Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH AL-DAKHI<L FI< AL-TAFSI<R PADA MASA SAHABAT

MAKALAH
Diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Mrtode Kritik Tafsir Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Disusun oleh:

Moch. Ihsan Hilmi (2210070019)

ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring berkembangnya zaman, dinamika perkembangan tafsir juga terus


berkembang secara signifikan. Perkembangan tersebut merupakan sebuah keniscayaan dari
diturunkannya al-Qur’a>n itu sendiri, yakni agar manusia menjadikannya sebagai petunjuk.
Oleh sebab itu ketika al-Qur’a>n turun dan mulai dijelaskan oleh Rasulullah Saw, maka ia
diapresiasi, dikaji, dipahami, dan diamalkan oleh generasi sahabat waktu itu.1

Namun, setelah Rasulullah Saw wafat perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’a>n


antara sahabat satu dan yang lainnya kerap terjadi. Tidak hanya berhenti pada masa sahabat,
perbedaan-perbedaan itu juga berlangsung sampai sekarang. Hal ini merupakan sebuah
keniscayaan oleh dua hal. Pertama, faktor yang ada dalam tubuh al-Qur’a>n itu sendiri,
yakni al-Qur’a>n memang memiliki keberagaman dalam cakupan makna. Kedua, faktor
eksternal al-Qur’a>n yaitu keahlian seorang mufassir yang didukung dengan adanya syarat-
syarat sebagai mufassir, seperti akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, dan cara mereka
memahami makna al-Qur’a>n dengan cermat. Serta kecenderungan para mufassir dalam
memahami al-Qur’a>n yang dilatarbelakangi oleh ideologi, politik dan lain sebagainya.
Dengan demikian penafsiran al-Qur’a>n tidak ada kata final, melainkan terus berkembang
sebagaimana problematika umat yang terus berkembang hingga sekarang.2

Semangat para sahabat Nabi untuk berlomba dalam penafsiran al-Qur’a>n sangat
membantu para mufassir abad-abad sesudahnya. Namun beberapa hasil pencarian
mufassiru>n terhadap penafsiran para sahabat Nabi terkadang diterima dari riwayat yang
tidak baik, penafsiran yang bersifat isra’iliya>t-pun terkadang disandarkan ke hasil
penafsiran sebagian sahabat, atau beberapa penafsiran yang dihasilkan oleh seorang mufassir
juga terkadang disandarkan ke salah satu sahabat Nabi yang terbilang ahli tafsir, misalnya
Ibnu Abbas dan sebagainya, yang dikenal dengan istilah al-dakhi>l fi> al-Tafsi>r.
1
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm: 11–12.
2
Manna khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Litera AntarNusa, 2011),
hlm: 462.
B. Rumusan Malalah
1. Bagaimana Sejarah al-dakhi>l fi> al-tafsi>r pada Masa Sahabat?

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Realitas al-Dakhi>l Pada Masa Sahabat

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya pada pembahasan sebelumnya yaitu,


bahwa sejarah wujudnya al-dakhi>l sudah ada sebelum kedatangan Islam ke jazirah Arab,
yaitu ketika beberapa kaum Yahudi berhijrah dan menetap di yasrib atau madinah dan
sekitarnya. Dikatakan bahwa dari merekalah awal mula cerita isra>i>liya>t ditemukan, dan
dikatakan juga bahwa sebelum adanya bentuk-bentuk dakhi>l seperti yang kita ketahui
sekarang, cerita isra>i>liya>t merupakan bentuk dakhil paling awal. Kemudian benih-benih
al-dakhi>l pun mulai bermunculan pada masa Rasul saw. dan sahabat, terutama ketika
sebagian sahabat ada yang berani berinteraksi dan berdiskusi dengan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani). Kemudian benih-benih yang ada pada zaman Rasul dan sahabat pun tumbuh dan
bersemi pada masa tabi’in dan terus berkembang pada masa-masa setelahnya, terutama pada
masa dinasti Umayah (661-750) dan dinasti Abbasi>ya (750-1258 M) ketika kebudayaan,
tradisi penerjemahan dan kajian-kajian ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu ditumbuh
suburkan.3

Pertentangan politik yang muncul pada pada akhir kekhalifahan ‘Usma>n ibn
‘Affa>n dan awal kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Tha>lib bisa dikatakan sebagai munculnya
sekte-sekte yang saling menyerang dengan cara membuat hadis-hadis dan beragam
penafsiran sectarian. Syi’ah Ra>fidah misalnya,4 menafsirkan ayat َّ‫ب َوتَب‬ ٖ َ‫دَٓا أَبِي لَه‬Nَ‫( تَب َّۡت ي‬Q.S
Al-Lahab: 1) sebagai Abu> Bakar dan ‘Umar ibn al-Khattab, ‫ا ِن‬Nَ‫ح َر ۡي ِن يَ ۡلتَقِي‬
Nۡ َ‫( َم َر َج ۡٱلب‬Q.S Ar-
Rahma>n: 19) sebagai Ali dan Fa>imah, ُ‫(ٱللُّ ۡؤلُ ُؤ َو ۡٱل َم ۡر َجان‬Q.S ar-Rahma>n: 22) sebagai Hasan
dan Husain5, dan masih banyak lagi penafsiran-penafsiran subjektif yang mendukung
madzhab mereka.

Berikut dikemukakan beberapa contoh kekeliruan dalam penafsiran Al-Qur’a>n pada


masa sahabat, dan bantahan atau koreksi sahabat atasnya.

1. Tafsir Surah al-Ma>idah Ayat 93

3
Ulinnuha Muhammad, Metode Kritik al- Dakhi>l fi> al-Tafsi>r, Jakarta: QAF, 2019. Hlm. 62
4
Dalam konteks ini, Imam Syafi’i mengatakan, “saya tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta
kepada Rasul saw. Selain kaum rafidah”.
5
Fa>yed, al- Dakhi>l fi> al-Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, jilid 2, hlm. 145.
Meminum minuman yang memabukkan (khamar) adalah salah suatu tradisi
masyarakat Arab. Tradisi yang membudaya ini tidak mudah mereka tinggalkan.
Allah Taala yang Maha Bijaksana mengharamkannya secara bertahap agar mereka
dapat menerima keputusan final tentang khamar itu dengan kondisi jiwa, emosi dan sosial
budaya yang kondusif. Pada tahap pertama Al-Qur’a>n mengajak mereka merenungkan
bahwa bahan baku khamar juga baik dan enak untuk dikonsumsi sebelum diproses
menjadi khamar (al-Nahl; 67).6 Pada tahap kedua Al-Qur’a>n mengingatkan mereka
bahwa khamar bermanfaat, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya (al-Baqarah;
219), dan mengajak mereka membuat penilaian yang objektif terhadapnya berdasarkan
pertimbangan manfaat duniawi dan mudarat ukhrawi. Pada tahap ketiga Al-Qur’a>n
melarang mereka shalat dalam kondisi mabuk (al-Nisa>; 42). Dengan larangan ini,
mereka tidak meminumnya menjelang masuk waktu shalat wajib karena takut masih
dalam kondisi mabuk ketika waktu shalat berikutnya masuk. 7 Selanjutnya pada tahap
keempat Al-Qur’a>n melarang khamar secara total dan final (al-Mâidah; 90). Setelah
ayat terakhir ini turun, sebagian sahabat mempertanyakan nasib para sahabat yang telah
wafat sebelum ayat tersebut turun, sedang mereka pada masa hidupnya meminum
khamar. Untuk menjawab pertanyaan mereka ini, turunlah ayat 93 surah al-Mâidah di
bawah ini.
‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
َّ ‫لَيۡ َس عَىَل ذَّل ِ َين َءا َمنُو ْا َومَع ِ لُو ْا َّلصٰ ِل َحٰ ِت ُجنَاح ِفميَا َط ِع ُم ٓو ْا َذا َمٰٰا ت َّ َقٰٰو ْا َّو َءا َمنُو ْا َومَع ِ لُو ْا َّلصٰ ِل َحٰ ِت مُث‬
‫ِإ‬
٩٣ ‫ٱت َّ َقو ْا َّو َءا َمنُو ْا مُث َّ ٱت َّ َقو ْا َّو َۡأح َس ُنو ْاۚ َوٱهَّلل ُ حُي ِ ُّب ٱلۡ ُم ۡح ِس ِن َني‬
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang
saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka
bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka
tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S Al-Maidah:
93)
Maksud ayat adalah; para sahabat tidak berdosa karena mereka meminum khamar
ketika khamar itu masih halal. Ayat ini seperti ayat yang mengubah arah kiblat dari
Baitul Maqdis ke Ka'bah, kemudian Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan menyia-
nyiakan iman (shalat) kaum muslimin (al-Baqarah, 143). Maksudnya ketika arah kiblat

6
al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, Jilid 1, hlm. 687
7
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-`Azhîm, Jilid 1, hlm. 474
kaum muslimin ke Baitul Maqdis, dasarnya adalah perintah Allah. Karena itu Allah tidak
akan membatalkan pahala shalat yang telah mereka laksanakan dengan berkiblat ke
Baitul Maqdis. Adapun persyaratan iman dan takwa dalam ayat di atas bukan syarat yang
sebenarnya, tetapi sebagai pujian Allah Taala terhadap kondisi mereka. Dengan demikian
maksud ayat adalah; orang mukmin yang bertakwa dan saleh tidak berdosa memakan dan
meminum yang mubah dan halal selama ia menjauhi yang haram.8

Al-Alusi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa selama mereka taat,
patuh dan saleh, maka makanan dan minuman yang mereka konsumsi tidak merupakan
suatu kesalahan. Mereka patuh dalam menjalankan semua perintah Allah Taala. Mereka
meminum khamar dan berjudi karena dua hal itu belum diharamkan. Sebaliknya jika
sudah diharamkan pada masa hidup mereka, maka mereka pasti langsung dan tanpa ragu-
ragu akan menjauhinya.9

‫ات ِر َجا ٌل‬ َ ‫َحدَّ ثَنَا َع ْبدُ ْب ُن مُح َ ْي ٍد َحدَّ ثَنَا ُع َب ْيدُ اهَّلل ِ ْب ُن ُموىَس َع ْن رْس َ ائِي َل َع ْن َأيِب حْس ََق َع ْن الْرَب َ ا ِء قَا َل َم‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َاب النَّيِب ِ ّ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ قَ ْب َل َأ ْن حُت َ َّر َم الْ َخ ْم ُر فَلَ َّما ُح ّ ِر َم ْت الْ َخ ْم ُر قَا َل ِر َجا ٌل َك ْي َف‬ِ ‫ِم ْن َأحْص‬
‫ات ُجنَ ٌاح ِفميَا َط ِع ُموا‬ َّ ‫ون الْ َخ ْم َر فَزَن َ ل َ ْت { لَيْ َس عَىَل اذَّل ِ َين آ َمنُوا َومَع ِ لُوا‬
ِٰ ‫الصا ِل َح‬ َ ُ ‫ِبَأحْص َا ِبنَا َوقَدْ َماتُوا يَرْش َ ب‬
‫يث َح َس ٌن حَص ِ ٌيح َوقَدْ َر َوا ُه ُش ْع َب ُة َع ْن‬ ٌ ‫ات } قَا َل َأبُو ِعيىَس ه ََذا َح ِد‬ ِ ‫الصا ِل َح‬ َّ ‫َذا َما ات َّ َق ْوا َوآ َمنُوا َومَع ِ لُوا‬
‫ِإ‬
‫َأيِب حْس ََق َع ْن الْرَب َ ا ِء َأيْضً ا‬10
‫ِإ‬
Dari `Abdu ibn Humaid dari `Ubaidillâh ibn Musa dari Isrâîl dari Abi Ishaq
bahwa al-Barâ berkata, "Sebagian sahabat Nabi saw wafat sebelum ayat pengharaman
khamar turun. Ketika ayat itu turun sebagian sahabat bertanya,'Bagaimana nasib
sahabat-sahabat kita yang telah wafat sedang sebelumnya mereka meminum khamar?'
Lalu turunlah ayat (Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan
beriman, dan serta mengerjakan kebajikan) (ayat 93 surah al-Ma>idah).
Kesulitan dalam meninggalkan suatu tradisi yang telah membudaya,
ketidakmengertian tentang sebab turunnya ayat 93 surah al-Mâidah dan pemahaman
literal terhadapnya mendorong beberapa orang sahabat melakukan kesalahan dalam
menafsirkannya. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Isha>bah fi> Tamyi>z al-Shah>bah

8
al-Râzi, Mafâtîh al-Ghaib, Jilid 6, hlm.132 dan 134
9
al-Alûsi, Rûh al-Ma`âni, Jilid 7, hlm. 18
10
al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Kitâb Tafsîr Alqurân `an Rasûlillâh, Bâb Min Sûrah al-Mâidah, Jilid 5,
hlm. 254, no. 2976
mengatakan bahwa Khalifah Umar ibn Khattab mengangkat Qudamah11 sebagai
gubernur Bahrain pada masa pemerintahannya. Ia meriwayatkan dari Abu al-Yaman
dari Syu'aib dari al-Zuhri bahwa Abdullah ibn Amir ibn Rabi'ah berkata, "Qudamah
adalah salah seorang tokoh Bani 'Adi, ayahnya ikut berperang bersama Rasulullah saw.
pada perang Badar, Umar mengangkatnya sebagai gubernur Bahrain dan ia sendiri ikut
dalam perang Badar. Ia adalah paman Ubaidillah ibn Umar dan Hafshah." Demikian
riwayat Bukhari secara singkat dan mauqu>f. Abdurrazzaq juga meriwayatkannya
secara lengkap dari Ma'mar dari Ibnu Syihab bahwa Abdullah ibn Amir ibn Rabi'ah
berkata, "Umar mengangkat Qudamah ibn Mazh'un sebagai gubernur Bahrain, dia
adalah paman Hafshah dan Abdullah. Dua yang terakhir ini adalah anak Umar ibn
Khattab. Jarud, kepala suku Abdu Alaf, berangkat dari Bahrain menuju Madinah untuk
menemui Umar. Ia berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, Qudamah meminum minuman
yang memabukkan dan ia mabuk. Saya berpendapat bahwa ia wajib dihukum sesuai
dengan hukuman yang ditetapkan oleh Allah dan saya berkewajiban melaporkannya
kepada Anda.' Umar bertanya, 'Siapakah saksi lain yang menyaksikan kejahatan itu?'
Jarud menjawab, 'Abu Hurairah.' Lalu Abu Hurairah dipanggil. Umar bertanya
kepadanya, 'Apakah engkau melihatnya meminum minuman yang memabukkan?' Abu
Hurairah menjawab, 'Saya tidak melihatnya meminum minuman yang memabukkan,
tetapi saya melihatnya dalam kondisi mabuk sambil muntah." Umar berkomentar,
'Kesaksianmu sudah cukup jelas dan kuat.' Kemudian Umar menulis surat kepada
Qudamah di Bahraian dan menyuruhnya datang ke Madinah. Ketika ia datang, Jarud
berkata kepada Umar, 'Hukumlah ia berdasarkan ketetapan Al-Qur’a>n!' Umar bertanya
kepadanya, 'Apakah kamu penggugat atau saksi?' Ia menjawab, 'Posisi saya hanya
sebagai saksi.' Umar berkata, 'Kamu telah memberikan kesaksianmu.' Jarud terdiam,
tetapi pada esok harinya ia datang lagi menemui Umar dan berkata, 'Hukumlah ia
berdasarkan ketetapan Allah Taala!' Umar berkata, 'Kalau begitu Anda bukan hanya
sekedar seorang saksi, tetapi juga sebagai penggugat. Sedang saksi lain selain Anda
hanya seorang saja.' Jarud berkata, 'Demi Allah, saya memohon kepada Anda agar ia
dihukum.' Umar menjawab, 'Diam! Bila Anda tidak diam, saya akan menghukum Anda.'
11
Dia adalah Qudâmah ibn Mazh`ûn ibn Habîb ibn Wahab ibn Hudzafah ibn Jamh al Qarsyi al-Jamhi,
saudara Usmân al-Ghuramâ, ayah Amru. Ia adalah salah seorang kaum muslimin yang mula-mula masuk Islam, ikut
hijrah ke Ethopia dan Madinah, dan ikut dalam perang Badar. (Ibnu Hajar al-`Asqalâni, al-Ishâbah fî Tamyîz al-
Shahâbah, Jilid 5, hlm. 423)
Jarud berkata, 'Wahai Umar, keputusan Anda itu tidak benar dan tidak adil. Mengapa
anak paman Anda yang mabuk tetapi saya yang dihukum?' Abu Hurairah berkomentar,
'Wahai Amirul Mukminin, jika Anda meragukan kesaksian kami, maka panggillah putri
al Walid dan tanyalah dia. Karena ia adalah isteri Qudamah!' Lalu Umar memanggil
Hindun, putri al Walid dan memintanya memberikan kesaksiannya. Hindun
memberikan kesaksian yang memberatkan suaminya. Umar berkata kepada Qudamah,
'Saya akan menghukum Anda!' Qudamah menjawab, 'Seandainya saya meminum
minuman yang memabukkan seperti yang Anda tuduhkan, Anda tidak berhak
menghukum saya.' Umar bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab, 'Karena Allah Taala
berfirman (seperti dalam surah al-Mâidah ayat 93 di atas). Umar berkata, 'Penafsiran
Anda terhadap ayat itu salah. Kalau benar Anda bertakwa kepada Allah, pasti Anda
menjauhi yang diharamkan-Nya.' Kemudian Umar bertanya kepada para sahabat yang
berada di majelis itu, 'Bagaimana pendapat kamu dalam eksekusi cambuk terhadap
Qudamah?' Mereka menjawab, 'Kami berpendapat eksekusi cambuk itu ditunda
sampai Qudamah sembuh dari penyakit yang dideritanya.' Setelah beberapa hari,
Umar bermaksud menjalankan eksekusi cambuk itu dan kembali bertanya kepada para
sahabat, 'Bagaimana pendapat kamu dalam eksekusi cambuk terhadap Qudamah?'
Mereka menjawab, 'Kami berpendapat eksekusi cambuk itu ditunda sampai Qudamah
sembuh dari penyakit ringan yang dideritanya.' Umar berkata, 'Seandainya ia mati
karena dicambuk, maka itu lebih aku sukai daripada aku mati sebelum melaksanakan
kewajiban eksekusi cambuk terhadapnya. Beri aku cambuk yang bagus dan cambuklah
dia!' Setelah eksekusi itu dijalankan Umar marah kepada Qudamah dan tidak
menegurnya. Pada musim haji, mereka berdua melaksanakan ibadah haji sedang Umar
masih marah kepadanya. Setelah selesai melaksanakan manasik haji keduanya pulang.
Umar singgah di daerah al Saqya dan tertidur. Ketika ia bangun dari tidurnya ia berkata
kepada sahabatnya, 'Bawa Qudamah menghadapku! Demi Allah saya bermimpi melihat
seseorang mendatangiku dan berkata kepadaku, 'Berdamailah dengan Qudamah, karena
ia adalah saudaramu!' Tolong bawa ia segera menghadapku!' Ketika Qudamah didatangi
oleh pengawal Umar ia tidak mau menghadap Umar. Lalu Umar memaksanya
menghadapnya. Kemudian Umar menyapa, berbicara dengannya dan memohonkan
ampun untuknya."12

Sabab nuzul adalah salah satu alat bantu utama dalam menafsirkan al-Qur’a>n.
Mengabaikannya dapat menjurus kepada pemahaman yang keluar dari konteks ayat.

2. Tafsir Surah al-Ahqa>f Ayat 17

ِ َ‫ت َِغيث‬N‫ا يَ ۡس‬NN‫ ُرونُ ِمن قَ ۡبلِي َوهُ َم‬Nُ‫ت ۡٱلق‬


َ‫ك‬NNَ‫ان ٱهَّلل َ َو ۡيل‬ ِ َ‫د َخل‬Nۡ Nَ‫خ َر َج َوق‬Nۡ ُ‫ دَانِنِ ٓي أَ ۡن أ‬N‫ٓا أَت َِع‬NN‫ف لَّ ُك َم‬ ّ ٖ ُ‫َوٱلَّ ِذي قَا َل لِ ٰ َولِد َۡي ِه أ‬
١٧ َ‫ق فَيَقُو ُل َما ٰهَ َذٓا إِٓاَّل أَ ٰ َس ِطي ُر ٱأۡل َ َّولِين‬ ّ ٞ ‫َءا ِم ۡن إِ َّن َو ۡع َد ٱهَّلل ِ َح‬
“Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuannya, "Ah.” Apakah kamu
berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal
beberapa umat sebelumku telah berlalu?" Lalu kedua orang tuanya itu memohon
pertolongan kepada Allah (seraya mengatakan), "Celaka kamu, berimanlah! Sungguh,
janji Allah itu benar." Lalu dia (anak itu) berkata, "Ini hanyalah dongeng orang-orang
yang dahulu." Mereka itu orang-orang yang telah pasti terkena ketetapan (azab)
bersama umat-umat dahulu sebelum mereka, dari (golongan) jin dan manusia. Mereka
adalah orang-orang yang rugi.” (Q.S al-Ahqa>f: 17)
Sebagian faktor yang mendorong para sahabat dan tabiin menghapal Al-Qur’a>n
ialah: kondisi mereka yang masih buta aksara, kepintaran dan kecerdikan mereka,
kesederhanaan hidup mereka, kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul, nilai i'jaz Al-
Qur’a>n, dan kuatnya kemauan mereka dalam memperlajari Al-Qur’a>n.13 Kemampuan
mereka mengungkapkan kembali ayat-ayat Al-Qur’a>n yang mereka hafal untuk
berargumentasi setara dengan kemampuan bangsa Indonesia berargumentasi dengan
pribahasa atau kata-kata mutiara yang sering mereka dengar dan telah mereka hafal.
Pribahasa itu seperti; Patah tumbuh hilang berganti, Lebih baik mati berkalang tanah
daripada hidup bercermin bangkai, Bagaikan pinang dibelah dua, Malu bertanya sesat
di jalan, dan lain lain. Karena itu mereka dapat menggunakan ayat-ayat Al-Qur’a>n
dengan mudah untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menghujat, memuji, membentuk opini
umum, menjatuhkan lawan, menyangkal dan lain lain.

Muawiyah ibn Abu Sufyan, khalifah pertama dinasti Umawiyah, berambisi


mengangkat anaknya, Yazid, sebagai penggantinya setelah ia wafat. Tetapi ia sadar
bahwa mayoritas sahabat masih berpendapat bahwa ia memperoleh jabatan khalifah

12
Ibnu Hajar, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Beirut: Dâr al-Jail, 1992, Cet. ke-1, Jilid 5, hlm. 424 –425
13
al-Zarqâni, Manâhil, Jilid 1, hlm. 291 – 297
dengan proses yang ilegal dan akan menolak bila ia mewariskannya kepada anaknya.
Untuk mewujudkan ambisinya itu, ia menempuh langkah-langkah persuasif dan ketika
langkah-langkah persuasif itu tidak efektif, ia pun melakukan intimidasi terhadap lawan-
lawan politiknya. Marwan ibn Hakam, gubernur Hijaz yang loyal kepada Muawiyah,
berkampanye di kota Madinah untuk proses suksesi itu. Abdurrahman ibn Abu Bakar
tidak dapat menerima ide itu. Watak Marwan yang emosional dan ketersinggungannya
karena idenya dibantah di depan publik serta hapalan Al-Qur’a>nnya yang baik
mendorongnya melakukan identifikasi tanpa dasar terhadap ayat yang bermakna umum.

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa setelah Allah
Taala menerangkan kondisi orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tua mereka,
yang selalu mendoakan mereka dan memperoleh kesejahteraan dan keselamatan di sisi
Allah Taala, maka selanjutnya Allah Taala menerangkan kondisi orang-orang yang
durhaka kepada kedua orang tua mereka. Menurutnya maksud dan orang yang berkata
kepada dua orang ibu bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya (seperti dalam ayat 17 di atas)
bersifat umum dan mencakup semua yang mengucapkannya. Berikut beberapa
argumentasi beliau berkenaan dengannya;

a. Hadis Bukhari

‫َٰك قَٰا َل اَك َن َم ْٰر َو ُان عَىَل‬ َ ‫وسٰ َف ْب ِن َماه‬ ُ ُ ‫َحدَّ ثَنَا ُموىَس ْب ُن ِإ مْس َ ا ِعي َل َحٰدَّ ثَنَا َأبُو َع َوان َٰ َة َع ْن َأيِب ِبرْش ٍ َع ْن ي‬
‫الْ ِح َج ِاز ْاس َت ْع َمهَل ُ ُم َعا ِوي َ ُة فَخ ََط َب فَ َج َع َل ي َ ْذ ُك ُر يَ ِزيدَ ْب َن ُم َعا ِوي َ َة ِليَك ْ يُ َباي َ َع هَل ُ ب َ ْعدَ َأبِي ِه فَ َقا َل هَل ُ َع ْبدُ الٰ َّٰرمْح َ ِن‬
‫ْب ُن َأيِب بَ ْك ٍر َشيْئًا فَ َقا َل خ ُُذو ُه فَدَ َخ َل بَيْ َت عَائِشَ َة فَمَل ْ ي َ ْقٰ ِد ُروا فَ َقٰٰا َل َمٰ ْٰر َو ُان َّن َهٰ َٰذا اذَّل ِ ي َأ ْنٰ َٰز َل اهَّلل ُ ِفيٰ ِه‬
‫ِ ْ ِ ِإ‬
‫ٰاب َمٰٰا َأ ْنٰ َٰز َل اهَّلل ُ ِفينَٰٰا َشٰيْئًا ِم ْن‬ ِ ٰ‫{ َواذَّل ِ ي قَا َل ِل َوادِل َ يْ ِه ُأ ّ ٍف لَمُك َا َأتَ ِعدَ ا ِنيِن } فَ َقال َ ْت عَائِ َشٰ ُة ِم ْن َو َراء الح َج‬
14
‫الْ ُق ْرآ ِن اَّل َأ َّن اهَّلل َ َأ ْن َز َل عُ ْذ ِري‬
‫ِإ‬
“Dari Mûsa ibn Ismâ`îl, dari Abu `Awânah, dari Abi Bisyr, bahwa Yûsuf ibn Mâhak
berkata, "Muawiyah (ibn Abu Sufyan ra) mengangkat Marwan sebagai (gubernur
daerah) Hijaz. Dalam pidatonya, Marwan (berkampanye) agar Yazid ibn Muawiyah
dibaiat sebagai khalifah setelah ayahnya (wafat). Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a.
berbicara (dan mengungkapkan ketidaksetujuannya). Marwan menyuruh (para
pembantunya) menangkapnya. Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah dan selamat dari
kejaran (para pembantu Marwan). Marwan berkomentar, 'Dialah sebab turunnya ayat
(dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya,
apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan?)'
14
al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Kitâb tafsîr al-Qurân, Bâb wa allazî qâla li wâlidaihi, no. 4453.
Aisyah menjawab dari belakang hijab, 'Allah Taala tidak menurunkan Al-Qur’a>n satu
ayatpun terhadap (keluarga) kami, kecuali ayat-ayat yang membebaskan diriku (dari
fitnah).' "
b. Pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun terhadap Abdurrahman ibn Abi Bakar
r.a. adalah pendapat yang lemah. Karena Abdurrahman masuk Islam setelah ayat ini
turun, taat beragama dan salah seorang kaum muslimin yang terbaik pada masanya.15
c. Al-'Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat ini turun terhadap salah
seorang anak Abu Bakar al-Shiddiq r.a.. Menurut Ibnu Katsir kesahihan hadis ini
masih perlu diteliti.16
d. Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Mujahid berpendapat bahwa ayat ini turun terhadap
Abdullah ibn Abu Bakar al-Shiddiq r.a., demikian juga pendapat Ibnu Juraij sendiri.
Sebagian ulama salaf seperti al-Suddi berpendapat bahwa ayat ini turun terhadap
Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a. Menurt Ibnu Katsir seperti dinyatakannya di atas
bahwa ayat ini bersifat umum dan mencakup semua orang yang durhaka kepada kedua
orang tuanya, mendustakan kebenaran dan mengatakan kepada keduanya,"Cis bagi
kamu berdua." sebagai indikasi kedurhakaannya.17
e. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ali ibn al-Husain dari Muhammad ibn al-'Alaa dari
Yahya ibn Abi Zaidah dari Ismail ibn Abi Khalid bahwa Abdullah ibn al-Madini
berkata, "Pada suatu hari saya berada di dalam mesjid (mesjid Nabawi) dan Marwan
berpidato, 'Sesungguhnya Allah Taala telah memberi ilham yang baik kepada Amirul
Mukminin (Muawiyah ibn Abi Sufyan) dalam masalah Yazid (anaknya). Ilham itu
adalah agar ia mengangkat anaknya sebagai penggantinya. Pengangkatan seperti itu
juga telah dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar r.a.' Abdurrahman ibn Abu Bakar
r.a. berkomentar, 'Apakah anda akan menerapkan sistem monarki? Sesungguhnya Abu
Bakar r.a. tidak pernah mengangkat anak dan keluarganya sebagai penggantinya, dan
tidak memberi jabatan kepada Muawiyah kecuali karena rasa sayang dan memuliakan
anaknya.' Marwan berkata, 'Bukankah engkau yang dimaksud oleh ayat dan orang
yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya (ayat 17
surah al-Ahqâf)?' Abdurrahman r.a. berkata, 'Bukankah engkau anak orang yang
dilaknat? Bukankah Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu?' Perdebatan panas
15
. . . Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-`Azhîm, Jilid 4, hlm. 161
16
. . . Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-`Azhîm, Jilid 4, hlm. 161
17
. . . Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-`Azhîm, Jilid 4, hlm. 161
mereka ini didengar oleh Aisyah r.a. dan ia berkata, 'Wahai Marwan, engkaukah yang
berkata kepada Abdurrahman r.a. seperti yang aku dengar? Engkau dusta! Ayat itu
tidak turun terhadapnya, tetapi turun terhadap Polan ibn Polan.' Lalu Marwan
menangis tersedu-sedu, turun dari mimbar dan mendatangi pintu kamar Aisyah. Ia
berbicara sejenak dengannya lalu pergi."18
f. Hadis al-Nasâi

‫قال النسائ حدثنا عيل بن احلسني حدثنا أميٰٰة بن خادل حٰٰدثنا شٰٰعبة عن محم ّٰٰد بن زايد قٰٰال ملا ابيع‬
‫معاوية ريض هللا عنه البنه قال مروان سنة أيب بكٰٰر و معر ريض هللا عهنام فقٰٰال عبٰٰد الٰٰرمحن بن‬
‫ايب بكر ريض هللا عهنام سنة هر وقصري فقال مٰروان هٰٰذا اذلي أنٰٰزل هللا تعٰٰاىل فيٰٰه ( َواذَّل ِ ي قَٰٰا َل‬
‫ِل َوادِل َ يْ ِه ُأ ّ ٍف لَمُك َا) فبلغ ذكل عا ئشة ريض هللا عهنام فقالت كذب مروان وهللا ما هو بٰٰه ولٰٰو شٰٰئت‬
‫أن أمسي اذلى أنزلت فيه لسميته ولكن رسول هللا صىل هللا عليٰٰه وسٰٰمل لعن أاب مٰٰروان ومٰٰروان‬
19
‫يف صلبه مفروان فضفض من لعنة هللا‬
Al-Nasa>’i> meriwayatkan dari `Ali ibn al-Husain, dari Umayyah ibn Khâlid,
dari Syu`bah, bahwa Muhammad ibn Ziyâd berkata, "Ketika Muawiyah r.a.
menunjuk anaknya (sebagai penggantinya bila ia wafat), Marwan berkata, '(Suksesi
ini mengikuti) tradisi (suksesi) Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.' Abdurrahman ibn Abu
Bakar r.a. berkata, '(Yang diikuti adalah) tradisi Herkules dan Kaisar.' Marwan
berkata, 'Dialah sebab turunnya ayat (dan orang yang berkata kepada dua orang ibu
bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya.").' Ada yang menyampaikan perkataan Marwan
ini kepada `Aisyah. Ia berkata, 'Marwan berdusta, demi Allah, bukan (Abdurrahman)
yang menjadi sebab turunnya (ayat itu), bila aku mau aku dapat menyebut nama
orang yang menjadi sebab turunnya (ayat itu). Tetapi Rasulullah saw. melaknat ayah
Marwan ketika Marwan masih berada di tulang sulbi ayahnya. (Dengan demikian)
Marwan sendiri mendapat sebagian dari laknat itu.' "
Al-Razi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat berikutnya
menyebut salah satu sifat anak yang sangat durhaka kepada orang tuanya. Yaitu
menolak ajakan kedua orang tuanya untuk mengimani adanya hari kiamat. Ajakan
mulia dari dari orang tua yang wajib dimuliakan itu dijawab dengan jawaban yang
kasar dan tidak logis. Bila maksud ayat adalah menerangkan salah satu sifat anak
yang sangat durhaka kepada orang tuanya, maka kata allâdzi pada ayat sebelumnya
tetap bermakna umum dan tidak tertuju kepada satu orang, apalagi terhadap

18
. . . Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-`Azhîm, Jilid 4, hlm. 162
19
. . . Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-`Azhîm, Jilid 4, hlm. 162
Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a.20 Sedang al-Nasafi mengatakan bahwa kata allâdzi
pada ayat di atas bermakna umum dan mencakup semua penuturnya. Karena itu
khabar-nya berbentuk jamak.21

BAB III

PENUTUP

20
al-Râzi, Mafâtîh al-Ghaib, Jilid 14, hlm. 222
21
al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, Jilid 2, hlm. 554
A. Kesimpulan

Awal mula cerita isra>i>liya>t ditemukan yaitu ketika kaum Yahudi berhijrah
dan menetap di yastrib, dan dikatakan juga bahwa sebelum adanya bentuk-bentuk dakhi>l
seperti yang kita ketahui sekarang, cerita isra>i>liya>t merupakan bentuk dakhil paling
awal. Kemudian benih-benih al-dakhi>l pun mulai bermunculan pada masa Rasul saw.
dan sahabat, terutama ketika sebagian sahabat ada yang berani berinteraksi dan berdiskusi
dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Kemudian benih-benih al-Dakhil yang ada pada zaman Rasul dan sahabat pun
tumbuh dan bersemi pada masa tabi’in dan terus berkembang pada masa-masa
setelahnya, terutama pada masa dinasti Umayah (661-750) dan dinasti Abbasi>ya (750-
1258 M) ketika kebudayaan, tradisi penerjemahan dan kajian-kajian ilmiah dalam
berbagai disiplin ilmu ditumbuh suburkan.22

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014).

Al-Alûsi, Rûh Al-Ma`Âni, jilid 2, ( Beirut, Da>r Ihya> al-Tura>ts al-‘Arabi)


22
Ulinnuha Muhammad, Metode Kritik al- Dakhi>l fi> al-Tafsi>r, Jakarta: QAF, 2019. Hlm. 62
Al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Kitâb Tafsîr Al-Qurân, Bâb Wa Allazî Qâla Li Wâlidaihi.

Al-Râzi, Mafâtîh Al-Ghaib, jilid 11, (Kairo: Da>r al-Ghad al-Arabi, 1991).

Al-Turmuzi, Sunan Al-Turmuzi, Kitâb Tafsîr Alqurân `An Rasûlillâh, Bâb Min Sûrah Al-Mâidah.

Fa>yed, Al- Dakhi>l Fi> Al-Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m.

Ibnu Hajar, Al-Ishâbah Fî Tamyîz Al-Shahâbah, Beirut: Dâr Al-Jail, 1992, Cet. Ke-1.

Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-`Azhîm. Jilid 2, (Kairo: Da>r al-Hadits, 1988).

Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. Mudzakir As (Bogor: Litera

Antarnusa, 2011).

Ulinnuha Muhammad, Metode Kritik Al- Dakhi>L Fi> Al-Tafsi>R, Jakarta: Qaf, 2019.

Anda mungkin juga menyukai