DAN
DINAMIKA HUKUM ISLAM
Muhammad Syukur, MA
Makna Al-Qur’an
Secara etimologis, kata Al Qur’an berasal dari bahasa
Arab al-qur’an yang berarti bacaan.
Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini
adalah otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dan dibaca Rasulullah saw lima belas abad
yang lalu.
Bukti Keotentikan Al-Qur’an
2. Matematis
Abdurrazaq Nafwal dalam buku atau kitab ”Al-I’jaz Al-Adabiy li Al
Quran Al Karim” yang terdiri dari 3 jilid mengemukakan berbagai contoh
tentang keseimbangan ini. Ringkasannya adalah:
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya (lawan
katanya),contohnya:
”Al Hayah” (hidup) dan ”Al Mawt” (mati), masing-masing sebanyak 145 kali
”Al Naf’” (manfaat) dan ”Al Madharrah” (mudarat), masing-masing sebanyak
50 kali
”Al Har” (panas) dan ”Al Bard” (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali
Bukti Keotentikan Al-Qur’an
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau
kesamaan makna yang dikandungnya, contohnya:
”Al Quran ”, ”Al Wahyu”, dan ”Al Islam” (Al Quran , wahyu, dan Islam)
masing-masing sebanyak 70 kali
”Al ’Aql” dan ”Al Nur” (akal dan cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali
”Al Jahr” dan ”Al ’Alaniyah” (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali
Hadits Musnad. Hadits yang urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak
terpotong pada bagian tertentu.
Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in
menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang tabi'in (penutur 2)
mengatakan "Rasulullah berkata..." tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang
menuturkan kepadanya).
Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur
yang tidak berturutan, selain shahabi.
Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak
ada sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai
kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara
dirinya hingga Rasulullah.
Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadits
ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan
bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung.
Pembagian serta Pengelompokan
Hadits
3. Berdasarkan jumlah penutur(rawi)
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
beberapa sanad. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur
pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat
mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan
40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara
dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan
ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap
riwayat)
Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak
mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis
antara lain :
Gharib, pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada
lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur
Aziz, dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak
Masyhur, tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain
lebih banyak namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Pembagian serta Pengelompokan
Hadits
4. Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun
ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh
rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak
syadz atau cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung atau
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau
mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
Kedudukan Hadits
Ulama menyebutkan As-Sunah menempati urutan kedua setelah
Al-Qur’an dengan beberapa argumentasi yaitu:
Al-Qur’an bersifat Qath’I Al-Wurud (Dalil yang meyakinkan
datangnya dari Allah SWT atau Rasulullah SAW), sedangkan
Al-Hadits bersifat Dhani Al-Wurud (Dalil yang memberikan
sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari Rasulullah SAW)
Al-Hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai wahyu dari pencipta (Allah SWT) dan
Al-Hadits berasal dari utusannya (Rasulullah SAW)
Fungsi Hadits terhadap
Al-Qur’an
1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang
mutlak dan mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis
berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasulullah
mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. An-Nahl ayat 44:
3. “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl : 44)
4. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah
yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan
memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan
burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra
bagi laki-laki.
Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti (bahasa Arab )اﺟﺘﮭﺎدAl-jahd
atau al-juhd yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan), jahada,
yajhadu, dan bentuk masdarnya jahdan, yang berarti berusaha
sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kesungguhan.
Secara terminologis ijtihad berarti usaha maksimal seorang ahli
fiqih guna menemukan hukum suatu masalah yang tidak
terdapat dalam al-quran dan al hadits, atau berusaha
sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas
tentang suatu masalah hukum.
Dasar Hukum Ijtihad
1. Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an, antara lain:
(Q.S. An-Nisa’:59).
“Maka jika kamu berbantah-bantahan kepada suatu urusan,
kembalikanlah akan dia kepada Allah dan Rasulnya”.
(Q.S. Al-Ra’ad:3; Al-Rum:21; Al-Zumar:42)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
(Q.S. Al-Hasyr:2)
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Dasar Hukum Ijtihad
2. Dari Hadits
1. Ijma’
2. Qiyâs
3. Istihsân
4. Maslahah murshalah
5. Syad Adz-Dzarra`
6. Istishab
7. Urf
Syarat Seorang Mujtahid
Wassalam