Anda di halaman 1dari 11

UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

Nama : Mas’ud Maulana


NIM : 1191030123
Kelas : IAT 6 C
Matkul : Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer
Dosen : Dr. Solehudin, M.Ag

JAWABAN :
1. Definisi
A. Tafsir bi Al-Matsur
Tafsir bil ma’tsur ialah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan nash-nash.
termasuk dalam penafsiran tersebut yaitu berdasarkan penafsiran Al-Qur’an itu sendiri,
penafsiran berdasarkan apa yang dikutip dari Rasulullah SAW dan berdasarkan apa yang
dikutip dari parasahabat dan tabi’in, atau
Tafsir yang berdasarkan pada al – Qur’an atau riwayat yang shahih sesuai urutan yang telah
disebutkan dimuka dalam syarat – syarat mufassir . Yaitu menafsirkan al –Qur’an dengan
al Qur’an ( ayat dengan ayat ), Al Qur’an dengan sunnah , perkataan sahabat karna
merekalah yang paling mengetahui kitabullah , atau dengan pendapat tokoh –tokoh besar
tabi’in.
B. Tafsir bi Al-Ma’qul
Ma’qul atau ta’aqqul dapat diartikan dengan upaya menafsirkan'menginterpretasikan( ayat
agar sesuai dengan situasi dan kondisikemaslahatan masyarakat. Tafsir bil ma’qul atau
disebut juga tafsir bil ra’yi merupakan penafsiran yang dilakukan mufassir dengan
menjelaskan ayat-ayatal-Qur’an berdasarkan pendapat akal, atau tafsir yang di dalam
menjelaskanmaknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri
dan penyimpulan (istinbat)yang didasarkan pada ra’yu semata. Ra’yu semata yang tidak
disertai bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap Kitabullah.
C. Asumsi Dasar
- Tentang sumber tafsir bil Ma’tsur
Setelah wafat Rasulullah, para sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya
mereka yang mempunyai kemampuan seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka’ab, dan Ibnu Mas'ud. Sementara sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah.
Kususnya sejarah Nabi atau kisah-kisah yang tercantum kedalam al-Qur’an, kepada tokoh-
tokoh ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah bin Salam, Ka’ab
al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Isra’Iliyyat. Disamping itu
para tokoh tafsir, dari golongan sahabat yang disebutkan, mempunyai murid-murid dari
para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersbut. Gabungan dari tiga sumber diatas,
yaitu penafsiran Rasullah Saw, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran tabi’in,
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bil - Ma’tsur.
Muhammad Ali Ash-Shabhunniy mendukung penggunaan Tafsir bil-Ma’tsur, khususnya
pada tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah dan tafsir
sahabat, tetapi untuk tafsir Tabi’in beliau menyangsikannya. Menurutnya, Kedua cara
penafsiran tersebut, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan sunnah merupakan jenis tafsir yang
panjang, luhur dan tidak ragu lagi untuk diterima. Bentuk penafsiran yang pertama (al-
Qur’an dan al-Qur’an) karena Allah Ta’ala lebih mengetahui maksudnya daripada yang
lainnya. Kitab Allah Swt adalah suatu berita yang paling benar dan tidak terdapat
pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan bentuk tafsir kedua (al-
Qur’an dengan sunnah Rasul), karena al-Qur’an itu sendiri menegaskan bahwa Rasul
adalah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Oleh karenanya segala sesuatu yang
disampaikan Rasul yang sanadnya shahih patuh untuk dijadikan pegangan. Untuk tafsir
para sahabat, menurut beliau tafsir ini termasuk dalam tasir yang mu’tamad (dapat
dijadikan pegangan), karena para sahabat ini pernah bertemu dan berkumpul secara
langsung dengan Nabi Saw. mengambil dari sumbernya yang asli, menyaksikan turunnya
wahyu, serta mengetahui Asbabun Nuzul. Sedangkan pada tafsir tabi’in, beliau lebih
memilih berhati-hati.
- Tentang sumber tafsir bil Ra’yi
Pada awalnya para ulama enggan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu, apalagi ada atsar
yang mengatakan: “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut ra’yu, dan ia benar,
maka ia telah salah.” Maka oleh sebab itu, mereka menolak segala penafsiran al-Qur’an
yang didasarkan pada ra’yu semata, kecuali yang memiliki dasar atau memenuhi
persyaratan menurut standar mereka. sekian banyak problem baru yang bermunculan dari
saat ke saat yang memerlukan jawaban dan bimbingan, sedangkan hal tersebut tidak
ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini lahirlah upaya
memahami/menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan sejak itu lahirlah tafsir bir-
ra’yi. Walaupun sebenarnya tidaklah keliru dari segi substansi jika dikatakan bahwa
penafsiran Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau pun adalah tafsir bir-ra’yi, karena mereka
juga menggunakan nalar mereka dalam upaya memahami al-Qur’an.
Sebagian ulama mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri
ayat Al-Qur’an, meski ia dikatakan ‘alim (ulama), mengenai bahasa dan sastra Arab (adid),
banyak menguasai dalil-dalil agama, mengerti ilmu nahwu,hadis Nabi dan
mengetahui atsar para sahabat Nabi. Yang diperbolehkan hanyalah menafsirkan Al-
Qur’an sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi saw melalui sahabat dan tabi’in.
Sementara itu sebagian ulama yang lain berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan
bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan luas, hendaknya menafsirkan al-Qur’an
dengan akal dan ijtihadnya.
D. Contoh Kitab
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

- Adapun kitab-kitab tafsir bil-Ma’tsur antara lain:


Tafsir Jami’ul Bayan (Ibnu Jarir Ath- Thabary), Tafsir al-Bustan (Abu Laits as-
Samaraqandy), Tafsir Baqy Makhlad, Tafsir Mu’allimat Tanzil (al-Baghawy), Tafsir al-
Qur’anul ‘Adzim (Ibnu Katsir), Tafsir Asbabun Nuzul (al-Wahidy), Tafsir al-Nasikh wa
al-Mansukh (Abu Ja’far an-Nahhas), Tafsir Durrul Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (As-
Sayuthy), Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân Karya Sayyid Qutub.
-Adapun kitab-kitab tafsir bil Ra’yi antara lain:
Contoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan
Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)
Contoh kitab yang Mazhmum
Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan
Syi’ah
Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin
Muhammad) dari golongan Zayidiyah
E. Contoh Penafsiran di kitab tafsir modern-kontemporer
- yang menggunakan sumber tafsir bi al-Ma’tsur: Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân Karya Sayyid
Qutub.
َ‫َٱَّللَلعلَّكُ ْمَت َُْف ِل ُحون‬
َّ ‫وا‬ َٰ ‫َٱلرب َٰ َٰٓو ۟اَأض َْٰعفًاَ ُّم‬
۟ ُ‫ضعفةًََۖوٱتَّق‬ ِ ‫وا‬ ۟ ُ‫َٰيَٰٓأيُّهاَٱلَّذِينَءامن‬
۟ ُ ‫واََلَتأْكُل‬
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. Dan peliharalah dirimu
dari api neraka, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran {3}: 130)
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata berlipat ganda disini adalah
deskripsi bagi fakta, bukan sebagai syarat yang berhubungan dengan hukum. Teks yang
terdapat pada surat Al-baqarah dibawah ini mengandung kepastian pengharaman sumber
riba, apapun itu, tanpa batas dan tanpa ikatan. Allah SWT berfirman:
َ‫َٱلرب َٰ َٰٓو ۟ا‬ ۟ ‫وذ ُر‬
ِ ‫واَماَبقِىَمِن‬
Artinya: “Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. Al-Baqarah {2}: 278)
Menurut Sayyid Qutb pada hakikatnya riba tidak hanya atribut sejarah bagi praktik-praktik
riba yang terjadi di jazirah Arab. Lebih dari itu, yang dimamksud dengan hakikat
pelanggaran di sini adalah esensi riba itu sendiri. Yaitu karakteristik yang melekat pada
sistem riba, berapapun nilai bunganya (Qutb, 1995). Sistem riba mempunyai pengertian
pengaturan sirkulasi perputasran uang. Yang berarti bahwa praktik-praktik riba tidak hanya
praktik personal saja dan bukan pula praktik yang sederhana. Lebih dari itu, di satu sisi riba
adalah praktik yang berulang-ulang, dan di sisi yang lain riba adalah praktik yang
kompleks. Praktik tersebut muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman,
selalu berulang, dan sangat kompleks. Tujuan utama sistem ini adalah untuk merusak
kehidupan moral, selain itu hal ini juga dapat merusak kehidupan ekonomi dan plitik. Dari
itu semua menjadi jelas keterkaitan sistem riba dengan kehidupan umat manusia dan
dampaknya, yaitu membuat sengsara mereka semua (Qutb, 1995).
-Contoh sumber tafsir bi al-ra’yu
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud
Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam
al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”,
mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
ً ‫َٱلروحَُ ِمنْ َأ ْم ِرَرَبِىَوما ََٰٓأُوتِيت ُمَمِنَٱ ْل ِع ْل ِمَإِ ََّلَقل‬
َ‫ِيل‬ ُّ ‫وحََۖقُ ِل‬
ِ ‫سـَٔلُونكَع ِنَٱل ُّر‬
ْ ‫وي‬
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau
jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia
bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu
termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah
lebih baik. Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir
tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat
tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

2. Definisi Metode Tafsir


A. Metode Tafsir Tahlili
Metode ini menjelaskan uraian ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan tata
urutan mushaf dengan penjelasan yang cukup terperinci disertai dengan pemanfaatan
asbab al-nuzul, kemudian disimpulkan prinsip-prinsip umum dengan pengetahuan
lainnya guna untuk membantu pemahaman nash al-Qur’an. Penafsirnya harus
menyajikan penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan,yakni lengkap melingkupi bahasan
lafal, kosa kata, arti dan sasaran yang dituju dalam mengungkap kandungan ayat, yang
kemudian mendapatkan suatu kecondongan tertentu terhadap corak penafsiran pada
bidang tertentu seperti halnya tafsir lughawi, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir
Ilmi dan tafsir adabi-ijtima’i.
B. Metdoe Tafsir Ijmali
Tafsir ijmali (global) Tafsir ijmali menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan
ringkas, hanya sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim) kata-kata yang sukar
dengan sedikit keterangan. Metode tafsir ijmali merupakan penafsiran al-Qur’an yang
didasarkan pada sistematika ayat secara ayat per ayat dengan uraian ringkas tetapi jelas,
dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikomunikasikan baik oleh
masyarakat awam maupun intelektual.
C. Asumsi Dasar
-Tentang Metode tafsir Tahlili
Metode tahlili sering disebut juga dengan metode analitis. Dengan pendekatan ini mufasir
mengikuti al-Qur‟an dengan menjelaskan sedikit demi sedikit secara rinci, menggunakan
berbagai sarana yang diyakini efektif untuk menafsirkan al-Qur‟an seperti penggunaan arti
leksikal, penggunaan hadits, atau pun menggunakan ayat-ayat yang dipandang mempunyai
kesamaan kata, atau pun istilah dengan ayat-ayat yang sedang menjadi kajian utama. yang
menjadi ciri dalam metode ini bukan menafsirkan al-Qur‟an dari awal mushaf sampai
akhirnya, melainkan terletak pada pola dari pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama
pembahasan tidak mengikuti pola perbandingan atau tipikal, atau juga global, maka
penafsiran tersebut dapat digolongkan ke dalam tafsir tahlili, sekalipun uraiannya tidak
mencakup keseluruhan mushaf mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas, seperti
tafsir al-Manar karya monumental Rasyid Ridha. Walaupun kitab tafsir ini belum
menafsirkan al-Qur‟an sampai akhir mushaf, kitab tersebut tetap dapat dikategorikan ke
dalam tafsir tahlili (analitis).
-Tentang Metode Tafsir Ijmali
Mufassir yang menggunakan metode ijmali dalam menyajikan penafsirannya
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari kitab suci al-Qur’an dengan
menambahkan beberapa kata atau kalimat penghubung, sehingga dapat memudahkan
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

pembaca untuk memahaminya. Disisi lain seorang mufassir yang menggunakan metode
seperti ini juga dapat meneliti asbabun nuzul (peristiwa yang melatar belakangi turunnya
ayat), riwayat qira’at (macam-macam bacaan) dan hadits-hadits atau atsar-atsar yang
berhubungan dengannya. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir membahas ayat demi
ayat sesuai dengan susunan mushaf kemudian mengemukakan makna global yang
dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam
rangkaian ayat-ayat atau mengikuti pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah
dipahami oleh semua orang. Di dalam tafsirnya, seorang penafsir menggunakan lafadz
bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazd al-Qur‟an, sehingga pembaca akan merasa
bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa alQur‟an itu sendiri, tidak jauh dari
lafadznya. Sehingga, di satu sisi karya ini dinilai betul-betul sebagai karya tafsir dan sisi
lain, betul-betul mempunyai hubungan erat dengan susunan bahsa al-Qur‟an. Pembahasan
yang disertai dengan ayat-ayat al-Qur‟an ini, dimana seakan-akan al-Qur‟an itu sendiri
yang berbicara, membuat makna-makna dan maksud yang jelas. Dengan demikian lafadz-
lafadz al-Qur‟an tersebut memperjelas tujuan dan manfaat yang diharapkan
D. Contoh Kitab
- yang menggunakan metode tahlili : seperti tafsir Al-Ibriz li Ma‘rifat Tafsir al-Qur’an al-
‘Aziz karya Bishri Musthafa, tafsiral-Azhar karya Hamka dan Tafsir al-Nur karya
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, dan tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraisy Sihab,
Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân Karya Sayyid Qutub.

- yang menggunakan metode Ijmali: Kitab tafsir terutama kitab tafsir kontemporer banyak
yang menggunakan metode ijmali, di antara kitab tafsir yang menggunakan
metode ijmali adalah: Al-Tafsir al-Wadlih ditulis oleh Dr. Muhammad Hijazi. Tafsir al-
Basith oleh Dr. Wahbah Zauhaili. Fath al-Bayan fi Maqosid al-Qur’an ditulis oleh Dr.
Shidiq Hasan Khan.

E. Contoh Penafsiran di tafsir modern-kontemporer


- yang menggunakan metode tahlili
Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Karya Sayyid Qutub, Q.S. An-Nisa ayat 160-161
‫ِيرا‬
ً ‫َٱَّللِ َكث‬
َّ ‫ت َأُحِ لَّتْ َل ُه ْم َوبِص ِد ِه ْم َعن َسبِي ِل‬ ٍ ‫َح َّر ْمنا َعل ْي ِه ْم َطيِ َٰب‬ ۟ ‫فبِظُ ْل ٍم َمِن َٱلَّذِين َهاد‬
‫ُوا‬
‫اس َبِٱ ْل ََٰب ِط ِلَۚ َوأعْتدْنا َ ِل ْل َٰكف ِِرين َ ِمنْ ُه ْم َعذابًا َألِي ًما‬
ِ َّ‫َعنْه ُ َوأ ْك ِل ِه ْم َأ ْم َٰول َٱلن‬ ۟ ‫َٱلرب َٰو ۟ا َوق ْد َن ُ ُه‬
‫وا‬ ِ ‫وأ ْخ ِذ ِه ُم‬

Artinya: “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan
yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan, dank arena mereka sering menghalangi
(orang lain) dari jalan Allah. Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh
mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak
sah (batil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih”
(QS. An-Nisa {4}: 160-161).
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

Melalui ayat ini seolah Allah SWT berkata kepada kita, “Maka karena kezaliman orang-
orang Yahudi, kami halangi mereka dari makan-makanan yang baik yang sebenarnya
dihalalkan bagi mereka. Hal itu juga karena kebanyakan mereka berpaling dari jalan Allah
SWT. Dan memakan harta riba yang sungguh telah dilarang bagi mereka. Mereka juga
memakan harta manusia dengan cara yang batil. Maka karena itu semua, kami persiapkan
siksa yang menyakitkan bagi orang-orang yang ingkar di anatara mereka” (Qutb, 1995).
Dalam ayat ini Sayyid Qutb memaparkan tentang kemungkaran-kemungkaran orang
Yahudi. Selain itu dalam ayat ini juga dijelaskan bagaimana karakter asli orang-orang
Yahudi yaitu seperti kesombongan mereka, penolakan mereka terhadap ajakan para Rasul,
serta kebengisan mereka. Diantara kemungkaran mereka adalah mereka tetap mengambil
bagian dari harta riba, yang mana hal itu sudah dilarang oleh Allah SWT. Mereka memakan
banyak harta orang lain dengan batil, yaitu dengan menggunakan praktik riba yang penuh
dengan kecurangan. Kemungkarang yang mereka lakukan ini menyebabkan pengharaman
makanan yang dahulunya dihalalkan. Dan Allah telah menyiapkan siksa yang pedih untuk
orang-orang kafir dari golongan mereka.
-Yang menggunakan metode Ijmali
Contoh penafsiran Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir Al-Wasith
Pengharaman shalat ketika mabuk dan keringanan berupa tayammum.
Shalat yang diwajibkan di dalam islam merupakan mi‟raj jiwa yang beriman menuju Allah
SWT. Shalat adalah mihrab ketakwaan, kejernihan jiwa, kenyamanan hati, dan penyejuk
bagi mata. Karena itu, yang dituntut di dalam pelaksanaan shalat adalah menghadirkan
sikap khusyu‟, thumma‟ninah (tenang), ketenangan anggota badan, hadirnya akal dan
kesadaran, memahami bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan yang diulang-ulang di dalam
shalat, serta kesucian badan. Maka batallah shalat orang mabuk, orang junub, dan orang
yang berhadats. Al-Qur‟anul karim memper mudah pelaksanaan shalat selama akal dan
kesadaran terpenuhi. Al-Qur‟an memperlakukan kondisi lemah, sakit, dan tidak
mendapatkan air karena perjalanan. Maka, syariat membolehkan apa yang disebut sebagai
tayammum, yaitu melakukan dua buah pukulan (dengan telapak tangan) pada tanah atau
debu yang tersebar did dinding atau perkakas, lalu mengusap wajah dan kedua tangan
hingga siku dengan masing-masing pukulan tersebut.
۟ ُ ‫سل‬
َ‫واََۚو ِإن‬ ِ ‫جنُبًاَإِ ََّلَعابِ ِرىَسبِي ٍلَحت ََّٰىَتغْت‬ َُ َ‫واَماَتقُولُونَوَل‬ ۟ ‫واَٱلصَّل َٰوةَوأنت ُ ْمَسُ َٰكر َٰىَحت ََّٰىَت ْعل ُم‬ ۟ ُ‫َٰيَٰٓأيُّهاَٱلَّذِينَءامن‬
۟ ُ ‫واََلَت ْقرب‬
۟ ‫وا َصعِيدًاَطيِبًاَفٱ ْمَس ُح‬
َ‫وا‬ ۟ ‫ُواَما َٰٓ ًء َفتي َّم ُم‬ ْ ‫ٌَمنكُمَمِن َٱ ْلغآَٰئِ ِط َأ ْو ََٰلم‬
۟ ‫ستُمُ َٱلنِسا َٰٓء َفل ْم َت ِجد‬ ِ ‫كُنت ُمَ َّم ْرض َٰ َٰٓى َأ ْو َعل َٰى َسف ٍر َأ ْو َجا َٰٓءََأحد‬
‫ورَا‬
ً ُ ‫ف‬‫اَغ‬ ‫و‬ًّ ُ ‫ف‬‫َع‬ ‫ان‬ ‫َك‬ ‫َٱَّلل‬ َّ‫ن‬ ‫إ‬ َۗ َ ‫م‬
َّ ِ ْ ْ ْ ِ ُ ُ ِ ‫ك‬
ُ ‫ِي‬
‫د‬ ‫ي‬ ‫أ‬ ‫َو‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ه‬‫و‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ب‬
Sebab turunnya firman Allah, “janganlah kalian mendekati shalat ketika kamu dalam
keadaan mabuk”, adalah seperti yang dikatakan oleh Ali r.a.,“ Abdurrohman bin Auf
menghidangkan makanan dan minuman untuk kami, lalu dia mengundang kita dan
menghidangkan minuman khamr untuk kami ketika khamrmasih mubah dan belum
diharamkan. Kami pun makan dan minum, hingga khamr mengambil kesadaran kami.
Kemudian waktu shalat tiba, mereka mempersilakan saya untuk memimpin shalat. Lalu
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

aku membaca, „katakanlah (Muhammad), „wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa yang kamu sembah‟.
Maka turunlah ayat, „wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika
kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan”. Sedangkan,
Ibnu Jarir ath-Thabari menyebutkan bahwa yang menjadi imam pada waktu itu adalah
Abdurrahman bin auf, bahwa shalat yang dilaksanakan adalah shalat maghrib. Itu terjadi
sebelum khamr diharamkan. Ini menjadi dalil yang jelas bahwa kondisi mabuk menutupi
akal, menyebabkan igauan, dan racunnya perkataan, serta merasuk aqidah dan ibadah.
Karena itu, dalam kondisi mabuk shalat yang dilaksanakan batal, sebagaimana batalnya
shalat bila dilaksanakan dalam kondisi junub. Bahkan orang yang junub diharamkan untuk
masuk masjid, kecuali hanya sekedar lewat, tidak berdiam, berhenti, atau sekedar berdiri
sejenak diseluruh bagian masjid. Nabi saw melarang menghadapkan rumah ke arah masjid,
beliau bersabda di dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah,
“hadapkanlah rumah-rumah ini selain ke arah masjid, sebab aku tidak menghalalkan masjid
untuk orang junub dan perempuan haidl.” Lalu Aisyah menyebutkan ayat, “Janganlah
kamu mendekati sholat ketika junub, (dan jangan masuk ke dalam masjid) kecuali apabila
kamu sekedar melintas di dalam perjalanan.”
Sebab turunnya firman Allah, “maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci),”
adalah seperti yang dikatakan Ali r.a., “Ayat ini, yaitu, „dan jangan pula (kamu hampiri
masjid ketika kamu) dalam keadaan junub.‟ turun terkait dengan seorang musafir yang
terkena junub ia boleh bertayamum dan mendirikan sholat.” Ayat tayamum turun pada
pertempuran muraisi‟, sehingga bagian awal ayat membahas masalah khamr sedangkan
bagian akhirnya membahas kondisi di dalam perjalanan.
Syariat tayamum menjadi keringanan dan kemudahan bagi manusia, sebab shalat berulang
pelaksanaannya lima kali dalam sehari, dan tidak boleh meninggalkannya dalam kondisi
apa pun. Melainkan, bersuci dengan cara wudhu menggunakan air terkadang tidak mampu
dilakukan seorang muslim yang melaksanakan shalat, karena sakit atau halangan. Maka,
syariat yang bijak dan penuh kasih memberi keringanan kepada manusia berupa tayamum
menggunakan tanah yang lebih mirip dengan abu, sehingga shalat tidak ditinggalkan oleh
manusia dalam kondisi apapun. Maksud tujuannya bukanlah memindahkan tanah ke wajah
dan kedua tangan, namun seorang mencari tanah suci yang tidak mengandung najis, dan
terkandung debu di dalamnya, atau bahkan debu diatas batu licin sekalipun, atau perkakas
seperti halnya bantal guling yang mengandung debu. Tata cara tayammum: niat melakukan
kewajiban tayammun, melakukan dua pukulan ke tanah atau tempat-tempat lain seperti
yang telah disebutkan, pukulan pertama untuk wajah dan pukulan kedua untuk kedua
tangan. Orang yang hendak melakukan sholat bisa bertayammum bila ia sedang sakit
dimana ia tidak bisa menggunakan air, atau penggunaan air membahayakan luka akan
memperlama masa kesembuhan. Atau ia sedang dalam perjalanan padang pasir atau jalan-
jalan umum dan terhalang menggunakan air, karena tidak menemukannya atau kesulitan
perjalanan. Sama halnya apakah orang sakit dan musafir tersebut mempunyai hadats kecil
maupun hadats besar, sehingga tayammum diperbolehkan dan berfungsi sebagai pengganti
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

wudlu dan mandi karena tiga halangan: sakit, perjalanan dan tidak menemukan air. Ini
adalah salah satu indikasi toleransi dan keringanan di dalam pelaksanaan sholat, sekaligus
bukti bahwa islam menghilangkan kesulitan dan kesukaran dari manusia. Karenanya, Allah
SWT menutup ayat diatas dengan Firmannya, “Sungguh, Allah SWT Maha Pemaaf ,Maha
Pengampun”. Allah SWT memberi maaf, dimana Dia mempermudah sholat bagi orang
yang mendapatkan halangan tanpa harus berwudlu dan mandi. Allah SWT menerima maaf,
yakni kemudahan, dan mengampuni dosa, yakni mencegah hukuman atas dosa tersebut
sehingga Allah SWT tidak menghukum dengan orangorang yang memperbaiki diri dan
bertaubat. Dan Dia Yang Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun , dia lebih mengutamakan
pemberian kemudahan dan tidak bersikap keras, karena Allah Maha Pengasih dan
Penyayang terhadap hamba-hambanya
3. Definisi Metode Tafsir Maudhu’i fi Surah
Metode tafsir maudhu’i atau menurut Muhammad Baqir al-Shadr sebagai metode al-
Taukhidiy adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-
sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya dan
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian pemperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubunganhubungannya dengan ayat-
ayat yang lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum. Dari pengertian tersebut dapat
difahami bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir jenis ini adalah tafsir yang
menjelaskan beberapa ayat alQur’an mengenai suatu judul/tema tertentu, dengan
memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan sebab-sebab
turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala seginya dan
diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan yang benar yang
membahas topik/tema yang sama, sehingga lebih mempermudah dan memperjelas
masalah, karena al-Qur’an banyak mengandung berbagai macam tema pembahasan yang
perlu dibahas secara maudhu’i, supaya pembahasannya bisa lebih tuntas dan lebih
sempurna.
B. Asumsi Dasar
Penggunaan metode ini biasanya sebagai respon mufassirnya atas persoalan yang butuh
“pandangan” al-Qur’an. Metode maudhu’i ini sementara waktu dianggap paling baik dan
sesuai dengan tuntutan zaman. Pembahasannya yang menyeluruh dari berbagai segi
memungkinkan metode ini dalam pemecahan masalahnya berusaha tuntas. Apalagi jika
penggarapannya dilakukan oleh ahli dalam bidang yang ditafsikan, atau gabungan dari
ahli-ahli untuk melihat berbagai segi sebelum menyimpulkannya
C. Contoh Kitab
Contohnya seperti Tafsir Sufi al-Fatihah Karya Jalaluddin rakhmat, Tafsir Ayat-Ayat
Sosial Politik karya Syu’nah Asa,Tafsir al- Hijri Karya Didin Haiduddin, Tafsir al-
Misbah Karya M. Quraish Sihab, Tafsir Maudhu’i al -Muntaha Karya Muchotob
Hamzah, dkk, Tafsir Al-Qur’an Tematik karya Kemenag RI dan beberapa karya tesis
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

dan disertasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) baik negeri maupun swasta,
Tafsir Zanjabil karya Dr. H. Abdurrahman R.A. Haqqi dan Dr. H. Mohammad Nabil Al-
Munawwar,
D. Contoh Penafsiran di kitab tafsir modern-kontemporer
Contoh di kitab Tafsir Zanjabil
Manusia di cipitakan dari diri yang satu: Al-Quran Surat An-nisa ayat 1
َ‫َٱَّلل‬
َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫اَرج ًاَل َكثِي ًراَونِسا َٰٓ ًءََۚوٱتَّق‬
ِ ‫ث َ ِمنْ ُهم‬ ۟ ُ‫اس َٱتَّق‬
َّ ‫وا َربَّكُ ُم َٱلَّذِىَخلقكُمَمِنَنَّ ْف ٍس ََٰوحِ دةٍَوخلق َمِ نْهاَز ْوجهاَوب‬ ُ َّ‫يَٰٓأيُّهاَٱلن‬
‫َٱَّللَكانَعل ْيكُ ْمَرقِي ًبا‬َّ َّ‫ٱلَّذِىَتسا َٰٓءلُونَ ِب ِهۦَو ْٱْل ْرحامََۚ ِإن‬
Artinya: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya, Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Ayat pertama adalah satu dari dua ayat dalam al-Qur'an yang dimulai dengan "Ya ayyuhan
Naas". Ayat ini dimulai dengan imbauan kepada seluruh manusia agar bertakwa kepada
Allah SWT. Dia menciptakan manusia dari diri yang satu, yaitu Adam. Kata khalaqa
digunakan pada saat Allah mengatakan menciptakan manusia yang pertama. Khalaqa
adalah menciptakan, yakni dari yang belum pernah ada. Kemudian kata khalaqa diulangi
lagi pada saat berbicara penciptaan istrinya (Hawa). Karena penciptaan Adam dan Hawa
merupakan masalah ghaibiyat, dalil yang boleh diterima adalah hanya al-Quran dan hadis,
penalaran akal manusia ditolak demi keimanan.
Menurut jumhur ulama, berdasarkan hadis-hadis yang sahih riwayat Bukhari dan Muslim,
Hawa diciptakan dari rusuk belakang kiri Adam. Asal penciptaan tidak ada kaitannya
dengan kedudukan laki-laki dan perempuan. Mencipta adalah hak Allah SWT, semuanya
penuh hikmah jika ditelaah dengan hati yang bening. Setelah Allah SWT menciptakan
Adam dan Hawa, Dia memperkembangbiakkan manusia dari hubungan suami-istri.
Setelah berbicara masalah penciptaan manusia, Allah mengimbau agar manusia tersebut
bertakwa kepada-Nya dan memelihara hubungan silaturahmi. Ayat ini diakhiri dengan
suatu peringatan bahwa Allah SWT selalu mengawasi gerak-gerik manusia. Setiap langkah
manusia diawasi oleh Allah SWT, tak ada yang luput. Peringatan ini berkaitan erat dengan
ayat berikutnya, masalah amanat terhadap anak yatim.
UJIAN TENGAH SEMESTER METODOLOGI TAFSIR MODERN-KONTEMPORER

Anda mungkin juga menyukai