Anda di halaman 1dari 20

HADIS MAUDHU’

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah

Hadis Dosen pengampu Dr. H. M. Rozali, MA

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK IX

Laras Joefanny 0305192066

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2019
A. PENDAHULUAN

Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam


kedua setelah al-Qur’an. Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar
tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap kaum
muslimin.

Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang


mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para
salaafussholih yang memang benar-benar memiliki kemampuan khusus
dalam ilmu agama, sehingga opini ini membuat sebagian kaum muslimin
merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits. Hal ini tentu sangat
tidak dibenarkan karena dapat membuat kaum muslimin menjadi kurang
tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah Rosulullah
shollallahu’alaihi wasallam.

Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat banyak beredar


hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah
kaum muslimin dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin
menjadi para pelaku bid’ah. Jika kaum muslimin masih memandang remeh
tentang ilmu hadits ini, maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat
berbahaya bagi ‘aqidah kaum muslimin dalam menjalankan sunnah
Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam.

Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk


mempelajarinya supaya tidak timbul kesalah pahaman, apalagi yang
berkaitan dengan permasalahan Hadits Maudhu’ yang dapat menyebabkan
tidak diterimanya amal ibadah seorang muslim karena mengamalkan
Hadis Maudhu’.

1
B. DEFINISI HADIS MAUDHU’
Hadits palsu dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan istilah Hadits
Maudhu’. Secara etimologi al-Maudhu’ (‫وع‬77‫ )الموض‬merupakan bentuk
isim maf’ul dari kata ‫ وضع‬- ‫يضع‬. Kata tersebut memiliki
makna menggugurkan, meletakkan, meninggalkan, dan mengada-ada. Jadi
secara bahasa Hadits Maudhu’ dapat disimpulkan yaitu hadits yang diada-
adakan atau dibuat-buat.1
Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian,
diantaranya menurut Imam Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah: ‫و´ ُه‬
‫الض ِع ْيف وش ر ا ْل‬، ‫ي ي ِ ه ا ْل ِع ْل ِم م ´ع ر ´واي´تُ هُ و ´يح ُر ُم‬ ِ ´‫كا ´ن م ْ ًعنى أ‬
َّ‫ ُم ´بَّيناً إل‬. ‫´مصنُ ْو ُ ع ا ْل ُمخت´ ´لق‬
“Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat,
dan hadits dhoi’f yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram
ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai
dengan penjelasan.”2
adalah Maudhu’ Hadits bahwa berpendapat yang juga : ‫مانُسب‬
‫ه هلال صلى ال‬7 ‫ال وس ’لم علي‬7‫ًا اخت‬7 ‫ل ه لم م ’ما وكذبًا ق‬7ْ ‫ق‬7 ‫ه أو ي‬7 ‫ق ’ره أو يفعل‬7 ‫ ي‬Ada yang “Sesuatu
secara wasallam shollallahu’alaihi Rasulullah kepada ‫ول الى‬7‫’رس‬
dinisbatkan
mengada-ada dan dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan
ataupun taqrirkan.”3
‫ زو‬Hadits pengertian hadits, ‘Ulama sebagian menurut Sedangkan
’adalah: Maudhu ‫ًرا وسل’م عليه هلال صلى هلال رسول الى المنصوب المصنوع المختلع هو‬
‫ً عمدا ذالك كان سوا ء نًا‬ ‫ خطأً أم‬oleh dibuat serta dicipta yang ”Hadits
‫وبهتا‬
seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja
maupun tidak.”4
Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para
’ulama yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits
Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu
disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak
memperbuatnya dan tidak mentaqrirkannya.
1
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang
Populer di Indonesia. Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 27.
2
Ibid, hlm. 29.
3
Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm.
141.

2
4
Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL MA’ARIF.
1970. hlm. 168-169.

3
C. STRUKTUR HADIS WAUDHU’

Sejarah kemunculan hadits Waudhu’

Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam


tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin
Khaththab, kemudian Utsman bin ‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan
yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib di
Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang
tidak bisa terelakan lagi.

Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang


berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-
masing dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak
menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-
masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al- Hadits pada saat itu,
akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk
mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadits
palsu dikalangan umat islam.5

Faktor yang melatarbelakangi munculnya hadits Waudhu’

1. Pertentangan politik Pertentangan politik ini terjadi karena adanya


perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan
mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela
golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan
kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sehingga terbentuk
golongan syi’ah, khawariz, dll. yang berujung pada pembuatan hadits
palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing.
2. Usaha kaum Zindiq Kaum Zindiq adalah golongan yang
membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan.
Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui
konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang
paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits,
dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu
diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami, yang dihukum
mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia meriwayatkan hadits dari
5
Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001.
hlm.142.
3
marfu’ secara Anas dari : ‫ل النب ’ ين أناخات ُم‬
‫يشاءهلال أن إل’ بعد نب‬
‫ ي‬Humaid ‫ي‬
"Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang
Allah kehendaki.”6
3. Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan
pimpinan Salah satu tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat
ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa,
kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan karena kebencian, bahkan balas
dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-Khalily, salah
seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits
palsu mengenai keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah
300.000 hadits.7
4. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat Kelompok
yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati
dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi
pada intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang
lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.
5. Perbedaan pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah ini berasal dari perselisihan
pendapat dalam hal ‘aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab.
Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan
ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Misalnya hadits palsu
yang isinya tentang keutamaan Khalifah ‘Ali bin Abi Thaalib: ‫عل‬
‫ي‬
‫’" ش فيه كفر ك خيرالبشر‬Ali merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa
‫´من‬
yang meragukannya maka ia telah kafir.”8
6. Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang
dilakukan Sebagian orang sholih, ahli zuhud dan para ulama akan tetapi
kurang didukung dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang
yang malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan
asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada
Allah subhaanahuwata’ala dan menjunjung tinggi agama-Nya melalui
amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan akan
kebodohan mereka. Karena Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya
tidak butuh kepada orang lain untuk menyempurnakan dan memperbagus
syari’at-Nya.
6
Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah.2012. hlm. 112.
7
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
4
Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2009. Hlm. 191.
8
Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
2012. hlm. 112.

5
7. Pendapat yang membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi
kebaikan Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas
nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat
kepada umat dalam beribadah, padahal para ’ulama telah sepakat atas
haramnya berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam,
apapun sebab dan alasannya.

D. URGENSI HADIS MAUDHU’


Macam-macam Hadits Maudhu’
1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam.
2. Perkataan itu berasal dari ahli hikmah, orang zuhud atau Isra’iliyyat
dan pemalsu yang menjadikannya hadits.
3. Perkataan yang tidak diinginkan rawinya , melainkan dia hanya
keliru.
Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa
membedakan antara hadits shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun
menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa mengetahui kepalsuan
sebuah hadits. Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang
diambil dari berbagai sumber. Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits) Sanad adalah rangkaian
perawi hadits yang menghubungkan antara pencatat hadits sampai kepada
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terdapat banyak hal untuk bisa
mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini, diantaranya
adalah:
a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu
hanya diriwayatkan oleh dia, serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh
(terpercaya) yang juga meriwayatkannya, sehingga riwayatnya dihukumi
palsu.
b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah
Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang
keutamaan al-Qur`an juga pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’ yang
mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.
c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan
hadits, misalnya seorang perawi meriwayatkan dari seorang syekh,
padahal ia tidak pernah bertemu dengannya atau ia lahir setelah syekh

6
tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat tinggal syekh.
Hal ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-
kitab yang khusus membahasnya.
d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta
ta’ashub terhadap suatu golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik,
kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits yang mencela para sahabat atau
mengagungkan ahlul bait.
2) Dari segi Matan (Isi Hadits) Matan adalah isi sebuah hadits.
Diantara hal yang paling penting untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah
hadits dari sisi ini adalah:
a. Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang sangat fasih
dalam mengungkapkan kata-kata, karena beliau adalah seseorang yang
dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim (kata
pendek yang mengandung arti luas).9
b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal
yang pasti, kaidah-kaidah akhlak yang umum, atau bertentangan dengan
fakta yang dapat diindera manusia. Contohnya adalah sebuah hadits : ‫إ‬
‫’ن‬
‫ ركعتي ِ ن المقا ِم خلف وص ت سب ً عا ت ت نو ح‬nabi kapal “Bahwasannya
‫سفينة‬ ‫بالبي طاف‬ ‫’ل‬
Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua raka’at di belakang
maqam Ibrahim.”10
c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’
yang pasti dan hadits tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang
benar. Contoh Hadits Maudhu’’ yang maknanya bertentangan dengan al-
Qur’an, ialah hadits: ‫´ع ِة ِال ل ´يد خل ال‬ ‫“ ء اْ´بن ´ ا‬Anak zina
‫دُ´ول‬ ‫ِ’ زن´ا‬ ‫ ´ى اْل س ْب ج ِن’ة‬itu,tidak
´
dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”11
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an : ‫ول ُر ِز‬
‫´ت‬
ُ‫“ رة´ ِز وا ر´ ْز و رى´ ْخ أ‬Dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa
orang lain.”[12] Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa
seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak
sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
9
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu
yang Populer di Indonesia. Gresik: Pustaka AL FURQAN. 2009. Hlm. 38.
6
10
Ibid.
11
Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL
MA’ARIF. 1970. Hlm. 171.
12
(Q.S. al-An’am : 164)

6
d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam. Seperti hadis yang mengatakan bahwa
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam menggugurkan kewajiban
membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis oleh Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal telah
ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah itu belum disyaria’tkan saat peristiwa
perang Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7 hijriyah, karena jizyah baru
disyari’atkan saat perang Tabuk pada tahun ke-9 hijriyah. Juga Sa’ad bin
Mu’adz meninggal dunia ketika perang Khondaq, dua tahun sebelum
peristiwa Khoibar. Sedangkan Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu
Fathu Makkah pada tahun ke-8 hijriyah.13
e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu
ringan atau ancaman yang terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil.
Hadits-hadits semacam ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab
mau’izhah. Contoh : ْ ‫س ْبعُ ْو ´ن ُه طا ِئ ًرا ا ْل ´ك ِل ´م ِة ْ لك م ْ ن هلالُ خل ن م ل´ ا‬
‫ل ه´ ´ل‬ ‫´ق هلالُ ل ا´ ْلف‬
ُ‫´ن ُلغ´ ة ا´ ْلف س ْبعُ ْو ´ن لسا ن لك‬ ´ُ‫“ ´ي له‬Barang siapa mengucapkan tahlil
‫ِ’ل لسا ن ست´ ْغ ِف ُر ْو‬ (laa
ilaaha illallah) maka Allah subhaanahuwata’ala. menciptakan dari kalimat
itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan
mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.”
Bahkan perasaan halus yang diperoleh dari menyelami hadits secara
mendalam, dapat juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan Hadits
Maudhu’. Al-Rabi’ Ibn Khaitsam berkata: “Bahwasannya diantara hadits,
ada yang bersinar, kita dapat mengetahuinya dengan sinar itu, dan bahwa
diantara hadits ada hadits yang gelap sebagaimana kegelapan malam, kita
mengetahuinya dengan itu.”
Seseorang yang dapat mengetahui identitas kepalsuan sebuah
hadits, tentu saja berasal dari kalangan para ‘ulama yang telah menguasai
betul mengenai seluk-beluk hadits dan ilmu-ilmu lain yang dapat
mendukung seseorang mengetahui bahwa sebuah hadits adalah palsu.
Inilah kaidah yang telah ditetapkan para ulama hadits sebagai dasar
memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang
shahih dan mana yang maudhu’. Dengan memperhatikan apa yang telah
dijelaskan ini, nyatalah bahwa para ulama hadits tidak mencukupkan
dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga mereka
memperhatikanmatanya.
13
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu
yang populer di Indonesia. Gresik: Pustaka AL FURQAN. 2009. Hlm.39.

7
Hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’

Umat Islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan


hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram secara mutkaq, bagi mereka
yang sudah mengetahui hadits itu palsu. Adapun bagi mereka yang
meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadis ini
adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacanya),
tidak ada dosa diatasnya. Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian
meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena
tidak tahu, tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi, sesudah mendapatkan
penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu
adalah hadits palsu, hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia
amalkan, sedangkan sanad lain tidak ada sama sekali hukumnya tidak
boleh.

Kitab-Kitab yang memuat hadits maudhu’

Para ulama muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi


kritis hadits, mengumpulkan hadits-hadits naudhu’ dalam sejumlah karya
yang cukup banyak dianataranya :

1. Al-Maudhu’ Al-Kubra, Karya Ibn Al-jauzi (ulama yang paling awal


menulis dalam ilmu ini).
2. Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya
As- Suyuti (ringkasan Ibnu Al-jauzi dengan beberapa tambahan.
3. Tanzihu Asy-Syari’ah Al-marfu’ah an Al- Ahadits Asy’Syani’ah Al
Maudhu’ah, Karya Ibnu Iraq Al-kittani (ringkasan kedua kitab
tersebut).
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifak, karya Al-albani.

Cara Mengetahui hadits Maudhu

a). Adanya pengakuan dari pembuatannya.

b). Maknanya rusak dalam arti bertentangan dengan al-qu’an, hadits


mutawatir dan hadits shahih.

c). Matannya menyebutkan janji yang besar untuk perbuatan

kecil. d). Rawinya Pendusta.14


14
Khusniati Rofiah, studi ilmu Hadits,stain po prees, bandung,2010.
8
Perbedaan Antara Hadis Maudhu dengan Beberapa Hadis Dhoif

1. Perbedaan hadis maudhu dengan hadis muadallas


Hadis maudhu adalah bukan hadis rasul dan perawinya membohongi pada sanad
dan matan, sedangkan al muadallas memalsukan isanad atau nama syiekh dalam
sanad, tidak pada matannya.
2. Hadis maudhu dengan hadis mudarroj:
Hadis mudarroj adalah hadist yang masuk didalamnya sanad atau matan yang
bukan bagian dari sanad atau matan hadist. Yang berarti hanya ada sebagian kata
yang bukan bagian dari hadist Nabi tanpa disengaja atau diketahui oleh murid
yang menukil hadis tersebut.
Sedangkan hadist maudhu terjadi kebohongan pada sanad dan matan dengan
kesengajaan kitab Ibnu Jauzy al-ahadist al-Maudhu’ah banyak menghukumkan
hadist mudarroj sebagai hadis maudhu.
3. Hubungannya dengan Riwayat Israilliyat
Israilliyat adalah riwayat-riwayat yang bersumber dari Bani Israil dan sebagian
mufasir dan Muhaddis memperluas pengertian tersebut sehingga mencangkup
riwayat maudhu’ (yang tidak punya sumber) dan riwayat yang bersumber dari
kitab-kitab Yahudi dan Nasrani. Hadist maudhu’ tidak terbatas pada kisah saja
tapi juga pada aqidah dan akhlaq dan hukum Halal dan haram.15

Status Hadits Maudhu’

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu’


apakah merupakan bagian dari hadits atau bukan. Pertentangan pendapat ini
sangat berkaitan erat dengan definisi hadits maudhu’ yang dirumuskan
olehpara ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadits yang mengandung unsur
yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.
Dengan adanya unsure dibuat-buat, dusta, dan disengaja, para muhaddisin
yang menolak hadits maudhu’, mempersoalkan apakah hadits maudhu’ layak
dikategorikan sebagai hadits. Dalam hal ini terdapat dua pandangan.
Kelompok pertama, yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur
muhaddisin, berpendapat bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits
dhaif. Hanya saja, posisi tingkatan kedhaifannya berada pada tingkat yang
paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya.
Kelompok kedua, diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, berpendapat
bahwa hadits maudhu’ bukan termasuk hadits Nabi. Hal ini karena pada
dasarnya, hadits Nabi adalah segala apa yang berasal dari Nabi, baik berupa
ucapan, perbuatan, atau pun ketetapan, sedangkan hadits maudhu’, bukan
sesuatu atau yang berasal dari Nabi, melainkan ucapan, perbuatan, atau sikap
yang berasal dari seseorang, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal dari Nabi.
15
Mohammad Najib, PERGOLAKAN POLITIK UMAT ISLAM DALAM
KEMUNCULAN HADIS MAUDHU,(Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2001), hml.
101
9
Tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’
Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadits maudhu’ mempunyai tiga tingkatan:
1. Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para
muhaddisin. Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat
di dalam bentuk periwayatannya, yaitu berdasarkan pengakuan rawi atau hasil
pengujian dari beberapa aspek.
2. Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan
mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara sebagian
ulama lain menilai hadits itu bukan maudhu tetapi hadits yang di antara
keshahihannya ada yang gugur aja.
3. Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya diperselisihkan para muhaddisin.
Jumhur ulama menila hadits seperti ini sebagai hadits yang diduga maudhu.
Sebagian muhaddisin lain menilai sebagai hadits yang dusta.

Status Periwayatan Hadits Maudhu


Pembahasan tentang status periwayatan hadits maudhu’ mencakup lima
pembahasan, yaitu:
.hadits membuat-buat perbuatan Status 1 (‫) حكم ال َوض ِ ع ي الح ِديث‬
Di kalangan muhaddisin, terdapat beberapa pendapat:
a. Jumhur ulama berpendapar bahwa membuat-buat hadits Nabi adalah
dilarang secara mutlak.
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh melakukan usaha
membuat-buat hadits Nabi, dengan syarat atas dasar kepentingan
karena Allah. Di antara para pendukung pandangan kedua ini adalah
Abu Ishmah Nuh Ibn Abi Maryam, Maisarah Ibn Abdi Rabbih.
c. Kelompok Karamiyah membolehkan membuat-buat hadits Nabi
dengan syarat jika kandungannya hanya terbatas pada pemberian berita
baik dan pemberian berita buruk.
d. Sebagian ulama lain membolehkan segala bentuk penyandaran
ungkapan yang baik-baik kepada Nabi Muhammad dalam bentuk
pembuatan hadits sepanjang isinya berupa yang baik-baik.
.Rasulullah terhadap berdusta Status 2 ( ‫على ر و ِل‬ ْ ‫) ح ْك ُم‬
َ ‫الكذب‬
Jumhur ulama bersepakat bahwa berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad secara
sengaja termasuk dosa besar, karena itulah Nabi Muhammad memberi ancaman
keras kepada setiap orang yang berusaha berbuat dusta kepada dirinya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam bentuk dan keadaan bagaimana pun, berbuat dusta
terhadap Nabi Muhammad adalah dilarang.
.Rasulullah terhadap Dusta Pembuat Status 3 ( ‫) الكا ِذب ع َلى ر و الل ِ هح ْك ُم‬
Jumhur ulama sepakat bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW.
secara sengaja adalah pembuat dosa besar. Sebagaimana ditunjukkan secara tegas
oleh Nabi Muhammad SAW. dengan sanksi dan ancaman yang berat bagi
pembuat dusta terhadap dirinya.
Mengenai bentuk sanksi ini, para ulama berbeda pendapat. Ayah Imam Haramain

10
dan muridnya menetapkan bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad
SAW. adalah kafir, keluar dari agama Islam, dan halal darahnya. Adapun jumhur
ulama an Imam Haramain tidak sepakat dengan pendapat bahwa pembuat dusta
terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir.
.maudhu hadits riwayat Status ِ ‫) ح ْك ُم ر َوا َي ِه الح ِديث ال َموضو‬
4 (‫ع‬
Dalam meriwayatkan hadits maudhu, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan status:
a. Abu Sa’id Muhammad Al-Hazimi membaginya atas tiga status:
1) Tidak boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang
riwayat.
2) Boleh meriwayatkan hadits maudhu tentang hukum-hukum
dengan syarat dia mengetahui kemaudhuan hadits itu.
3) Boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang
fadha’il al-a’mal, baik dia mengetahui atau tidak mengetahui
kemaudhuan hadits itu.
b. Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam An-Nawawi, dan Al-Qadhi
Iyadh melarang secra mutlak meriwayatkan hadits-hadits buatan atau
maudhu, sebagaimana telah diperingatkan dan diancam oleh Nabi
dalam melakukan terhadap diri Nabi.
5. Status pengamalan hadits maudhu ( ُ ‫م ْك‬ ‫ال‬ ‫) الع َم ِل ا ال ح‬
‫ض و عح‬ ‫ِد َمو‬ ‫ي‬
‫ث‬
Dalam pengamalan hadits maudhu, para muhaddisin sepakat bahwa hadits
maudhu tidak dapat diamalkan dan tidak dapat dijadikan pedoman hujjah secara
mutlak. Pemikiran jumhur muhaddisin yang menetapkan keharaman
meriwayatkan hadits maudhu jelas membawa implikasi logis bahwa
mengamalkan hadits maudhu pun menjadi haram. Bahkan, Imam Zaid Ibn Aslam
lebih keras lagi menyejajarkan orang yang mengamalkan hadits-hadits maudhu
dengan pelayan setan.

Metode Periwayatan Hadits Maudhu’


Ada dua metode dalam proses pembentukan atau pembuatan hadits
maudhu’ yang dilakukan oleh pembuatnya, yaitu sebagai berikut:
1. Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian menyandarkan ucapan
itu kepada Nabi Muhammad SAW., disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu
adalah ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi. Hal ini terlihat dalam pengakuan
rawi pembuatnya sendiri. Seperti riwayat berikut:
: ‫و ر و ى البُخا ِر ي ا َّ لتا ِري ِ خ األَ ْوسط ع ْ ن ُ ع َم َر ب ِ ن ص ْب ب ِ ن ع ْم َرا َ ن التّ َ ِم ْي ِمى أ َّنهُ َقا َ ل‬
‫َأنَا و ض ْ عت خط َبة‬
.‫م‬.‫النَّ ِبيِ ص‬
Artinya:
“Imam Bukhari mengemukakan riwayat di dalam kitabnya At-Tarikh Al-Ausath
yang berasal dari Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi. Umar Ibn Shabh Ibn
Amran At-Tamimi mengatakan, “Saya memang telah membuat khotbah Nabi
Muhammad SAW.”
1
2. Dibentuk dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari
sahabat, thabi’in, para hakim, atau riwayat Israiliyah, atau lainnya, kemudian
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., dibuatkan sanadnya sampai nampak
seperti berasal dari Nabi Muhammad SAW., sehingga menjadi musnad atau
marfu.
Cara pembentukan ini seperti riwayat berikut:
.‫َّ الناس ب َز َما ِن ِه ْم أَ ش َب َ ه م ْن ُه ْم أ َبا ِئ ِهم‬
Artinya:
“Dalam zaman masyarakat tertentu, sebagian mereka menyerupai generasi para
pendahulunya.”
Imam Al-Malla Ali Al-Qari mengungkapkan bahwa menurut sebagian pendapat,
ungkapan itu adalah pernyataan Umar Ibn Al-Khaththab. Sebagian pendapat lain,
pernyataan itu adalah pernyataan Ali Ibn Abi Thalib.16

Contoh Hadits Maudhu’


‫خ ْرطا‬ ‫كان ر و لال َ يأك العنَب‬
.1 ‫ل‬
Artinya: “Rasulullah SAW. memakan buah anggur dengan memetik dari
pohonnya.”
Hadits ini maudhu’. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil
fit-Tarikh I/280 dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah,
kemudian berkata, ”Umumnya riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak
memperhatikan sanad serta matannya.”
Adapun Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad dari
ibnu Adi sambil berkata, ”Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh Daru Quthni,
sedangkan (Kadih adalah pendusta dan Husain bukan perawi tsiqah.
.2 ... ‫م ْ ن حج اْل َب ْيت و ْ م ُ ز ْر ِني َفَق ْد جفَان‬
Artinya: “ Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku
berarti ia telah menjauhiku.”
Ini hadits maudhu’. Hal ini telah ditegaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-
Mizan III/237, juga oleh ash-Shaghani dalam kitab al-Ahadits al-Maudhu’iyyah
halaman 46. Yang menunjukkan riwayat tersebut maudhu’ adalah bahwa
menjauhi dan menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. adalah dosa besar. Kalau
tidak, termasuk kafir. Dengan demikian, berarti makna hadits tersebut siapa saja
yang dengan sengaja meninggalkan atau tidak pergi berziarah ke makam
Rasulullah SAW., berarti telah melakukan perbuatan dosa besar. Dengan
demikian, berarti pula ziarah adalah wajib seperti ibadah haji. Barangkali tidak
seorang pun kaum mukmin yang berpendapat demikian. Sekipun ziarah ke makan
Rasulullah adalah suatu amalan yang baik, hal itu tidak lebih dari amalan yang
mustahab.
16
Mohammad Najib, PERGOLAKAN POLITIK UMAT ISLAM DALAM
KEMUNCULAN HADIS MAUDHU,(Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2001). Hlm.
46-59

1
.3 َ‫م ْ ن زا َرنِي و زا َراَ ِبي ِا ْب َرا ِ هيم ي عا ِم وا ِح ِد دخل الجنَّة‬
Artinya: “ Barang siapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam
satu tahun, ia masuk surga.”
Ini hadits maudhu’. Az-Zarkasyi dalam kitab al-La’ali al-Mantsurah menyatakan,
“Hadits tersebut maudhu’ dan tak seorang pun pakar hadits yang
meriwayatkannya.” Bahkan oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi dinyatakan
maidhu’ dan tak ada sumbernya.
.4 ‫تَ َ ختّ َ ُمو ا ِ با ْلَع ِق ْيق ِا َّنهُ مبَا َرك‬
Artinya: “ Pakailah cincin dengan batu akik karena batu akik itu diberkati.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan oleh al-Muhamli dalam kitab al-Amali II/41,
al-Katib dalam Tarikh Baghdad XI/251 dan juga al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa
halaman 466 dengan sanad Ya’kub bin al-Walid al-Madani, sedangkan Ibnu Adi
I/356 dengan sanad dari Ya’kub Bin Ibrahim az-Zuhri yang semuanya dari
Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a.
Dari sanad Uqaili dalam kitab al-Maudhu’at Ibnu Jauzi menyebutkan, “ Ya’kub
adalah pendusta dan pemalsu”. Uqaili sendiri berkata, “Dalam hal ini tidak
terbukti keshahihannay bersumber dari Rasulullah SAW.
.5 ‫ه َ ي ْقتُ ُل ال ُّد ْود‬
ُ َّ‫ُكلُوا التّ َ ْم َر ع َلى ال ّ ِر يْ ق ِان‬
Artinya: “ Makanlah kurma sebelum makan atau minum setelah bangun tidur
kerena hal itu dapat mematikan cacing.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan oleh Abu Bakar asy-Syafii dalam al-Fawa’id
I/106 dan oleh Ibnu Adi II/258 dengan sanad dari Ishmah bin Muhammad, dari
Musa bin Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas r.a.
Ibnu Adi berkata, ”seluruh riwayat Ishmah bin Muhammad tidak terjaga dan
semuanya munkar.” Ibnu Jauzi menempatkan riwayat ini dalam al-Maudhu’at
dengan berkata, ”Hadits ini tidak shahih, dan Ishmah itu pendusta.”17

Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadis Maudhu’


Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi
hadis maudhu’, dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari
pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping agar jelas posisi hadis
maudhu’ tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih dari Rasulullah. Di antara
usaha-usaha tersebut sebagai berikut.
1. Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah, siapa saja yang mengaku mendapat
sunnah harus disertai dengan sanad. Jika tidak disertai sanad, maka suatu hadis
tidak dapat tidak diterima. Muhammad bin sirin mengatakan, para ulama semula
tidak bertanya tentang sanad sunnah. Akan tetapi, setelah terjadi pemalsuan hadis,
mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya: “Sebutkan kepada kami para
perawinya.” Maka jika mereka memang ahli sunnah, diambil sunnah hadisnya dan
jika dilihat ahli bid’ah, tidak diambil hadisnya.
17
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if dan
Maudhu’,(Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Hlm. 61 -200
13
Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang
yang naik loteng tanpa tangga.datang
Keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus
saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya
dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan
suatu kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayatkan.
2. Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan
pemeriksaan hadis yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya.
Jika hadis yang mereka terima itu meragukan, atau bukan dari sahabat yang
langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka mengadakan rihlah (
perjalanan ), sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada
para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis. Mereka saling
mengingatkan dan bermudzakarah bersama sahabat lain agar tidak melupakan
hadis dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
3. Mengisolir Para Pendusta Hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang
yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan
darinya. Semua ahli ilmu juga menyampaikan hadis-hadis maudu’ dan
pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak
meriwayatkan hadis daripadanya.
Diantara ulama yang terkenal menentang para pembuat maudu’ adalah
para Asy-Sya’bi ( w. 103 H ), Syu’bah bin Al-hajjaj( w. 160 H ), Sufyan Ats-
Tsauri ( w. 161 H ), Abdullah bin Al-Mubarak ( w. 181 H ), Abdurrahman
bin Al-Mahdi ( w. 198 H ), dan lain-lain.
4. Menerangkan Keadaan para Perawi
Dalam membasmi hadis maudhu’, para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah
kehidupan, baik dari mulai lahir hingga wafat ataupun dari segi sifat-sifat para
perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan andal daya ingatnya dan sebaliknya,
sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana yang tidak shahih, mana
hadis yang sesungguhnya dan yang dipalsukan. Hasil karya penelitian mereka
dihimpun dalam buku Rijal Al-hadis dan Al-Jarh wa at-Ta’dil sehingga dapat
dimanfaatkan oleh generasi ke generasi berikutnya.
5. Memberikan Kaidah-Kaidah Hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar atau kaidah-kaidah secara metodologis
tentang penelitian hadis untuk menganalisis otentisitasnya, sehingga dapat
diketahui mana yang shahih, hasan, dha’if, dan maudu’. Kaidah-kaidah itu dapat
dijadikan standar penelitian suatu hadis apakah suatu hadis memenuhi kriteria
sebagai hadis yang diterima atau tertolak.18
18
Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2015). Hlm. 242 – 245

1
E. PENUTUP

Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut


para ’ulama, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-
buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau
tidak mengatakan, tidak melakukan dan tidak mentaqrirkannya.

Hadits Maudhu’ bisa berupa perkataan dari seorang pemalsu, baik


itu dari golongan orang biasa yang sengaja membuatnya demi kepentingan
tetentu, atau para ahli hikmah, orang zuhud, bahkan Isra’iliyyat. Selain itu
bisa juga merupakan kesalahan rawi dalam periwayatan dengan syarat dia
mengetahui kesalahan itu namun dia membiarkannya.

Kemunculan hadits-hadits palsu berawal dari terjadinya fitnah di


dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya para khalifah sebelum
‘Ali bin Abi Thaalib rodliyallahu’anhum, dilanjutkan dengan perseteruan
yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib
dan Mu’awiyah. Sehingga terpecahlah islam menjadi beberapa golongan,
yang mana sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan
kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-
Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang
mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-
Qur’an dan al-Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka
membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing.

Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para ‘ulama hadits sebagai


dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana
yang shahih dan mana yang maudhu’ secara garis besar terbagi menjadi
dua, yaitu dilihat dari sudut pandang matan dan sanad. Oleh karena itu
para ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits
saja, bahkan juga mereka memperhatikan matannya. Maka setiap kalimat
yang jelek tata bahasa dan strukturnya tidak mungkin merupakan sabda
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Hanya saja al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah berkata :”jeleknya tata bahasa tidak selamanya menunjukan
bahwa hadits itu palsu, karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits
dengan maknanya saja. Namun jika si perawi itu menjelaskan bahwa hal
ini adalah teks ucapan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, maka
jeleknya tata bahasa menunjukan kepalsuannya.

1
F. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang
Populer di Indonesia. Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009.

Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001.

Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL


MA’ARIF. 1970.

Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul


Izzah.2012.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu


Hadits. Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2009.

(Q.S. al-An’am : 164)

Khusniati Rofiah. studi ilmu Hadits. stain po prees. Bandung. 2010.

H. Syamsu Syauqani. Hadits dalam Perspektif Keilmuan. Lombok Barat.


NTB : Elhikam Press Lombok. 2011.

Mohammad Najib. PERGOLAKAN POLITIK UMAT ISLAM DALAM


KEMUNCULAN HADIS MAUDHU. Bandung : Cv. Pustaka Setia. 2001.

Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Silsilah Hadits Dha’if dan


Maudhu’. Jakarta : Gema Insani Press. 1994.

Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta : AMZAH. 2015.

Anda mungkin juga menyukai