Anda di halaman 1dari 8

Urwah bin Az-Zubair

Urwah bin Az-Zubair adalah seorang tabiin yang mulia, satu dari Al-Fuqaha As-Sabah
(tujuh tokoh fuqaha /ulama) yang masyhur dalam sejarah kaum muslimin, panutan umat.
Beliau dikenal dengan kesabarannya yang tinggi saat kakinya diamputasi karena penyakit.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam bin Khuwailid
bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani, dilahirkan pada
tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan di kota Madinah, Putra dari
Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu anhu. Ibu beliau adalah Asma bintu Abi Bakr AshShiddiq radhiyallahu anhuma.
Beliau adalah adik kandung Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu anhuma. Bibi beliau adalah
Aisyah radhiyallahu anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih
ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian Urwah menjadi salah seorang tabiin
yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha dari Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi
thabaqah yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabiin.
Keilmuan, Ibadah dan Akhlak
Beliau sempat meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun hanya sedikit. Dan juga
meriwayatkan hadits dari Said bin Zaid, Ali bin Abi Thalib, Jabir, Al-Hasan, Al-Husain,
Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari,
Al-Mughirah bin Syubah, Usamah bin Zaid, Muawiyah, Amr bin Al-Ash, Abdullah bin Amr
bin Al Ash, Hakim bin Hizam, Abdullah bin Umar, dan yang lainnya.
Beliau pun juga menimba ilmu dari para shahabiyah di antaranya Asma bintu Abi Bakar
Ash-Shiddiq -ibunya sendiri-, Aisyah Ummul Muminin -bibi beliau-, Asma binti Umais,
Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ummu Hani, Ummu Syarik, Fathimah bintu Qais, Dhubaah
bintu Az-Zubair, Busrah bintu Shafwan, Zainab bintu Abi Salamah, Amrah Al-Anshariyyah
radhiyallahu anhunna ajmain.
Para ulama yang berguru dan meriwayatkan hadits dari beliau adalah Sulaiman bin Yasar,
Abu Salamah bin Abdirrahman, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Jafar
Ash-Shadiq, Ibnu Abi Mulaikah, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, Atha bin Abi Rabah,
Umar bin Abdil Aziz, Amr bin Dinar, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama yang lain.
Beliau adalah orang pertama yang menulis tentang masalah Al-Maghazi (peperangan) dan
yang paling banyak melantunkan syair pada zamannya.
Beliau adalah salah seorang di antara sepuluh ulama di kota Madinah yang selalu menjadi
rujukan khalifah Umar bin Abdil Aziz sewaktu beliau menjabat sebagai gubernur di kota
tersebut.
Kisah teteladan Urwah bin Az-Zubair
Abu Az-Zinad menceritakan: Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu
membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut:
.
Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu maasyaallaah, laa
quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah). sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam
hal harta dan keturunan. (Al Kahfi: 39)
Kebiasaan beliau dalam setiap harinya adalah membaca seperempat Al-Quran. Kemudian
seperempat Al-Quran yang beliau baca pada siang harinya tersebut, dibaca dalam shalat
malamnya. Dan tidak pernah sekalipun beliau meninggalkan kebiasaan ini kecuali pada
malam diamputasinya kaki beliau.

Peristiwa diamputasinya kaki Urwah bin Az-Zubair


Suatu ketika Urwah bin Az-Zubair mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin
Abdil Malik di ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di negeri Syam. Maka keluarlah beliau
beserta rombongan menuju kota Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih dekat

dengan kota Madinah yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura, terjadi pada beliau semacam
luka di telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut mengeluarkan nanah dan
semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka tersebut tidak saja semakin bertambah
parah namun juga menyebabkan kakinya busuk serta semakin menjalar menggerogoti
kakinya.
Dan akhirnya sampailah beliau kepada khalifah Al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan
ditandu dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis. Begitu mengetahui
keadaan yang menimpa Urwah, khalifah Al-Walid segera memanggil para dokter ternama di
kota tersebut untuk mengobati penyakit beliau. Maka terkumpullah para dokter dan segera
memeriksa penyakit yang beliau derita tersebut. Setelah memeriksa dan mendiagnosa jenis
penyakit yang menimpa beliau, sampailah mereka pada keputusan bahwa kaki beliau harus
secepatnya diamputasi. Sebab kalau tidak, penyakitnya akan terus menjalar ke pangkal
paha dan seterusnya ke arah anggota badan yang lain, dalam keadaan penyakit tersebut
sekarang telah menggerogoti sampai mencapai setengah paha kirinya. Disampaikanlah
keputusan tersebut kepada beliau dan ternyata beliau bisa menerimanya dengan tabah.
Maka dimulailah persiapan untuk operasi pemotongan kaki beliau. Kemudian para dokter
tersebut menawarkan obat bius kepada beliau agar nantinya tidak merasakan sakit ketika
kakinya digergaji. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya mengatakan: Aku tidak
pernah menyangka terhadap seorang yang beriman kepada Allah bahwa dia akan minum
suatu obat yang akan membuat hilang akalnya sehingga dia tidak mengenal Rabbnya. Akan
tetapi kalau kalian mau memotongnya silakan, dan aku akan berusaha menahan rasa
sakitnya.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa tatkala beliau menolak tawaran para dokter
tersebut, beliau mengatakan: Akan tetapi jika memang kalian mau memotongnya silakan
lakukan saja dan biarkanlah diriku dalam keadaan shalat agar aku tidak merasakan sakit dan
pedihnya.
Maka dimulailah operasi pemotongan kaki beliau yang sebelah kiri dengan gergaji pada
bagian atas sedikit dari kaki yang tidak terkena penyakit. Sewaktu proses amputasi tersebut
sedang berlangsung, beliau tidak bergeming atau bergerak sama sekali dan juga tidak
terdengar rintihan rasa sakit sedikitpun. Maka ketika telah selesai dari proses pemotongan
kaki dan juga telah selesai dari shalatnya, datanglah khalifah Al-Walid menghibur beliau.
Dan berkatalah Urwah kepada dirinya sendiri: Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu, dahulu
aku memiliki empat anggota tubuh (dua kaki dan dua tangan), kemudian Engkau ambil satu.
Walaupun Engkau telah mengambil anggota tubuhku namun Engkau masih menyisakan
yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku
masih lebih panjang darinya. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil
dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.
Al-Walid berkata: Belum pernah sekali pun aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya
seperti dia.
Dn tatkala diperlihatkan potongan kaki tersebut kepadanya, beliau mengatakan: Ya Allah,
sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwasanya tidak pernah sekalipun aku melangkahkan
kakiku ke arah kemaksiatan.
Dan pada malam itu juga bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki,
beliau mendapatkan kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad
-putra kesayangannya- meninggal dunia karena ditendang oleh kuda sewaktu sedang
bermain-main di dalam kandang kuda.
Maka berkatalah beliau kepada dirinya sendiri: Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku
memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu dan Engkau masih menyisakan
enam. Maka walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku
masih lebih panjang darinya. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku
maka sesungguhnya Engkau masih menyisakan yang lain.
Selama menunggu proses penyembuhan kakinya, beliau tinggal di kediaman khalifah
selama beberapa hari sekaligus sambil menyelesaikan keperluan yang lain. Kemudian
setelah dirasa telah sembuh dan semua urusan telah selesai, kembalilah rombongan ke kota
Madinah. Selama dalam perjalanan pulang, tidak pernah terdengar sepatah kata pun lisan
beliau menyebut-nyebut tentang musibah yang menimpa kakinya dan kematian yang
menimpa putra kesayangannya. Dan juga tidak terlihat beliau mengeluhkan musibah yang
menimpanya kepada orang lain.
Dan ketika rombongan telah sampai di tempat yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura -awal
mula terjadinya musibah pada kaki beliau tersebut-, beliau membaca ayat pada surat Al
Kahfi ayat 62:
.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: Bawalah

kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. (AlKahfi: 62)
Akhirnya sampailah rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota,
manusia berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah
yang beliau alami.
Wafatnya Urwah bin Az-Zubair
Beliau wafat pada tahun 93 Hijriyah dalam usianya yang ke-70 tahun dalam keadaan sedang
berpuasa. Hisyam bin Urwah mengatakan: Dahulu ayahku berpuasa terus-menerus (banyak
berpuasa) dan meninggal dalam keadaan berpuasa. Ketika ajal menjelang, dia sedang
berpuasa, lalu keluarganya memintanyanya agar berbuka saja namun dia menolak. Sungguh
dia telah menolak, karena dia berharap kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari
sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di tangan bidadari.

Urwah Bin Az-Zubair


(Kakinya Dibuntung Dengan Gergaji, Karena Menolak Khamar Dan Bius)
Barangsiapa ingin melihat seseorang dari ahli Surga, hendaklah ia melihat Urwah bin azZubair (Abdul Malik bin Marwan)
Baru saja matahari sore itu memancarkan sinarnya di Baitul Haram dan mempersilahkan
jiwa-jiwa yang bening untuk mengunjungi buminya yang suci tatkala sisa-sisa para sahabat
Rasulullah SAW dan para pembesar tabiin mulai berthawaf di sekeliling Kabah,
mengharumkan suasana dengan pekikan tahlil dan takbir dan memenuhi hamparan dengan
doa-doa kebaikan.

Dan tatkala orang-orang membuat lingkaran per-kelompok di sekitar Kabah nan agung,
yang berdiri kokoh di tengah Baitul Haram dalam kondisi yang berwibawa dan agung.
Mereka memenuhi pandangan dengan keindahannya yang memikat, dan memoderator
pembicaraan-pembicaraan di antara mereka tanpa keisengan dan perkataan dosa.
Di dekat Rukun Yamani, duduklah empat orang pemuda yang masih remaja dan terhormat
nasabnya serta berbaju harum seakan-akan mereka bagaikan merpati-merpati masjid,
berbaju mengkilat dan membuat hati jinak karenanya.
Mereka itu adalah Abdullah bin az-Zubair, saudaranya; Musab bin az-Zubair, saudara
mereka berdua; Urwah bin az-Zubair dan Abdul Malik bin Marwan.
Terjadi perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama
kemudian salah seorang di antara mereka berkata,
Hendaklah masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia citacitakan.
Maka khayalan mereka terbang ke alam ghaib nan luas, angan-angan mereka berputar-putar
di taman-taman harapan nan hijau, kemudian Abdullah bin az-Zubair berkata,
Cita-citaku, aku ingin menguasai Hijaz dan memegang khilafah.
Saudaranya, Musab berkata,
Kalau aku, aku ingin menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tidak ada orang
yang menyaingiku.
Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berkata,
Jika anda berdua hanya puas dengan hal itu saja, maka aku tidak akan puas kecuali
menguasai dunia semuanya dan aku ingin memegang kekhilifahan setelah Muawiyah bin Abi
Sufyan.
Sementara Urwah bin az-Zubair terdiam dan tidak berbicara satu kalimat pun, maka
saudara-saudaranya tersebut menoleh ke arahnya dan berkata,
Apa yang kamu cita-citakan wahai Urwah?
Dia menjawab, Mudah-mudahan Allah memberkati kalian semua terhadap apa yang kalian
cita-citakan dalam urusan dunia kalian. Sedangkan aku hanya bercita-cita ingin menjadi
seorang alim yang Amil (Mengamalkan ilmunya), orang-orang belajar Kitab Rabb, Sunnah

Nabi dan hukum-hukum agama mereka kepadaku dan aku mendapatkan keberuntungan di
akhirat dengan ridla Allah dan mendapatkan surga-Nya.
Kemudian waktu pun berjalan begitu cepat, sehingga memang kemudian Abdullah bin azZubair dibaiat menjadi Khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah ke dua dari
khilafah Bani Umayyah), dan dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan
Iraq. Kemudian dia dibunuh di sisi Kabah tidak jauh dari tempat dimana dia pernah bercitacita tentang hal itu.
Dan ternyata Musab bin Az-Zubair pun menguasai pemerintahan Iraq sepeninggal
saudaranya, Abdullah namun dia juga dibunuh di dalam mempertahankan kekuasaannya
tersebut.
Demikian pula, Abdul Malik bin Marwan memangku jabatan Khalifah setelah ayahnya wafat,
dan di tangannya kaum Muslim bersatu setelah pembunuhan terhadap Abdullah bin azZubair dan saudaranya, Musab di tangan pasukan-pasukannya. Kemudian dia menjadi
penguasa terbesar di dunia pada zamannya.
Lalu bagaimana dengan Urwah bin Az-Zubair? Mari kita mulai kisahnya dari pertama.
Urwah bin az-Zubair dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar al-Faruq, di
dalam keluarga paling terpandang dan terhormat kedudukannya dari sekian banyak
keluarga-keluarga kaum muslimin.
Ayahnya adalah az-Zubair bin al-Awwam, sahabat dekat dan pendukung Rasulullah SAW,
orang pertama yang menghunus pedang di dalam Islam dan salah satu dari sepuluh orang
yang dijanjikan masuk surga.
Ibunya bernama Asma` binti Abu Bakar yang bergelar berjuluk Dzatun Nithaqain (Pemilik
dua ikat pinggang. Hal ini karena dia merobek ikat pinggangnya menjadi dua pada saat
hijrah, salah satunya dia gunakan untuk mengikat bekal Rasulullah SAW dan yang satu lagi
dia gunakan untuk mengikat bekal makanannya).
Kakeknya pancar (dari pihak) ibunya tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah
Rasulullah SAW dan sahabatnya ketika berada di dalam goa (Tsur). Neneknya pancar (dari
pihak) ayahnya bernama Shafiyyah binti Abdul Muththalib bibi Rasulullah SAW sedangkan
bibinya adalah Ummul Mukminin Aisyah RA. Pada saat jenazah Aisyah dikubur, Urwah
sendiri yang turun ke kuburnya dan meratakan liang lahadnya dengan kedua tangannya.
Apakah anda mengira bahwa setelah kedudukan ini, ada kedudukan lain dan bahwa di atas
kemuliaan ini, ada kemuliaan lain selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?
Untuk merealisasikan cita-cita yang telah diharapkannya perkenaan Allah atasnya saat di
sisi Kabah itu, dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri untuknya serta
menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW
yang masih hidup.
Dia rajin mendatangi rumah-rumah mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti
pengajian-pengajian mereka, sehingga dia berhasil mentrasfer riwayat dari Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Said bin
Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Numan bin Basyir. Dia banyak sekali
mentransfer riwayat dari bibinya, Aisyah Ummul Mukminin sehingga dia menjadi salah satu
dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqah` as-Sabah) yang menjadi rujukan kaum muslimin di
dalam mempelajari agama mereka.
Para pejabat yang shaleh meminta bantuan mereka di dalam mengemban tugas yang
dilimpahkan Allah kepada mereka terhadap urusan umat dan negara.
Di antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah sebagai
gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang datang kepadanya
untuk menyampaikan salam.
Ketika selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang
diketuai oleh Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia menyambut
mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka. Kemudian dia
memuji Allah Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya,
lalu berkata,
Sesungguhnya aku memanggil kalian semua untuk sesuatu yang kiranya kalian semua
diganjar pahala karenanya dan menjadi pendukung-pendukungku dalam berjalan di atas
kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian semua, atau
pendapat orang yang hadir dari kalian-kalian semua. Jika kalian semua melihat seseorang

menyakit orang lain, atau mendengar suatu kedzaliman dilakukan oleh pegawaiku, maka
demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya kepadaku.
Maka Urwah bin az-Zubair mendoakan kebaikan baginyanya dan memohon kepada Allah
agar menganugerahinya ketepatan (dalam bertindak dan berbicara) dan mendapatkan
petunjuk.
Urwah bin az-Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala
hari demikian teriknya dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit, selalu
membasahkan lisannya dengan dzikir kepada Allah Taala.
Selain itu, dia selalu menyertai Kitab Allah Azza wa Jalla dan tekun membacanya. Setiap
harinya, dia membaca seperempat al-Quran dengan melihat ke Mushafnya.
Kemudian dia membacanya di dalam shalat malam hari dengan hafalan.
Dia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu semenjak menginjak remaja hingga
wafatnya, kecuali satu kali disebabkan adanya musibah yang menimpanya. Mengenai apa
musibah itu, akan dihadirkan kepada pembaca nanti.
Sungguh Urwah bin az-Zubair mendapatkan kedamaian hati, kesejukan mata dan surga
dunia di dalam shalatnya, karenanya, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya, melengkapi
syarat rukunnya dengan sempurna dan berlama-lama di dalamnya.
Diriwayatkan tentangnya bahwa dia pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat
dengan ringan (cepat), maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya dan
berkata kepadanya, Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai keperluan
kepada Tuhanmu Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon kepada Allah di
dalam shalatku segala sesuatu bahkan garam.
Urwah bin Az-Zubair adalah juga seorang dermawan, pemaaf dan pemurah. Di antara
contoh kedermawanannya, bahwa dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di
seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia
memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya terhindar dari
gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buahbuahnya siap dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya
tersebut di banyak arah supaya orang-orang mudah untuk memasukinya.
Maka mereka pun memasukinya, datang dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan
membawanya pulang dengan sesuka hati. Dan setiap kali dia memasuki kebunnya ini, dia
mengulang-ulang firman Allah, Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu
memasuki kebunmu MASYA ALLAH, LAA QUWWATA ILLA BILLAH (Sungguh atas kehendak
Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) (Q.,s.alKahfi:39)
Dan pada suatu tahun dari kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik (khalifah ke enam dari
khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam mencapai
puncaknya), Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menguji Urwah bin az-Zubair dengan
ujian yang berat, yang tidak akan ada orang yang mampu bertahan menghadapinya kecuali
orang yang hatinya penuh dengan keimanan dan keyakinan.
Khalifah kaum muslimin mengundang Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di
Damaskus, lalu Urwah memenuhi undangan tersebut dan membawa serta putra tertuanya.
Dan ketika sudah datang, Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan
memuliakannya dengan penuh keagungan. Namun saat di sana, Allah SWT berkehendak
lain, tatkala putra Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main dengan
kuda-kudanya yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya dengan keras
hingga dia meninggal seketika.
Belum lama sang ayah yang bersedih menguburkan putranya, salah satu kakinya terkena
tumor ganas (semacam kusta) yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya
membengkak dan tumor itu dengan sangat cepat berkembang dan menjalar.
Karena itu, Khalifah memanggil para dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan
meminta mereka untuk mengobatinya dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter sepakat
bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain memotong betis Urwah, sebelum
tumor itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya. Maka, tidak ada alasan
lagi untuk tidak menerima kenyataan itu.
Ketika dokter bedah datang untuk memotong betis Urwah dan membawa peralatannya
untuk membelah daging serta gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada Urwah,

Menurutku anda harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa
sakit ketika kaki anda dipotong.
Maka Urwah berkata,
O..tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap
kesembuhan yang aku harapkan.
Maka dokter itu berkata lagi,
Kalau begitu aku akan membius anda.
Urwah berkata,
Aku tidak ingin, kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak
merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini.
Ketika dokter bedah itu mulai memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada
Urwah, maka Urwah pun berkata,
Untuk apa mereka datang?.
Ada yang menjawab,
Mereka didatangkan untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat
sangat, lalu anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri.
Lalu Urwah berkata,
Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup
dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.
Kemudian dokter mendekatinya dan memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika
sampai kepada tulang, dia meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya,
sementara Urwah membaca, L ilha illallh, wallhu Akbar.
Dokter terus menggergaji, sedangkan Urwah tak henti bertahlil dan bertakbir hingga
akhirnya kaki itu buntung.
Kemudian dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke
dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah, Urwah
pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca Kitab Allah
pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan al-Quran) yang terlewati
olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika siuman, Urwah meminta potongan
kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan menimang-nimangnya seraya berkata,
Sungguh, Demi Dzat Yang Mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam
menuju masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu
berjalan kepada hal yang haram.
Kemudian dia mengucapkan bait-bait syair karya Man bin Aus,
Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang
meragukan
Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian
Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya
Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya
Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah
menimpa orang sebelumku
Al-Walid bin Abdul Malik benar-benar merasa sedih terhadap musibah yang menimpa tamu
agungnya. Dia kehilangan putranya, lalu dalam beberapa hari kehilangan kakinya pula,
maka al-Walid tidak bosan-bosan menjenguknya dan mensugestinya untuk bersabar
terhadap musibah yang dialaminya.
Kebetulan ketika itu, ada sekelompok orang dari Bani Abs singgah di kediaman Khalifah, di
antara mereka ada seorang buta, lalu al-Walid bertanya kepadanya perihal sebab
kebutaannya, lalu orang itu mejawab,
Wahai Amirul mukminin, di dalam komunitas Bani Abs tidak ada orang yang harta,
keluarga dan anaknya lebih banyak dariku. Lalu aku bersama harta dan keluargaku singgah
di pedalaman suatu lembah dari lembah-lembah tempat tinggal kaumku, lalu terjadi banjir
besar yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Banjir itu menghanyutkan semua yang
aku miliki; harta, keluarga dana anak. Yang tersisa hanyalah seekor onta dan bayi yang baru
lahir. Sedangkan onta yang tersisa itu adalah onta yang binal sehingga lepas. Akibatnya, aku
meninggalkan sang bayi tidur di atas tanah untuk mengejar onta tersebut. Belum begitu
jauh aku meninggalkan tempat ku hingga tiba-tiba aku mendengar jeritan bayi tersebut. Aku

menoleh namun ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala yang sedang
menyantapnya. Aku segera menyongsongnya namun sayang aku tidak bisa
menyelamatkannya, karena srigala telah membunuhnya. Lalu aku mengejar onta dan ketika
aku berada di dekatnya, ia menendangku dengan kakinya. Tendangan itu mengenai
wajahku, sehingga keningku robek dan mataku buta. Begitulah aku mendapatkan diriku di
dalam satu malam telah menjadi orang yang tanpa keluarga, anak, harta dan mata.
Maka al-Walid berkata kepada pengawalnya,
Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan
ceritanya supaya Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mengalami
cobaan yang lebih berat darinya.
Ketika Urwah diangkut ke Madinah dan dipertemukan dengan keluarganya, dia mendahului
mereka dengan ucapan,
Jangan kalian merasa ngeri terhadap apa yang kalian lihat. Allah Azza wa Jalla
telahmenganugerahuiku empat orang anak, lalu mengambil satu di antara mereka dan
masih menyisakan tiga orang lagi. Segala puji hanya untuk-Nya. Dan Dia memberiku empat
anggota badan, kemudian Dia mengambil satu darinya dan menyisakan tiga untukku, maka
segala puji bagi-Nya. Dia juga telah memberiku empat buah yang memiliki ujung (kedua
tangan dan kedua kaki-red.,), lalu Dia mengambilnya satu dan menyisakan tiga buah lagi
untukku. Dan demi Allah, Jika pun Dia telah mengambil sedikit dariku namun telah
menyisakan banyak untukku. Dan jika pun Dia mengujiku satu kali namun Dia telah
mengaruniaiku kesehatan berkali-kali.
Ketika penduduk Madinah mengetahui kedatangan imam dan orang alim mereka, Urwah
bin az-Zubair, mereka berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk menghibur dan
menjenguknya. Di antara untaian kata taziah yang paling berkesan adalah perkataan
Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah kepadanya,
Bergembiralah wahai Abu Abdillah! salah satu anggota badan dan anakmu telah
mendahuluimu menuju surga dan yang keseluruhannya akan mengikuti yang sebagiannya
itu, insya Allah Taala. Sungguh, Allah telah menyisakan sesuatu darimu untuk kami yang
sangat kami butuhkan dan perlukan, yaitu ilmu, fiqih dan pendapat anda. Mudah-mudahan
Allah menjadikan hal itu bermanfaat bagimu dan kami. Allah lah Dzat Yang Maha
menanggung pahala untukmu dan Yang menjamin balasan kebaikan amalmu.
Urwah bin az-Zubair tetap menjadi menara hidayah, petunjuk kebahagiaan dan penyeru
kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang hidupnya. Dia sangat peduli terhadap pendidikan
anak-anaknya, khususnya, dan anak-anak kaum muslimin lainnya, umumnya. Dia tidak
pernah membiarkan kesempatan berlalu tanpa digunakannya untuk memberikan
penyuluhan dan nasehat kepada mereka.
Di antara contohnya, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu ketika
berkata kepada mereka,
Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya.
Karena, jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudahan-mudahan saja
berkat ilmu, Allah menjadikan kamu orang-orang besar.
Penuturan lainnya,
Aduh betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada orang
tua yang bodoh?.
Dia juga menyuruh mereka untuk menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan
untuk Allah Azza wa Jalla. Yaitu, dalam ucapannya,
Wahai anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu mempersembahkan
hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia merasa malu kalau dihadiahkan kepada
tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena Allah Taala adalah Dzat Yang Paling Mulia, dan
Paling Dermawan serta Yang Paling Berhak untuk dipilihkan untuk-Nya.
Dia juga pernah memberikan pandangan kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal
manusia dan seakan mengajak mereka menembus langsung menuju siapa inti dari mereka
itu,
Wahai anakku, jika kamu melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka
harapkanlah kebaikan dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat, karena
kebaikan itu memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang berbuat keburukan
yang nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang lain, dia adalah orang
baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara. Dan ketahuilah bahwa kebaikan

akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya (jenis-jenisnya yang lain), demikian pula


dengan keburukan.
Dia juga berwasiat kepada anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik dan
bermuka ramah. Dia berkata,
Wahai anakku, sebagaimana tertulis di dalam hikmah, Hendaklah kamu berkata-kata baik
dan berwajah ramah niscaya kamu akan lebih dicintai orang ketimbang cinta mereka kepada
orang yang selalu memberikan mereka hadiah.
Bilamana dia melihat manusia cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan
duniawi, dia mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah SAW yang penuh dengan
kesahajaan kehidupan dan kepapaan.
Di antara contohnya adalah sebagaimana yang diceritakan Muhammad bin al-Munkadir
(seorang tabii dari penduduk Madinah, wafat pada tahun 130 H),
Saat Urwah bin az-Zubair menemuiku dan memegang tanganku, dia berkata, Wahai Abu
Abdullah.
Lalu aku menjawab, Labbaik.
Kemudian dia berkata,
Saat aku menemui Ummul mukminin Aisyah RA, dia berkata, Wahai anakku.
Lalu aku menjawab, Labbaik.
Beliau berkata lagi, Demi Allah, sesungguhnya kami dahulu pernah sampai selama empat
puluh malam tidak menyalakan api di rumah Rasulullah SAW, baik untuk lentera ataupun
yang lainnya.
Lalu aku berkata, Wahai Ummi, bagaimana kalian semua dapat hidup?
Beliau menjawab, Dengan dua benda hitam (Aswadn); kurma dan air.
Selanjutnya Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya
dengan kebaikan, kebajikan dan ketakwaan.
Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya ngotot memintanyanya agar
berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap kalau
kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di
tangan bidadari.
CATATAN :
Sebagai bahan bacaan, silahkan merujuk ke:

ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sad, 1:406; 2:382, 387; 3:100; 4:167; 5:334;
8:102.

Hilyatu al-Auliya` karya Abu Nuaim, 2/176.

Shifat ash-Shafwah, karya Ibnu al-Jauzi, 2:87.

Wafayat al-Ayan, karya Ibnu Khalakan, 3: 255.

Ansabu al-Asyraf, karya al-Baladziri

Jamharatu Ansabi al-Arab, karya Ibnu Hazm

Anda mungkin juga menyukai