Anda di halaman 1dari 15

Ulumul Hadits

Pembahasan buku yang berjudul


“Ilmu Hadits”
Ahwal Al-Syakhsiyah
Fakultas Agama Islam
Universitas Islam “45” Bekasi

Kelompok 3

Andre Gunawan Lubis Hafidz Irfanudin

411 82941 190004 411 82941 190001


BAB V
HADITS MAUDU

A. PENGERTIAN HADITS MAUDU


Al-Maudu adalah isim maf’ul dari kata ‫ وضع‬- ‫ي ضع‬. Menurut Bahasa seperti meletakkan atau menyimpan,
mengada-ada atau membuat, dan ditinggalkan. Sedangkan pengertian hadis maudu menurut istilah ahli
hadis adalah :

‫مانُسب الى ال ّرسول صلى هللا عليه وسلّم اختال قًا وكذبًا م ّما لم يق ْله أو يفعله أو يق ّره‬

“Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak
mengatakan, memperbuat, dan mengatakan.”

Menurut Ulama:
‫هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم زو ًرا وبهتا نًا سوا ٌء كان ذالك عمدًا أم خطًأ‬

“Hadis yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah
secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”
BAB V
HADITS MAUDU

B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA HADITS MAUDU


Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam saja,
akan tetapi dilakukan juga oleh orang-orang non-islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka
membuat Hadis palsu. Antara lain adalah :

1.Pertentangan Politik
Perpecahan umat islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
besar sekali pengaruhnya terhadap kemunculan hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan
berusaha mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Dari akibat perpecahan
politik ini yang pertama-tama membuat hadis palsu adalah dari golongan syi’ah. Hammad bin
salamah pernah meriwayatkan bahwa ada salah seorang tokoh rafidlah berkata : sekiranya kami
pandang baik, segara kami jadikan hadis.
2.Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq termasuk golongan yang membenci Islam, baik Islam sebagai Agama atau sebagai dasar
pemerintahan. Mereka tidak mungkin melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan al-
Quran, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadis, dengan tujuan
menghancurkan agama dari dalam.

3.Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, Bahasa,


negeri, dan pimpinan.
Mereka membuat hadis palsu didorong oleh sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang,
bangsa, kelompok, atau yang lain. Golongan As-Syu’ubiyah yang fanatic terhadap Bahasa Persi mengatakan
“Apabila Allah murka menurunkan wahyu dengan Bahasa Arab, dan apabila senang maka menurunkannya
dengan Bahasa Persi. Sebaliknya, orang Arab yang fanatik terhadap bahasanya mengatakan “Apabila Allah
murka menurunkan wahyu dengan Bahasa Persi dan apabila Allah senang menurunkannya dengan Bahasa
Arab”

4.Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat


Mereka melakukan pemalsuan hadis ini guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka
kagum melihat kemampuannya.
5.Perselisihan dalam fikih dan ilmu kalam
Munculnya hadis-hadis palsu dalam masalah fikih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab.
Mereka berani mlakukan pemalsuan hadis karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan mazhabnya
masing-masing. Diantara hadis palsu tentang masalah ini adalah :

a. Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam sholat, maka salatnya tidak sah.
b. Jibril menjadi imamku dalam salat di Ka’bah, ia Jibril membaca basmalah dengan nyaring
c. Siapa yang mengatakan “al-Quran makhluk”, niscaya ia telah kufur kepada Allah dan sebagainya.

6.Membangkitkan gairah beribadat, tanpa


mengerti apa yang dilakukan
Sebagian orang sholih, ahli zuhud dan para ulama akan tetapi kurang didukung dengan ilmu yang mapan,
ketika melihat banyak orang yang malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan
asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahuwata’ala dan
menjunjung tinggi agama-Nya melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan
akan kebodohan mereka. Karena Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain
untuk menyempurnakan dan memperbagus syari’at-Nya.
7.Menjilat Penguasa
Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha’I yang datang kepada Amirul Mukminin al-Mahdi, yang sedang
main merpati. Lalu, ia menyebut hadist dengan sanadnya secara berturut-turut sampai kepada Nabi SAW,
bahwasanya beliau bersabda,

ٍ ‫ص ٍل اَ ْو ُخفٍّ اَ ْو َحا ِف ٍر اَ ْو َج َن‬


‫اح‬ ْ َ‫ق اِاَّل ِفى ن‬ َ ‫اَل‬
َ ‫س َب‬

“Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau burung yang
bersayap.”

Ia menambahkan kata,”atau burung yang bersayap”, untuk menyenangkan al-Mahdi, lalu al-Mahdi mem -
berinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, Sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu
adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW”, lalu ia memerintahkan untuk menyembelih merpati
itu.
KAIDAH MENGETAHUI HADITS MAUDU

1.Atas dasar pengakuan para 4.Matannya menyebutkan


pembuat hadis palsu. Seperti janji yang sangat besar atas
Abu ishmah Nuh bin Abi
1 4 perbuatan yang kecil atau
Maryam dll. ancaman yang besar atas
perkara yang kecil
KAIDAH UNTUK
MENGETAHUI
2.Ma’nanya rusak 2 HADITS MAUDU 5.Perawinya dikenal seorang
5 pendusta

3.Matannya bertentangan
dengan akal atau kenyataan 3
BAB VI
PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADITS

A. PENERIMAAN HADITS
1. Penerimaan Anak-anak, orang Kafir dan orang Fasik.

Jumhur ulama ahli hadits berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum
sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang
lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu
setelahnya yang menerima periwayatan hadits seperti Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Ibn Abbas,
Nu’man bin Basyir, Saib bin Yazid, dll. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia
anak yang diperbolehkan bertahamul.

Al-Qadi ‘Iyad menetapkan,


Bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima
tahun, karena pada usia ini sudah mampu menghafal dan mengingat-ingat yang di dengar. Pen -
dapat ini berasarkan hadits riwayat Bukhari dari Sahabat Mahmud bin Ar-Rubai’;

“Saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat
itu saya berusia lima tahun.”
Abu Abdullah Az-Zubairi mengatakan,
Bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh
tahun, sebab pada saat usia ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka mampun -
yai kemampuan untuk menghafal dan mengingat-ingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa.

Yahya bin Ma’in menetapkan,


Usia lima belas tahun, beradasarkan hadits Ibn Umar:

“Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu perang Uhud, di saat itu saya baru berusia empat be -
las tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi SAW pada waktu
perang khandaq, di saat saya berumur lima belas tahun dan beliau memperkenankan aku.”

Mengenai Penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik,


Jumhur ulama hadits menganggap sah, asalkan hadist tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat
mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang
mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk Is -
lam.
2. Cara atau Metode Penerimaan Hadits atau Riwayat

Para Uluama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits men-
jadi delapan macam;

As-Sina’,
a. yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkannya sendiri
dari perkataan gurunya, baik dengan cara di diktekan maupun bukan, baik dari
hafalan maupun tulisannya.

Al-Qira’ah’Ala asy-Syekh, atau al-Arad,


b. yakni suatu cara penerimaan suatu hadits dengan cara seseorang memba-
cakan hadits di hadapan gurunya.

Al-Ijazah,
c. yakni seseorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriway-
atkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu.

Al-Munawalah,
d. yakni seorang guru memberikan hadits atau sebuah kitab kepada muridnya
untuk diriwayatkan.
Al-Mukatabah,
e. yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyruuh orang lain
menuliskan sebagai hadits guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya
atau yang tidak hadir dengan cara seperti dikirimi surat oleh orang yang dipercaya.
Al-Muktabah terbagi dua:
Pertama, al-Muktabah yang dibarengi dengan ijazah.
Kedua, al-Muktabah yang tidak dibarengi dengan ijazah.

Al-I’lam
f. yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadits atau
kitab yang diriwayatkan dia terima dari seseorang dengan tapa memberikan izin
kepada muridnya untuk meriwakatkannya.

Al-Wasiyah,
g. yakni seorang guru, ketika akan meniggal atau berpergian, meninggalkan
pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits atau kitabnya.

Al-Wajadah,
h. yakni seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-
kitab hadits dengan tidak melaluio cara as-Sima’, al-Ijazah, atau al-Munawalah.
B. PERIWAYATAN HADITS
Sebagaimana yang sudah di jelaskan di awal, bahwa al-Ada ialah menyampaikan atau
Meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting
dan sudah barang tentu menuntut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu
hadits juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli Hadits, ahli Usul dan ahli
Fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayat hadits, yakni sebagai berikut:

Islam
a. Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seseorang perawi mustilah muslim, dan
menurut Ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja
kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi kafir. Hal ini berdalil dengan surat Al-
Hujarat ayat 6, sebagai berikut:

َ‫صيبُوا قَوْ ًما بِ َجهَالَ ٍة فَتُصْ بِحُوا َعلَ ٰى َما فَ َع ْلتُ ْم نَا ِد ِمين‬
ِ ُ‫ق بِنَبٍَإ فَتَبَيَّنُوا َأ ْن ت‬ ِ َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ ْن َجا َء ُك ْم ف‬
ٌ ‫اس‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menye-
sal atas perbuatanmu itu.”
Baligh
b. Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan
hadits, walau penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan hadits:

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sam-
pai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”

‘Adalah
c. Yang dimaksud dengan adil adalah adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, men-
jaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, menjauhkan diri dari hal-hal mubah, tetapi
tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.

Dabit
d. Dabit ialah:
(teringat/terbangkitanya perawi ketika ia mendengar hadits dan memahami apa yang
didengarnya serta hafal sejak ia menerima sampai menyampaikannya.”
Thank you
‫شكرا لك‬

Anda mungkin juga menyukai