Anda di halaman 1dari 42

SUMBER AJARAN ISLAM

DAN
DINAMIKA HUKUM ISLAM

Muhammad Syukur, MA
Makna Al-Qur’an
Secara etimologis, kata Al Qur’an berasal dari bahasa
Arab al-qur’an yang berarti bacaan.

Menurut istilah, Al Qur’an sebagai kalam Allah yang


diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril dengan menggunakan bahasa arab sebagai
hijjah (bukti) atas kerasulan Nabi Muhammad SAW dan
sebagai pedoman hidup bagi manusia serta sebagai media
dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
membacanya.
Proses Turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an ini tidak dengan sekali turun, tetapi
berangsur-angsur dari waktu kewaktu. Proses turunnya
Al-Qur’an ada dua tahap, yaitu :
1. Dari lauhil mahfuz ke sama' (langit) dunia secara sekaligus
pada malam lailatul qadar . Hal ini dipertegas dengan
Firman Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat
185 :
"bulan ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk dan penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)"
Proses Turunnya Al-Qur’an
2. Dari sama' (langit) dunia secara berangsur-angsur.
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, terkadang hanya
satu ayat, terkadang beberapa ayat, namun ada juga yang
turun satu surat sekaligus.
Hikmah Turunnya Al-Qur’an
secara berangsur-angsur
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 23
tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Sebagai
bukti dan dalil tentang turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur dapat diketahui dari firman Allah surat
al-Isra’ ayat 106 :
ً‫ﺚ َوﻧَ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎهُ ﺗَ ْﻨﺰِﯾﻼ‬
ٍ ‫س َﻋﻠَﻰ ُﻣ ْﻜ‬
ِ ‫َوﻗُﺮْ آﻧًﺎ ﻓَ َﺮ ْﻗﻨَﺎهُ ﻟِﺘَ ْﻘ َﺮأَهُ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ‬
“Dan al-qur’an itu telah kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakan perlahan-lahan
kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian dmei
bagian”.
Hikmah tentang diwahyukannya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur:
1. Untuk menguatkan atau mengukuhkan hati Rasulullah SAW dalam melaksanakan
tugas sucinya
2. Untuk menghibur hati Nabi pada saat ia menghadapi kesulitan, kesedihan atau
perlawanan dari orang-orang kafir.
3. Untuk memudahkan Rasulullah dan para pengikutnya menghafal Al-Qur’an, karena
mereka pada umumnya ummi atau buta huruf..
4. Agar mudah dimengerti dan dilaksanakan segala isinya
5. Untuk meneguhkan dan menghibur hati pada pengikutnya yang hidup semasa
dengannya
6. Untuk memudahkan mereka sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi-tradisi
jahiliyah yang negatif, seperti minum khamar dan lain-lain.
7. Untuk menujukkan satu kenyataan yang tidak dapat dibantah tentang eksistensi
Al-Qur’an sendiri, bahwa ia merupakan kalamullah semata.
8. Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku di seluruh alam ini. Semuanya
berangsur-angsur atau evolusi, dari kecil berangsur-angsur jadi besar.
Tujuan Pokok Diturunkannya
Al-Qur’an
Secara garis besar Al-Qur’an diturunkan ke bumi dengan tujuan untuk
menuntun manusia hidup selamat di dunia dan di akhirat kelak. Adapun
beberapa penjabaran tujuan diturunkannya Al-Qur’an yaitu :
1. Sebagai penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya
2. Memberikan petunjuk aqidah dan kepercayaan bagi umat manusia yang
harus dianut oleh umat manusia agar menuju jalan Allah yang
sebaik-baiknya.
3. Memberikan syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti.
4. Petunjuk akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma
keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam hidupnya.
5. Petunjuk mengenai syariat dan hukum-hukum, dengan jalan menerangkan
dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan dan sesamanya (makhluk lainnya).
Bukti Keotentikan Al-Qur’an
1. Historis Sosiologis
Untuk menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, Rasulullah SAW tidak hanya menggandalkan hafalan, tetapi
juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat turun, Nabi SAW, lalu memanggil sahabat-sahabat
yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat
dan urutan setiap ayat dalam surahnya.

Naskah yang diterima harus memenuhi dua syarat yaitu:


1. Harus sesuai dengan hafalan para sahabat.
2. Tulisan tersebut benar-benar adalah tulisan atas perintah dan ditulis dihadapan Nabi SAW. Untuk membuktikan
syarat kedua harus adanya dua orang saksi mata.

Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini
adalah otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dan dibaca Rasulullah saw lima belas abad
yang lalu.
Bukti Keotentikan Al-Qur’an
2. Matematis
Abdurrazaq Nafwal dalam buku atau kitab ”Al-I’jaz Al-Adabiy li Al
Quran Al Karim” yang terdiri dari 3 jilid mengemukakan berbagai contoh
tentang keseimbangan ini. Ringkasannya adalah:
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya (lawan
katanya),contohnya:
”Al Hayah” (hidup) dan ”Al Mawt” (mati), masing-masing sebanyak 145 kali
”Al Naf’” (manfaat) dan ”Al Madharrah” (mudarat), masing-masing sebanyak
50 kali
”Al Har” (panas) dan ”Al Bard” (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali
Bukti Keotentikan Al-Qur’an
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau
kesamaan makna yang dikandungnya, contohnya:
”Al Quran ”, ”Al Wahyu”, dan ”Al Islam” (Al Quran , wahyu, dan Islam)
masing-masing sebanyak 70 kali
”Al ’Aql” dan ”Al Nur” (akal dan cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali
”Al Jahr” dan ”Al ’Alaniyah” (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali

3. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang


menunjuk kepada akibatnya, contohnya :
”Al Infaq” (infak) dan ”Al Ridha” (kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali
”Al Bukhl” (kekikiran) dan ”Al Hasarah” (penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali
”Al Kafiruun” (orang-orang kafir) dan ”Al Naar atau Al Ahraq” (neraka atau
pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali
Hadits
Makna Hadits
Secara bahasa, hadits memiliki beberapa pengertian yaitu:
Jadid (baru), Qarib (dekat) belum lama terjadi, Khabar
(berita), Kebiasaan.

Secara ringkas, Hadits adalah perkataan (sabda) disebut


sunnah qauliyah, perbuatan disebut sunnah fi’liyah,
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang
dijadikan landasan syariat Islam disebut dengan sunnah
taqririyah. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain
al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.
Unsur Pokok Hadits
1. Rawi : orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam
suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan
diterimanya dari seseorang (gurunya).
2. Matan : materi atau isi dari suatu hadits.
3. Sanad : jalan yang dapat menghubungkan matan hadits
kepada Nabi SAW.
Pembagian serta Pengelompokan
Hadits
1. Berdasarkan ujung sanad

2. Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung


langsung pada Nabi Muhammad
3. Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada
para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan
maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'.
4. Hadits Maqthu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada
para tabi'in (penerus) atau sebawahnya.
Pembagian serta Pengelompokan
Hadits
2. Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Hadits Musnad. Hadits yang urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak
terpotong pada bagian tertentu.
Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in
menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang tabi'in (penutur 2)
mengatakan "Rasulullah berkata..." tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang
menuturkan kepadanya).
Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur
yang tidak berturutan, selain shahabi.
Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak
ada sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai
kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara
dirinya hingga Rasulullah.
Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadits
ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan
bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung.
Pembagian serta Pengelompokan
Hadits
3. Berdasarkan jumlah penutur(rawi)
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
beberapa sanad. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur
pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat
mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan
40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara
dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan
ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap
riwayat)
Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak
mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis
antara lain :
Gharib, pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada
lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur
Aziz, dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak
Masyhur, tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain
lebih banyak namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Pembagian serta Pengelompokan
Hadits
4. Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun
ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh
rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak
syadz atau cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung atau
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau
mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
Kedudukan Hadits
Ulama menyebutkan As-Sunah menempati urutan kedua setelah
Al-Qur’an dengan beberapa argumentasi yaitu:
Al-Qur’an bersifat Qath’I Al-Wurud (Dalil yang meyakinkan
datangnya dari Allah SWT atau Rasulullah SAW), sedangkan
Al-Hadits bersifat Dhani Al-Wurud (Dalil yang memberikan
sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari Rasulullah SAW)
Al-Hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai wahyu dari pencipta (Allah SWT) dan
Al-Hadits berasal dari utusannya (Rasulullah SAW)
Fungsi Hadits terhadap
Al-Qur’an
1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang
mutlak dan mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis
berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasulullah
mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. An-Nahl ayat 44:
3. “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl : 44)
4. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah
yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan
memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan
burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra
bagi laki-laki.
Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti (bahasa Arab ‫ )اﺟﺘﮭﺎد‬Al-jahd
atau al-juhd yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan), jahada,
yajhadu, dan bentuk masdarnya jahdan, yang berarti berusaha
sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kesungguhan.
Secara terminologis ijtihad berarti usaha maksimal seorang ahli
fiqih guna menemukan hukum suatu masalah yang tidak
terdapat dalam al-quran dan al hadits, atau berusaha
sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas
tentang suatu masalah hukum.
Dasar Hukum Ijtihad
1. Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an, antara lain:

(Q.S. An-Nisa’:59).
“Maka jika kamu berbantah-bantahan kepada suatu urusan,
kembalikanlah akan dia kepada Allah dan Rasulnya”.
(Q.S. Al-Ra’ad:3; Al-Rum:21; Al-Zumar:42)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
(Q.S. Al-Hasyr:2)
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Dasar Hukum Ijtihad
2. Dari Hadits

(H.R. Abu Dawud). Dari Mu’az bin Jabal berkata bahwa


Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana upaya kamu dalam
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’az
menjawad, “akan aku putuskan berdasarkan
Kitabullah(Al-Qur’an)”. Kemudian Nabi bertanya lagi,
“Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam
Al-Qur’an?” Mu’az menjawab, “akan aku selesaikan berdasarkan
dalil-dalil yang ada dalam sunnah Rasulullah”. Kemudian
Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu
dapati dari Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menelesaikannya?”
Mu’az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan
rasioku dan tidak mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah
menepik dada Mu’az sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah
yang telah memberikan petunjuk kepada duta rasul-nya terhadap
apa yang direstui oleh Rosulullah”.
Kedudukan Ijtihad

Ijtihad menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits


Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang
tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain.
Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan
ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi,
akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi
ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
Pembagian Ijtihad
Pembagian ijtihad dilihat dari jumlahnya yaitu:

Ijtihad Fardi (individual) : dilakukan oleh seorang


mujtahid saja (dasarnya yaitu Hadits tentang Muaz/H.R.
Abu Daud dan Tirmizi)
Ijtihad Jama’I (kolektif) : dilakukan oleh sekelompok
mujahidin . Contoh ijtihad yang dilakukan oleh para
sahabat dalam pengangkatan kalifah Abu Bakar Sidiq
sebagai khalifah di bumi.
Ruang Lingkup Ijtihad
1. Masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul
wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih lanjut) dan
zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak
jelas dan tegas).
2. Masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali.

Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih


(jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak
perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah (makna dan
ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan
untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash
tersebut.
Metode dan Bentuk Ijtihad

1. Ijma’
2. Qiyâs

3. Istihsân
4. Maslahah murshalah
5. Syad Adz-Dzarra`
6. Istishab
7. Urf
Syarat Seorang Mujtahid

1. Menguasai bahasa arab


2. Menguasai Al-qur’an
3. Menguasai as-sunnah
4. Menguasai Qiyas
5. Menguasai segi perbedaan dan kesempatan pendapat ulama
6. Memahami tujuan hukum
7. Memehami pemahaman sehat dan pertimbangan baik
8. Mempunyai iktikad baik
9. Bersifat adil dan takwa.
Tingkatan Mujtahid
1. Mujtahid Mustaqil : Merupakan tingkat paling tinggi yang mana si mujtahid secara
sendiri/berdiri sendiri tanpa terikat kepada orang lain, dalam melakukan ijtihad.
2. Mujtahid Muntasib : Merupakan tingkat lebih dibawah dari ijtihad Mutlak. Disini si
mujtahid terikat kepada imam artinya mereka mengikuti kaidah-kaidah imamnya dan
tidak melahirkan kaidah sendiri. Contohnya Abu Yusuf as-Saibani dari kalangan
Hanafiyah.
3. Mujtahid Takhrij : Sangat terikat terhadap imamnya, mereka tidak mengkritik
imamnya dan tidak melahirkan kaidah-kaidah baru dalam berfatwa.
4. Mujtahid Tarjih : Merupakan tingkat ijtihad paling rendah yang mana mujtahid
tidak berijtihad . Mujtahid hanya memilih saja diantara pendapat-pendapat sudah ada
melalui tarjih , dengan cara-cara yang sudah ditentukan oleh para
pendahulu-pendahulunya.
5. Mujtahid Fatwa : Mereka berfatwa dengan pemikiran-pemikiran fiqih hasil
IKHTILAF DAN MAZHAB
Pengertian Ikhtilaf

Ditinjau dari segi asal-asul kata (etimologi), ikhtilaf


berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah:
khalafa, yakhlifu, khilafan. Artinya adalah berbeda
pendapat.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara
dua orang atau beberapa orang terhadap suatu obyek
(masalah) tertentu. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah
tidak samanya atau bertentangannya penilaian hukum
terhadap satu obyek hukum.
Pembagian Ikhtilaf

ikhtilaf Mahmud (terpuji)


Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang
berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan
adab-adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru.
ikhtilaf madzmum (tercela)
Adapun bentuk ikhtilaf mahmudz (tercela) adalah hasil dari
ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran,
tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya.
Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan
hal-hal yang sebenarnya sudah final dan qoth’i hukumnya. Atau
bahkan membuat dalil-dalil baru yang palsu untuk menguatkan
pendapatnya.
Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf

1. Pemahaman al-Qur’an dan as-Sunna


Seperti dimaklumi bahwa sumber syariat Islam yang utama adalah al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, keduanya berbahasa Arab, diantara kata-katanya ada yang mempunyai
arti lebih dari satu (musytarak), selain itu dalam ungkapannya terdapat kata "am"
(umum) tapi yang dimaksudkan khusus, dan juga terdapat perbedaan menurut tinjauan
dari segi lughawi dan urf serta dari segi mantuq dan mafhumnya.

2. Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah Saw


Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasulullah Saw yang menonjol antara lain:
(a) Perbedaan dalam penerimaan hadits; sampai atau tidaknya suatu hadits kepada
sebagian sahabat
(b) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya)
(c) Perbedaan mengenai kedudukan sakhsiyyah Rasul.
Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf

3. Perbedaan mengenai “qawaid ushuliyyah” dan “qawaid fiqhiyyah”.


Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah
ushul diantaranya adalah mengenai istitsna’ (pengecualian) yakni; apakah
istitsna’ yang terdapat sesudah beberapa jumlah yang di’athafkan satu sama
lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhir saja ?.
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa ististna’ itu kembali kepada
keseluruhannya. Sedang menurut Abu Hanifah, istitsna’ itu hanya kembali
kepada jumlah terakhir saja.

4. Perbedaan penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan as-Sunnah


Ulama terkadang berbeda pendapat mengenai fiqih, disebabkan perbedaan
penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah, seperti misalnya; Amal ahli
Madinah dijadikan dasar fiqih oleh imam Malik, namun tidak dijadikan dasar
oleh para imam yang lainnya.
Hubungan Ikhtilaf dan
Mazhab
Adanya ikhtilaf ini berdampak pada perbedaan istinbath
dan ijtihad hukum yang ditetapkan oleh para sahabat, para
ulama’ serta generasi setelahnya hingga saat ini. Sehingga di
dapati ada beberapa ulama yang sering berbeda pendapat
dalam memberikan fatwa. Dari berbagai perbedaan pendapat
ini maka muncullah istilah Mahzab.
Pengertian Mazhab
Kata mazhab itu berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja
(fi'il); dzahaba, yadzhabu, dzahban, dzuhuban, madzhaban,
‫ َو َﻣ ْﺬھَﺒًﺎ‬،‫ َو ُذھُﻮﺑًﺎ‬،‫ َذھَﺎﺑًﺎ‬، ُ‫ ﯾَ ْﺬھَﺐ‬، َ‫َذھَﺐ‬
Kata “dzahaba” ini dapat diartikan; ia telah berjalan, ia telah
berlalu, ia telah pergi, ia telah mati dan lain-lain yang serupa
itu. Tetapi umumnya dalam bahasa Arab terpakai dengan arti
“berjalan” atau “pergi”. Maka kata “madzhab” itu biasa diartikan
dengan jalan atau tempat yang dilalui.
Adapun arti mazhab menurut istilah yang telah berlaku disisi
para ulama ahli fiqih ialah mengikuti sesuatu yang dipercayai
Penggolongan Mazhab
1. Mazhab Al-Hanifiyah
2. Mazhab Al-Malikiyah
3. Mazhab As-Syafi’iyah
4. Mazhab Al-Hanabilah
Taklid
Pengertian Taklid
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat
orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya.
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya
diperhatikan syarat-syarat orang yang ditaklidi, indentitasnya,
kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah saw. Haram hukumnya taklid kepada
orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah,
begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui
indentitas serta keahliannya dalam syariah Islam.
Syarat Orang Bertaklid
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa)
yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’ah ia
boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh
mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup
mencari sendiri hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad
sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta
waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan
waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka
menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang
pandai lainnya.
Syarat Masalah yang Ditaklid
Masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mengetehui
adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena jalan untuk
menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal.
Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya:
“Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,
mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat
dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk
“. (Al-Baqoroh: 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
1. Diketahui dengan pasti dari agama Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu,
puasa, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain.
Dalam hal diatas, tidak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
2. Yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal
ibadah tertentu, dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Terima Kasih

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai