Disusun Oleh :
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
BAB III....................................................................................................................................14
PENUTUP................................................................................................................................19
A.Kesimpulan.......................................................................................................................19
Daftar Pustaka..........................................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad
Saw. Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai bukan hanya
kebahagiaan di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran.
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk
memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah danmu’amalah. Oleh karena akidah
semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan
atas tauhid uluhiyah dan rububiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada
aqidah yang satu itu semuanya sama. 1
Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama,
yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat
serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. 2
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al
Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya
saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat
yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut
Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi
ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.3
Fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh ulama, merupakan
bukti besar bahwa ada dialetika hubungan antara wahyu dan realitas. Bahwa
banyak sekali realitas kehidupan yang sangat tidak sama dengan realitas
kehidupan pada saat wahyu diturunkan. Hukum-hukum yang tidak sesuai
dengan realitas kehidupan pada zaman sekarang ini di naskh dengan hukum-
hukum yang lain dalam Al-Quran yang sesuai dengan fenomena kehidupan.
Firman Allah Swt dalam surah Al Baqarah ayat 106 tentang nasikh dan mansukh
yaitu:
Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam ayat-
ayat Allah, baik ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun ayat-ayat
dalam kitab-kitab suci terdahulu. 4
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat
besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli usul, agar
pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu,
terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan tabi’in) yang mendorong agar
mengetahui masalah ini. 5
B. Rumusan Masalah
4 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi), hal 259.
5 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an,op.cit h 329.
1. Apa pengertian dari Nasikh dan Mansukh ?
2. Ruang lingkup dan Syarat-syarat nasakh ?
3. Apa saja contoh ayat nasikh dan Mansukh didalam Al-Qur’an ?
C. Tujuan penulisan
1. Memahami dan mengetahui definisi Nasikh dan Mansukh .
2. Mengetahui contoh ayat nasikh Mansukh didlam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
6 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2013), hal. 63.
7 UsmanUlumul Qur’an(Yogyakarta:Teras, 2009), hal 256-257
8 Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
9 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an op cit hal. 326
10 Usman, Ulumul Qur’an, op cit hal. 258
11 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta:Teras, 2013), hal. 63.
Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M Quraish Shihab
menandaskan bahwa para ulama mutaqaddimin (ulama abad I hingga III H)
memperluas arti nasakh, mencakup hal-hal, yaitu :
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
d. Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum bersyarat.12
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti dikutip oleh Quraish
Shihab diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada
ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah
untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah,
dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.13
Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama yang datang
kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.14 Sedang mansukh menurut Syaikh
Manna’ adalah” hukum yang diangkat atau yang dihapuskan”.15 Dalam buku Al
Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti
istilah adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah hukum
syara’ yang telah dihapus.16
2. Syarat-syarat Nasakh
17 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta:Teras, 2013), hal. 65.
18 Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit hal. 785
19 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an (Yogyakarta:Teras, 2013), hal. 64.
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya , nasikh dalam Al-Quran dibagi
menjadi empat macam, yaitu :
a. Nasikh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada
ayat yang terdahulu. Contohnya ayat tentang perang (qital) pada surat Al-Anfal
ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir :
ٰ َض ْال ُمْؤ ِمنِي َ~ْن َعلَى ْالقِتَا ۗ ِل اِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِع ْشرُوْ ن
ٌصبِرُوْ نَ يَ ْغلِبُوْ ا ِماَئتَي ۚ ِْن َواِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِّماَئة ٓ
ِ ِّٰياَيُّهَا النَّبِ ُّي َحر
َيَّ ْغلِب ُْٓوا اَ ْلفًا ِّمنَ الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا بِاَنَّهُ ْم قَوْ ٌم اَّل يَ ْفقَهُوْ ن
Artinya :” Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika
ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Menurut jumhur ulama ayat ini di nasakh oleh surat Al-Anfal ayat 66 :
هّٰللا
ف يَّ ْغلِب ُْٓوا َ ٌض ْعفً ۗا فَا ِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِّماَئة
ٌ صابِ َرةٌ يَّ ْغلِبُوْ ا ِماَئتَ ْي ۚ ِن َواِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم اَ ْل َ اَ ْلٰٔـنَ خَ فَّفَ ُ َع ْن ُك ْم َو َعلِ َم اَ َّن فِ ْي ُك ْم
َصبِ ِر ْينّ ٰ اَ ْلفَ ْي ِن بِا ِ ْذ ِن هّٰللا ِ َۗوهّٰللا ُ َم َع ال
Artinya :”Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus
orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir;
dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang
yang sabar”.
Ayat di atas mengandung maksud bahwa pengharusan bagi satu orang mukmin
melawan dua orang kafir, di mana sebelumnya pada ayat yang dimansukh
dijelaskan bahwa pengharusan satu orang muslim melawan sepuluh kafir.
b. Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan
tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama, dan
diketahui waktu turunnya , maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat
terdahulu. Contoh Surat Al-Baqarah ayat 180 :
ض َّل َس َو ۤا َء ال َّسبِ ْي ِل
َ اَ ْم تُ ِر ْي ُدوْ نَ اَ ْن تَ ْسـَٔلُوْ ا َرسُوْ لَ ُك ْم َك َما س ُِٕى َل ُموْ ٰسى ِم ْن قَ ْب ُل َۗو َم ْن يَّتَبَ َّد ِل ْال ُك ْف َر بِااْل ِ ْي َما ِن فَقَ ْد
Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf”.
Ayat ini dihapus oleh hadis la wasiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli
waris).
c. Nasikh Kully, orang yang mensyariatkan itu membatalkan hukum syar’i
sebelumnya. Membatalkan secara keseluruhannya dengan merangkaikan kepada
setiap pribadi mukallaf. Sebagai contoh ketentuan “iddah empat bulan sepuluh
hari yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 234 :
َوالَّ ِذي َْن ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر ُْو َن اَ ْز َواجً ا َّي َت َربَّصْ َن ِبا َ ْنفُسِ ِهنَّ اَرْ َب َع َة اَ ْشه ٍُر َّو َع ْشرً ا ۚ ف ِا َذا َبلَ ْغ َن اَ َجلَهُنَّ َفاَل ُج َنا َح
فِ َوهّٰللا ُ ِب َما َتعْ َملُ ْو َن َخ ِب ْي ٌر ۗ َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َف َع ْل َن ف ِْٓي اَ ْنفُسِ ِهنَّ ِب ْال َمعْ ر ُْو
Artinya :”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Ayat di atas menasakh ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa masa ‘iddah
perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun.
d. Naskh Juz’i, yaitu mensyariatkan hukum secara umum, meliputi seluruh pribadi
mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan menisbahkan kepada sebagian
ifrad. Atau mensyariatkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan
menisbahkan kepada beberapa hal. Maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan
itu dengan hukum pertama yang dijadikan dasar. Tapi membatalkannya itu
dengan menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal.
Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa
adanya saksi yang kemudian dinasakh oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah
empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh. Firman Allah surat An-Nur ayat 4
:
ٰۤ ُ ۚ ُ ت ُث َّم َل ْم َيْأ ُت ْوا ِباَرْ َب َع ِة
ك
َ ول ِٕى ْن َج ْل َد ًة َّواَل َت ْق َبلُ ْوا لَ ُه ْم َش َها َد ًة اَ َب ًدا َوا8َ ش َهد َۤا َء َفاجْ لِ ُد ْو ُه ْم َث ٰم ِني ِ ص ٰن
َ َْوالَّ ِذي َْن َيرْ م ُْو َن ْالمُح
ۙ ُه ُم ْال ٰفسِ قُ ْو َن
Artinya :”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik”.
Ayat di atas di nasakh oleh surat An-Nur ayat 6
ّ ٰ ت ِباهّٰلل ِ ۙ ِا َّن ٗه َلم َِن ال
ص ِدقِي َْن ٍ ۢ اج ُه ْم َولَ ْم َي ُكنْ لَّ ُه ْم ُش َهد َۤا ُء ِآاَّل اَ ْنفُ ُس ُه ْم َف َش َها َدةُ اَ َح ِد ِه ْم اَرْ َب ُع َش ٰه ٰد
َ َوالَّ ِذي َْن َيرْ م ُْو َن اَ ْز َو
Artiny: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan
sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
c. Nasakh dengan badal akhaf (lebih ringan). Contohnya puasa masa dahulu, dalam
al-Baqarah : 183 (ayat puasa), dinasakh dengan ayat al-baqarah: 187;
ِب َعلَى الَّ ِذي َْن مِنْ َق ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت َّتقُ ْو ۙ َن
َ ص َيا ُم َك َما ُكت َ ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا ُكت
ِّ ِب َعلَ ْي ُك ُم ال
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu...”
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Adapun pada sisi otoritas yang lebih berhak menghapus nasakh, para ulama
membagi nasakh menjadi 4 bagian :
a. Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau
dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah
kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At
Tirmidzi” Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.
(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah ini
Manna’Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu (1).
nasakh mutawatir dengan mutawatir. (2) nasakh ahad dengan ahad. (3) ahad
dengan mutawatir. (4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat. Namun jumhur
ulama tidak membolehkan.20
b. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian
dinasakh dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul
Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun
ayat Al Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat 144:
ْث َما ُك ْنتُ ْم ْ ك َش
ُ ط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ۗ َو َحي َ َضىهَا ۖ فَ َو ِّل َوجْ ه ٰ ْك فِى ال َّس َم ۤا ۚ ِء فَلَنُ َولِّيَنَّكَ قِ ْبلَةً تَر َ ب َوجْ ِه َ ُّقَ ْد ن َٰرى تَقَل
ط َر ٗه ۗ َواِ َّن الَّ ِذيْنْ فَ َو ُّلوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َش
َق ِم ْن َّربِّ ِه ْم ۗ َو َما هّٰللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُوْ ن ُّ ب لَيَ ْعلَ ُموْ نَ اَنَّهُ ْال َحَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت
Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (Al Baqarah/2 : 185).
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip
Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang ditetapkan sunnah
tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al Qur’an tentu
didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab dengan
sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
c. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian
dinasakh dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan
mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah
ayat 106. Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al
Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima
akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum
yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti
dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi
keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak
ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh
mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an.
Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab
suci terdahulu, tetapi semua ayat Al Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang
mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah Swt dalam
surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh
kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.21 Karena tidak ada satu ayat pun yang batil
baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al Qur’an yang dinasakh
maupun mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an memang telah menasakh ayat-ayat dalam
kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian
misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir yang
menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian
bahwa sesama Al Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.
d. Nasakh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur’an dinasakh dengan dalil
sunnah. Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu: 22
1) Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad,
sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad
zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang
ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga)
2) Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad
dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya
adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4. Artinya”Dan tiadalah yang
Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya dalam al-Quran ada 3
macam :
a. Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam
surah Al Baqarah ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya selama satu tahun, kemudian
dinasakh menjadi hanya empat bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah
Al Baqarah ayat 234(ayat 240 turun lebih dahulu daripada ayat 234). Lalu timbul
pertanyaan. Apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap?
Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al Qur’an di samping dibaca untuk diketahui
makna dan diamalkan hukumnya, juga Al Qur’an sebagai Kalamullah yang
membacanya mendapat pahala. (2) Pada umumnya nasakh itu untuk
meringankan, sehingga dengan tetapnya tilawah dan terus dibaca untuk
mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah) dari hukum
yang dihapus.
b. Nasakh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya
maupun hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada
ayat Al Qur’an. Bentuk ini menurut sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al
Qur’an, karena ayat-ayat Al Qur’an sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga sekarang, tidak ada yang berubah atau
berkurang. Nasakh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci terdahulu,
yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh Al Qur’an.
Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh hukum
dan tilawahnya ini ada juga dalam Al Qur’an seperti yang diriwayatkan oleh
Muslim dan beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata:
”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang
diketahui itu menjadikan muhrim (haram dinikahi), kemudian dinasakh oleh lima
susuan yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk
ayat Al Qur’an yang baca”. Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat
Qur’an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap,
tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani.
Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah
tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu
telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua
orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat,
sebagian orang masih tetap membacanya.
c. Nasakh Tilawah sedang Hukumnya Tetap
Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al
Qur’an, tetapi terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah
yang disebut”Syar’un man qablana”yaitu syari’at orang-orang sebelum kita.
Hukum syari’at itu masih kita lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan
bagi anak laki-laki sebelum usia balig. Tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada
kitab-kitab suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh tilawah
tetapi hukumnya tidak dinasakh ada juga dalam Al Qur’an, yaitu tentang hukum
rajam, ayat yang telah dinasakh dan kini tidak terdapat dalam Al Qur’an, yaitu;
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya
dirajam kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.23
E. Penutup
Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil
syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan
mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti. Nasakh hanya terjadi
pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun
yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar (perintah)
atau nahyi (larangan), tidak ada nasakh ayat tentang persoalan akidah, zat Allah, sifat-
sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, etika dan akhlak atau
dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al
Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur ulama mengakui
adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadis para ulama sepakat
hal tersebut tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya;Tafsir Al Qur’anul Karim(Medinah Munawwarah: Mujamma
Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif,
1411 H).
Nur Efendi dan Muhammad Fathurrohman, Studi Al Qur’an (Yogyakarta:Teras, cet.1, 2014).