Anda di halaman 1dari 3

RESUME PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

1. Bagaimana hukum islam mengenai wanita yg memotong rambut atau kuku pada saat
menstruasi dan adakah dalil yg mendukung pernyataan itu ? (Annisa Rahayu kel 3)
Jawab:
Sebenarnya, sedikit sulit menelusuri dalil eksplisit mengenai larangan memotong
rambut dan kuku pada saat menstruasi. Saat mentahqiq kitab-kitab muktamad juga hampir
tidak ada yang mencantumkan potong kuku dan rambut dalam daftar larangan selama haid.
Sebab larangan bagi wanita haid menurut mayoritas ulama hanya 8 hal saja, yakni: Shalat,
Puasa, Thawaf, Berdiam di masjid, Melafadzkan al-Quran, Menyentuh & membawa mushaf,
Jima, dan Diceraikan.
Rasulullah SAW membolehkan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahuanha untuk
mengurai dan menyisir rambutnya saat Aisyah sedang mengalami masa haid. Padahal dengan
menyisir rambut, sangat besar kemungkinan tercabutnya rambut. Izin dari Nabi SAW ini
secara tidak langsung menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut dan kuku.
Berikut sabda Rasulullah SAW kepada `Aisyah radhiyallahu `anhaa:
"Uraikanlah rambutmu dan sisirlah, kemudian berniatlah untuk haji dan tinggalkan
umrah”. Seorang mufti bernama Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah
berkata: “Wanita yang haidh boleh memotong kukunya dan menyisir rambutnya, dan boleh
mandi junub, … pendapat yang dianut oleh sebagian wanita bahwasanya wanita yang haidh
tidak boleh mandi, menyisir rambutnya, dan memotong rambutnya maka ini tidak ada asalnya
(dalilnya) di dalam syari’at, sebatas pengetahuan saya”.
Ternyata larangan ini ditemukan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Imam Al-Ghazali
berpendapat bahwa wanita haid dilarang memotong kuku dan rambutnya. Sebab kelak di
akhirat rambut dan kuku tersebut akan dipanggil dalam keadaan janabah (hadats besar) lalu
menuntut dan meminta pertanggung jawaban pada pelakunya. Al-Ghazali mendasarkan
pendapatnya dengan mengutip satu hadits yang bunyinya: ”Dan tidak sepatutnya seseorang
itu mencukur rambutnya, memotong kukunya, bulunya, atau mengeluarkan darahnya, atau
memisahkan satu bagian dari dirinya, sedang dia dalam keadaan junub. Sebab semua bagian
itu akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan junub, lalu dikatakan pada orang itu:
’Sesungguhnya setiap rambut ini menuntut padanya mengapa ia dibiarkan dalam keadaan
berjanabah (hadats besar)”.
2. Mengapa terdapat perbedaan Antara setiap Mazhab pada penerapan hukum hukum
islam (Hammid Kel 1).
Jawaban:
 ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang belum jelas pengertiannya dan mengandung
arti lebih dari satu.
 Perbedaan mengenai Shahih tidaknya Nash
 Perbedaan dalam memahami Nash
 Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang bertentangan
 Perbedaan dalam kaidah dalam Sumber Intinbath
 Perbedaan dalam perbendaharaan hadis
3. Apa pengertian dari Ijma’ dan Qiyas serta berikan masing-masing 2 contoh dari Ijma’
dan Qiyas (Ibu Nurmayani)
Jawaban:
Ijma menurut istilah diartikan sebagai kebulatan pendapat seluruh ahli ijtihad sesudah
wafatnya Rasullallah SAW pada suatu masa atas sesuatu hukum syara’
Contoh :
1. Diadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai diterapkan pada
masa kepemimpinan Ustman bin Affan.
2. Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada masa kepemimpinan
Abu Bakar As Shidiq.
Qiyas adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya.
Contoh:
1. Menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak disebutkan dalam Al
Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW.
Maka para ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini sebagai khamr
(minuman yang memabukan). Sebab sifat atau efek dari konsumsi narkotika sama atau
bahkan lebih berbahaya dibanding minuman memabukan tadi. Sehingga ditarik
kesimpulan bahwa narkotika hukumnya haram.
2. Qiyas antara shalat Jumat dengan shalat zhuhur dilakukan oleh mazhab Asy-
Syafi’iyah, khususnya dalam masalah shalat sunnah qabliyah Jumat dan kebolehannya
menjama’ shalat Jumat dengan Zhuhur.
Maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Jumat berbeda dengan Zhuhur. Maka
keduanya bisa dan boleh diqiyas, dalam arti apa-apa yang berlaku pada shalat Zhuhur
pada dasarnya juga berlaku pada shalat Jumat.
4. Kalau ada sesuatu hukum yang sedang diperdebatkan, tentu kita akan menemukan
solusinya berlandaskan dengan quran. nah jadi, jika dalam dalil aqli, si ijma' dan qiyas
ini bertentangan terhadap permasalahan hukum tadi, mana yang harus kita ambil?
(Rahma Safitri - kelompok 3)
Jawaban:
Hukum islam itu berhierarki atau bertingkat. Yang tertinggi adalah Al-Quran, yang
kedua hadis, dan yang terakhir ijtihad (Ijma dan Qiyas) jadi bila ada suatu hukum yang
diperdebatkan namun bertentangan antara dalil naqli, ijma’ dan qiyas tentunya kita
mengambil hukum yang ada pada dalil naqli yaitu Al-Qur’an dan hadis karena kedua itu
lebih tinggi kedudukannya daripada ijma dan qiyas. Artinya solusi yang diambil dapat
kita peroleh dari sumber hukum tertinggi.
5. Apakah hukum isbal berpakaian untuk laki-laki masih relevan dizaman sekarang?
(Jordy - kelompok 2)
Jawaban:
Makruh artinya suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan itu lebih baik daripada
mengerjakannya. An-Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim juz 14 menulis:
“Sesungguhnya isbal ada pada sarung, baju, dan imamah. Dan tidak boleh isbal sampai di
bawah kedua mata kaki jika karena sombong. Namun jika bukan karena sombong maka
hukumnya makruh.” Dalam hadits Al Bukhari dijelaskan: “Dari ibn ‘Umar, Rasulullah
bersabda: “Barang siapa yang menjulurkan pakaianya dengan rasa sombong, maka Allah
tidak akan memandangnya pada hari kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sisi sarungku selalu melorot ke bawah, kecuali
saya menjaganya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Engkau tidak termasuk dari orang yang
berbuat kesombongan”. Ini diperkuat dengan hadits lainnya. “Ada seorang lelaki yang
kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah menenggelamkannya ke dalam bumi.
Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi”. (HR.
Bukhari, 3485)
Melalui hadits tersebut dapat dipahami bahwa balasan bagi orang-orang yang isbal
adalah tidak dipandang Allah saat hari kiamat. Namun apabila orang tersebut tidak
memiliki niat untuk angkuh, maka ia bukan termasuk golongan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai