Anda di halaman 1dari 3

TUGAS 4

IJTIHAD SEBAGAI METODE PENERAPAN HUKUM ISLAM

Nama : Aziz Sulaiman


NIM : 12519012
Kajian Mengenai Larangan bagi Perempuan Haid untuk Membaca Al-Qur’an
Pendapat para ulama tentang aktivitas perempuan haid yang berkaitan dengan Al-
Qur’an sangat beragam, bahkan seringkali bertentangan. Secara umum, perempuan yang
sedang haid dilarang untuk melakukan aktivitas dengan Al-Qur’an, seperti membaca Al-
Qur’an, membawa Mushaf Al-Qur’an, hingga menulis ayat Al-Qur’an. Salah satu ayat Al-
Qur’an yang dijadikan rujukan untuk larangan perempuan menyentuh Al-Qur’an adalah ayat
Al Waqiah 79, La Massuhu Illal Muthohharun, “tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-
hamba yang suci”. Berdasarkan ayat ini, seorang muslim hanya diperbolehkan menyentuh Al-
Qur’an dalam kondisi suci atau setelah berwudhu. Adapun perempuan tidak sah wudhunya jika
dia dalam kondisi haid. Ayat tersebut meskipun dalam sudut pandang tafsir bahkan fiqh
berbeda dalam memahaminya, apakah Al-Qur’an dalam ayat tersebut dimaknai sebagai mushaf
atau Al-Qur’an di Lauh Al Mahfudz, namun memberi pelajaran kepada muslim tentang
bagaimana seorang pemeluk agama memperlakukan kitab sucinya sebagaimana apa yang
diyakini.
Ulama fikih menyatakan bahwa ada beberapa amalan yang terlarang di lakukan
perempuan ketika sedang haid, diantaranya: shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, melakukan
aktifitas di mesjid, thawaf di sekeliling Ka’bah. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang
larangan bagi perempuan haid yaitu melakukan aktifitas di mesjid dan membaca Al-Qur’an
melalui kajian maudhu’iy (tematis).
• Hadis pertama tentang larangan bagi perempuan haid membaca Al-Qur’an

Artinya: Dari Ali r.a berkata: Ketika Rasulullah selesai melaksanakan hajatnya kemudian
beliau keluar dan membaca Al-Qur’an dan makan daging bersama kami dan tidak ada yang
membatasinya memperbuat hal itu. Kemudian Rasul berkata: Tidak ada sesuatupun yang
menghalangi membaca Al-Qur’an selain keadaan junub (HR. Ahmad dan al-Khamsah). Tetapi
dalam lafal at-Tirmizi cukup ringkas: Rasulullah SAW. biasanya membacakan Al-Qur’an pada
kami selama beliau tidak junub (Hadis Hasan Shahih).
Dalam hadis pertama yang berasal dari Ali dan berbentuk hadis fi’liy (perbuatan Rasul)
tersirat bahwa Rasul selalu membaca Al-Qur’an dalam keadaaan suci (dari hadas besar seperti
junub). Sekalipun dalam hadis ini hanya keadaan junub yang dijelaskan, namun tidak hanya
terbatas kepada satu kata itu saja, karena yang mengakibatkan seseorang berhadas besar bukan
junub saja tetapi termasuk haid dan nifas. Dengan demikian kata-kata junub dalam hadis ini
mencakup pengertian haid dan nifas melalui pengqiyasan dengan illatnya sama-sama dalam
“keadaan berhadas besar”. Sebagian ulama memahami hukum makruh terhadap perkataan
Nabi SAW ini.
• Hadis kedua

Artinya: Dari ibn Umar, dari Nabi SAW. bersabda: Orang yang dalam keadaan junub dan
perempuan yang haidh tidak boleh membaca sesuatupun dari ayat Al-Qur’an.(HR. Abu Daud,
at-Tirmizi dan Ibn Majah).
Hadis kedua diriwayatkan oleh ad-Daruquthni yang berasal dari Ali. Namun hadis ini
tergolong hadis mauquf karena terputus sanadnya sampai sahabat. Dalam hadis ini terdapat
larangan tegas membaca Al-Qur’an bagi orang yang dalam keadaan berhadas besar dengan
adanya kalimat ‫( قال‬tidak boleh). Jika dilihat kandungan hadis ini semakna dengan hadis
pertama.
• Hadis ketiga

Artinya: Dari Aisyah r.a (katanya): Bahwa biasanya Rasulullah SAW itu mengingat Allah
dalam setiap waktunya. (HR. Abu Daud dan Ibn Munzir).
Menurut Imam al-Bukhari tidak ada satupun hadis dari beberapa riwayat yang
mengharamkan perempuan haid membaca Al-Qur’an itu shahih. Walaupun menurut yang lain,
bila semua riwayat tersebut dikumpulkan dapat dijadikan hujjah tetapi bagaimanapun
mayoritas hadis tetap butuh penakwilan. Sehingga dari sini Imam Bukhari berpendapat
membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an berpegang pada keumuman hadis dari
Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah selalu mengingat Allah pada setiap saat. Karena
zikir itu mempunyai arti yang lebih umum dari sekedar membaca Al-Qur’an atau yang lainnya,
walaupun menurutnya terdapat perbedaan antara zikir dan membaca Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an, berdasarkan beberapa hadis tidak ada satu hadispun yang yang
dinilai shahih oleh imam al-Bukhari. Hadis yang berasal dari Ibn Umar pun, dinyatakan sebagai
hadis yang lemah oleh Abu Hanifah. Oleh karena itu, menurut saya, perempuan haid boleh
membaca Al-Qur’an. Bila perempuan haid diharamkan pula membaca Al-Qur’an dan berzikir,
maka ia akan bertambah jauh dari Allah. Padahal setiap muslim diperintahkan untuk selalu
ingat pada Allah setiap saat, sebagaimana juga hadis dari Aisyah yang menceritakan bahwa
Nabi selalu mengingat Allah setiap saat.
Kajian Mengenai Larangan Memotong Kuku dan Rambut sebelum Kurban
Hukum memotong kuku dan rambut sebelum pelaksanaan Idul Adha atau hari raya
kurban memiliki sejumlah perbedaan pandangan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan
hingga melarang. Hukum tersebut juga bisa dijatuhkan antara orang yang akan berkurban atau
hewan yang dijadikan kurban. Idul Adha merupakan salah satu hari raya yang diperingati umat
Islam selain Idul Fitri. Perayaan Idul Adha diiringi dengan penyembelihan hewan kurban.
Hal ini biasa dikerjakan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS
terhadap Nabi Ismail AS ketika Allah SWT menguji keimanannya. Allah memerintahkan untuk
menjadikan sang putra kesayangan sebagai 'kurban'. Namun, seketika pula Ismail diganti
dengan seekor sembelihan besar seperti dikisahkan melalui surah As Saffat ayat 107.
Sementara dalam sebuah hadis, terdapat penjelasan perihal hukum memotong kuku dan rambut
sebelum pelaksaan kurban. Hadis riwayat Ummu Salamah menerangkan bahwa: "Apabila
sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban,
maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban," (HR Ibnu
Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Mengutip laman NU Online, ulama berbeda pandangan menyikapi hadis tersebut.
Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melarang orang yang berkurban
untuk memotong kuku dan rambut. Artinya, larangan tersebut diterapkan hanya kepada orang
yang akan berkurban di hari raya Idul Adha saja. Pendapat kedua disebutkan bahwa larangan
untuk memotong kuku dan rambut bukan bagi orang yang berkurban, melainkan untuk hewan
kurban yang akan dijadikan kurban.
Mengenai pendapat pertama, larangan untuk memotong kuku dan rambut bagi orang
yang berkurban diterapkan selama 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Maka, sejak tanggal 1
hingga 10 Dzulhijjah tidak diperbolehkan untuk melakukan dua perkara tersebut. Namun, bisa
berakhir setelah selesainya pelaksanaan kurban. Mengacu soal ini, maka mulai Sabtu, 11 Juli
2021 atau 1 Dzulhijjah 1442 sampai dengan 20 Juli 2021 adalah batas larangan untuk
memotong kuku dan rambut bagi orang yang berkurban.
Dituliskan laman Suara Muhammadiyah, banyak keutamaan yang didapatkan dari
larangan memotong kuku dan rambut di waktu tersebut. Diantaranya ialah Allah SWT akan
mengampuni dosa-dosa hamba-Nya mulai dari ujung rambut hingga kaki. Berdasarkan
sejumlah keterangan diatas, maka bagi orang yang akan berkurban sebaiknya mempersiapkan
diri dengan tidak memotong rambut dan kuku sejak awal bulan Dzulhijjah hingga pelaksanaan
penyembelihan hewan kurban.
Namun demikian, berbicara mengenai kadar hukum larangan penerapannya, juga
terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejumlah ulama. Abu Hanifah memperbolehkan
untuk memotong rambut dan kuku bagi orang yang akan berkurban serta tidak menghukuminya
makruh. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukumnya ialah makruh, tepatnya
makruh yang paling sederhana. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan bahwa hukumnya adalah
haram, bersumber pada hadis Ummu Salamah di atas.

Anda mungkin juga menyukai