Anda di halaman 1dari 21

Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw.

bersabda, Apa yang kularang jauhilah, dan apa yang aku perintahkan laksanakanlah
semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah
banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. (HR Bukhari dan Muslim)
URGENSI HADITS
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini sangat penting, karenanya layak untuk dihafal dan
dikaji. Imam Nawawi berkata, Hadits ini merupakan dasar-dasar Islam yang sangat
penting dan merupakan Jawamiul Kalimm (ucapan yang singkat dan padat), yang hanya
dimiliki Rasulullah saw. Di dalamnya mencakup berbagai hukum yang jumlahnya tidak
terbatas. Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, Ini adalah hadits yang sangat penting.
Merupakan dasar agama dan rukun Islam, maka patut dihafal dan diperhatikan. Ungkapan
senada juga banyak dilontarkan oleh ulama-ulama lain.
Yang menjadikan hadits ini sangat penting, adalah perintah untuk senantiasa komitmen
terhadap syariat Allah swt, baik yang berupa larangan maupun perintah, tanpa melakukan
penambahan atau pengurangan.
LATAR BELAKANG HADITS
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. berpidato di
hadapan kami seraya berkata, Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian
ibadah haji, maka berhajilah. Seorang laki-laki bertanya, Ya Rasulallah, apakah dilakukan
setiap tahun? Rasulullah diam. Hingga orang tadi mengulanginya sampai tiga kali. Maka
Rasulullah pun menjawab, Andai saya jawab ya, tentulah akan diwajibkan setiap tahun.
Dan kalian tidak akan mampu.Setelah itu Rasulullah bersabda, Biarkanlah apa yang saya
diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak
bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian
untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku larang sesuatu
maka tinggalkanlah. (Shahih Muslim, al-Hajj, Fardhul Hajji Marrotan fil Umri. Hadits
nomor 1337)
Riwayat lain menyebutkan bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Aqra bin Habis ra.
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Aqra bin Habis bertanya kepada Rasulullah, Ya
Rasulallah, haji dilakukan setiap tahun atau sekali? Rasulullah menjawab, Sekali, dan
barangsiapa yang mampu maka kerjakanlah dengan segala kerelaan. (Sunan Ibnu Majah,
Fardhul Hajji, hadits no. 2886)
Abu Dawud dan al-Hakim juga menyebutkan riwayat senada (Sunan Abu Dawud no. 1721,
dan al-Mustadrak, al-Manasik).Ada yang menyebutkan bahwa pidato Rasulullah saw. di
atas dilakukan ketika haji wada. Saat itu Nabi berdiri di hadapan kaum Muslimin dan
berkhotbah menerangkan rambu-rambu agama dan berbagai kewajiban dalam Islam.
KANDUNGAN HADITS
1. Apa yang aku larang, maka juhilah.Larangan dalam al-Quran maupun sunnah

mempunyai berbagai pengertian, namun demikian kesemuanya mengacu pada dua hal,
yaitu haram dan makruh.
a. Larangan yang sifatnya haram.Adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah melalui Nabi
Muhammad saw. dengan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa berbuatan tersebut
adalah haram. Jika perbuatan ini dilanggar maka akan dihukum dengan hukuman yang
setimpal, sesuai dengan ketentuan syara, baik di dunia maupun di akhirat.
Contoh larangan yang bersifat haram adalah: larangan berzina, minum minuman keras,
makan barang riba, mencuri, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariah,
membuka aurat di depan orang yang bukan muhrim, berdusta, menipu, suap, ghibah,
namimah, berbuat kerusakan dan berbagai perbuatan lain yang jelas-jelas dilarang Allah
dan Rasul-Nya.Semua perbuatan itu harus ditinggalkan seketika. Seorang muslim tidak
boleh melakukannya kecuali dalam keadaan darurat [terpaksa]. Itupun dengan berbagai
syarat dan aturan yang ditetapkan oleh syariat.
b. Larangan yang sifatnya makruhLarangan ini kadang disebut dengan nahy tanzihi.
Merupakan larangan terhadap suatu perbuatan, namun dalil-dalil yang ada tidak
menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya haram. Namun hanya bersifat makruh. Jika
larangan tersebut dilanggar, maka tidak ada hukuman.
Contoh, larangan yang bersifat makruh: larangan makan bawang mentah [baik merah
maupun putih] atau yang sejenisnya [berbau] bagi yang masuk masjid untuk shalat
berjamaah. Berbagai larangan tersebut boleh dilakukan baik sedikit maupun keseluruhan,
meskipun sebaiknya ditinggalkan.
2. Keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya melanggar larangan.Kita mengetahui bahwa
setiap yang diharamkan, maka wajib dijauhi. Namun seseorang kadang mengalami kondisi
yang memaksanya untukmelakukan sesuatu yang diharamkan. Andai ia tidak
melakukannya, tentu akan berakibat fatal bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini syariat
memberikan keringanan, dengan membolehkan orang yang terpaksa, untuk melakukan
sesuatu yang sebenarnya [dalam kondisi normal] dilarang.
Allah berfirman: .Tapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia
sebenarnya tidak sengaja dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Baqarah: 173)
Ayat ini lah yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk merumuskan kaidah fiqih, AdlDlaruratu tubihul mahdhurat yakni keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya laranganlarangan.
Sebagai contoh dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang tidak memiliki makanan
sama sekali, dibolehkannya membuka aurat dalam rangka berobat ke dokter, tidak
diterapkannya hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri karena terpaksa, dan
lain sebagainya.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang memahami kaidah ini

secara global tanpa merinci pengertian dan batasan-batasan darurat [keterpaksaan], dan
tidak memahami sejauh mana dibolehkannya melakukan sesuatu yang haram dalam kondisi
terpaksa. Karenanya masalah ini harus kita perhatikan benar-benar hingga kita tidak
terperosok ke dalam satu kesalahan.
Para ulama, membatasi keterpaksaan pada kondisi yang dialami seseorang dan kondisi
tersebut benar-benar mengancam nyawanya, mengancam hilangnya salah satu anggota
tubuhnya, menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kehidupan secara normal
atau menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditanggung. Para ulama juga membatasi
sejauh mana seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan
terpaksa. Batasan ini tertuang dalam sebuah kaidah berikut ini, Keadaan darurat itu
disesuaikan kadar kebutuhannya. Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah, ..tidak
sengaja dan tidak melampaui batas. (al-Baqarah: 173)
Dengan demikian seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang [dalam keadaan
terpaksa] sekedar memenuhi kebutuhan. Karenanya barangsiapa yang terpaksa hingga
harus makan bangkai maka ia tidak boleh memenuhi perutnya dengan bangkai, terlebih
menyimannya.
Barangsiapa terpaksa mencuri untuk memberi makan keluarganya, maka ia tidak boleh
mengambil lebih dari kebutuhannya sehari semalam. Barangsiapa terpaksa membuka aurat
di depan dokter untuk kepentingan pengobatan maka tidak boleh membuka di tempat lain
yang tidak ada sangkut pautnya dengan pengobatan. Bukan merupakan keterpaksaan bagi
wanita berobat ke dokter laki-laki, padahal ada dokter wanita.
Bukan suatu keterpaksaan sebah usaha yang bertujuan menumpuk kekayaan dunia,
memenuhi kebutuhan mewah dan bahkan mencontoh kebiasaan masyarakat yang sok
modern dan senantiasa memburu barang impor. Modal yang sedikit bukanlah keterpaksaan
untuk melakukan riba [hutang di bank] hingga ia bisa mengembangkan usaha. Rumah yang
sederhana dan kecil bukanlah keterpaksaan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan
rumah yang besar dan mewah. Bukan suatu keterpaksaan bagi wanita yang memiliki suami
untuk bekerja di luar rumah bahkan ikhtilaf dengan para lelaki yang bukan muhrimnya.
Bahkan seandainya ia harus mencari nafkah, dan ada peluang kerja yang bebas ikhtilaf,
maka ia tidak boleh memilih tempat kerja yang berikhtilaf. Semua itu dilandaskan pada
kaidah, Darul Mafasid muqaddamun alaa jalbil mashalih [meninggalkan pintu-pintu
kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkann pintu-pintu kebaikan].
Barangsiapa yang sedang melakukan urusan dengan orang lain, atau sebuah instansi,
bukanlah suatu keterpaksaan hingga ia main suap, agar urusannya mudah. Barangsiapa
yang bergaul dengan masyarakat atau berusaha untuk mendekati dan mendakwahi
seseorang, maka bukan merupakan suatu keterpaksaan, kalau ia harus menemaninya di
meja judi, di kedai-kedai minuman keras, di tempat-tempat mesum dan mendiamkan
kemunkaran yang terjadi.Demi mendapatkan kasih sayang suami, seorang istri tidak
diperbolehkan melakukan hal-hal yang melanggar syariat.
3. Komitmen terhadap perintah.Perintah, dalam al-Quran maupun sunnah mempunyai
pengertian beragam. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa asal kata perintah adalah

thalab [permintaan]. Permintaan ini mencakup dua hal yang asasi, yaitu: wajib dan sunnah.
Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi, Dan apa-apa yang aku perintahkan kepada
kalian. Artinya, sesuatu yang diperintahkan baik bersifat wajib maupun sunnah.
a. Perintah yang bersifat wajibPerintah wajib adalah perintah Allah swt. melalui Nabi
Muhammad saw. kepada umat Islam untuk melakukan sesuatu perbuatan dan didasari
berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut wajib. Maka perintah tersebut
wajib dilaksanakan dan jika ditinggalkan tentu akan mendapat hukuman, dan jika
dilakukann maka akan mendapat pahala.Contohnya: perintah untuk mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, puasa, amar maruf nahi munkar, menepati janji, menerapkan hukum
Allah dan berbagai perbuatan lainnya yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, dalam bentuk yang mengikat.Semua perintah tersebut wajib dilaksanakan dan
sedikitpun tidak boleh disepelekan. Kecuali jika hilang salah satu syarat diwajibkannya atau
karena adanya halangan dalam pelaksanaannya.
b. Perintah yang bersifat sunnahAdalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw.
kepada kaum muslimin untuk melakukan suatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang
menyatakan bahwa perintah tersebut sunnah. Artinya, seorang muslim tidak wajib
melakukan perbuatan tersebut. Jika ditinggalkan, maka tidak mendapatkan hukuman.
Namun jika dikerjakan maka akan mendapat pahala, contohnya: perintah untuk melakukan
shalat Rawathib [sunnah], perintah adzan, perintah untuk memperbanyak nafkah untuk
keluarga, perintah infak untuk kebaikan, perintah untuk mencatat hutang, perintah makan
dengan tangan kanan, dan berbagai perbuatan lainnya yang diperintahkan Allah dan RasulNya namun dalam bentuk yang tidak mengikat.
Sebagai seorang muslim tentu lebih baik mengerjakan perintah-pertintah ini, meskipun
boleh ditinggalkan. Karena dengan melakukannya seseorang akan mendapatkan pahala.
Meskipun demikian tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.
4. Kesukaran mendatangkan kemudahan.Kita ketahui bahwa syariat Allah menghendaki
terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Karena itulah, terdapat berbagai
kemudahan bagi seorang hamba. Allah swt berfirman,Allah menghendaki kemudahan bagi
kalian, dan tidak menghendaki kesusahan. (al-Baqarah: 180)Dia sekali-sekali tidak
menjadikan satu kesulitan untuk kamu dalam urusan agama. (al-Hajj: 78)
Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Maka mudahkanlah
dan jangan mempersulit. (HR Bukhari)Karena itulah Allah membolehkan berbuka puasa
bagi orang yang berpuasa dan melakukan perjalanan atau sakit, membolehkan untuk mengqashar shalat bagi orang yang bepergian, membolehkan tayamum bagi orang yang hendak
berwudlu tapi tidak menemukan air atau karena kulitnya tidak boleh terkena air [karena
sakit], dan berbagai hal lainnya yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah
rukhshah [dispensasi].
Berdasarkan pada realita bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya,
dan dari hadits yang menjadi tema utama, maka para ulama menyimpulkan kaidah alasyaqqah tajlibut taisiir [kesukaran itu menyebabkan adanya kemudahan]. Kaidah ini
mempunyai pengertian bahwa ketika seseorang berada dalam suatu kondisi yang sangat

sulit dan berat baginya untuk melaksanakan suatu kewajiban, maka kesusahan tersebut
merupakan penyebab untuk mendapat kemudahan dan keringanan, hingga ia bisa
menunaikan dengan mudah.
Contoh pelaksanana kaidah ini adalah toleransi terhadap sebagian benda najis karena susah
dihilangkan. Misalnya darah yang diakibatkan karena lua, darah yang sangat sedikit
[contohnya darah nyamuk], tanah jalan yang kadang bercampur dengan najis dan lain
sebagainya. Semua najis di atas bisa ditoleransi [dianggap bersih]. Karena jika tidak maka
akan sangat merepotkan. Ini adalah bentuk dari keringanan di atas.
Contoh lain dari bentuk kemudahan ini adalah toleransi terhadap ketidakjelasan satu
transaksi, misalnya WC umum. Meskipun tarif perorang jelas, namun jangka waktu orang
yang masuk WC berbeda-beda, bahkan jumlah pengguna air masing-masing orang juga
berbeda. Namun demikian masalah ini tidak bisa dibatasi, misalnya masuk WC lebih dari
dua jam biayanya dua kali lipat, karena akan sangat merepotkan. Maka untuk mengatasi
masalah ini syara memberi keringangan dan menganggap transaksi yang demikian sah
adanya.
Batasan-batasan kondisi sulit yang mendapatkan kemudahan.Kondisi sulit kadang
menimbulkan kesalahpahaman bagi sebagian orang. Ada yang menyangka bahwa setiap
kesulitan meskipun dalam bentuk yang paling sederhana dapat menyebabkan kemudahan
sehingga mereka sering menggunakannya sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban.
Karena itulah para ulama kemudian menjelaskan berbagai batasan dan rambu-rambu
terhadap kondisi sulit yang mendapatkan keringanan.
Kesulitan yang selalu menyertai pelaksanaan kewajiban, karena merupakan karakter dari
kewajiban tersebut. Kesulitan seperti ini tidak akan mendapatkan keringanan sama sekali.
Misalnya seorang yang berpuasa tidak boleh berbuka, karena rasa lapar. Seorang muslim
yang mampu untuk menunaikan ibadah haji, tidak boleh menolak untuk melaksanakan,
dengan alasan ibadah haji itu berat baginya, harus menempuh jarak yang jauh dan
meninggalkan keluarga. Seorang muslim tidak boleh meninggalkan amar maruf nahi
munkar dengan alasan karena kewajiban ini beresiko pada dirinya. Semua ini bukan
merupakan alasan karena merupakan konsekuensi yang lazim.
Kesulitan yang yang bukan merupakan karakter sebuah kewajiban. Kesulitan seperti ini
dalam beberapa kondisi mendapatkan keringanan, karena bukan merupakan karakter
kewajiban dan bahkan tidak terjadi ketika dalam keadaan normal. Para ulama membagi
kesulitan ini dalam dua tingkatan:
a. Kesulitan yang ringan, misalnya: perjalanan singkat , sakit ringan, kekurangan harta dan
sebagainya. Kesulitan-kesulitan seperti ini tidak mempunyai pengaruh terhadap kewajiban
dan tidak mendapatkan keringanan. Karena maslahat yang didapat dengan menjalankan
kewajiban lebih besar dari kesulitan yang ia rasakan.
b. Kesulitan yang besar, yang bisa mengancam jiwa, harta atau kehormatannnya. Misalnya
ada orang yang hendak menunaikan ibadah haji, namun ia mengetahui bahkan keadaan
perjalanan sedang tidak aman, seperti banyak perampokan atau di sekitar rumahnya sendiri

banyak terjadi perampokan, lalu ia khawatir kejadian seperti ini dapat mengancam diri,
harta, atau keluarganya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menunda keberangkatan.
5. Bagian kewajiban yang mudah tidak boleh ditinggalkan karena adanya bagian yang sulit
[al maysur laa yasyuthul bil masur].Satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ulama dengan
mengacu pada hadits di atas. Imam Suyuthi dalam kitab Asybah wa An-Nadhir
menyebutkan bahwa Ibnu Subky berkata, Kaidah tersebut termasuk kaidah yang paling
masyhur yang dipetik dari hadits Nabi, Jika aku perintahkan kepada kalian, maka
lakukanlah semampu kalian.Maksudnya, dalam kondisi tertentu kadang-kadang seorang
muslim tidak bisa menjalankan suatu kewajiban secara utuh. Maka ia diharuskan
melakukan bagian yang ia mampu. Bagian-bagian yang sulit tidak boleh dijadikan alasan
untuk meninggalkan semua bagian kewajiban.
Contoh: ketika hendak shalat, ia tidak bisa berdiri, maka ia tetap harus melakukan shalat
dengan kondisi yang bisa ia lakukan. Contoh lain, seseorang yang hendak berwudlu dan
hanya mendapatkan air yang sangat sedikit yang diperkirakan tidak mencukupi untuk
membasuh bagian-bagian yang wajib, maka ia tidak boleh langsung melakukan tayamum. Ia
harus terlebih dahulu berwudlu dengan air yang ada, siapa tahu mencukupi. Namun jika
memang tidak mencukupi barulah ia bertayamum. Seorang muslim yang mendapatkan
penutup aurat yang hanya cukup untuk menutupi sebagian saja maka ia haru menutupi
sebagian itu. Seorang yang sembuh dari sakitnya di siang bulan Ramadlan, hendaklah ia
menahan hal-hal yang membatalkan puasa, begitu juga wanita yang selesai haidnya, serta
lain-lainnya.
Kaidah ini juga didasari sebuah hadits berikut. Amra bin Husain berkata, Saya mempunyai
sakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw. perihal pelaksanaan shalat. Nabi
bersabda, Shalatlah dengan berdiri, jika tidak bisa maka dengan duduk, jika tidak bisa
maka dengan berbaring. (HR Bukhari)
Semua yang ada dalam syariat Allah, baik haram, makruh, wajib, maupun sunnah,
semuanya masih berada dalam kemampuan manusia, karena Allah tidak membebani
hamba-Nya di luar kemampuannya. Allah berfirman yang artinya: Allah tidak akan
membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya. (al-Baqarah: 286)
Karenanya, pelaksanaan kewajiban dalam bentuknya yang sempurna, hanya bisa dicapai
dengan menjauhi segala larangan dan melaksanakan semua perintah sesuai dengan
penjelasan di atas. Allah berfirman yang artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah, dan apa-apa yang dilarang, maka tinggalkanlah. (al-Hasyr: 7)
Maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian perintah, dan melanggar sebagian larangan,
maka orang tersebut belum melaksanakan kewajiban secara sempurna. Karena seorang
muslim dituntut untuk mencontoh Rasulullah saw. dalam masalah apapun, kecuali perkaraperkara yang dikhususkan untuk Rasulullah saw. Allah berfirman yang artinya:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, [yaitu]
bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (al-Ahzab: 21)

6. Menjauhi larangan dan mengikis sumber kemaksiatan.Dalam syariat terdapat berbagai


penghalang agar manusia tidak terjerumus pada kejahatan atau hanya terkena bibit-bibit
kerusakan. Karenanya kita dapat perhatikan terhadap larangan lebih besar dibandingkan
dengan perhatian terhadap perintah. Namun demikian bukan berarti meremehkan
perintah, tetapi sikap tegas terhadap setiap larangan, terutama yang bersifat haram. Karena
larangan yang ada, tidak lain karena adanya bahaya dan kerusakan pada perkara-perkara
yang dilarang tersebut. Karenanya larangan tidak boleh dilanggar, kecuali dalam kondisi
terpaksa.
Dewasa ini kita temukan banyak kesalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka
begitu kuat dalam menjalankan perintah, bahkan dalam masalah sunnah sekalipun. Namun
mereka sering menyepelekan larangan, bahkan melanggarnya. Contohnya betapa banyak
dalam masyarakat kita orang yang senantiasa puasa, shalat, bahkan qiyamul lail tiap
malam, namun ia tetap menjalankan bisnisnya secara riba. Contoh lain, wanita yang
mengeluarkan zakat hartanya secara sempurna, tetapi ia tetap tidak mengenakan jilbabnya.
Semua itu tentunya tidak sesuai dengan syariat, tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan
oleh Rasulullah, para shahabatnya dan orang-orang yang bersama mereka dalam gerbong
ketakwaan. Karena dasar ibadah adalah menjauhi semua larangan Allah. Hal ini merupakan
jalan kesuksesan untuk memerangi nafsu. Rasulullah saw. bersabda, Hindarilah berbagai
larangan, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling baik ibadahnya. (HR
Tirmidzi)
Aisyah ra. berkata, Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang lebih utama dari orang
yang ahli ibadah, hendaklah ia menjauhi dosa.Ketika ditanya tentang orang-orang yang
tergiur oleh kemaksiatan akan tetapi tidak melakukannya, Umar ra. berkata, Mereka
adalah orang-orang yang hatinya mendapat ujian dari Allah. Mereka akan mendapat
ampunan dan pahala kebaikan yang besar.
Ibnu Umar berkata, Beberapa dirham yang dijauhkan dari yang haram, jauh lebih baik
daripada bershadaqah seratus ribu dirham.Hasan Bashri berkata, Tidak ada ibadah yang
lebih baik dari meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah swt.Umar bin Abdul Aziz
berkata, Takwa bukan sekadar qiyamulail dan puasa di siang hari. Akan tetapi melakukan
apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. jika ditambah dengan amal
perbuatan yang lain, maka itu lebih baik lagi.
Semua itu mengisyaratkan kepada kita bahwa meninggalkan maksiat lebih utama daripada
menjalankan perintah. Namun sekali lagi, bahwa hal itu tidak berarti bahwa seorang
Muslim bisa meremehkan kewajiban. Sebagaimana yang sering diutarakan oleh orangorang yang hatinya sakit. Mereka tidak menjalankan kewajiban sedikitpun, namun mereka
mengklaim bahwa lebih bertakwa daripada orang-orang yang shalat, puasa dan melakukan
berbagai ibadah lainnya. Karena mereka tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Mereka
bergaul di tengah masyarakat dengan baik, tidak pernah membuat onar dan lain sebagainya.
Mereka inilah orang-orang yang menyimpang jauh dari ajaran Islam, bahkan
menyelewengkan maksud dan pengertian Islam yang sebenarnya.
7. Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat [dar-ul mafasid
muqaddamun ala jalbil mashalih].Ini adalah satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ahli

fiqih dari ketegasan syariat dalam masalah larangan. Maksudnya, manakala suatu perkara
memiliki sisi manfaat dan sisi mafsadah [kerusakan]. Jika diperhatikan sisi manfaat maka
akan timbul mafsadah, dan jika diperhatikan sisi mafsadah maka akan hilang manfaatnya.
Dalam kondisi seperti ini yang harus diperhatikan adalah sisi mafsadah. Karena kerusakan
mudah sekali menjalar, seperti api yang melahap kayu bakar.
Contoh: tidak diperbolehkan menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi
khamr, meskipun ia berani membayar dengan harga yang sangat tinggi. Tidak
diperbolehkan membuat atau menjual khamr, meskipun mendatangkan keuntungan yang
besar. Wanita tidak boleh bekerja ditempat yang bercampur dengan laki-laki yang bukan
muhrim. Begitu juga dengan kaum laki-laki. Karena sisi negatifnya lebih dominan.
Kaidah ini juga didukung hadits Nabi yang melarang wanita melakukan perjalanan seorang
diri, tanpa disertai suami atau salah satu mahramnya. Abu Hurairah ra. meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda, Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat, melalukan perjalanan dengan jarak yang ditempuh selama satu hari, kecuali
dengan mahramnya. (HR Bukhari dan Muslim)
Perlu diketahui bahwa yang menjadi tolok ukur maslahat dan mafsadah yang terdapat
dalam perkara itu adalah kebiasaan yang sudah lazim. Karenanya, jika sebuah perbuatan,
biasanya mendatangkan mafsadah, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan.
Mafsadah di sini bukanlah mafsadah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
maslahatnya. Misalnya ada satu perbuatan yang mengandung mafsadah. Namun perbuatan
itu juga jelas-jelas membawa manfaat yang lebih besar dari mafsadah yang ditimbulkan.
Maka perbuatan tersebut boleh dilakukan , mengingat besarnya maslahat yang akan
ditimbulkan.
Contoh: memotong bagian tubuh yang terluka untuk menyelamatkan nyawa orang tersebut.
Karena jika dibiarkan maka keselamatan nyawa orang tersebut akan terancam. Berbohong
dalam rangka menyelesaikan permusuhan dua orang yang bertikai. Karena jika pertikaian
tersebut dibiarkan, maka akan mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan atau
bahkan kekacauan yang semakin meluas.
8. Penyebab kehancuran umat terdahulu.Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita
bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Yaitu banyak
bertanya yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.
Rasulullah saw. telah melarang para shahabat agar tidak banyak bertanya, karena
dikhawatirkan [dengan jawaban yang diberikan] justru memberatkan mereka, agar tidak
disibukkan oleh hal-hal yang tidak ada gunanya, dan sebagai langkah prefentif dari sikap
saling bantah yang tidak ada ujungnya.
Bukhari meriwayatkan dari Mughirah bin Syubah, bahwa Rasulullah saw. melarang qila
wa qol [ucapan yang belum jelas sumbernya], banyak bertanya dan menghamburkan harta.
Karenanya kita dapati para shahabat, Muhajirin dan Anshar, tidak menanyakan sesuatu pun
meskipun mereka ingin mengetahuinya. Sebagai aplikasi dari larangan tersebut. Merekalah
generasi terbaik yang menjadikan segala kehendaknya mengikuti apa yang datang dari

Rasulullah saw. Atau bisa juga karena mereka tidak perlu bertanya, karena mereka hidup
bersama Rasulullah saw. yang segera menyampaikan kepada mereka setiap wahyu yang
turun.
Kenyataannya wahyu dari langit tidak putus hingga akhir wafat Nabi saw. Setiap terjadi
suatu peristiwa, Rasulullah saw. segera menjelaskan kepada mereka, berbagai perkara yang
mereka butuhkan berkaitan dengan masalah agama, meskipun tanpa didahului pertanyaan,
sehingga tidak menyebabkan keraguan, atau agar mereka tidak terjerumus dalam kesesatan.
Allah swt. berfirman, Allah menjelaskan kepada kalian, agar kalian tidak tersesat. (anNisaa: 176)
Dengan demikian, tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan. Yang diperlukan adalah
pemahaman terhadap apa yang datang dari Nabi saw. dan kemudian merealisasikannya
dalam bentuk konkret.
Dalam menafsirkan ayat, Janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu. (al-Maa-idah: 101) Ibnu Abbas ra.
mengatakan, Tunggulah. Jika turun ayat al-Quran janganlah kalian bertanya sesuatu
karena kalian akan mendapatkan penjelasannya.
Adapun bagi orang-orang Arab Badui dan para utusan dari luar Madinah yang tidak selalu
bersama dengan wahyu, maka Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk mengajukan
pertanyaan, dengan demikian mereka bisa mendalami urusan agama. Keringanan ini
akhirnya menjadikan beberapa orang [di luar Madinah] untuk tidak hijrah ke Madinah.
Namun lebih memilih tinggal di Madinah sebagai pengunjung. Dengan demikian mereka
mendapatkan keringanan dari Nabi untuk bisa bertanya.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nawas Ibnu Saman berkata, Saya tinggal bersama
Rasulullah saw. di Madinah selama setahun. Satu hal yang membuat saya tidak hijrah
adalah keinginan bertanya. Karena di antara kami jika sudah hijrah, ia tidak bisa lagi
bertanya kepada Rasulullah.
Maksud dari ucapan ini adalah bahwa ia tidak melakukan hijrah dan menetap di Madinah
lantaran ia senang untuk bertanya kepada Rasulullah saw. Pertanyaan-pertanyaan mereka
ini kadang sesuai dengan apa yang ingin diketahui oleh para Muhajirin dan Anshar
[penduduk Madinah], sehingga mereka senang hati. Terlebih jika jawaban yang diberikan
Rasulullah adalah kabar gembira tentang hal-hal yang mengantarkan masuk surga.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, Rasulullah saw. melarang kami
untuk bertanya kepadanya. Karenanya, kami senang jika ada orang Badui yang datang dan
bertanya kepada Rasulullah saw. Kami pun mendengarkan.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, Seorang laki-laki Badui datang
kepada Nabi saw. dan bertanya, Ya Rasulallah, kapan hari kiamat tiba? Rasulullah
menjawab, Hus Apa yang telah engkau persiapkan? Orang itu menjawab, Saya belum
menyiapkan melainkan kecintaan saya kepada Allah dan rasul-Nya. Rasulullah pun
bersabda, Kamu bersama orang-orang yang kamu cintai. Kami pun bertanya, Kami

juga? Rasulullah menjawab, Ya. Saat itu kami sungguh sangat senang.
9. Macam-macam pertanyaan.a. Pertanyaan yang diperintah Bersifat fardlu ain,Karena
setiap orang wajib menanyakannya. Adapun pertanyaan yang bersifat fardlu ain adalah
pertanyaan yang berkenaan dengan urusan agama yang harus ia lakukan. Seperti yang
berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji, jual beli, nikah dan perkaraperkara lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing mukallaf [orang yang sudah dibebani
kewajiban]. Allah berfirman: Maka tanyakanlah kepada orang yang mengerti, jika kalian
tidak mengetahui. (an-Nahl: 43)Dalam hadits Nabi disebutkan, Menuntut ilmu
merupakan kewajiban bagi setiap muslim. (HR Baihaqi) termasuk wanita muslimah.
Fardlu kifayahArtinya tidak semua orang wajib menanyakannya, cukup sebagian saja.
yang terpenting, ada orang yang menanyakanya. Karena jika tidak ada yang bertanya maka
seluruh kaum muslimin mendapat dosa. Pertanyaan yang sifatnya fardlu kifayah ini adalah
pertanyaan yang bertujuan untuk mendalami permasalahan. Misalnya mendalami masalah
fiqih, mendalami hadits, tafsir dan lain sebagainya. Pertanyaan seperti ini bukan hanya
bertujuan untuk pengamalan, namun juga bertujuan untuk menjaga kemurnian agama,
mengeluarkan fatwa, mengemban amanah dakwah dan untuk mengajarkan kepada
masyarakat berbagai masalah yang diperlukan, sehingga mereka tidak terperosok ke dalam
lembah kesesatan.
Firman Allah: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (at-Taubah: 122)
Makna senada juga diisyaratkan Nabi melalui haditsnya,Hendaklah orang yang hadir
mengajarkan kepada orang yang tidak hadir. (Muttafaq alaiH)
Ketika Ibnu Abbas ra. ditanya perihal luasnya ilmu yang dimiliki, ia menjawab, Saya
dikaruniai Allah lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu berfikir.
Madub (dianjurkan)Artinya, seorang muslim dianjurkan untuk menanyakannya. Contoh,
menanyakan berbagai amalan sunnah, atau untuk memperjelas hal-hal seputar sah atau
batalnya suatu perbuatan.
b. Pertanyaan yang dilarang HaramArtinya orang yang bertanya akan mendapat dosa.
Pertanyaan tentang sesuatu yang sengaja dirahasiakan oleh Allah, dan telah ditegaskan
bahwa masalah tersebut menjadi urusan Allah. Misalnya tentang waktu tibanya kiamat,
hakekat ruh, rahasia qadla dan adar dan lain sebagainya.
Pertanyaan yang bertujuan untuk mengejekDiriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Ibnu
Abbas ra. berkata, Sekelompok orang bertanya kepada Nabi, dengan maksud mengejek.
Salah satu di antara mereka ada yang bertanya, Siapa bapakku? sementara yang lain
kehilangan untanya dan bertanya, Dimana untaku? maka turunlah ayat, Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu bertanya kepada Nabimu, hal-hal yang jika diterangkan

kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (al-Maidah: 101)


Bertanya tentang mukjizat dengan sikap menantang, sebagaimana dilakukan oleh orangorang musyrik.
Menanyakan sesuatu yang rumit dan hampir tidak bisa dijawab.
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Muawiyah ra. bahwa Nabi saw. melarang
alghuluthath, yaitu perkara-perkara yang sangat rumit. Larangan ini lebih disebabkan
karena masalah-masalah tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi agama, bahkan
mungkin tidak pernah terjadi.
Dalam sebuah hadits disebutkan, Akan datang kepada umatku, suatu kaum yang
menanyakan kepada para ulama berbagai permasalahan yang rumit, mereka inilah seburukburuk umatku. (HR Thabrani)
a. Pertanyaan makruh, yakni lebih baik ditinggalkan. Walaupun jika ditanyakan tidak
berdosa.
Pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Yaitu pertanyaan yang tidak ada
manfaatnya untuk dijawab, bahkan bisa jadi akan membuka aib si penanya. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu yang tidak
disukainya. Ketika pertanyaan tersebut semakin banyak, beliau pun marah. Lalu beliau
berkata, Tanyakan kepadaku apa-apa yang ingin kalian tanyakan. Salah seorang bertanya,
Siapa bapakku yan Rasulallah? Nabi menjawab, Bapakmu adalah Hudzaifah. Yang
lainnya bertanya, Siapa bapakku ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, Bapakmu adalah
Salim, budaknya Syaibah. Ketika Umar ra. mengetahui bahwa muka Rasulullah saw.
mengisyaratkan kemarahan, ia pun berkata, Ya Rasulallah, kami bertaubat kepada Allah.
(HR Bukhari dan Muslim).
Bertanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh syara. Artinya tidak ditegaskan halal atau
haramnya. Karena dikhawatirkan justru akan semakin menambah beban.
Rasulullah bersabda, Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam
lainnya, adalah menanyakan sesuatu yang sebenarnya didiamkan oleh syara. Lantas karena
pertanyaannya, menjadi diharamkan. (HR Muslim)
Riwayat lain menyebutkan, Orang yang bertanya tentang sesuatu secara berlebihan.
Imam Nawawi berpendapat bahwa larangan ini khusus pada masa Nabi saw., setelah semua
hukum syariat sempurna, larangan ini tidak berlaku lagi. Karena tidak ada kemungkinnan
ditetapkannya suatu hukum baru.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw. tentang seorang laki-laki yang membunuh seorang laki-laki lain yang kedapatan
bersama istrinya. Yakni saat turun ayat tentang hukum bagi pelaku zina yang mensyaratkan
adanya empat orang saksi. Ternyata Rasulullah tidak suka dengan pertanyaan itu.

b. MubahYaitu pertanyaan-pertanyaan selain yang tercakup dalam jenis pertanyaan di atas.


Imam Nawawi menukil dari al-Khathabi dan ulama lainnya, ketika mengomentari sabda
Rasulullah saw., Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam:
Hadits ini ditujukan untuk orang yang bertanya secara berlebihan dan tidak ada gunanya.
Sedangkan orang yang bertanya karena terpaksa maka tidaklah mengapa. Karena Allah swt.
telah berfirman, Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang mengerti. (al-Anbiyaa: 7)
1. Memahami dan mengamalkan lebih diutamakan daripada bertanya.Seorang Muslim
hendaknya lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua masalah
yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Jika yang didapati adaplah perkara yang bersifat
normatif, maka hendaklah ia meyakini kebenarannya. Namun jika yang didapat adalah
perkara yang bersifat aplikatf, maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya. Barangsiapa
yang bersegera melaksanakannya seperti ini, maka ia berhak mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan keselamatan di akhirat. Sedangkan orang yang menempuh kiat itu dan hanya
disibukkan oleh berbagai pertanyaan yang menyeruak dalam jiwanya, maka ia termasuk
orang-orang yang telah mendapat peringatan dari Rasulullah. Mereka ini kondisinya tidak
jauh berbeda dengan ahli kitab, yang binasa akibat banyak bertanya dan tidak mentaati
perintah.
Demikianlah kondisi para shahabat dan Tabiin, dalam menuntut ilmu yang bermanfaat,
baik dari al-Quran maupun sunnah. Ketika ditanya tentang mengusap Hajar Aswad, Ibnu
Umar ra. berkata, Saya melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya. Laki-laki itu
bertanya, Bagaimana jika penuhh sesak dan aku tidak bisa mencapainya? Ibnu Umar
menjawab, Tahukah kamu rukun Yamani? Aku melihat Rasulullah saw. mengusap dan
menciumnya. (HR Bukhari dan lainnya)Yang dimaksud oleh Ibnu Umar ra. adalah tidak
ada gunanya mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin atau sulit dilakukan, karena akan
mengikis semangat untuk mengikuti sunnah.
2. Sikap para ulama.Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Quran, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan
Tabiin. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang
shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan
berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai
masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka
tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.
3. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.Bertanya tentang suatu ilmu adalah
terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk
perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabiin yang tidak suka terhadap pertanyaan
tentang hal-hal yang belum terjadi.
Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, Aku peringatkan kepada kalian
untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan
dengna hal-hal yanga sudah terjadi.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi,
karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan

masalah yang belum terjadi.


Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, Apakah sudah terjadi?
Si penanya menjawab, Belum. Ia berkata, Biarkan hingga masalah ini terjadi.
Masruq berkata, Aku bertanya kepada Ubay bin Kaab tentang sesuatu, maka ia berkata,
Apakah sudah terjadi? Aku menjawab, Belum. Ia berkata, Biarkanlah hingga masalah
ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.
Asy-Syaby menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya,
Apakah sudah terjadi? jika si penanya menjawab, Belum. Ia berkata, Biarkanlah hingga
masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.
Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabiin. Dalam kitab alMarasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak
menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang
berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian
akan tercerai berai.
4. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan
suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari
Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi,
agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.
Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut
menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:Rafi bin Hudaij ra. bertanya kepada
Rasulullah saw., Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak
memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu? Rasulullah menjawab,
Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi
dan kuku. (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya
membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan
kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut? Rasulullah saw. menjawab, Laut
itu suci dan halal bangkainya. (HR Lima Imam Hadits)
5. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.Rasulullah telah memperingatkan
kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh
keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya
mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan
karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:
Kami dengar dan Kami taat. (mereka berdoa): Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali. (mereka berdoa): Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau

bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orangorang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak
sanggup Kami memikulnya. beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir. (al-Baqarah:
285-286)
Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap
semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang
selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk
negeri namun menolak. Mereka berkata, Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan
memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama
Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja. (al-Maaidah: 24)
Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, Maka sesungguhnya
negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar
kebingungan di bumi. (al-Maaidah: 26)
Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan,
Allah swt. berfirman: Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah. (an-Nisaa:
160)
6. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat
Islam dengan sebutan ummatan wahidah [umat yang satu]. Allah swt berfirman
Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka
sembahlah Aku. (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim
berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan
kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.
Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena
perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling
cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam
kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian
membunuh sebagian yang lain. (HR Muslim)
Al-Quran juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orangorang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali Imraan: 105)
7. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya
perpecahan dan perselisihan.Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan
tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa
yang pedih di akhirat.

Allah swt. berfirman: Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa: 115)Rasulullah
saw. bersabda, Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah,
kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah. (HR Muslim) dan dalam sabdanya
yang lain, Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal
pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.
(HR Muslim)
8. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.Allah
telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan
berbagai permasalahan dalam al-Quran yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya
oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang
dengan cara berpegang teguh pada al-Quran dan hadits. Allah berfirman:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imraan: 103)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara.
Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua
hal itu adalah kitabullah dan sunnahku. (HR al-Hakim)
9. Perselisihan dalam masalah agama.Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan
dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalahmasalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai
jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Quran kita temukan perintah untuk senantiasa
komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha
menembus kemurniaannya. Allah berfirman:
Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah
tentangnya. (asy-Syura: 13)
Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk
mempelajari dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat
dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti,
hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Quran dan Sunnah
dengan penuh keikhlasan.
Rasulullah saw. bersabda, Baca dan pelajarilah al-Quran, selama hatimu bersatu. Jika
kalian berselisih paham, maka berhentilah. (HR Bukhari)

Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah
mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul.
Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.
10. Bahaya mengikuti hawa nafsuSungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam
agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam alQuran, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah
termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.
sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (al Anam: 159)
Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan
berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat
terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,
Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya
pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka. ini pula yang
diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, Dan janganlah kamu semua menyerupai
orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali Imraan:
105)
Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, Dan tidaklah orang-orang yang diberi
kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan. (al-Bayyinah: 4)
Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu yang didasari pada dalil maka hal itu
bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada
perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.
Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau
membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Masud ra. mendengar
seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa
yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Masud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap
Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Masud ra., wajah Rasulullah
mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, Kamu berdua benar, karenanya, bacalah
dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa. (HR
Bukhari)
Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Quran. Karena masing-masing
pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Quran diturunkan dalam beberapa dialek Arab.
Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan
pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.
11. Sikap para ulama.Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Quran, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan

Tabiin. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang
shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan
berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai
masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka
tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.
12. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.Bertanya tentang suatu ilmu adalah
terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk
perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabiin yang tidak suka terhadap pertanyaan
tentang hal-hal yang belum terjadi.
Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, Aku peringatkan kepada kalian
untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan
dengna hal-hal yanga sudah terjadi.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi,
karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan
masalah yang belum terjadi.
Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, Apakah sudah terjadi?
Si penanya menjawab, Belum. Ia berkata, Biarkan hingga masalah ini terjadi.
Masruq berkata, Aku bertanya kepada Ubay bin Kaab tentang sesuatu, maka ia berkata,
Apakah sudah terjadi? Aku menjawab, Belum. Ia berkata, Biarkanlah hingga masalah
ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.
Asy-Syaby menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya,
Apakah sudah terjadi? jika si penanya menjawab, Belum. Ia berkata, Biarkanlah hingga
masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.
Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabiin. Dalam kitab alMarasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak
menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang
berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian
akan tercerai berai.
13. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan
suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari
Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi,
agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.
Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut
menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:Rafi bin Hudaij ra. bertanya kepada
Rasulullah saw., Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak
memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu? Rasulullah menjawab,
Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi

dan kuku. (HR Bukhari dan Muslim)


Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya
membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan
kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut? Rasulullah saw. menjawab, Laut
itu suci dan halal bangkainya. (HR Lima Imam Hadits)
14. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.Rasulullah telah
memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang
bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini,
mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah
memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita
untuk berkata:
Kami dengar dan Kami taat. (mereka berdoa): Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali. (mereka berdoa): Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orangorang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak
sanggup Kami memikulnya. beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir. (al-Baqarah:
285-286)
Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap
semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang
selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk
negeri namun menolak. Mereka berkata, Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan
memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama
Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja. (al-Maaidah: 24)
Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, Maka sesungguhnya
negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar
kebingungan di bumi. (al-Maaidah: 26)
Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan,
Allah swt. berfirman: Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah. (an-Nisaa:
160)
15. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.Allah swt. telah memberikan karakter bagi
umat Islam dengan sebutan ummatan wahidah [umat yang satu]. Allah swt berfirman
Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka
sembahlah Aku. (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim
berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan

kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.


Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena
perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling
cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam
kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian
membunuh sebagian yang lain. (HR Muslim)
Al-Quran juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orangorang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali Imraan: 105)
16. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya
perpecahan dan perselisihan.Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan
tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa
yang pedih di akhirat.
Allah swt. berfirman: Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa: 115)Rasulullah
saw. bersabda, Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah,
kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah. (HR Muslim) dan dalam sabdanya
yang lain, Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal
pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.
(HR Muslim)
17. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.Allah
telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan
berbagai permasalahan dalam al-Quran yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya
oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang
dengan cara berpegang teguh pada al-Quran dan hadits. Allah berfirman:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imraan: 103)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara.
Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua
hal itu adalah kitabullah dan sunnahku. (HR al-Hakim)
18. Perselisihan dalam masalah agama.Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan

dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalahmasalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai
jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Quran kita temukan perintah untuk senantiasa
komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha
menembus kemurniaannya. Allah berfirman:
Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah
tentangnya. (asy-Syura: 13)
Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk
mempelajari dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat
dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti,
hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Quran dan Sunnah
dengan penuh keikhlasan.
Rasulullah saw. bersabda, Baca dan pelajarilah al-Quran, selama hatimu bersatu. Jika
kalian berselisih paham, maka berhentilah. (HR Bukhari)
Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah
mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul.
Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.
19. Bahaya mengikuti hawa nafsuSungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam
agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam alQuran, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah
termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.
sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (al Anam: 159)
Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan
berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat
terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,
Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya
pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka. ini pula yang
diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, Dan janganlah kamu semua menyerupai
orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali Imraan:
105)
Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, Dan tidaklah orang-orang yang diberi
kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan. (al-Bayyinah: 4)

Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu yang didasari pada dalil maka hal itu
bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada
perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.
Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau
membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Masud ra. mendengar
seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa
yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Masud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap
Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Masud ra., wajah Rasulullah
mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, Kamu berdua benar, karenanya, bacalah
dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa. (HR
Bukhari)
Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Quran. Karena masing-masing
pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Quran diturunkan dalam beberapa dialek Arab.
Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan
pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.
20. Bisa disimpulkan bahwa haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi orang yang
mampu

Anda mungkin juga menyukai