Anda di halaman 1dari 5

HADIST ARBA’IN 19

Bismillah.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pengingat. Hadits Nabi ‫ﷺ‬

‫ َو َما َأَم ْر ُتُك ْم ِبِه َف ْأُتْو ا‬،‫ «َما َن َه ْي ُتُك ْم َع ْن ُه َف اْج َت ِنُبوُه‬:‫ َس ِمْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا ﷺ َي ُقوُل‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْي َر َة َعْبِد الَّر ْح َم ِن ْب ِن َص ْخ ٍر َر ِض َي ُهّللا َت َع اَلى َع ْن ُه َق اَل‬
‫َر َو اُه اْلُبَخ اِر ُّي َو ُمْس ِلُم‬. » ‫ َف ِإَّن َما َأْه َلَك اَّلِذيَن ِمْن َقْبِلُك ْم َك ْث َر ُة َمَس اِئِلِه ْم َو اْخ ِتاَل ُفُهْم َع َلى َأْن ِبَياِئِه ْم‬، ‫ِم ْن ُه َما اْس َت َط ْع ُتْم‬.

Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr, semoga Allah ‫ تعالى‬meridhainya, dia berkata, Aku mendengar
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Apa yang aku larang kalian darinya, maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan
kepada kalian, maka lakukanlah apa yang kalian mampu darinya, karena sesungguhnya yang membinasakan
orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap
nabi-nabi mereka."

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

===============================

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan di antara faedah-faedah hadist ini:

1). Wajib menahan diri dari apa yang Nabi ‫ ﷺ‬larang, karena beliau ‫ ﷺ‬bersabda,

‫َما َن َه ْي ُتُك ْم َع ْن ُه َف اْج َت ِنُبوُه‬

"Apa yang aku larang kalian darinya, maka jauhilah."

2). Apa yang dilarang mencakup yang sedikit dan yang banyak, karena menjauhi apa yang dilarang tidak
terwujud kecuali dengan menjauhi apa yang sedikit dan apa yang banyak darinya, misalnya beliau melarang kita
melakukan riba, maka ia mencakup riba yang sedikit dan yang banyak.

3). Menahan diri itu lebih mudah daripada melakukan, karena Nabi memerintahkan dalam hal-hal yang dilarang
agar dijauhi se luruhnya, karena menahan diri itu mudah. Jika ada yang berkata: Apa yang Anda sebutkan ini
terbantah oleh dibolehkannya bangkai dan babi untuk orang yang terpaksa, karena jika seseorang terpaksa, dia
tidak wajib menjauhi.

Apa itu darurat kepada yang haram?


Darurat kepada yang haram adalah seseorang tidak menemukan kecuali apa yang haram, dan hendaknya darurat
terangkat dengannya Dari sini, jika seseorang mendapatkan selain yang haram, maka tidak ada darurat, yang
haram tidak menjadi halal, demikian juga jika darurat tidak terangkat dengannya, maka ia menjadi tidak halal.

• Makan bangkai saat kelaparan, jika tidak ada selainnya, maka kondisi darurat terangkat dengannya.

• Obat yang haram, tidak mungkin menjadi darurat, dengan dua alasan:

Pertama, orang yang sakit mungkin sembuh tanpa obat, maka pada saat itu tidak ada darurat.

Kedua, bisa saja obat digunakan namun orang yang sakit tidak sembuh, maka pada saat itu darurat tidak
terangkat dengannya. Dari sini, maka ucapan orang-orang awam, "Boleh berobat dengan sesuatu yang haram
karena alasan darurat" adalah ucapan yang tidak benar, para ulama menyatakan haram berobat dengan yang
haram.

4). Tidak wajib melakukan sesuatu yang diperintahkan kecuali sebatas kesanggupan, karena Nabi ‫ﷺ‬
bersabda,

‫َو َما َأَم ْر ُتُك ْم ِبِه َف ْأُتْو ا ِم ْن ُه َما اْس َت َط ْع ُتْم‬

Apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah apa yang kalian mampu darinya."

Jika ada yang berkata: Apakah sabda Nabi ini menunjukkan kemudahan atau memberatkan? Senada dengannya
Firman Allah ‫تعالى‬

‫ َف ٱَّتُقوْا ٱَهَّلل َما ٱۡس َت َط ۡع ُتۡم‬...

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu... (QS. At-Taghabun 64: Ayat 16)

Jawabannya: Ada dua sisi, maknanya bisa berarti kalian harus melakukan yang wajib sebatas kesanggupan
kalian, dan jangan meremehkan selama kalian mampu.

Karena itu, jika kamu menyuruh seseorang dan dia menjawab, "Aku tidak mampu," padahal dia mampu, maka
kewajiban tidak gugur darinya.
Ada kemungkinan lain bahwa maknanya yaitu tidak ada kewajiban kecuali dengan kemampuan. Makna ini
dikuatkan oleh Firman Allah ‫تعالى‬

‫اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َن ْف ًس ا ِإاَّل ُو ْس َع َها‬

"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).

5). Manusia memiliki kesanggupan dan kuasa, karena Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,

‫َما اْس َت َط ْع ُتْم‬

"Apa yang kalian mampu." Ini membantah paham Jabariyah yang berkata, Manusia tidak memiliki kemampuan,
manusia hanya dipaksa atas perbuatannya, termasuk seseorang yang menggerakkan tangannya saat berbicara,
mereka berpendapat bahwa menggerakkan tangan bukan dalam kemampuannya, tetapi ia dipaksa. Tidak
diragukan bahwa pendapat ini batil dan melahirkan kerusakan-kerusakan yang besar.

6). Jika seseorang tidak mampu melaksanakan yang wajib secara keseluruhan, maka hendaknya dia melakukan
apa yang dia sanggup, misalnya seseorang wajib shalat fardhu dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu, maka
dia shalat sambil duduk.

7). Tidak patut bagi seseorang manakala dia mendengar perintah Rasulullah untuk berkata, "Apakah perintah itu
wajib atau anjuran?" Berdasarkan sabda Nabi ‫ﷺ‬,

‫َف ْأُتْو ا ِم ْن ُه َما اْس َت َط ْع ُتْم‬

"lakukanlah apa yang kalian sanggup darinya." Jangan menuntut perincian, karena engkau adalah seorang
hamba yang wajib tunduk kepada perintah Allah dan Rasulullah.

Namun bila seorang hamba telah menyelisihi, maka dia boleh bertanya tentang rincian masalah, karena jika ia
wajib (lalu dia tinggalkan), maka dia wajib bertaubat, jika tidak wajib, maka taubat juga tidak wajib,

8). Apa yang Nabi perintahkan dan apa yang beliau larang adalah syariat, baik ada di dalam al-Qur'an atau tidak,
as-Sunnah yang menetapkan apa yang tidak ada di dalam al-Qur'an harus diamalkan, baik dalam bentuk perintah
atau dalam bentuk larangan.

Ini dari sisi perincian, karena di dalam as-Sunnah ada yang tidak ada di dalam al-Qur'an secara terperinci, tetapi
di dalam al-Qur'an ter dapat ayat yang menunjukkan wajibnya mengikuti as-Sunnah, meski- pun tidak
disebutkan dalam al-Qur'an, seperti Firman Allah ‫تعالى‬,
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ۖ َّمن ُيِط ِع ٱلَّر ُسوَل َفَق ۡد َأَط اَع ٱَهَّلل‬


"Barang siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. (QS. An-Nisa' 4: Ayat
80)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َفَئ اِم ُنوْا ِبٱِهَّلل َو َر ُسوِلِه ٱلَّن ِبِّي ٱُأۡلِّمِّي ٱَّلِذي ُيۡؤ ِمُن ِبٱِهَّلل َو َك ِلَٰم ِتِهۦ َو ٱَّت ِبُعوُه‬

"maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia," (QS. Al-A'raf 7: Ayat 158)

Al-Qur'an menunjukkan bahwa as-Sunnah adalah syariat yang wajib diamalkan, baik ada di dalam al-Qur'an
ataupun tidak.

9). Banyak bertanya adalah sebab kebinasaan, apalagi dalam hal-hal yang tidak mungkin terkuak jawabannya,
contohnya masalah- masalah ghaib seperti Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, serta keadaan Hari Kiamat. Jangan
banyak bertanya tentangnya, karena engkau bisa binasa, karena engkau termasuk orang-orang yang berlebih-
lebihan dan menyulitkan diri.

Adapun apa yang orang-orang butuhkan berkenaan dengan masalah-masalah fikih, maka silakan bertanya jika
hal itu memang di- butuhkan, dan jika hal itu tidak dibutuhkan, namun seseorang adalah penuntut ilmu, maka
silakan bertanya dan membahas, karena penun- tut ilmu harus siap untuk ditanya oleh orang-orang yang
bertanya ke- padanya, namun jika seseorang bukan termasuk penuntut ilmu, maka jangan banyak bertanya.

10). Umat-umat terdahulu binasa karena banyak bertanya, dan mereka juga binasa karena banyak menentang
nabi-nabi mereka.

11). Peringatan terhadap perbuatan menyelisihi para nabi, wajib bagi setiap Muslim untuk mengikuti para nabi,
meyakini mereka sebagai imam dan bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah, Allah ‫ تعالى‬memuliakan mereka
dengan kerasulan, bahwa penutup mereka adalah Muhammad Rasulullah ‫ ﷺ‬yang Dia utus ke semua
manusia, syariat beliau ‫ ﷺ‬adalah agama Islam yang telah Allah ‫ تعالى‬ridhai untuk hamba-hambaNya, dan
bahwa Allah ‫ تعالى‬tidak menerima agama dari siapa pun selain agama Islam. Allah ‫ تعالى‬berfirman,

‫ۗ ِإَّن ٱلِّد يَن ِع نَد ٱِهَّلل ٱِإۡلۡس َٰل ُم‬


"Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 19).

=========================

Referensi

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. (2022). Syarah Hadist Arba'in Imam an-Nawawi. Jakarta: Darul
Haq, 177-186.

Anda mungkin juga menyukai