Anda di halaman 1dari 15

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hadits merupakan sumber ajaran umat Islam yang kedua setelah Al-Quran, yang salah
satu fungsinya adalah untuk merinci ayat-ayat Al-Quran yang masih umum. Namun kita tak
bisa mengambil suatu kesimpulan hukum dari hadis tersebut, tanpa memiliki pengetahuan-
pengetahuan dasarnya.

Karena tak semua hadits itu “murni” dari Rasulullah sendiri sumbernya. Salah satunya,
yaitu dengan mengetahui unsur-unsur apakah yang dapat menjadi landasan bahwa hadits itu
asli ataukah palsu, shahih atau maudhu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian hadits maudhu?
2. Bagaimana sejarah awal terjadinya hadits maudhu?
3. Bagaimana faktor-faktor penyebab timbulnya hadis maudhu?
4. Bagaimana hukum meriwayatkan hadits maudhu?
5. Bagaimana ciri-ciri hadits maudhu?
6. Bagaimana para ulama menanggulangi hadits maudhu?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu
2. Untuk mengetahui sejarah awal terjadinya hadits maudhu
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya hadis maudhu
4. Untuk mengetahui hukum meriwayatkan hadits maudhu
5. Untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu
6. Untuk mengetahui para ulama menanggulangi hadits maudhu.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADIS MUDHU

Secara etimologi kata maudhu adalah isim af’ul dari kata wadha’a, yang berarti al-isqath
(menggugurkan), al-tark (meninggalakan), aliftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-
buat). Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn al-Shalah dan diikuti oleh Al-Nawawi, Hadits
Maudu berarti:

Yaitu sesuatu (hadits) yang diciptakan dan dibuat.

Definisi yang lebih rinci dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khatib, sebagai berikut:

”Hadits yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya dibuat-
buat dan diada-adakan, karena Rasulullah sendiri tidak mengatakannya, memperbuat,
maupun menetapkannya”.

Al-Thahhan, mendefinisikannya sebagai berikut:

Yaitu kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada Rasulullah
SAW.

Hampir senada dengan definisi diatas, Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa Hadits
Maudhu,

Yaitu berita yang diciptakan oleh para pembohong dan kemudian mereka sandarkan
kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya mengada-ada atas nama beliau.

Dari definisi diatas, terlihat secara sederhana ibn al-Shalah menyatakan bahwa Hadits
Maudhu itu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat atas nama Rasul SAW, dan oleh karena itu
Hadits Maudhu tersebut dalam hadits yang paling buruk statusnya diantara Hadits-hadits Dha ‘if,
dan karena itu pula tidak dibenarkan dan bahkan haram hukumnya untuk meriwayatkannya
dengan alasan apapun kecuali disertai dengan penjelasan tentang ke-maudhu-annya.

Definisi-definisi diatas juga menjelaskan bahwa Hadits Maudhu pada dasarnya adalah
kebohongan atau berita yang disengaja diada-adakan yang selanjutnya dinisbahkan oleh
pembuatnya kepada Rasulullah SAW, dengan maksud dan tujuan tertentu. Al-Thahhan
mengelompokkan Hadits Maudhu’ ini kedalam hadits yang Mardud dengan sebab terdapat cacat
pada perawinya dalam bentuk melakukan kebohongan terhadap Rasul SAW, dan cacat dalam
bentuk ini adalah yang terburuk dalam pandangan Ulama Hadits.

2
Shalah al-Din ibn ahmad al-Adhabi mengemukakan pandangan yang sedikit berbeda dalam
memberikan definisi Hadits Maudu, dibandingkan dengan pendapat-pendapat yang telah
dikemukakan diatas. Menurut Al-Adhabi, kata al-wad’u dalam konteks Hadits Nabi SAW
mengandung dua pengertian, yaitu:

1. Semata-mata kebohongan (dusta) yang dilakukan terhadap Nabi SAW, dan,


2. Kegiatan yang dilakukan secara sengaja serta mempunyai dampak yang luas, dalam
bentuk memasukkan kebohongan-kebohongan kedalam Hadits-hadits Nabi SAW.

Pandanga Al-Adhabi yang sedikit berbeda tersebut akan berimplikasi terhadap


kesimpulannya mengenai penentuan masa dimulainya atau munculnya Hadits Maudhu,
sebagaiman yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS MAUDHU

Para Ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan Hadits, apakah
telah terjadi sejak masa Nabi SAW masih hidup, atau sesudah beliau wafat. Diantara pendapat-
pendapat tersebut adalah:

Sebagaiman para ahli berpendapat bahwa pemalsuan Hadits telah terjadi sejak masa
Rasulullah SAW masih hidup pendapat ini, diantaranya, dikemukakan Ahmad Amin
(wafat 1373 H/1954 M).

Argumen yang dikemukakan oleh Ahmad Amin adalah Hadits Nabi SAW yang menyatakan:

“Bahwa barang siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan
mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat
duduknya di neraka”.

Dari Hadits tersebut Ahmad Amin berpendapat bahwa pemalsuan Hadits telah terjadi
pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Akan tetapi ahmad amin tidak memberikan bukti-
bukti, seperti contoh hadits palsu yang ada pada masa Nabi SAW, untuk mendukung dugaannya
tentang telah terjadinya pemalsuan Hadits ketika itu.

Sekalipun Hadits yang ia kemukakan sebagai argumennya tersebut adalah merupakan


Hadits Mutawatir, namun karena sandaran pendapatnya hanya kepada pemahaman (yang
tersirat) pada Hadits tersebut, hal itu tidaklah kuat dijadikan dalil bahwa pada zaman Nabi telah
terjadi pemalsuan Hadits. Andaikan pada masa Nabi SAW memang telah terjadi pemalsuan
Hadits, hal tesebut tentu akan menjadi berita besar dikalangan para sahabat, dan ternyata sejarah
tidak mencatat adanya peristiwa tersebut.

Adapun tentang hal peringatan Nabi SAW sebagaimana tertuang didalam Hadits diatas,
kemungkinan sekali dilatar belakangi oleh kekhawatiran beliau terhadap keberadaan Hadits pada
masa yang akan datang setelah beliau wafat.

3
Shalah al-Din al-Adhabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadits yang sifatnya semata-
melakukan kebohongan terhadap Nabi SAW, atau dalam pengertiannya yang pertama
mengenai al-wad’u sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dan berhubungan dengan
masalah keduaniawian telah terjadi pada zaman Nabi, dan hal itu dilakukan oleh orang
munafik. Sedangkan pemalsuan Hadits yang berhubungan dengan masalah agama atau
dengan dalam pengertiannya yang kedua mengenai al-wad’u, belum pernah terjadi pada
masa Nabi SAW’

Kebanyakan Ulama Hadits berpendapat, bahwa pemalsuan hadits baru terjadi untuk
pertama kalinya adalah setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib,
yaitu setelah terjadinya perpecahan politik antara kelompok ali di satu pihak dan
Muawiyah dengan pendukungnya di pihak lain, serta kelompok ketiga, yaitu kelompok
khawarij, yang pada awalnya adalah pengikut Ali, namun ketika Ali menerima tahkim,
mereka keluar dari golongan Ali, bahkan berbalik menentang kelompok Ali, disamping
juga menentang Muawiyah.

Masing-masing kelompok berusaha untuk mendukung kelompok mereka dengan


berbagai argument yang dicari mereka dari Al-Quran dan Hadits, dan ketika mereka tidak
mendapatkannya, maka mereka pun memulai membuat Hadits-Hadits palsu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa belum terdapat bukti yang kuat tentang terjadinya
pemalsuan Hadits pada masa Nabi SAW, demikian juga pada masa-masa sahabat sebelum
pemerintahan Ali ibn Abi Thalib. Hal demikian adalah karena begitu kerasnya peringatan yang
diberikan Nabi SAW terhadap mereka yang mencoba untuk melakukan dusta atas nama beliau,
yang selanjutnya sangat berpengaruh dan tercermin pada sikap hati-hati yang ditampilkan para
sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar serta yang lainnya, dalam menerima suatu hadits. Dengan
demikian, berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka pemalsuan Hadits baru Muncul dan
berkembang pada masa pemerintahan Ali, yaitu setelah terjadinya pertentangan politik yang
membawa kepada perpecahan dan terbentuknya kelompok-kelompok’ seperti syi’ah, Khawarij,
dan lainnya.

C. FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA HADIS MAUDHU

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan hadis maudhu ini muncul, antara lain sebagai
berikut.

1. Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah

Pertentangan di antara umat Islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah
Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifaan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.

Umat islam pada saat itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan , seperti golongan yang
ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung

4
kekhalifaan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan
lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyah (w. 60 H).

Diantara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing,


mereka membuat hadis palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadis maudhu
adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah.

Orang-orang Syi’ah membuat hadis maudhu tentang keutamaan-keutamaan Ali dan Ahli
Bait. Di samping itu, mereka membuat hadis maudhu dengan maksud mencela dan menjelek-
menjelekkan Abu Bakar r.a dan Umar r.a.

Di antara hadis yang dibuat oleh golongan Syi’ah adalah,

Barang siapa yang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh
tentang ketakwaanya, ingin melihat Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa
tentang kehebatannya, ingin melihat Isa tentang ibadahnya, hendaknya ia melihat Ali.

Apabila kamu melihat Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah dia.

Gerakan-gerakan orang syi’ah tersebut dimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan
tidak tahu akibat dari pemalsuan hadis tersebut dengan membuat hadis-hadis palsu. Contoh
hadis-hadis palsu adalah,

Tak ada satu pohon pun dalam surga, melainnkan tertulis pada tiap-tiap daunnya: La ilaha
illallah, muhammadur Rasulullah,Abu Bakar Ash-Shiddieq, ‘Umar Al-Faruq, dan Utsman
Dzunnuraini.

Golongan yang fanatik kepada Muawiyyah membuat pula hadis palsu yang menerangkan
keutamaan Muawiyyah, di antaranya,

Orang yang tepercaya itu ada tiga, yaitu aku, Jibril, dan Muawiyyah.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa walaupun golongan Khawarij merupakan golongan yang
keluar dari golongan Ahlus Sunnah wa Al-jama’ah, mereka tidak suka membuat hadis maudhu
untuk menguatkan mazhabnya. Jadi, tidak benar jika ada ulama yang mengatakan bahwa
Khawarij dalam memperkuat mazhabnya membuat hadis maudhu.

Hal ini seperti dikatakan oleh Abu Dawud bahwa tidak ada di dalam golongan pengikut
nafsu, yang lebih benar perkataannya dan lebih sahih hadisnya, selain golongan Khawarij.

Mereka tidak melakukan pemalsuan hadis dikarenakan oleh doktrin mereka yang
mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, sedangkan dusta merupakan dosa besar,
apalagi berdusta atas nama Nabi SAW.

2. Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain Untuk merusak Ajaran Islam

5
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nashrani yang
senantiasa menyimpan dendam terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan
kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka
menciptakan sejumlah besar hadis maudhu dengan tujuan merusak ajaran Islam.

Faktor itu merupakan faktor awal munculnya hadis maudhu. Hal ini berdasarkan peristiwa
Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan bertopengkan kecintaan
kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk
agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadis maudhu pada saat masih banyak
sahabat utama masih hidup.

Di antara hadis maudhu yang diciptakan oleh orang-orang zindiq tersebut, adalah,

Tuhan kami turun dari langit pada sore hari, di ‘Arafah dengan berkendaraan unta kelabu,
sambal berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-
orang yang sedang berjalan.

Melihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah

Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadis maudhu dari kalangan orang zindiq ini, adalah

a. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telahh membuat sekitar 4.000 Hadis maudhu tentang
hukum halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman, Walikota
Bashrah;
b. Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur;
c. Bayan bin Sam,an Al-Mahdy, yang Akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin ‘Abdillah.

Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan orang-orang zindiq ini adalah Khalifah Al-
Mahdy dari dinasti Abbasiyah.

3. Mempertahankan Madzhab dalam Masalah Fiqh dan Masalah Kalam

Para pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu agamanya,
membuat pula hadis-hadis palsu untuk menguatkan paham pendirian imamnya.

Mereka yang fanatik terhadap mazhab Abu Haifah yang menganggap tidak sah shalat
mengangkat kedua tangan di kala shalat, membuat hadis maudhu sebagai berikut.

Barang siapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, tidak sah shalatnya.

Golongan mutakallimin megafirkan orang yang berpendapat bahwa Al-quran adalah ciptaan baru
(makhluk), dengan mengeluarkan hadis dengan disandarkan kepada Nabi:

Setiap yang ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya, adalah makhluk, kecuali Allah dan
Al-Quran. Kelak, akan datang kaum dari umatku yang mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah

6
makhluk (baru), oleh karena itu, barang siapa yang mengatakan demikian, sungguh kafir
terhadap Allah Yang Mahabesar, dan tertalaklah istrinya sejak saat itu.

4. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah

Mereka membuat hadis-hadis palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan-dorongan untuk
meningkatkan amal, melalui hadis tarhib wa targhib ( anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang
tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik), dengan cara berlebih-lebihan.

Seperti hadis-hadis yang dibuat Nuh ibn Abi Maryam tentang keutamaan Al-Quram. Ketika
ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab, “saya dapati manusia telah berpaling
dari membaca Al-Quran maka saya membuat hadis-hadis ini untuk menarik minat umat kembali
kepada Al-Quran.”

5. Menjilat Para penguasa untuk Mencari kedudukan atau Hadiah

Ulama-ulama su’ membuat hadis palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para
penguasa sehingga dari perbuatanny tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan
atau harta.

Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’I yang datang kepada Amirul Mukminim Al-
Mahdi, yang sedang bermain merpati. Lalu, ia menyebut hadis dengan sanadnya secara berturut-
turut sampai kepada Nabi SAW., bahwasanya beliau bersabda,

Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau
burung yang bersayap.

Ia menambahkan kata, ‘atau burung yang bersayap’, untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu
Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, Sang Amir berkata, “Aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”, lalu ia
memerintahkan untuk menyembelih merpati itu.

D. HUKUM MERIWAYATKAN HADITS MAUDHU

Umat Islam telah sepakat bahwa membuat hadis maudhu hukumnya haram secara
mutlak, tidak ada perbedaan di antara mereka. Menciptakan hadits maudhu sama dengan
mendustakan kepada Rasulullah. Karena perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan
orang lain, kemudian diklaim bahwa Rasulullah yang menyabdakan, berarti ia berdusta atas
nama Rasulullah. Orang yang melakukan hal demikian diancam dengan api neraka, sebagaimana
sabda beliau:

7
Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendak siap-siaplah tempat
tinggalnya di dalam neraka.

Jumhur ulama Ahlu AS-Sunnah telah bersepakat bahwa bohong termasuk berdosa besaar,
semua ahli hadis menolak khabar yang dibawa oleh pendusta Rasul, bahkan Abu Muhammad
Al-Juwaini mengkafirkannya.

Hanya kelompok sesat yang memperbolehkan membuat hadits maudhu seperti Al-
Karramiyah, yaitu pengikut Muhammad bin Karram As-Sijistani seorang tokoh antropomorfisme
(mujassimah) dalam teoligi. Mereka membolehkan membuat hadits maudhu dalam masalah yang
menggemarkan ibadah (targhib) dan mengancam orang yang berdosa (tarhib) berdasarkan hadits
di atas melalui jalan lain yang ditambah (untuk menyesatkan manusia). Namun, namun menurut
penelitian para ulama, tambahan ini tidak terdapat dalam periwayatan para huffazh al-hadits,
maka tambahan tersebut juga suatu kebohongan. Lengkapnya hadis periwayatan mereka, yaitu

Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja untuk menyesatkan manusia maka
hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di dalam neraka.

Berdasarkan hal ini di antara mereka mengatakan, “kami bohong untuk kebaikan, bukan
untuk kejelekan.” Alasan ini tentu sangat rendah, agama Allah tidak perlu pembohong untuk
mencari alasan. Cara membuat hadits maudhu terkadang disusun sendiri, kemudian dipasang
sanad dan diriwayatkannya atau dengan mengambil perkataan sebagian ulama, kemudian
dipasang sanad.

Sebagaimana haram membuat hadits maudhu, para ulama juga sepakat haram
meriwayatkannya tanpa menjelaskan ke-maudhu-an atau kebohongannya, baik dalam targhib,
tarhib, fadha’il a’mal, ahkam, kisah, dan lain-lain.

Sebagaimana hadits Nabi SAW

Barang siapa yang meberitakan daripadaku suatu hadits yang diketahui bahwa ia
bohong, maka ia tergolong salah seorang pembohong. (HR. Muslim)

Meriwayatkannya hadits maudhu dengan menjelaskannya ke-maudhu-annya beleh saja, karena


dengan memberi penjelasan seperti ini akan dapat dibedakan dengan hadits yang benar dari
Rasul dalam rangka menjaga Sunnah.

E. CIRI-CIRI HADITS MAUDHU

Para ulama Muhaditsin, di samping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui sahih, hasan,
atau dhaif suatu hadis, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhu-an suatu
hadis.

Ke-maudhu-an suatu hadis dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.

8
1. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad

Terdapat banyak ciri-ciri ke-maudhu-an hadis yang terdapat pada sanad. Ciri-ciri tersubut adalah:

a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang
tepercaya yang meriwayatkan hadis dari dia.
b. Pengakuan dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seseorang guru tasawuf, ketika
ditanya oleh Ibnu Isma’il tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran, yang serentak
menjawab, “Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadis kepadaku. Akan tetapi,
serentak kami melihat manusia sama membenci Al-Quran, kami ciptakan untuk mereka
hadis ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk
mencintai Al-Quran.”
c. Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang
rawi bahwa ia menerima hadis dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan
guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun Ibn
Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadis dari Hisyam Ibn Amr kepada Ibn
Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?”. Ma’mun
menjawab, “Pada tahun 250 H.” mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam
meninggal dunia pada tahun 245 H.”
d. Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadis maudhu. Misalnya
seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung ke rumah Al-Mahdi
yang sedang bermain dengan burung merpati, yang berkata,

Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda,
atau mengadu burung.

Ia menambahkan kata, “atau mengadu burung”, untuk menyenangkan Al-mahdi, lalu Al-
Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, Sang Amir berkata, “Aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”, lalu ia
memerintahkan untuk menyembelih merpati itu. Tingkah Ghiyats semacam itu menjadi
qarinah untuk menetapkan ke-maudhu-an suatu hadis.

2. Ciri-ciri yang terdapat pada Matan

Terdapat banyak pula ciri-ciri hadis maudhu yang terdapat dalam matan, diantaranya sebagai
berikut.

a. Keburukan susunan lafaznya


Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan. Dengan mendalami ilmu Bayan
ini, kita akan merasakan susuna kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.,
dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.

9
b. Kerusakan maknanya
1. Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti hadis:

Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tuju kali keliling Kabah dan sembahyang di
maqam Ibrahim dua takaat.

2. Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan,
seperti hadis,

Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi
Allah.

3. Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadis,

Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.

4. Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal terhadap


Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluknya. Oleh karena
itu, kita menghukumi palsu hadis berikut ini.

Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya. Maka berpeluhlah


kuda itu, lalu Tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.

5. Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadis yang
menerangkan bahwa ‘Auja ibn ‘Unuq mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh
menakutinya dengan air bah, ia berkata, “Bawalah aku ke dalam piring mangkukmu ini.”
Ketika topan terjadi, air sampai ketumitnya saja. Kalua mau makan, ia memasukkan
tangannya ke dalam laut, lalu membakar ikan yang di ambilnya ke panas matahari yang
tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.

6. Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadis,

Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril.

7. Bertentangan dengan keterangan Al-Quran, hadis mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah.


Contoh hadis maudhu yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran adalah hadis,

Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.
Makna hadis ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6]: 164, yaitu:

10
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Q.S. Al-An’am [6]:
164)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang
lain. Seorang anak sekalipun tidak dapa dibebani dosa orang tunya.

Contoh lainnya, yaitu:


Umur dunia itu tujuh ribu tahun, dan sekarang datang pada ribuan ke-7.
Hadis tersebut maudhu karena hanya Allah-lah yang mengetahui kapan dunia ini akan
berakhir. Sesuai firman-Nya:
Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat, “Bilakah terjadinya?” Katakanlah,
“sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak
seorangpun dapat menjelaskan waktu kedatangannya, selain dia.” (Q.S. Al-A’raf [7]:
187)

Contoh hadis maudhu yang bertentangan dengan hadis mutawatir, yaitu:


Barang siapa yang melahirkan seorang anak, kemudian dinamai Muhammad, ia dan
anaknya akan masuk surga.
Hadis tersebut bertentangan dengan kaidah umum bahwa yang masuk surga adalah
mereka yang melakukan amalan-amalan saleh, bukan dengan nama atau gelar.

8. Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil.
Contohnya, yaitu:
barang siapa mengucapkan tahli (la ilaha ilallah) maka Allah menciptakan dari kalimat
itu seokor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan mempunyai 70.000
bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.

F. USAHA PARA ULAMA DALAM MENANGGULANGI HADITS MAUDHU

Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadits maudhu,
dengan tujuan agar hadits tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang
kotor. Di samping agar jelas posisi hadits maudhu tidak tercampur dengan hadits-hadits Shahih
dari Rasulullah diantara usaha-usaha tersebut sebagai berikut.

1. Memelihara Sanad Hadits

Dalam rangka memelihara Sunnah, siapa saja mengaku mendapat Sunnah harus disertai
dengan sanad. Jika tidak disertai dengan sanad, maka suatu hadits tidak dapat diterima.
Muhammad bin Sirin mengatakan, para ulama semula tidak bertanya tentang sanad Sunnah.
Akan tetapi, setelah terjadi pemalsuan hadits, mereka pun berkata kepada yang
meriwayatkannya: “Sebutkan pada kami para perawinya.” Maka jika memang ahli Sunnah,
diambil haditsnya dan jika dilihat ahli bid’ah, tidak diambil haditsnya.

11
Abdullah bin Al-Mubarak berkata:

Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik loteng
tanpa tangga.

Keharusan sanad dalam menerima hadits bukan pada orang-orang khusus saja, bagi
masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai
berkembang sejak masa tabi’in, sehingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadits
menerangkan sanad hadits yang ia riwayatkan.

2. Meningkatkan Kesungguhan Penelitian

Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadits
yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadits yang mereka terima
itu meragukan, atau datang bukan dari sahabat yang terlibat dalam permasalahan hadits, segera
mereka mengadakan rihlah (perjalanan), sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek
kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadits. Mereka saling
mengingatkan dan bermudzakarah bersama sahabat lain agar tidak melupakan hadits dan
mengetahui yang shahih dan tidak shahih.

Hasil penelitian mereka dibukukan di berbagai buku hadits atau ilmu hadits yang besar-besar
dan berjilid-jilid dari masa ke masa, seperti Buku Induk Hadis Enam atau Tujuh. Imam Asy-
Syafi’I menulis Ar-risalah dan Al-Umm yang memuat Ulumul Hadits, demikian juga Imam
Muslim dalam Mukadimah dan Akhiran kitabnya, At-Tirmidzi dalam akhir kitab Jami’-nya, dan
Al-Bukhari yang menulis kitab Tarikh Al-Kabir, Al-Awsath, dan Ash-Shaghir. Muhammad bin
Sa’ad Al-Waqidi (w. 230 H) yang menulis Ath-Thabaqat, Abu Hatim (w. 354 H) menulis Ats-
Tsiqat, Ath-Thabaqat, Adh-Dhu’afa, Al-Illal, dan lain-lain.

3. Mengisahkan Para Pendusta Hadits

Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits. Orang-orang yang
dikenal sebagai pendusta hadits dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan darinya. Semua ahli ilmu
juga menyampaikan hadits-hadits maudhu dan pembuatanya itu kepada murid-muridnya, agar
mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadits daripadanya.

Di antara ulama yang terkenal menentang para pembuat maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi (w.
103 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (w. 160 H), Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H), Abdullah Bin Al-
Mubarak (w. 181 H), Abdurrahman bin Al-Mahdi (w. 198 H), dan lain-lain.

4. Menerangkan Keadaan Para Perawi

Dalam membasmi hadits maudhu, para ahli hadits berusaha menelusuri sejarah kehidupan,
baik mulai dari lahir hingga wafat ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadits, dari yang jujur,

12
adil, dan andal daya ingatannya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadits shahih
dan mana yang tidak shahih, mana hadits yang sesungguhnya dan yang dipalsukan. Hasil karya
penelitian mereka dihimpun dalam buku Rijal Al-Hadits dan At-Ta’dil sehingga dapat
dimanfaatkan oleh generasi ke generasi berikutnya.

5. Memberikan Kaidah-Kaidah Hadits

Para ulama meletakkan dasar-dasar atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang tentang
penelitian hadits untuk menganalisis otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih,
hasan, dhai’if, dan maudhu. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penilaian suatu hadits
apakah suatu hadits memenuhi kriteria sebagai hadits yang diterima atau tertolak.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan ini dapat disimpulkan, bahwa sanya hadits maudhu adalah
hadits bohong,mengada-ngada, dan tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah. Timbulnya hadits
maudhu bukan pada masa Nabi Saw, tapi pada masa pemerintahan Ali waktu itu terjadi konflik
sesame umat islam.

Meriwayatkan hadits maudhu haram tanpa menjelaskan ke-madhu-an atau kebohongannya,


tetapi meriwayatkan hadits maudhu dengan menjelaskan ke-maudhu-annya boleh saja, karena
dengan memberi penjelasan seperti ini akan dapat dibeda dengan hadits yang benar dari Rasul
dalam rangka menjaga Sunnah.

Tanda-tanda dari hadits maudhu pada sanad, pengakuan pembuatnya sendiri, adanya bukti
menempati pengakuan, adanya bukti pada keadaan perawi, dan kedustaan perawi. Sedangkan
pada matan, lemah susunan lafal dan maknanya, rusaknya makna, menyalahi teks Alquran atau
hadits mutawatir, menyalahi realita sejarah, hadits sesuai dengan mazhab perawi, mengandung
pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil, dan sahabat dituduh menyembunyikan hadits.

B. Kritik dan Saran

Dengan selesainya penulisan makalah ini yang diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Hadits dengan tema “Hadits maudhu dan permasalahannya,” semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan penulis khusunya, kepada para pembaca umumnya.

Penulis menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna, dan untuk itu Kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis perlukan dari para pembaca untuk memperbaiki
makalah ini agar bisa lebih baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, Cet. I (Semarang: Rasail Group, 2007), hlm.
151.
2. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Hadits, Terj. Mifdhol Abdurrahman, Cet. VII
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 145.
3. Idri, Studi Hadits, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 165.
4. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Cet. VII (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 192.
5. Mudasir, Ilmu Hadits, Cet. IV (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm 173.

15

Anda mungkin juga menyukai