Oleh:
Dosen Pengampu:
Dr. Abdul Rouf, Lc, M.Ag.
Abstrak
Al-Qur‟an hadir dengan segala kemukjizatannya yang menjadi cermin
atas realita kehidupan, Al–Qur‟an pun menjadi cemin dari realitas
kehidupan manusia yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah Saw. Baik
secara horizontal maupun vertikal yang diikuti oleh para generasi
selanjutnya yang bersifat berkesinambungan.
Perilaku kehidupan Rasulullah Saw. yang sufi mampu diteladani oleh
para sahabat, tabiin, sampai ulama masa kini melalui ajaran tasawuf.
Perilaku yang dicontohkan antara lain senantiasa bersungguh-sungguh
dalam zikir, syukur, sabar, rida, qana‟ah, dan zuhud dalam menjalani
kehidupan, hingga unsur kehidupan tasawuf ini mulai masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dan ini tidak terlepas
dari peran para tokoh sufi yang telah menyebarkan Islam pertama kali di
Nusantara.
Tantangan – tantangan yang dihadapkan kepada tasawuf selama ini
mampu menghadirkan para pemikir Islam Indonesia (khususnya para ahli
tasawuf) yang telah berhasil merespons berbagai tantangan yang
dihadapkan kepada tasawuf selama ini secara kreatif, sehingga
memunculkan konsep tasawuf yang khas di Indonesia, yaitu tasawuf sosial,
tasawuf positif, tasawuf perkotaan, tasawuf falsafi, tasawuf irfani, tasawuf
kontekstual, tasawuf Jawa dan tasawuf Muhammadiyah.
1. Pendahuluan
Kehadiran Al-Qur‟an yang memiliki kemungkinan- kemungkinan arti
yang tidak terbatas yang bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dalam
kehidupan masyarakat, bahkan Al–Qur‟an pun menjadi cemin dari realitas
kehidupan dan hukum-hukum pra-Islam. Jika kita mengikuti
perkembangan Al-Qur‟an itu berati kita mengikuti perkembangan
kehidupan nabi Muhammad Saw dan perkembangan komunitas
disekelilingnya.
Rasulullah Saw. telah melakukan praktik-praktik ibadah yang sempurna
baik secara vertical (habl minallah) maupun secara horizontal (habl
minannas), tercerminnya sifat-sifat Rasul dalam perilaku kehidupan yang
sufi dan selalu dijadikan tauladan bagi para sahabat, tabiin, sampai ulama
masa kini melalui ajaran tasawuf. Perilaku yang dicontohkan antara lain
senantiasa bersungguh-sungguh dalam zikir, syukur, sabar, rida, qana‟ah,
dan zuhud dalam menjalani kehidupan. Praktik-praktik sufi tersebut
dilakukan secara mendalam dan berkesinambungan melalui konsep
tasawuf.
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari
sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits serta praktik kehidupan
Rasulullah Saw dan para sahabatnya,1 hingga ajaran tasawuf ini mulai
masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dan
ini tidak terlepas dari peran para tokoh sufi yang telah menyebarkan Islam
pertama kali di Nusantara. Dan kontribusi para sufilah yang sangat
memperngaruhi tumbuh pesatnya perkembangan Islam di Indonesia
hingga saat ini.2
Tantangan – tantangan yang dihadapkan kepada tasawuf selama ini
mampu menghadirkan para pemikir Islam Indonesia (khususnya para ahli
tasawuf) yang telah berhasil merespons berbagai tantangan yang
dihadapkan kepada tasawuf selama ini secara kreatif. Mereka mencoba
menghadirkan berbagai alternatif model tasawuf yang semuanya lantaran
bersinggungan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi tersebut dengan
mengemas bentuk tasawuf dengan berbagai bervariasi yang tentunya tetap
dalam konsistensi al-Qur‟an dan Sunnah.
2. Pengertian Al-Qur’an
Etimologi: Al-Qur‟an berasal dari kata Qa-ra-a artinya membaca,
maka perkataan itu berarti "Bacaan". Maksudnya, agar ia menjadi bacaan
atau senantiasa dibaca oleh segenap bangsa manusia terutama oleh para
1
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2006, hal.16.
2
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di
Nusantara, Surabaya: Al- Ikhlas, 1930, hal. 10.
3
3
Munawar Chalil, Alquran dari Masa ke Masa, t.k.; Ramadhani, t.t., hal . 1.
4
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Fikiran Tentang Islam
dan Ummatnya, Jakarta; CV. Rajawali, 1986, hal.35.
5
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung; Risalah, 1983,
hal.21.
6
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta; Bulan Bintang, 1980,
hal. 188.
7
Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma‟ Al-Malik Fahd, li
Thiba‟at al-Mush-haf Asy-Syarif Medina Munawwarah P.O. Box 6262, Kerjaan Saudi
Arabia, hal. 3.
8
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 1496.
9
Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat al-Fadh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr,
t.t,hal. 536.
4
bagi manusia terdiri dari empat segi: 1), Hidayah Allah Ta‟ala bagi
semua jenis yang mukallaf diantaranya yang berakal, yang memilki
kecerdasan, yang mengetahui prinsip-prinsip dasar. Dalam artian
Petunjuk dengan memberikan akal, instink (naluri) dan kodrat
alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing. 2), Menjadikan
bagi manusia dengan da‟wah kepada umat atas lisan para Nabi dan
Rasul yaitu turunnya Al-Qur‟an dan yang lainnya. 3), Hidayah yang
berarti al-Taufiq dikhususkan bagi orang yang diberi petunjuk. 4),
Tercapainya hidayah yang ketiga tadi, barang siapa berhasil hidayah
ketiga tadi, maka setelah berhasil yang kedua. Sebaliknya barang
siapa berhasil yang pertama belum tentu berhasil yang kedua dan
ketiga. Dan manusia tidak bisa memberi petunjuk kepada seseorang
kecuali dengan do‟a, mengetahui jalannya yang belum tentu
mengetahui semua macam-macam hidayah.
Tentu saja petunjuk atau hidayah memiliki keterkaitan erat dengan
jalan yang lurus, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-
Fatihah ayat 6:
13
Abdul Mujieb, dkk, Ensiklopedia tasawuf Imam Al Ghazali, Hikmah, Bandung,
2010, hal. 528.
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), h. 56-57.
6
benda dan sebagainya yang ada di Mekkah untuk hijrah bersama Nabi ke
Madinah. Hal tersebut dilakukannya karena keinginan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Al Junayd mendefinisikan bahwa tasawuf sebagai “an
takȗna ma‘a Allâh bi lâ ‘alâqah”, hendaknya engkau bersama-sama
dengan Allah tanpa adanya hijab.15
Tasawuf juga dapat diartikan sebagai upaya didalam mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Alllah Swt, dengan menggunakan intuisi dan
daya emosional spiritual yang dimiliki manusia sehingga benar-benar
merasa berada di hadirat-Nya.16 Dan upaya pencapaian ini dapat dilakukan
melalui tahapan-tahapan panjang dan tidak mudah yang disebut maqâmât
dan ahwâl.17 Ahmad Zaruq berkata Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan
untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata.
Fiqih adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara
aturan dan menampakan hukmah dari setiap hukum. Sedangkan ilmu
tauhid ilmu tauhid adalah ilmu yang bertujuan unutk mewujudkan dalil-
dalil dan menghiasi iman dengan kayakinan, sebagaimana ilmu
kedokteran untuk memelihara badan dan ilmu nahwu untuk memelihara
lisan.18
Para ulama tasawuf pun berusaha didalam memformulasikan bahwa
kehidupan Rasul bisa dilihat dari pandangan tasawuf. Hal itu merupakan
pengejawantahan dari pengamalan tasawuf sebagaimana yang telah
diformulasikan oleh para sufi, dan harus ditekankan bahwa Rasul tidak
pernah menyatakan bahwa apa yang diamalkan itu merupakan pengamalan
tasawuf, sebab istilah tasawuf saja lahir jauh setelah Rasul wafat. Namun,
orang belakanganlah yang memformulasikan keilmuan dan istilah tasawuf.
Bila ditelaah kehidupan Rasulullah SAW., maka dapat dilihat bahwa ia
hidup sederhana, jauh dari kesan kemewahan, tidak suka berlebihan dalam
segala hal. Sebagaimana dikemukakan oleh Husein Haikal, bahwa
semboyan hidup Rasulullah SAW. adalah, ”kami adalah kaum yang tidak
makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang.’’
Semboyan ini merupakan indikasi kesederhanaan dan sikap yang tidak
suka akan berlebih-lebihan.19
15
Abd al Karîm b. Hawâzin b. „Abd al Malik Al Qushayrî, al Risâlah al
Qushayriyyah, Mesir: Bâb al Ḥalabî, 1959, hal. 552.
16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. 5, Jakarta: UI Press,
1985, hal. 71.
17
J. Spencer Trimingham, Madzhab Sufi, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka,
1999, hal. 3-4
18
Abu Abbas Ahmad Zaruq al-Farisi (Wafat 899 H), Qawaid al-Tashawwuf,
Lebanon: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 2007, hal. 175.
19
Muhammad Husein Haikal, Hayâtu Muhammad, Mesir: Maktabah Nahdhah,
1965, hal. 119-120.
7
20
Asep Usman Ismail, "Tasawuf", dalam Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Ajaran, Jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, hal. 306.
21
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, Yogyakarta: Puataka Pelajar, Cet. II 2002, hal. 31.
22
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004, hal.6.
8
23
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia., hal. 7.
24
Prof. Dr. H. M Amin Syukur, M.A, Menggugat Tasawuf. (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,1999). h.30.
25
Muhammad Fauqi H , Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 17.
9
26
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015, hal. 209.
10
27
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015, hal. 233.
28
Alwi Shihab, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia,
Depok : Pustaka Iman. 2009, hal. 51.
29
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka setia, 2008, hal.
18.
30
Jamaluddin Aba Al-Fadhal Muhammad bin Makram bin Manzhur Al-Anshariyyi
Al-Ifriqiyyi Al- Mishiriyyi, Lisanul-‘Arab, jilid X, cet. Ke-1, (Beirut: Darul Fikr, 2003/1424),
h. 104.
31
Jamaluddin Aba Al-Fadhal Muhammad bin Makram bin Manzhur Al-Anshariyyi
Al-Ifriqiyyi Al- Mishiriyyi, Lisanul-‘Arab, jilid X, cet. Ke-1, Beirut: Darul Fikr, 2003/1424,
hal. 104.
11
32
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, Ed.2, Cet.2, 2004, hal. 74
12
33
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi‟ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, Bandung : Pustaka. 1997, hal. 140.
34
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta:
Transpustaka, 2012, hal. 123.
35
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta:
Transpustaka, 2012, hal. 77.
13
38
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001, hal. 124.
15
39
Sangidu, Wachdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri., hal. 24-25.
40
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengahdan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII., hal. 16.
16
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah yang sudah tertera dalam kitab suci Al-Qur‟an. Pemahaman
terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti
melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadis
serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. 41 Pentingnya tasawuf
dalam budaya negeri-negeri Muslim dapat dikenali dengan baik.42 Sejarah
mencatat peran tasawuf yang begitu besar. A.H. John melaporkan bahwa
para sufi pengembara terutama yang melakukan penyiaran di Nusantara.
Mereka berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara
minimal sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi itu adalah
kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif,
terutama menekankan kesesuaian dengan Islam, ketimbang perubahan
dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.43
Setelah kejatuhan Baghdad, kaum sufi memainkan peranan penting dalam
memelihara keutuhan dunia Muslim dengan menghadapi tantangan
kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan ke-khalifah-an di dalam
wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia dan Turki. Tasawuf merupakan
salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi. 44 Tasawuf
termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial
bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada
tulisantulisan antara abad ke-13 dan ke-18. hal itu bertalian langsung
dengan penyebaran Islam di Indonesia.45 Dalam hal ini para ahli tasawuf
hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha menghayati
kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah
masyarakatnya. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian untuk
menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Jalur tasawuf, yaitu proses
islamisasi dengan mengajarknan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai
budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama Hindu ke dalam ajaran
Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai
41
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2006, hal.16.
42
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University
Press, 1973, hal. 233.
43
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1994, hal. 35.
44
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007, hal.
191-192
45
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984, hal, 218.
17
46
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss,
2009, hal.208.
47
Hamzah Fansuri beserta muridnya yaitu Syamsuddin as-samatrani, banyak
menhasilkan karangan-karangan. Fansuri menuliskan ajaran-ajarannya dalambentuk prosa
dan syair dengan bahsa arab dan Indonesia. Karangan-karangan Hamzah Fansuri antara lain:
Syarab al-asyikina, Asrar al- Arifina fi bayan „ilm-al suluk wal tauhid; dalam bentuk syair
yang terkenal: Rubba al- Muhakkikina, Kashf al-Sirr al-Tajalli al-Subhani, Miftah al-Asrar,
Syair si burung Pingai, Syair Perahu, Syair Syidang fakir, Syair dagang (Uka Tjandrasasmita
(Ed.), op.cit., hlm. 221).
48
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21, h. 140
49
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Republika, 2015, hal. 215.
18
50
Abdurrahman Wahid, “Foreword”, dalam Greg Barton and Greg Fealy (eds.),
Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Clayton: Monash Asia
Institute Monash University, 1996, hal. xiii.
51
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975, hal. 23.
19
52
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusiy, al-Luma’, Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960,
hal. 72.
53
Abi al-Qasim „Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-
Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, t.t.p.: Dar al-Khair, t.t., h. 116.
54
M. Quraish Shihab, “Sekapur Sirih”, dalam M. Amin Syukur, Zuhud di Abad
Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. x.
55
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press,
1973, hal. 233.
56
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan, 1994, hal. 35.
20
57
M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Umar Natuna, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, hal. v.
21
58
Mohammad Dawami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2000, hal. 243.
22
59
Muh. Adlin Sila, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007. hal.
5.
60
Muh. Adlin Sila, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007. hal.
178.
23
63
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. ix.
25
64
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press, 1988, hal. 31.
26
65
Masyitoh Chusnan, Tasawuf Muhammadiyah Menyelami Spiritual Leadership AR.
Fakhruddin, Jakarta: Kubah Ilmu, 2012, hal. 14.
27
6. Penutup
DAFTAR PUSTAKA