Anda di halaman 1dari 14

WHAT IS MAULID

Dosen Pengampu :
Ustadz Alim Basyir, Lc.MH
Oleh :
Arisal
Farhan
Aqshan
Jull
Fardhi

MA’HAD ALY MUADZ BIN JABAL KENDARI


JURUSAN FIQIH DAN USHUL FIQH
2023M
WHAT IS MAULID

A. SEJARAH MAULID
Jika kita menelusuri dalam litab Tarikh (Sejarah), perayaan maulid
Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
empat imam mazdhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta
dan mengagungkan nabinya ‫ﷺ‬. Mereka adalah orang-orang yang
paling paham mengenai sunnah nabinya ‫ ﷺ‬dan paling semangat dalam
mengikuti setiap ajaran beliau.
Perlu diketahui pula bahwa, menurut pakar Sejarah yang
terpercaya, yang pertamakali mempelopori acara maulid Nabi adalah
dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya
disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut
ini.
Al Maqrizy, seorang pakar Sejarah mengatakan, “para khalifah
Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan
tahun baru, hari ‘Asyura, Maulid (hari kelahiran) Nabi, Maulid Ali bin Abi
Tholib, Maulid Hasan dan Husain, Malid Fatimah Al Zahra, Maulid
khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan rajab,
perayaan malam pertengahan bulan rajab, perayaan malam pertama bulan
Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri,
perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan
musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru
Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3
hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi
Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al
Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146).
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya
Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali
mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari
kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid
Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan
maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah
(keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi
Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al
Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang
mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun
(Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20), Fatimiyyun yang
Sebenarnya.
Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau
‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan
punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan
sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.
Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah
Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul
Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut,
beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah
suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan
menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan,
“Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan
Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang
yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan
perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang
menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang
munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa
Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada
ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan
daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah
dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua
daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di


antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling
kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127).

Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab sampai Fatimah?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa


mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah
suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang


sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa
siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau
menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh
ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu
juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi
pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf:
86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan
kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu
diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya
silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti


nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada
Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)

Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak


perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada
25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan
hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru
Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas
(perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari
Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun
tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab
mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa
mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah
Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158).

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al


Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai
Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah
keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan
Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali
sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang
mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih
kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan


panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun.
Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam
kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran
Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143).

Inilah sejarah dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak


mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya.

B. PANDANGAN ULAMA TENTANG MAULID


a. Ulama yang berpendapat boleh;
As-Suyuti dalam al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi
sebagaiberikut :
‫ِة ِك‬ ‫ِن‬ ‫ِل ِم‬ ‫ِف‬ ‫ِلِد ِب‬
‫ َو ل َّنَه ا َم َع‬، ‫َأْص ُل َعَم ِل اْلَمْو ْد َعٌة ْمَل ُتْنَق ْل َعِن الَّس َل الَّص ا ِح َن اْلُق ُرْو الَّثَالَث‬
‫ِل‬
‫ذ َك‬

‫ َفَمْن َحَتَّرى ْيِف َعَم ِلَه ا اْلَمَح اِس َن َوَجَتَّنَب ِض َّد َه ا‬،‫َق ْد اْش َتَم َلْت َعَلى َحَماِس َن َو ِض ِّد َه ا‬

‫َك اَنْت‬
. ‫ “َو َقْد َظَه َر ْيِل ْخَتِرُجْيَه ا َعَلى َأْص ٍل َثاِبٍت‬: ‫ِبْد َعًة َح َس َنًة” َو َقاَل‬
“Hukum Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah
dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama,
tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan
lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha
melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal
yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar
juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan
peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, juga
memmberikan pendapat terkait tradisi perayaan maulid Nabi sebagai
berikut,

‫واحلاصُل أن االجتماع ألجِل املولد النبوي ولكَّنه من العادات اخلريِة الصاحلِة اليت‬

‫تشتمل على منافع كثرية وفوائد َتُعوُد على الناس بفضٍل وفٍري ألهنا مطلوبٌة شرعًا‬

‫بأفرادهَا‬.

"Bahwa sesungguhnya mengadakan Maulid Nabi Saw merupakan


suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang mengandung banyak
manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya
karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan
serangkaian pelaksanaannya". [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-
Maliki, Mafahim Yajibu An-Tushahha, hal. 340]
Dari dua pendapat ulama di atas, dapat dipahami bahwa perayaan
maulid Nabi bukanlah ibadah baru, karena isi acara dalam perayaan
maulid adalah bacaan sholawat, Al-Quran dan mau`idzah hasanah.
Dengan demikian dalam perayaan maulid hanya formatnya yang baru,
sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam
Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena itulah, banyak ulama yang
mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid`ah hasanah dan
pelakunya mendapatkan pahala.

Dalil perayaan maulid Nabi Muhammad menurut sebagian

Ulama` adalah firman Allah:

‫ُقْل ِبَفْض ِل الَّلِه َو ِبَر َمْحِتِه َفِبَذ ِلَك َفْلَيْف َر ُح وا ُه َو َخ ْيٌر َّمِما ْجَيَم ُعوَن‬

“Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi


Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang
gembira.” (QS.Yunus: 58).

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira


anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara
ulama dalam menafsiri ‫ الفضل‬dan ‫الرحمة‬. Ada yang menafsiri kedua
lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan
penafsiran yang berbeda. Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas
RA bahwa yang dimaksud dengan ‫ الفضل‬adalah ilmu, sedangkan ‫الرحمة‬
adalah Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.

Dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-
Asqolani diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan
siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini
membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah
memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat
merasakannya.1

1
Pandangan Para Ulama Mengenai Perayaan Maulid Nabi - Cariustadz
Imam Hasan Al-Bashri (wafat 110 Hijriyah) mengemukakan dalam
Kitab I'anah Thalibin (3/415): "Seandainya aku memiliki emas
seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya
(semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul."
(I'anah Thalibin).

Imam Asy-Syafi'i (wafat 204 H) menyatakan: "Barangsiapa yang


mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi
karena kecintaan secara berjamaah dengan menyediakan makanan dan
berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari Kiamat beserta para
ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin." (Madarijus Su'ud hal 16).

Dan tentunya apa yang disampaikan ulama di atas memiliki hujjah


yang kuat, di antara dalil kebolehan memperingati maulid Nabi dapat
kita temukan dalam Hadist Riwayat muslim.

‫ِه َّل ِئ‬ ‫ِهلل َّل‬ ‫ِر ِض‬


‫ َأَّن َرُسْو َل ا َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم ُس َل‬:‫َعْن َأْيِب َقَتاَدَة اَألْنَص ا ِّي َر َي اُهلل َعْنُه‬
‫” رواه مسلم‬. ‫ ِفْي ِه ُو ِلْد ُت َو ِفْي ِه ُأْن ِز َل َعَلَّي‬: ” ‫َعْن َص ْو ِم اِإْل ْثَنِنْي َفَق اَل‬
"Dari Abi Qotadah al-Anshori radhiyallahu 'anhu sesungguhnya
Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Beliau
menjawab: "Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan
kepadaku." (HR Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri merayakan


hari kelahiran beliau dengan berpuasa pada Hari Senin. Puasa yang
dilakukan beliau tentu dalam rangka mensyukuri kelahiran beliau dan
penerimaan wahyu kepada beliau.

Kemudian, dalam Al-Qur'an Allah berfirman: "Katakanlah


(Muhammad), "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang
mereka kumpulkan." (QS Yunus ayat 58).

Dalil berikutnya disebutkan dalam Hadis shahih Al-Bukhari, Abu


Lahab seorang kafir yang sangat zalim diringankannya siksanya oleh
Alah setiap hari Senin karena bergembira dengan lahirnya Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, yang juga keponakannya. Saking gembiranya
menyambut kelahiran Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, Abu Lahab
membebaskan (memerdekakan) budaknya bernama Tsuwaibatuh Al-
Aslamiyah.

Jika Abu Lahab yang kafir mendapat keringanan siksa sebab


kegembiraannya atas kelahiran Nabi, bagaimana dengan umat Islam
yang bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dan
mencintainya sepanjang masa?.2

b. Ulama yang Membid’ahkan Maulid

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi mengatakan,


“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang
disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada
sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan
malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8
Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8
Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan
’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para
salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka
juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298).

Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy


Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah

2
https://kalam.sindonews.com/read/1203625/69/hukum-merayakan-maulid-nabi-ini-
dalil-dan-fatwa-ulama-yang-membolehkannya-1694952596
Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan,
“Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr,
‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang
di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan
adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini
memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana
seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus
juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan,
maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada
dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini


dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya,
juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi,
perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi,
orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan
waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”

Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam,


“Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih
dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”

Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –


yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid
adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki
kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala
‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa


maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak
ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam
agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama
terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan,
yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu
dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada
makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima
hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka
yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan
(sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah)
tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah
dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan
kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan
merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam
agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak
bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau
haram.”

C. KESIMPULAN PENULIS

Penulis mengambil pendapat bahwa sanya maulid itu boleh atau di


sebut bid’ah hasanah, karna penulis berpandanga setiap yang
membid’ahkan maulid berdalilkan bahwa itu tidak ada contohnya dari
Nabi ‫ ﷺ‬mau dari sahabat, tabi’in dan at bau’tabi’in.dst, dan di landasi
dengan dalil;

‫وإَّياكم وحمدثات األمور؛ فإَّن كَّل حمدثة بدعة وكل بدعة ضاللة‬

Artinya: Berhati-hatilah kalian dari sesuatu yang baru, karena setiap hal
yang baru adalah bid`ah dan setipa bid`ah adalah sesat. [HR Ahmad No
17184].
Kemudian penulis menambahkan dalil yang serupa dengan makan yang
sama;

‫من أحدث يف أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

Artinya: Siapa saja yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah
kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka dia ditolak. [HR Al-
Bukhori No 2697].

Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‫ أمرنا‬dalam


hadits ini adalah urusan agama, bukan urusan duniawi, karena kreasi
dalam masalah dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan
syariat. Sedangkan kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak
diperbolehkan.

Dengan demikian, maka makna hadits di atas adalah sebagai


berikut: Barang siapa berkereasi dengan memasukkan sesuatu yang
sesungguhnya bukan agama, lalu diagamakan, maka sesuatu itu
merupakan hal yang ditolak.

Dengan demikian penulis menyimpulkan Maulid itu boleh asal


tidak di masukan kedalam agama, apa bila Maulid dianggap bagian dari
agama maka itu adalah bid’ah saiyyah. Wallahu ‘alam bishwaab.

Anda mungkin juga menyukai