Anda di halaman 1dari 31

AL QUR’AN DAN TASAWUF DI INDONESIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Quranic World View
Program Doktoral Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

Oleh:

MUHAMMAD WALIYULLOH, M.Ag


NIM: 193530032

Dosen Pengampu:
Dr. Abdul Rouf, Lc, M.Ag.

FAKULTAS PASCA SARJANA


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2019
1

Abstrak
Al-Qur‟an hadir dengan segala kemukjizatannya yang menjadi cermin
atas realita kehidupan, Al–Qur‟an pun menjadi cemin dari realitas
kehidupan manusia yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah Saw. Baik
secara horizontal maupun vertikal yang diikuti oleh para generasi
selanjutnya yang bersifat berkesinambungan.
Perilaku kehidupan Rasulullah Saw. yang sufi mampu diteladani oleh
para sahabat, tabiin, sampai ulama masa kini melalui ajaran tasawuf.
Perilaku yang dicontohkan antara lain senantiasa bersungguh-sungguh
dalam zikir, syukur, sabar, rida, qana‟ah, dan zuhud dalam menjalani
kehidupan, hingga unsur kehidupan tasawuf ini mulai masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dan ini tidak terlepas
dari peran para tokoh sufi yang telah menyebarkan Islam pertama kali di
Nusantara.
Tantangan – tantangan yang dihadapkan kepada tasawuf selama ini
mampu menghadirkan para pemikir Islam Indonesia (khususnya para ahli
tasawuf) yang telah berhasil merespons berbagai tantangan yang
dihadapkan kepada tasawuf selama ini secara kreatif, sehingga
memunculkan konsep tasawuf yang khas di Indonesia, yaitu tasawuf sosial,
tasawuf positif, tasawuf perkotaan, tasawuf falsafi, tasawuf irfani, tasawuf
kontekstual, tasawuf Jawa dan tasawuf Muhammadiyah.

Kata Kunci: Al-Qur’an, Tasawuf, Indonesia


2

1. Pendahuluan
Kehadiran Al-Qur‟an yang memiliki kemungkinan- kemungkinan arti
yang tidak terbatas yang bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dalam
kehidupan masyarakat, bahkan Al–Qur‟an pun menjadi cemin dari realitas
kehidupan dan hukum-hukum pra-Islam. Jika kita mengikuti
perkembangan Al-Qur‟an itu berati kita mengikuti perkembangan
kehidupan nabi Muhammad Saw dan perkembangan komunitas
disekelilingnya.
Rasulullah Saw. telah melakukan praktik-praktik ibadah yang sempurna
baik secara vertical (habl minallah) maupun secara horizontal (habl
minannas), tercerminnya sifat-sifat Rasul dalam perilaku kehidupan yang
sufi dan selalu dijadikan tauladan bagi para sahabat, tabiin, sampai ulama
masa kini melalui ajaran tasawuf. Perilaku yang dicontohkan antara lain
senantiasa bersungguh-sungguh dalam zikir, syukur, sabar, rida, qana‟ah,
dan zuhud dalam menjalani kehidupan. Praktik-praktik sufi tersebut
dilakukan secara mendalam dan berkesinambungan melalui konsep
tasawuf.
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari
sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits serta praktik kehidupan
Rasulullah Saw dan para sahabatnya,1 hingga ajaran tasawuf ini mulai
masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dan
ini tidak terlepas dari peran para tokoh sufi yang telah menyebarkan Islam
pertama kali di Nusantara. Dan kontribusi para sufilah yang sangat
memperngaruhi tumbuh pesatnya perkembangan Islam di Indonesia
hingga saat ini.2
Tantangan – tantangan yang dihadapkan kepada tasawuf selama ini
mampu menghadirkan para pemikir Islam Indonesia (khususnya para ahli
tasawuf) yang telah berhasil merespons berbagai tantangan yang
dihadapkan kepada tasawuf selama ini secara kreatif. Mereka mencoba
menghadirkan berbagai alternatif model tasawuf yang semuanya lantaran
bersinggungan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi tersebut dengan
mengemas bentuk tasawuf dengan berbagai bervariasi yang tentunya tetap
dalam konsistensi al-Qur‟an dan Sunnah.
2. Pengertian Al-Qur’an
Etimologi: Al-Qur‟an berasal dari kata Qa-ra-a artinya membaca,
maka perkataan itu berarti "Bacaan". Maksudnya, agar ia menjadi bacaan
atau senantiasa dibaca oleh segenap bangsa manusia terutama oleh para
1
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2006, hal.16.
2
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di
Nusantara, Surabaya: Al- Ikhlas, 1930, hal. 10.
3

pemeluk agama Islam.3 Terminologi: Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang


merupakan mu‟jizat yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril
ke dalam kalbu Rasulullah Saw. dengan menggunakan bahasa Arab dan
disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal
pengakuannya sebagai Rasul, dan agar dijadikan sebagai dustur (undang-
undang) bagi seluruh umat manusia, yang abadi, untuk kebahagiaan
mereka di dunia dan akhirat, 4 di samping merupakan amal ibadah jika
membacanya, al-Qur‟an itu di-tadwin-kan di antara dua ujung yang
dimulai dari Surat Al-Fatihah, dan ditutup dengan surat An-Nas, dan
sampai kepada kita secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam
keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan pergantian, sekaligus
dibenarkan oleh Allah swt. di dalam firmanNya. 5 Definisi ini selaras
dengan apa yang diberikan oleh Ahli Ushul.6
2.a. Al-Qur’an sebagai Petunjuk
Secara tekstual maupun kontekstual al-Qur‟an menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa. Berdasar pada firman Allah Swt. dalam
al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi:

)٢ ‫ أية‬:‫ب فِْي ِه ُه َدى لِْل ُمت َِّق ْْي (سورة البقرة‬


َ ْ‫اب ََل َري‬
ِ َ ِ‫ذال‬
ُ َ‫ك الكت‬
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.7 Al-Baqarah (2): 2
Ayat di atas memberikan petunjuk bahwa al-Kitab itu adalah al-
Qur‟an yang tidak diragukan padanya. Selanjutnya al-Qur‟an menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Pada ayat di atas terdapat
kata hudan. Secara bahasa hudan berarti petunjuk.8
Al-Raghib al-Isfahani9 dalam kitabnya Mu’jam Mufradat al-Fadh al-
Qur’an memaknai Huda dengan al-Hidayh. Hidayah Allah Ta‟ala

3
Munawar Chalil, Alquran dari Masa ke Masa, t.k.; Ramadhani, t.t., hal . 1.
4
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Fikiran Tentang Islam
dan Ummatnya, Jakarta; CV. Rajawali, 1986, hal.35.
5
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung; Risalah, 1983,
hal.21.
6
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta; Bulan Bintang, 1980,
hal. 188.
7
Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma‟ Al-Malik Fahd, li
Thiba‟at al-Mush-haf Asy-Syarif Medina Munawwarah P.O. Box 6262, Kerjaan Saudi
Arabia, hal. 3.
8
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 1496.
9
Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat al-Fadh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr,
t.t,hal. 536.
4

bagi manusia terdiri dari empat segi: 1), Hidayah Allah Ta‟ala bagi
semua jenis yang mukallaf diantaranya yang berakal, yang memilki
kecerdasan, yang mengetahui prinsip-prinsip dasar. Dalam artian
Petunjuk dengan memberikan akal, instink (naluri) dan kodrat
alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing. 2), Menjadikan
bagi manusia dengan da‟wah kepada umat atas lisan para Nabi dan
Rasul yaitu turunnya Al-Qur‟an dan yang lainnya. 3), Hidayah yang
berarti al-Taufiq dikhususkan bagi orang yang diberi petunjuk. 4),
Tercapainya hidayah yang ketiga tadi, barang siapa berhasil hidayah
ketiga tadi, maka setelah berhasil yang kedua. Sebaliknya barang
siapa berhasil yang pertama belum tentu berhasil yang kedua dan
ketiga. Dan manusia tidak bisa memberi petunjuk kepada seseorang
kecuali dengan do‟a, mengetahui jalannya yang belum tentu
mengetahui semua macam-macam hidayah.
Tentu saja petunjuk atau hidayah memiliki keterkaitan erat dengan
jalan yang lurus, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-
Fatihah ayat 6:

)6 ‫ أية‬:‫الصَرا َط الْ ُم ْستَ ِق َيم (سورة الفاحتة‬


ِ ِ
ّ ‫ْاهد ََن‬
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,10
Maka al-hidayah mengandung makna "berilah kami ilham atau
berilah kami taufik, atau anugerahilah kami, atau berilah kami".
Mengenai as-siratal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir
semua kalangan ahli takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud
dengan siratal mustaqim ialah "jalan yang jelas lagi tidak berbelok-
belok (lurus)".11
2.b. Esensi al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
Kehadiran al-Qur‟an dengan segala maksud – maksud yang
terkandung di dalamnya yang ditujukan kepada umat manusia dengan
segala aspek kehidupannya yang kompleks. M. Rasyid Rida12 merinci
tujuan-tujuan Alquran (Maqasid Al-Qur’an) kepada sepuluh macam,
yaitu: (1) untuk menerangkan hakikat agama yang meliputi:iman
kepada Allah Swt., iman kepada Hari Kebanglitan dan amal-amal
10
Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma‟ Al-Malik Fahd, li
Thiba‟at al-Mush-haf Asy-Syarif Medina Munawwarah P.O. Box 6262, Kerjaan Saudi
Arabia, hal. 6.
11
Abū al-Fidā Isma‟il bin „Umar bin Kaṡīr al-Qurasyi al-Damasyqī, Tafsīr Ibnu
Kaṡīr, Beirut: Dar al-Fikr, t.t,hal. 536.
12
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam Alquran; Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hal. 4.
5

saleh; (2) menjelaskan masalah Kenabian dan Kerasulan serta tugas-


tugas dan fungsi-fungsi mereka; (3) menjelaskan tentang Islam
sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal pikiran, sejalan dengan
ilmu pengetahuan dan cocok dengan intuisi dan kata hati, (4)
membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu kesatuan:
kesatuan umat (kemanusiaan), agama, undang-undang, persaudaraan
segama, bangsa, hukum dan bahasa,; (5) menjelaskan keistimewaan-
keistimewaan Islam dalam hal pembebanan kewajiban-kewajiban
kepada manusia seperti: cakupannya yang luas meliputi jasmani dan
rohani, spiritual dan material, membawa kepada kebahagiaan dunia
dan akhirat; mudah dikerjakan; tidak memberatkan; gampang
dipahami dan sebagainya; (6) menjelaskan prinsip-prinsip dan dasar-
dasar berpolitik dan bernegara; (7) menata kehidupan material (harta);
(8) member pedoman umum mengennai perang dan cara-cara
mempertahankan diri dari agresi dan interfensi musuh; (9) mengatur
dan memberikan kepada wanita hak-hak mereka dalam bidang; agama,
social dan kemanusiaan pada umumnya dan; (10) memberikan
petunjuk-petunjuk dalam hal pembebasan dan pemerdekaan budak.
3. Tasawuf dalam Tinjauan Definisi dan Historis
Amat banyak pandangan yang disampaikan oleh para Ulama dalam
mendefinisikan tasawuf baik ulama klasik maupun kontemporer. Istilah
tasawuf memang sudah tidak asing lagi dikalangan para cendekiawan
muslim, baik di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Tasawuf dikenal
dengan istilah mistismenya Islam atau sufisme.13 Hingga saat ini tasawuf
menjadi kajian ilmu yang sangat dikagumi oleh para cendekiawan. Karena
pesan-pesan moral mulai dari hubungan antar manusia dengan manusia
lain, sampai hubungan manusia dengan Tuhan.
HarunNasution menyebutkan lima kata untuk menggambarkan pengertian
tersebut yaitu alsuffah (ahl suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan
Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf yaitu barisan yang dijumpai dalam
melaksanakan shalat berjama'ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa
Yunani: hikmah), dan suf yaitu kain wol kasar.14 Pengertian - pengertian
tersebut jika ditelaah lebih jauh akan berorientasi kepada sifat-sifat dan
keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan kepada Tuhan.
Kata ahl-suffah misalnya menggambarkan keadaan orang yang
mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya hanya untuk Allah.
Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan, harta

13
Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia tasawuf Imam Al Ghazali, Hikmah, Bandung,
2010, hal. 528.
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), h. 56-57.
6

benda dan sebagainya yang ada di Mekkah untuk hijrah bersama Nabi ke
Madinah. Hal tersebut dilakukannya karena keinginan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Al Junayd mendefinisikan bahwa tasawuf sebagai “an
takȗna ma‘a Allâh bi lâ ‘alâqah”, hendaknya engkau bersama-sama
dengan Allah tanpa adanya hijab.15
Tasawuf juga dapat diartikan sebagai upaya didalam mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Alllah Swt, dengan menggunakan intuisi dan
daya emosional spiritual yang dimiliki manusia sehingga benar-benar
merasa berada di hadirat-Nya.16 Dan upaya pencapaian ini dapat dilakukan
melalui tahapan-tahapan panjang dan tidak mudah yang disebut maqâmât
dan ahwâl.17 Ahmad Zaruq berkata Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan
untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata.
Fiqih adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara
aturan dan menampakan hukmah dari setiap hukum. Sedangkan ilmu
tauhid ilmu tauhid adalah ilmu yang bertujuan unutk mewujudkan dalil-
dalil dan menghiasi iman dengan kayakinan, sebagaimana ilmu
kedokteran untuk memelihara badan dan ilmu nahwu untuk memelihara
lisan.18
Para ulama tasawuf pun berusaha didalam memformulasikan bahwa
kehidupan Rasul bisa dilihat dari pandangan tasawuf. Hal itu merupakan
pengejawantahan dari pengamalan tasawuf sebagaimana yang telah
diformulasikan oleh para sufi, dan harus ditekankan bahwa Rasul tidak
pernah menyatakan bahwa apa yang diamalkan itu merupakan pengamalan
tasawuf, sebab istilah tasawuf saja lahir jauh setelah Rasul wafat. Namun,
orang belakanganlah yang memformulasikan keilmuan dan istilah tasawuf.
Bila ditelaah kehidupan Rasulullah SAW., maka dapat dilihat bahwa ia
hidup sederhana, jauh dari kesan kemewahan, tidak suka berlebihan dalam
segala hal. Sebagaimana dikemukakan oleh Husein Haikal, bahwa
semboyan hidup Rasulullah SAW. adalah, ”kami adalah kaum yang tidak
makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang.’’
Semboyan ini merupakan indikasi kesederhanaan dan sikap yang tidak
suka akan berlebih-lebihan.19

15
Abd al Karîm b. Hawâzin b. „Abd al Malik Al Qushayrî, al Risâlah al
Qushayriyyah, Mesir: Bâb al Ḥalabî, 1959, hal. 552.
16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. 5, Jakarta: UI Press,
1985, hal. 71.
17
J. Spencer Trimingham, Madzhab Sufi, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka,
1999, hal. 3-4
18
Abu Abbas Ahmad Zaruq al-Farisi (Wafat 899 H), Qawaid al-Tashawwuf,
Lebanon: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 2007, hal. 175.
19
Muhammad Husein Haikal, Hayâtu Muhammad, Mesir: Maktabah Nahdhah,
1965, hal. 119-120.
7

Dalam al-Qur‟an, Allah menyajikan diri-Nya sebagai, pada saat yang


sama, The Outer (al-Zahir) dan The Inner (al- Batin) (QS. al-Hadid: 3).7
Hal ini telah menjadi kesepakatan bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah
dimensi yang dalam dan esoteris dari Islam (the inner and esoteric
dimension of Islam) yang bersumber dari al-Qur‟an dan Hadis serta
perilaku Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. 20 Kesepakatan ini
telah menjadi standar dan mengakar kuat dalam diskursus studi Islam
sampai saat ini.
Sebagian ahli sejarah sepakat bahwa munculnya tasawuf yaitu pada abad
ke II Hijriah. Dimana pada saat itu orang-orang sedang berusaha untuk
meluruskan jalannya menuju pada Allah SWT dan takut kepada Allah dan
menjauhi kemewahan hidup. Banyak cara yang dilakukan yaitu seperti
dzikir, baik itu yang dilakukan secara tersembunyi maupun terbuka, dan
memperbanyak membaca Al-Qur‟an serta beberapa sarana yang dilakukan
seperti zuhud. Adapun dari mereka yang shari-harinya melakukan sholat
seakan-akan waktunya habis dipergunakan untuk terus beribadah,
terutama sholat malam. Semenjak itu tasawuf mulai dikenal serta
berkembang dan kemudian tersebar dan diajarkan kepada orang-orang
yang tertarik memepelajari tasawuf.21
Dalam masa pertumbuhannya muncul bermacam-macam konsep ajaran
tasawuf yang disampaikan oleh para sufi, yaitu al-khauf dan al-raja' yang
diperkenalkan oleh Al-Hasan al-Basri (642-728 M.), mahabbah oleh
Rabi'ah al-Adawiyah (714-801 M.), hulul oleh Al-Hallaj, al-ittihad oleh
Yazid al-Bustami (814-875 M.) dan ma'rifah oleh Abu Hamid al-Gazali
(w. 1111 M.). pada abad ke 5 H/13 M kegiatan para sufi kemudian mulai
melembaga hingga memunculkan tarekat. Hal ini ditandai dengan nama
pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu yang selalu
dikaitkan dengan silsilahnya. Setiap tarekat mempunyai syekh, kaifiyat
zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya syekh atau
mursyid mengajar murid-muridnya di asrama ltempat latihan rohani yang
dinamakan suluk atau ribath.22 Mula-mula muncul tarekat Qadiriyah yang
dikembangkan oleh Syekh Abdul Qadir di Asia Tengah, Tibristan tempat
kelahirannya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi
sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok.
Muncul pula tarekat Rifa‟iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat
Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria.

20
Asep Usman Ismail, "Tasawuf", dalam Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Ajaran, Jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, hal. 306.
21
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, Yogyakarta: Puataka Pelajar, Cet. II 2002, hal. 31.
22
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004, hal.6.
8

Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui kurid-


murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke
negeri-negeri Islam, hingga bercabang dan beranting dengan jumlah yang
tidak sedikit.23
3.a. Perkembangan Tasawuf dan Fase – Fasenya
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa
fase, dan tahapan – tahapan yang dilalui oleh para tokoh sufi dan para
pengikutnya, perkembangan itu menuju kesegala arah kehidupan baik
spiritual maupun sosial.
1. Abad pertama dan kedua hijriah24
Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme
(zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar
kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-individu dari
kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan
tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.25
Tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih
sangat sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan ke-2 H,
sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian
memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk
mengejar keuntungan akhirat. Mereka adalah, antara lain: Al-
hasan Al-Basri (w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah (w.185 H)
kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada abad ke-3
H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek teoritis
psikologis dalam rangka pembentukan prilaku hingga tasawuf
menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Dan pada abad ini pula
ada sebagian tokoh yang menampilkan istilah – istilah pelik
seperti kebersihan jiwa (Thaharah al nafs). Kemurnian hati
( Naqy al qalb), hidup ikhlas, dan menolak pemberian orang lain.
2. Abad ketiga hijriah
Para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku tasawuf pun berkembang
menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan.
Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak (berkembang ± satu
abad). Pada abada ketiga hijriah, muncul jenis – jenis tasawuf lain
yang lebih menonjolkan pemikiran yang eksekutif yang diwakili
oleh AL-Hallaj yang kemudian dihukum mati karena menyatakan
pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj

23
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia., hal. 7.
24
Prof. Dr. H. M Amin Syukur, M.A, Menggugat Tasawuf. (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,1999). h.30.
25
Muhammad Fauqi H , Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 17.
9

mengalami peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya


ketika itu sangat kontraversional dengan kenyataan di masyarakat
yang tengah mengandrungi tasawuf akhlaqi.26
3. Abad ketiga dan keempat hijriah
Pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-
Juanid dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memberikan
pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam sebuah
bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam islam terbentuk tarekat
yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang
memberikan berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan
sufisfik, kepada para murid dan orang-4 orang yang berhasrat
memasuki dunia tasawuf. Demikian juga ajaran tasawuf al-
Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan
dirinya sebagai seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi
dan berakhir dengan fatwa ulama bahwa dia adalah seorang kafir
yang halal darahnya. Lalu dia digantung di Aleppo pada tahun
587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya dengan Ibn
Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan membunuh diri
karena serangan para ulama yang sangat gencar terhadap ajaran
tasawuf yang diajarinya. Tidak sedikit pila para ulama yang
membantah ajaran tasawuf Ibn Arabi yang mengajar paham
pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan suatu kesatuan
yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada nama, sedangkan
pada hakikat adalah satu. Dengan banyaknya ajaran yang
menyimpang dari syari`at, maka ilmu tasawuf pada akhirnya
mengalami kemunduran yang luar biasa sehingga berakhir
dengan kehilangan peranannya dalam ilmu-ilmu Islam dan telah
berubah wujudnya dalam bentuk pengalaman tarikat yang tidak
membawa sesuatu yang baru dalam ajaran kerohanian Islam
selain dari pengagungan para guru atau mursyid serta warisan
ajaran yang mereka terima.
4. Abad kelima hjriah
Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis
tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan
Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf kepada
status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa
pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan
Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian
mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan
kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-

26
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015, hal. 209.
10

pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk


menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih
Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl Al-
Sunnah wal Jama`ah.27
3.b. Tipologi Tasawuf dan Tokohnya
Tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada al-
Qur‟an dan alsunnah. 28Sedangkan dalam sumber lain, Tasawuf sunni
adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya memagari atau
mendasari tasawuf mereka dengan al-Qur‟an dan al-sunnah, serta
mengaitkan keadaan (ahwal) dan tingkatan (maqomah) rohaniah
mereka kepada kedua sumber tersebut.29
1. Tasawuf Akhlaqy
Kata “Tasawuf” dalam bahasa Arab adalah “membersihkan”.
Menurut imam ghazali akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia yang melahirkan perbuatan-perbuatan. Jadi, kata “Tasawuf
Akhlaky” ini bermakna membersihkan tingkah laku. Kata akhlaq
yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti
assajiyyah (perangai/sikap/kelakuan), ath-thabi’ah (watak), al-‘adah
(kebiasaan/kelaziman) dan ad-din (keteraturan). 30 Menurut Ibnu
Manzhur, akhlaq pada hakikatnya adalah dimensi esoteris manusia
yang berkenaan dengan jiwa, sifat dan karakteristik secara khusus,
yang baik maupun yang buruk. 31 Jadi dapat diartikan dari segi
kebahasaan, istilah akhlaq mengacu kepada sifat-sifat manusia secara
universal, perangai, watak, kebiasaan dan keteraturan, baik sifat yang
terpuji maupun sifat yang tercela. Al-quran hanya dua kali menyebut
kata akhlaq.Pertama, pada QS. Asy-Syu‟ara:137, Kedua, kata akhlaq
disebutkan Al-quran pada QS. Al-Qalam:4. Salah satu tokoh tasawuf
akhlaky adalah Hasan Al-Bashri (21H-110H/632M-728M), Nama
lengkapnya adalah Abu Sai‟d al-Hasan bin Yasar. Di antara ajaran-
ajaran tasawuf Hasan al-Basri adalah:1) Dasar pendirian yang paling
utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia
menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi. 2) Al-Khouf

27
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015, hal. 233.
28
Alwi Shihab, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia,
Depok : Pustaka Iman. 2009, hal. 51.
29
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka setia, 2008, hal.
18.
30
Jamaluddin Aba Al-Fadhal Muhammad bin Makram bin Manzhur Al-Anshariyyi
Al-Ifriqiyyi Al- Mishiriyyi, Lisanul-‘Arab, jilid X, cet. Ke-1, (Beirut: Darul Fikr, 2003/1424),
h. 104.
31
Jamaluddin Aba Al-Fadhal Muhammad bin Makram bin Manzhur Al-Anshariyyi
Al-Ifriqiyyi Al- Mishiriyyi, Lisanul-‘Arab, jilid X, cet. Ke-1, Beirut: Darul Fikr, 2003/1424,
hal. 104.
11

dan Raja‟ dengan pengertian merasa takut kepada siksaan Allah


karena berbuat dosa dan sering melalaikan perintah Allah. 32
Kesimpulan dari ajaran Hasan al-Basri ialah zuhud atau menjauhi
kehidupan dunia duniawi sehingga perhatian terpusat kepada
kehidupan akhirat. Oleh karena itu, selalu mawas diri dan selalu
memikirkan kehidupan ukhrawi, adalah jalan yang akan
menyampaikan seseorang pada kebahagian yang abadi.
Tokoh yang kedua adalah Al-Ghazali (450H/1058M), Nama
lengkapnya Abu Hamid57 Muhammad ibn muhammad al-Ghazali.
Lahir pada tahun 450 H/1048.58 Pada masa kecilnya al-Ghazali
belajar pada salah seorang faqih di kota Ia dipanggil Abu Hamid
karena ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Abu Hamid. Anak
ini meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya al-Ghazali.
Karena anak inilah, al-Ghazali di gelari Abu Hamid. kelahirannya,
Thus, yaitu Ahmad al-Radzkani. Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali
diantaranya :1) Ma’rifah. Di dalam tasawufnya al-Ghazali memilih
tasawuf sunni yang berdasarkan al-qur‟an dan sunnah ditambah
dengan doktrin ahlussunnah wal jamaah. Inti tasawuf al-Ghazali
adalah jalan menuju Allah atau ma‟rifatullah. Menurut Ghazali
sarana tasawuf adalah qalbu bukan segumpal daging yang terletak
pada kiri dada manusia tapi sebagai radar dan sebagai daya rohaniah
ketuhanan dan dialah hakikat-realitas manusia. Qalbu bagaikan
cermin, sementara ilmu adalah gambaran realitas yang tergambar
didalamnya. Maka jika qalbu yang sebagai cermin tidak bening maka
tidak dapat, maka tidak dapat memantulkan realitas-realitas cermin.
Cara qalbu bisa bening yaitu dengan jalan taat kepada Allah dan
kemampuan menguasai hawa nafsu. Menurut al-Ghazali ma‟rifah ada
3 tingkatan yaitu ma‟rifat orang awam, ma‟rifat orang mutakallimin,
dan ma‟rifah para sufi. 2) As-Sa’adah. Menurut al-Ghazali kelezatan
dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah. Di dalam
kitab kimiya as-sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah
(kebahagian) itu sesuai dengan watak /tabiat, sedangkan watak
sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika
melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak
ketika mendengar suara yang merdu.demikian juga seluruh anggota
tubuh, masing-masing kenikmatan tersndiri. Kenikmatan hati -
sebagai alat memperoleh ma‟rifah- terletak ketika melihat Allah.

32
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, Ed.2, Cet.2, 2004, hal. 74
12

Melihat Allah merupakam kenikmatan yang paling agung yang tiada


taranya karena ma‟rifah itu sendiri agung dan mulia.33
2. Tasawuf Amaly/ Irfani
Tasawuf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rumusan
Tasawuf amaly adalah “menjadikan diri kita bersih lahir- batin,
dekat dengan Allah, menjadi sahabat dan kekasih Allah sekaligus
dekat dengan umat”. Dengan demikian tasawuf amaly adalah
tasawuf yang fokus utamanya berorientasi pada pengamalan tasawuf
dalam kehidupan sehari-hari. 34 Tasawuf amali ini adalah lanjutan
dari tasawuf akhlaky. Karena seseorang tidak bisa dekat dengan
Allah dengan amalan yang ia kerjakan sebelum ia membersihkan
jiwanya, sebagaimana QS.Al-Baqarah:222. Tasawuf amali bertitik
tolak dari ilmu yang diyakini harus diamalkan atau diterapkan dalam
kehidupan. Kaidah yang dibangun dalam tasawuf amali adalam ilmu
amaliah dan ilmu ilmiah. Jadi, tidak benar para pengamat yang
menyimpulkan bahwa tasawuf amali mengabaikan ilmu. Tasawuf
amali tidak mengabaikan ilmu, tetapi tidak berhenti pada ilmu untuk
ilmu. Tokoh-tokoh tasawuf amaly, diantaranya adalah Rabiah Al-
Adawiah (95H-185H/713M-801M) Nama lengkapnya adalah Rabiah
al-adawiyah binti Ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari
Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi‟ah
karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Sejak masa kanak-
kanaknya dia telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta
hidup sederhana.35Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah al-
mahabbah dan bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan
orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian
yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan
kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa
estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada
masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam
tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan
kalimat-kalimat puitis.
Tokoh selanjutnya adalah Dzu Al-Nun Al-Mishiri (180H-
246H/796M-856M) Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban
bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al- Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan

33
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi‟ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, Bandung : Pustaka. 1997, hal. 140.
34
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta:
Transpustaka, 2012, hal. 123.
35
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta:
Transpustaka, 2012, hal. 77.
13

di Akhmin daerah Mesir. Ajarannya memberi petunjuk arah jalan


menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi.
Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-makrifah. Dalam hal ini
ia membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya,
pengetahuan merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang
ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah
hasil dari apa yang dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi.36
3. Tasawuf Falsafy
Dalam Tasawuf falsafi terpadu dua disiplin ilmu, yaitu tasawuf dan
filsafat. Tasawuf menekankan adz-dzauq yaitu emosi atau rasa;
sedangkan filsafat menekankanal-’aql yaitu intelek. Tasawuf
menekankan olah rasa, sedangkan filsafat menekankan olah
rasio/intelek. 37 Tasawuf falsafy adalah tasawuf yang ajaran-
ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqy dan amaly, tasawuf
falsafy menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi falsafy tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran
filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. Ciri umum tasawuf
falsafi ialah kesamaran-kesamaran ajarannya, akibat banyaknya
ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh
mereka yang memahami ajaran tasawuf sejenis ini. Tasawuf falsafi
tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan
sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada
panteisme. Sekarang tentu jelas perbedaan antara tasawuf dengan
filsafat, sebab filsafat berdasar kepada fikiran sedang tasawuf lebih
mengarah ke perasaan dan emosi.Ada beberapa cabang ilmu yang
sama-sama dimasuki oleh tasawuf dan filsafat, yaitu ethika (akhlak),
aestetika (keindahan), dan yang terutama adalah metafisika (yang
ghaib). Meskipun semua meneropong dari tempatnya masing-
masing. Tokoh-tokoh Tasawuf falsafi, diantaranya adalah 1) Ibnu
Arabi (560M), karyanya adalah Fusus al Hikam yang bercerita
tentang tajali dan tanazzul zat Tuhan 2) „Abd al-Karim bin Ibrahim
Al-Jili (1365M-1417M), konsepnya al-insan al-kamil fi ma’rifah
alawakhir wa al-awail. 3) Abd al Haq ibn Ibrahim ibn Nashr al-
Akki al-Mursi (Ibnu sabi‟in) (614H), karyanya Budd al- ‘Arif, al-
Kalam ‘alaal Masail as-Shaqliyyah dan lain-lain. Maka menjadi
36
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, hal.
149-150.
37
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka
Panjimas, 1983, hal. 153.
14

tinggilah martabat tasawuf itu kalau sekiranya ahlinya


berpengetahuan, dan juga mempunyai alat filsafat, seperti Ibnu
„Arabi dan Ghazali, Suhrawardi dan lain-lain. Dan menjadi barang
kacau-balaulah tasawuf itu kalau dapat oleh orang yang tidak ada
dasar ilmu sama sekali. Seketika kaum muslimin masih berkembang
pikirannya, maju filsafatnya dan tinggi ilmu pengetahuannya. Pada
intinya, ciri dari Tasawuf Falsafi adalah mengabungan antara
pemikiran atau rasionalitas dengan perasaan (dzuq). 38 Aliran ini
mendasarkan pada dalil naqli dan diungkapkan dalam istilah
filosofis.
4. Tasawuf di Indonesia
Berkembangnya tasawuf di Indonesia tidak lepas dari proses
masuknya Islam di wilayah ini. Islam yang masuk di Indonesia pada
bercorak tasawuf yang dibuktikan oleh beberapa data yang ditunjukkan
oleh para sejarawan. Marrison ketika menjelaskan tentang masuknya
Islam di Indonesia menyebutkan fakta bahwa yang mengislamkan
Nusantara berasal dari India Selatan yaitu Mu’tabar (malabat) yang
dilakukan oleh para muballig yang bergelar fakir. Gelar fakir
mengingatkan pada gelar yang diberikan kepada seorang sufi yang
meninggalkan keduniaan dan memilih hidup untuk keagamaan. Dari teori
Marrison ini kemudian muncul teori berikut yang berupaya menjawab
pertanyaan apakah Islam yang masuk di Indonesia pada awalnya bercorak
tasawuf.
Teori Hill menyebutkan bahwa dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang
disusun pada abad ke 14 mengatakan Islam yang datang di Nusantara
beraliran tasawuf. Data ini di dukung oleh Sejarah Melayu yang
sumbernya juga dari Hikayat Raja-raja Pasai. Teori Bech menyatakan
dalam teks Sejarah Melayu dijelaskan tentang kesenangan Sultan malaka
kepada ilmu tasawuf di mana pada suatu waktu seorang ulama, yaitu
Maulana Abu Iskak datang memberi hadiah kepada sultan berupa kitab
yang berjudul Durrul Mandhum (mutiara yang tersusun). Sultan berkali-
kali mengutus utusan yang agar menemui Sultan Aceh untuk berkonsultasi
tentang ilmu tasawuf. Teori Raffles menyebutkan peristiwa terakhir dalam
Sejarah Melayu adalah penyerangan Sultan Malaka yang kemudian lari ke
Johor. Dari segi waktu kejadian Sejarah Melayu yang ditulis pada tahun
1536 dan baru dapat dibaca pada abad ke 16 sebagai bukti bahwa teks ini
sebelumnya masih berupa cerita lisan. Sehingga dapat disimpulkan ilmu
tasawuf telah diberkembang dan ditulis menjadi sebuah naskah pada abad
ke 16. Teori Johns berpendapat naskah-naskah abad ke 16 yang diteliti
oleh para orientalis bercorak tasawuf sehingga dapat menjadi obyek bagi

38
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001, hal. 124.
15

kajian sejarah intelektual Islam dan perkembangan ilmu tasawuf di


Indonesia.39
Dari teori-teori yang menyebutkan peranan para sufi dalam penyiaran
Islam di Indonesia tersebut berhasil membuat korelasi antara peristiwa-
peristiwa politik dan gelombang-gelombang konversi kepada Islam. Meski
peristiwa-peristiwa politik –dalam hal ini kekhalifaan Abbasiyah-
merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal
masyarakat muslim, orang tak dapat mengabaikan peranan para sufi ini,
karena semua itu mempengaruhi perjalanan masyarakat muslim di bagian-
bagian lain dari bunia Islam. Teori ini juga berhasil membuat korelasi
penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan nstitusi-
institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan
menciptakan ciri khas masyarakat tertentu sehingga benar-benar dapat
dikatakan sebagai masyarakat muslim. Institusi-institusi yang terpenting
itu ialah madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda), dan
kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan.
Semua insitusi ini menjadi penting berperanan hanya pada abad ke 11.
Para sufi pertama yang mengajarkan tasawuf dan tarekat di Indonesia
ialah40 Hamzah Fansuri (w. 1590), Syamsuddin as-Samatrani (w. 1630),
Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), Abd. Rauf as-Singkeli (1615-1693) dan
Syekh Yusuf al-Makassar (1626- 1699). Sufi-sufi tersebut merupakan
tokoh-tokoh yang memiliki konstribusi yang besar dalam penyiaran dan
perkembangan Islam di Indonesia. Disamping mereka terdapat para ulama
yang juga menyiarkan Islam dengan menggunakan metode yang
akomodatif dalam dakwahnya seperti wali songo yang menyebarkan Islam
di tanah Jawa, Rajo Bagindo ke Kalimantan Utara dan Kepulauan Sulu,
Syekh Ahmad ke Negeri Sembilan dan lain-lain.
5. Al-Qur’an dan Tasawuf di Indonesia
Al-Qur‟an dengan segala fungsi dan implikasinya terhadap konsep
ajaran Islam yang dibawa oleh para mubalig yang menyampaikan pesan-
pesan suci yang terdapat pada kitab suci Al-Qur‟an. Al-Quran pun
menyatakan semua agama yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul
sebelum Muhammad pun pada hakikatnya adalah agama Islam dengan
manifestasi yang beraneka ragam, namun inti dari semua itu adalah
pengabdian kepada Wujud Yang Satu, yaitu Allah Swt.

39
Sangidu, Wachdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri., hal. 24-25.
40
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengahdan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII., hal. 16.
16

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah yang sudah tertera dalam kitab suci Al-Qur‟an. Pemahaman
terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti
melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadis
serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. 41 Pentingnya tasawuf
dalam budaya negeri-negeri Muslim dapat dikenali dengan baik.42 Sejarah
mencatat peran tasawuf yang begitu besar. A.H. John melaporkan bahwa
para sufi pengembara terutama yang melakukan penyiaran di Nusantara.
Mereka berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara
minimal sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi itu adalah
kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif,
terutama menekankan kesesuaian dengan Islam, ketimbang perubahan
dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.43
Setelah kejatuhan Baghdad, kaum sufi memainkan peranan penting dalam
memelihara keutuhan dunia Muslim dengan menghadapi tantangan
kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan ke-khalifah-an di dalam
wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia dan Turki. Tasawuf merupakan
salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi. 44 Tasawuf
termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial
bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada
tulisantulisan antara abad ke-13 dan ke-18. hal itu bertalian langsung
dengan penyebaran Islam di Indonesia.45 Dalam hal ini para ahli tasawuf
hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha menghayati
kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah
masyarakatnya. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian untuk
menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Jalur tasawuf, yaitu proses
islamisasi dengan mengajarknan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai
budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama Hindu ke dalam ajaran
Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai

41
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2006, hal.16.
42
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University
Press, 1973, hal. 233.
43
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1994, hal. 35.
44
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007, hal.
191-192
45
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984, hal, 218.
17

Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima. 46 Diantara ahli-ahli


tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan
alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh,
Syeh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti
ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 ini.47
Hingga saat ajaran-ajaran tasawuf di Indonesia berkembang dengan
berbagai macam coraknya yang mengikuti rotasi perubahan zaman, Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), adalah salah satu pembaharu
Islam di Indonesia yang mencoba menyelaraskan antara hal yang bersifat
eksoterik (lahiri) serta esoterik (bathini). Hal ini dapat dilihat dalam
bukunya Tasawuf Modern. Menurut Amin Syukur, Hamka dalam bukunya
Tasawuf Modern telah benar-benar meletakkan dasar-dasar bagi neo-
sufisme di Indonesia. Di dalam buku itu terdapat alur pikiran yang
memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoterik Islam, namun
sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap
terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariah. 48 Konsep tasawuf yang
ditawarkan Hamka berisi tentang ajaran menuju jalan kebahagiaan,
pemenuhan kesehatan jiwa dan badan, bersikap qana‟ah dan
mempertanggungjawabkan diri seseorang serta tawakal kepada Allah
SWT. Semuanya merupakan suatu bentuk realisasi ajaran tasawuf dengan
mengedepankan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengan memposisikan
aktifitas manusia yang amar ma‟ruf nahi munkar.49
5.a. Diterimanya Konsep Islam di Indonesia
Islam dengan konsep Al-Qur‟an, Agama yang sesuai dengan fitrah
manusia. Artinya, agama Islam mengandung petunjuk yang sesuai
dengan sifat dasar manusia, baik dari aspek keyakinan, perasaan,
maupun pemikiran, Islam pun datang sesuai dengan kebutuhan hidup
manusia, hal ini lah yang membuat agama Islam mudah diterima serta
kemasan ajaran Islam yang dikemas sedemikian rupa oleh para
mubaligh yang datang di Indonseia dengan memberikan manfaat

46
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss,
2009, hal.208.
47
Hamzah Fansuri beserta muridnya yaitu Syamsuddin as-samatrani, banyak
menhasilkan karangan-karangan. Fansuri menuliskan ajaran-ajarannya dalambentuk prosa
dan syair dengan bahsa arab dan Indonesia. Karangan-karangan Hamzah Fansuri antara lain:
Syarab al-asyikina, Asrar al- Arifina fi bayan „ilm-al suluk wal tauhid; dalam bentuk syair
yang terkenal: Rubba al- Muhakkikina, Kashf al-Sirr al-Tajalli al-Subhani, Miftah al-Asrar,
Syair si burung Pingai, Syair Perahu, Syair Syidang fakir, Syair dagang (Uka Tjandrasasmita
(Ed.), op.cit., hlm. 221).
48
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21, h. 140
49
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Republika, 2015, hal. 215.
18

tanpa menimbulkan komplikasi, dan menempatkan manusia dalam


posisi yang benar. Kebenaran ajaran Islam adalah mutlak. Kebenaran
ajaran ini karenabersumber dari al-Quran (dari Allah) dan
sunnah/hadis (dari Nabi Muhammad saw.). Kebenaran ini dapat pula
dipahami melalui bukti-bukti material maupun bukti-bukti nyata yang
ada di dunia.Meskipun al- Quran menekankan bahwa tujuan utama
hidup manusia di dunia ini untuk beribadah kepada Allah, namun al-
Quran juga mengajarkan bahwa urusan dunia harus diperhatikan,
mengingat kehidupan dunia ikut menentukan keberhasilan manusia di
akhirat kelak. Ajaran yang fleksibel dan ringan dala artian tidak
membebani manusia untuk melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan. Islam mempertimbangkan kondisi masing-masing individu
dalam menjalankan aturannya dan tidak memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya dan asar.
5.b. Berkembangnya Islam dan Tasawuf di Indonesia
Perubahan pemikiran di Indonesia pada tahun 1980-an menunjukkan
perubahan yang sangat signifikan, tidak terkecuali pemikiran tasawuf.
Tasawuf mendapat tantangan yang keras dari kalangan Islam
modernis. Seperti dikutip Mohammad Dawami, Djohan Effendi
melaporkan bahwa kalangan modernis sering menganggap tasawuf
sebagai salah satu penyebab kemunduran umat Islam, lantaran
tasawuf itu mengajarkan sikap pasif dan kelemahan vitalitas. Tasawuf
menekankan kesalehan individual sebagai tujuan tertinggi kehidupan,
sehingga melakukan sikap apatis terhadap keberadaan manusia di
dunia dan mendorong mereka melupakan kodratnya sebagai makhluk
sosial. Mereka menuduh kalangan tradisionalis telah mengabaikan
masalah duniawi dan hanya berorientasi kebahagiaan akhirat melalui
praktik tasawuf sehingga bersikap pasif terhadap modernisasi dan
kiainya memegangi tradisi mati secara ketat.50 Mereka juga menolak
pemikiran tasawuf al-Ghazali maupun Ibnu Arabi.Harun Nasution
melaporkan bahwa pemikiran Muhammad Abdul Wahab dalam
memperbaiki kedudukan umat Islam, merupakan reaksi terhadap
paham tauhid di kalangan umat Islam waktu itu. Kemurnian paham
tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak
abad ke-13 telah tersebar luas di dunia Islam.51 Sementara salah satu
penyebab kemunduran Islam menurut Muhammad Iqbal adalah,

50
Abdurrahman Wahid, “Foreword”, dalam Greg Barton and Greg Fealy (eds.),
Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Clayton: Monash Asia
Institute Monash University, 1996, hal. xiii.
51
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975, hal. 23.
19

pengaruh zuhud yang terdapat pada ajaran tasawuf. Dalam kehidupan


zuhud, perhatian harus dipusatkan pada Tuhan dan sesuatu di balik
materi, sehingga menyebabkan umat Islam kurang mementingkan soal
kemasyarakatan. Maka baik tarekat maupun zuhud, keduanya sebagai
refleksi kehidupan tasawuf telah menghambat kemajuan umat Islam.
Memang beberapa pemahaman zuhud mengarah pada kehidup pasif
terhadap dunia. Al-Thusi mengutif Syaikh yang mengatakan bahwa
barang siapa melakukan zuhud maka tidak boleh menghampiri dunia
karena sesungguhnya mencintai dunia sebagai pangkal setiap
kesalahan, sedangkan zuhud dari dunia merupakan pangkal setiap
kebaikan dan ketaatan.52 Syibli menyatakan bahwa zuhud itu adalah
lupa. Sebab dunia tidak berarti sesuatu, sedangkan zuhud dari dunia
berarti melupakannya. 53 Sedangkan Abu Usman menyatakan bahwa
zuhud adalah meninggalkan dunia kemudian tidak memperhatikan
pada orang yang mengambilnya. 54 Dengan demikian, menurut
Quraish Shihab, penafsiran yang disampaikan kaum sufi terhadap
makna zuhud dirasakan kurang menguntungkan karena hampir
semuanya cenderung pesimistik terhadap kehidupan dunia. Oleh
karena itu, dibutuhkan penafsiran baru sesuai dengan tuntutan-
tuntutan kontemporer.
Pentingnya tasawuf dalam budaya negeri-negeri Muslim dapat
dikenali dengan baik.55 Sejarah mencatat peran tasawuf yang begitu
besar. A.H. John melaporkan bahwa para sufi pengembara terutama
yang melakukan penyiaran di Nusantara. Mereka berhasil
mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara minimal sejak
abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi itu adalah
kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif,
terutama menekankan kesesuaian dengan Islam, ketimbang perubahan
dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.56
Mengingat adanya tuntutan-tuntutan pengembangan, tasawuf sebagai
suatu bangunan ilmu seharusnya mengalami perubahan, dinamika
maupun pengembangan-pengembangan. Para pemikir Islam

52
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusiy, al-Luma’, Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960,
hal. 72.
53
Abi al-Qasim „Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-
Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, t.t.p.: Dar al-Khair, t.t., h. 116.
54
M. Quraish Shihab, “Sekapur Sirih”, dalam M. Amin Syukur, Zuhud di Abad
Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. x.
55
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press,
1973, hal. 233.
56
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan, 1994, hal. 35.
20

khususnya ahli tasawuf Indonesia telah berupaya merespon desakan


tersebut dengan menghadirkan tasawuf yang khas. Dari hasil
penelusuran, penulis menemukan delapan macam tawaran konsep
tasawuf, yaitu tasawuf sosial, tasawuf positif, tasawuf perkotaan,
tasawuf falsafi, tasawuf irfani, tasawuf kontekstual, tasawuf Jawa dan
tasawuf Muhammadiyah.
1.) Tasawuf Sosial
Tasawuf merupakan kehidupan yang selalu berusaha mendekatkan
diri sedekat-dekatnya kepada Allah melalui peningkatan dan
penyempurnaan ibadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah.
Kehidupan ini melahirkan kesalehan individual, tetapi kurang
bersikap sosial. Akibatnya tasawuf dipandang sebagai suatu
kehidupan yang memiliki kepedulian kepada Allah, tetapi kurang
memiliki kepedulian kepada sesama manusia. Zuhud sebagai contoh
yang selama ini selalu dianggap sebagai sikap meninggalkan dunia
padahal seorang zahid (pelaku zuhud) juga memiliki keluarga yang
membutuhkan dunia (sandang, pangan, papan dan pembiayaan
pendidikan). Apalagi ketika seseorang sufi telah mencapai tingkatan
fana‟ (lenyap) pada tingkatan fana’‘an al-nafs (lenyap dari dirinya
sendiri) maka tidak ada yang menjadi perhatian termasuk dirinya
sendiri, kecuali hanya Allah semata. Sehingga perilaku tasawuf
dipandang makin jauh dari kehidupan sosial.
Oleh karena itu, M. Amin Syukur mencoba menjawab kegelisahan itu
dengan membangun konsep tasawuf sosial dalam sebuah karyanya
yang berjudul Tasawuf Sosial. Buku ini disunting oleh Umar Natuna
dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku ini menyajikan
pembahasan yang relatif baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
sebagaimana latarbelakang yang memotivasi penyusunannya.
Buku tersebut merupakan kumpulan makalah diskusi dan ceramah
yang disampaikan pada berbagai pertemuan, kemudian disusun dan
diedit menjadi buku yang tersusun rapi ini.57 Buku itu berisikan ajaran
tasawuf yang dapat diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat
sehingga layak diberi judul Tasawuf Sosial (Transformasi Etik Islam
di Era Modern), lantaran sifatnya yang membumi dan aplikatif
tersebut.
Dengan demikian, tasawuf sosial bukan tasawuf yang isolatif, tetapi
aktif di tengah pembangunan masyarakat, bangsa dan negara sebagai
tuntutan tanggungjawab sosial tasawuf pada awal abad XXI ini.
Tasawuf tidak lagi uzlah dari keramaian, sebaliknya, harus aktif

57
M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Umar Natuna, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, hal. v.
21

mengarungi kehidupan secara total, baik dalam aspek sosial, politik,


ekonomi dan sebagainya. Karena itu, peran para sufi seharusnya lebih
empirik, pragmatis dan fungsional dalam menyikapi dan memandang
kehidupan ini secara nyata. Karena itu, sufi mesti bergumul dengan
masyarakat, bahkan dengan masyarakat yang memiliki berbagai latar
belakang agama, budaya, suku, bahasa dan sebagainya, sebagai suatu
kondisi yang tidak terhindarkan dalam kehidupan modern sekarang ini.
2.) Tasawuf Positif
Tasawuf positif ini ditulis oleh Mohammad Dawami dalam bukunya
yang berjudul, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, yang
diterbitkan oleh Fajar Pustaka Baru Yogyakarta. Dari judul ini bisa
diketahui bahwa penulisnya hanya mencoba mengungkapkan dan
menegaskan kembali pemikiran-pemikiran Hamka yang ditampilkan
sebagai tasawuf positif, sedangka dalam tulisan Hamka sendiri tidak
menggunakan judul tasawuf positif, melainkan Tasawuf Modern.
Buku tersebut merupakan bentuk lanjutan dari tesis Dawani untuk
meraih gelar magister.
Dari segi struktur, tasawuf yang ditawarkan Hamka berbeda dengan
tasawuf tradisional. Tasawuf yang ditawarkan Hamka („tasawuf
modern‟ atau „tasawuf positif ‟) berdasarkan pada prinsip tauhid,
bukan pencarian pengalaman mukasyafah. 58 Prinsip tauhid ini yang
dapat dijadikan benteng bagi pengkaji tasawuf agar tidak terjebak
dalam tindakan-tindakan yang bertentangan dengan akidah. Prinsip
tauhid itu membekali pengkaji tasawuf dalam menghadapi
pengalaman maupun pengakuan sufi yang aneh-aneh yang
dikhawatirkan menyesatkan, termasuk ucapan-ucapan sathahat
(ucapan ganjil di saat sufi menjelang kejadian ittihad maupun hulul).
3.) Tasawuf Perkotaan
Tasawuf perkotaan ini disusun oleh Muh. Adlin Sila dan kawan-
kawan dalam bukunya yang berjudul, Sufi Perkotaan Menguak
Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern, yang
diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian yang dilakukan
Sumarsih Anwar, Neneng Habibah, Marzani Anwar, Moh. Zahid dan
Muh. Adlin Sila. Buku ini memang menggunakan judul, Sufi
Perkotaan, tetapi yang diungkapkan adalah kegiatan-kegiatan
tasawufnya. Maka secara substantif bisa dikategorikan sebagai
tasawuf perkotaan.

58
Mohammad Dawami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2000, hal. 243.
22

Selanjutnya perlu diungkapkan hasil-hasil pengamatan dalam buku


tersebut mengenai fenomena tasawuf perkotaan, sebagai berikut:
ternyata banyak orang Islam baik dari kalangan bawah, menengah
maupun elit seperti mahasiswa, dosen dan pejabat pemerintah, yang
sangat berminat mengikuti ajaran tasawuf di surau Nurul Amin
Surabaya. Padahal Surabaya sebagai salah satu kota besar di
Indonesia yang kehidupan modernitasnya cukup tinggi. 59 Ajaran
tasawuf mempunyai peranan yang sangat besar bagi kaum elite di
perkotaan karena dapat mengakses sesuatu untuk menyampaikan
kepada atasan atau bawahannya. Belakangan ini orang-orang kota
menoleh model keberagamaan sufi. Ini merupakan gejala baru
mengawali abad ke-21, ketika produk teknologi tidak memberikan
kepuasan batin dan ketika materi tidak mampu membahagiakannya.
Sementara itu keberagamaan model fikih dirasakan terlalu verbal.
Maka mereka menempuh pendekatan diri kepada Allah melalui
tasawuf. “Orang kota memilih tasawuf agar mendapatkan
ketenteraman hati, dengan berusaha agar tidak ada lagi hijab dalam
mencintai Allah.”60 Tasawuf kota tidak hanya dilaksanakan di masjid-
masjid dan zawiyah-zawiyah, tetapi justru di hotel-hotel berbintang,
kawasan-kawasan bisnis dan tempat-tempat wisata seperti kawasan
Dari hasil pengamatan langsung melalui penelitian tersebut dapat
ditegaskan bahwa terdapat gejala-gejala kehidupan baru di beberapa
dan berbagai kota besar di Indonesia yang bertentangan dengan
mainstrem kehidupan perkotaan yang serba glamour, serba
materialistik, serba hedonis, serba target, serba kalkulasi dan serba
rasional. Kehidupan baru tersebut justru mengarah pada kehidupan
spiritual yang menenteramkan, atau kehidupan tasawuf yang
menenangkan hati dalam menghadapi gelombang modern di
perkotaan.
4.) Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi ini ditulis oleh M. Afif Anshori dalam bukunya yang
berjudul, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, yang diterbitkan
oleh Gelombang Pasang Yogyakarta. Buku ini berasal dari tesis
pengarangnya sehingga isinya menekankan dan menjabarkan

59
Muh. Adlin Sila, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007. hal.
5.
60
Muh. Adlin Sila, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007. hal.
178.
23

pemikiran Fansuri, kemudian menyimpulkan menjadi bentuk dan


identitas baru, yaitu tasawuf falsafi61.
Minat mengkaji pemikiran Hamzah Fansuri ini muncul ketika dalam
literatur perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia disebutkan
bahwa ajaran tokoh ini sebagai ajaran yang kontroversial, bahkan
divonis menyesatkan oleh Nuruddin al-Raniri. Dengan perasaan husn
al-dhan timbul pertanyaan, mungkinkah ulama besar seperti Hamzah
Fansuri itu mengajarkan ajaran sesat?42 Jadi motif penelitian
terhadap pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri ini justru karena
faktor ketidakpercayaan atau setidaknya keraguan yang disimpulkan
dalam bentuk pertanyaan: mungkinkah ulama sekaliber Hamzah
Fansuri berusaha menyesatkan umat?
Di sini perlu dipaparkan contoh tasawuf falsafi melalui konsep ke-
fana’-an yang tertinggi yakni apabila kesadaran tentang fana’ itu
sendiri juga hilang (fana’ al-fana‟) yang diungkapkan Hamzah
Fansuri dan dikutip al-Attas kemudian dikutip Anshori, sebagai
berikut: Jadi syair Hamzah Fansuri ini menimbulkan tuduhan yang
makin kuat bahwa ia mengaku menyatu dengan Tuhan. Ketika ia
mencapai puncak fana‟ (fana’ al-fana’), ia mengucapkan subhani ma
a’zhama sya’ni (Mahasuci Aku, Maha Besar Aku). Ketika ucapan
Fansuri ini dipahami secara tekstual oleh mayoritas umat Islam maka
menimbulkan kesimpulan sebagai ajaran sesat. Bagi orang yang
mendalami tasawuf, ia memiliki metode khusus dalam memahami
pernyataan itu, yaitu bahwa yang mengucapkan subhani ma a’zhama
sya’ni itu adalah Allah sendiri melalui lidah Hamzah Fansuri
sehingga mampu memahaminya secara positif, tidak sampai
menuduhnya tersesat.
5.) Tasawuf Irfani
Tasawuf irfani ini ditulis oleh Dahlan Tamrin dalam bukunya,
Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut, yang diterbitkan oleh UIN
Maliki Press Malang pada 2010. Judul buku ini mengungkapkan
makna yang mendalam tentang maqam yang diharapkan. Suatu
maqam yang hanya orang-orang khusus yang mampu menembusnya.
Tasawuf dalam perkembangannya dapat dikategorikan menjadi tiga
bagian, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. 62
Tasawuf irfani ditulis lebih awal daripada tasawuf lainnya, dalam
rangka memberikan wawasan dasar untuk al-salik (orang yang
menempuh perjalanan spiritual menuju Allah) yang berusaha
61
M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta:
Gelombang Pasang, 2004, hal. vi.
62
Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut, Malang: UIN Maliki Press,
2010, hal. v.
24

menghampiri Al-Haqq sebagai Dzat Yang Maha Suci, dapat


terbimbing dengan baik seperti ketika menghampirinya melalui salat,
puasa dan haji. Al-Haqq sebagai Dzat Yang Maha Suci tidak bisa
dihampiri melainkan oleh orang-orang yang suci badan, tempat,
kondisi, batin dan lain sebagainya. Maka dengan kehadiran buku ini,
al-salik sedikit terbantu agar penghampirannya benar dan cepat.
Karena buku ini bisa dijadikan sebagai panduan bagi al-salik ketika
akan menjalankan aktivitas-aktivitasnya.
6.) Tasawuf Kontekstual
Tasawuf kontekstual ini disusun oleh M. Amin Syukur dengan
menghadirkan sebuah karya yang berjudul, Tasawuf Kontekstual
Solusi Problem Manusia Modern, yang diedit oleh Mohammad Nor
Ichwan dan Muhammad Masrur. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka
Pelajar Yogyakarta. Buku ini merupakan kumpulan dari dialog yang
difasilitasi oleh Harian Suara Merdeka melalui rubrik “Tasawuf-
interaktif ”.
Era modern memang banyak memberikan kemudahan dalam
kehidupan, namun persaingan yang ketat, kehidupan yang keras atau
tawaran yang menggiurkan seringkali menimbulkan kegelisahan batin
dan pergolakan jiwa yang mengganggu. Di samping itu, ada
keinginan hidup secara instan bagi sementara orang yang berakibat
tindakan nekat yang tidak rasional. Lantaran fenomena ini, maka
terbetiklah keinginan untuk menampung keluhan dan permasalahan
masyarakat pembaca, agar bisa dicari pemecahannya secara bersama-
sama di Harian Suara Merdeka. 63 Karena itu, buku ini merupakan
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pembaca harian itu sebagai
kepedulian Syukur dalam menghapuskan atau setidaknya mengurangi
kegelisahan masyarakat.
Di tengah derasnya arus modernisasi dengan peralatan teknologi
modern, hidup menjadi semakin mudah, tasawuf semakin dicari dan
dibutuhkan oleh masyarakat. Fenomena ini menggugat anggapan
bahwa tasawuf menjadi faktor penghambat kemajuan dan
perkembangan masyarakat. Dulu di Indonesia tasawuf lahir dan
menjamur hanya terbatas di kalangan masyarakat pedesaan, seperti di
pesantren tradisional. Sedangkan tarekat sebagai salah satu
pengamalan tasawuf, lebih banyak mewarnai masyarakat lapisan
bawah, tapi kini tasawuf telah terangkat sebagai kebutuhan hidup
masyarakat modern. Ternyata tasawuf yang asalnya oleh kalangan
Islam modernis maupun reformis ingin disingkirkan dari kehidupan

63
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. ix.
25

umat Islam, belakangan ini justru dicari-cari dan dikejar-kejar oleh


masyarakat modern atau masyarakat perkotaan karena tasawuf
menyimpan resep ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan yang
mereka butuhkan.
7.) Tasawuf Jawa
Tasawuf Jawa ini dijabarkan dan diperkenalkan oleh Simuh melalui
karyanya, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita: Suatu Studi
terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, yang diterbitkan oleh UI Press
pada 1988 dan karya lainnya yang berjudul Sufisme Jawa:
Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, yang diterbitkan oleh
Bentang Budaya Yogyakarta pada 1995.
Simuh melaporkan bahwa dalam kepustakaan Islam kejawen,
pengaruh ajaran tasawuf dan tuntutan budi pekerti luhur terasa sangat
menonjol. Demikian juga istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan
agama Islam dan tasawuf, sebagai bagian dari kepustakaan Jawa.
Islam telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat
Jawa. Oleh karena itu, seseorang akan sulit memahami kepustakaan
Jawa dengan baik, tanpa pengenalan ajaran Islam dan pengetahuan
bahasa Arab yang cukup. Dalam gubahan Serat Dewaruci karya Tan
Khoen Swie berbentuk sekar macapat misalnya, mengandung
beberapa istilah Arab seperti: wujud, zat, sifat, nikmat dan manfaat.
Tanpa disadari, baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia banyak
menyerap unsur-unsur bahasa Arab.64
Konsep Islam kejawen tentang curiga manjing warangka (manusia
masuk dalam diri Tuhan) tersebut dapat diduga dengan kuat
merupakan pengaruh dari konsep al-ittihad yang dipopulerkan oleh
Abu Yazid al- Bustami, sedangkan konsep tentang warangka manjing
curiga (Tuhan me-nitis dalam diri manusia) merupakan pengaruh dari
konsep al-hulul yang dipopulerkan oleh Abu Mansyur al-Hallaj.
Kedua sufi tersebut dikenal telah mengungkapkan hal-hal yang ganjil
menurut ukuran-ukuran syariat yang disebut dengan istilah syathahat.
Berdasarkan konsep curiga manjing warangka maupun warangka
manjing curiga tersebut menunjukkan bahwa tasawuf Jawa yang
dikembangkan adalah tasawuf falsafi.
8.) Tasawuf Muhammadiyah
Tasawuf Muhammadiyah ini digagas dan disusun oleh Masyitoh
Chusnan dalam karyanya yang berjudul, Tasawuf Muhammadiyah
Menyelami Spiritual Leadership AR. Fakhruddin, yang diterbitkan
oleh Kubah Ilmu Jakarta. Buku ini berasal dari disertasinya yang

64
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press, 1988, hal. 31.
26

dipertahankan di depan dewan penguji UIN Syarif Hidayatullah


Jakarta, yang diedit oleh Muhbib Abdul Wahab. Tentu saja, kehadiran
tasawuf Muhammadiyah ini memiliki alasan-alasan kuat yang
mendasari pemikiran penulisnya. Chusnan menuturkan bahwa
motivasi utama munculnya telaah tentang kehidupan atau tasawuf
dalam Muhammadiyah ini disebabkan banyak kritik terhadap gerakan
ini yang mengedepankan rasionalitas dan modernitas sehingga
dirasakan dalam praktek beragama agak kering bahkan sangat kering.
Padahal kalau dilacak lebih jauh, diperoleh kesaksian bahwa ternyata
sejak pendiri Muhammadiyah hingga sejumlah tokoh puncaknya
sudah sangat akrab dengan kitab-kitab dan spirit tasawuf akhlaki
selain kitab-kitab yang bercorak tajdid dan ijtihad. Motif ini
menunjukkan bahwa kehadiran buku tersebut sebagai respon terhadap
kritik tersebut, koreksi terhadap sikap penentangan Muhammadiyah
selama ini terhadap tasawuf, di samping sebagai upaya menggali
khazanahnya sendiri.
Perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah tidak antitasawuf, terutama
tasawuf akhlaki. Muhammadiyah justru sangat mengapresiasi dan
mengedepankan praktik kehidupan yang dilandasi nilai-nilai moral
dan spiritual yang mencerminkan al-Asma’ al-Husna (nama-nama
terbaik Allah Swt).65 Ungkapan ini bisa bermakna ganda, tergantung
penafsirannya. Ungkapan itu bisa menunjukkan: (1) upaya menjawab
kritikan-kritikan yang menuduh Muhammadiyah antitasawuf; (2)
upaya menegaskan pengalaman bertasawuf yang dilakukan tokoh-
tokoh Muhammadiyah dengan ilustrasi sosok Fakhruddin; (3) upaya
mengubah sikap konfrontatif terhadap tasawuf menjadi adaptif-
selektif atau adaptif eklektif; dan (4) upaya menawarkan “model
tasawuf alternatif ” dengan menampilkan figur Fakhruddin sebagai
“sufi” yang sangat layak diteladani. selama ini,
Kalangan modernis dikenal sangat menentang tasawuf seiring dengan
mengusung tajdid dan ijtihad. Dua konsep ini berorientasi pada
kemajuan, sedangkan tasawuf justru menjadi penyebab kemunduran
umat Islam dalam logika “hitam-putih” mereka. Sedangkan dirasakan
membanggakan lantaran kalangan Muhammadiyah mulai melakukan
instrospeksi terhadap watak keberagamaannya yang dirasakan kering
spiritual sehingga bersikap mulai agak ramah terhadap tasawuf.

65
Masyitoh Chusnan, Tasawuf Muhammadiyah Menyelami Spiritual Leadership AR.
Fakhruddin, Jakarta: Kubah Ilmu, 2012, hal. 14.
27

6. Penutup

Keberadaan ajaran tasawuf yang tidak luput dari unsur utamanya


yaitu al-Qur‟an dan Hadits yang dicontohkan secara langsung oleh
Rasulullah yang diikuti oleh para sahabatnya dan generasi seterusnya
seperti sikap sabar, rida, qana‟ah, jujur dan zuhud dalam menjalani
kehidupan,
Ajaran tasawuf inilah yang hingga sekarang masih dapat terlihat
eksistensinya hingga unsur kehidupan tasawuf ini mulai masuk ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dan ini tidak
terlepas dari peran para tokoh sufi yang telah menyebarkan Islam pertama
kali di Nusantara. Para pemikir Islam Indonesia (khususnya para ahli
tasawuf) hadir dengan memunculkan konsep tasawuf yang khas di
Indonesia, yaitu tasawuf sosial, tasawuf positif, tasawuf perkotaan,
tasawuf falsafi, tasawuf irfani, tasawuf kontekstual, tasawuf Jawa dan
tasawuf Muhammadiyah. Dan hal tersebut dilatarbelakangi oleh tantangan
yang dihadapi tasawuf dengan berbagai corak dan konsep yang ditawarkan.
28

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di


Nusantara, Surabaya: Al- Ikhlas, 1930.
Abdullah, Taufik, dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, Jilid 3,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Al Karîm, Abd b. Hawâzin b. „Abd al Malik Al Qushayrî, al Risâlah al
Qushayriyyah, Mesir: Bâb al Ḥalabî, 1959.
Al-Fadhal, Jamaluddin Aba, Muhammad bin Makram bin Manzhur Al-
Anshariyyi Al-Ifriqiyyi Al- Mishiriyyi, Lisanul-‘Arab, jilid X, cet.
Ke-1, Beirut: Darul Fikr, 2003/1424.
Al-Isfahani, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fadh al-Qur’an, Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.
Al-Wafa‟, Abu, al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.
Ahmad Rofi‟ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam,
Bandung : Pustaka. 1997.
Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015.
Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Fikiran Tentang
Islam dan Ummatnya, Jakarta; CV. Rajawali, 1986.
Anshori, M. Afif, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta:
Gelombang Pasang, 2004.
Anwar, Rosihon dan Solihin, Mukhtar, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka
Setia, 2006.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta; Bulan Bintang,
1980.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr Dalam Alquran; Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Chalil,Munawar, Alquran dari Masa ke Masa, t.k.; Ramadhani, t.t.
Chusnan, Masyitoh, Tasawuf Muhammadiyah Menyelami Spiritual
Leadership AR. Fakhruddin, Jakarta: Kubah Ilmu, 2012.
Dawami, Mohammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2000.
Edyar, Busman, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka
Asatruss, 2009.
Fauqi H, Muhammad , Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah, 2013.
Haikal, Muhammad Husein, Hayâtu Muhammad, Mesir: Maktabah Nahdhah,
1965.
29

Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka


Panjimas, 1983.
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Republika, 2015.
Ismail, Asep Usman, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta:
Transpustaka, 2012.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung; Risalah,
1983.
Mubarok, Achmad, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.
Mujieb, Abdul, Ensiklopedia tasawuf Imam Al Ghazali, Hikmah, Bandung,
2010.
Mulyati, Sri, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nashr, Abu, al-Sarraj al-Thusiy, al-Luma’, Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah,
1960.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Cet. III; Jakarta:
Bulan Bintang, 1983.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. 5, Jakarta: UI
Press, 1985.
Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Sangidu, Wachdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri,t.t
Shihab, Alwi, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia,
Depok : Pustaka Iman. 2009.
Sila, Muh. Adlin, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2007.
Sila, Muh. Adlin, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2007.
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press, 1988.
Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, Ed.2, Cet.2, 2004.
Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma‟ Al-Malik Fahd, li
Thiba‟at al-Mush-haf Asy-Syarif Medina Munawwarah P.O. Box
6262, Kerjaan Saudi Arabia, 2010.
Solihin, M dan Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka setia, 2008.
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21, Yogyakarta: Puataka Pelajar, Cet. II 2002.
30

Syukur, M. Amin, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial


Abad 21, t.t.
Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Syukur, M. Amin, Tasawuf Sosial, Umar Natuna, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Syukur, M. Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Tamrin, Dahlan, Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut, Malang: UIN
Maliki Press, 2010.
Tjandrasasmita, Uka (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984.
Trimingham, J. Spencer, Madzhab Sufi, terj. Lukman Hakim, Bandung:
Pustaka, 1999.
Trimingham, J. Spencer, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford
University Press, 1973.
Umar bin Kaṡīr al-Qurasyi al-Damasyqī, Abū al-Fidā Isma‟il bin „Umar bin
Kaṡīr al-Qurasyi al-Damasyqī, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.
Wahid, Abdurrahman, “Foreword”, dalam Greg Barton and Greg Fealy (eds.),
Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia,
Clayton: Monash Asia Institute Monash University, 1996.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007.
Zaruq al-Farisi Abu Abbas Ahmad, Qawaid al-Tashawwuf, Lebanon: Dar al
Kutub al Ilmiyyah, 2007.

Anda mungkin juga menyukai