Anda di halaman 1dari 4

BIODATA IMAM ABU DAWUD

Nama lengkapnya adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru bin Amir al-
Azdi al-Sijistani. Biasanya, ia dipanggil dengan nama Abu Dawud.

Ia adalah seorang imam ahli hadis yang sangat teliti dan merupakan tokoh terkemuka para periwayat
hadis. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Menurut Syekh Muhammad Said Mursi, dalam buku Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Imam
Abu Dawud, dikenal sebagai penghafal hadis yang sangat kuat. Ia menguasai sekitar 500 ribu hadis.

Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu pengetahuan. Ia banyak bergaul dengan para ulama dan
menimba ilmu dari mereka. Ia belajar hadis hingga ke berbagai negeri. Menurut salah satu riwayat, konon
ia harus menjumpai para ulama penghafal hadis yang dikenalnya sangat ahli. Ia mengembara dari Sijistan,
Hijaz, Syam, Mesir, Irak, dan negeri-negeri lainnya, hingga akhirnya menetap di Basrah.

Guru-gurunya adalah Ath-Thayalisi, Ibn Syuraih, Hisyam, Umar, Ibnu Rahawaih, Al-Farra, Al-Madini,
Imam Ahmad bin Hambal, dan lainnya. Adapun murid-muridnya adalah At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Al-
Kirmani, Ibn Abi Dunya, dan Abu Zur’ah.

Dari guru-gurunya itu, Abu Dawud menimba berbagai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu hadis.
Karena itu, pengetahuannya dalam bidang hadis ditempatkan pada urutan ketiga ahli hadis setelah
Bukhari dan Muslim. Ia mengumpulkan, meneliti, menyaring, dan membukukan hadis-hadis yang
diperolehnya. Dari ratusan ribu hadis yang didapatkannya itu, sekitar 4.800 hadis ia pilih menjadi hadis
sahih yang dibukukan menjadi Sunan Abu Dawud.

Begitu dalamnya perhatian Abu Dawud pada hadis, banyak ulama yang memuji dan memberikan
sejumlah julukan kepadanya. Ibnu Ishaq Shahani berkata, ”Abu Dawud menempa hadis sebagaimana
layaknya Nabi Daud menempa besi.”

Sementara itu, An-Naisaburi berkata, ”Dia adalah imam hadis yang tidak ada tandingannya di masanya.”
Ibnu Mamduh menyatakan, ”Orang yang istimewa dalam hafalannya dan terhindar dari kesalahan ada
empat, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i.”

Al-Hafiz Musa bin Harun berkata, ”Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadis dan di akhirat
untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia.”

Konon, saking pandainya Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, Sahal bin Abdullah At-
Tistari pernah meminta Abu Dawud untuk menjulurkan lidahnya dan menciumnya. Hal itu dilakukannya
untuk mengambil hikmah dari apa yang didapatkan Abu Dawud mengenai hadis.

Ulama lainnya pun banyak yang memberikan ungkapan dan pujian serupa yang menggambarkan betapa
tinggi dan luasnya pengetahuan Imam Abu Dawud dalam bidang hadis. Ketika kitab hadis yang ditulisnya
ditunjukkan pada Imam Ahmad bin Hambali, gurunya itu berkata, ”Kitab ini sangat bagus dan indah.”

Bahkan, kendati diakui sebagai gurunya, ternyata Imam Ahmad bin Hambal pernah meriwayatkan sebuah
hadis yang diterimanya dari Abu Dawud. Ini menunjukkan kualitas dan keahlian Abu Dawud dalam ilmu
hadis.
Seperti Imam Ahmad
Selain itu, Abu Dawud juga dikenal seorang ulama yang wara, saleh, dan patut menjadi teladan. Sifat-
sifatnya sebagaimana diungkapkan para ahli hadis menyerupai Ahmad bin Hambal dalam hal perilaku,
sikap, dan kepribadiannya.

Imam Ahmad bin Hambali dalam sifat-sifatnya menyerupai Waki’ dan Waki’ menyerupai Sufyan As-
Sauri. Sufyan menyerupai Mansur dan Mansur menyerupai Ibrahim An-Nakha’i. Ibrahim menyerupai
Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan, Ibn Mas’ud menyerupai Nabi SAW. Sifat dan
kepribadian yang mulia ini menggambarkan kesempurnaan akhlak dan kepribadian Imam Abu Dawud.

Dalam hal berpakaian, sang pakar hadis ini juga punya pandangan dan falsafah tersendiri. Menurut
sebuah riwayat, baju yang dipakainya tampak berbeda antara lengan baju yang kanan dengan yang kiri.
Yang satu lebih lebar dan yang lain lebih sempit.

Seseorang yang melihatnya terkadang bertanya akan sikap nyentriknya Abu Dawud ini. Adapun alasan
yang dikemukakannya, ”Lengan baju yang lebar dipergunakan untuk membawa kitab dan yang lain tidak
diperlukan. Jadi, kalau keduanya sama lebar, itu hanyalah pemborosan dan berlebih-lebihan,” ujarnya.

Abu Dawud juga dikenal sebagai seorang yang wara, sopan, dan hormat kepada yang tua dan santun
pkeada yang muda. Sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jbir, pembantu
Abu Dawud.

”Aku bersama Abu Dawud tinggal di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat
Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang. Lalu, pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan
bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon izin untuk masuk. Kemudian, aku melaporkan tamu ini
kepada Abu Dawud dan ia pun mengizinkan. Sang Amir pun masuk lalu duduk. Tak lama kemudian, Abu
Dawud menemuinya seraya berkata, ”Gerangan apakah yang membawa Anda datang ke sini pada saat
seperti ini?”

Sang Amir menjawab, ”Ada tiga kepentingan. Pertama, hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan
menetap di sana supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan.
Dengan demikian, Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahwa Basrah telah hancur dan
ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji.”

”Kedua, hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku. Ketiga, hendaknya


tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan hadis kepada putra-putra khalifah sebab mereka
tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum.”

Abu Dawud menjawab, ”Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi. Manusia pada dasarnya adalah sama,
baik pejabat maupun rakyat.” Ibn Jabir menjelaskan, sejak saat itu putra-putra khalifah hadir dan duduk
bersama di majelis taklim.

Abu Dawud berkata, ”Hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi mereka-lah
yang harus datang kepada para ulama.”
Demikianlah riwayat dan kebesaran sang ulama hadis ini. Setelah mengalami masa kehidupan yang
gemilang dengan keilmuan yang dimilikinya pada 16 Syawal 275 H/889M, Imam Abu Dawud berpulang
ke rahmatullah, menghadap Sang Khalik. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.

Sunan Abu Dawud: Karya Fenomenal Sang Ahli Hadis

Sepanjang hidupnya, sekitar 73 tiga tahun (202-275 H), Imam Abu Dawud banyak mengabdikan dirinya
pada ilmu hadis. Sejak kecil, ia belajar, mengumpulkan, menghafal, meneliti, dan membukukan ratusan
ribu hadis serta mengajarkan hadis kepada umat.

Dan, selama masa pendidikan hingga mengajarkan hadis, Abu Dawud banyak menulis kitab. Di
antaranyaKitab Sunnan Abu Dawud, Al-Marasil, Kitab Al-Qadar, An-Nasikh wal-Mansukh, Fadla’il al-
A’mal, Kitab Az-Zuhd, Dala’il an-Nubuwah, Ibtida’ al-Wahyu, dan Alhbar al-Khawarij.

Karyanya yang termasyhur dan beredar luas di kalangan umat Islam adalah Kitab Sunan Abu Dawud.

Dalam kitab Sunan tersebut, Abu Dawud menyusunnya dengan metode yang sangat teliti dan terperinci.
Awalnya, kitab tersebut memuat hadis-hadis hukum dan juga hadis yang berkenaan dengan amal-amal
yang terpuji, kisah-kisah atau nasihat, serta adab dan tafsir. Namun, ia mengkhususkan hadis-hadis yang
berkaitan dengan masalah hukum.

Ketika selesai menulis dan menyusunnya, kitab tersebut ia bawa kepada Imam Ahmad bin Hambal,
kemudian Imam Ahmad bin Hambal memuji karya tersebut sebagai karya yang indah dan baik.

Dalam Sunan-nya tersebut, Abu Dawud tidak hanya mencantumkan hadis-hadis sahih semata
sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia juga memasukkan hadis
sahih, hadis hasan, dhaif, hingga dianggap paling lemah oleh para imam hadis yang tidak
menggunakannya.

Namun, apabila ada hadis yang lemah, Abu Dawud menjelaskan kelemahannya. Hal itu diketahui ketika
dirinya berkirim surat pada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka
mengenai kitabSunan-nya.

”Aku mendengar dan menulis hadis Rasulullah SAW sebanyak 500 ribu buah. Dari jumlah itu, aku
seleksi sebanyak 4.800 hadis yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut,
aku himpun hadis-hadis sahih, semisahih, dan yang mendekati sahih. Dalam kitab itu, aku tidak
mencantumkan sebuah hadis pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Mengenai
hadis yang mengandung kelemahan, kujelaskan sebagai hadis macam ini, ada hadis yang tidak sahih
sanadnya. Adapun hadis yang tidak kuberi penjelasan sedikit pun, hadis tersebut bernilai sahih. Dan,
sebagian dari hadis yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah
kitab sesudah Alquran yang harus dipelajari, selain daripada kitab ini. Empat buah hadis saja dari kitab ini
sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang.”

Keempat hadis yang disebutkannya itu adalah pertama tentang niat, ”Sesungguhnya, segala amal itu
tergantung pada niatnya…”
Kedua, ”Termasuk, kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yg tidak berguna baginya.”
Ketiga, ”Tidaklah seseorang beriman menjadi Mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya
apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”

Dan, keempat, ”Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya
terdapat hal-hal syubhat yg tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, ia telah
membersihkan agama dan kehormatan dirinya. Barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, ia telah
terjerumus ke dalam perbuatan haram ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat
tempat terlarang. Ketahuilah sesungguhnya tiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah
sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam tubuh ini terdapat
sepotong daging. Jika ia baik, baik pulalah semua tubuh. Jika rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia
itu hati.”

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Ini menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam
meneliti dan mengemukakan sebuah hadis serta menunjukkan betapa luasnya pengetahuan yang
dimilikinya.

Imam Al-Ghazali berkata, ”Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadis-
hadis ahkam.”

Demikian juga dua imam, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, yang memberikan pujian
terhadap kitab Sunan ini. Bahkan, keduanya menjadi kitab yang disusun Abu Dawud sebagai pegangan
utama dalam pengambilan hukum.

Namun, Ibnu al-Jauzi mengkritik beberapa hadis dalam kitab ini. Ia menyebutkan, setidaknya ada
sembilan buah hadis yang masuk kategori maudlu (palsu). Ibnu al-Jauzi dikenal sebagai tokoh dan ulama
yang sering memvonis pihak lain. Namun, kritik itu telah ditanggapi dan dibantah oleh sebagian ahli
hadis, seperti dikemukakan Jalaluddin as-Suyuti.

”Andaikata kita menerima kritik yg dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, sebenarnya hadis-hadis yang
dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadis yang
terkandung dalam kitab Sunan Abu Dawud. Karena itu, kami melihat bahwa hadis-hadis yang dikritik
tersebut tidak mengurangi sedikit pun nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya,” jelas as-Suyuthi.(rpb) www.suaramedia.com

http://zidniagus.wordpress.com/2010/07/07/imam-abu-daud-ahli-hadits-dengan-segudang-julukan/

Anda mungkin juga menyukai