٌ ‫َم ْشرُو‬
.)35 :‫ور بِهَا فِي قوْ له تَ َعالى "اتقوا َ َوا ْبتَغوا ِإل ْي ِه ال َو ِسيلة" (المائدة‬ ِ ‫ َوه َُو ِم ْن ال َو ِسيل ِة ال َم ُم‬،‫ع إجْ َماعًا‬
“Tawasul melalui orang saleh menurut pendapat yang saheh adalah boleh, dan ada yang
mengatakan ‘dianjurkan.’ Imam Ahmad berkata, ‘Al-Marrudzi bertawasul melalui Nabi Saw
di dalam doanya dan memastikannya di dalam al-Mustau’ab dan lainnya.’ Sedangkan Syekh
Taqiyuddin memposisikan tawasul sama dengan sumpah dengan Nabi Saw. Ia berkata,
‘Tawasul melalui keimanan, ketaatan, kecintaan, salawat dan salam kepada Nabi Saw, juga
melalui doa dan syafaatnya dan sesuatu yang semisal di antara perbuatannya atau
perbuatan para hamba yang memang diperintahkan mengenainya adalah disyariatkan
menurut konsensus ulama, dan itu termasuk ‘Wasilah’ yang diperintahkan di dalam firman
Allah SWT, ‘Bertakwalah kalian kepada Allah, dan carilah wasilah kepada-Nya.’ (QS. Al-
Ma’idah: 35).”
Dan tentang berdiri ketika mengikuti bacaan maulid, Muhammad Syatha al-Dimyathi
berkata di dalam kitab I’anah al-Thalibin,
‫جرت العادة أن الناس إذا سمعوا ذكر وضعه صلى هللا عليه وسلم يقومون تعظيما له صلى هللا عليه وسلم وهذا القيام‬
.‫ وقد فعل ذلك كثير من علماء األمة الذين يقتدى بهم‬.‫مستحسن لما فيه من تعظيم النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ فقد حكى بعضهم أن اإلمام السبكي اجتمع عنده كثير من علماء عصره فأنشد منشده قول الصرصري‬:‫قال الحلبي في السيرة‬
:‫في مدحه صلى هللا عليه وسلم‬
‫ على ورق من خط أحسن من كتب‬# ‫قليل لمدح المصطفى الخط بالذهب‬
‫ قياما صفوفا أو جثيا على الركب‬# ‫وأن تنهض األشراف عند سماعه‬
‫ فحصل أنس كبير في ذلك المجلس‬،‫فعند ذلك قام اإلمام السبكي وجميع من بالمجلس‬
.‫وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك مستحسن‬
“Sudah menjadi kebiasaan, bahwa orang-orang mendengar kelahiran Nabi Muhammad Saw
disebut-sebut, mereka akan berdiri sebagai bentuk penghormatan bagi beliau. Berdiri
seperti itu dinilai bagus karena bertujuan mengagungkan Rasulullah Saw. Hal itu telah
dipraktekkan oleh banyak ulama terkemuka panutan umat.
Al-Halabi di dalam Sirah-nya menuturkan dengan mengutip cerita sebagian ulama, bahwa
pernah ada banyak ulama yang berkumpul bersama al-Subki, lantas biduannya
mendendangkan ucapan al-Sharshari yang memuji Nabi Muhammad Saw,
“Sedikit pujian untuk Rasulullah SAW yang ditulis dengan tinta emas pada selembar kertas
adalah lebih bagus daripada banyak buku; begitu juga orang-orang mulia terkemuka kalau
berdiri dengan berbaris atau berdiri di atas lutut pada saat mendengar nama beliau.”
Lalu saat itu juga, imam al-Subki dan semua orang yang berada di majlisnya berdiri hingga
ada kebahagiaan yang besar yang didapatkan di majlis itu.
Dan praktek maulid serta berkumpulnya manusia untuk itu juga dinilai bagus.”

Kesimpulan
Berdasarkan paparan dalam landasan di atas, bisa disimpulkan, bahwa tradisi maulid
termasuk tradisi positif legal atau bid’ah hasanah yang bisa mendatangkan pahala.
TRADISI HAUL

Pengertian dan Sejarah Singkat


Haul berasal dari Bahasa Arab , ‫ حول‬yang secara kebahasaan berarti ‘satu tahun,’
‘daya’ dan ‘sekitar.’ Dalam bidang fikih, haul menjadi salah satu syarat harta yang wajib
dizakati dengan arti, harta itu sudah mencapai hitungan kalender satu tahun penuh.
Kemudian, kata ‘Haul’ diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan perluasan arti, yaitu
peringatan tahunan kematian (Detah Anniversary).
Haul dengan arti peringatan satu tahun kematian sudah menjadi tradisi yang
mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Biasanya, yang di-haul-kan adalah orang tua
atau tokoh agung yang dipandang berjasa besar dalam kehidupan mereka. Ada yang
mengadakan haul secara besar-besaran dan terbuka untuk umum, dan ada yang
mengadakannya secara sederhana dan terbatas pada orang-orang yang diundang.
Sedangkan dari segi tempat haul diadakan, ada yang diadakan di rumah-rumah, di lapangan
yang luas, atau bahkan di dekat area kuburan.
Mengenai kapan awal mula tradisi haul diadakan, tidak ada penjelasan pasti. Apakah
tradisi haul memang tumbuh dan berkembang di Indonesia, atau berasal dari luar? Menurut
salah satu sumber, tradisi haul pada awalnya tumbuh dan berkembang di Yaman, tepatnya
di Hadramaut yang merupakan salah satu Kawasan yang dihuni oleh para Said yang
merupakan keturunan Rasulullah Saw. Para said itu setiap tahun berkumpul di makam
seorang tokoh spiritual bersama dengan para masyayikh yang alim ilmu agama tapi bukan
merupakan keturunan Rasulullah Saw guna meng-haul-I tokoh tersebut. Mereka juga
mengundang semua orang untuk hadir, dan yang memimpin adalah penerus tokoh yang
dihaulkan.
Kemudian pada abad ke-19, ada banyak said yang hidup di Hadramaut berimigrasi ke
Indonesia untuk berdagang dan berdakwah. Kesuksesan mereka dalam berdagang dan
keterkenalan mereka sebagai tokoh spiritual yang mempunyai pengetahuan agama yang
mendalam dan pertalian darah dengan Nabi Muhammad Saw membuat mereka diterima
dengan baik dan mendapatkan tempat istimewa. Setelah menetap di Indonesia, mereka
terus mempertahankan tradisi mereka, termasuk tradisi haul.
Satu sumber menyebutkan, bahwa Tradisi haul di Indonesia pertama kali
dipopulerkan oleh seorang Imam yang dikenal sangat alim, yaitu Habib Muhammad bin
Idrus al-Habsyi (w. 1917 M) di Surabaya pada awal tahun 1900-an. Kemudian hal itu diikuti
oleh kalangan kiai, lalu oleh masyarakat umum hingga menjadi tradisi umum.

Tujuan
Tujuan utama dari haul adalah mendoakan orang yang dihaulkan agar amal
ibadahnya diterima dan dosa-dosanya diampuni. Tujuan yang lain adalah Tabaruk melalui
orang yang dihaulkan dan mengenang jasa-jasanya,

Muatan
Ada beberapa rangkaian seremonial yang biasa dilaksanakan di dalam haul, yaitu
sebagaimana berikut:
1. Pembuka dengan pembacaan surat al-Fatihah yang pahalanya ditujukan kepada
Kanjeng Nabi Muhammad Saw, keluarga dan sahabat beliau, nenek moyang dan
seterusnya;
2. Pembacaan Surat Yasin. Tapi terkadang ini tidak ada;
3. Pembacaan zikir yang berupa Surat al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas, Ayat Kursi, tiga ayat
terakhir surat al-Baqarah, salawat, istighfar, tahlil, tasbih, dan tahmid; dan rangkaian
bacaan ini dikenal dengan istilah ‘tahlilan’;
4. Doa secara umum dan khusus agar pahala bacaan di atas disampaikan kepada orang
yang dihaulkan
5. Sedekah makanan yang biasanya ada di dalam haul yang terbatas
6. Pembacaan manaqib tokoh yang dihaulkan
7. Ceramah oleh seorang dai yang diundang
Pembacaan manakib dan ceramah biasanya hanya ada di dalam haul yang diadakan
secara besar-besaran dan terbuka. Sedangkan di dalam haul yang sederhana dan terbatas,
biasanya hanya ada zikir dan doa bersama.

Manfaat
Orang yang dihaulkan bisa mendapatkan manfaat dari haul, yaitu dari doa yang
dipanjatkan oleh banyak orang untuknya dan sedekah yang pahalanya dikhususkan
kepadanya. Sedangkan orang yang mengadakan dan mengikuti haul bisa mendapatkan
manfaat dari haul melalui kisah-kisah perjuangan orang yang dihaulkan yang mungkin
menjadi inspirasi bagi mereka, juga melalui kebersamaan mereka yang bernilai silaturrahim.

Etika
Tidak ada adab khusus dalam mengadakan dan mengikuti haul. Yang berlaku adalah
adab umum, seperti adab memurnikan niat, adab berpakaian, adab duduk di dalam majlis,
adab berzikir dan berdoa dan adab berbicara dan menyimak.
Apabila ada sekelompok orang ingin mengadakan haul untuk seorang tokoh yang
tidak mempunyai hubungan darah dengan mereka, perlu meminta izin kepada penerus
tokoh tersebut, kecuali kalau sudah ada pernyataan resmi dari pihak keluarga tokoh
tersebut, bahwa siapapun boleh mengadakan haul untuknya.

Landasan
Ada Sebagian kalangan yang mempertanyakan keabsahan tradisi haul, apakah ada
landasannya di dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw. Lantas ada yang menjawab
melalui hadits Nabi Saw berikut:
‫ْأ‬ ‫ْأ‬
َ ‫ " َساَل ٌم َعلَ ْي ُك ْم بِ َما‬،ُ‫س ُكلِّ َحوْ ٍل فَيَقُول‬
‫صبَرْ تُ ْم فَنِ ْع َم‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يَ تِي قُبُو َر ال ُّشهَدَا ِء بُِأ ُح ٍد َعلَى َر‬ َ ِ ‫َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬
".)24 :‫ار (سورة الرعد‬ ِ ‫ُع ْقبَى ال َّد‬
“Bahwasanya Rasulullah Saw di setiap awal tahun berizarah ke kuburan syuhada, lalu
mengucapkan, “Semoga keselamatan selalu tercurahkan kepada kalian sebab kesabaran
kalian. Sebagus-bagus balasan Akhirat adalah balasan untuk kalian.” (QS. Al-Ra’d: 24). (HR.
Ibn Syabah).
Kata ‘di setiap awal tahun’ itulah yang dijadikan sebagai landasan haul. Akan tetapi
hadits itu konteksnya adalah ziarah kubur, bukan tentang haul. Bahkan, di dalam Riwayat al-
Baihaqi yang dikutip oleh Ibnu Katsir di dalam al-Sirah al-Nabwiyah tidak ada kata ‘awal
setiap tahun.’ Redaksinya adalah sebagai berikut:
ِ ‫صبَرْ تُ ْم فَنِ ْع َم ُع ْقبَى ال َّد‬
‫ار‬ َ ‫ ال َّساَل ُم َعلَ ْي ُك ْم بِ َما‬:‫ب يَقُو ُل‬ َ ْ‫ فَِإ َذا َأتَى فُر‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَْأتِي ال ُّشهَدَا َء‬
ِ ‫ضةَ ال ِّش ْع‬ َ ِ‫َكانَ َرسُو ُل هللا‬
“Rasulullah Saw pernah berziarah ke kuburan syuhada. Ketika tiba di lembah al-Syi’b, beliau
mengucapkan, ‘Semoga keselamatan tercurahkan kepada kalian sebab kesabaran kalian.
Sebagus-bagus balasan akhirat adalah balasan untuk kalian.” (HR. Baihaqi, Dala’il al-
Nubuwah).
, tidak tepat kalau memaksakan hadits itu sebagai landasan ‘Haul,’ dan harus diakui,
bahwa haul adalah tradisi baru yang belum di kenal di masa Nabi, bahkan di masa-masa
sesudah beliau. Kalau merujuk pada sejarah singkat haul di atas, tradisi haul baru dikenal di
abad 19 M.
Namun, meskipun haul adalah tradisi baru atau yang biasa diistilahkan dengan
bid’ah, tidak serta merta kita boleh melabelinya dengan sifat negatif (sayi’ah). Kalau semua
tradisi baru kita labeli sifat negatif hanya dengan alasan tidak pernah ditemukan di masa
Nabi atau sahabat, tentu banyak kebaikan yang seharusnya punya label yang sama, seperti
sistem pembelajaran Madrasah dan Kampus, karena madrasah atau kampus tidak pernah
ada di masa Nabi Saw. Apalagi tradisi wisuda yang biasa diadakan setelah lulus dari
Madrasah atau kampus. Begitu juga gelar kesarjanaan bagi mereka yang sudah lulus kuliah.
Untuk menilai tradisi baru, apakah positif (hasanah) atau negatif (sayi’ah), perlu mengkaji
muatan atau isinya. kalau muatannya positif, berarti tradisi itu positif. Kalau muatannya
negatif, berarti tradisi itu negatif. Tradisi hanyalah label, dan nilainya adalah muatannya,
dan nilai sebuah label mengikuti nilai muatannya. Selain itu yang perlu dipertimbangkan
juga adalah tujuan dan manfaatnya.
Dengan melihat muatan, tujuan dan manfaat haul, tidak ada satupun darinya yang
bertentangan dengan syariat, bahkan semuanya termasuk perkara yang disyariatkan.
Mendoakan ahli kubur merupakan perkara yang dianjurkan. Membaca al-Qur’an dan
berzikir juga merupakan perkara disyariatkan dan berpahala, begitu juga bersedekah, dan
semua itu pahalanya bisa dihadiahkan kepada ahli kubur.
Mendengarkan ceramah untuk belajar juga termasuk perkara yang dianjurkan.
Menyimak kisah orang saleh guna mengambil pelajaran juga merupakan perkara yang
dianjurkan. Dan mengenang kebaikan orang yang sudah mendahului sebagai motivasi diri
dan penyemangat untuk mendeladani juga merupakan perkara yang dianjurkan.
Tentang mendoakan ahli kubur yang sama-sama beriman, Allah SWT berfirman:
ََّ‫ان َواَل تَجْ َعلْ فِي قُلُوبِنَا ِغاًّل لِلَّ ِذينَ آ َمنُوا َربَّنَا ِإنك‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ َجا ُءوا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم يَقُولُونَ َربَّنَا ا ْغفِرْ لَنَا َوِإِل ْخ َوانِنَا الَّ ِذينَ َسبَقُونَا بِاِإْل ي َم‬
‫وف َر ِحي ٌم‬ٌ ‫َر ُء‬
“Dan orang-orang yang datang sepeninggal mereka berdoa, ‘Tuhan kami, ampunilah kami
dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan, dan jangan buat
hati kami dendam kepada orang-orang yang beriman. Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
Maha Mengasihi lagi Maha Menyayangi.” (QS. Al-Hasyr: 10).
Rasulullah Saw juga bersabda:
‫ك‬َ َ‫ آ ِمينَ َول‬:‫ك ْال ُم َو َّك ُل بِ ِه‬ ٌ َ‫ ِع ْن َد َرْأ ِس ِه َمل‬،ٌ‫ب ُم ْست ََجابَة‬
ُ َ‫ قَا َل ْال َمل‬،‫ك ُم َو َّك ٌل ُكلَّ َما َدعَا َأِل ِخي ِه بِخَ ي ٍْر‬ ِ ‫َد ْع َوةُ ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم َأِل ِخي ِه بِظَه ِْر ْال َغ ْي‬
‫بِ ِم ْث ٍل‬
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang berada di tempat yang jauh adalah mustajab.
Di dekat kepalanya ada seorang malaikat yang diutus. Setiap kali ia mendoakan saudaranya
dengan kebaikan, malaikat yang diutus itu berkata, ‘Amin! Dan engkau akan mendapatkan
kebaikan yang sama.’” (HR. Muslim).
Tentang menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada ahli kubur, Imam Nawawi
(w. 676 H) berkata di dalam kitab al-Adzkar,
‫ فاالختيار أن يقول القارئ بعد‬،‫ إلى أنه يصل‬،‫ وجماعة من أصحاب الشافعي‬،‫وذهب أحم ُد بن حنبل وجماعةٌ من العلماء‬
.‫ وهللا أعلم‬،‫ثواب ما قرأته إلى فالن‬ َ ْ‫ الله ّم أوصل‬:‫فراغه‬
“Ahmad ibn Hanbal, sekelompok ulama yang lain dan sekelompok pengikut madzhab Syafii
berpendapat, bahwa pahala bacaan al-Qur’an bisa sampai. Maka sebaiknya, orang yang
membaca setelah selesai membaca berdoa, ‘Ya Allah, sampaikanlah pahala al-Qur’an yang
aku baca kepada si anu...’ Wallah A’lam.”
Tentang menghadiahkan pahala zikir, Ibnu Taimiah di dalam al-Fatawa al-Kubra
menegaskan,
‫ص ُل إلَ ْي ِه َأ ْيضًا ال ُّدعَا ُء َوااِل ْستِ ْغفَا ُر‬
ِ َ‫ق َك َما ي‬ ِ ‫ص َدقَ ِة َو ْال ِع ْت‬َّ ‫ت ْال َمالِيَّ ِة َكال‬
ِ ‫ب ْال ِعبَادَا‬ِ ‫اَل نِزَ ا َع بَ ْينَ ُعلَ َما ِء ال ُّسنَّ ِة َو ْال َج َما َع ِة فِي ُوصُو ِل ثَ َوا‬
‫صاَل ةُ ْال ِجنَا َز ِة َوال ُّدعَا ُء ِع ْن َد قَب ِْره‬
َ ‫صاَل ةُ َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫َوال‬
“Tidak ada perbedaan di antara ulama ahlus sunnah wal jamaah mengenai sampainya
pahala ibadah yang bersifat harta, seperti sedekah atau membebaskan budak, sebagaimana
sampainya pahala doa, istighfar, shalawat, shalat jenasah, dan doa di sisi kuburannya.”
Dan tentang pahal sedekah yang diahdiahkan untuk ahli kubur adalah sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Taimiah tersebut dengan berlandaskan pada sebuah hadits,
‫ نَ َع ْم‬:‫ق َع ْنهَا؟ قَا َل‬ َ َ‫ َأفََأت‬،‫وص‬
ُ ‫ص َّد‬ ِ ْ ‫ ِإ َّن ُأ ِّمي َمات‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُ‫َت َولَ ْم ت‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫َأ َّن َس ْعدًا َسَأ َل النَّب‬
“Bahwa Sa'ad bertanya kepada Nabi Saw, ‘Ibuku telah meninggal tanpa memberikan
wasiat. Bolehkah aku bersedekah untuknya?’ Nabi Saw menjawab, ‘Tentu.’” (HR. Nasa’i).
Sedangkan tentang pembacaan manaqib, Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip komentar
Ibnu Baththal terhadap riwayat yang bersumber dari Abdurrahman ibn Auf yang menyebut
kebaikan Mush’ab ibn Umair,
‫َوفِي ِه َأنَّهُ يَ ْنبَ ِغي ِذ ْك ُر ِسيَ ِر الصَّالِ ِحينَ َوتَقَلُّلِ ِه ْم فِي ال ُّد ْنيَا لِتَقِ َّل َر ْغبَتُهُ فِيهَا‬
“Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut kisah-kisah orang-orang saleh dan kesederhanaan
mereka terhadap duniaw agar rasa cinta pada dunia berkurang.”

Kesimpulan
Dengan merujuk pada muatan, tujuan dan manfaat haul, bisa disimpulkan, bahwa tradisi
haul merupakan perkara legal dan bisa dikategorikan sebagai bid’ah hasanah.
TAKZIAH

Pengertian
Takziah berasal dari Bahasa Arab, ‫ تعزية‬yang secara kebahasaan bermakna
penghiburan, sinonim dengan kata ‫تسلية‬. Kemudian kata tersebut menjadi istilah yang
diartikan ‘memberikan motivasi kepada orang yang mengalami musibah karena kematian
salah satu anggota keluarganya untuk bersabar.’ Ada juga yang mendefinisikan Takziah
dengan kalimat yang panjang, yaitu, ‘memberikan motivasi untuk bersabar dalam
menghadapi musibah dengan cara menuturkan pahala kesabaran yang telah Allah SWT
janjikan bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah itu dan memperingatkan
agar tidak terlalu berontak karena bisa menghilangkan pahala dan mendatangkan dosa, juga
memberikan motavasi agar mengembalikan seluruh kenyataan kepada Allah SWT.’ Istilah
lain yang biasa digunakan dalam tradisi masyarakat Indonesia adalah ‘Melayat’ yang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan ‘menjenguk keluarga orang yang meninggal
dengan tujuan menghibur dan menyabarkan hatinya.’
Dari pengertian tersebut, bisa dikatakan, bahwa substansi dari takziah atau melayat
adalah penyampaian motivasi untuk bersabar.

Muatan
Ada beberapa muatan dalam takziah atau melayat, yaitu Keperdulian sosial, Motivasi
kesabaran dan Silaturrahim. Ketiga muatan tersebut sudah menjadi realitas sosio-kultural di
tengah-tengah masyarakat. Di mana ada musibah kematian, maka di situ pasti ada
ketiganya.

Etika
Ada beberapa etika yang harus diikuti dalam melakukan takziah, yaitu:
1. Mengucapkan turut berduka cita dan memberikan motivasi kepada keluarga orang
yang meninggal untuk bersabar
2. Mengikuti penyelenggaraan Jenazah, seperti ikut menyalatkan dan
menguburkannya, apabila takziah dilakukan sebelum jenazah dikuburkan
3. Mendoakan orang yang meninggal dan keluarga yang ditinggalkan

Landasan
Ulama telah sepakat mengenai kesunahan takziah. Hal ini didasarkan pada sabda
Rasulullah Saw,
‫النبي‬
ُّ ‫ فقال‬،‫ت‬ ِ ‫ كنَّا عند النب ِّي صلَّى هللا عليه وسلَّم؛ إذ جاءه رسو ُل إحدى بناتِه يدعوه إلى ابنِها في ال َمو‬:‫ قَا َل‬،‫ع َْن ُأ َسا َمةَ ْب ِن َز ْي ٍد‬
، ْ‫َحتسب‬
ِ ‫ولت‬ ْ ْ‫ ف ُمرْ ها فَ ْلتَصبِر‬،‫ و ُكلُّ شي ٍء عنده بأ َج ٍل ُم َس ّمًى‬،‫ وله ما أعطى‬،‫أن هَّلِل ِ ما أ َخ َذ‬ ْ ،ْ‫ارجع‬
َّ ‫فأخبِرْ ها‬ ِ :‫صلَّى هللا عليه وسلَّم‬
‫الصبي‬
ُّ ‫ ف ُدفِ َع‬،‫ ومعا ُذ بنُ َجبَ ٍل‬،َ‫ وقام معه سع ُد بنُ عُبادة‬،‫النبي صلَّى هللا عليه وسلَّم‬ ُّ ْ ‫ت الرَّسو َل أنَّها أق َس َم‬
‫ فقام‬،‫ت لَتَأتِيَنَّها‬ ِ ‫فأعاد‬
‫ وإنَّما‬،‫ب ِعبا ِد ِه‬ ٌ
ِ ‫ هذه رحمة َج َعلَها هللاُ في قلو‬:‫ يا رسو َل هللاِ! قال‬:‫ فقال له سع ٌد‬،‫ت عيناه‬ ْ ‫ففاض‬
َ ، ٍّ‫إليه ونَ ْفسُه تَقَعقَ ُع كأنَّها في شَن‬
‫يَر َح ُم هللاُ ِمن عبا ِده الرُّ َحما َء‬
“Diriwayatkan dari Usamah ibn Zaid, ia berkata, ‘Kami pernah berada di dekat Nabi Saw.
Tiba-tiba suruhan salah satu putri beliau datang meminta beliau untuk datang menjenguk
cucunya yang meninggal. Tapi beliau berkata, ‘Pulanglah engkau, dan beritahukan kepada
putriku, bahwa apapun yang telah Allah ambil adalah milik-Nya, dan apapun yang Dia
berikan adalah milik-Nya. Segala sesuatu sudah ditentukan dengan waktu tertentu di sisi-
Nya. Suruh ia untuk bersabar dan ikhlas.’ Namun suruhan itu datang lagi dan
menyampaikan bahwa putri beliau mengharuskan beliau datang. Lantas Nabi Saw beranjak,
diikuti oleh Sa’ad ibn Ubadah dan Mu’adz ibn Jabal. Kemudian bayi yang meninggal itu
diserahkan kepada beliau, sementara nafas beliau beriak seperti air yang dimasukkan ke
dalam wadah kulit. Lantas air mata kedua mata beliau mengalir, sehingga Sa’ad bertanya
kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Ini adalah sifat kasih yang telah Allah
letakkan di dalam hati hamba-hamba-Nya, dan Allah hanya akan mengasihi hamba-Nya
yang penuh kasih.’” (Muttafaq Alaih).
Juga sabda Rasulullah Saw,
‫ ِإاَّل َك َساهُ هَّللا ُ ُسب َْحانَهُ ِم ْن ُحلَ ِل ْال َك َرا َم ِة يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬،‫صيبَ ٍة‬
ِ ‫َما ِم ْن ُمْؤ ِم ٍن يُ َع ِّزي َأ َخاهُ بِ ُم‬
“Tidak ada seorang mukminpun yang memberikan motivasi kepada saudaranya untuk
bersabar dalam menghadapi musibah kecuali Allah pasti memberinya sebagian pakaian
kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah).
Tidak ada ulama yang berseberangan mengenai kesunahan takziah tersebut. Akan
tetapi, ketika takziah sudah masuk ke dalam realitas sosio-kultural yang beragam, muncul
persoalan-persoalan yang menjadi bahan perbedaan pendapat. Di antara persoalan-
persoalan tersebut adalah masalah duduk untuk menyambut orang yang bertakziah, jamuan
makan yang dihidangkan di rumah duka untuk orang-orang yang bertakziah, zikir dan doa
bersama yang diadakan secara rutin selama tujuh hari berturut-turut di rumah duka kalau
ini dimasukkan ke dalam kategori takziah.
Seperti masalah duduk untuk menyambut orang yang bertakziah. Ada yang
menghukuminya makruh karena bisa membangkitkan kesedihan. Ada juga yang
menghukuminya boleh. Tapi tidak ada yang menghukuminya sampai pada level hukum
haram. Mengenai perbedaan ini, Ali Jumah berkata,
،‫ فمنهم من كرهه لما فيه من تهييح لألحزان وتذكير بها‬.‫وأما جلوس أهل الميت في مكان لتلقي التعزية فاختلف فيه الفقهاء‬
.‫ومنهم من أجازه‬
“Ahli fikih berbeda pendapat mengenai masalah keluarga berduka yang duduk di suatu
tempat untuk menyambut kunjungan takziah. Di antara mereka ada yang menghukuminya
makruh karena bisa membangkitkan rasa sedih dan mengingatkan pada rasa sedih itu. Tapi
ada juga di antara mereka yang menghukuminya boleh.”
Kemudian Ali Jum’ah menuturkan pendapat mazhab yang membolehkan dan
memakruhkan dengan landasannya masing-masing. Akan tetapi telihat jelas, bahwa hukum
makruh itu muncul dengan alasan takut membangkitkan rasa sedih, sehingga Ali Jum’ah
memilih pendapat yang menghukumi dengan ‘boleh.’
Begitu juga masalah hidangan yang diberikan kepada pentakziah. Muhammad
Syatha al-Dimyathi dari madzhab Syafii si dalam kitab I’anah al-Thalibin menghukuminya
‘makruh,’ karena yang dulu diperintahkan oleh Rasulullah Saw adalah pentakziah yang
seharusnya membawakan hidangan makanan untuk orang yang berduka. Hal ini pernah
terjadi, yaitu ketika anggota keluarga Ja’far ibn Abi Thalib ada yang meninggal, lalu
Rasulullah Saw berkata kepada sahabat, ‘Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far.’
Muhammad Syatha al-Dimyathi berkata,
:‫ قال‬،‫ لما روى أحمد عن جرير بن عبد هللا البجلي‬،‫ وصنع طعام يجمعون الناس عليه‬،‫ويكره ألهل الميت الجلوس للتعزية‬
‫ ومعارفهم‬- ‫ ولو أجانب‬- ‫ ويستحب لجيران أهل الميت‬،‫كنا نعد االجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة‬
‫ وأن يلحوا‬،‫ أن يصنعوا ألهله طعاما يكفيهم يوما وليلة‬- ‫ وإن كانوا بغير بلد الميت‬- ‫ وأقاربه األباعد‬- ‫ وإن لم يكونوا جيرانا‬-
.‫عليهم في األكل‬
“Keluarga berduka makruh duduk untuk menyambut kunjungan takziah, juga makruh
membuatkan makanan untuk orang-orang yang hadir. Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad
yang bersumber dari Jarir ibn Abdillah al-Bajali, ia berkata, ‘Dulu kami menganggap ijtimak
di rumah keluarga yang berduka dan penghidangan makanan yang dilakukan oleh mereka
setelah penguburan jenazah sebagai bagian dari niyahah (ratapan).’ Dan sangat disarankan
bagi tetangga keluarga berduka meskipun orang asing, kenalan mereka meskipun bukan
tetangga, dan kerabat jauh meskipun ada di luar negeri untuk membuatkan makanan yang
mencukupi untuk waktu siang dan malam bagi keluarga berduka, juga memaksa mereka
untuk makan.”
Kemudian, kalau kita melihat fakta yang terjadi di masyarakat dalam masalah itu,
kita pasti dapati hal-hal berikut:
1. Yang membuatkan dan menyajikan makanan untuk pentakziah bukan keluarga
berduka, melainkan tetangga
2. Pentakziah berkunjunga ke rumah duka tidak dengan tangan kosong, tapi dengan
membawa beras, uang atau bahan dapur yang lain
3. Kalau beras, uang atau bahan dapur yang lain diberikan oleh pentakziah kepada
keluarga berduka, lalu dimasak oleh tetangga dan dihidangkan kepada pentakziah,
itu diniatkan sebagai sedekah yang pahalanya dikhususkan kepada mayit
4. Kunjungan takziah dalam tardisi masyarakat adalah bagian dari silaturrahim, dan
mereka yang berkunjung adalah tamu, dan menghormati tamu sangat dianjurkan.
Jadi, walaupun masalah penghidangan makanan untuk orang-orang yang bertakziah
dihukumi makruh, bahkan oleh Jumhur ulama mazhab, namun dengan mempertimbangkan
hal-hal di atas dalam ranah sosio-kultural, seharusnya hal itu tidak dipersoalkan, apalagi
substansi dari takziah adalah menyabarkan keluarga yang mengalami musibah.
Sedangkan masalah rutinitas zikir dan doa bersama selama tujuh hari yang diadakan
pada waktu tertentu setelah mayit dikuburkan, tidak ada yang memandang rutinitas itu
sebagai kewajiban syariat seperti salat, sehingga yang perlu diperhatikan adalah doa dan
zikirnya. Sedangkan masalah rutinitas dan waktunya hanya kebiasaan.

Kesimpulan
Substansi Takziah adalah menyabarkan keluarga berduka karena yang mengalami
musibah, dan beberapa tradisi yang terjadi di tengah-tengah mesyarakat meskipun
dihukumi makruh oleh banyak mazhab tidak seharusnya dipersoalkan, apalagi dianggap
menyimpang dari syariat, karena hal itu tidak menghilangkan substansi takziah dan tidak
sampai pada level hukum haram.

Anda mungkin juga menyukai