HADITS MAWUDU
Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Ahmad Sabeli A
2. Mozsa Sevti Utami
3. Putri Nabila Suci Adhesty
4. Yeni Yulianti
SEMESTER II C
HUKUM EKONOMI SYARIAH
STAI AL ANDINA
SUKABUMI
TAHUN 2022
PENDAHULUAN
Setelah Rasulullah SAW wafat, hadits belum dibukukan seperti sekarang ini,
perkembangan serta pertumbuhan penulisan hadits telah melalui beberapa periode dari periode
Rasulullah sampai periode sekarang.
Kegiatan pemalsuan hadits mulai tumbuh pada abad ke 1 hijriah yaitu pada masa Tabi’in,
periode ini dinamakan dengan :
yaitu zaman penyebaran riwayat ke kota-kota. Zaman ini dimulai dari masa dinasti Amawiyah
sampai akhir abad I Hijry.
Pada zaman ini benih perpecahan mulai berkembang dan meluas, orang-orang Islam terpecah
menjadi 3 golongan yaitu: golongan pendukung Ali (Syi’ah), golongan pendukung Muawiyah,
dan golongan Khawarij. Dahulunya perbedaan antar golongan ini hanya berkisar pada masalah
politik saja, tapi pada periode ini mulai menjalar ke bidang aqidah dan ibadah. Masing-masing
golongan berusaha menarik simpati rakyat, dengan saling jatuh menjatuhkan satu dengan yang
lainnya, sehingga bermunculanlah pemalsuan-pemalsuan terhadap hadits Rasululah saw. Mulai
zaman inilah hadits-hadits palsu mulai bermunculan.
Para pemalsu hadits semakin gencar membuat kata-kata mutiara, kata-kata hikmah yang mereka
rangkai sendiri dan kemudian dikatakan bahwa kata-kata itu adalah hadits Nabi SAW.
Latar belakang berbagai kepentingan, baik kepentingan politik, aliran atau golongan, atau untuk
kepentingan agama agar pupuler dikalangan masyarakat meruapakan beberapa faktor penyebab
lahirnya hadits-hadits maudhu’ (palsu). Pada makalah ini akan dibahasa hanya seputar apa-apa
yang menjadi sebab timbulnya hadits palsu tersebut.
LATAR BELAKANG
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya
dimiliki oleh setiap kaum muslimin. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang
yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salaafussholih yang
memang benar-benar memiliki kemampuan khusus dalam ilmu agama, sehingga opini ini
membuat sebagian kaum muslimin merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits.
Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat kaum muslimin menjadi kurang
tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi
wasallam. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat banyak beredar hadits-hadits dho’if
dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin dan tentunya hal ini akan
membuat kaum muslimin menjadi para pelaku bid’ah. Jika kaum muslimin masih memandang
remeh tentang ilmu hadits ini, maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi
‘aqidah kaum muslimin dalam menjalankan sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk mempelajarinya supaya tidak timbul
kesalah pahaman, apalagi yang berkaitan dengan permasalahan Hadits Maudhu’ yang dapat
menyebabkan tidak diterimanya amal ibadah seorang muslim karena mengamalkan Hadits
Maudhu’.
2) Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Hadits palsu dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan istilah Hadits Maudhu’.
Secara etimologi al-Maudhu’ ( )الموضوعmerupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع- يضع.
Kata tersebut memiliki makna menggugurkan, meletakkan, meninggalkan, dan mengada-ada.
Jadi secara bahasa Hadits Maudhu’ dapat disimpulkan yaitu hadits yang diada-adakan atau
dibuat-buat.[1]
Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian, diantaranya menurut Imam
Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah:
َو َيْح ُر ُم ِر َو اَيُتُه َم َع اْلِع ْلِم، ُهَو اْلُم ْخ َتَلُق اْلَم ْص ُنْو ُع َو َش ُّر الَّض ِع ْيِف
“Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f yang
paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan
apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”[2]
“ ماُنسب الى الّرسول صلى هللا عليه وسّلم اختال ًقا وكذًبا مّم ا لم يقْله أو يفعله أو يقّره
Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan kepada
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun
tidak.”[4]
Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama yang telah
disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan
kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja
maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak
mentaqrirkannya.
B. Macam-macam Hadits Maudhu’
1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam.
2. Perkataan itu berasal dari ahli hikmah, orang zuhud atau Isra’iliyyat dan pemalsu
yang menjadikannya hadits.
3. Perkataan yang tidak diinginkan rawinya , melainkan dia hanya keliru.[5]
Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam beribadah, padahal
para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam, apapun sebab dan alasannya.
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa membedakan antara hadits
shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa
mengetahui kepalsuan sebuah hadits. Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang
diambil dari berbagai sumber. Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua,
yaitu:
1) Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits) Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang
menghubungkan antara pencatat hadits sampai kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini,
diantaranya adalah:
a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh dia,
serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh (terpercaya) yang juga meriwayatkannya, sehingga
riwayatnya dihukumi palsu.
b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam,
bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan al-Qur`an juga pengakuan
Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.
c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang
perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya
atau ia lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat
tinggal syekh. Hal ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-
kitab yang khusus membahasnya.
d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub terhadap suatu
golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia meriwayatkan sebuah
hadits yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlul bait. 2) Dari segi
Matan (Isi Hadits) Matan adalah isi sebuah hadits. Diantara hal yang paling penting untuk
bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi ini adalah: a. Tata bahasa dan
struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam adalah
seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena beliau adalah
seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim (kata
pendek yang mengandung arti luas).[10]
b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah
akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia. Contohnya
adalah sebuah hadits :
إّن سفينة نوٍح طافْت بالبيِت سبًعا وصّلْت خلف المقاِم ركعتيِن
“Bahwasannya kapal nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua raka’at di
belakang maqam Ibrahim.”[11]
c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti dan hadits
tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang benar. Contoh Hadits Maudhu’’ yang
maknanya bertentangan dengan al-Qur’an, ialah hadits: َو َلُد الِّز َنا الَي ْدُخ ُل ْالَج ِّن َة ِاَلى َس ْبَعِة َاْبَن اٍء
“Anak zina itu,tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”[12] Makna hadits ini
bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an :
d. َو ال َتِز ُر َو اِز َر ٌة ِو ْز َر ُأْخ َر ى
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[13]
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada
orang lain, sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu ringan atau ancaman
yang terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak
ditemukan dalam kitab-kitab mau’izhah.
Contoh : َم ْن َقاَل ال ِاَلَه ِاال ُهللا َخ َلَق ُهللا ِم ْن ِتْلَك اْلَك ِلَم ِة َطاِئًرا َلُه َس ْبُعْو َن َاْلِف ِلَس اٍن ِلُك ِّل ِلَس اٍن َس ْبُعْو َن َاْلِف ُلَغ ٍة
“ َيْسَتْغ ِفُرْو َن َلُه
Barang siapa mengucapkan tahlil (laa ilaaha illallah) maka Allah subhaanahuwata’ala.
menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap
lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.”
Bahkan perasaan halus yang diperoleh dari menyelami hadits secara mendalam, dapat
juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan Hadits Maudhu’. Al-Rabi’ Ibn Khaitsam
berkata: “Bahwasannya diantara hadits, ada yang bersinar, kita dapat mengetahuinya
dengan sinar itu, dan bahwa diantara hadits ada hadits yang gelap sebagaimana kegelapan
malam, kita mengetahuinya dengan itu.”
Seseorang yang dapat mengetahui identitas kepalsuan sebuah hadits, tentu saja berasal
dari kalangan para ‘ulama yang telah menguasai betul mengenai seluk-beluk hadits dan
ilmu-ilmu lain yang dapat mendukung seseorang mengetahui bahwa sebuah hadits adalah
palsu. Inilah kaidah yang telah ditetapkan para ulama hadits sebagai dasar memeriksa
benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang
maudhu’. Dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan ini, nyatalah bahwa para
ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga
mereka memperhatikan matannya.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama, dapat
disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak
sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak melakukan dan tidak mentaqrirkannya. Hadits
Maudhu’ bisa berupa perkataan dari seorang pemalsu, baik itu dari golongan orang biasa yang
sengaja membuatnya demi kepentingan tetentu, atau para ahli hikmah, orang zuhud, bahkan
Isra’iliyyat. Selain itu bisa juga merupakan kesalahan rawi dalam periwayatan dengan syarat dia
mengetahui kesalahan itu namun dia membiarkannya. Kemunculan hadits-hadits palsu berawal
dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya para khalifah sebelum
‘Ali bin Abi Thaalib rodliyallahu’anhum, dilanjutkan dengan perseteruan yang semakin
memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Sehingga terpecahlah
islam menjadi beberapa golongan, yang mana sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin
menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-
masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al-Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian
diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para
‘ulama hadits sebagai dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana
yang shahih dan mana yang maudhu’ secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu dilihat dari
sudut pandang matan dan sanad. Oleh karena itu para ulama hadits tidak mencukupkan dengan
memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga mereka memperhatikan matannya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di
Indonesia. Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 27.
[3] Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm. 141.
[5] Jenis ketiga ini termasuk Hadits Maudhu’ apabila perawi mengetahuinya tapi
membiarkannya.
[6] Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm.142.
[7] Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012.
hlm. 112.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2009. hlm. 191.
[9] Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012.
hlm. 112.
[10] Maka setiap kalimat yang jelek tata bahasa dan strukturnya tidak mungkin merupakan
sabda Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Hanya saja al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata :”jeleknya tata bahasa tidak selamanya menunjukan bahwa hadits itu palsu, karena
diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan maknanya saja. Namun jika si perawi itu
menjelaskan bahwa hal ini adalah teks ucapan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, maka
jeleknya tata bahasa menunjukan kepalsuannya. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf.
Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm.
38.
[11] Ibid.
[13] (Q.S. al-An’am : 164) [14] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah
dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik : Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 39.