Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH UAS

AL-QUR’AN HADITS
HADITS MAUDHU’

Disusun Oleh :

Kartika Adahu
NIM : 233022009

Dosen Pengampu Mata Kuliah Al-Qur’an Hadits :


Muhammad Rifian Panigoro, SUd, MA

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2023/2024
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Maudhu’

Hadits palsu dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan istilah Hadits Maudhu’. Secara
etimologi al-Maudhu’ (‫ )الموضوع‬merupakan bentuk isim maf’ul dari kata‫ وضع‬- ‫يضع‬. Kata
tersebut memiliki makna menggugurkan, meletakkan, meninggalkan, dan mengada-ada. Jadi
secara bahasa Hadits Maudhu’ dapat disimpulkan yaitu hadits yang diada-adakan atau dibuat-
buat.1

Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian, diantaranya menurut


Imam Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah:

‫ َو َيْح ُر ُم ِرَو اَيُتُه َم َع اْلِع ْلِم ِبِه ِفْي َأِّي َم ْع ًنى َك اَن ِإَّال ُم َبَّينًا‬، ‫ُهَو اْلُم ْخ َتَلُق اْلَم ْص ُنْو ُع َو َش ُّر الَّضِع ْيِف‬.

“Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f yang
paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan
apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”2

Ada juga yang berpendapat bahwa Hadits Maudhu’ adalah :

‫ماُنسب الى الّر سول صلى هللا عليه وسّلم اختال ًقا وكذًبا مّم ا لم يقْله أو يفعله أو يقّر ه‬

“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara


mengada-ada dan dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun taqrirkan.”3

1
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia.
Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 27.

2
Ibid, hlm. 29.

3
Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm. 141.
Sedangkan menurut sebagian ‘Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’ adalah:

‫هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول هللا صلى هللا عليه وسّلم زوًر ا وبهتا ًنا سواٌء كان ذالك‬
‫عمًدا أم خطأ‬

”Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan
kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja
maupun tidak.”4

Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama yang telah
disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan
kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja
maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak
mentaqrirkannya.

B. Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’

Ada perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan Hadis. Di antara


perbedaan itu ada yang berpendapat bahwa pada zaman Rasulullah saw. belum terjadi pemalusan
Hadis. Pendapat ini diutarakan oleh Abdul Wahhab, namun meski demikian, ia juga tidak
menolak adanya kemungkinan unsur pemalsuan terhadap Rasulullah saw. dan ajaran Islam yang
dilatari berbagai faktor.5

Beberapa faktor yang turut melatari hal tersebut, menurut Abdul Wahhab, adalah adanya
anggapan bahwa Rasulullah saw. tidak melarang bahkan memberi kesempatan bila dipandang
dapat memberikan manfaat positif bagi kemajuan ummat Islam. Pemalsuan tersebut bisa berupa
nasehat agama.

4
Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 168-169.

5
Al-Kinani, Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981), jil. I h. i.
Faktor yang lain adalah adanya kecerobohan dalam meriwayatkan Hadis oleh perawi-
perawi yang lemah sehingga timbul kesalahan dalam berbagai bentuk. Seperti riwayat yang
sebenarnya bukan berasal dari Rasulullah saw., akan tetapi karena kesilapan, riwayat tersebut
disandarkan kepada Rasulullah saw.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa pemalsuan telah terjadi pada masa Rasulullah
saw. pendapat ini seperti yang diajukan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin. Salahuddin al-adabi
berpendapat bahwa pemalsuan Hadis yang sifatnya melakukan kebohongan terhadap Rasulullah
saw. dan berhubungan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. yang
dilakukan oleh orang-orang munafiq. Sedangkan pemalsuan yang Hadis yang berkenaan dengan
masalah agama belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw.

Alasan yang dikemukakan oleh al-Adabi adalah Hadis yang diriwayatkan oleh at-
Thahawi (w. 321 H) dan at-Tabrani (w. 360 H). Riwayat itu menyatakan bahwa pada masa
Rasulullah saw., adalah seseorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan
Rasulullah saw. orang tersebut mengaku telah diberi kuasa oleh Rasulullah saw. untuk
menyelesaikan suatu masalah pada kelompok masyarakat tertentu di sekitar Madinah.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin, ia beralasan dengan adanya Hadis
Rasulullah saw. yang bisa dimaknai dengan adanya kemungkinan terjadinya pembohongan di
zaman Nabi. Hadis yang dimaksud adalah:
‫و من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬

barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan
tempat duduknya dari neraka.

Hadis ini meskipun dapat dimaknai sebagai bentuk peringatan agar tidak terjadi
pembohongan atas nabi, tapi oleh Ahmad Amin, Hadis ini dimaknai telah ada pembohongan
pada masa tersebut.6

6
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutia Sumber Widya, 2001), h. 302.
Kedua pendapat tersebut di atas, nampaknya memerlukan pengujian, terutama dari segi
historis yang dapat mendukungnya yang juga dapat mencari tahu siapa dan kapan terjadinya
pembohongan tersebut. selain dari itu, dari segi matan riwayat yang dikemukakan oleh al-Adabi
yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan sahabat beliau untuk membunuh orang
yang telah berbohong dan apabila yang ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka
Rasulullah saw. memerintahkan jasad orang tersebut dibakar. Bukankah ini sesuatu yang tidak
berguna dan bertentangan dengan ajaran Islam?.

Dari segi sanad Hadis yang dipakai oleh al-Adabi telah mendapat penilaian dari Ibnu
Hajar al-Asqalani yang telah mengatakan bahwa ada nama sahabat yang dinilainya tidak sahih.
Selain dari itu, riwayat tersebut merupakan riwayat tambahan dari Hadis mutawatir yang
dijadikan alasan oleh Ahmad Amin.7

Pendapat ketiga adalah pemalsuan menurut kebanyakan ulama. Ajjaj al-Khatib


menegaskan bahwa pemalsuan tidak terjadi dari sahabat dan dari para tabi’in besar, dan kalaupun
terjadi hanya muncul dari sebagian orang jahil dari kalangan tabiin.8

Muhammad bin Iraq al-Kinani9 mengatakan bahwa pada masa pertengahan masa tabi’in
yakni awal abad 11 H, terdapat kelompok yang lemah dan banyak sudah memarfu’kan yang
mauquf dan meriwayatkan yang mursal. Pada masa tabi’in kecil (150 H), muncul kelompok-
kelompok politik, unsur-unsur filsafat, keyakinan agama, fanatisme, kebohongan dan
kesalahan.10

Kebanyakan ulama Hadis berpendapat bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi


pertamakalinya setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang kontra
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terpecahnya ummat Islam dan muncul
golongan-golongan kelompok agama dan politik yang berbeda. Antar kelompok yang ada saling
menguatkan kelompoknya dengan Alquran al-Karim dan sunnah. Tentu saja tidak setiap

7
Ibid. h. 303.
8
Ajjaj al-Khatib, Ushul, h. 417.
9
Al-Kinani, Tanzih.
10
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 33.
golongan menguatkan kelompoknya dengan menggunakan Alquran al-Karim dan sunnah, maka
sebagian mencoba mentakwilkan Alquran al-Karim dan menafsirkan Hadis dengan cara yang
tidak benar. Ketika sebuah ayat maupun Hadis tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai
tujuannya (karena banyaknya orang yang menghafal Alquran al-Karim dan sunnah) maka
mereka mencoba berdalih dengan membuat-buat Hadis dan kebohongan atas Rasulullah saw.
Maka muncullah Hadis-Hadis yang berkenaan dengan khalifah yang empat dan pemimpin
masing-masing kelompok. Demikian juga halnya dengan aliran-aliran politik, agama dan
lainnya.11

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting tentang berkembangnya
pemalsuan Hadis:

 pemalsuan yang dipandang terjadi pada masa Rasulullah saw. seperti yang dikatakan oleh
al-Adabi dan Ahmad Amin, tidak didukung dengan fakta yang kuat.
 pada masa Rasulullah saw. dan sahabat terdapat pula periwayatan ajaran agama Islam
sebagai nasehat yang dilakukan secara cermat yang dimaknai bukan sebagai pemalsuan.
 pemalsuan muncul berawal dari kecerobohan oleh perawi-perawi yang lemah dengan
cara:

a. memarfu’kan Hadis mauquf


b. menyambungkan Hadis mursal.

Hal ini terjadi pada pertengahan masa tabi’in yang berlanjut dengan kebohongan dalam
mentakwilkan ayat dan Hadis hingga berujung kepada pemalsuan Hadis.

4. kebanyakan ulama mengindikasikan terjadinya pemalsuan setelah tahun 40 H yang dipicu oleh
persoalan politik, filsafat dan faham keagamaan.

11
Ajjaj al-Khatib,Ushul, h. 416.
C. Macam-macam Hadits Maudhu’

1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam.

2. Perkataan itu berasal dari ahli hikmah, orang zuhud atau Isra’iliyyat dan pemalsu yang
menjadikannya hadits.

3. Perkataan yang tidak diinginkan rawinya , melainkan dia hanya keliru.12

D. Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi Kemunculan Hadits Maudhu’

Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam.
Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin
‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub
‘Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang
tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih
ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-
Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya
masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al- Hadits pada saat itu, akhirnya
sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara
timbulnya hadits palsu dikalangan umat islam.13

12
Jenis ketiga ini termasuk Hadits Maudhu’ apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.

13
Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm.142.
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam,
tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka
membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut:

1. Pertentangan politik

Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang
satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka
ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik
pertentangan kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sehingga terbentuk
golongan syi’ah, khawariz, dll. yang berujung pada pembuatan hadits palsu sebagai
upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing.

2. Usaha kaum Zindiq

Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama
ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan
kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara
yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan
menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu diantara mereka adalah Muhammad
bin Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia
meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ :

‫أناخاتُم النبّيين ال نبّي بعدْي إّال أن يشاءهللا‬

"Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang Allah
kehendaki.”14

3. Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan

14
Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112.
Salah satu tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta
serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan
karena kebencian, bahkan balas dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-
Khalily, salah seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits
palsu mengenai keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah 300.000
hadits.15

4. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat

Kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh


simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada
intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-
lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.

5. Perbedaan pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih

Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah ini berasal dari perselisihan


pendapat dalam hal ‘aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab. Mereka melakukan
pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya
masing-masing. Misalnya hadits palsu yang isinya tentang keutamaan Khalifah ‘Ali bin
Abi Thaalib:

‫علّي خيرالبشرَم ن شّك فيه كفر‬

"’Ali merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa yang meragukannya maka ia


telah kafir.”16
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT.
15

PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2009. hlm. 191.

16
Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112.
6. Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan

Sebagian orang sholih, ahli zuhud dan para ulama akan tetapi kurang didukung
dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang yang malas dalam beribadah,
mereka pun membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya
mendekatkan diri kepada Allah subhaanahuwata’ala dan menjunjung tinggi agama-Nya
melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan akan kebodohan
mereka. Karena Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain
untuk menyempurnakan dan memperbagus syari’at-Nya.

7. Pendapat yang membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi kebaikan

Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam beribadah,
padahal para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam, apapun sebab dan alasannya.

E. Ciri-ciri Hadits Maudhu’

Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa membedakan antara
hadits shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa
mengetahui kepalsuan sebuah hadits. Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang
diambil dari berbagai sumber. Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua,
yaitu:

1) Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits) Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang
menghubungkan antara pencatat hadits sampai kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini,
diantaranya adalah:

a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh
dia, serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh (terpercaya) yang juga meriwayatkannya,
sehingga riwayatnya dihukumi palsu.

b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam,
bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan al-Qur`an juga pengakuan Abdul
Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.

c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang


perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya atau ia
lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat tinggal syekh. Hal
ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-kitab yang khusus
membahasnya.

d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub terhadap suatu
golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits
yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlul bait.

2) Dari segi Matan (Isi Hadits) Matan adalah isi sebuah hadits. Diantara hal yang
paling penting untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi ini adalah:
a. Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam adalah seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena beliau
adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim (kata
pendek yang mengandung arti luas).17

b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah
akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia. Contohnya
adalah sebuah hadits :

‫إّن سفينة نوٍح طافْت بالبيِت سبًعا وصّلْت خلف المقاِم ركعتيِن‬
“Bahwasannya kapal nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua raka’at di
belakang maqam Ibrahim.”18

c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti dan hadits
tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang benar. Contoh Hadits Maudhu’’ yang
maknanya bertentangan dengan al-Qur’an, ialah hadits:

‫َو َلُد الِّزَنا الَيْد ُخ ُل ْالَج ِّنَة ِاَلى َسْبَعِة َاْبَناٍء‬

“Anak zina itu,tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”19

Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an :

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia.
17

Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 38.

18
Ibid.

19
Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 171.
‫َو ال َتِز ُر َو اِز َر ٌة ِو ْز َر ُأْخ َر ى‬

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”20

Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada
orang lain, sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.

d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.


Seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam menggugurkan
kewajiban membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal telah ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah
itu belum disyaria’tkan saat peristiwa perang Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7 hijriyah,
karena jizyah baru disyari’atkan saat perang Tabuk pada tahun ke-9 hijriyah. Juga Sa’ad bin
Mu’adz meninggal dunia ketika perang Khondaq, dua tahun sebelum peristiwa Khoibar.
Sedangkan Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu Fathu Makkah pada tahun ke-8 hijriyah.21

e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu ringan atau ancaman
yang terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak ditemukan
dalam kitab-kitab mau’izhah. Contoh :

‫َم ْن َقاَل ال ِاَلَه ِاال ُهللا َخ َلَق ُهللا ِم ْن ِتْلَك اْلَك ِلَم ِة َطاِئًر ا َلُه َسْبُعْو َن َاْلِف ِلَس اٍن ِلُك ِّل ِلَس اٍن َسْبُعْو َن‬
‫َاْلِف ُلَغٍة َيْس َتْغ ِفُرْو َن َلُه‬

“Barang siapa mengucapkan tahlil (laa ilaaha illallah) maka Allah subhaanahuwata’ala.
menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan
mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.”

20
(Q.S. al-An’am : 164)

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia.
21

Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 39.


Bahkan perasaan halus yang diperoleh dari menyelami hadits secara mendalam, dapat
juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan Hadits Maudhu’. Al-Rabi’ Ibn Khaitsam
berkata:

“Bahwasannya diantara hadits, ada yang bersinar, kita dapat mengetahuinya dengan sinar
itu, dan bahwa diantara hadits ada hadits yang gelap sebagaimana kegelapan malam, kita
mengetahuinya dengan itu.”

Seseorang yang dapat mengetahui identitas kepalsuan sebuah hadits, tentu saja berasal
dari kalangan para ‘ulama yang telah menguasai betul mengenai seluk-beluk hadits dan ilmu-
ilmu lain yang dapat mendukung seseorang mengetahui bahwa sebuah hadits adalah palsu.

Inilah kaidah yang telah ditetapkan para ulama hadits sebagai dasar memeriksa benar
tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang maudhu’. Dengan
memperhatikan apa yang telah dijelaskan ini, nyatalah bahwa para ulama hadits tidak
mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga mereka memperhatikan
matannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia.
Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 27.

Ibid, hlm. 29.

Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm. 141.

Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 168-
169.

Jenis ketiga ini termasuk Hadits Maudhu’ apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.
Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm.142.

Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2009. hlm. 191.

Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112.

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia.
Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 38.

Ibid.

Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 171.

(Q.S. al-An’am : 164)

[14] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di
Indonesia. Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 39.

Al-Kinani, Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981), jil. I h. i.

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutia Sumber Widya, 2001), h. 302.

Ibid. h. 303.

Ajjaj al-Khatib, Ushul, h. 417.

Al-Kinani, Tanzih.

Ajjaj al-Khatib,Ushul, h. 416.

Anda mungkin juga menyukai