Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Laila Selvia

NIM : 22241006924
Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an Kontekstual
Dosen Pengampu : Prof Dr. Mahyudin Barni, M.Ag

SOAL UTS STUDI AL-QUR`AN KONTEKSTUAL


1. Lakukan analisis mengapa para ulama berbeda mendefinisikan Makiyyah dan
Madaniyyah, kenapa bisa terjadi ayat yang turun di Mekkah, masuk pada surat
Madaniyyah, sebaliknya ada ayat yang turun di Madinah masuk pada surat Makkiyah,
dan bagaimana mengetahuinya?
Jawaban : Para ulama Al-quran membedakan ayat berdasarkan tempat turunnya.
Bahkan mereka juga mengumpulkan antara waktu, tempat serta pola kalimat dari ayat
Alquran. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kemurnian Alquran dari kesalahan
penafsiran.
Meskipun disebut dengan surah Makkiyah, tidak berarti seluruh ayat pada surah
tersebut turun di Makkah . Begitu juga jika salah satu surah digolongkan Madaniyah,
tidak berarti keseluruhan ayat pada surat tersebut turun di Madinah.
Penamaan surah tersebut dikarenakan mayoritas ayat yang turun pada surat tersebut
Makkiyah atau Madaniyah. Karenanya koleksi mushaf para sahabat, ada yang di
antaranya ditulis berdasarkan kronologi turunnya ayat (tartib nuzul). Akan tetapi
semuanya telah dibakar saat adanya standardisasi Mushaf Utsmani.
Merujuk pada kitab Mabâhits fî Ulûmil Qur’an karya Syekh Manna Al-Qathathan,
jumhur ulama memiliki tiga cara membedakan Makkiyah dan Madaniyah pada surat
dan ayat Alquran yang perlu diperhatikan para pengkaji Alquran, yaitu sebagai
berikut:
a. Memperhatikan segi waktu turun ayat tersebut
Perlu diperhatikan penamaan Makki yaitu ayat yang diturunkan sebelum Nabi
Muhammad SAW hijrah, meskipun tempat turunnya bukan di Makkah .
Sedangkan Madani yaitu ayat yang turun setelah Nabi hijrah, sekalipun turunnya
bukan di Madinah.
Misalnya surat Al Maidah ayat 3 merupakan ayat Madaniyah meskipun
diturunkan di Makkah . Karena ayat tersebut turun sesudah hijrah yaitu saat haji
Wada’.
ُ ‫اخ َشوْ ۗ ِن اَ ْليَوْ َم اَ ْك َم ْل‬
ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َواَ ْت َم ْم‬
‫ت‬ ْ ‫م َو‬Kُْ‫س الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ِم ْن ِد ْينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َشوْ ه‬ َ ‫اَ ْليَوْ َم يَ ِٕى‬
‫هّٰللا‬
َ ‫ف اِّل ِ ْث ۙ ٍم فَاِ َّن‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغي َْر ُمتَ َجان‬ َ ‫ْت لَ ُك ُم ااْل ِ ْساَل َم ِد ْينً ۗا فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِ ْي َم ْخ َم‬ ُ ‫ضي‬ ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِ ْي َو َر‬
ِ ‫َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi
barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka
sungguh, Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”
b. Memperhatikan lokasi turun ayat
Makkiyah adalah ayat yang diturunkan di Makkah dan wilayah sekitarnya seperti
Hudaibiyah, Mina dan Arafah. Begitu juga ayat Madaniyah adalah ayat yang
diturunkan di Madinah dan wilayah sekitarnya seperti Sil’, Quba, dan Uhud.
Adanya pengelompokan tersebut menjadikan ayat yang turun di tempat selainnya
seperti yang turun saat Nabi dalam perjalanan, di Tabuk atau Baitul Maqdis tidak
dikelompokan ke dalam Makkiyah atau Madaniyah.
c. Memperhatikan obyek turunnya ayat
Ayat yang turun di Makkah umumnya dimulai dengan seruan lafaz ‫اس‬KK‫ا الن‬KK‫يآيه‬
(wahai manusia). Sedangkan ayat yang turun di Madinah umumnya dimulai
dengan seruan lafaz ‫( يآايها الذين أمنوا‬wahai orang-orang yang beriman).

2. Dalam studi al-Qur`an, ada istilah azbab al-nuzul, bagaimana mengetahuinya, dan
mengapa asbab al-nuzul dibutuhkan dalam menafsirkan sebuah ayat al-Qur`an.
Lakukan analisis disertai dengan contoh.
Jawaban : Para mufassir Al-Qur’an sepakat bahwa: “Asbabun nuzul adalah
diturunkan ayat Al-Qur’an atas sebuah kejadian untuk mengabadikannya atau
menjelaskan hukum atas kejadian tersebut.” Di antara contoh asbabun nuzul adalah
riwayat yang menjelaskan kejadian yang melatarbelakangi diturunkannya hukum
larangan meminum khamr dalam Al-Quran, yaitu:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika dua kabilah dari golongan Anshar
mengadakan perjamuan yang disuguhi dengan minuman khamr. Kemudian mereka
minum khamr hingga mabuk sehingga terjadilah perkelahian di antara mereka. Ketika
mereka telah sadar dari mabuknya, maka sebagian mereka menyadari bekas luka yang
ada di wajahnya seraya berkata, ‘Sungguh saudaraku fulan telah melukaiku,
seandainya ia berbelas kasihan niscaya ia tidak akan melukaiku’. Terbakarlah
permusuhan di antara dua kabilah tersebut karena luka yang mereka dapatkan.
Kemudian, Allah menurunkan ayat Al-Qur’an

ُ‫م ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوه‬Kُ ‫األزال‬ َ ‫ر َواأل ْن‬Kُ ‫ِإنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس‬
ْ ‫صابُ َو‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah…” (QS Al-Maidah : 90)

3. Lakukan analisis perbedaan pemahaman ulama klasik dengan ulama kontemporer


tentang tafsir dan takwil, dan kaitkan pembahasan dengan konsep muhkam dan
mutasyabih.
Jawaban : Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân,
mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an,
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri maupun tersusun dan
makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lainyang melengkapinya.
Menurut ulama salaf (periode awal hijriah) takwil memiliki makna yang sama dengan
tafsir yaitu sebagai disiplin ilmu untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Hal ini diperkuat dengan dasar komentar Ibnu Jarir at-Thabari, Mujahid
dan para ulama periode awal dalam karya tafsir mereka yang menyebut ulama tafsir
sebagai ahlu takwil.
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin (ulama kurun abad pertengahan) takwil
adalah memakai makna yang samar dan jarang dipakai untuk lafadz yang masyhur
dengan landasan dalil yang kuat. Syekh Tajudin as-Subuki berkomentar “Takwil
adalah berpindah dari makna yang masyhur menuju makna yang jarang dipakai (al-
Muhtamil al-Marjuh), apabila takwil dilandasi alasan yang kuat maka disebut takwil
yang benar (shahih), sedangkan apabila takwil dilandasi prasangka sebab kasuistik
yang terjadi maka disebut takwil yang rusak (fasid)”.

4. Pada awal perkembangan tafsir, tafsir ijmali adalah tafsir yang pertama muncul.
Setelah itu, berkembang tafsir tahlili dengan berbagai coraknya. Pada masa
kontemporer berkembang lagi tafsir maudhu’I dan tafsir muqarin. Lakukan analisis
mengapa?
Jawaban : Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat.
Penafsiran ayat-ayat al-qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan
rincian yang memadai . dalam tafsir mereka pada umumnya tidak diperlukan uraian
yang detail, karena itu penjelasannya hanya bersifat global (ijmali) saja sudah dirasa
memadai pada waktu itu. Atas dasar itulah maka dikatakan bahwa metode ijmali
merupakan metode tafsir al-qur’an yang pertamakali muncul dalam kajian tafsir
qur’an.
kemudian pada periode selanjutnya diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil
bentuk al-ma’stur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y.
tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesatsehingga
mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf,
bahasa, dan sebagainya. dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupainilah di abad
modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i (metode tematik) lahir pula
metode muqarin (metode perbandingan), hal ini ditandaidengan dikarangnya kitab-
kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip.
lahirnya metode-metode tafsir, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat
yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah
ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latarbelakang turunnya ayat asbab al-
nuzul, serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-qur’an
turun.
dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-qur’an secara benar,
tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan
uraian yang rinci, tetapicukup dengan isyarat dan penjelasan secara global (ijmali).
itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya
tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-qur’an.

5. Dari segi sumber, tafsir dapat dibagi kepada tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.
Berikan contoh, dan alasan mengapa contoh itu dikatagorikan sebagai tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.
Jawaban :
a. Tafsir Bil Ma’tsur

ِ ‫َير ْال َم ْغضو‬


َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َو ال الضالِّين‬ ِ ‫ص َراط الَّ ِذينَ َأ ْن َع ْمت َعلَ ْي ِه ْم غ‬
ِ ‫ ْال ُمستَقِي َم‬K‫الصراط‬
َ ‫ا ْه ِدنَا‬
Artinya: “Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang
telah Engkau karunia nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan
bukan pila jalan orang-orang yang sesat”. (QS. Al-Fatihah,{2}: 6-7

Salah satu syarat dalam kategori tafsir bil-Ma’tsur adalah Tafsir bi al ma'sur
adalah tafsir Al-Qur'an berdasarkan riwayat yang meliputi ayat dengan ayat,
penafsiran ayat dengan sunnah Rasul dan penafsiran dengan riwayat sahabat. Tafsir
bi al ma'sur dari Al-Qur'an dan sunnah yang sahih dinilai marfu' harus diterima.

b. Tafsir Bil-Ra’yi
Pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59

َ‫ك َونِ َسٓا ِء ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ ي ُۡدنِينَ َعلَ ۡي ِہ َّن ِمن َجلَ ٰـبِيبِ ِه ۚ َّن َذٲلِكَ َأ ۡدن ٰ َٓى َأن ي ُۡع َر ۡفنَ فَاَل ي ُۡؤ َذ ۡي ۗن‬
َ ِ‫يَاَّيُهَا ٱلنَّبِ ُّى قُل َأِّل ۡز َوٲ ِجكَ َوبَنَات‬
٥٩ : ‫االٴحزَاب‬ ) ‫َو َكانَ ٱهَّلل ُ َغفُو ۬ ًرا َّر ِحي ۬ ًما‬
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri
orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh
tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka
mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha
Penyayang”.

Penjelasan dari Mana’ Khalil al-Qaththan: Yaitu tafsîr yang mufassîr-nya di dalam
menjelaskan makna hanya mengandalkan pemahaman dan meng-istinbath-kannya
dengan menggunakan logika semata”. Kemudian Mana’ Khalil al-Qaththan
menambahkan keterangan yang berhubungan defenisi ini. Menurutnya yang
dimaksud logika semata adalah logika yang pemahamannya tidak sejalan dengan
nilai syari’at, dan biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah.

Anda mungkin juga menyukai